DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Tuesday, May 29, 2018

VIETNAM & LAOS BACKPACKING 2018 (3) - HO CHI MINH CITY a.k.a SAIGON


23 Maret 2018


Catatan (supaya tidak lupa): nilai kurs VND 1 = IDR 0.62. Nilai ini diperoleh dari jumlah VND yang kami tarik tunai selama berada di Vietnam, dibandingkan dengan saldo yang berkurang di tabungan serta biaya dari BCA.
Huruf "K" di belakang angka artinya "ribu", jadi misalnya 20K maksudnya 20.000 ya... ^_^


Ho Chi Minh City (Vietnamese: Thành phố Hồ Chí Minh), dulunya dikenal sebagai Saigon dan merupakan ibukota Vietnam Selatan pada jaman penjajahan Perancis, merupakan kota terbesar sekaligus terpadat penduduknya di Vietnam. Dari nama semula Saigon, berganti menjadi Ho Chi Minh pada tanggal 2 Juli 1976 sesuai dengan nama pemimpin revolusi sekaligus proklamator kemerdekaan Vietnam.
Area Metropolis kota Ho Chi Minh meliputi hampir semua bagian di tenggara negeri ini dan dihuni sekitar 13 juta penduduk, di mana pertumbuhan penduduk di kota ini berkembang lebih cepat daripada yang diprediksi.

Nama kota ini sudah beberapa kali diganti, merefleksikan kependudukannya berdasar etnis, budaya, dan politik. Di tahun 1690, kota ini diberi nama Gia Định, sampai Perancis menaklukkan Vietnam, dan kemudian kota ini diberi nama Saigon. Setelah komunis mengambil alih Vietnam Selatan pada tahun 1975, kota ini diberi nama Hồ Chí Minh, almarhum pemimpin perjuangan di Vietnam Utara. Namun demikian nama Saigon masih tetap banyak dipakai, dan terutama seringkali dipakai untuk mengacu pada District 1, pusat kota Ho Chi Minh.

Berlokasi di sisi tenggara Vietnam, luas area Ho Chi Minh City (HCMC) mencakup 2.095 kilometer persegi. Ekonomi kota didukung oleh adanya industri-industri pertambangan, pemrosesan seafood, pertanian, konstruksi, hingga pariwisata dan perdagangan. Layaknya kota-kota besar lainnya, banyak mall yang didirikan di kota ini.
Untuk transportasi, ada Tan Son Nhat Airport, kereta api (The Reunification Express, yang memiliki rute dari Saigon Railway Station sampai ke Hanoi), transportasi air (melalui Saigon River), bus kota, dan transportasi-transportasi swasta seperti taxi, Grab, dan Uber.

Beberapa atraksi yang dijadikan sebagai penarik minat turis antara lain:
- Reunification Palace (Dinh Thống Nhất),
- City Hall (Ủy ban nhân dân Thành phố)
- Municipal Theatre (Nhà hát thành phố, dikenal juga sebagai Opera House)
- City Post Office (Bưu điện thành phố)
- State Bank Office (Ngân hàng nhà nước)
- City People's Court (Tòa án nhân dân thành phố)
- Notre-Dame Cathedral (Nhà thờ Đức Bà)
Semuanya berlokasi di District 1.

Selain itu ada beberapa museum seperti:
- Ho Chi Minh City Museum
- Museum of Vietnamese History
- The Revolutionary Museum
- The Museum of south-eastern Armed Forces
- The War Remnants Museum
- The Museum of Southern Women
- The Museum of Fine Arts
- The Nha Rong Memorial House
- The Ben Duoc Relic of Underground Tunnels.

Ada pula The Củ Chi tunnels yang berlokasi di timur laut kota di Củ Chi District, The Saigon Zoo and Botanical Gardens di District 1, The Đầm Sen Tourist and Cultural Park, Suối Tiên Amusement and Culture Park, dan Cần Giờ's Eco beach resort.

Hingga akhir 2017 lalu, turis asing yang mengunjungi kota ini berjumlah sekitar 6 juta orang per tahunnya. Yang pasti, street food berserakan di mana-mana. Restoran, cafe, hotel-hotel dan penginapan dari yang mewah sampai kelas backpacker pun ada di mana-mana. Jadi kalau berkunjung ke kota ini tidak perlu kuatir akan tidak mendapat tempat menginap ^_^


Setelah semalam tertidur nyenyak, aku baru terbangun oleh bunyi alarm jam 5 pagi. Rasanya dingin sekali karena AC dan selimut yang dipakai berdua sudah dimonopoli oleh suami, dan yang pasti aku masih mengantuk sekali, tapi aku tetap bangun dan membuat secangkir kopi, memakai leggings dan down jacket, pasang alarm, dan tidur lagi!
Sepertinya baru saja tidur, tapi alarm sudah membangunkan lagi jam 5.30 pagi. Akhirnya aku memaksakan diri bangun, setidaknya sudah tidak kedinginan lagi.

Secangkir kopi yang sudah jadi hangat menemani pagi pertamaku di Ho Chi Minh City. Melakukan aktivitas pagi, lalu berada di depan netbook hingga suamiku terbangun jam 7 pagi.
Setelah cuci muka, kami berdua berjalan kaki keluar gang untuk mencari sarapan. Kebetulan persis di depan gang ada pedagang kaki lima yang menjual pho. Setelah menanyakan harganya, maka kami putuskan untuk sarapan di sini saja.
Duduk di sebuah dingklik (kursi pendek), kami memesan satu porsi pho seharga VND 30K dan makan berdua. Rasanya cukup enak, dengan daging babi yang empuk.



Pho adalah salah satu makanan khas Vietnam, seringkali juga disebut noodle soup. Isinya antara lain mie dari beras (bánh phở) yang disajikan dengan daging, bumbu-bumbu dan herbs, serta kuah. Bisa ditambahkan kecap, jeruk nipis dan sambal sesuai selera. Pada umumnya disediakan sumpit dan sendok untuk makan pho ini. Karena merupakan makanan yang sangat populer di Vietnam, penjual pho bisa ditemui di mana saja, dari yang kelas restoran mewah hingga kelas kaki lima. Sepertinya lebih banyak orang yang menjual pho daripada nasi hehehehe...



Selesai sarapan dan membayar, kami berjalan-jalan di sekitar, dan menjumpai seorang pedagang kaki lima yang menjual banh mi. Bánh mì merupakan salah satu makanan khas Vietnam, semacam sandwich ala Vietnam. Roti yang digunakan adalah baguette, yang diperkenalkan oleh Perancis selama masa penjajahan dulu, namun rotinya lebih ringan dan lebih kopong. Biasanya isiannya berupa daging dan dilengkapi dengan sayuran, acar, dan saus atau kuah semur. Daging yang diisikan bisa samcan babi panggang, sosis Vietnam, patties babi, abon ayam, hati babi, sarden kalengan, bakso babi, sate babi, tahu, telur, dan macam-macam lagi. Sayur yang disertakan pada umumnya adalah timun, cilantro (semacam seledri), acar wortel dan lobak putih. Ada juga banh mi yang hanya berisi sayuran, tentunya dijual dengan harga lebih murah.



Kami membeli satu buah banh mi isi sate babi ini seharga VND 15K, lalu kami makan berdua sembari berjalan menyusuri Co Bac Street, hingga kemudian kami melihat pasar tradisional di sepanjang jalan. Wah menyenangkan sekali melihat suasana pasar di pagi hari. Sayur mayur dan buah-buahan, ikan, daging, dan berbagai macam bahan makanan serta makanan jadi menghiasi sepanjang jalan. Semuanya tampak menarik dan segar.
Bahkan ada kodok yang sudah dipenggal kepalanya dan dikuliti tetapi masih bisa melompat-lompat. Duh, sebetulnya kasihan sekali melihatnya...



Kami hanya membeli 1 kg jeruk nipis seharga VND 40K (sepertinya kemahalan sih, karena tidak ditawar). Jeruk nipisnya besar-besar sekali dan terasa lebih empuk daripada yang biasa beli di Banyuwangi.
Setelah itu aku juga membeli sesisir pisang, entah apa jenisnya, mirip seperti pisang susu atau pisang mas. Harganya VND 10K saja. Dalam perjalanan pulang, kami mampir di sebuah toko untuk membeli madu (VND 90K), kopi instan (VND 43K isi 15 sachet), dan deterjen (VND 17K).



Pulang ke penginapan, waktu sudah menunjukkan jam 9.30 pagi. Kami bergantian mandi, bersiap-siap, lalu jalan kembali, hendak menuju ke Benh Tanh Market. Berbekal Google Map, kami mengikuti jalan yang ditunjukkan sesuai peta, hingga menyusuri tepian sungai, menyeberangi jembatan, dan terus menyusuri jalan.



Saat menyeberangi sungai tampak banyak rumah apung yang berdiri di atas permukaan sungai. Rumah-rumah ini tampak kumuh sekali, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Kasihan sekali orang-orang yang terpaksa harus tinggal di tempat-tempat seperti ini.



Sempat bertanya arah menuju ke Benh Tanh Market kepada seorang perempuan setelah menyeberangi jembatan, dan walaupun dia tidak bisa bahasa Inggris sama sekali, dia menjelaskan arahnya dengan penuh semangat, dan menyuruh naik motor saja. Yang pasti ternyata kami salah arah hahahaha... entah karena tidak ada sinyal internet atau bagaimana, Google Map menunjuk ke arah yang berbeda sejak awal perjalanan kami.
Saat berada di bawah jembatan ini juga ada dua anak laki-laki yang masih berusia sekitar 7-8 tahunan, mereka sepertinya memperhatikan kami. Akhirnya kupanggil dan kuajak selfie hehehehe...



Kami melanjutkan berjalan walaupun sudah tahu salah arah, hanya untuk sekedar melihat-lihat saja. Beberapa saat kemudian tampak sebuah kios yang menjual berbagai macam jus buah, dan suami membeli segelas jus jeruk seharga VND 15K. Lumayan bisa sedikit mendinginkan kepala dan badan yang kepanasan. Setelah itu baru kami berbalik arah, saat melihat sebuah counter yang menjual SIM card. Di sini akhirnya kami membeli SIM card Mobifone seharga VND 150K. Kata penjualnya, paket datanya sebanyak 19GB dan bisa dipakai sampai 2 bulan. Setelah internet bisa diaktifkan, tampak jelas bahwa kami memang salah arah dan jauh sekali nyasarnya hahahaha....



Akhirnya kami berjalan ke arah yang benar kali ini, kembali menyeberang sungai dan berjalan ke arah timur laut, namun teriknya matahari benar-benar membakar kulit. Peluh pun bercucuran tanpa henti. Kami baru setengah jalan saat melihat sebuah pertokoan dengan judul Russian Mall. Jadi kami masuk untuk melihat apa isinya sekalian berteduh sejenak.
Ternyata di dalamnya berisi kios-kios yang menjual pakaian dan sepatu, dan kebanyakan menjual baju-baju musim dingin, seperti jaket, syal, beanie, sarung tangan, dan sebagainya. Kami hanya berkeliling sebentar di sini, dan akhirnya keluar lagi. Kami melihat beberapa orang (terutama perempuan sih) memakai payung karena teriknya matahari begitu menyengat.

Kami memutuskan untuk pulang ke hotel dulu saja karena jarak ke Benh Tanh market masih sekitar 2 KM, sementara hari ini ini kami sudah berjalan lebih dari 8 KM. Di perjalanan pulang inilah kami melewati beberapa depot makan, dan suamiku membeli makan siangnya untuk dibungkus di salah satu depot ini. Nasi putih dengan porsi lumayan banyak, dengan lauk daging babi yang dimasak seperti semur, beserta sebungkus kuah, total VND 25K. Di sini pada umumnya makanan yang dijual untuk takeaway (dibungkus/dibawa pulang), dikemas dengan styrofoam.



Baru berjalan sebentar, kami melihat sebuah toko dengan gambar susu dan tulisan milk, jadi kami mampir dulu. Bertanya kepada pemiliknya yang lagi-lagi tidak mengerti bahasa Inggris, kami diberi susu kemasan 1 liter yang harganya VND 40K. Okelah pikirku, bisa kami habiskan dalam 2-3 hari ke depan. Biasanya kami menggunakan susu untuk membuat kopi. Dari situ barulah kami pulang ke penginapan.

Sesampai di penginapan, waktu sudah menunjukkan jam 1 siang. Kami berdua makan siang. Aku makan pisang yang kubeli pagi tadi bersama dengan selai kacang yang kubawa dari rumah. Sempat mencicipi nasi campur yang dibeli suami, yah lumayan enak lah....
Karena sudah ada susu, kami membuat secangkir kopi dengan susu yang baru saja dibeli. Rasanya kok aneh ya? Kopinya jadi tidak enak dan makin asam. Apa susunya basi?
Ternyata oh ternyata... bukan susu yang kami beli, tapi yoghurt! Hahahaha...
Aduh beginilah kendalanya kalau tidak bisa bahasa lokal sementara penjualnya tidak mengerti bahasa Inggris. Tulisan yoghurt di kemasannya juga tidak terlalu jelas. Setidaknya belajar dari pengalaman ini, kalau membeli sesuatu harus lebih teliti lagi.

Setelah makan siang, kami mandi lalu tidur siang. Rencananya cuma tidur 1 jam saja, tapi waktu bangun dan melihat jam tangan, ternyata sudah jam 5 sore lewat hahahahaha.... Ternyata kami lelah sekali sampai tertidur lebih dari 3 jam, mungkin akumulasi dari kemarinnya yang seharian ngider dari bandara ke bandara.

Dengan sedikit bermalas-malasan, aku mencuci muka dan bersiap-siap untuk jalan lagi. Tujuan utama adalah ke Benh Tanh Market, karena hendak mencari pisau dan gas untuk kompor yang kubawa. Kami sempat melihat ada seorang ibu dengan anaknya yang masih agak kecil dan seekor anjing. Sepertinya mereka gelandangan atau pemulung. Si anak dan anjing peliharaannya tampak tertidur beralaskan kardus. Kasihan sekali melihat mereka sebetulnya....



Melalui jalanan yang padat dan ramai dengan bunyi klakson, akhirnya kami sampai juga di Benh Tanh Market. Saat itu sudah hampir jam 8 malam, dan ternyata sudah banyak toko yang tutup. Dari toko-toko yang masih buka, tampak beraneka macam barang yang dijual di tempat ini. Mulai dari kain-kain dan segala macam pakaian, makanan, manisan, kopi, teh, kacang-kacangan, snack, buah-buahan, hingga perabotan rumah tangga.



Kami membeli sebuah pisau seharga VND 30K di sebuah toko setelah menawar dari harga aslinya VND 40K, namun sayangnya tidak ada yang menjual gas/butane. Kata si penjual pisau, gas semacam itu adanya di luar Benh Tanh Market. Kami juga sempat bertanya harga sandal jepit di sebuah kios, dan kata penjualnya harganya VND 120K. Hah yang bener saja sandal jepit mahal banget hahahaha... Kami pun berlalu, dan tidak berani lagi bertanya-tanya harga barang.

Dari Benh Tanh Market, kami hendak menuju ke Turtle Lake, salah satu tujuan wisata lokal yang cukup populer di Ho Chi Minh. Masih di dekat Benh Tanh Market, ada beberapa ruas jalan yang tampak penuh dengan toko-toko dan pedagang kaki lima yang menjual segala macam barang. Pun tampak ramai dengan orang-orang yang sedang tawar-menawar. Ternyata ini adalah night market yang cukup populer bagi turis.

Kami sempat bertanya harga ketan kukus yang berwarna-warni, dan aku cukup terkejut mendengar harganya. Untuk satu warna saja, harganya VND 40K, dua warna VND 50K, dan kalau warna-warni VND 60K. Hahahaha nggak segitunya lah pingin makan ketan yang mahal banget. Waktu kami bilang tidak jadi beli, si penjualnya menurunkan harganya masing-masing 10 ribu. Wah enggak deh, makasih....

Dari beberapa kali terakhir bertanya harga barang, aku mengambil kesimpulan bahwa pada umumnya kita harus menawar harga barang apa pun, termasuk makanan (kecuali harganya sudah dicantumkan atau ada bandrolnya), sama seperti di Nepal. Hanya saja kadang kami masih lupa mau menawar, atau harganya terlalu tidak masuk akal sehingga malas menawar. Contohnya, ada sebuah toko kecil yang menjual berbagai macam sepatu dan sandal, dan saat kami bertanya harga sandal jepit di sini, katanya harganya VND 250K. Hahahahaha aku sampai bertanya, itu asli Adidas? Katanya sih iya, tapi kami tidak percaya dan memilih berlalu.



Dari situ kami berjalan terus ke Turtle Lake, dan ternyata biasa-biasa saja tempatnya. Hanya ada sebuah kolam besar dengan beberapa air mancur di dalamnya, serta ada anak tangga untuk naik ke sebuah platform di atas kolam ini. Suasananya ramai penduduk lokal, dan tampak banyak penjual makanan. Entah apa yang dijual, karena bagi kami agak-agak aneh, di mana bahan-bahan makanannya dimasukkan ke dalam sebuah tas kresek, lalu diaduk-aduk dan dicampur di dalam kresek tersebut. Aneh-aneh saja ya....



Kami tidak terlalu berlama-lama di tepian Turtle Lake ini, lalu berjalan kaki lagi sambil mencari makan malam. Akhirnya pilihan jatuh pada seorang pedagang kaki lima yang menjual pho. Sewaktu berangkat tampak pembelinya cukup ramai, padahal si ibu penjualnya hanya bermodalkan keranjang dan dagangannya hanya dijejer di trotoar. Saat kami kembali ini juga tampak ada beberapa orang yang sedang makan.
Kami bertanya dulu berapa harga per porsinya, baru kemudian memesan satu porsi. Semangkuk pho ini harganya VND 30K, dengan 2 potong daging ayam yang cukup besar-besar, satu buah paha utuh dan satu lagi dari bagian dada ayam.



Setelah suamiku selesai makan, giliranku menghabiskannya. Karena aku sempat melihat ada sambal, aku minta sambal. Sepertinya mereka yang sedang makan dan si ibu penjualnya terheran-heran melihatku makan sambal banyak sekali hahahaha... Secara keseluruhan rasanya lumayan, walaupun terasa sekali vetsinnya. Masih agak lebih enak yang tadi pagi kami makan di dekat penginapan.

Usai makan dan membayar, kami berjalan lagi dengan berbekal Google Map untuk mencari ATM. Kali ini kami mendatangi ATM Military Bank. Sepertinya uang tunai di sini cepat sekali habisnya, sedangkan semua transaksi menggunakan uang tunai, karenanya lebih baik kita menyiapkan uang secukupnya agar tidak kebingungan. Memang banyak ATM di mana-mana, tapi seperti yang kubilang kemarin, rata-rata mengenai biaya yang cukup besar per transaksi. Nah, setelah menarik uang dari ATM Military Bank ini, ternyata memang benar sama sekali tidak dipungut biaya sama sekali. Untuk jumlah penarikan uang, sepertinya sama saja di mana-mana, yaitu maksimal VND 3 juta.
Catatan: transaksi 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.814.776 ditambah ongkos 25 ribu rupiah.

Setelah mengambil uang tunai, kami mampir di Seven Eleven dekat ATM untuk membeli susu. Kebetulan ada roti dan sandal jepit juga, jadi sekalian kami beli di sini saja. Susu kemasan 220ml yang paling murah harganya VND 7K, roti ukuran sedang dengan sedikit taburan keju di atasnya VND 8K, dan sandal jepit yang lumayan kualitasnya dan ringan dipakai harganya VND 40K.



Entah berjalan kaki siang atau malam hari, rasanya keringat selalu bercucuran. Udara terasa panas dan lembab. Bekal air minum yang kami bawa sampai habis, ditambah makan pho yang banyak vetsinnya tadi, akhirnya kami pun kehausan sekali. Saat melihat deretan pedagang kaki lima yang menjual minuman di emperan jalan, kami memutuskan membeli es teh, yang ternyata berarti minuman teh dalam botol dan segelas es batu hahahaha... Harganya VND 10K, dan lumayan sekali untuk membasahi tenggorokan yang kering ini.

Meneruskan berjalan kaki dengan lebih bersemangat, kami melewati lagi jalanan yang ramai saat melihat sebuah tempat dengan tulisan Street Food Market yang dihiasi dengan lampu-lampu. Kami pun mendatangi tempat ini dengan harapan bisa melihat street food ala Vietnam. Ternyata ini adalah tempat yang sangat touristy, di mana hampir seluruh pengunjungnya adalah Westerner. Orang-orang Asia yang tampak makan di sini pun sepertinya turis juga. Benar saja, saat melewati lorong yang penuh dengan kios-kios makanan dan minuman ini, harga yang terpajang setara dengan harga restoran. Gaya penyajiannya pun sudah disesuaikan untuk turis, jadi bukan benar-benar street food tradisional ala Vietnam.



Keluar dari Street Food Market ini, kami berjalan lagi, dan melewati lagi ruas jalan yang penuh dengan pedagang kaki lima tadi. Kali ini suasananya bertambah ramai, tampak banyak rombongan turis dari Malaysia (dari pakaian dan bahasanya), sedang sibuk berbelanja. Mungkin mereka berpikir karena tempatnya yang seperti pasar tumpah, harganya akan lebih murah. Bagiku, tempat-tempat seperti ini justru menjebak turis, karena harganya justru mahal-mahal sekali. Entah kalau yang beli penduduk lokal dan bisa ditawar sampai murah, tapi untuk turis sepertinya tidak bisa begitu.

Dari sini kami berjalan pulang ke penginapan, dan sampai di kamar sudah lewat jam 10 malam. Tidak terasa, hari ini kami sudah berjalan kira-kira 16 KM, bahkan mungkin lebih. Ternyata lumayan melelahkan juga, kaki terasa agak pegal-pegal hehehehe...

Setelah mandi dengan air dingin dan mencuci baju yang sudah dipakai seharian, kami pun mengistirahatkan tubuh dan tidur dengan nyenyaknya.... zzzzzzzzz......


To be continued.......

No comments:

Post a Comment