Sabtu, 1 Oktober 2016
Melewatkan malam di Wanaka, akibat terlalu lelah seharian kemarin, pagi ini terbangun lebih siang dari biasanya. Tapi masih jam 5.30 pagi lho hehehehe.... Sewaktu masih di dalam kamar, masih lumayan hangat, tapi begitu keluar menuju ke toilet, terasa deh dinginnya udara. Brrrrr......
Setelah melakukan aktivitas pagi danmenyiapkan bekal makan siang di dapur, aku berjalan-jalan di area holiday park yang luas ini. Sampai jam 7 pagi, suasana masih agak remang-remang. Memandangi pegunungan di belakang holiday park, rasanya masih tak percaya aku bisa berada di tempat ini lagi ^_^
Setelah berjalan-jalan, aku mandi duluan supaya hangat. Sekitar jam 8 pagi barulah suami dan putriku bangun. Kami pun jalan-jalan dan berfoto di area ini. Kebetulan di tempat ini ada playgroundnya, jadi kami juga sempat main ayunan dan trampolin. Pertamanya sih main trampolin dulu, pingin nyobain karena nggak pernah. Ternyata main trampolin susah banget, entah apa aku saja yang nggak tahu caranya yah... badan malah jadi sakit semua nih, bisa-bisa malah salah urat hahahaha.... Akhirnya aku main ayunan saja deh yang nggak pake sakit ^_^
Sambil menunggu yang lainnya mandi dan bersiap-siap, aku mempergunakan waktu untuk belajar mengemudikan mobilnya. Hanya berputar-putar di dalam area holiday park saja selama beberapa menit, dan ternyata memang cukup mudah hehehe.... Setelah semuanya sudah siap berangkat, sekitar jam 8.40 pagi kami check out dari Wanaka Top 10 Holiday Park ini. Waktu untuk check out di tempat-tempat menginap di New Zealand pada umumnya jam 10 pagi, dan kebiasaan di sana, kalau check out kita tidak perlu "berpamitan" atau mengembalikan kunci kamar ke resepsionis. Kita hanya perlu meletakkan kunci di atas kasur, atau meja, dan membiarkan pintunya tidak terkunci. Sesederhana itu. Keluar dari holiday park, kami langsung menuju ke Lake Wanaka, tepatnya ke tempat "That Wanaka Tree".
Apaan sih "That Wanaka Tree"???
Mungkin sekitar setahun sebelum kami berangkat ke New Zealand pertama kali tahun 2015, aku mulai "mengincar" tempat-tempat yang indah di sana, dan mulai follow instagram beberapa fotografer yang tinggal di beberapa kota di sana, di antaranya di Wanaka dan Queenstown. Nah, ada satu pohon di Lake Wanaka yang sering banget nongol fotonya, dan sayangnya justru pada saat kami mengunjungi Wanaka tahun 2015, kami melewatkan pohon tersebut gara-gara salah info. Kami bertanya pada penjaga holiday park yang kami inapi mengenai lokasinya di peta, dan beliau ini ternyata salah memberikan info. Jadilah kami mencari-cari tanpa hasil dan karenanya bertekad, kalau ke Wanaka lagi, harus mengunjungi pohon tersebut.
That Wanaka Tree (terkenal banget di instagram dengan hashtag #thatwanakatree), atau The Lone Tree of Lake Wanaka, adalah sebuah pohon willow di dekat pesisir Lake Wanaka dengan latar belakang pegunungan Southern Alps yang sangat indah, yang paling sering diabadikan oleh pengunjung. Namun demikian, tidak ada petunjuk jalan khusus untuk menuju lokasi persisnya pohon ini. Kalau turis biasa, nggak akan tahu bahwa pohon ini ada, kecuali sudah tahu sebelumnya tentang keberadaannya. Kalau cari di Google Map ada kok, The Wanaka Tree, tapi parkirnya agak jauh, kalau mengikuti arahan langsung Google Map, malah masuk ke perumahan penduduk (soalnya kami juga nyasar dulu masuk ke perumahan penduduk hehehehe...).
Untuk menuju ke lokasinya, kita butuh sedikit berjalan menyusuri pesisir danau ini dari tempat parkir mobil terdekat. Gampangnya, area parkir mobil paling barat di Ardmore Street, atau cari saja Wanaka Rotary Playground atau Lake Wanaka Hike/Bike Track di Google Map. Di sini memang ada track untuk bersepeda atau jalan kaki sepanjang sisi danau, dan berakhir di Ruby Island Road, yang tembus lagi ke jalan raya. Dan karena penduduk di New Zealand banyak yang mempunyai anjing piaraan, kalau ada walking track begini, biasanya dimanfaatkan untuk mengajak anjing piaraan mereka berjalan-jalan, karenanya kami sering bertemu anjing-anjing dari berbagai ras di sekitar area ini. Kadang ada yang memakai tali, tapi banyak juga yang dilepaskan begitu saja. Lucu-lucu lho ^_^
Kalau membutuhkan toilet, di dekat tempat parkir juga ada toilet umum yang cukup bersih.
Yang pasti, pemandangannya luar biasa indah di tempat ini, bahkan lebih indah daripada sisi Lake Wanaka yang paling touristy di pusat kota. Saat difoto saja, hasilnya seperti lukisan, apalagi kalau melihat langsung... benar-benar indah deh pokoknya! Tempatnya juga cocok banget buat piknik, atau menonton sunrise dan sunset. Kalau kuat dengan dinginnya, bahkan boleh berenang di sini lho...
Menurut seorang seniman dari Wanaka yang berusia 85 tahun, pohon ini sudah berada di tempat tersebut paling tidak sejak tahun 1939, dan awalnya berfungsi sebagai pagar.
Sekitar lima tahun silam, beberapa fotografer dan penulis di Wanaka sering mempublikasikan pohon ini sebagai bahan candaan. Dua tahun lalu, Lake Wanaka Tourism memasukkan pohon ini ke dalam salah satu obyek wisatanya. The lone tree ini berada di kaki perbukitan Mount Aspiring National Park, yang termasuk salah satu World Heritage Site. Coba deh kunjungi saat menjelang gelap atau pagi sebelum matahari terbit, biasanya masih sepi, dan pohonnya benar-benar sendirian tanpa pengunjung hehehehe...
Sebetulnya sekarang ini pohon ini juga sudah touristy, karena pada saat kami datang sebelum jam 9 pagi waktu itu, ternyata sudah cukup banyak orang di sana, dan kebanyakan turis dari RRC :(
Posisi pohonnya sendiri hanya sekitaran selemparan batu dari tepi danau. Katanya, setiap harinya banyak "pengganggu-pohon" yang memotret pohon ini. Bahkan ada saatnya sang pohon harus menghadapi lebih dari 100 orang yang berebutan ingin mengabadikannya. Kadangkala pohon ini pun digunakan sebagai latar belakang pengambilan foto prewedding. Ah, ada-ada saja ya...
Kalau boleh jujur sih, menurutku pemandangan secara keseluruhan di tempat ini benar-benar luar biasa, membuatku semakin jatuh cinta pada kota ini ^_^
Lake Wanaka sendiri, merupakan danau keempat terbesar di New Zealand yang panjangnya 45 KM dan luas totalnya meliputi 193 kilometer persegi. Berada di ketinggian 300 mdpl, kedalamannya diduga mencapai lebih dari 300 meter. Nama Maorinya adalah Oanaka, yang artinya tempat Anaka, salah satu kepala suku lokal jaman dahulu.
Di bagian selatan danau ini ada pulau-pulaunya Ruby Island, Stevensons Island, dan Harwich Island) yang merupakan cagar alam, salah satunya adalah burung weka, salah satu burung khas di New Zealand.
Air danau ini juga sangat jernih, dan cocok sekali untuk aktivitas jetboat, ski air, berlayar, kayak, memancing, dan tentunya berenang.
Sebetulnya tadinya kami berencana ke Roy's Peak, salah satu tempat untuk trekking di Wanaka ini. Cuma melihat situasi bahwa ternyata trekkingnya butuh waktu 5-6 jam, sedangkan kami tidak pernah trekking sebelumnya (baru pernah naik ke Gunung Ijen 2 kali, dan itu pun ngos-ngosan banget), ditambah lagi kami mengejar waktu untuk ke Queenstown, maka kami batalkan ke Roy's Peak. Jadi kami berkendara ke Glendhu Bay. Di sini kami sempat berhenti di suatu tempat indah tanpa nama. Letaknya di antara properti pribadi. Karena sepertinya makin lama kok pemandangannya makin indah (karena tampak puncak-puncak gunung yang bersalju hehehehe...), kami teruskan saja. Kami mampir ke Hospital Flat Conservation Area. Di area ini sepertinya merupakan tempat untuk trekking juga, bahkan ada tiga tempat yang bisa kita kunjungi: Hospital Flat Conservation Area, Diamond Lake Conservation Area, dan Riverside Recreation Reserve. Saat itu sedang ada beberapa orang yang sepertinya akan memanjat tebing atau trekking di sana, jadi kami sempat mengamati mereka selama beberapa waktu hehehehe...
Dari situ kami menuju ke Treble Cone, yang merupakan area ski terdekat dari kota Wanaka. Treble Cone juga terkenal dengan view yang spektakular mengarah ke Lake Wanaka dan Mount Aspiring/Tititea. Lapangan ski di sini merupakan tempat berlatih tim nasional ski Austria apabila mereka sedang tidak musim bertanding. Dengan luas area ski mencapai 550 hektar, tempat ini juga terkenal akan medannya yang cukup curam dan menantang, serta diklaim sebagai yang terbaik di seluruh New Zealand. Walaupun medannya cukup berat, 10% dari area ski ini diperuntukkan bagi beginner (pemula), 45% area ski intermediate (menengah), dan sisanya yang 45% untuk yang sudah level advance (mahir).
Kalau mau berski di sini, di area resortnya ada cafe, bar dan restoran, sekolah ski (bagi anak-anak dan dewasa), tempat penyewaan alat-alat ski, dan sarana kesehatan.
Nah, sudah jauh-jauh didatangi, suamiku tidak berani mengendarai mobil kami menaiki gunung ini. Katanya seram karena tidak ada pembatasnya, dan jalannya masih berupa tanah yang berpasir dan berkerikil. Padahal banyak lho, mobil-mobil lain yang naik ke atas sana, kadang drivernya perempuan dan sendirian pula. Jadi ya sudah, kami hanya nongkrong saja di tempat parkir di bawah, sebelum naik ke gunungnya. Pemandangan dari tempat itu saja sudah indah sekali, tampak gunung-gunung menjulang di kejauhan. Entah bagaimana indahnya di atas sana... Beberapa mata air juga tampak mengalir di sisi pegunungan ini, sayang foto tidak dapat mewakilkannya dengan cukup baik. Saat berada di tempat tersebut, kami sempat menyaksikan beberapa orang yang main parasut dari atas. Tampaknya seru sih... Setelah merasa cukup puas berada di sana, kami mulai berkendara lagi, putar balik (karena jalannya sudah buntu), lalu beli bensin dulu di Wanaka. Habisnya $78.57, entah berapa liter itu, pokoknya full tank deh. Kali ini kami menuju ke Queenstown. Waktu menunjukkan jam 11 siang saat kami mulai berangkat.
Eh tapi biasaaaaa..... namanya road trip, kalau ada tempat bagus atau menarik kan pasti berhenti dulu. Sewaktu masih di area Glendhu Bay, kami sempat berhenti sekali, berjalan ke tepi danau dan berfoto sejenak. Setelah itu, keluar dari Wanaka ke arah Queenstown, kita akan memasuki daerah Cardrona Valley. Banyak biri-biri yang sedang merumput di ladang yang luas.
Kira-kira setengah jalan, di kiri jalan akan tampak satu tempat yang sepanjang pagarnya banyak digantungi bra (yes, beha!). Kami juga sempat berhenti di sana untuk berfoto sebentar. Pagar ini berlokasi di pinggir jalan publik, dekat dengan sebuah properti farm milik penduduk lokal.
The Cardrona Bra Fence bisa dibilang merupakan tempat kunjungan turis yang kontroversial. Awalnya, dulu antara Natal 1998 dan tahun baru 1999, beberapa orang yang lewat (cewek tentunya), mulai menggantungkan bra mereka di pagar di daerah pinggiran ini. Jumlahnya hanya 4 buah. Alasannya sampai sekarang tidak pernah diketahui. Dari mulut ke mulut dan dengan pesan yang ditinggalkan di pagar tersebut, jumlah bra yang "muncul" makin banyak. Menjelang akhir Februari sudah ada 60 bra, namun kemudian ada yang "membersihkan" tempat ini. Beritanya dimuat oleh koran lokal, dan setelah itu malah menyebar lewat media nasional, dan membuat makin banyak lagi bra yang digantung di sana.
Sampai bulan Oktober tahun 2000, jumlah bra yang digantung di pagar ini mencapai 200, dan lagi-lagi ada yang membersihkannya. Namun kali ini beritanya jadi lebih santer, karena secara tidak langsung tempat ini sudah menjadi semacam tempat tujuan wisata yang unik dan aneh. Media-media dari Eropa jadi tertarik meliputnya, dan akibatnya jumlah bra yang digantung secara langsung atau dikirimkan untuk digantung, meningkat drastis. Awal tahun 2006, jumlah bra yang dibgantung berjumah sekitar 800 buah!
Walaupun sebagian penduduk lokal cukup menerima keberadaan pagar ini dan menganggapnya sebagai tempat yang menarik bagi turis, sebagian lainnya menganggapnya memalukan dan tidak pantas, serta bisa berpotensi membahayakan karena bisa mengalihkan pandangan para pengendara yang lewat di jalan ini. Seringkali dilakukan upaya hukum untuk menghilangkan tempat ini, terutama di awal tahun 2006, dengan alasan para pelajar dari Asia dan Afrika Selatan bisa tersinggung karenanya.
Namun demikian, seorang peternak biri-biri yang tinggal di dekat sana, John Lee, menolak memindahkan bra yang tergantung di sana, dengan alasan 90% surat-surat yang ia terima bernada positif, dan merupakan tempat yang paling sering diabadikan di area tersebut. Ia kemudian bahkan menjadi semacam guardian untuk tempat ini hehehehe....
Pada tanggal 28 April 2006, wakil rakyat setempat memerintahkan untuk memindahkan pagar bra ini dengan alasan berada di jalan umum dan bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Keputusan ini sempat memicu usaha untuk membuat rekor dunia "the world's longest bra chain". Bra yang digantung mencapai 7.400 buah, masih kurang 100.000 buah lebih dari rekor dunia yang ada, namun berhasil mengumpulkan donasi sekitar $10.000.
Seorang tour guide di Cardrona, Kelly Spaans dan partnernya Sean Colbourne, mengambil alih "guardianship" dari pagar ini secara sukarela saat mereka mulai memandu di daerah ini 2 tahun lalu. Dan karena dari waktu ke waktu ada orang yang dikenal yang berusaha mengguntingi bra-bra tersebut, akhirnya mereka memindahkan lokasi pagar yang tadinya di tepi jalan Cardrona Valley Rd ke jalan masuk menuju kediaman mereka.
Setelah itu mereka menempatkan sebuah kotak berwarna pink di samping pagar ini untuk mengumpulkan dana bagi para penderita kanker payudara. Saat ini pagar yang penuh bra ini berada di dekat Cardrona Distillery, dan dijuluki "Bradrona".
Seru dan menarik ya, sejarah Bradrona ini... ^_^
Dari Bradrona, kami melanjutkan perjalanan melalui Cardrona Valley Road dan Crown Range Road yang sangat indah. Pegunungan berwarna kecoklatan menjulang di kanan kiri kita. Rerumputan berwarna kuning atau kehijauan terhampar di sepanjang pegunungan ini. Sesekali tampak puncak-puncak tinggi yang masih diliputi sedikit salju, indah sekali! Kami pun berhenti di Crown Range Summit. Tempat ini merupakan tempat terbaik untuk melihat suasana pegunungan di sekitarnya. Jangan lewatkan tempat ini ya, kalau tidak mau menyesal ^_^
Kami sekalian makan siang di tempat ini. Walaupun makanannya sederhana, hanya telur, sayuran dan sedikit daging, namun pemandangan di depan mata itu yang luar biasa... Aku jadi teringat perjalanan pertama kami tahun 2015, saat itu pun kami berhenti di tempat yang sama, dan hanya keluar beberapa menit saja sudah menggigil kedinginan karena salju dan angin. Kalau kali ini masih agak kedinginan tapi hanya karena anginnya yang kencang. Waktu berfoto saja rambut kami sampai terbang-terbang hahahaha...
Selain Crown Range Summit, tidak jauh setelahnya juga ada lookout lagi, tapi tidak ada namanya. Dari tempat ini kita sudah mulai bisa melihat kota Queenstown di kejauhan. Di tempat inilah yang tahun lalu aku merasa nyaris kabur terbawa angin hehehehe.... Kemudian ada juga Arrow Junction Lookout Point kalau mau berhenti. Dari tempat ini, pemandangan kota Queenstown dan Lake Wakatipu sudah tampak jauh lebih dekat. Tapi hati-hati ya, di daerah ini tikungannya tajam-tajam sekali dan jalannya menurun agak curam juga.
Di Arrow Junction, kalau kita berbelok ke kanan akan menuju ke Arrowtown, sedangkan ke Queenstown lurus saja. Tidak lama setelah melewati Arrow Junction, di kanan jalan ada Lake Hayes. Aku baru mengunjungi Lake Hayes ini tahun 2017 waktu road trip berdua dengan suamiku. Di Lake Hayes juga ada lokasi untuk freedom camping ground.
Setelah melewati Lower Shotover (ini merupakan area perumahan yang rumah-rumahnya keren lho) dan Frankton (cuma lewat pinggirannya saja), maka sampailah kami di Queenstown.
Yang agak susah di Queenstown adalah mencari tempat parkir yang gratis dan tidak dibatasi waktunya. Beruntung sekali kami waktu itu mendapatkan tempat parkir di Camp Street di pusat kota, dekat sekali dengan danau pula. Hanya perlu berjalan beberapa menit saja untuk ke tepi Lake Wakatipu yang di pusat kota (Beach Street). Area parkir gratis sebetulnya ada di sepanjang jalan Lake Esplanade dan di ujungnya, di One Mile Carpark, cuma jaraknya agak jauh dari pusat kota. Kalau buat jalan-jalan oke banget sih, karena sepanjang menuju pusat kota, kalau menurutku, pemandangan Lake Wakatipu di sini jauh lebih keren daripada di pusat kotanya sendiri.
Kami berjalan-jalan menyusuri jalanan di pusat kota. Suasananya kali ini jauh lebih ramai dibandingkan saat musim dingin yang lalu. Bagiku pribadi, Queenstown merupakan kota yang indah sekali, asal kita nggak beli apa-apa di sana hahahaha.... Tapi kami biasanya menyempatkan beli kopi di sana kok, dan kalau antrian di Ferg Burger tidak panjang, aku juga mau beli sih... cuma saat itu juga sedang ramai sekali antriannya, sampai belasan meter kayaknya, jadi keinginan membeli burgernya dibatalkan dulu deh... ^_^
Sewaktu berjalan kaki melewati Mall Street, tampak ada rombong penjual kopi di tepi jalan (kalau di Indonesia pedagang kaki lima lah), dan kami membeli flat white ukuran besar ($5.5), sementara putriku memilih secangkir cokelat panas ($4.5). Penjualnya seorang pria muda yang ramah sekali. Putriku senang sekali melihatnya membuat kopi. Maka kami pun duduk-duduk sambil ngopi di bangku yang ada di tepi jalan tersebut. Belakangan aku baru tahu bahwa counter kopi di pinggir jalan ini hanya merupakan cabang dari sebuah cafe di dekat situ juga, dan cafenya ternyata terkenal. Namanya Vudu Cafe, berlokasi di Rees Street.
Selesai ngopi, waktu menunjukkan jam 2.45 siang, dan kami pun berjalan kaki menuju Lake Wakatipu. Berfoto dan jalan-jalan di sekitar danau, melihat-lihat suasana yang ramai dan menyenangkan sekali. Suasanya terasa seperti pasar malam, tapi di siang hari. Banyak orang yang membuka lapak dan menjual dagangannya, kebanyakan benda-benda seni dan pernak-pernik untuk souvenir. Biro-biro wisata juga banyak sekali di sepanjang tepian danau ini, menawarkan berbagai macam atraksi untuk turis. Tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang menawarkan apa yang mereka jual (baik barang maupun jasa) kepada turis yang lewat lho, apalagi berusaha membujuk atau memaksa kita untuk membeli. Nggak ada deh... mereka akan bersabar menanti pengunjung dan pembeli yang mendatangi mereka. Karenanya sebagai turis, kita juga tidak akan merasa terganggu dengan keberadaan mereka.
Di sekitar pusat kota, tersebar berbagai macam resto, cafe, pub, bar, akomodasi/penginapan, dan toko-toko yang menjual barang-barang segala macam, mulai dari barang bermerk mahal, sampai aksesoris dan kerajinan penduduk lokal.
Menurut pengalamanku pribadi, Queenstown adalah kota termahal di New Zealand untuk biaya hidup sehari-hari, mulai dari bahan makanan (apalagi kalau makan di resto-resto yang fancy), bahan bakar, dan terutama akomodasi. Kalau sedang musim sibuk di Queenstown (yang sebenarnya adalah sepanjang tahun hehehehe...), banyak yang bilang sih kalau bisa booking dulu penginapan jauh-jauh hari sebelum kita datang, karena pada umumnya penginapan di kota ini selalu full booked, terutama yang terjangkau. Kalau mau yang kelas mahal-mahal banget kayaknya sih selalu ada tempat kosong deh, walaupun bukan berarti sepi. Kalau turis yang bergaji dollar atau euro, apalagi yang sudah usia matang dan hidupnya mapan, banyak banget kok yang memilih menginap di hotel-hotel, motel, dan apartemen mewah hehehehe...
Queenstown (Māori: Tāhuna) adalah salah satu kota tujuan utama wisatawan di South Island, New Zealand. Kota ini bisa diakses melalui jalan darat dan udara. Luas area keseluruhannya adalah 8.705 kilometer persegi, dengan area penduduk hanya sekitar 25,55 kilometer persegi. Jumlah penduduknya 14.300 jiwa menurut sensus penduduk tahun 2016. Dengan lokasinya yang berada di pesisir Lake Wakatipu, dengan pemandangan Southern Alps yang dramatis di sekelilingnya, sepertinya Queenstown adalah salah satu kota yang wajib dikunjungi kalau kita ke New Zealand. Selain itu, dari Queenstown kita juga bisa melihat gunung-gunung di dekatnya, seperti The Remarkables, Cecil Peak, Walter Peak dan persis di atas Queenstown ada Ben Lomond dan Queenstown Hill.
Kota ini dikenal dengan atraksi-atraksi olahraga adrenalin, selain aktivitas-aktivitas outdoor lainnya. Ada bungee jumping di Kawarau Gorge Suspension Bridge, jet-boating di Shotover dan Dart Rivers. Ada pula kegiatan sky diving, canyon swinging, horse trekking, mountain biking, skateboarding, tramping, paragliding, fly fishing, dan river rafting yang diselenggarakan sepanjang tahun. Di musim dingin, kita bisa berski atau snowboarding di lereng gunung The Remarkables dan Coronet Peak. Untuk para pesepeda pun, sangat banyak track yang disediakan, mulai dari track yang mudah dengan pemandangan indah, track bersepeda di jalan raya, sampai track downhill yang sangat sulit (untuk track ini, aku dan suamiku juga mendakinya berjalan kaki pada saat road trip tahun 2017, dan track sepedanya memang luar biasa menyeramkan). Bisa dibilang, Queenstown adalah surganya kegiatan outdoor di New Zealand.
Untuk akses jalan darat menuju Queenstown, utamanya adalah lewat State Highway 6 (SH6). Sedangkan untuk akses lewat udara, Queenstown International Airport menerima penerbangan dari Australia oleh maskapai Air New Zealand, Qantas, Virgin Australia, dan Jetstar, utamanya dari Brisbane, Gold Coast, Melbourne, dan Sydney (frekuensinya meningkat saat musim ski dan musim panas). Penerbangan domestiknya beroperasi ke Auckland, Christchurch, Dunedin, Hamilton, Nelson, dan Wellington.
Untuk harga rumah di Queenstown, karena kota ini sangat touristy, harganya sangat mahal. Bahkan semenjak awal tahun 2017, Queenstown telah mengambil alih posisi Auckland sebagai kota yang harga propertinya termahal di New Zealand. Per Desember 2016, harga rumah rata-rata di Queenstown mencapai $1 juta hehehehe....
Pertumbuhan area di kota ini juga merupakan salah satu yang terpesat, dan hampir semua ladang pekerjaan di Queenstown berhubungan dengan turisme atau akomodasi.
Buat penggemar trilogi The Lord of The Rings, Queenstown dan daerah sekitarnya banyak dijadikan lokasi syuting film ini. Pernah juga dijadikan lokasi syuting X-Men Origins: Wolverine (2009). Masih banyak lagi film-film lainnya yang menjadikan kota turis ini sebagai lokasi syutingnya.
Beberapa top sights di Queenstown:
1. Skyline Gondola
2. Gibbston Valley
3. Peregrine
4. Kiwi Birdlife Park
5. Chard Farm
6. Underwater Observatory
7. Lake Wakatipu
8. Queenstown Gardens
Lake Wakatipu sendiri, salah satu daya tarik utama di Queenstown, berbentuk seperti petir, dan merupakan danau ketiga terbesar berdasarkan luas permukaannya di seantero New Zealand. Panjangnya mencapai 80 KM, dan ini sekaligus merupakan sungai terpanjang di New Zealand. Luas permukaannya meliputi 291 kilometer persegi. Dasar danau ini berada di bawah permukaan air laut, dengan kedalaman maksimalnya 380 meter.
Lake Wakatipu dikenal karena keindahannya, terutama karena dikelilingi oleh pegunungan. Danau ini juga merupakan habitat belut bersirip panjang, brown trout, salmon, dan rainbow trout.
Nah, waktu sedang berada di pusat keramaian di dekat Lake Wakatipu ini, aku dan suamiku berunding dan merencanakan tempat menginap kami malam ini. Sebetulnya rencana awal sih di Queenstown. Aku search di aplikasi booking.com, pertama kali melihat, masih ada tempat kosong di 2 penginapan. Tarifnya hampir 1 juta untuk 3 orang, dengan shared facilities. Yang satunya di Black Sheep Backpackers, satunya lagi lupa, tapi keduanya berupa dormitory, jadi bukan kamar pribadi. Nah, karena ragu-ragu dan kebanyakan mikir (sampai ada fotoku yang lagi bertampang stress, putriku yang motret tuh hahahaha...), akhirnya setelah memutuskan mau diambil, keduanya sudah full booked! Hahahaha ironis banget, cuma beda beberapa menit lho padahal... Banyak sih tempat lain yang masih ada kamar kosong, tapi harganya sudah kurang terjangkau buat kami. Akhirnya kami berdua beralih ke alternatif lain, nggak usah nginep di Queenstown. Tadinya sempat mau balik ke Wanaka lagi, tapi daripada harus berputar lagi dan perjalanan esok akan jadi lebih panjang, akhirnya diambil keputusan untuk menginap di kota kecil Cromwell. Arahnya tetap menuju ke selatan, mendekati Invercargill, lagipula kami belum pernah ke sana, jadi sekalian melihat-lihat di sana deh....
Kami masih duduk-duduk di taman di dekat kami parkir mobil. Banyak bebek di sana, jadi kami memberi makan bebek-bebek itu dulu, sebelum kemudian sekitar jam 4 sore kami melanjutkan lagi perjalanan menuju Cromwell.
Dari Queenstown ke Cromwell jaraknya hanya sekitar 60 KM dengan waktu tempuh seharusnya 50 menitan, tapi ya begitulah, dengan mampir-mampir di jalan akhirnya baru sampai tujuan jam 5.15 petang, molornya hampir setengah jam sendiri.
Sepanjang jalan, kami banyak menjumpai view pegunungan di kanan kiri yang sangat indah, karenanya sempat berhenti untuk memotret. Selain itu kami juga lewat Kawarau Gorge. Di jembatan yang namanya Kawarau Gorge Suspension Bridge inilah tempat kegiatan outdoor bungee jumping dilakukan. Kawarau adalah nama sungai yang mengalir mulai Lake Wakatipu sampai ke Cromwell. Kira-kira tiga perempat perjalanan, di kanan jalan ada view point, namanya Roaring Meg. Kami juga berhenti di sana sebentar untuk memotret.
Perjalanan menuju Cromwell menjelang sore hari ini seperti menyadarkanku, bahwa selama menyusuri jalanan di South Island dalam 2 hari terakhir ini, indahnya jauh melebihi 14 hari perjalanan naik campervan di North Island sebelumnya. Aku tidak akan mengatakan bahwa North Island kurang indah, namun pemandangan dan keliaran alam di South Island ini bagiku adalah sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata... aku bagaikan memasuki dunia lain saat berada di antara megahnya alam ini, membuat air mataku tidak jarang menitik begitu saja. Tidak heran jika orang menjuluki negeri ini "a little piece of heaven on earth".
Sewaktu di Queenstown, kami sudah memutuskan akan mencoba menginap di Cromwell Top 10 Holiday Park, karena saat itu yang termurah adalah di tempat tersebut. Jadi begitu memasuki Cromwell, kami langsung menuju ke holiday park tersebut di Alpha Street dan mencari cabin. Kebetulan masih ada beberapa jenis cabin yang cukup untuk 3 orang, dan kami pilih yang harganya $111 untuk satu malam. Biasanya aku akan membandingkan harga online dengan harga langsung di tempat. Mana yang lebih murah, itu yang kupesan, tapi kalau sama atau hampir sama (kadang selisihnya cuma sekitar Rp 5.000,-) aku pesan langsung di tempat saja.
Oya ada hal yang lupa kuceritakan kemarin, kalau kita sewa cabin, kadang mereka menyediakan cabin yang "kosong" tanpa selimut, sprei, dan handuk. Kadang ada sprei dan selimut, tapi tanpa handuk. Masing-masing tempat memiliki kebijakannya sendiri-sendiri. BIasanya kita akan ditanya, bawa beddings sendiri atau tidak? Beddings pada umumnya ya sprei, sarung bantal, dan selimut atau duvet. Biasanya kalau kita sewa cabin atau kamar tanpa beddings, harganya akan lebih murah. Selisihnya juga beda-beda, tapi biasanya lumayan, bisa sampai puluhan dollar. Mulai menginap di cabin kemarin, kalau ditanya bawa beddings atau tidak, kami bilang bawa, karena putriku ini kan ibaratnya pindahan, jadi memang kami ada sprei, sarung bantal, bahkan selimut. Karenanya bisa sedikit lebih hemat daripada harus membayar pula untuk beddingsnya.
Sebetulnya tanpa beddings bukan berarti kasurnya nggak ada sprei sama sekali, biasanya sudah ada sprei putihnya (linen), bantal juga ada sarungnya, tapi basic banget, dan diharapkan dengan kita bawa alas tidur sendiri, kita tidak mengotori sprei bawaannya.
Sebetulnya kalau kita mau nakal, bisa saja bilang bawa beddings sendiri walaupun aslinya nggak bawa. Mereka nggak akan ngecek juga kok. Tapi pastikan jangan sampai membuat kotor atau meninggalkan noda sedikit pun di perlengkapan tidurnya hehehehe...
Nah, setelah kami mendapatkan kamar, kami menurunkan barang-barang yang akan dipakai terlebih dahulu, kemudian aku berbenah dulu di kamar dan merapikan barang-barang. Tadinya kami sempat memilih kamar yang termurah, kalau tidak salah harganya $97 per malam untuk 3 orang. Fasilitasnya basic banget, hanya kasur dan heater saja. Kasurnya pun berupa single bed semua. Sedangkan untuk kamar dengan harga $111 ini, selain heater, di dalam kamarnya ada semacam pantry, Jadi disediakan wastafel, electric kettle, toaster, dan peralatan makan lengkap. Kamarnya pun jauh lebih luas (rata-rata cabin sebetulnya bisa muat untuk minimal 4 orang). Jadi karena selisihnya nggak begitu banyak dengan perbedaan fasilitas yang lumayan banyak, kami pun pilih yang sedikit lebih mahal ini.
Setelah kamar siap, biasanya hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek kondisi toilet, shower, dan dapur umumnya. Untuk yang di Wanaka kemarin, tidak ada peralatan dapurnya, tapi ada sedikit peralatan makan, sedangkan untuk yang di Cromwell ini, peralatan dapur harus sewa lagi (biasanya $ 5-10), dan tidak ada peralatan makan (tapi kami dapat dari fasilitas kamar). Beruntung aku membawakan putriku peralatan dapur yang basic, seperti panci, pisau, talenan, piring, cangkir, dan perlengkapan makan lainnya untuk 1 orang. Jadi dengan peralatan seadanya inilah aku masak. Panci memang cuma satu saja, tapi kan bisa memanfaatkan microwave menggunakan baskom plastik atau piring, misalnya. Jadi masih bisa menghasilkan makanan yang memadai walaupun dengan peralatan seadanya.
Kalau alat masak elektronik biasanya disediakan cukup lengkap, seperti microwave, lemari es besar (kadang ada freezer tersendiri juga), toaster, electric kettle, kompor listrik, dan oven.
Setelah beres semua, jam 6 petang (karena spring jam segitu masih terang banget, bahkan panas) kami pergi untuk berkeliling dan melihat suasana kota Cromwell, sekalian membeli alkohol untuk penghangat malam hehehehe...
Pertama-tama kami menuju ke arah luar kota, ke Cromwell - Clyde Road, dan berhenti setelah jembatan. Di tempat ini ada view point, namanya Cromwell Lookout atau The Bruce Jackson Lookout. Kita bisa melihat kota Cromwell dari tempat yang lebih tinggi, dengan Kawarau River tepat di depan kita. Sedangkan di sisi lain jalan, pegunungan menjulang dengan anggunnya. Indah sekali lho pemandangan di sini.... Kalau suka trekking, di tempat ini juga ada jalur untuk loop trekking, kalau tidak salah menuju ke tambang tua.
Dari view point ini, kami menuju ke arah dalam kota, menyusuri jalan di pinggir sungai, dan sampailah kami di area Old Cromwell Town Historic Reserve di Melmore Terrace. Di tempat ini ada The Junction Lookout, tempat bertemunya Kawarau River dan Clutha Mata-Au Rivers. Berjalan-jalan di sekitar, tempat ini indah sekali lho, persis seperti gambar-gambar di kalender. Lihat fotonya deh kalau nggak percaya! Kami sempat turun sampai ke tepi sungainya, dan sempat bertemu dan bermain-main dengan seekor anjing yang lucu di sana ^_^
Cromwell adalah sebuah kota di Central Otago yang dulunya dibangun oleh para penambang emas, namun saat ini lebih dikenal sebagai kota penghasil aneka stone fruit, yaitu buah dengan satu biji yang diselimuti daging buah (contohnya peach, nectarine, plum, leci, mangga, alpukat, dan ceri). Cromwell juga merupakan kota tempat bertemunya Kawarau River dan Clutha River, dan kedua sungai ini bisa dibedakan dari warna airnya. Karena itulah dulu kota ini dikenal sebagai The Junction, The Point, dan Kawarau. Nama Cromwell sendiri berasal dari Oliver Cromwell. Dan karena hasil buahnya yang melimpah, Cromwell sering disebut sebagai "Fruit Bowl of the South".
Sekitar tahun 80-90an, kota ini mengalami transformasi besar-besaran dengan dibangunnya pembangkit listrik Clyde Dam. Saat bendungan selesai dibangun tahun 1992, lembah di baliknya dibanjiri untuk membuat danau, yaitu Lake Dunstan. Pembuatan danau ini memakan sebagian area kota lama, karenyanya dibangun area-area pemukiman baru, sehingga Cromwell tampak lebih seperti kota modern.
Lake Dunstan sendiri merupakan sumber irigasi bagi perkebunan buah-buahan dan anggur di sekitarnya.
Setelah puas mengambil foto di area The Junction ini, kami pun kembali menaiki mobil dan berputar-putar keliling kota. Kotanya memang tidak terlalu besar, dan saat itu suasana di jalan pun sudah cukup sepi. Penduduk di Cromwell hanya berkisar 4.000 jiwa saja, jadi bisa terbayangkan bagaimana sepinya hehehehe...
Sekitar jam 7.30 malam, matahari sudah mulai meremang, dan kami pun kembali ke holiday park. Suamiku masih jalan-jalan di area holiday park yang cukup luas ini untuk memotret. Banyak campervan yang terparkir di area non-powered sitesnya.
Sementara sudah jam makan malam dan kami mulai lapar, aku pun masak di dapur umum. Seperti biasa, sayuran, daging, dan kentang menjadi menu utama. Sekitar jam 8.15 malam, kami makan bersama, setelah itu mandi air hangat, dan beristirahat. Suhu di luar cukup dingin, karenanya lebih nyaman berada di dalam kamar yang berpenghangat ini hehehehe...
Hari ini kami hanya menempuh jarak sekitar 175 KM saja, namun karena cukup banyak tempat yang didatangi, rasanya melelahkan juga. Yang pasti aku menikmati sekali perjalanan kami dari hari ke hari. Tidak sabar rasanya menunggu esok hari, ingin melihat seperti apa kota Invercargill yang akan jadi tempat tinggal putriku ke depannya...
Mungkin sekitar setahun sebelum kami berangkat ke New Zealand pertama kali tahun 2015, aku mulai "mengincar" tempat-tempat yang indah di sana, dan mulai follow instagram beberapa fotografer yang tinggal di beberapa kota di sana, di antaranya di Wanaka dan Queenstown. Nah, ada satu pohon di Lake Wanaka yang sering banget nongol fotonya, dan sayangnya justru pada saat kami mengunjungi Wanaka tahun 2015, kami melewatkan pohon tersebut gara-gara salah info. Kami bertanya pada penjaga holiday park yang kami inapi mengenai lokasinya di peta, dan beliau ini ternyata salah memberikan info. Jadilah kami mencari-cari tanpa hasil dan karenanya bertekad, kalau ke Wanaka lagi, harus mengunjungi pohon tersebut.
That Wanaka Tree (terkenal banget di instagram dengan hashtag #thatwanakatree), atau The Lone Tree of Lake Wanaka, adalah sebuah pohon willow di dekat pesisir Lake Wanaka dengan latar belakang pegunungan Southern Alps yang sangat indah, yang paling sering diabadikan oleh pengunjung. Namun demikian, tidak ada petunjuk jalan khusus untuk menuju lokasi persisnya pohon ini. Kalau turis biasa, nggak akan tahu bahwa pohon ini ada, kecuali sudah tahu sebelumnya tentang keberadaannya. Kalau cari di Google Map ada kok, The Wanaka Tree, tapi parkirnya agak jauh, kalau mengikuti arahan langsung Google Map, malah masuk ke perumahan penduduk (soalnya kami juga nyasar dulu masuk ke perumahan penduduk hehehehe...).
Untuk menuju ke lokasinya, kita butuh sedikit berjalan menyusuri pesisir danau ini dari tempat parkir mobil terdekat. Gampangnya, area parkir mobil paling barat di Ardmore Street, atau cari saja Wanaka Rotary Playground atau Lake Wanaka Hike/Bike Track di Google Map. Di sini memang ada track untuk bersepeda atau jalan kaki sepanjang sisi danau, dan berakhir di Ruby Island Road, yang tembus lagi ke jalan raya. Dan karena penduduk di New Zealand banyak yang mempunyai anjing piaraan, kalau ada walking track begini, biasanya dimanfaatkan untuk mengajak anjing piaraan mereka berjalan-jalan, karenanya kami sering bertemu anjing-anjing dari berbagai ras di sekitar area ini. Kadang ada yang memakai tali, tapi banyak juga yang dilepaskan begitu saja. Lucu-lucu lho ^_^
Kalau membutuhkan toilet, di dekat tempat parkir juga ada toilet umum yang cukup bersih.
Yang pasti, pemandangannya luar biasa indah di tempat ini, bahkan lebih indah daripada sisi Lake Wanaka yang paling touristy di pusat kota. Saat difoto saja, hasilnya seperti lukisan, apalagi kalau melihat langsung... benar-benar indah deh pokoknya! Tempatnya juga cocok banget buat piknik, atau menonton sunrise dan sunset. Kalau kuat dengan dinginnya, bahkan boleh berenang di sini lho...
Menurut seorang seniman dari Wanaka yang berusia 85 tahun, pohon ini sudah berada di tempat tersebut paling tidak sejak tahun 1939, dan awalnya berfungsi sebagai pagar.
Sekitar lima tahun silam, beberapa fotografer dan penulis di Wanaka sering mempublikasikan pohon ini sebagai bahan candaan. Dua tahun lalu, Lake Wanaka Tourism memasukkan pohon ini ke dalam salah satu obyek wisatanya. The lone tree ini berada di kaki perbukitan Mount Aspiring National Park, yang termasuk salah satu World Heritage Site. Coba deh kunjungi saat menjelang gelap atau pagi sebelum matahari terbit, biasanya masih sepi, dan pohonnya benar-benar sendirian tanpa pengunjung hehehehe...
Sebetulnya sekarang ini pohon ini juga sudah touristy, karena pada saat kami datang sebelum jam 9 pagi waktu itu, ternyata sudah cukup banyak orang di sana, dan kebanyakan turis dari RRC :(
Posisi pohonnya sendiri hanya sekitaran selemparan batu dari tepi danau. Katanya, setiap harinya banyak "pengganggu-pohon" yang memotret pohon ini. Bahkan ada saatnya sang pohon harus menghadapi lebih dari 100 orang yang berebutan ingin mengabadikannya. Kadangkala pohon ini pun digunakan sebagai latar belakang pengambilan foto prewedding. Ah, ada-ada saja ya...
Kalau boleh jujur sih, menurutku pemandangan secara keseluruhan di tempat ini benar-benar luar biasa, membuatku semakin jatuh cinta pada kota ini ^_^
Lake Wanaka sendiri, merupakan danau keempat terbesar di New Zealand yang panjangnya 45 KM dan luas totalnya meliputi 193 kilometer persegi. Berada di ketinggian 300 mdpl, kedalamannya diduga mencapai lebih dari 300 meter. Nama Maorinya adalah Oanaka, yang artinya tempat Anaka, salah satu kepala suku lokal jaman dahulu.
Di bagian selatan danau ini ada pulau-pulaunya Ruby Island, Stevensons Island, dan Harwich Island) yang merupakan cagar alam, salah satunya adalah burung weka, salah satu burung khas di New Zealand.
Air danau ini juga sangat jernih, dan cocok sekali untuk aktivitas jetboat, ski air, berlayar, kayak, memancing, dan tentunya berenang.
Sebetulnya tadinya kami berencana ke Roy's Peak, salah satu tempat untuk trekking di Wanaka ini. Cuma melihat situasi bahwa ternyata trekkingnya butuh waktu 5-6 jam, sedangkan kami tidak pernah trekking sebelumnya (baru pernah naik ke Gunung Ijen 2 kali, dan itu pun ngos-ngosan banget), ditambah lagi kami mengejar waktu untuk ke Queenstown, maka kami batalkan ke Roy's Peak. Jadi kami berkendara ke Glendhu Bay. Di sini kami sempat berhenti di suatu tempat indah tanpa nama. Letaknya di antara properti pribadi. Karena sepertinya makin lama kok pemandangannya makin indah (karena tampak puncak-puncak gunung yang bersalju hehehehe...), kami teruskan saja. Kami mampir ke Hospital Flat Conservation Area. Di area ini sepertinya merupakan tempat untuk trekking juga, bahkan ada tiga tempat yang bisa kita kunjungi: Hospital Flat Conservation Area, Diamond Lake Conservation Area, dan Riverside Recreation Reserve. Saat itu sedang ada beberapa orang yang sepertinya akan memanjat tebing atau trekking di sana, jadi kami sempat mengamati mereka selama beberapa waktu hehehehe...
Dari situ kami menuju ke Treble Cone, yang merupakan area ski terdekat dari kota Wanaka. Treble Cone juga terkenal dengan view yang spektakular mengarah ke Lake Wanaka dan Mount Aspiring/Tititea. Lapangan ski di sini merupakan tempat berlatih tim nasional ski Austria apabila mereka sedang tidak musim bertanding. Dengan luas area ski mencapai 550 hektar, tempat ini juga terkenal akan medannya yang cukup curam dan menantang, serta diklaim sebagai yang terbaik di seluruh New Zealand. Walaupun medannya cukup berat, 10% dari area ski ini diperuntukkan bagi beginner (pemula), 45% area ski intermediate (menengah), dan sisanya yang 45% untuk yang sudah level advance (mahir).
Kalau mau berski di sini, di area resortnya ada cafe, bar dan restoran, sekolah ski (bagi anak-anak dan dewasa), tempat penyewaan alat-alat ski, dan sarana kesehatan.
Nah, sudah jauh-jauh didatangi, suamiku tidak berani mengendarai mobil kami menaiki gunung ini. Katanya seram karena tidak ada pembatasnya, dan jalannya masih berupa tanah yang berpasir dan berkerikil. Padahal banyak lho, mobil-mobil lain yang naik ke atas sana, kadang drivernya perempuan dan sendirian pula. Jadi ya sudah, kami hanya nongkrong saja di tempat parkir di bawah, sebelum naik ke gunungnya. Pemandangan dari tempat itu saja sudah indah sekali, tampak gunung-gunung menjulang di kejauhan. Entah bagaimana indahnya di atas sana... Beberapa mata air juga tampak mengalir di sisi pegunungan ini, sayang foto tidak dapat mewakilkannya dengan cukup baik. Saat berada di tempat tersebut, kami sempat menyaksikan beberapa orang yang main parasut dari atas. Tampaknya seru sih... Setelah merasa cukup puas berada di sana, kami mulai berkendara lagi, putar balik (karena jalannya sudah buntu), lalu beli bensin dulu di Wanaka. Habisnya $78.57, entah berapa liter itu, pokoknya full tank deh. Kali ini kami menuju ke Queenstown. Waktu menunjukkan jam 11 siang saat kami mulai berangkat.
Eh tapi biasaaaaa..... namanya road trip, kalau ada tempat bagus atau menarik kan pasti berhenti dulu. Sewaktu masih di area Glendhu Bay, kami sempat berhenti sekali, berjalan ke tepi danau dan berfoto sejenak. Setelah itu, keluar dari Wanaka ke arah Queenstown, kita akan memasuki daerah Cardrona Valley. Banyak biri-biri yang sedang merumput di ladang yang luas.
Kira-kira setengah jalan, di kiri jalan akan tampak satu tempat yang sepanjang pagarnya banyak digantungi bra (yes, beha!). Kami juga sempat berhenti di sana untuk berfoto sebentar. Pagar ini berlokasi di pinggir jalan publik, dekat dengan sebuah properti farm milik penduduk lokal.
The Cardrona Bra Fence bisa dibilang merupakan tempat kunjungan turis yang kontroversial. Awalnya, dulu antara Natal 1998 dan tahun baru 1999, beberapa orang yang lewat (cewek tentunya), mulai menggantungkan bra mereka di pagar di daerah pinggiran ini. Jumlahnya hanya 4 buah. Alasannya sampai sekarang tidak pernah diketahui. Dari mulut ke mulut dan dengan pesan yang ditinggalkan di pagar tersebut, jumlah bra yang "muncul" makin banyak. Menjelang akhir Februari sudah ada 60 bra, namun kemudian ada yang "membersihkan" tempat ini. Beritanya dimuat oleh koran lokal, dan setelah itu malah menyebar lewat media nasional, dan membuat makin banyak lagi bra yang digantung di sana.
Sampai bulan Oktober tahun 2000, jumlah bra yang digantung di pagar ini mencapai 200, dan lagi-lagi ada yang membersihkannya. Namun kali ini beritanya jadi lebih santer, karena secara tidak langsung tempat ini sudah menjadi semacam tempat tujuan wisata yang unik dan aneh. Media-media dari Eropa jadi tertarik meliputnya, dan akibatnya jumlah bra yang digantung secara langsung atau dikirimkan untuk digantung, meningkat drastis. Awal tahun 2006, jumlah bra yang dibgantung berjumah sekitar 800 buah!
Walaupun sebagian penduduk lokal cukup menerima keberadaan pagar ini dan menganggapnya sebagai tempat yang menarik bagi turis, sebagian lainnya menganggapnya memalukan dan tidak pantas, serta bisa berpotensi membahayakan karena bisa mengalihkan pandangan para pengendara yang lewat di jalan ini. Seringkali dilakukan upaya hukum untuk menghilangkan tempat ini, terutama di awal tahun 2006, dengan alasan para pelajar dari Asia dan Afrika Selatan bisa tersinggung karenanya.
Namun demikian, seorang peternak biri-biri yang tinggal di dekat sana, John Lee, menolak memindahkan bra yang tergantung di sana, dengan alasan 90% surat-surat yang ia terima bernada positif, dan merupakan tempat yang paling sering diabadikan di area tersebut. Ia kemudian bahkan menjadi semacam guardian untuk tempat ini hehehehe....
Pada tanggal 28 April 2006, wakil rakyat setempat memerintahkan untuk memindahkan pagar bra ini dengan alasan berada di jalan umum dan bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Keputusan ini sempat memicu usaha untuk membuat rekor dunia "the world's longest bra chain". Bra yang digantung mencapai 7.400 buah, masih kurang 100.000 buah lebih dari rekor dunia yang ada, namun berhasil mengumpulkan donasi sekitar $10.000.
Seorang tour guide di Cardrona, Kelly Spaans dan partnernya Sean Colbourne, mengambil alih "guardianship" dari pagar ini secara sukarela saat mereka mulai memandu di daerah ini 2 tahun lalu. Dan karena dari waktu ke waktu ada orang yang dikenal yang berusaha mengguntingi bra-bra tersebut, akhirnya mereka memindahkan lokasi pagar yang tadinya di tepi jalan Cardrona Valley Rd ke jalan masuk menuju kediaman mereka.
Setelah itu mereka menempatkan sebuah kotak berwarna pink di samping pagar ini untuk mengumpulkan dana bagi para penderita kanker payudara. Saat ini pagar yang penuh bra ini berada di dekat Cardrona Distillery, dan dijuluki "Bradrona".
Seru dan menarik ya, sejarah Bradrona ini... ^_^
Dari Bradrona, kami melanjutkan perjalanan melalui Cardrona Valley Road dan Crown Range Road yang sangat indah. Pegunungan berwarna kecoklatan menjulang di kanan kiri kita. Rerumputan berwarna kuning atau kehijauan terhampar di sepanjang pegunungan ini. Sesekali tampak puncak-puncak tinggi yang masih diliputi sedikit salju, indah sekali! Kami pun berhenti di Crown Range Summit. Tempat ini merupakan tempat terbaik untuk melihat suasana pegunungan di sekitarnya. Jangan lewatkan tempat ini ya, kalau tidak mau menyesal ^_^
Kami sekalian makan siang di tempat ini. Walaupun makanannya sederhana, hanya telur, sayuran dan sedikit daging, namun pemandangan di depan mata itu yang luar biasa... Aku jadi teringat perjalanan pertama kami tahun 2015, saat itu pun kami berhenti di tempat yang sama, dan hanya keluar beberapa menit saja sudah menggigil kedinginan karena salju dan angin. Kalau kali ini masih agak kedinginan tapi hanya karena anginnya yang kencang. Waktu berfoto saja rambut kami sampai terbang-terbang hahahaha...
Selain Crown Range Summit, tidak jauh setelahnya juga ada lookout lagi, tapi tidak ada namanya. Dari tempat ini kita sudah mulai bisa melihat kota Queenstown di kejauhan. Di tempat inilah yang tahun lalu aku merasa nyaris kabur terbawa angin hehehehe.... Kemudian ada juga Arrow Junction Lookout Point kalau mau berhenti. Dari tempat ini, pemandangan kota Queenstown dan Lake Wakatipu sudah tampak jauh lebih dekat. Tapi hati-hati ya, di daerah ini tikungannya tajam-tajam sekali dan jalannya menurun agak curam juga.
Di Arrow Junction, kalau kita berbelok ke kanan akan menuju ke Arrowtown, sedangkan ke Queenstown lurus saja. Tidak lama setelah melewati Arrow Junction, di kanan jalan ada Lake Hayes. Aku baru mengunjungi Lake Hayes ini tahun 2017 waktu road trip berdua dengan suamiku. Di Lake Hayes juga ada lokasi untuk freedom camping ground.
Setelah melewati Lower Shotover (ini merupakan area perumahan yang rumah-rumahnya keren lho) dan Frankton (cuma lewat pinggirannya saja), maka sampailah kami di Queenstown.
Yang agak susah di Queenstown adalah mencari tempat parkir yang gratis dan tidak dibatasi waktunya. Beruntung sekali kami waktu itu mendapatkan tempat parkir di Camp Street di pusat kota, dekat sekali dengan danau pula. Hanya perlu berjalan beberapa menit saja untuk ke tepi Lake Wakatipu yang di pusat kota (Beach Street). Area parkir gratis sebetulnya ada di sepanjang jalan Lake Esplanade dan di ujungnya, di One Mile Carpark, cuma jaraknya agak jauh dari pusat kota. Kalau buat jalan-jalan oke banget sih, karena sepanjang menuju pusat kota, kalau menurutku, pemandangan Lake Wakatipu di sini jauh lebih keren daripada di pusat kotanya sendiri.
Kami berjalan-jalan menyusuri jalanan di pusat kota. Suasananya kali ini jauh lebih ramai dibandingkan saat musim dingin yang lalu. Bagiku pribadi, Queenstown merupakan kota yang indah sekali, asal kita nggak beli apa-apa di sana hahahaha.... Tapi kami biasanya menyempatkan beli kopi di sana kok, dan kalau antrian di Ferg Burger tidak panjang, aku juga mau beli sih... cuma saat itu juga sedang ramai sekali antriannya, sampai belasan meter kayaknya, jadi keinginan membeli burgernya dibatalkan dulu deh... ^_^
Sewaktu berjalan kaki melewati Mall Street, tampak ada rombong penjual kopi di tepi jalan (kalau di Indonesia pedagang kaki lima lah), dan kami membeli flat white ukuran besar ($5.5), sementara putriku memilih secangkir cokelat panas ($4.5). Penjualnya seorang pria muda yang ramah sekali. Putriku senang sekali melihatnya membuat kopi. Maka kami pun duduk-duduk sambil ngopi di bangku yang ada di tepi jalan tersebut. Belakangan aku baru tahu bahwa counter kopi di pinggir jalan ini hanya merupakan cabang dari sebuah cafe di dekat situ juga, dan cafenya ternyata terkenal. Namanya Vudu Cafe, berlokasi di Rees Street.
Selesai ngopi, waktu menunjukkan jam 2.45 siang, dan kami pun berjalan kaki menuju Lake Wakatipu. Berfoto dan jalan-jalan di sekitar danau, melihat-lihat suasana yang ramai dan menyenangkan sekali. Suasanya terasa seperti pasar malam, tapi di siang hari. Banyak orang yang membuka lapak dan menjual dagangannya, kebanyakan benda-benda seni dan pernak-pernik untuk souvenir. Biro-biro wisata juga banyak sekali di sepanjang tepian danau ini, menawarkan berbagai macam atraksi untuk turis. Tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang menawarkan apa yang mereka jual (baik barang maupun jasa) kepada turis yang lewat lho, apalagi berusaha membujuk atau memaksa kita untuk membeli. Nggak ada deh... mereka akan bersabar menanti pengunjung dan pembeli yang mendatangi mereka. Karenanya sebagai turis, kita juga tidak akan merasa terganggu dengan keberadaan mereka.
Di sekitar pusat kota, tersebar berbagai macam resto, cafe, pub, bar, akomodasi/penginapan, dan toko-toko yang menjual barang-barang segala macam, mulai dari barang bermerk mahal, sampai aksesoris dan kerajinan penduduk lokal.
Menurut pengalamanku pribadi, Queenstown adalah kota termahal di New Zealand untuk biaya hidup sehari-hari, mulai dari bahan makanan (apalagi kalau makan di resto-resto yang fancy), bahan bakar, dan terutama akomodasi. Kalau sedang musim sibuk di Queenstown (yang sebenarnya adalah sepanjang tahun hehehehe...), banyak yang bilang sih kalau bisa booking dulu penginapan jauh-jauh hari sebelum kita datang, karena pada umumnya penginapan di kota ini selalu full booked, terutama yang terjangkau. Kalau mau yang kelas mahal-mahal banget kayaknya sih selalu ada tempat kosong deh, walaupun bukan berarti sepi. Kalau turis yang bergaji dollar atau euro, apalagi yang sudah usia matang dan hidupnya mapan, banyak banget kok yang memilih menginap di hotel-hotel, motel, dan apartemen mewah hehehehe...
Queenstown (Māori: Tāhuna) adalah salah satu kota tujuan utama wisatawan di South Island, New Zealand. Kota ini bisa diakses melalui jalan darat dan udara. Luas area keseluruhannya adalah 8.705 kilometer persegi, dengan area penduduk hanya sekitar 25,55 kilometer persegi. Jumlah penduduknya 14.300 jiwa menurut sensus penduduk tahun 2016. Dengan lokasinya yang berada di pesisir Lake Wakatipu, dengan pemandangan Southern Alps yang dramatis di sekelilingnya, sepertinya Queenstown adalah salah satu kota yang wajib dikunjungi kalau kita ke New Zealand. Selain itu, dari Queenstown kita juga bisa melihat gunung-gunung di dekatnya, seperti The Remarkables, Cecil Peak, Walter Peak dan persis di atas Queenstown ada Ben Lomond dan Queenstown Hill.
Kota ini dikenal dengan atraksi-atraksi olahraga adrenalin, selain aktivitas-aktivitas outdoor lainnya. Ada bungee jumping di Kawarau Gorge Suspension Bridge, jet-boating di Shotover dan Dart Rivers. Ada pula kegiatan sky diving, canyon swinging, horse trekking, mountain biking, skateboarding, tramping, paragliding, fly fishing, dan river rafting yang diselenggarakan sepanjang tahun. Di musim dingin, kita bisa berski atau snowboarding di lereng gunung The Remarkables dan Coronet Peak. Untuk para pesepeda pun, sangat banyak track yang disediakan, mulai dari track yang mudah dengan pemandangan indah, track bersepeda di jalan raya, sampai track downhill yang sangat sulit (untuk track ini, aku dan suamiku juga mendakinya berjalan kaki pada saat road trip tahun 2017, dan track sepedanya memang luar biasa menyeramkan). Bisa dibilang, Queenstown adalah surganya kegiatan outdoor di New Zealand.
Untuk akses jalan darat menuju Queenstown, utamanya adalah lewat State Highway 6 (SH6). Sedangkan untuk akses lewat udara, Queenstown International Airport menerima penerbangan dari Australia oleh maskapai Air New Zealand, Qantas, Virgin Australia, dan Jetstar, utamanya dari Brisbane, Gold Coast, Melbourne, dan Sydney (frekuensinya meningkat saat musim ski dan musim panas). Penerbangan domestiknya beroperasi ke Auckland, Christchurch, Dunedin, Hamilton, Nelson, dan Wellington.
Untuk harga rumah di Queenstown, karena kota ini sangat touristy, harganya sangat mahal. Bahkan semenjak awal tahun 2017, Queenstown telah mengambil alih posisi Auckland sebagai kota yang harga propertinya termahal di New Zealand. Per Desember 2016, harga rumah rata-rata di Queenstown mencapai $1 juta hehehehe....
Pertumbuhan area di kota ini juga merupakan salah satu yang terpesat, dan hampir semua ladang pekerjaan di Queenstown berhubungan dengan turisme atau akomodasi.
Buat penggemar trilogi The Lord of The Rings, Queenstown dan daerah sekitarnya banyak dijadikan lokasi syuting film ini. Pernah juga dijadikan lokasi syuting X-Men Origins: Wolverine (2009). Masih banyak lagi film-film lainnya yang menjadikan kota turis ini sebagai lokasi syutingnya.
Beberapa top sights di Queenstown:
1. Skyline Gondola
2. Gibbston Valley
3. Peregrine
4. Kiwi Birdlife Park
5. Chard Farm
6. Underwater Observatory
7. Lake Wakatipu
8. Queenstown Gardens
Lake Wakatipu sendiri, salah satu daya tarik utama di Queenstown, berbentuk seperti petir, dan merupakan danau ketiga terbesar berdasarkan luas permukaannya di seantero New Zealand. Panjangnya mencapai 80 KM, dan ini sekaligus merupakan sungai terpanjang di New Zealand. Luas permukaannya meliputi 291 kilometer persegi. Dasar danau ini berada di bawah permukaan air laut, dengan kedalaman maksimalnya 380 meter.
Lake Wakatipu dikenal karena keindahannya, terutama karena dikelilingi oleh pegunungan. Danau ini juga merupakan habitat belut bersirip panjang, brown trout, salmon, dan rainbow trout.
Nah, waktu sedang berada di pusat keramaian di dekat Lake Wakatipu ini, aku dan suamiku berunding dan merencanakan tempat menginap kami malam ini. Sebetulnya rencana awal sih di Queenstown. Aku search di aplikasi booking.com, pertama kali melihat, masih ada tempat kosong di 2 penginapan. Tarifnya hampir 1 juta untuk 3 orang, dengan shared facilities. Yang satunya di Black Sheep Backpackers, satunya lagi lupa, tapi keduanya berupa dormitory, jadi bukan kamar pribadi. Nah, karena ragu-ragu dan kebanyakan mikir (sampai ada fotoku yang lagi bertampang stress, putriku yang motret tuh hahahaha...), akhirnya setelah memutuskan mau diambil, keduanya sudah full booked! Hahahaha ironis banget, cuma beda beberapa menit lho padahal... Banyak sih tempat lain yang masih ada kamar kosong, tapi harganya sudah kurang terjangkau buat kami. Akhirnya kami berdua beralih ke alternatif lain, nggak usah nginep di Queenstown. Tadinya sempat mau balik ke Wanaka lagi, tapi daripada harus berputar lagi dan perjalanan esok akan jadi lebih panjang, akhirnya diambil keputusan untuk menginap di kota kecil Cromwell. Arahnya tetap menuju ke selatan, mendekati Invercargill, lagipula kami belum pernah ke sana, jadi sekalian melihat-lihat di sana deh....
Kami masih duduk-duduk di taman di dekat kami parkir mobil. Banyak bebek di sana, jadi kami memberi makan bebek-bebek itu dulu, sebelum kemudian sekitar jam 4 sore kami melanjutkan lagi perjalanan menuju Cromwell.
Dari Queenstown ke Cromwell jaraknya hanya sekitar 60 KM dengan waktu tempuh seharusnya 50 menitan, tapi ya begitulah, dengan mampir-mampir di jalan akhirnya baru sampai tujuan jam 5.15 petang, molornya hampir setengah jam sendiri.
Sepanjang jalan, kami banyak menjumpai view pegunungan di kanan kiri yang sangat indah, karenanya sempat berhenti untuk memotret. Selain itu kami juga lewat Kawarau Gorge. Di jembatan yang namanya Kawarau Gorge Suspension Bridge inilah tempat kegiatan outdoor bungee jumping dilakukan. Kawarau adalah nama sungai yang mengalir mulai Lake Wakatipu sampai ke Cromwell. Kira-kira tiga perempat perjalanan, di kanan jalan ada view point, namanya Roaring Meg. Kami juga berhenti di sana sebentar untuk memotret.
Perjalanan menuju Cromwell menjelang sore hari ini seperti menyadarkanku, bahwa selama menyusuri jalanan di South Island dalam 2 hari terakhir ini, indahnya jauh melebihi 14 hari perjalanan naik campervan di North Island sebelumnya. Aku tidak akan mengatakan bahwa North Island kurang indah, namun pemandangan dan keliaran alam di South Island ini bagiku adalah sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata... aku bagaikan memasuki dunia lain saat berada di antara megahnya alam ini, membuat air mataku tidak jarang menitik begitu saja. Tidak heran jika orang menjuluki negeri ini "a little piece of heaven on earth".
Sewaktu di Queenstown, kami sudah memutuskan akan mencoba menginap di Cromwell Top 10 Holiday Park, karena saat itu yang termurah adalah di tempat tersebut. Jadi begitu memasuki Cromwell, kami langsung menuju ke holiday park tersebut di Alpha Street dan mencari cabin. Kebetulan masih ada beberapa jenis cabin yang cukup untuk 3 orang, dan kami pilih yang harganya $111 untuk satu malam. Biasanya aku akan membandingkan harga online dengan harga langsung di tempat. Mana yang lebih murah, itu yang kupesan, tapi kalau sama atau hampir sama (kadang selisihnya cuma sekitar Rp 5.000,-) aku pesan langsung di tempat saja.
Oya ada hal yang lupa kuceritakan kemarin, kalau kita sewa cabin, kadang mereka menyediakan cabin yang "kosong" tanpa selimut, sprei, dan handuk. Kadang ada sprei dan selimut, tapi tanpa handuk. Masing-masing tempat memiliki kebijakannya sendiri-sendiri. BIasanya kita akan ditanya, bawa beddings sendiri atau tidak? Beddings pada umumnya ya sprei, sarung bantal, dan selimut atau duvet. Biasanya kalau kita sewa cabin atau kamar tanpa beddings, harganya akan lebih murah. Selisihnya juga beda-beda, tapi biasanya lumayan, bisa sampai puluhan dollar. Mulai menginap di cabin kemarin, kalau ditanya bawa beddings atau tidak, kami bilang bawa, karena putriku ini kan ibaratnya pindahan, jadi memang kami ada sprei, sarung bantal, bahkan selimut. Karenanya bisa sedikit lebih hemat daripada harus membayar pula untuk beddingsnya.
Sebetulnya tanpa beddings bukan berarti kasurnya nggak ada sprei sama sekali, biasanya sudah ada sprei putihnya (linen), bantal juga ada sarungnya, tapi basic banget, dan diharapkan dengan kita bawa alas tidur sendiri, kita tidak mengotori sprei bawaannya.
Sebetulnya kalau kita mau nakal, bisa saja bilang bawa beddings sendiri walaupun aslinya nggak bawa. Mereka nggak akan ngecek juga kok. Tapi pastikan jangan sampai membuat kotor atau meninggalkan noda sedikit pun di perlengkapan tidurnya hehehehe...
Nah, setelah kami mendapatkan kamar, kami menurunkan barang-barang yang akan dipakai terlebih dahulu, kemudian aku berbenah dulu di kamar dan merapikan barang-barang. Tadinya kami sempat memilih kamar yang termurah, kalau tidak salah harganya $97 per malam untuk 3 orang. Fasilitasnya basic banget, hanya kasur dan heater saja. Kasurnya pun berupa single bed semua. Sedangkan untuk kamar dengan harga $111 ini, selain heater, di dalam kamarnya ada semacam pantry, Jadi disediakan wastafel, electric kettle, toaster, dan peralatan makan lengkap. Kamarnya pun jauh lebih luas (rata-rata cabin sebetulnya bisa muat untuk minimal 4 orang). Jadi karena selisihnya nggak begitu banyak dengan perbedaan fasilitas yang lumayan banyak, kami pun pilih yang sedikit lebih mahal ini.
Setelah kamar siap, biasanya hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek kondisi toilet, shower, dan dapur umumnya. Untuk yang di Wanaka kemarin, tidak ada peralatan dapurnya, tapi ada sedikit peralatan makan, sedangkan untuk yang di Cromwell ini, peralatan dapur harus sewa lagi (biasanya $ 5-10), dan tidak ada peralatan makan (tapi kami dapat dari fasilitas kamar). Beruntung aku membawakan putriku peralatan dapur yang basic, seperti panci, pisau, talenan, piring, cangkir, dan perlengkapan makan lainnya untuk 1 orang. Jadi dengan peralatan seadanya inilah aku masak. Panci memang cuma satu saja, tapi kan bisa memanfaatkan microwave menggunakan baskom plastik atau piring, misalnya. Jadi masih bisa menghasilkan makanan yang memadai walaupun dengan peralatan seadanya.
Kalau alat masak elektronik biasanya disediakan cukup lengkap, seperti microwave, lemari es besar (kadang ada freezer tersendiri juga), toaster, electric kettle, kompor listrik, dan oven.
Setelah beres semua, jam 6 petang (karena spring jam segitu masih terang banget, bahkan panas) kami pergi untuk berkeliling dan melihat suasana kota Cromwell, sekalian membeli alkohol untuk penghangat malam hehehehe...
Pertama-tama kami menuju ke arah luar kota, ke Cromwell - Clyde Road, dan berhenti setelah jembatan. Di tempat ini ada view point, namanya Cromwell Lookout atau The Bruce Jackson Lookout. Kita bisa melihat kota Cromwell dari tempat yang lebih tinggi, dengan Kawarau River tepat di depan kita. Sedangkan di sisi lain jalan, pegunungan menjulang dengan anggunnya. Indah sekali lho pemandangan di sini.... Kalau suka trekking, di tempat ini juga ada jalur untuk loop trekking, kalau tidak salah menuju ke tambang tua.
Dari view point ini, kami menuju ke arah dalam kota, menyusuri jalan di pinggir sungai, dan sampailah kami di area Old Cromwell Town Historic Reserve di Melmore Terrace. Di tempat ini ada The Junction Lookout, tempat bertemunya Kawarau River dan Clutha Mata-Au Rivers. Berjalan-jalan di sekitar, tempat ini indah sekali lho, persis seperti gambar-gambar di kalender. Lihat fotonya deh kalau nggak percaya! Kami sempat turun sampai ke tepi sungainya, dan sempat bertemu dan bermain-main dengan seekor anjing yang lucu di sana ^_^
Cromwell adalah sebuah kota di Central Otago yang dulunya dibangun oleh para penambang emas, namun saat ini lebih dikenal sebagai kota penghasil aneka stone fruit, yaitu buah dengan satu biji yang diselimuti daging buah (contohnya peach, nectarine, plum, leci, mangga, alpukat, dan ceri). Cromwell juga merupakan kota tempat bertemunya Kawarau River dan Clutha River, dan kedua sungai ini bisa dibedakan dari warna airnya. Karena itulah dulu kota ini dikenal sebagai The Junction, The Point, dan Kawarau. Nama Cromwell sendiri berasal dari Oliver Cromwell. Dan karena hasil buahnya yang melimpah, Cromwell sering disebut sebagai "Fruit Bowl of the South".
Sekitar tahun 80-90an, kota ini mengalami transformasi besar-besaran dengan dibangunnya pembangkit listrik Clyde Dam. Saat bendungan selesai dibangun tahun 1992, lembah di baliknya dibanjiri untuk membuat danau, yaitu Lake Dunstan. Pembuatan danau ini memakan sebagian area kota lama, karenyanya dibangun area-area pemukiman baru, sehingga Cromwell tampak lebih seperti kota modern.
Lake Dunstan sendiri merupakan sumber irigasi bagi perkebunan buah-buahan dan anggur di sekitarnya.
Setelah puas mengambil foto di area The Junction ini, kami pun kembali menaiki mobil dan berputar-putar keliling kota. Kotanya memang tidak terlalu besar, dan saat itu suasana di jalan pun sudah cukup sepi. Penduduk di Cromwell hanya berkisar 4.000 jiwa saja, jadi bisa terbayangkan bagaimana sepinya hehehehe...
Sekitar jam 7.30 malam, matahari sudah mulai meremang, dan kami pun kembali ke holiday park. Suamiku masih jalan-jalan di area holiday park yang cukup luas ini untuk memotret. Banyak campervan yang terparkir di area non-powered sitesnya.
Sementara sudah jam makan malam dan kami mulai lapar, aku pun masak di dapur umum. Seperti biasa, sayuran, daging, dan kentang menjadi menu utama. Sekitar jam 8.15 malam, kami makan bersama, setelah itu mandi air hangat, dan beristirahat. Suhu di luar cukup dingin, karenanya lebih nyaman berada di dalam kamar yang berpenghangat ini hehehehe...
To be continued........
No comments:
Post a Comment