DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Friday, December 8, 2017

NEPAL BACKPACKING, NOVEMBER 2017 (3) - THAMEL


2 November 2017


Hari kedua berada di Kathmandu, aku terbangun jam 5 pagi, dan suasana masih sangat sepi, di luar masih tampak gelap gulita, bahkan pintu depan hotel pun masih ditutup dengan rolling door. Suhu pagi ini berada di 13 derajat Celcius, Lumayan dingin juga... awal November memang merupakan akhir musim gugur, dan musim dingin akan segera tiba di negeri ini.

Suamiku bangun dari tidurnya jam 5.30 pagi. Biasanya tiap pagi kami minum air perasan jeruk nipis dan madu yang diberi air hangat, tapi pagi ini tidak bisa, karena walaupun sudah membeli madu, jeruk nipis, dan kami membawa kompor, tapi kami belum bisa menemukan gas yang cocok untuk kompornya. Jadi aku hanya membuat segelas kopi dari kopi instan yang kubawa dari rumah.



Maka setelah mandi pagi dengan air hangat (kalau pagi begini airnya tidak bisa panas sekali, tapi hanya hangat-hangat kuku), jam 7 pagi kami turun ke restoran hotel. Kami merupakan tamu yang paling awal masuk ke restoran ini. Untuk sarapannya, kami bisa memilih dari 3 menu yang ada. Suami memilih roti dengan butter dan secangkir kopi susu (sarapan ala western), dan aku memilih sarapan ala Nepal (chapati dan kuah kare) dan secangkir kopi susu. Cukup lama kami menunggu sampai sarapannya datang, sekitar 40 menitan. Sementara menunggu, aku sempat keluar dan melihat suasana di sekitar hotel.

Rata-rata toko masih tutup semua, hanya tampak beberapa orang sedang menyapu di jalan. Jalanan masih sepi, hanya beberapa orang yang tampak berseliweran. Tampak seorang pedagang buah pisang yang menjajakan dagangannya, sedang bertransaksi dengan seorang pembeli yang naik sepeda motor. Lalu pemilik Hotel Lily juga tampak keluar dan membeli satu sisir pisang darinya.





Sementara itu, beberapa tamu lain dari dalam hotel juga berdatangan ke dalam restoran, rata-rata orang Eropa. Kalau aku perhatikan, biasanya -orang-orang bule ini lebih cerewet, minta jangan pakai inilah, jangan pakai itulah, banyak permintaannya.

Yang aku makan pagi ini adalah chapati, semacam roti khas lokal yang digoreng. Bentuknya lebar dan agak tipis, seperti telur dadar. Rasanya gurih, crispy, dan dimakan dengan kuah kari kentang serta acar sayuran, secara keseluruhan enak. Kopi susunya juga enak dan kental. Walaupun suhunya masih belasan derajat, tapi aku masih belum merasa dingin. Justru para tamu dari Western ini yang mengenakan sweater atau jaket untuk penghangat.


Seusai sarapan, waktu sudah menunjukkan jam 8 lewat, lalu kami pergi berjalan kaki menuju ke Nepal Tourism Board di Pradarshani Marg, yang jaraknya sekitar 2,2 KM dari hotel. Kami berjalan menyusuri jalanan di Thamel yang masih tampak lengang, lalu melewati pasar tradisional. Banyak kuil-kuil kecil tempat penduduk memberikan persembahannya yang kami lihat sepanjang jalan. Kalau dilihat, kehidupan di sini tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Pasar yang ramai di pagi hari, dengan tempat yang kadang agak jorok sebetulnya. Para pedagang berjualan aneka macam barang, sayuran, buah-buahan, dan makanan lokal. Banyak juga yang menjual aneka macam bunga untuk persembahan di kuil. Di pasar inilah kami membeli sebuah pisau lipat seharga NRs 300. Banyak juga pedagang yang hanya menggelar dagangannya di lantai di emperan toko. Bahkan saat menyeberang jalan lewat jembatan penyeberangan pun, banyak pedagang emperan seperti itu di atas jembatan. Kadang iba rasanya melihat mereka. Ada juga sepasang pengemis yang sedang menyanyi dengan loudspeaker di pinggir jalan raya.


Jalan raya di Kathmandu pada umumnya ramai. Di Durbar Marg, tampak banyak orang berjalan kaki, banyak kendaraan umum yang menanti penumpang, kebanyakan pelajar yang sepertinya hendak berangkat ke sekolah atau kampus. Kadang mereka berebutan masuk ke dalam angkutan umum dan duduk berdesakan di dalamnya.


