DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Monday, October 9, 2017

BEHIND THE SCENE OF MOUNT BATUR HIKE


KISAH DI BALIK PENDAKIAN GUNUNG BATUR, BALI

BALI, 30 SEPTEMBER 2017


Salah satu tujuan utama kami ke Bali akhir bulan September lalu adalah untuk mendaki Gunung Batur. Masih ada satu lagi sebetulnya, yaitu ke Pura Luhur Lempuyang, yang katanya harus naik lebih dari 1.800 anak tangga. Sayangnya Pura ini ditutup aksesnya karena aktivitas Gunung Agung yang meningkat menjadi awas.


Jadilah kami berencana untuk naik ke Gunung Batur tanpa guide kalau memang memungkinkan. Kami sendiri menginap di Kintamani, karena diberi voucher untuk menginap for free di kawasan ini.



Untuk ke penginapan (mau ngomong hotel, tapi sudah nggak layak disebut hotel), ternyata jalannya menurun cukup curam, sedangkan kondisi jalan rusak parah. Bukan hanya berlubang-lubang, tapi tertutup debu material berwarna putih, plus banyak kerikil dan pasir. Baru mau menuju ke penginapan saja sudah seram sih, dan banyak pula truk yang sedang naik dari arah sebaliknya.



Sampai di penginapan, pagarnya tertutup, jadi aku turun dan membukanya sendiri, karena tidak dikunci. Setelah mobil masuk, kami pun check-in, dilayani oleh seorang staff yang ramah. Kami sudah dibookingkan kamar oleh teman kami via Traveloka. Kata staffnya, belum ada pemberitahuan yang masuk soal bookingan kami, tapi dia percaya kepada kami, dan cuma disuruh mengisi data diri dan tanda tangan.



Kami pun diantarkan ke kamar oleh staff tersebut, yang letaknya agak jauh dari lobby depan dan harus menuruni beberapa puluh anak tangga. Kami memilih kamar yang double bed (di sebelahnya ada yang twin bed).



Seperti biasa, kalau baru masuk kamar, aku cek-cek dulu fasilitas dan kondisinya. Kasurnya king bed dan masih oke lah, walaupun duvetnya sudah tidak tampak baru lagi. Kamar mandi pun lumayan, ada handuk biarpun agak kusam, toilet duduk, wastafel, dan shower room yang tampak modern karena sudah pakai model box. LCD TV ada digantung di sebelah atas.

Yang pasti tidak ada electric kettle, tidak ada free kopi dan teh, dan bahkan tidak ada air minum juga :( Ya sudahlah, karena kami masih ada persediaan air minum dari penginapan sebelumnya di Ubud.





Oh, tidak ada wifi juga hehehe... jadi harus pake kuota sendiri, nggak masalah karena kuotaku masih berlimpah. Yang jadi masalah, sinyal telkomsel di tempat ini juga nggak stabil, kadang yang nongol cuma 3G. Sembari istirahat, aku browsing dulu mengenai pendakian ke Gunung Batur ini. Sempat posting di grup lokal, dan ada yang menyarankan jangan naik karena bahaya. Sedangkan staff penginapan tadi mengatakan masih aman, bahkan pihak penginapan menyediakan jasa tour kalau kita mau.

Untuk open tour, share dengan grup lain, biayanya IDR 450K/pax. Kalau mau private tour, ditangani oleh pihak penginapan sendiri, biayanya IDR 650K/pax. Wah, lumayan mahal juga nih, pikirku...


Makanya aku cari info sebanyak-banyaknya di internet. Dari beberapa yang kubaca, ada yang memberikan penjelasan cukup lengkap, mulai titik start sampai biaya-biayanya. Kalau turis domestik harga tiket masuknya hanya IDR 10K (kalau turis asing IDR 100K), dan tidak harus menggunakan jasa pemandu/guide. Sedangkan turis asing wajib menggunakan jasa guide, dengan tarif IDR 400K (untuk 1-4 orang). Ini sudah peraturan dan tarif resmi, karena bayar jasa guidenya memang di pos pembelian tiket.



Jadi kami memutuskan untuk melihat dulu seberapa jauh basecamp-nya, seberapa sulit medan untuk menuju basecamp (karena harus menuju ke sana saat masih gelap gulita), dan bagaimana situasi di basecamp. Karena masih panas sekali, kami menunggu sampai cuaca tidak terlalu panas.



Staff yang menerima kami check-in tadi sempat ada di sekitar kamar, jadi kuajak ngobrol. Intinya dia cerita bahwa hotel ini dulunya ramai sekali, bahkan sampai menolak tamu yang akan check-in karena selalu penuh. Tapi semenjak adanya proyek perbaikan jalan di bawah, debu material beterbangan kemana-mana, dan menutupi seluruh area ini hingga putih dan berdebu semuanya. Katanya hanya tinggal menunggu waktu saja sampai tempat ini gulung tikar. Sudah berkali-kali pihak pemilik mengajukan complain kepada pemerintah setempat, namun belum ada tindakan lebih lanjut. Hmmm... kasihan juga sebetulnya ya...



Sembari menunggu waktu, kami makan siang dulu (sudah masak dulu waktu di Ubud), dan selesai makan, kami jalan-jalan di seputaran penginapan ini. Sepertinya kami berdua merupakan satu-satunya tamu untuk hari ini (tapi kemudian datang couple dari Jerman yang mau naik ke Gunung Batur juga, tapi mereka sudah sewa tour sendiri).

Kondisi umum penginapan ini, secara keselurahan tampak tidak terawat lagi dan penuh dengan debu material. Pohon-pohon tampak putih semua daun-daunnya. Kemudian aku melihat seorang bapak yang sedang duduk santai, jadi kusapa. Ternyata orangnya malah ngajak ngobrol panjang lebar. Beliau ini salah satu pekerja proyek juga di daerah tersebut. Proyek yang dikerjakan adalah pembangunan dan perbaikan jalan. Katanya truk-truk yang setiap saat lewat di jalan depan penginapan ini kalau sore sudah berhenti, jadi aman. Lalu si bli ini banyak cerita soal anjing, karena dia punya beberapa pitbull yang sering ikut lomba di mana-mana dan katanya sering juara. Ngomongin soal tattoo juga, karena dia melihat kami bertattoo, intinya sih menawarkan jasa tattoo di saudaranya hehehehe...





Setelah agak lama ngobrol, kami berpamitan, lalu tidak lama kemudian kami coba ke lobby dan cari sewaan sepeda motor. Di dekat situ tidak ada sewaan sepeda motor, jadi aku membujuk si bli staff penginapan (orangnya lain dengan yang pertama, tapi ramah juga, namanya bli Ketut) supaya mau meminjamkan sepeda motornya kepada kami. Ternyata boleh hehehe.... dan bli Ketut nggak menarget biayanya, katanya terserah kami saja. Wah, jarang lho di Bali ada orang yang seperti ini ^_^



Berdasarkan blog yang aku baca, kami mendapatkan map untuk ke arah titik awal pendakian. Setelah hampir satu jam naik motor melewati jalan-jalan yang kecil, banyak tikungan tajam dan cenderung menurun, sampailah kami di jalan yang belum diaspal sama sekali. Dan ternyata jalan ini berujung buntu, ada rumah di ujungnya yang sedang dalam tahap pembangunan.






Maka aku pun turun dan bertanya kepada sang tukang yang sedang bertengger di atap bangunan, apakah ini betul jalan untuk naik ke Gunung Batur. Sang tukang kemudian memanggil seorang penduduk lokal, yang katanya bekerja sebagai guide untuk pendakian Gunung Batur. Namanya bli Made Suka, orangnya masih muda.

Menurutnya, bisa saja langsung naik dari tempat ini, bahkan bisa naik motor dulu sampai ke pos, sehingga jalan kakinya lebih sedikit. Kalau lewat pos utama, kami sudah kelewatan.
Karena aku masih ragu-ragu mau pakai guide atau tidak, aku bertanya berapa tarifnya kalau kami pakai jasanya. Dijawabnya 400 ribu rupiah, disamakan dengan tarif turis asing. Padahal aku baca kalau turis lokal biasanya hanya ditarik IDR 75K per orang. Setelah ditawar-tawar, tetap nggak boleh juga, jadi aku minta nomor HPnya saja, siapa tahu jadi, kami akan hubungi dia malam harinya.


Dari situ kami kembali ke arah datang, dan setelah kurang lebih 6 KM, tampaklah papan petunjuk menuju ke area parkir/basecamp. Beberapa menit kemudian sampailah kami di lokasi yang ada lapangannya luas dengan banyak warung di sekitarnya. Aku bertanya kepada seorang ibu yang sedang berada di depan warungnya, dan beliau membenarkan bahwa inilah lokasi awal di mana umumnya orang mulai naik ke Gunung Batur.



Setelah mengetahui lokasi tepatnya, kami pun kembali lagi ke penginapan. Jaraknya sebetulnya hanya sekitar 10 KM saja, tapi karena jalannya yang agak berbahaya, 30 menitan baru sampai ke penginapan. Saat itu sudah sekitar jam 5.30 petang, dan udara mulai terasa dingin.



Kami menemui bli Ketut pemilik motor, dan bertanya apakah boleh kalau motornya disewa sampai besoknya, dan katanya boleh. Dan seperti sebelumnya, waktu ditanya berapa sewanya, katanya terserah saja. Jadi kami beri IDR 70K dibayar saat itu juga, karena besok paginya bli Ketut tidak akan ada di tempat saat kami akan check-out.



Setelah itu kami lebih banyak bersantai dan mempersiapkan pakaian dan bekal snack yang akan kami bawa untuk mendaki. Sempat juga memotret sunset dari area resto penginapan ini, yang viewnya memang langsung Gunung Batur di depannya, indah sekali...






Setelah aku masak dengan bahan dan peralatan seadanya, kami pun makan malam, mandi, dan  jam 8 malam kami sudah tidur. Oya, waktu mandi, ternyata air panasnya tidak menyala, air yang keluar tetap dingin, jadilah mandi dengan air dingin di dalam udara yang dingin. Terus saluran air keluar dari wastafel juga seperti terhambat, keluarnya lambat sekali. Di toiletnya pun tidak ada toilet showernya, sedangkan shower dari shower box panjangnya kurang untuk dipakai di toilet, jadilah pakai botol bekas air mineral untuk suplai air seperti di New Zealand saja :(



Jam 2 pagi aku sudah terbangun, sempat ngopi dulu, baru jam 2.45 pagi pak boss bangun. Setelah cuci muka (dengan air dingin tentunya) dan selesai bersiap-siap, jam 3.30 pagi kami berangkat dari penginapan menuju ke basecamp.



Ternyata truk-truk yang melewati penginapan ini jalan terus selama 24 jam, dari malam sampai subuh saat berangkat ini, masih terus berseliweran truk-truk yang hendak naik menuju ke jalan utama. Untungnya waktu mau keluar naik motor pas tidak terlalu rame, jadi lumayan lancar.



Sampai di basecamp sekitar jam 4 pagi, dan cukup banyak kelompok-kelompok turis asing yang sudah berkumpul dengan guidenya masing-masing. Saat aku ke pos tempat membeli tiket, ditanya juga, apa mau pakai guide, dan kujawab nggak perlu. Waktu mau bayar buat beli tiket, katanya tiket untuk turis lokal habis, dan suruh besok aja. Mau dibayar dulu juga mereka nggak mau terima. Mungkin karena dianggap uang receh jadi nggak penting. Ya sudah kalau begitu hehehehe...



Setelah melepas jaket, ke toilet, dan mengepaskan panjang trekking poleku,kami pun mulai jalan jam 4.30 pagi, mengikuti salah satu rombongan terakhir turis asing bersama guide mereka.



Awal perjalanan ini sebetulnya relatif landai, namun jalannya berpasir, penuh kerikil, dan bebatuan, jadi kadang agak berat saat menginjak pasir yang lunak, dan kadang tersandung batuan. Setelah itu kadang-kadang medannya seperti pematang sawah, sempit (hanya muat 1 orang lewat), berpasir tebal, dan di kanan kirinya seperti rumput yang tinggi-tinggi.

Perlu diingat kondisinya masih gelap gulita, cahaya hanya berasal dari headlamp atau senter yang kita bawa sendiri, sementara mata konsentrasi melihat jalan di depan kaki, jadi udah nggak sempat tengok kanan kiri. Hanya sesekali melihat di salah satu sisi bentuknya seperti kebun pohon cabe hehehehe...


Sempat juga waktu masih agak awal, ada orang berboncengan naik sepeda motor melewati kami, tapi lalu berbelok ke kiri, masuk ke jalan lain. Belakangan waktu pulang baru tahu kalau itu adalah jalan pintas kalau mau naik sepeda motor sampai di pos pertama.



Setelah itu medannya mulai lebih kasar dan menanjak, anggaplah 30-35 derajat, dan mulai banyak batu-batu besar serta kerikil. Sekitar 30 menit berjalan tanpa berhenti, barulah kami sampai di pos pertama. Tempat ini seperti lapangan yang luas dan datar. Ada sebuah warung yang menjajakan minuman dan snack di tempat ini.



Perjalanan dilanjutkan, dengan medan full batu-batu yang besar dan kadang mudah lepas, kerikil-kerikil kasar, dan sesekali pasir. Tanjakannya juga lebih terjal, mungkin sekitar 45-50 derajat deh... Di sini mulai banyak tempat di mana kita harus melangkahkan kaki lebih hati-hati, dan seringkali harus melangkah naik ke batu yang tingginya mencapai 30-40cm.

Jalannya juga sudah agak sempit, jadi ya satu-persatu juga kalau jalan. Eh di medan ini kadang tampak beberapa ekor anjing, kadang mereka bertengkar sendiri di tengah jalan, sampai ada beberapa turis yang takut lewat.
Ada suatu saat, waktu pak boss tampaknya mulai lelah, ada anjing putih yang melewatinya. Aku bilang, eh ada anjing tuh! Pak boss bilang, iya nih jadi malu, kalah sama si doggie... hahahaha...


Mulai medan batu-batu yang agak terjal ini, sang guide berhenti beberapa kali jika menemukan tempat yang agak lapang, memberikan kesempatan untuk minum dan istirahat supaya orang-orang yang mengikutinya tidak kelelahan.

Karena kami tidak banyak istirahat, akhirnya kami malah mendahului rombongan ini, dan sempat bertemu dengan rombongan-rombongan lain yang mungkin sudah jalan lebih dulu. Sempat juga waktu istirahat, bertemu dengan seorang perempuan muda dari Belanda (female solo traveller) dengan guidenya yang perempuan juga. Sempat ngobrol dengan guidenya yang bernama Cindy.


Pada umumnya, kalau kami bertemu dengan rombongan turis dengan guidenya, si guide akan bertanya, dari mana, berapa orang, dan guidenya siapa. Kalau sudah tahu kami turis lokal biasanya diam saja, mungkin sebetulnya kurang senang kami tidak pakai jasa guide, tapi mereka juga tidak bisa melarang. Baru dengan Cindy ini yang pertama mengajak kami ngobrol dengan ramah setelah tahu kami turis lokal tanpa guide. Waktu berjalan pulang juga ternyata ada beberapa guide yang cukup ramah sih, biasanya yang muda-muda juga.



Kalau kami istirahat itu bukan berarti duduk-duduk santai, tapi hanya berdiri, mungkin sambil minum sedikit air, dan waktunya hanya sekitar 2-3 menit. Yang penting ada jeda sesaat untuk mengambil nafas panjang.



Tahap terakhir pendakian ini berupa batu-batu cadas yang besar-besar, beberapa tidak stabil, jadi aku sudah tidak bisa lagi pakai trekking pole, karena justru membebani tangan untuk naik. Jadi tanpa dilipat, aku gantungkan saja strap kedua trekking poleku di tangan kiri. Sempat mikir juga, nanti turunnya gimana ya, karena biasanya jalan turun lebih licin dan berbahaya. Tanjakannya bisa dibilang terjal, mungkin sekitar 50-60 derajat, dan di beberapa puluh meter terakhir, karena tidak ada yang berjalan di depan kami lagi, pak boss yang di etape terakhir ini berjalan di depan, ternyata salah pilih jalur bok! Tanjakannya mencapai 60-70 derajat. Buat aku nggak berat sih, karena jalannya merangkak, pakai 2 tangan untuk memastikan langkah selanjutnya. Masalahnya, trekking poleku kok yang satu copot, cuma tinggal sebagian saja! Waduh, masih baru jeh... baru sekali ini dicoba buat trekking beneran, masa ilang?

Setelah kulihat-lihat lagi ke bawah, ternyata tampak ada di bawahku, mungkin hanya sekitar 5 meter jauhnya. Saat itu sudah mulai remang-remang, makanya kelihatan karena warnanya putih. Mau ambil sendiri, kayaknya serem banget untuk turun lagi sendirian. Curam banget, batunya banyak yang nggak stabil pula. Tadinya aku mau menunggu rombongan berikutnya yang akan lewat, mau minta tolong diambilkan. Eh ternyata rombongan ini nggak lewat jalan yang kami tempuh, tapi sedikit memutar di sebelah track kami, dan ternyata tidak terlalu terjal. Dari situ kami tahu kalau salah jalan hahahaha...


Kebetulan di atas kami ada bapak-bapak, beliau tanya, dari mana, guidenya siapa, biasalah... terus katanya, ayo tinggal 1 menit lagi sampai di puncak!

Hmmm daripada menunggu tidak jelas, aku memutuskan mau mengambil sendiri trekking poleku ini. Waktu aku mulai turun, si bapak tanya, itu mbaknya kok turun lagi?
Kujawab, mau ambil tongkat pak, jatuh di bawah situ. Eh, bapaknya bilang, sudah saya saja yang ambil, kasihan mbaknya kalau turun lagi. Ya udah deh, aku biarkan si bapak mengambilkan tongkatku, tapi udah ada feeling bakal dipalak nih hahahaha....
Bener aja, si bapak malah mau menggandeng tanganku untuk bantu naik, tapi kutolak, nggak usah pak, ini gampang kok naiknya. Hanya sekitar 1-2 menit kemudian, sampailah kami di puncak pertama Gunung Batur dengan merangkak. Akhirnya!!! Seneng banget pastinya, dan momennya juga pas, sebentar lagi akan sunrise. Kabut di sisi satunya, matahari yang mulai merekah di sisi lain. Indah banget sih.... ^_^
Saat itu hampir jam 6 pagi, jadi pendakiannya sendiri memakan waktu hampir 90 menit dari tempat parkir mobil.


Sementara si bapak tadi, sibuk menawarkan minuman ke pak boss, judulnya setengah maksa karena merasa sudah membantu mengambilkan trekking poleku. Bener aja, minuman pulpy orange dibandrol 20ribu. Sama pak boss ditawar 10rb nggak boleh, akhirnya setuju di angka 15rb. Eh waktu mau dibayar, dompetnya pak boss isinya cuma 10rb doang (ini posisiku sudah jalan duluan untuk cari spot yang bagus melihat sunrise). Akhirnya si bapak menerima 10rb itu hehehehe....



Singkat cerita, kami melihat sunrise di posisi awal puncak pertama. Suasana tampak serba berwarna kuning oranye. Sayangnya masih banyak kabut, jadi hasil fotonya juga seperti kabur padahal efek dari kabutnya.

Nah, setelah kok kedengaran guide yang lagi ngajak rombongannya, ayo ikut saya, ke bukit itu (sepertinya puncak kedua nih). Jadi setelah mereka berlalu, aku dan pak boss pun mengikuti jejak menuju jalan setapak itu hehehehe...
Ternyata jalannya bercabang, yang satu sepertinya ke kawah, yang satunya lagi naik, jadi kami ambil yang naik dulu, ke kawahnya belakangan saja setelah motret sunrise saja.





Bisa dibilang kami berdua memang satu-satunya turis lokal, dugaanku ada total sekitar 200-300 orang di seluruh tempat ini, semuanya turis asing, mulai dari Perancis, Jerman, India, Inggris, Rusia, Belanda, dan entah dari mana lagi (cuma ngerti segitu dari tampang dan bahasa mereka), termasuk guide mereka.



Sekitar 1 jam kami menjelajah "perpuncakan gunung" ini. Mulai dari kawah, goa, sampai tempat yang ada hot steamnya. Ada beberapa tempat yang mengeluarkan hot steam di tempat ini. Aku sudah baca soal uap panas ini, dan katanya bisa merebus telur mentah, jadi aku bawa telur 1 butir. Tapi kata salah satu guide perempuan di sana, untuk yang di tempat  di dekat kami itu bisa 30 menit baru matang, jadi batal deh aku taruh di sana, bisa-bisa belum matang sudah raib kalau ditinggal!






Kebanyakan para turis ini memesan minuman di puncak bukit, mereka duduk-duduk sambil menikmati sunrise. Banyak yang foto-foto, dengan gaya normal dan aneh-aneh juga, selfie-selfie, macam-macam deh! Yah, kami berdua juga selfie-selfie sih, tapi nggak pake gaya aneh-aneh lah.... BTW kalau melihat tembong di daguku, itu akibat jatuh beberapa hari sebelumnya waktu pergi ke air terjun Goa Rang Reng di dekat Ubud. Sakitnya masih terasa sampai sekarang, tapi nggak menyesal kok ^_^



Ada turis yang mau beli Snickers bar nih, ibu-ibu penjualnya menawarkan dengan harga 30rb lho, padahal di supermarket di Banyuwangi cuma 5rb. Si turis mencoba tawar-menawar, entah akhirnya dapat harga berapa, sepertinya sekitar 20rb deh. Beruntung kami bawa sendiri snack kami, itu pun cuma dimakan sedikit, karena memang nggak laper waktu di sana.



Udara pagi itu juga buat kami nggak dingin sih... yang ada malah kaosku basah kuyup karena berkeringat hahahaha... padahal ada juga orang-orang yang tampaknya kedinginan. Rata-rata mereka mengenakan sweater, tapi waktu matahari sudah keluar, banyak juga yang hanya pakai kaos biasa saja. Lah si pak boss malah cuma pakai celana jeans selutut buat mendaki, gara-gara lupa nggak bawa celana panjang waktu berangkat dari rumah... doh!



Kawah di Gunung Batur ini bentuknya cekungan yang sangat dalam seperti jurang (kata orang seperti mangkok, tapi aku lebih melihatnya seperti mug yang dasarnya agak lancip hehehe), dan bahayanya adalah tidak dipasang pengaman sama sekali. Orang hanya diberi tahu, hati-hati di sono, dalem tuh jurangnya. Pun masih banyak yang berfoto sampai mepet-mepet ke pjnggiran kawah. Kalau aku ogah deh, memang dasarnya takut sih... jarak 60cm cukuplah buat ambil foto...






Di sekitar kawah ini juga banyak monyetnya, entah nakal atau nggak, tapi kalau ada yang bawa makanan ya mereka berdatangan sih biasanya. Dengar bunyi plastik dibuka saja sudah pada datang. Lucunya, anjing-anjing yang di sebelumnya ketemu ternyata juga mendaki sampai ke puncak lho...

Jadi pada saat aku membuka plastik untuk mengeluarkan bendera merah putihku, mereka pikir makanan, monyet-monyet sudah tampak waspada, tapi begitu mendekat mereka dikejar-kejar oleh sang anjing. Waktu kami mau makan snack cokelat juga, ada monyet yang mau datang, tapi langsung diburu oleh si anjing putih. Begitu anjingnya dikasih hadiah secuil cokelat malah nggak doyan, padahal udah ngarep banget nunggu di depanku. Ada anjing lain berwarna coklat yang doyan, jadi akhirnya dia makan hehehehe... Aku tahu anjing tidak seharusnyadiberi makanan yang mengandung cokelat, karenanya cuma kuberi sedikit saja biar dia seneng dan merasa memperhatikan hihihihi...





Sekitar jam 7 pagi, kami pun merasa sudah cukup menikmati suasana, dan matahari mulai terasa teriknya. Jadi kami putuskan untuk turun saja.

Kami menunggu sampai ada rombongan yang turun, dan ikut di belakangnya.
Lumayan serem dan memang curam banget di awal turun, sampai harus berpegangan pada dinding bebatuan di sisi kanan atau kiri kita. Ada turis asing yang sepertinya agak meremehkan track ini, dan sempat jatuh dia, untung nggak kenapa-napa, cuma shock aja katanya.





Sepanjang track turun, pak boss dengan sabar dan setia membimbingku dan menggandengku kalau pas licin atau susah tracknya ^_^

Aku sendiri heran, kenapa hiking bootsku kadang masih terasa licin dan sering terpeleset kalau jalan sendiri, padahal kalau digandeng jauh lebih pede jalannya dan jarang terpeleset lho...


Sampai di pos pertama yang seperti lapangan, kami sempat bertemu dan ngobrol dengan perempuan berusia 57 tahun dari Belanda juga. Kemudian ngobrol dengan guide-guide yang sedang istirahat di sana sambil melanjutkan lagi perjalanan turun. Karena keasyikan ngomong, setelah beberapa waktu baru sadar kalau jalannya berbeda dengan waktu berangkat subuh tadi. Yang ini jalan beraspal. Tapi kata guidenya, sama saja kok, nanti juga ketemunya di parkiran bawah. Oh, OK jadi kami pun mengikuti jalan beraspal ini.



Kalau dihitung-hitung, sepertinya jalan pulang ini memutar, jadi lebih jauh. Cuma memang beberapa kilometer pertama beraspal, enak nggak enak juga. Enaknya, nggak pake licin atau terpeleset lagi. Nggak enaknya, jempol kaki kananku mulai sakit, dan karena jalan aspal keras, tiap melangkah ya sakit. Tapi bukan Irene kalau nggak terus melaju dengan langkah cepatnya ^_^ Banyak orang-orang dan rombongan yang kami lewati sepanjang perjalanan. Mungkin karena terbiasa jalan cepat kalau pagi ya... nggak terasa jadi lebih cepat dari bule-bule itu hehehehe... Lagipula kalau pelan-pelan yang ada malah jempolku tambah sakit, ditambah mataharinya terik banget. Biarpun sudah mengenakan topi, panasnya masih terasa di bagian samping wajahku.



Sempat ada tempat berhenti di mana kita bisa melihat black lava dari letusan terakhir.  Di sini juga ada toilet berbayarnya. Setelah itu jalan lagi, dan lamaaa berjalan, kadang ragu juga, karena nggak sampai-sampai. Kemudian aku ingat kami melewati jalan kecil yang katanya di awal adalah jalan pintas kalau naik motor. Ternyata di situlah kami keluar, lalu memasuki jalan yang kami lewati subuh tadi.

Setelah berjalan terus dengan semangat, akhirnya kami sampai juga di parkiran jam 8.30 pagi. Kami ngopi dulu di warung ibu yang kami tanyai kemarin. Secangkir kopi hanya 3rb rupiah saja, murah ya untuk ukuran Bali... Oya, sepeda motor kami juga dititipkan di sini waktu datang, soalnya takut diapa-apakan karena kami nggak pakai guide.


Selesai ngopi, kami kembali ke penginapan lagi. Jam 9.15 pagi sudah sampai di penginapan lagi, lalu kami langsung ke resto hotel karena ada jatah sarapan. Setelah sarapan, packing, dan mandi air dingin (pinginnya sih air hangat tapi nggak ada), kami check-out jam 11 siang.






Wah, staff hotel yang melayani kami check-out ini lain dengan yang kemarin, orangnya kurang ramah, dan yang pasti tidak helpful sama sekali.

Jadi ceritanya persis di depan gerbang hotel ada truk berhenti, di kanan dan kiri jalan, jadi kami nggak bisa keluar gerbang dong. Waktu kutanya pak sopirnya, katanya di atas ada truk yang as nya patah, jadi macet di atas. Yah mau gimana lagi, harus nunggu kan.
Halaman hotelnya nih kecil, mobil kami mau putar balik ngepress banget, padahal mobilnya pendek. Aku sampai harus menyeret-nyeret motor yang diparkir di sana, juga memindahkan sebuah tangga yang membuat sempit ruang gerak mobil. Tidak sekali pun staff yang tadi itu membantu. Kesel juga sebetulnya. Tapi ya sudahlah, namanya udah dikasih nginep gratis, lagipula aku sudah kapok nggak mau kembali ke tempat ini lagi!


Setelah menunggu lebih dari 30 menit, akhirnya truk-truk di depan gerbang penginapan mulai jalan lagi. Kami pun mengikuti truk tersebut dengan menjaga jarak. Karena jalannya berliku banget sampai huruf V bentuknya, pak boss hati-hati banget nyetirnya, apalagi jalannya menanjak. Selamat satu tikungan yang cukup curam, lalu yang kedua juga, terus belokannya tidak terlalu tajam, dan setelah itu di depan kami jalannya lurus, tapi masih menanjak dan banyak banget pasirnya. Sewaktu bolak-balik naik motor saja, baik arah naik maupun arah turun, aku harus turun dari sepeda motor dan jalan kaki karena seram.



Nah, truk di depan sudah kelihatan ngoyo waktu melewati tumpukan pasir ini. Jalannya betul-betul nggak kelihatan, putih semua tertutup debu akibat perputaran roda truk di depan kami itu, pokoknya lihatnya saja serem deh. Apalagi di dekat pasir-pasir itu, jalannya ada yang seperti patah dan ujung kanannya langsung curam banget ke jalan di bawahnya.

Saat giliran mobil kami melintasi tumpukan pasir dan kerikil ini, pak boss ambil kanan jalan yang dekat jalan patah itu, karena di sebelah kiri pasirnya lebih tebal lagi. Sewaktu melintasi pasir tebal ini, roda mobil kami hanya berputar, tidak jalan, bahkan kemudinya sampai slip. Waaaaah aku udah panik banget, sampai kayaknya teriak-teriak deh saking takutnya.
Dari situasi demikian, pak sopir berimprovisasi, katanya pakai setengah kopling, akhirnya mobil kami bisa mulai maju dengan sangat perlahan, sampai akhirnya melewati jalan penuh pasir ini. Haaaaaah.... leganyaaaaa bukan main. Aku langsung berkali-kali ngomong, puji Tuhan, puji Tuhan, slamet bisa lewat hahahaha.... Masih ada satu tikungan tajam lagi, tapi tidak mengerikan seperti yang barusan, dan akhirnya sampailah kami di jalan raya yang beraspal mulus, dan kami bisa dengan lega melanjutkan perjalanan ke Bedugul ^_^





Hadeh... buatku, peristiwa melewati jalan yang seram saat naik mobil ini jauh lebih menyeramkan ketimbang waktu harus turun dari Gunung Batur biarpun curam, dan merupakan pengalaman terseramku sepanjang naik mobil tuaku ini.... untung sopirnya sigap dan nggak grogi, jadi bisa melewatinya... Kalau pas giliranku yang nyetir, nggak tahu deh gimana jadinya...



Yah, begitulah kisah di balik pendakian kami ke Gunung Batur hari Sabtu pagi, 30 September lalu.



- Apakah akan diulang lagi?

Apanya? Nginep di tempat yang sama? Jelas ogah pake banget. Nggak sepadan banget.


- Naik Batur lagi?

Hmmmm mungkin cukup sekali saja. Ini hanya pendapat pribadi dan sangat subyektif, tapi aku dan pas boss sama-sama berpendapat bahwa Ijen Crater jauh lebih indah viewnya, terutama danaunya. Sedangkan untuk rutenya, Ijen cukup berat tapi buatku relatif aman dibandingkan Batur yang sebetulnya nggak berat-berat banget, tapi cenderung lebih berbahaya. Secara perjuangan dan view di akhir perjalanan, naik Ijen jauh lebih worth it.


But overall, aku senaaaang banget sudah berhasil naik sampai ke puncak Gunung Batur, karena aku berhasil menaklukkan diriku dan ketakutanku sendiri, yang sebelum naik sebetulnya ragu-ragu juga walaupun sok pede hehehehe....



Buat pak boss, so sorry babe, you had to go through all of that situation. But I'm so proud of you for making this decision for me, and thank you for taking me up there!



Love you more for that <3<3<3

No comments:

Post a Comment