"New Zealand was never the end of my journey, turned out it was just the entrance gate to my other journeys and adventures." (irene)
Tidak pernah terlintas di benakku bahwa aku akan menginjakkan kakiku di negara ini, NEPAL.
Awal mulanya hanyalah sebuah ujaran dari suamiku, saat kami masih berada di New Zealand bulan Mei 2017 lalu. Belum lagi pulang ke Indonesia, aku sudah bertanya kapan kami akan kembali ke New Zealand. Lalu suamiku bertanya, apa sih yang kamu cari, kok ke New Zealand terus pinginnya? Dan aku menjawab: keindahan alamnya dan salju! Aku ingin kembali lagi di saat musim dingin. Aku pingin trekking dengan pemandangan salju. Lalu tercetuslah olehnya perkataan ini, kalau kamu suka salju, mending ke Nepal, di sana saljunya abadi sepanjang tahun, dan Nepal adalah surganya pecinta trekking. Hmmm.... aku cuma mengiyakan saja. Period. Just like that. Aku tidak memikirkannya lebih lanjut, bahkan sampai pulang ke rumah dan waktu terus berlalu.
Sementara itu suamiku mulai memperlihatkan beberapa video mengenai orang-orang yang trekking di Nepal, utamanya ke Annapurna Base Camp, karena trek itulah yang dipilihkan oleh suamiku. Aku pun mulai tertarik, dan mulai mencari tiket untuk ke Nepal. Aku merencanakan berangkat akhir Oktober atau awal November, dan lamanya kurang lebih 1 bulan. Setiap hari mengecek harga di Traveloka, dan akhirnya pada tanggal 12 Agustus, terbelilah 2 tiket ke Nepal dari Jakarta (transit di Kuala Lumpur) senilai IDR 1.781.000 per orang, dengan Malindo Air. Biaya tiket sudah termasuk bagasi 30 kg, makan di pesawat, dan asuransi. Tiket dari Banyuwangi ke Jakarta baru terbeli satu bulan kemudian, seharga IDR 745.000 per orang dengan Garuda, sudah termasuk snack dan bagasi 20 kg. Kebetulan keduanya memang maskapai full service.
Tiket pulang baru terbeli pada tanggal 13 Oktober, untuk kepulangan tanggal 29 November, dari Kathmandu ke Jakarta (transit di Kuala Lumpur), seharga IDR 2.643.000 per orang, dengan maskapai dan fasilias yang sama, Malindo Air. Sedangkan tiket dari Jakarta ke Banyuwangi baru terbeli saat kami berada di Nepal hehehehe...
Karena tujuan kepergian kali ini benar-benar trekking, kami membeli asuransi perjalanan. Setelah berhari-hari mencari tahu informasi dan membaca beberapa perbandingan, akhirnya kami memilih Zurich Passport. Kami sekalian membeli asuransi perjalanan tahunan multi-negara, karena jauh lebih murah daripada kalau beli per trip, apalagi kalau merencanakan banyak bepergian dalam setahun ke depan. Untuk 1 tahun, Zurich Passport yang Gold Worldwide biayanya IDR 2.168.040 per orang.
Persiapan packing dimulai sekitar 3 minggu sebelum keberangkatan, karena sebelumnya kami juga masih bepergian ke Bali. Walaupun mendapatkan bagasi 30 kg, tapi sejak awal aku berniat tidak mau pakai bagasi, kalau bisa hanya satu backpack saja agar bisa masuk cabin. Dan karena ini pertama kalinya backpacking naik pesawat, semua beban harus diperhitungkan dengan baik. Sampai sekitar 1 minggu packing - unpacking, barulah lumayan fixed bawaan kami. Total berat backpack yang aku bawa 10,5 kg, dan backpack suamiku sekitar 9,5 kg. Ukuran backpackku memang lebih besar (60 liter), karenanya bisa muat diisi lebih banyak. Untuk trekking pole, sleeping bag, jaket, sweater, kaos kaki, gloves dll, rencananya akan beli di Kathmandu saja, karena dari hasil membaca sana-sini, membeli di Kathmandu jauh lebih murah harganya dan kita bisa mendapatkan barang-barang dengan kualitas yang lebih bagus walaupun merk lokal.
Berikut daftar barang yang kubawa untuk surviving selama 1 bulan di Nepal:
- 1 trekking pants (dipakai)
- 1 convertible pants (celana yang bisa dijadikan celana panjang/pendek)
- 1 shorts
- 3 warm leggings (1 dipakai)
- 1 kaos lengan panjang (dipakai)
- 3 t-shirt
- 3 tanktop (1 dipakai)
- pakaian dalam secukupnya
- 2 pasang line socks
- 1 kaos kaki katun tebal yang sudah molor dan butut banget (dipakai, rencananya akan dibuang)
- hiking boots (dipakai)
- 1 handuk microfiber
- 1 lap kanebo-kaneboan (for multipurpose use, bisa buat lap kamera/HP)
- 1 backpack yang bisa dilipat kecil (hadiah dari salah satu surferku, super useful)
- 1 beanie (dipakai)
- 1 topi hiking
- 1 sunglasses (aslinya kacamata buat sepedaan, bawa cuma buat jaga-jaga saja, nggak demen pake kacamata item)
- 1 buff
- 1 shawl (for multipurpose use)
- 1 bendera merah putih (wajib nih)
- 1 sabun cuci muka (untuk dipakai berdua)
- 1 sikat gigi
- 1 tube kecil pasta gigi (untuk dipakai berdua)
- 1 botol kecil shampoo (untuk dipakai berdua)
- 1 botol kecil conditioner (untuk dipakai berdua)
- 200 gram baking soda (aku sudah lama menggantikan fungsi sabun mandi dan deodoran dengan baking soda, so this is a must for me)
- pernak-pernik cutton buds, tooth picks, gunting kuku, pisau cukur, karet gelang, peniti
- 1 botol kecil sunscreen SPF 50+
- 1 wadah kecil petroleum jelly (for multipurpose use, termasuk untuk lip balm)
- 1/2 botol kecil virgin coconut oil (for multipurpose use)
- beberapa sachet lotion pengusir nyamuk
- 1 kompor camping
- 1 panci camping
- 1 container plastik bertutup untuk tempat makanan + sendok garpu plastik
- 2 gelas plastik
- beberapa sachet kecap manis + saus sambal
- korek api
- 1 water bladder (tempat air yang bentuknya seperti botol infus, diletakkan di dalam ransel, keluar lewat selang, jadi kalau mau minum tinggal langsung dari selang yang dipasang di dekat mulut)
- 1 water purifier (dibawa oleh suami) - ini beli online di AliExpress.com, kalau beli di online store di Indonesia yang termurah sekitar 900 ribuan, di AliExpress dapat dengan harga sekitar 580 ribuan. Alat ini berfungsi menyaring air agar bisa langsung diminum. Kapasitasnya kalau tidak salah sampai 1000 liter.)
- 1 botol air mineral kosong yang dipepatkan (for multipurpose use, bukan untuk tempat air minum)
- 1 headlamp
- 2 pak tissue basah + 1 pack tissue kering
- kantong plastik ukuran sedang (for multipurpose use)
- kantong plastik ukuran agak besar (bisa untuk tempat sandal/sepatu, baju kotor)
- kantong plastik sampah ukuran besar (rencananya pulang akan bawa bagasi, dimasukkan di kantong-kantong ini saja, beli isolasi dan tali di sana)
- 5 bungkus Indomie
- 250 gram kacang tanah panggang (homemade) ---> ini sumber energi yang bagus buat trekking
- 1 block cheddar cheese 175 gram ---> ini sumber energi yang bagus buat trekking
- snack untuk trekking (1 bar toblerone, 1 bar silver queen, 2 bar beng-beng maxx & 2 bar top jumbo untuk berdua) ---> ini sumber energi yang bagus buat trekking
- obat-obatan sesuai kebutuhan (essential oil, obat luka semacam betadine, plaster tape, hansaplast untuk kaki) (dibawa suami)
- 1 smartphone + charger + 2 spare kabel micro USB + earphone
- 1 powerbank + kabel micro USB
- 1 flash disk OTG (siapa tahu memory HP penuh, bisa dipindah dulu datanya)
- 2 tongsis (yang satu nitip dibawa suami)
- 1 universal electric plug + kabel cabang
- copy passport (untuk keperluan mengurus VOA, ijin trekking, dan membeli SIM Card)
- 6 pasfoto ukuran 3X4 (untuk keperluan mengurus VOA, ijin trekking, dan membeli SIM Card)
- printout flight tickets
- printout insurance certificate
- printout itinerary
- uang secukupnya (US dollar + rupiah)
- credit card + debit card
Wuih banyak banget ya ternyata!
Untuk bahan cair seperti shampoo dll, yang dibawa ukuran max 100ml, dan dijadikan satu di dalam kantong plastik yang bisa diseal. Ditambah suamiku membawa sabun padat 1 buah. Untuk barang-barang yang digunakan bersama, pembagiannya dibuat seadil mungkin, misalnya water purifier dan snack (berat total sekitar 1 kg) dibawa suami, sedangkan kompor panci dan alat makan (beratnya juga sekitar 1 kg) masuk ke backpackku.
Untuk cash, cards dan passport dimasukkan ke dalam dompet pinggangku. Untuk sandal dan running shoes tadinya sempat mau bawa, tapi dibatalkan karena sudah overweight, lebih baik beli sandal jepit di sana saja, toh mungkin hanya dipakai untuk jalan-jalan ringan atau ke kamar mandi saja.
Dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan ke Nepal ini, kami betul-betul banyak sekali dibantu oleh Andi. Siapa dia? Baca di cerita sebelumnya berjudul Bali - A Few Tips for Travellers ya...
Hiking boots dan backpack yang kupakai adalah kiriman dari Andi, kebetulan keduanya merk Jack Wolfskin, salah satu merk favoritku. Hiking boots dan backpack yang tadinya hendak dipakai suamiku juga pemberian dari Andi sekitar 2 tahun lalu, sampai beberapa hari menjelang keberangkatan suamiku mendapatkan lagi backpack baru yang lebih besar. Yang lama ukurannya hanya 40 liter, dan memang sudah cukup sesak diisi berbagai macam barang, masih belum lagi nanti apabila ditambah perlengkapan lain yang akan dibeli di Kathmandu. Water bladder, kantong sepatu waterproof, buff, topi hiking, ziploc plastic bags, money bag, travel pouch, portable stove, camping cooking set, headlamp, tanktop, microfibre towel, sampai liner socks, semuanya adalah kiriman dari Andi. Pada akhirnya ada beberapa item yang tidak vital yang tidak dibawa karena takut berlebihan beratnya, seperti dry bag yang kapasitasnya 10 liter dan waterproof shoes bagku.
Untuk persiapan fisik, apabila tidak ada kendala (seringnya kendalanya suami masih ngantuk atau males-malesan hahahaha) kami berusaha sesering mungkin berjalan kaki di pagi hari. Beberapa bulan terakhir aku melakukan sesi jalan - jogging sekuatnya. Selain itu, mendaki Gunung Batur, Gunung Ijen, dan Bukit Watudodol juga kami jadikan sebagai penambah latihan. Bukit Watudodol adalah sebuah bukit yang terletak di seberang pantai Watudodol. Walaupun jaraknya dekat, hanya sekitar 2 KM, namun rute menanjaknya cukup menantang, ditambah jalan setapaknya kebanyakan berupa bebatuan, jadi ini merupakan tempat yang ideal untuk latihan trekking. Sampai H-4 kami masih mendaki Bukit Watudodol dengan membawa backpack sesungguhnya yang akan dibawa ke Nepal. Ternyata cukup berat juga ya membawa beban lebih dari 10 kg di jalan setapak yang menanjak. Aku berhasil sampai ke puncak dengan waktu 22 menit, not bad lah mengingat beban yang kubawa tidak main-main beratnya. Entah nantinya bakal kuat atau tidak di rute yang sesungguhnya.