Kami sampai di Nepal Tourism Board tepat jam 9, lalu mempersiapkan semua yang dibutuhkan, pasfoto, copy paspor, dan uang. Tujuan kami ke tempat ini adalah membuat TIMS Card dan ACAP Card. Apabila kita hendak trekking di Nepal, kita harus memiliki dua macam kartu ini.
Kami menjadi pengunjung pertama di tempat ini. Kami mengisi formulir untuk TIMS Card terlebih dahulu, lalu menyerahkan kepada petugas yang jaga beserta 2 buah pasfoto dan copy paspor. Biayanya per orang adalah NRs 2,000. Hanya 1-2 menit, selesai sudah.
Lalu berikutnya membuat ACAP Card, pindah ke ruangan lain di sebelahnya, mengisi formulir lagi, dan menyerahkannya kepada petugasnya bersama dengan 2 buah pasfoto dan membayar NRs 2,000/orang. Setelah menunggu sekitar 5 menit, selesai sudah ACAP Cardnya. Copy paspor bahkan dikembalikan semuanya, tidak diambil. Pada saat kami selesai, ruangan sudah cukup penuh dengan pengunjung, dan tempat duduk yang disediakan semuanya penuh. Aku memang membaca, sebaiknya kita datang lebih awal agar tidak terlalu lama mengantri di sini. Makin siang biasanya akan semakin ramai, apalagi saat high season seperti sekarang.

CATATAN: Sebagai tambahan informasi, bagi yang ingin trekking di Nepal, trek yang mana pun juga, sebaiknya kita sudah mencari informasi dulu jauh-jauh hari sebelumnya. Tentukan terlebih dahulu trek mana yang akan ditempuh, dan pelajari atau cari informasi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menempuhnya dan akan lewat desa mana saja sebagai rutenya.
Hal ini penting karena saat mengisi formulir, kita akan disuruh mengisi rute trekking dan lamanya waktu yang kita butuhkan. Akan lebih baik lagi apabila kita memiliki asuransi perjalanan, nomor polis asuransi bisa disertakan saat mengisi formulir, sekaligus nomor kontak darurat apabila sampai terjadi sesuatu terhadap diri kita. Apabila tidak memiliki asuransi juga tidak apa-apa, bisa dikosongi saja.



Lengkap sudah permit yang kami butuhkan untuk trekking! Jam 10 tepat, kami keluar dari bangunan Nepal Tourism Board ini, lalu kami berjalan pulang menuju ke hotel. Di pertigaan jalan di Durbar Marg ini, tampak ada sekumpulan pemuda berpakaian militer, dan saat kusapa, mereka membalas dengan senyum yang ramah, tidak sok galak seperti militer pada umumnya. Kami menyusuri kembali jalan berangkat sebelumnya. Tinggal mencari peralatan trekking yang sesuai dengan kebutuhan. Di salah satu jalan di dalam Thamel, aku sempat membeli syal dari bulu baby yak seharga NRs 300. Di sini memang banyak sekali dijual syal atau pashmina, yang motif dan warnanya bagus-bagus dan semuanya tampak menarik. Rasanya jadi gelap mata melihatnya hahahaha... Lalu di pasar juga sempat membeli 4 pasang kaos kaki murah meriah seharga NRs 400 dari seorang pedagang yang menggelar lapaknya di tepi jalan. Walaupun murah, tapi ternyata kaos kakinya nyaman sekali dipakai lho...


Sesampai di hotel, kami bertanya kepada pemiliknya, di mana bisa mencari tiket bus untuk ke Pokhara, dan ternyata bisa langsung booking di Hotel Lily. Pada umumnya, hotel atau penginapan di sini memang rata-rata sekaligus merupakan travel agent atau tour agent. Maka kami membeli tiket bus terlebih dahulu di sini. Bus ini adalah transportasi turis dari Kathmandu menuju ke Pokhara. Biasanya fasilitasnya dilengkapi dengan AC, mendapatkan air minum, dengan biaya NRs 600-800/orang untuk kelas Deluxe, tergantung agennya.  Kami sendiri dikenai harga NRs 800/orang. Kalau mau naik bus lokal, tidak perlu pesan tiket dulu, biayanya sekitar NRs 500/orang dari Kathmandu menuju ke Pokhara. Bus Deluxe ini merupakan bus turis dengan kelas paling murah. Masih ada lagi beberapa macam bus turis dengan harga yang lebih tinggi, tentunya dengan fasilitas yang lebih nyaman.



Setelah selesai urusan membeli tiket bus, aku bertanya kepada staff hotel, di mana kami bisa membeli perlengkapan trekking yang kualitasnya bagus. Ternyata aku diantar ke toko persis di sebelah hotel. Pemiliknya sepasang Nepali yang masih cukup muda, mungkin baru menjelang 30 usianya. Sang istri sepertinya tidak terlalu bisa berbahasa Inggris, jadi suaminya yang aktif melayani. Di tempat ini, kami dilayani dengan baik.

Pertama, yang terpenting adalah down jacket. Yang bagus dan katanya hangat sampai di suhu -20 derajat Celcius, harganya NRs 6,000. Lalu sleeping bag, yang juga bisa dipakai sampai suhu -20 derajat Celcius, harganya NRs 12,500. Windproof/waterproof light jacket, harganya NRs 4,000. Masih ditambah trekking pole (NRs 95/each), kompor + bahan bakarnya (NRs 1,250), knee support (NRs 400/each), gaiter, pokoknya semua beli di sini deh. Setelah ditotal-total dan didiskon, semuanya menjadi NRs 38,000, atau kurang lebih sekitar 5 juta rupiah. Sekilas tampaknya mahal ya, tapi kalau memang kualitasnya sesuai dengan yang dikatakan penjualnya, bagiku justru murah, karena sebelumnya aku sudah survei harga barang-barang tersebut secara online. Kalau membeli yang bermerk terkenal, sepertinya tidak akan terjangkau deh, uang yang kami habiskan untuk membeli semua keperluan kami di atas bahkan tidak cukup untuk membeli 2 buah down jacket merk North Face yang original. Sedangkan apabila membeli yang lebih murah lagi, biasanya kualitasnya kurang bagus. Mungkin karena kami belanja banyak, kami berdua sempat disuguhi secangkir teh masala hehehehe... Di toko ini aku memang tidak terlalu banyak menawar harga, dan sepertinya si empunya toko juga cukup jujur. Di akhir belanja, kami berdua masih mendapat bonus kaos kaki tebal yang cukup bagus kualitasnya, masing-masing sepasang. Lumayan juga ya ^_^
Barang-barang trekking, khususnya clothing buatan lokal di Nepal rata-rata diberi merk North Face, padahal toko resmi North Face juga ada di sini lho hahahaha... Sedangkan trekking pole kebanyakan diberi merk Leki, merk yang kutahu sangat mahal harganya untuk sebuah trekking pole saja.

Selesai belanja, kami istirahat sebentar, lalu pergi lagi untuk mencari makan siang. Suami memilih masuk di sebuah restoran, dan memesan seporsi nasi goreng ayam seharga NRs 160 . Aku tidak memesan makanan karena tahu porsinya pasti besar. Jadi aku hanya minta sebagian saja nasi goreng yang dipesan suamiku. Porsinya memang jumbo banget sih, buat makan berdua kenyang banget kok.
Saat di restoran ini, aku sempat numpang ke toiletnya yang berada di lantai 2, dan ternyata toiletnya sudah modern dan kondisinya juga bersih.


Seusai makan, kami masih jalan-jalan menyusuri Thamel. Di beberapa perempatan biasanya ada polisi yang berjaga dan kadang membantu mengatur lalu lintas. Kami membeli sebuah peta Annapurna seharga NRs 400, dan suamiku membeli sepasang sandal jepit di sebuah toko kecil seharga NRs 250. Lalu kami ke supermarket untuk membeli garam dan batu baterai untuk head lamp yang kami bawa. Garamnya untuk berjaga-jaga kalau banyak lintah di jalan, karena banyak orang yang mengatakan di beberapa area hutan banyak lintahnya. Ternyata di supermarket ini juga ada sandal jepit yang sama persis dengan yang sebelumnya, dan harganya lebih murah, hanya NRs 160 saja. Selesai belanja di supermarket, suamiku membeli sebuah beanie seperti yang kemarin kubeli. Memang berbeda dengan beanie yang kami punya, beanie buatan lokal di sini tebal dan hangat sekali, cocok untuk dipakai di daerah yang dingin. Sempat pula kami masuk ke dalam sebuah bakery yang menjual roti-roti ala Western, tapi karena belum ada yang diminati, kami tidak membeli apa pun.




Kemudian saat kami sedang berjalan, ada peristiwa seorang pemuda mengajakku bicara,  menanyakan asal kami dan sebagainya, lalu dia berkata bahwa dia adalah pelajar di Kathmandu sekaligus seniman. Lalu katanya, hari ini ada festival terbesar di kota, di kuil tempatnya tinggal, dan kami diajak ke sana untuk melihat. Cara bicaranya meyakinkan dan sepertinya orangnya baik, jadi kami mengikutinya, walaupun dalam hati sempat terbersit pemikiran, kalau ada festival besar-besaran, harusnya aku sudah mendengar kabar. Aku berjalan agak di belakang sambil memotret, saat salah seorang bapak tua pemilik toko yang sedang duduk tiba-tiba berkata kepadaku, " Don't trust him. Don't trust him." Aku terkejut dan langsung berhenti. Aku menjelaskan situasinya, dan bapak tersebut bilang, orang itu bahkan bukan orang Nepal, tapi orang India. Dia tidak tinggal di kuil, dan kerjaannya menipu orang. Wah, aku kaget sekaligus bersyukur juga ada yang memperingatkan. Setelah berterima kasih kepada bapak tersebut, aku pun langsung mengejar suamiku dan menceritakan kepadanya menggunakan bahasa Indonesia. