DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Wednesday, October 4, 2017

NZ TRIP 2016 (20) - ADJUSTING LIFE IN INVERCARGILL

Senin, 3 Oktober 2016



Invercargill (Māori: Waihōpai) adalah kota terselatan dan kota terbarat di New Zealand,  sekaligus salah satu kota terselatan di dunia, yand didirikan pada tahun 1850. Dengan populasinya yang mencapai lebih dari 53.000 jiwa, kota ini menjadi ibu kota region Southland. Nama Invercargill sendiri berasal dari William Cargill, pelopor pendiri Otago yang terkemuka. Jalan-jalan raya di kota ini dibangun akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, dan lebarnya bisa mencapai 40 meter. Jalan-jalan yang lebar ini dinamai berdasarkan nama-nama sungai di Skotlandia dan Inggris Utara. Termasuk di antaranya adalah Dee dan Tay, Forth, Tyne, Esk, Don, Thames, Mersey, Ness, Yarrow, Spey dan Eye.

Kota inilah yang mengolah hasil-hasil pertanian dan peternakan dari tanah Southland yang subur, dan menghasilkan produk-produk yang menghidupi New Zealand, di mana hasil-hasil daging ternak, susu, dan kayu diproses dalam skala besar di pabrik dan ditransportasikan oleh truk-truk besar. Dengan demikian, Invercargill merupakan pusat ekonomi di Southland.
Lokasinya berada di tengah-tengah daerah pertanian yang subur, yang dibatasi oleh area konservasi yang luas dan cagar alam kelautan, termasuk Fiordland National Park yang meliputi sudut barat daya South Island dan wilayah pesisir Catlins.

Tidak ada di kota lain di New Zealand, di mana suara mesin yang keras memiliki daya tarik bagi para penghuninya seperti di Invercargill. Sepertinya orang-orang terobsesi dengan segala sesuatu yang memiliki roda. Di kota ini cukup banyak pesepedanya. Kita bisa mencoba bersepeda di SIT Zero Fees Velodrome. Kemudian ada koleksi truk kuno berkelas dunia di Bill Richardson Transport World, sejarah sepeda motor Invercargill di Classic Motorcycle Mecca, dan ada pula E Hayes Motorworks, tempat kita bisa mengenal legenda pembalap sepeda motor, Burt Munro, yang sangat terkenal di masanya.

Invercargill, dengan leluhurnya yang berasal dari Skotlandia, merupakan daerah di mana penduduknya berbicara dengan dialek yang berbeda dengan bahasa Inggris pada umumnya di New Zealand. Orang-orang berbicara dengan huruf R yang "digulung" (jadi mengucapkannya rrrrr gitu kira-kira). Hal ini sebenarnya cukup umum untuk region Southland.

Yang pasti, kota ini tidak kekurangan fasilitas. Invercargill memiliki toko-toko dengan berbagai macam pilihan barang, dan banyak pula restoran, bar dan cafe di seluruh penjuru kota. Setiap kegiatan pun ada wadahnya. "Invercargill mungkin bukan kota yang berkilauan, tapi semua yang diperlukan ada di sana", demikian menurut salah satu penduduk lokal.
Cobalah kunjungi Invercargill Brewery, tempat diproduksinya bir di kota ini, atau ke Blue River Dairy, cafe susu biri-biri Southland, di mana kita bisa mencicipi produk-produk kejunya, dan berkesempatan mencicipi cheese roll terenak di Southland. Atau ke Seriously Good Chocolate Company, tempat dihasilkannya produk-produk cokelat. Sebetulnya banyak sekali lho, tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi di Invercargill dan sekitarnya. Ada Queens Park, Donovan Park, dan hanya dengan hitungan menit berkendara dari kota, ada banyak landscape pesisir pantai, mulai dari Oreti Beach, Waituna Wetlands, Omaui, atau Estuary Walkway. Jangan lupakan Stirling Point di Bluff, di mana kita bisa melihat papan petunjuk arah ke segala penjuru dunia ^_^

Adanya peninggalan bangunan-bangunan bergaya Victorian, Edwardian dan Art Deco menjadikan Invercargill kota yang memiliki karakter kuno yang menawan. Jalan-jalannya yang lebar membuat kota ini mudah dijelajahi. Kalau diperhatikan di Google Map, jalan-jalan di Invercargill tampak rapi dan banyak sekali yang sejajar satu sama lain.

Untuk mencapai Invercargill, kita bisa naik bus (InterCity, NakedBus, dan Catch-a-Bus), kendaraan pribadi, dan pesawat terbang.
Invercargill Airport berjarak sekitar 3 KM dari CBD, dan hanya Air New Zealand yang beroperasi di bandara ini, dengan tujuan penerbangan ke Christchurch dan Wellington. Penerbangan dari Wellington ke Invercargill makan waktu 2 jam, sedangkan penerbangan dari Christchurch makan waktu sekitar 1 jam saja, dan kalau cuacanya cerah, pemandangannya spketakuler lho... kita bisa melihat Southern Alps di sisi barat. Mount Cook sudah jelas jadi puncak tertinggi yang akan tampak. Jadi pastikan pesan kursi di jendela kanan pesawat supaya bisa menyaksikannya ^_^
Setiap harinya ada 8 penerbangan ke Christchurch dan 2 penerbangan ke Wellington dari Invercargill. Landasan pesawat terbangnya merupakan nomor empat terpanjang di New Zealand setelah Auckland, Christchurch dan Ohakea, dengan panjang 2.210 meter.

Untuk menjelajah di dalam kota, di Invercargill sendiri beroperasi bus umum dengan beberapa rute, dan beberapa bahkan dilengkapi dengan rak sepeda. Sedangkan kalau naik kendaraan sendiri, tentunya akan lebih nyaman lagi, dengan jalanannya yang lebar-lebar dan rata-rata lurus-lurus saja hehehehe...
Pusat bisnis di kota ini utamanya berada di perempatan Esk Street dan Kelvin Street. Namun sebenarnya pusat bisnisnya berada di antara Leven, Tay, Deveron, dan Gala Street.

Cuaca di Invercargill termasuk salah satu yang terdingin, mungkin karena letaknya yang di ujung selatan, sehingga paling dekat pula dengan Kutub Selatan. Tapi anehnya, kalau musim dingin, tidak setiap tahun turun salju di sini. Selain curah hujannya yang cukup tinggi, kota ini merupakan "kota termendung" di New Zealand, dengan jumlah sinar matahari rata-rata hanya 1.580 jam per tahunnya. Namun demikian, curah hujannya lebih sedikit daripada Auckland dan Wellington, ibu kota New Zealand. Invercargill juga menjadi kota terangin kedua setelah Wellington. Lengkap sudah... semua yang bikin dingin-dingin ada di sini hahahaha....
Tahun 2010 yang lalu, di Invercargill terjadi hujan salju terparah sampai mengakibatkan beberapa bangunan rusak, termasuk Stadium Southland. Atapnya runtuh karena terlalu berat menahan beban salju yang menumpuk.

Invercargill dikatakan sebagai "City of Water and Light". "Light" mengacu pada siang yang panjang di musim panasnya dan Aurora Autralis (Southern Lights). "Water" sendiri berasal dari kelakar atau guyonan, bahwa kita sampai harus menghorisontalkan diri (membungkukkan badan sekuat tenaga) untuk melawan hujan dan angin yang sangat kencang kalau lewat di sudut jalan Dee dan Tay.
Baru-baru ini juga dikeluarkan slogan "Invercargill, where dreams can come true" yang disertai gambar yang diambil dari film The World's Fastest Indian tahun 2005.

Southern Institute of Technology (SIT), merupakan lembaga pendidikan pertama yang memperkenalkan zero-fees scheme, alias kuliah gratis. Tapi ini hanya untuk warga negara New Zealand saja ya... Skema ini awalnya diluncurkan untuk menghidupkan kembali kota Invercargill karena jumlah populasinya yang terus menurun. Namun sesungguhnya faktor terbesar yang menghidupkan dan meramaikan kembali kota ini adalah adanya booming produk dairy di tahun 2000-an akibat adanya permintaan susu, keju, dan mentega New Zealand yang meningkat pesat. Pabrik-pabrik dairy yang baru pun didirikan di daerah Southland karena dianggap lebih efisien, sejalan dengan pemrosesan daging dan fasilitas-fasilitas pengembangannya.

Begitulah sekilas tentang Invercargill, kota yang sebetulnya relatif besar namun tidak ramai di ujung selatan dunia ini. Aku jauh lebih banyak memahami budaya, orang-orang, dan situasi umum di kota ini pada kunjungan terakhir kami tahun 2017 lalu.


Hari kedua berada di Invers, adalah hari di mana kami bisa bersantai sejenak dari perjalanan-perjalanan panjang naik mobil. Aku masih tetap bangun jam 6 pagii, karena hari ini Arina ada kuliah jam 9 pagi, dan aku tidak ingin "rebutan"  kamar mandi saat dia bangun nanti hehehehe... 
Karena kami tidak memiliki heater atau electric blanket, maka semalam terasa cukup dingin, dan aku tidur lengkap dengan mengenakan sweater, long john, dan kaos kaki. Kepala pun harus masuk selimut, karena begitu keluar dari selimut langsung terasa menggigit dinginnya hihihihi...

Jam 7 pagi, aku sudah selesai mandi dengan air hangat, sehingga tidak kedinginan lagi (setidaknya untuk beberapa jam hehehe). Setelah itu aku menyiapkan sarapan, masak nasi dan lauk untuk makan siang, dan lebih banyak berada di dapur untuk mengatur dan merapikan barang-barang dan bahan makanan kami di dapur.
Di rumah ini tidak ada rice cooker, dan kami pun memang tidak membawa rice cooker dari rumah. Sebelum kami berangkat ke New Zealand, putriku sudah kuajari cara menanak nasi tanpa menggunakan rice cooker, jadoi hanya menggunakan panci biasa saja. Kuncinya, panci yang dipakai harus yang agak tebal, syukur kalau yang kualitasnya bagus, apalagi yang bahannya dari ceramic. Selain itu, tutupnya juga harus pas dengan pancinya, dengan sebuah lubang kecil untuk mengeluarkan uap. Merk panci kecil yang kubawakan buat putriku ini Fincook, harganya tidak terlalu mahal kok, sekitar 120 ribuan waktu itu di toko Toeng, Surabaya. Jadi pertama-tama berasnya dulu, lalu beri air setinggi sekitar satu ruas jari kelingking (tergantung panjang jari masing-masing ya, pokoknya airnya seperti kalau masak di rice cooker saja), lalu nyalakan api kecil atau agak kecil. Kalau pancinya bukan yang anti lengket, sesekali diaduk supaya tidak lengket di dasar. Setelah mendidih, aduk-aduk, lalu kecilkan api sampai kecil sekali, sekecil-kecilnya sih kalau pakai kompor gas. Kalau di New Zealand menggunakan kompor listrik, aku pakai nomor 1 dari 5, atau 2 dari 8. Setelah itu tutup pancinya, biarkan 10-20 menit (tergantung banyaknya beras yang dimasak), lalu matikan apinya. Tutupnya jangan dibuka dulu supaya nasinya tanak. Sekitar 20-30 menit kemudian barulah bisa dimakan. Gampang kan, jadi untuk travelling kita tetap bisa menanak nasi sendiri tanpa harus bawa-bawa rice cooker. Lah kalau di gunung yang nggak ada listriknya, kan nggak bisa pakai rice cooker. Yang penting ada kompor portable/kompor camping, dan sebuah panci yang bagus kualitasnya ^_^

Aku menunggu-nunggu Arina, katanya ada kelas jam 9 pagi, tapi sampai jam 8 lewat masih belum tampak juga batang hidungnya. Dia baru keluar dari kamarnya sekitar jam 8.30 pagi, lalu masuk kamar mandi, sepertinya hanya ke toilet, sikat gigi dan cuci muka saja. Setelah itu dia mengambil roti untuk sarapan dan langsung berpamitan berangkat ke kampus.
Belakangan baru aku tahu, bukan hanya Arina, tapi rata-rata para pelajar di sini memang seperti itu. Bangun 30 menit sebelum kelas dimulai, lalu cuci muka, sikat gigi, langsung berangkat. Untuk sarapannya kadang hanya bawa roti tawar  atau makanan lain yang tinggal dihangatkan saja. Termasuk juga pelajar-pelajar dari Asia lho, yang seperti ini. Untungnya putriku masih tetap mandi dulu tiap pagi hehehehe....
Mereka ini bangun pas-pasan karena ya memang tidak kuatir macet di jalan, dan kebanyakan yang tinggal di dekat kampus hanya berjalan kaki 5-10 menit saja sudah sampai. Yang dikuatirkan cuma kalau hujan, biasanya mereka sedia jas hujan kalau sedang musim banyak hujan di sana.

Suami dan putriku bangun agak siang hari ini, yang pasti di atas jam 8 semuanya. Setelah mereka sarapan dan selesai mandi, baru sekitar jam 10 pagi kami bersiap-siap. Rencananya hari ini ingin melihat kampus SIT dan jalan-jalan di pusat kota Invers, sekalian cari barang-barang kebutuhan putriku di sini.

Pertama, kami ke kampus SIT dulu di 133 Tay Street. Kami parkir agak di dalam yang batas waktunya 1 jam. Kalau di tepi jalan raya, batasnya hanya 15 menit saja.
Kami berjalan mengelilingi kampus ini, tapi di luarnya saja, nggak berani masuk-masuk ke gedungnya hehehehe... Karena suasananya sedang musim semi, tampak banyak bunga bermekaran, dan pohon-pohon besar pun bersemi semua bunganya... cantik banget!



Dari SIT, kami berjalan-jalan di sepanjang Tay Street ini, lalu menemukan sebuah Asian Store. Kami masuk dan melihat-lihat di dalamnya. Ternyata lumayan lengkap juga bahan-bahan yang dijual di sini. Aku membelikan ramen dan kedelai buat putriku. Dia memang doyan banget makan ramen merk NongShim ini. Sedangkan kedelainya akan coba dibuat tempe. Sebelum ini putriku sudah belajar membuat tempe sendiri, supaya kalau ingin tempe tidak bingung. Selain itu syukur kalau bisa produksi dalam jumlah agak banyak, siapa tahu bisa dijual, soalnya kata Charles, orang Indonesia yang tinggal di Invers banyak jumlahnya, yang waktu itu saja 62 (entah 62 orang atau 62 keluarga).

Dari Asian Store, kami jalan lagi  dan melewati Mevlana Kebab, dan suamiku mengajak beli flat white di sini. Harganya $4.9 untuk large size. Kami sempat duduk-duduk di bangku luar cafe ini sambil ngopi, lalu melanjutkan jalan lagi. Nggak sampai terlalu jauh sih, karena parkirnya kan ada batas waktunya. Tapi kami sempat melihat ada Asian Store lagi yang sederet dengan SIT (kalau yang pertama tadi di seberangnya), ada Thai-Thai Restaurant, BNZ, Vodafone, H&J Smith, toko peralatan outdoor activities, dan masih banyak lagi toko-toko lainnya. Jalannya sendiri relatif sepi, tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat.



Oya, kalau aku bilang kendaraan atau kendaraan pribadi di New Zealand, diartikan sebagai mobil ya... jangan berasumsi sepeda motor. DI New Zealand hampir tidak ada sepeda motor. Mungkin ada beberapa orang yang memiliki sepeda motor, tapi itu pun kelas yang seperti motor sport atau Harley Davidson gitu lho... yang harganya lebih mahal daripada mobil. Di luar itu, yang ada hanya sepeda motor 50cc, yang oleh orang-orang disebut sebagai scooter (skuter). Kenapa jarang ada sepeda motor yang seperti di Indonesia ini?
Pertama, karena pajak sepeda motor lebih mahal daripada mobil, jadi rugi banget kalau punya motor. Kedua dan alasan utamanya sih, karena cuacanya yang cenderung dingin. Kebayang deh kalau lagi musim dingin terus naik motor kesana-kemari, bisa-bisa sampai tujuan malah beku deh, secara naik motor kan anginnya jadi terasa makin kenceng tuh hehehehe... Orang Kiwi yang punya motor gede dan suka travelling antarkota, biasanya perlengkapannya komplit, kelihatan banget kalau pas ada yang ketemu di jalan. Mereka pakai jaket kulit yang keren, sepatu boots khusus untuk naik motor, backpack yang ditaruh di bagasi belakang/samping, sarung tangan kulit, helm yang kelihatan banget mahal, wah pokoknya asli keren deh... Seringkali mereka bepergian satu rombongan, misalnya 4-5 motor, tapi beda dengan di negara kita ini. Mereka nggak pake pengawalan polisi, itu yang pasti. Udah gitu, jaraknya juga agak jauh-jauh, bisa 50-100 meter, kadang malah lebih, jadi kalau kita memperhatikan benar-benar baru tahu kalau mereka sekelompok, jadi nggak nutup-nutupin jalan seperti di sini tuh... berjejer-jejer kayak jalannya sendiri aja!
Soal sepeda motor ini sepertinya nggak cuma di New Zealand saja sih, tapi di kebanyakan negara-negara barat juga sama (please CMIIW), dan yang namanya motor sampai berjubel-jubel di segala sudut tempat itu ya kebanyakan di Asia, khususnya Asia Tenggara.
Jadi ngelantur soal motor nih...

Kami kemudian mencari opshop (toko barang bekas) di Google Map. Yang muncul ada Salvation Army (sebetulnya tahunya baru itu sih, jadi yang dicari di Google Map ya itu hahahaha) di Yarrow Street. Kami menuju ke sana, dan di depan Salvation Army ini ternyata parkirnya harus bayar, jadi kami parkir dan memasukkan 50 sen ke dalam meternya (soal parkir berbayar ini, ke depannya udah tambah pinter nih, ntar aja ceritanya hehehehe...).
Kami melihat-lihat di toko ini, dan lumayan banyak barang-barang yang menarik dan murah-murah pula. Maklum ibu-ibu kalau lihat barang murah dan bagus jadi berasa gelap mata hahahaha.... Sampai meter parkirnya harus diisi lagi 40 sen, takut nggak cukup waktunya.
Akhirnya aku malah beli jaket ($10), yang nantinya bakal sering nongol di foto besok-besoknya hahaha.... terus suamiku beli sandal jepit karena yang dibawa dari rumah putus ($2), kalau sandalnya ini baru sih, bukan bekas, masih ada labelnya. Buat putriku, aku belikan dia jaket winter yang anget banget kayaknya ($12), jas hujan yang bagus dan tebal ($7), dan 2 buah cangkir (@50 sen). Semua barang masih dalam kondisi yang bagus sekali. Sebetulnya aku juga cari perabotan masak buat putriku, tapi belum nemu yang pas.

Dari Salvation Army, kami mencari toko yang namanya The Warehouse. Kata Arina, di toko ini juga menjual perabotan rumah tangga, pakaian, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya dengan harga murah. The Warehouse berlokasi di Leven Street, jadi kami ke sana. Tempat parkirnya luas dan nyaman, dan ternyata tokonya besaaaar.... macam-macam barang ada di sini, dari mulai seragam sekolah, pakaian anak-anak dan dewasa, perlengkapan tidur, sepatu, sandal, meja kursi lemari, alat-alat berkebun, lengkap dengan bibit-bibit tanaman di dalam pot-pot maupun yang masih berupa benih, CD musik, perabotan dapur, perlengkapan makan, sampai kosmetik, peralatan kecantikan (semir rambut, make up, berbagai macam lotion dan sunscreen, dsb dsb), dan aneka snack. Banyaaak deh macamnya. Mungkin mirip Ace Hardware kalau di Indonesia.

Cukup lama kami berputar-putar di sana, sambil melihat-lihat. Aku membelikan bantal seharga $5 untuk putriku. Itu sudah yang paling murah lho, lainnya kebanyakan di atas $20 harganya hehehehe... Tapi yang harga $5 ini enak kok, empuk, cuma nggak besar-besar banget seperti yang mahal-mahal itu.

Keluar dari The Warehouse, kaki mulai pegal-pegal nih, jalan kaki terus dari tadi. Akhirnya kami pun pulang ke rumah (cieeee sudah bisa ngomong pulang ke rumah wkwkwk).
Aku tinggal memanaskan lauk yang kumasak tadi pagi, hanya tumis sayuran dengan lauk ayam yang dimasak kare, lalu kami makan bersama. Biarpun masak nasi atau kentang untuk suami dan putriku setiap hari, aku jarang sekali iku makan nasi dan kentangnya, lebih sering aku memperbanyak sayuran yang kumakan.

Setelah makan siang, waktu menunjukkan jam 1.30 siang. Iseng-iseng, aku memotret keadaan di dalam rumah. Setelah itu, aku dan suamiku lebih banyak bersih-bersih dan berusaha memperbaiki apa yang bisa diperbaiki. Suamiku juga memperbaiki kursi yang sandarannya rusak di ruang sebelah dapur.
Yang namanya pekerjaan rumah tangga, ada saja yang bisa dilakukan deh... ^_^



Sore harinya, kami mandi lebih awal karena akan ke rumah Charles, dia baru saja sampai di Invers siang hari tadi. Kami pun berangkat ke rumah Charles sore itu juga. Baru kali ini kami bertemu dengan yang namanya Charles, agen pendidikan putri kami ini. Orangnya memang baik  banget kok, walaupun tipe orang yang kalau bicara kadang-kadang kurang fokus hehehe... Tapi serius, orangnya baik dan helpful banget ^_^
Kami menghabiskan  waktu mengobrol, terutama mengenai perkuliahan putriku, dan kehidupan orang-orang Indonesia di Invers. Charles juga mau mengajak kami ke bank besok untuk bikin janji sebelum membuka tabungan.
Percaya nggak, setelah kami sudah pasti nggak akan tinggal di rumah Charles, Tante jadi baik dan ramah banget lho.... hahahaha... nggak apa-apa deh, aku juga maklum kok keadaan mereka. Selain itu malah kami jadi sudah dapat tempat tinggal yang putriku cocok ^_^

Sekitar jam 7 malam, Charles dan keluarganya mengajak kami makan malam bersama di KFC. Kami semua naik mobil Charles yang besar. Kalau kata Charles, KFC di sini (di NZ maksudnya) beda rasanya dengan yang di Indonesia, lebih enak maksudnya. Dasar akunya yang bloon atau memang bener-bener nggak demen fast food, sebetulnya rasanya bagiku sama saja sih hehehehe...



Kami makan sambil berbincang-bincang lama juga, sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam, maka kami semua kembali ke rumah Charles, lalu kami bertiga berpamitan dan pulang ke rumah naik mobil kami sendiri.
Sampai di rumah, kami masih mengobrol dengan Arina sampai sekitar jam 10 malam, lalu kami pamit tidur karena sudah mengantuk.

Satu lagi yang terlewati dengan penuh berkat dan bantuan dari orang-orang di sekitarku, tiada hentinya aku bersyukur untuk setiap hari yang kulewati bersama keluarga tercintaku ini....


To be continued........

No comments:

Post a Comment