Kalau bagiku, melakukan trekking ini butuh semangat tinggi, tapi jangan kepedean. Kadang aku melihat orang yang dengan pedenya bilang, aku pasti bisa, nggak susah kok dsb, tapi faktanya malah cepat lelah dan putus asa dalam proses perjalanannya. Aku sendiri tipe orang yang cenderung kuatir dulu sebelum memulai, takut tidak akan kuat sampai akhir. Tapi kalau sudah mulai berjalan, semangat tinggi mengalahkan segalanya, dengan syarat perut jangan penuh, alias jangan makan berat-berat sebelum dan selama trekking. Pengalaman waktu mendaki di Tiki Trail menuju Ben Lomond di Queenstown, New Zealand, dengan perut yang penuh terisi 1 buah double cheese burger, aku merasa sangat lelah, tidak punya energi, berat untuk berjalan, dan merasa selalu kehausan. Padahal treknya hanya sekitar 1,5 jam saja. Makanya dari situ aku belajar bahwa tubuhku tidak akan bisa dipakai maksimal dengan perut kekenyangan. Terbukti kali terakhir mendaki Ijen dan Batur dengan perut kosong, justru kuat sampai di akhir tanpa merasa lelah sedikit pun. Mudah-mudahan nanti di Annapurna pun bisa melakukan yang terbaik, karena katanya setiap hari harus berjalan kaki 7-8 jam dengan rute yang naik turun.
Kalau bagiku, melakukan trekking ini butuh semangat tinggi, tapi jangan kepedean. Kadang aku melihat orang yang dengan pedenya bilang, aku pasti bisa, nggak susah kok dsb, tapi faktanya malah cepat lelah dan putus asa dalam proses perjalanannya. Aku sendiri tipe orang yang cenderung kuatir dulu sebelum memulai, takut tidak akan kuat sampai akhir. Tapi kalau sudah mulai berjalan, semangat tinggi mengalahkan segalanya, dengan syarat perut jangan penuh, alias jangan makan berat-berat sebelum dan selama trekking. Pengalaman waktu mendaki di Tiki Trail menuju Ben Lomond di Queenstown, New Zealand, dengan perut yang penuh terisi 1 buah double cheese burger, aku merasa sangat lelah, tidak punya energi, berat untuk berjalan, dan merasa selalu kehausan. Padahal treknya hanya sekitar 1,5 jam saja. Makanya dari situ aku belajar bahwa tubuhku tidak akan bisa dipakai maksimal dengan perut kekenyangan. Terbukti kali terakhir mendaki Ijen dan Batur dengan perut kosong, justru kuat sampai di akhir tanpa merasa lelah sedikit pun. Mudah-mudahan nanti di Annapurna pun bisa melakukan yang terbaik, karena katanya setiap hari harus berjalan kaki 7-8 jam dengan rute yang naik turun.
Untuk persiapan mental, selama kurang lebih 1 bulan terakhir, aku berusaha research dan mencari informasi sebanyak-banyaknya dari internet. Menonton video-video trekking dan pengalaman orang-orang yang trekking di Annapurna region, membaca kisah orang-orang yang pernah ke Nepal, mengikuti diskusi dari banyak group di Facebook tentang general backpacking, hiking, trekking, dan tentang Nepal tentunya. Selain itu aku juga mencari informasi mengenai tempat-tempat yang bisa kami datangi seusai trekking. Dari beberapa informasi yang aku peroleh dari seorang kenalan baru, namanya Max, orang Indonesia juga (ketemunya di group FB juga secara tidak sengaja), akhirnya kami memutuskan untuk menambah rute trekking. Yang tadinya hanya akan mencoba Annapurna Base Camp Trek, akhirnya diputuskan untuk menambah Poon Hill Trek dan Mardi Himal Trek. Banyak sekali informasi menarik dan sangat berguna yang diberikan oleh Max. Thank you so much Max, you really helped a lot!
Untuk melakukan trekking di Nepal, kita harus memiliki dua buah ijin, yaitu TIMS (Trekkers’ Information Management Systems) card dan ACAP (Annapurna Conservation Area Project) card. Dari informasi yang kuperoleh, untuk membuat TIMS card dan ACAP card ini biayanya masing-masing adalah NRs 2,000 (1 NRs setara kurang lebih 135 rupiah, atau gampangnya untuk mata uang dollar, US$ 1 setara dengan NRs 100). Jadi untuk satu kali trekking membutuhkan dana minimal NRs 4,000/orang (kurang lebih 540 ribu rupiah) untuk ijinnya saja. Dan apabila kita sudah di luar area, kalau mau masuk lagi akan harus membuat ijin baru lagi. Poon Hill Trek, Annapurna Base Camp Trek dan Mardi Himal masih berada dalam satu area, yaitu Annapurna Sanctuary, karenanya kami memutuskan untuk berusaha melakukan ketiganya sekali jalan demi pengiritan hehehehe...
Sebetulnya disarankan bagi first timer untuk menggunakan jasa guide, namun kami akan mencoba untuk trekking sendiri karena banyak juga yang menyebutkan rutenya tidak terlalu sulit dan bisa dilakukan tanpa guide maupun porter (pembawa barang). Untuk guide sendiri, biayanya mencapai US$ 25/day, dan porter US$ 20/day. Ada juga guide yang sekalian meau membawakan barang, kalau tidak salah biayanya mencapai US$ 30/day. Bagi kami ini termasuk cukup mahal, belum lagi setiap harinya kita akan menginap di tea house milik penduduk setempat dan membeli makan juga di tea house tersebut.
Seminggu terakhir menjelang keberangkatan, kami mempersiapkan detil-detil terakhir untuk perjalanan ini. Cetak fotocopy passport, pasfoto, polis asuransi, tiket, itinerary, dan persiapan minor lain yang diperlukan. Sementara itu aku sudah beberapa minggu mengalami gangguan gusi akibat gigi bungsuku, dan harus menjalani operasi cabut gigi bungsu di H-6 sebelum berangkat. Ngeri-ngeri sedap juga sih, takutnya waktu pergi masih sakit, tapi untungnya enggak deh... Operasi berjalan lancar, dan saat kepergian sudah bisa makan tanpa rasa sakit lagi ^_^
H-2, 30 Oktober 2017, aku sudah web check-in di Garuda dan Malindo Air untuk mempercepat proses check-in di bandara nantinya. Boarding pass sudah kudapatkan dan sekalian kucetak agar praktis. Malam harinya, kami mengadakan perpisahan dengan makan malam bersama dengan para karyawan di toko dan 2 pelajar yang sedang magang di tempat kami, sekaligus untuk memberikan instruksi-instruksi dan wejangan terakhir sebelum ditinggal. Mereka bertiga inilah yang selalunya paling berjasa apabila kami sedang travelling.
H-1, 31 Oktober 2017, adalah hari terakhir kami di Banyuwangi. Hari ini kami akan terbang ke Jakarta. Pagi hari kami masih menyempatkan datang ke toko, karena masih ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, Setelah itu, pengecekan terakhir pun dilakukan, E-ticket, uang cash, dokumen-dokumen yang akan diperlukan, mengisi penuh baterai-baterai kamera, HP, smart band, supaya tidak ada yang kelupaan. Total berat akhir backpackku adalah 10.4 kg, dan backpack suamiku 10.05 kg. Hmmm sudah terbayang betapa beratnya kalau dibawa trekking nantinya :((
Kami mempunyai seekor anjing rottweiler bernama Tyson, dan sepertinya Tyson merasa bahwa kami akan meninggalkannya untuk jangka waktu yang cukup lama. Mulai sehari sebelumnya, Tyson jadi sering masuk ke dalam rumah, padahal biasanya tidak pernah. Memang seharusnya tidak boleh, tapi di hari terakhir ini, kami ijinkan dia masuk. Wajahnya tampak murung dan banyak melamun di bawah meja dapur. Biasanya kalau kami akan pergi lama, Tyson memang sepertinya merasakan, dan selalu jadi lebih manja dan sering masuk ke dalam rumah hehehehe...
Siang harinya, sekitar jam 2.30 siang, kami diantar ke bandara Banyuwangi yang berjarak sekitar 18 KM dari rumah oleh sahabat keluarga kami, Tri. Mobil kami titipkan kepadanya untuk dirawat dan dipakai selama kami pergi.
Semenjak pagi, perasaanku sudah mulai sulit diungkapkan dengan kata-kata. Setengahnya super excited, setengahnya lagi agak takut-takut, kuatir tidak mampu melalui semua rintangan dan kondisi cuaca di Nepal yang pastinya jauh berbeda dengan di Banyuwangi. Hmmmm.... mudah-mudahan bisa deh.... Semangat! Semangat! ^_^
Kami sampai di bandara Banyuwangi jam 3 sore, lalu langsung menuju counter check-in. Ada 3 counter yang melayani check-in, dan satu counter diperuntukkan khusus bagi penumpang pesawat Garuda.
-----------------------------------
BANDARA BANYUWANGI adalah nama baru yang baru saja resmi disematkan bandara ini. Secara resmi pada 14 Oktober 2017, nama Bandara Blimbingsari berubah menjadi Bandara Banyuwangi yang berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KP 830 Tahun 2017. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas diubahnya nama Bandara Blimbingsari menjadi Bandara Banyuwangi, agar lebih melekat dengan daerah, selain itu juga pertimbangan lain yaitu penggunaan nama Banyuwangi dimaksudkan agar cara promosi lebih mudah. Terlebih dengan penyebutan nama bandara sebelumnya tampak kurang familiar.
Sebelumnya Bandara Banyuwangi bernama Bandara Blimbingsari dimana nama Blimbingsari adalah nama yang diambil dari nama desa letak dimana bandara ini berada, nama yang cukup tidak umum seperti kebanyakan nama bandara di Indonesia yang menggunakan nama pahlawan. Bandara Blimbingsari merupakan bandara komersial murni sipil yang asetnya dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, lokasinya berada di Desa Blimbingsari Kecamatan Rogojampi di pesisir pantai selat Bali. Bandara ini mulai dibangun tahun 2004 dengan panjang landas pacu awal 1.400 meter, selesai dengan kondisi bandara status kelas V akhirnya resmi dibuka pada tanggal 29 Desember 2010.
Prestasi yang diraih terbukti sangat bagus, salah satunya dalam tempo sekitar tiga tahun bisa langsung naik kelas dua strip, dari kelas V menjadi kelas III. Dimana umumnya bandara di Indonesia baru bisa naik status dari kelas V (bandara baru beroperasi) menjadi kelas IV dan naik menjadi kelas III setelah 20–25 tahun beroperasi. Dasar peraturannya Permenhub Nomor PM 40 Tahun 2014 tentang organisasi dan tata kerja kantor unit penyelenggara bandar udara tanggal 12 September 2014. Mayoritas bandara di Indonesia naik status dari kelas V (bandara baru beroperasi) menjadi kelas IV dan naik menjadi kelas III setelah 20–25 tahun beroperasi (JPNN, 2104).
Setelah resmi pertama kali dibuka, tiap tahun hampir selalu mengalami pengembangan yang sangat pesat di tangan Bupati H. Abdullah Azwar Anas, M.Si. Bandara Blimbingsari baru didesain oleh arsitek ternama nasional yaitu Andra Matin dan diklaim akan menjadi pertama sebagai Green Airport di Indonesia. Klaim itu berdasar karena telah memenuhi konsep Green Building yang murni terdiri dari 6 kriteria yaitu tepat guna lahan, efisiensi energi listrik dan cahaya, konservasi air, kenyamanan udara, siklus material, dan managemen lingkungan (Bachtiar, 2015).
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi ingin agar bandara ini statusnya naik menjadi kelas II dengan segera, maka tahun 2014 bersama Pemerintah Propinsi Jawa Timur menganggarkan dana sebesar 40 miliar melalui APBD untuk pengembangan gedung terminal penumpang. Luas gedung baru 5.000 meter persegi dengan kapasitas 250.000 penumpang per tahun dan dilengkapi fasilitas 10 bilik check in untuk mengakomodasi hingga lima maskapai penerbangan. Tahun 2015 pemerintah pusat memberikan bantuan anggaran pengembangan perluasan apron pesawat sebesar 14 miliar dan landasan pacu sebesar 51 miliar untuk pengembangan dari 1.800 meter menjadi 2.250 meter agar bandara mampu dapat didarati dan menampung pesawat jenis Bombardier CRJ 1000 dan Boeing 737-500 (Ningtyas, 2014).
Gedung terminal penumpang baru memenuhi konsep Green Building, diantaranya perangkat pendingin udara dan hampir tidak menggunakan material kaca. Desain interior gedung terminal dirancang sedikit sekat sedangkan dinding berupa kisi-kisi yang membuat sirkulasi udara berjalan lancar dan sinar matahari dapat leluasa masuk sehingga mengurangi penggunaan lampu. Empat kolam ikan di lantai dasar juga berperan kuat pada suhu ruang karena mampu menurunkan tekanan udara. (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015 : 76)
Bahan utama gedung, yaitu tiang dan dinding berasal dari kayu ulin bekas kapal dan dermaga yang tahan rayap. Batu lempeng asli Banyuwangi melapisi dinding dari kayu ulin. Kisi-kisi dan ornamen bangunan terbuat dari kayu jati yang menampilkan hiasan lokal Banyuwangi, Gajah Oling (Bachtiar, 2015)
Unsur budaya tidak terlepas dari desain gedung terminal penumpang, yaitu dengan mengadopsi bentuk penutup kepala pria suku Osing, udeng, sebagai desain atap. (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015 : 76). Selain itu yang menarik dari gedung bandara ini adalah di bagian atap terdapat taman dengan konsep roof garden yang ditanam rumput dan tanaman lokal.
Fungsi ruangan di gedung terminal baru:
- Rest Room, sebagai tempat mengadakan meeting para tamu dan penumpang agar tidak jauh-jauh ke kota;
- Ruang Khusus, sebagai tempat istirahat para tamu yang sedang menunggu koleganya yang akan datang atau yang sedang mengantarkan kerabatnya;
- Art Shop sebagai tempat oleh-oleh khas Banyuwangi;
- Cafe sebagai tempat santai sambil makan atau minum-minum
- Anjungan dan Kantor sebagai kantor maskapai penerbangan di lantai 2.
Fasilitas bandara ini dioperasikan oleh Pertamina dengan produk utama berupa bahan bakar Avtur dan Avgas. Pertamina menyediakan 2 unit Refueller dengan kapasitas masing-masing sebesar 12 kiloliter, 2 unit mobil bridger berkapasitas masing-masing 24 kiloliter, serta 1 unit trolley dispenser sehingga total stok Avtur yang ada di Bandar Udara Banyuwangi mencapai 48 kiloliter. Dua unit tangki timbun dengan masing-masing kapasitas sekitar 23 kiloliter sebagai fuel storage di Bandar Udara Blimbingsari. Tahun 2017 DPPU Blimbingsari mampu melayani 4 (empat) penerbangan perhari oleh 3 maskapai.
Untuk menuju ke Bandara Banyuwangi, kita bisa naik kendaraan pribadi, taxi, atau online taxi. Selain itu juga ada bus shuttle menuju bandara yang dikelola oleh DAMRI.
Rute Bandara Blimbingsari Banyuwangi – Pelabuhan Ketapang
Tarif : Rp. 20.000,-
Waktu Tempuh : ± 30 menit
Rute : Terminal Sritanjung->Stasiun Ketapang->Penyeberangan Ketapang ->Terminal Brawijaya-> Bandara Blimbingsari
Waktu Operasional : Mulai Pukul 07.00 WIB dari Ketapang, atau 3 jam sebelum jam keberangkatan pesawat.
Rute Bandara Blimbingsari Banyuwangi – Genteng
Tarif : Rp. 20.000,-
Waktu Tempuh : ± 30 menit
Rute : Terminal Genteng -> Jajag -> Srono -> Bandara Blimbingsari
Waktu Operasional : Mulai Pukul 07.00 WIB dari Genteng, atau 3 jam sebelum jam keberangkatan pesawat.
Woooh panjang ya penjelasannya... info di atas aku copy paste dari sini, supaya setidaknya yang belum pernah ke Banyuwangi jadi tahu sedikit banyak mengenai keberadaan bandara ini, dan tidak perlu menghabiskan waktu belasan jam di atas mobil untuk datang (terutama yang dari Jakarta) ^_^
-----------------------------------
Selesai check-in, kami melewati security tahap 1, lalu security tahap 2. Di security yang kedua ini, kompor camping yang kubawa dipertanyakan, jadi kubuka backpackku dan kutunjukkan kompornya, yang mana kemudian diijinkan untuk dibawa. Setelah itu barulah kami duduk dan menunggu di ruang tunggu bandara yang kecil ini.
Petugas-petugas di bandara Banyuwangi ini, mulai dari petugas counter sampai petugas security, semuanya baik-baik dan ramah, tidak ada yang sok galak.
Saat itu keadaan di ruang tunggu cukup ramai, mungkin ada sekitar 25-30 orang yang sedang menunggu juga. Makin lama jumlahnya bertambah lagi beberapa orang.
Pesawat yang dari Jakarta sepertinya terlambat datang, jam 3.30 sore baru mendarat, dan penerbangan selanjutnya jadi agak terlambat juga. Jam 4 sore barulah kami mulai boarding ke dalam pesawat. Di bandara ini, untuk boarding tidak ada jembatan atau busnya. Semua berjalan kaki menuju ke pesawat yang terparkir di luar. Apabila hujan, sudah disediakan payung-payung di dekat counter boarding. Di counter ini juga disediakan permen dan surat kabar, yang bebas diambil.
Tepat jam 4.17 sore, pesawat Garuda Bombardier CRJ-1000 dengan kode penerbangan GA265 yang kami naiki mulai jalan di runway, dan setelah dipacu dengan kecepatan tinggi, tidak lama kemudian lepas landas meninggalkan daratan Banyuwangi. Beberapa menit kemudian, kami sudah melewati Selat Bali. Kapal-kapal yang sedang menyeberang tampak begitu kecil, berserakan nun jauh di bawah sana. Sementara itu, para pramugari mulai membagikan snack dan minuman. Snacknya berupa roll cake dan roti isi ayam, sedangkan minumannya boleh memilih antara teh, susu, jus jeruk, dan jus apel.
Setelah perutku cukup kenyang (sebelumnya agak lapar nih hehehehe), aku membaca majalah yang ada di pesawat untuk mengisi waktu.
Tepat jam 5.45 petang, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, lalu sampai di tempat parkir pesawatnya jam 5.55 petang. Jam 6 tepat, bus shuttle membawa kami ke Terminal 3. Dari situ kami segera berjalan menuju pintu keluar, karena kami sudah dijemput oleh driver sahabat suamiku sejak kecil.
Kami menuju ke rumah Yen Yen, sahabat suamiku ini, di daerah Gading Serpong. Perjalanan naik mobil ini juga relatif lancar, sampai menemui satu kemacetan panjang mulai di depan area Puri Indah Mall. Kalau sudah macet begini, kelihatan aslinya deh, orang-orang saling membunyikan klakson panjang, tidak ada yang mau mengalah atau memberi jalan. Walaupun sebagian besar melewati jalan tol, masih terlihat banyak gedung tinggi dan mall di luar jalan tol. Memasuki area Serpong, sepanjang jalan di kanan kiri tampak toko-toko besar, tempat-tempat makan, dan tentunya lebih banyak lagi mall! Belum ada yang membuatku terkesan, bahkan rasanya ingin segera berangkat esok hari. Kami baru sampai jam 7.30 malam. Kalau dihitung-hitung, perjalanan naik mobil sejauh kurang lebih 30 KM ini justru lebih lama daripada perjalanan naik pesawat yang menempuh jarak lebih dari 1.000 KM. Selain itu, AC di dalam mobil juga jauh lebih dingin daripada AC di pesawat hehehehe... Jakarta oh Jakarta :(
Sampai di rumah Yen Yen, kami langsung diajak makan malam bersama keluarganya. Setelah itu kami mengobrol di teras depan. Cukup lama juga kami mengobrol, sampai jam 9 aku mandi terlebih dulu agar segar. Setelah itu kami masih mengobrol lagi, sampai kemudian jam 10 malam aku pamit tidur dulu. Baru jam 11 malam aku bisa tidur.
Hari ini cukup melelahkan, namun aku senang dan bersyukur dengan semua yang sudah kulalui hari ini. Semoga aku siap untuk esok hari, yang pasti akan lebih melelahkan daripada hari ini...
H-1, 31 Oktober 2017, adalah hari terakhir kami di Banyuwangi. Hari ini kami akan terbang ke Jakarta. Pagi hari kami masih menyempatkan datang ke toko, karena masih ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, Setelah itu, pengecekan terakhir pun dilakukan, E-ticket, uang cash, dokumen-dokumen yang akan diperlukan, mengisi penuh baterai-baterai kamera, HP, smart band, supaya tidak ada yang kelupaan. Total berat akhir backpackku adalah 10.4 kg, dan backpack suamiku 10.05 kg. Hmmm sudah terbayang betapa beratnya kalau dibawa trekking nantinya :((
Kami mempunyai seekor anjing rottweiler bernama Tyson, dan sepertinya Tyson merasa bahwa kami akan meninggalkannya untuk jangka waktu yang cukup lama. Mulai sehari sebelumnya, Tyson jadi sering masuk ke dalam rumah, padahal biasanya tidak pernah. Memang seharusnya tidak boleh, tapi di hari terakhir ini, kami ijinkan dia masuk. Wajahnya tampak murung dan banyak melamun di bawah meja dapur. Biasanya kalau kami akan pergi lama, Tyson memang sepertinya merasakan, dan selalu jadi lebih manja dan sering masuk ke dalam rumah hehehehe...
Siang harinya, sekitar jam 2.30 siang, kami diantar ke bandara Banyuwangi yang berjarak sekitar 18 KM dari rumah oleh sahabat keluarga kami, Tri. Mobil kami titipkan kepadanya untuk dirawat dan dipakai selama kami pergi.
Semenjak pagi, perasaanku sudah mulai sulit diungkapkan dengan kata-kata. Setengahnya super excited, setengahnya lagi agak takut-takut, kuatir tidak mampu melalui semua rintangan dan kondisi cuaca di Nepal yang pastinya jauh berbeda dengan di Banyuwangi. Hmmmm.... mudah-mudahan bisa deh.... Semangat! Semangat! ^_^
Kami sampai di bandara Banyuwangi jam 3 sore, lalu langsung menuju counter check-in. Ada 3 counter yang melayani check-in, dan satu counter diperuntukkan khusus bagi penumpang pesawat Garuda.
-----------------------------------
BANDARA BANYUWANGI adalah nama baru yang baru saja resmi disematkan bandara ini. Secara resmi pada 14 Oktober 2017, nama Bandara Blimbingsari berubah menjadi Bandara Banyuwangi yang berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KP 830 Tahun 2017. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas diubahnya nama Bandara Blimbingsari menjadi Bandara Banyuwangi, agar lebih melekat dengan daerah, selain itu juga pertimbangan lain yaitu penggunaan nama Banyuwangi dimaksudkan agar cara promosi lebih mudah. Terlebih dengan penyebutan nama bandara sebelumnya tampak kurang familiar.
Sebelumnya Bandara Banyuwangi bernama Bandara Blimbingsari dimana nama Blimbingsari adalah nama yang diambil dari nama desa letak dimana bandara ini berada, nama yang cukup tidak umum seperti kebanyakan nama bandara di Indonesia yang menggunakan nama pahlawan. Bandara Blimbingsari merupakan bandara komersial murni sipil yang asetnya dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, lokasinya berada di Desa Blimbingsari Kecamatan Rogojampi di pesisir pantai selat Bali. Bandara ini mulai dibangun tahun 2004 dengan panjang landas pacu awal 1.400 meter, selesai dengan kondisi bandara status kelas V akhirnya resmi dibuka pada tanggal 29 Desember 2010.
Prestasi yang diraih terbukti sangat bagus, salah satunya dalam tempo sekitar tiga tahun bisa langsung naik kelas dua strip, dari kelas V menjadi kelas III. Dimana umumnya bandara di Indonesia baru bisa naik status dari kelas V (bandara baru beroperasi) menjadi kelas IV dan naik menjadi kelas III setelah 20–25 tahun beroperasi. Dasar peraturannya Permenhub Nomor PM 40 Tahun 2014 tentang organisasi dan tata kerja kantor unit penyelenggara bandar udara tanggal 12 September 2014. Mayoritas bandara di Indonesia naik status dari kelas V (bandara baru beroperasi) menjadi kelas IV dan naik menjadi kelas III setelah 20–25 tahun beroperasi (JPNN, 2104).
Setelah resmi pertama kali dibuka, tiap tahun hampir selalu mengalami pengembangan yang sangat pesat di tangan Bupati H. Abdullah Azwar Anas, M.Si. Bandara Blimbingsari baru didesain oleh arsitek ternama nasional yaitu Andra Matin dan diklaim akan menjadi pertama sebagai Green Airport di Indonesia. Klaim itu berdasar karena telah memenuhi konsep Green Building yang murni terdiri dari 6 kriteria yaitu tepat guna lahan, efisiensi energi listrik dan cahaya, konservasi air, kenyamanan udara, siklus material, dan managemen lingkungan (Bachtiar, 2015).
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi ingin agar bandara ini statusnya naik menjadi kelas II dengan segera, maka tahun 2014 bersama Pemerintah Propinsi Jawa Timur menganggarkan dana sebesar 40 miliar melalui APBD untuk pengembangan gedung terminal penumpang. Luas gedung baru 5.000 meter persegi dengan kapasitas 250.000 penumpang per tahun dan dilengkapi fasilitas 10 bilik check in untuk mengakomodasi hingga lima maskapai penerbangan. Tahun 2015 pemerintah pusat memberikan bantuan anggaran pengembangan perluasan apron pesawat sebesar 14 miliar dan landasan pacu sebesar 51 miliar untuk pengembangan dari 1.800 meter menjadi 2.250 meter agar bandara mampu dapat didarati dan menampung pesawat jenis Bombardier CRJ 1000 dan Boeing 737-500 (Ningtyas, 2014).
Gedung terminal penumpang baru memenuhi konsep Green Building, diantaranya perangkat pendingin udara dan hampir tidak menggunakan material kaca. Desain interior gedung terminal dirancang sedikit sekat sedangkan dinding berupa kisi-kisi yang membuat sirkulasi udara berjalan lancar dan sinar matahari dapat leluasa masuk sehingga mengurangi penggunaan lampu. Empat kolam ikan di lantai dasar juga berperan kuat pada suhu ruang karena mampu menurunkan tekanan udara. (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015 : 76)
Bahan utama gedung, yaitu tiang dan dinding berasal dari kayu ulin bekas kapal dan dermaga yang tahan rayap. Batu lempeng asli Banyuwangi melapisi dinding dari kayu ulin. Kisi-kisi dan ornamen bangunan terbuat dari kayu jati yang menampilkan hiasan lokal Banyuwangi, Gajah Oling (Bachtiar, 2015)
Unsur budaya tidak terlepas dari desain gedung terminal penumpang, yaitu dengan mengadopsi bentuk penutup kepala pria suku Osing, udeng, sebagai desain atap. (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015 : 76). Selain itu yang menarik dari gedung bandara ini adalah di bagian atap terdapat taman dengan konsep roof garden yang ditanam rumput dan tanaman lokal.
Fungsi ruangan di gedung terminal baru:
- Rest Room, sebagai tempat mengadakan meeting para tamu dan penumpang agar tidak jauh-jauh ke kota;
- Ruang Khusus, sebagai tempat istirahat para tamu yang sedang menunggu koleganya yang akan datang atau yang sedang mengantarkan kerabatnya;
- Art Shop sebagai tempat oleh-oleh khas Banyuwangi;
- Cafe sebagai tempat santai sambil makan atau minum-minum
- Anjungan dan Kantor sebagai kantor maskapai penerbangan di lantai 2.
Fasilitas bandara ini dioperasikan oleh Pertamina dengan produk utama berupa bahan bakar Avtur dan Avgas. Pertamina menyediakan 2 unit Refueller dengan kapasitas masing-masing sebesar 12 kiloliter, 2 unit mobil bridger berkapasitas masing-masing 24 kiloliter, serta 1 unit trolley dispenser sehingga total stok Avtur yang ada di Bandar Udara Banyuwangi mencapai 48 kiloliter. Dua unit tangki timbun dengan masing-masing kapasitas sekitar 23 kiloliter sebagai fuel storage di Bandar Udara Blimbingsari. Tahun 2017 DPPU Blimbingsari mampu melayani 4 (empat) penerbangan perhari oleh 3 maskapai.
Untuk menuju ke Bandara Banyuwangi, kita bisa naik kendaraan pribadi, taxi, atau online taxi. Selain itu juga ada bus shuttle menuju bandara yang dikelola oleh DAMRI.
Rute Bandara Blimbingsari Banyuwangi – Pelabuhan Ketapang
Tarif : Rp. 20.000,-
Waktu Tempuh : ± 30 menit
Rute : Terminal Sritanjung->Stasiun Ketapang->Penyeberangan Ketapang ->Terminal Brawijaya-> Bandara Blimbingsari
Waktu Operasional : Mulai Pukul 07.00 WIB dari Ketapang, atau 3 jam sebelum jam keberangkatan pesawat.
Rute Bandara Blimbingsari Banyuwangi – Genteng
Tarif : Rp. 20.000,-
Waktu Tempuh : ± 30 menit
Rute : Terminal Genteng -> Jajag -> Srono -> Bandara Blimbingsari
Waktu Operasional : Mulai Pukul 07.00 WIB dari Genteng, atau 3 jam sebelum jam keberangkatan pesawat.
Woooh panjang ya penjelasannya... info di atas aku copy paste dari sini, supaya setidaknya yang belum pernah ke Banyuwangi jadi tahu sedikit banyak mengenai keberadaan bandara ini, dan tidak perlu menghabiskan waktu belasan jam di atas mobil untuk datang (terutama yang dari Jakarta) ^_^
-----------------------------------
Selesai check-in, kami melewati security tahap 1, lalu security tahap 2. Di security yang kedua ini, kompor camping yang kubawa dipertanyakan, jadi kubuka backpackku dan kutunjukkan kompornya, yang mana kemudian diijinkan untuk dibawa. Setelah itu barulah kami duduk dan menunggu di ruang tunggu bandara yang kecil ini.
Petugas-petugas di bandara Banyuwangi ini, mulai dari petugas counter sampai petugas security, semuanya baik-baik dan ramah, tidak ada yang sok galak.
Saat itu keadaan di ruang tunggu cukup ramai, mungkin ada sekitar 25-30 orang yang sedang menunggu juga. Makin lama jumlahnya bertambah lagi beberapa orang.
Pesawat yang dari Jakarta sepertinya terlambat datang, jam 3.30 sore baru mendarat, dan penerbangan selanjutnya jadi agak terlambat juga. Jam 4 sore barulah kami mulai boarding ke dalam pesawat. Di bandara ini, untuk boarding tidak ada jembatan atau busnya. Semua berjalan kaki menuju ke pesawat yang terparkir di luar. Apabila hujan, sudah disediakan payung-payung di dekat counter boarding. Di counter ini juga disediakan permen dan surat kabar, yang bebas diambil.
Tepat jam 4.17 sore, pesawat Garuda Bombardier CRJ-1000 dengan kode penerbangan GA265 yang kami naiki mulai jalan di runway, dan setelah dipacu dengan kecepatan tinggi, tidak lama kemudian lepas landas meninggalkan daratan Banyuwangi. Beberapa menit kemudian, kami sudah melewati Selat Bali. Kapal-kapal yang sedang menyeberang tampak begitu kecil, berserakan nun jauh di bawah sana. Sementara itu, para pramugari mulai membagikan snack dan minuman. Snacknya berupa roll cake dan roti isi ayam, sedangkan minumannya boleh memilih antara teh, susu, jus jeruk, dan jus apel.
Setelah perutku cukup kenyang (sebelumnya agak lapar nih hehehehe), aku membaca majalah yang ada di pesawat untuk mengisi waktu.
Tepat jam 5.45 petang, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, lalu sampai di tempat parkir pesawatnya jam 5.55 petang. Jam 6 tepat, bus shuttle membawa kami ke Terminal 3. Dari situ kami segera berjalan menuju pintu keluar, karena kami sudah dijemput oleh driver sahabat suamiku sejak kecil.
Kami menuju ke rumah Yen Yen, sahabat suamiku ini, di daerah Gading Serpong. Perjalanan naik mobil ini juga relatif lancar, sampai menemui satu kemacetan panjang mulai di depan area Puri Indah Mall. Kalau sudah macet begini, kelihatan aslinya deh, orang-orang saling membunyikan klakson panjang, tidak ada yang mau mengalah atau memberi jalan. Walaupun sebagian besar melewati jalan tol, masih terlihat banyak gedung tinggi dan mall di luar jalan tol. Memasuki area Serpong, sepanjang jalan di kanan kiri tampak toko-toko besar, tempat-tempat makan, dan tentunya lebih banyak lagi mall! Belum ada yang membuatku terkesan, bahkan rasanya ingin segera berangkat esok hari. Kami baru sampai jam 7.30 malam. Kalau dihitung-hitung, perjalanan naik mobil sejauh kurang lebih 30 KM ini justru lebih lama daripada perjalanan naik pesawat yang menempuh jarak lebih dari 1.000 KM. Selain itu, AC di dalam mobil juga jauh lebih dingin daripada AC di pesawat hehehehe... Jakarta oh Jakarta :(
Sampai di rumah Yen Yen, kami langsung diajak makan malam bersama keluarganya. Setelah itu kami mengobrol di teras depan. Cukup lama juga kami mengobrol, sampai jam 9 aku mandi terlebih dulu agar segar. Setelah itu kami masih mengobrol lagi, sampai kemudian jam 10 malam aku pamit tidur dulu. Baru jam 11 malam aku bisa tidur.
Hari ini cukup melelahkan, namun aku senang dan bersyukur dengan semua yang sudah kulalui hari ini. Semoga aku siap untuk esok hari, yang pasti akan lebih melelahkan daripada hari ini...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment