DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Friday, December 8, 2017

NEPAL BACKPACKING, NOVEMBER 2017 (2) - KATHMANDU!


1 November 2017


Aku terbangun jam 1 dini hari oleh bunyi alarm, lalu membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kantuk yang tersisa. Ternyata suamiku dan Yen Yen tidak tidur sama sekali dari semalam. Mereka mengobrol di teras, dan sempat berkeliling untuk melihat-lihat di sekitar perumahan dan membeli makanan naik sepeda motor. Sekitar jam 2 pagi, aku cuci muka dan mulai bersiap-siap, mengecek lagi barang-barang agar tidak ada yang ketinggalan. Setelah itu suamiku juga cuci muka dan mempersiapkan diri.
Jam 2.35 pagi, kami diantar ke bandara oleh Yen Yen dan drivernya. Walaupun di jam segini, tampak masih banyak kendaraan lalu lalang, terutama truk-truk besar dan container-container. Kami sampai di Soekarno Hatta International Airport, dan turun di Terminal 2D.



Memasuki bandara, kami melalui screening barang-barang terlebih dahulu, lalu karena kami tidak membawa bagasi dan boarding pass sudah diprint di rumah, kami disuruh langsung menuju ke bagian Imigrasi. Petugasnya seorang pria yang berusia menjelang 30 tahun, dan melayani kami dengan baik. Masalahnya, beliau ini tidak tahu apakah boarding pass yang dicetak sendiri ini boleh dipakai atau tidak. Selama ini yang pasti bisa adalah untuk Air Asia. Hmmm kami juga ragu-ragu, boleh atau tidak, jadi untuk amannya kami bilang akan ke counter check-in dulu saja.
Lalu petugasnya berkata, nanti kalau sudah, langsung ke sini saja, tidak usah antri lagi.

Maka berjalanlah kami ke counter check-in, dan tampak antriannya ada belasan orang di 2 counter Malindo. Setelah berdiri di dalam barisan baru kelihatan bahwa counternya belum buka. Tidak ada petugas yang tampak di belakang meja, padahal seharusnya counter sudah dibuka paling lambat 3 jam sebelum keberangkatan. Maka antri dan menunggulah kami. Sementara makin lama antrian penumpang makin mengular sampai menutupi jalan orang yang lalu lalang. Sebagian besar penumpang sepertinya orang-orang yang mau pergi umroh atau naik haji, karena mereka mengenakan baju yang bermotif sama, dan kebanyakan koper yang dibawa juga sama. Tampak banyak sekali bawaan mereka semua.



Sementara menunggu, aku sempat masuk ke dalam toilet, yang ternyata bersih kondisinya. Rasanya lamaaaa sekali menunggu antrian di counter check-in ini, dan setelah lebih dari 1 jam berdiri menunggu, akhirnya counter dibuka jam 4.05 pagi. Bayangkan saja, padahal pesawat dijadwalkan berangkat jam 5.35 pagi lho. Petugas yang melayani pun tampak lamban sekali, antriannya lama baru maju. Akhirnya suamiku maju terlebih dulu dan bertanya kepada petugas, apakah boleh menggunakan boarding pass hasil cetak sendiri ini, dan katanya boleh.
Waaaah andai tahu di awal kan nggak usah pake ngantri segitu lamanya :(
Saat itu sudah jam 4.35 pagi, dan kami kembali lagi menuju ke bagian imigrasi, dan langsung mendatangi loket yang sebelumnya. Petugasnya mengiyakan dan hendak menyuruh kami maju, saat seorang bapak tua langsung marah-marah. Katanya, "Antri! Antri!"
Aku tidak menjawab, hanya menunjuk kepada petugasnya, yang lagi-lagi membela kami, katanya, ibu ini sudah antri tadi. Bapak itu masih tidak terima, marah-marah sambil menyela maju ke depan. Demikian juga seorang perempuan di belakangnya ikut-ikut berkomentar, "kalau ditinggal pergi ya antri lagi".
Aku bilang kepada si bapak, silakan saja bapak dulu. Lalu si bapak masih ngoceh-ngoceh, "nggak senang saya, caranya begini. Nggak bener ini", dan begitu terus sampai pergi.
Setelah itu petugasnya yang tadi malah gantian mengomel setelah si bapak itu pergi, katanya, "orang besar selalu begitu, kayak yang nggak mau hilang waktu 5 menit saja!" Entah apa yang dimaksud dengan orang besar, mungkin jabatannya besar, atau orang penting, atau duitnya banyak kali...
Akhirnya aku maju dan dilayani dengan baik oleh petugas yang ada. Bahkan ada yang sebelumnya ditanya-tanya mengenai tiket pulang, aku dan suamiku bahkan tidak ditanya apa-apa. Hehehehe...

Selepas imigrasi, kami masih melewati security screening, dan lagi-lagi kompor campingku dipertanyakan, namun pada akhirnya tetap boleh dibawa hehehehe... Petugasnya juga baik-baik dan ramah-ramah lho...
Kemudian kami segera ke Gate 3, tempat boarding menuju pesawat. Tadinya aku sudah yakin bahwa penerbangan akan delay, akibat terlambatnya counter check-in dibuka. Anehnya, itu tidak terjadi. Kami boarding ke dalam pesawat jam 5 lewat, dan jam 5.32 pagi, pesawat sudah mulai bergerak menuju landasan.
Jam 5.45 pagi, pesawat Boeing 737 dengan kode penerbangan OD317 ini pun meninggalkan Jakarta.



Karena Malindo Air merupakan maskapai full service, kami mendapatkan snack dan minuman. Kebetulan kami duduk di deretan kursi nomor 9 bersama dengan seorang perempuan muda, mungkin usianya baru 20-an, dan penampilannya tomboy sekali, mengenakan hiking boots pula. Karena melihat penampilannya inilah, aku pikir tadinya dia juga akan menuju Kathmandu, jadi kutanya ke mana gerangan tujuannya. Ternyata bukan ke Kathmandu, namun ke Sapa, Hanoi, Vietnam. Tadinya berawal hanya ingin sedikit mengobrol, sisa waktu ingin kugunakan untuk tidur, tapi lama-lama malah jadi keterusan ngobrol sepanjang perjalanan yang hampir 2 jam ini.
Namanya Bernadia, asal Jakarta, dan berusia 23 tahun. Orangnya menyenangkan, open-minded, dan mandiri. Kami bertukar cerita pengalaman-pengalaman kami, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Kami pun mendarat di Kuala Lumpur International Airport, Malaysia, jam 7.35 pagi waktu setempat, lebih cepat 10 menit dari yang seharusnya. Tapi kami masih harus menunggu sekitar 5-10 menitan karena masih antri untuk menurunkan penumpang.

Kami pun berpisah dengan Nadia, lalu kami berjalan menuju Gate G1 yang sudah ditentukan. Melewati duty free, kami membeli masing-masing sebotol minuman alkohol untuk dibawa ke Nepal. Harga di Eraman, duty free Kuala Lumpur ini, sejauh ini yang termurah yang pernah kulihat. Setelah itu barulah kami menuju ke gatenya, yang ternyata sudah sangat penuh dan panjang antriannya. Ada 3 jurusan penerbangan yang dijadikan satu di tempat yang sempit ini, dan semuanya masih harus melalui proses screening barang sekali lagi.
Awalnya antriannya seperti tidak bergerak, tapi lama-kelamaan maju juga sedikit demi sedikit. Melalui proses ini, semuanya lancar, kemudian dari sini yang jurusan ke Kathmandu dikumpulkan dalam satu bus, kemudian diantar naik bus ke tempat pesawat diparkir. Semua petugas yang melayani juga baik-baik.



Lagi-lagi kali ini pesawat berangkat lebih cepat daripada jadwal. Seharusnya penerbangan dengan kode OD184 dengan pesawat Boeing 737-900ER ini berangkat jam 9.05 pagi, namun sudah lepas landas dari KLIA jam 9.02 pagi. Sebetulnya penerbangan kami seharusnya berangkat siang hari dengan waktu tiba di Kathmandu sore hari, namun beberapa hari sebelum keberangkatan, kami mendapat pemberitahuan lewat email bahwa penerbangannya dimajukan sekitar 3 jam lebih awal. Memang jadi agak terburu-buru transitnya, tapi buat kami sebetulnya lebih menguntungkan, karena bisa tiba lebih awal di tujuan, dengan harapan bisa segera menjelajah Thamel ^_^
Di penerbangan yang kedua ini, kami duduk di deretan kursi yang berada di pintu keluar darurat. Memang tempat duduknya lebih lega, tapi ternyata sandaran tangannya pendek sekali, agak kurang nyaman juga jadinya. Sesaat setelah tinggal landas, para pramugari pun membagikan makanan dan minuman. Kami diberi makan nasi dengan lauk semacam kentang masak merah dan kari sayuran. Selama penerbangan kedua ini, aku dan suamiku lebih banyak tidur. Rasanya memang ngantuk sekali, mungkin akibat tidur malam yang kurang.



Kami tiba di Kathmandu jam 12.50 siang waktu setempat, atau jam 2.05 siang WIB. Ya, Nepal memang memiliki zona waktu yang agak berbeda, di mana selisih waktunya tidak genap 1 jam, 2 jam, namun 1 jam 15 menit lebih lambat daripada WIB.

Semua penumpang turun dari pesawat dan berjalan kaki menuju terminal kedatangan, di mana semua yang bukan warga negara Nepal wajib membuat Visa On Arrival. Beruntung kami sudah apply online dan mencetaknya terlebih dahulu di rumah, jadi tidak perlu repot mengisi formulir di sini. Suasananya ramai sekali, penuh sesak dengan turis dari seluruh dunia. Bandaranya sendiri tampak sudah tua dan relatif kecil.
Kami langsung antri ke tempat pembayaran, dan setelah agak lama berdiri menunggu antrian, tibalah giliran kami. Petugasnya seorang bapak berusia 50-an yang ramah. Saat tahu kami dari Indonesia dan baru pertama kali ke Nepal, beliau berkata selamat datang di Nepal dan semoga kami senang di sini. Tidak sampai 5 menit, kami mendapatkan visa kami selama 1 bulan berada di Nepal. Biayanya adalah US$ 40/orang.



Selesai urusan visa, kami berpencar. Suamiku antri menuju imigrasi, dan aku antri untuk tukar uang di sebelah antrian pembayaran tadi. Sudah lama menunggu, ternyata minimal harus menukar minimal US$ 50, sedangkan aku hanya mau tukar US$ 10 saja. Akhirnya aku menyusul suamiku yang sudah hampir sampai di antrian paling depan di imigrasi. Orang-orang yang aku lewati sepanjang antrian ini tidak marah, mereka malah memberi jalan kepadaku dan mempersilakanku lewat karena suamiku sudah di depan. Aku terkesan  dan berterima kasih sekali lho...

Proses di imigrasi juga sangat cepat dan lancar, petugasnya pun baik dan ramah. Mungkin hanya 1-2 menit sudah beres pengecekan paspor dan visa kami. Setelah itu kami berjalan lagi, mengikuti antrian panjang menuju security check. Semua juga berjalan lancar di sini. Kami melewati metal detector tanpa hambatan.
Lalu bagi yang memiliki bagasi, harus menunggu lagi apabila bagasinya belum sampai. Karena kami tidak bawa bagasi, kami langsung menuju customs. Di sini kami memilih jalur hijau karena tidak bawa apa-apa yang dilarang atau melebihi ketentuan. Itu pun tidak diperiksa, hanya ditanya apakah bawa tas lain? Waktu kujawab tidak, langsung disuruh lewat. Selesai sudah! Kami sudah bisa keluar dari bandara ^_^
Aku menukarkan uang US$ 10 di money changer pertama yang kulihat dan dapat NRs 1,050 sebagai gantinya.



Sejauh yang aku tahu dari membaca, tarif taxi menuju Thamel adalah NRs 750-850. Saat hendak keluar dari pintu bandara, banyak yang menawarkan jasa taxi prepaid, jadi kutanya berapa harganya untuk mengantar ke hotel di Thamel, dan katanya NRs 700. Jadi kami memesan taxi di sini saja yang lebih murah. Aku juga ditanya rencanaku selama di sini, dan aku bilang belum tahu, untuk mencegah mereka menawarkan jasa guide dan lain-lain. Ternyata malah kami disarankan untuk ikut dengan kakaknya yang menawarkan jasa taxi ini. Katanya kakaknya buka usaha tour, dan akan menjelaskan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan, dan kalau tidak mau tidak apa-apa. Ya sudah, pikirku, kucoba saja tidak ada salahnya.
Kami mengikuti petugasnya keluar bandara, beserta si pemilik tour itu tadi, lalu diantar ke mobil taxi kami. Mobilnya adalah mobil kecil yang hanya muat 3-4 orang penumpang, dan sudah tampak butut. Yang lucu, di dalam mobil diperbolehkan merokok karena tanpa AC dan jendelanya dibuka.



Kathmandu adalah kota terbesar, terpadat, dan sekaligus merupakan ibukota Nepal. Populasinya mencapai 2,5 juta jiwa di area kotanya, dan 6 juta jiwa di area Kathmandu Valley, yang meliputi Lalitpur, Kirtipur, Madhyapur Thimi dan Bhaktapur. Kathmandu juga merupakan kota metropolis terbesar di wilayah perbukitan Himalayan. Kota metropolisnya meliputi wilayah seluas 50,67 kilometer persegi, dengan kepadatan penduduknya mencapai 17.000 jiwa per kilometer persegi. Kathmandu Valley merupakan rumah bagi 12% penduduk di Nepal.
Kotanya sendiri berada pada ketinggian 1.400 mdpl dan merupakan tempat bagi istana-istana, mansion, dan taman-taman milik para aristokrat di Nepal. Kota ini dikelilingi oleh empat gunung utama, yaitu Shivapuri, Phulchoki, Nagarjun, dan Chandragiri. Kathmandu juga merupakan markas South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) sejak tahun 1985. Kini, kota ini menjadi pusat pemerintahan Republik Nepal yang didirikan pada tahun 2008.

Kathmandu menjadi pusat sejarah, seni, budaya, dan ekonomi di Nepal, dengan populasinya yang multietnis, di mana mayoritas merupakan pemeluk agama Hindu dan Budha. Festival-festival religius dan budaya telah menjadi bagian dari penduduk yang berdiam di kota ini. Karenanya, lebih dari sekedar sebuah kota, Kathmandu merupakan museum hidup,  di mana kita berkesempatan untuk melihat sejarah secara langsung.  Kita bisa melihat keragaman historis di kota ini, tempat-tempat religius berlatar belakang Hindu dan Budha, dengan arsitektur Newari yang berusia ratusan tahun, namun juga ramah bagi pengunjung, dengan banyaknya akomodasi dan restoran. Turisme juga menjadi bagian penting dari pendapatan ekonominya, karena kota ini merupakan gerbang menuju Nepalese Himalayas. Pada tahun 2013, Kathmandu dinobatkan sebagai kota tujuan wisata nomor tiga terpopuler di dunia, dan nomor satu di Asia menurut versi TripAdvisor. Bahasa utama yang digunakan adalah bahasa Nepal (yang mirip dengan bahasa India), dan bahasa Inggris juga umum dimengerti oleh warga yang lebih berpendidikan atau yang berkecimpung dalam usaha pariwisata.

Sektor pariwisata memang menjadi salah satu pendapatan utama di Nepal. Dimulai semenjak tahun 1950, saat perubahan politik di negeri ini mengakhiri isolasi Nepal dari dunia sekitarnya. Transportasi udara mulai didirikan tahun 1956, dengan dibukanya Tribhuvan Highway.
Pemeluk agama Hindu dan Budha dari seluruh dunia berkunjung ke tempat-tempat wisata religius di Kathmandu, seperti Pashupatinath, Swayambhunath, Boudhanath dan Budhanilkantha. Sementara itu, distrik Thamel di Kathmandu dipenuhi dengan guest house, tempat-tempat makan, toko-toko, dan segala macam layanan yang ditujukan untuk para turis yang berkunjung.

Bagi banyak orang (terutama mereka yang berasal dari negara maju dan segala sesuatunya serbateratur), menginjakkan kaki di Kathmandu merupakan pengalaman yang membuat mata terbelalak, dengan suasananya yang kacau-balau, kebisingan, dan bau-bauan yang bisa menjadi berlebihan. Entah sedang naik rickshaw melalui jalan-jalan kecil yang penuh kemacetan, mengagumi kuil-kuil abad pertengahan, atau menghindari pacuan trekking di distrik backpacker Thamel, Kathmandu bisa menjadi tempat yang memabukkan, menakjubkan sekaligus melelahkan.

Untuk menjelajahi kota Kathmandu, kita bisa berjalan kaki, menyewa sepeda atau sepeda motor, naik rickshaw (semacam becak), naik bus, atau naik taxi. Banyak sekali tempat yang bisa dijadikan destinasi wisata di kota ini, seperti Swayambunath/Monkey Temple (biaya masuknya NRs 200), Boudhanath (salah satu stupa Budha yang dianggap paling keramat bagi umat Budha Tibet, dan merupakan salah satu stupa terbesar di dunia, biaya masuknya NRs 250), Narayanhiti Palace Museum (biaya masuknya NRs 500), Thamel Chowk, Freak Street, Pashupatinath (sebuah kuil Hindu yang dipersembahkan bagi dewa Shiva, biaya masuknya NRs 1,000), Garden of Dreams / Kaiser Mahal (biaya masuknya NRs 200), Budda Neelkanth Temple (Narangdham), dan Kathmandu Durbar Square (area dengan banyak kuil dan bangunan bersejarah, merupakan salah satu UNESCO World Heritage Site yang terpopuler di Nepal, dengan biaya masuk NRs 1,000).

Polusi udara merupakan masalah utama di Kathmandu. Hal ini kurasakan sendiri saat berada di kota ini. Debu yang tebal menyelimuti seluruh permukaan apa saja, termasuk barang-barang dagangan yang dipajang di luar toko. Seringkali, apabila ada kendaraan lewat di jalanan, baik jalan besar maupun jalan kecil, dengan segera debu beterbangan memenuhi udara di sekitarnya. Karena itu banyak orang yang mengenakan masker di kota ini.

Pada tanggal 25 April 2013, terjadi gempa bumi dengan skala 7.8 yang meluluhlantakkan kota ini, termasuk area-area historisnya. Dalam dekade terakhir, Kathmandu mengalami perkembangan yang pesat seperti kota-kota besar lainnya. Namun demikian, orang-orangnya masih tetap ramah. Mereka masih menganut nilai luhur "Atithi Devo Bhava” , yang berarti "Tamu setara dengan Tuhan". Menginjakkan kaki di Kathmandu serasa menginjakkan kaki ke dunia lain, dan setidaknya semua orang harus mengalaminya setidaknya sekali dalam hidupnya ^_^

Dari dalam taxi, kulihat bahwa suasana di Kathmandu ini bisa dibilang Indonesia banget. Ramai, banyak macet, pengemudi kendaraan bermotor banyak yang ngawur, suara klakson di mana-mana, lengkap deh!



Perjalanan dari bandara menuju ke Thamel makan waktu sekitar 20 menitan. Kami memasuki area Thamel, di mana mobil tidak diijinkan masuk. Lalu kami berjalan kaki sedikit untuk menuju ke kantor pemilik tour tadi. Nama tempatnya Himalayan Spirit Adventure. Pria ini menjelaskan beberapa tour, di antaranya Everest Base Camp Trekking, dengan durasi 14 hari dan total biaya US$ 2,708 untuk 2 orang. Ada pula tour Annapurna Base Camp Trekking dengan durasi 12 hari, dengan total biaya US$ 1,800 untuk 1 orang. Untuk tour Safari Jungle di Chitwan, biayanya US$ 280 untuk 2 orang selama 3 hari 2 malam.

Aku sudah banyak membaca referensi sebelum berangkat ke Nepal ini, dan menurutku biaya-biaya tersebut terlalu mahal. Tapi yang membuatku kurang suka, orangnya agak memaksa, dan bahkan mendesak kami untuk segera menentukan mau ambil tour yang mana dan kapan. Setelah itu masih mendesak untuk ketemu lagi hari ini atau besok. Saat kubilang kami masih lelah dan butuh istirahat serta akan menghabiskan waktu di Thamel terlebih dahulu, dia berkata bahwa istirahat bisa sampai sore hari, dan menjelajah Thamel hanya butuh 2 jam saja (what???). Di sini aku mulai merasa tidak nyaman. Akhirnya aku bisa menolak dengan halus untuk sementara waktu. Untungnya aku belum punya kartu telepon lokal, jadi tidak bisa memberi nomor telepon. Aku beralasan, nanti akan kuhubungi kalau kami sudah memutuskan. Sepertinya dia jadi agak marah hehehehe... Jadi mungkin sebaiknya lain kali langsung ditolak saja kalau ada yang mau menawarkan jasa tour, atau bilang saja sudah ikut agensi lain.

Dari sana, kami diantar berjalan kaki oleh salah satu karyawannya ke Hotel Lily di Z Street.  Jaraknya hanya sekitar 5-10 menitan saja. Melewati jalan-jalan di Thamel ini, aku sudah tahu aku akan merasa senang berada di sini. Suasananya Bali banget. Touristy memang iya, tapi menyenangkan sekali. Terutama aku suka sekali melihat bendera warna-warni yang tergantung di banyak jalan di Thamel ini. Kalau dilihat lebih dekat, ternyata bendera-bendera tersebut bertuliskan mantra-mantra lho... tadinya kupikir hanya bendera hiasan saja. Sesampai di Hotel Lily, kami disambut dengan baik oleh karyawan hotel, dan setelah mengisi data yang diperlukan (nama dan nomor paspor), kami langsung diantar ke kamar.




Kamar kami di Hotel Lily ini berada di lantai 2. Kamarnya biasa banget, sangat standar dengan kasur king bed, meja dan lemari, dan kamar mandi dalam yang sudah tampak usang sekali. But it's okay, I mean it's cheap you know?
Kami memesan kamar ini di booking.com dengan harga NRs 1,500 dan masih dapat breakfast pula hehehehe...
Saat itu waktu sudah menjelang jam 3 sore (yang makan banyak waktu adalah saat di bandara). Kami pun cuci muka, mengeluarkan barang-barang dari backpack, lalu keluar hotel dan berjalan mencari ATM terdekat. Yang kami cari adalah ATM Nabil Bank. Max memberi tahu kalau bank lain maksimum hanya bisa menarik NRs 20K, sedangkan di Nabil Bank bisa sampai NRs 35K dengan biaya adminstrasi sama, NRs 500.

Di ATM pertama yang kami jumpai, ternyata tidak bisa mengambil uang sama sekali, jadi kami cari ATM lain. Saat itulah aku membaca, hanya bisa menarik uang dengan menu fast cash, tidak bisa memilih menu lain apabila bukan pemilik ATM lokal. Jadi kami kembali ke ATM pertama, dan berhasil menarik NRs 30K dari ATM ini. Aku punya 2 buah kartu debit, jadi kugunakan keduanya untuk menarik uang total NRs 60K, dengan biaya masing-masing NRs 500 dan potongan IDR 25K dari BCA per satu kali mengambil uang. Ternyata kalau kita memasukkan ATM dan tidak jadi melakukan transaksi, kena potongan biaya juga, dalam hal ini 5 ribu rupiah per satu kali memasukkan kartu.



Setelah ada uang cash di tangan, kami mencari kartu SIM lokal di sebuah toko yang menjual SIM Card sekaligus tempat sewaan sepeda. Niatnya mau beli NTC, tapi si pemuda 18 tahun yang melayani kami bilang bahwa NCell lebih bagus sinyalnya, bahkan sampai di Everest Base Camp. Okelah, jadi kami beli kartu NCell ini dengan kuota 1GB, seharga NRs 1,400. Harga kartunya sendiri NRs 100. Dan ternyata setelah diaktifkan, kami dapat SMS yang menyebutkan kami dapat bonus 1GB data, jadi dengan NRs 1,500 kami dapat data 2,5 GB. Not bad lah... not bad at all... ^_^

We have money, and we have data in our cell phone, so we're good to go!
Maka kami berjalan-jalan di seputaran Thamel. Melihat-lihat situasi dan suasana. Hmmm menyenangkan sekali rasanya. Saat itu jalanan cukup ramai dengan pengunjung. Suamiku yang agak lapar sempat membeli 2 buah donat seharga @NRs 15, dan secangkir kopi seharga NRs 90. Kami juga mencari perlengkapan untuk trekking, karenanya kami masuk ke dalam sebuah toko yang menjual peralatan trekking dankelihatanya cukup ramai. Kami tidak tahu cara mencari barang yang bagus, dan saat itu ada 2 orang kulit putih yang juga tampak sedang belanja, jadi aku menyapa mereka. Mereka berdua berasal dari Canada, jadi mereka tahu benar memilih barang yang bagus (tidak harus branded ya) dan berkualitas. Mereka menjelaskan kepada kami, apa saja yang kira-kira akan kami butuhkan untuk trekking dalam suhu dingin. Wah kami jadi dapat banyak ilmu untuk memilih proper clothing for the cold weather.

Akhirnya di toko ini kami membeli 2 buah fleece (semacam sweater dengan ritsleting, double layered) dan 2 pasang sarung tangan (double layered juga). Harga awal semuanya masing-masing NRs 1,500, tapi setelah ditawar totalnya menjadi NRs 4,500. 
Dari toko ini, kami masih berkeliling di sekitar Thamel, membeli sebuah beanie ala lokal  (terbuat dari yak wool, dan ada "ekor" di sampingnya) seharga NRs 350, jeruk nipis untuk dibuat minuman tiap pagi dengan harga NRs 200/kg (kebetulan nemu toko sayur di sebuah gang), lalu ke supermarket untuk membeli madu lokal seharga NRs 215 (isi 250g) dan sempat pula membeli 4 buah pisang seharga NRs 235 dari seorang penjual buah keliling yang naik sepeda. Entah kenapa, kadang aku merasa sangat iba melihat mereka-mereka yang berjualan keliling dan menarik becak. Kalau dihitung-hitung, harga pisangnya mahal sekali, tapi sesekali tidak mengapalah...



Saat melewati jalanan di mana kendaraan bermotor boleh lewat, tampak sekali suasana yang kacau di mana-mana. Jalan-jalan di seputaran Thamel ini pada umumnya berupa jalan kecil, dan cukup banyak kendaraan yang lewat. Mulai dari mobil-mobil taxi, mobil tour, sepeda motor, dan rickshaw. Terkadang para pejalan kaki termasuk kami, sampai harus berhenti untuk memberi jalan kepada kendaraan-kendaraan tersebut. Pengemudi rickshaw yang kulihat kebanyakan masih cukup muda-muda, tidak seperti tukang becak di Indonesia yang didominasi bapak-bapak yang sudah berusia cukup lanjut.
Pada umumnya orang-orang lokal sangat ramah, kecuali beberapa yang terasa sangat memaksa menjual jasa mereka (pada umumnya jasa tour). Di luar itu, setiap kali aku menyapa dengan Namaste, mereka akan selalu membalas dengan senyumnya. I think I already fell in love with this country!



Kami sempat ke toko barang-barang original branded seperti North Face dan beberapa lainnya di Thabahi Road, jalan yang lebih besar. Maunya sih kalau tidak terlalu mahal atau sedang ada diskon, kami ingin membeli down jacket yang original. Tapi ternyata harganya agak kurang terjangkau buat kami hahahaha... Satu buah down jacket saja harganya bisa NRs 20-30K (3-4 jutaan rupiah), jadi akhirnya ya cuma lihat-lihat saja.
Kami juga banyak keluar masuk toko-toko yang menjual alat-alat trekking dan supermarket untuk mencari bahan bakar gas yang cocok dengan kompor yang kami bawa, tapi tidak ada satu pun yang menjualnya. Gas butana yang dijual untuk camping di sini, bentuk ujungnya lain dengan yang ada di Indonesia, dan jenis kompor yang dipakai pun berbeda.



Kami berjalan-jalan sampai matahari terbenam, menjelajah jalanan di Thamel dan sekitarnya, dan sekitar jam 6.30 petang baru pulang ke hotel. Sesampai di kamar, kami langsung mandi, lalu langsung keluar lagi mencari makan malam. Saat kami membeli SIM card siang harinya, si ABG penjualnya sempat kutanya tempat makan lokal yang enak dan murah di mana, dan dia menunjukkan kepadaku tempatnya. Jadi malam ini kami kembali ke tempat tersebut. Lokasinya tidak terlihat dari luar, masuk gang, dan tidak ada papan nama. Tempatnya kecil dan sangat sederhana, seperti warung kecil di Indonesia. Kami memesan dal bhat dan ayam, serta 2 cangkir teh, 1 dengan susu dan 1 tanpa susu. Saat sedang menunggu pesanan, ada seorang pemuda yang datang untuk minum teh di sini. Dia bertanya-tanya kepada kami, jadi kami lalu berkenalan. Namanya Bibek, pemuda Nepal berusia 28 tahun yang lucu dan ceria, dan kami ngobrol banyak dengannya. Dia bekerja sebagai manager di sebuah bar di dekat situ. Selesai minum teh, Bibek pun pamit hendak ke tempat kerjanya, dan mengundang kami untuk datang ke sana.

Dal bhat pertama yang kumakan dalam hidupku, rasanya enak. Nasi putihnya dari beras basmati, lalu ada sayuran yang dimasak kari, dan ada tambahan kuahnya. Untuk ayamnya, dipotong kecil-kecil, dan masakannya hampir seperti ayam masak merah kalau di Indonesia. Untuk seluruh makanan dan minuman ini, total kami membayar NRs 300, dan aku rasa sepadan karena kami berdua sampai kenyang sekali makan seporsi dal bhat yang disajikan. Nasinya banyak sekali, dan boleh tambah kalau mau. Kuahnya pun ditambah oleh penjualnya saat melihat kuah di mangkuk kami habis. Makan malam pertama yang memuaskan di Nepal ^_^



Setelah selesai makan, kami menuju ke Reggae Bar, tempat Bibek bekerja. Kami diajak duduk di luar ruangan, di rooftop. View di tempat ini keren lho... kita bisa melihat suasana kota dari atas, dari tempat terbuka. Kami memesan minuman di sana, sebotol besar bir dan segelas cocktail, dan ditemani oleh Bibek mengobrol hingga menjelang jam 10 malam. Kami menghabiskan NRs 850 untuk membeli minuman di tempat ini. Harusnya lebih sih, tapi oleh Bibek kami diberi diskon khusus sebesar 15% hehehehe... Setelah itu kami pun pulang ke hotel karena sudah sangat lelah dan mengantuk. Sesampai di hotel, kami pun segera tertidur karena kelelahan.



Hari pertama di Nepal yang sangat menyenangkan dan sangat berkesan bagiku... ^_^


To be continued.......

No comments:

Post a Comment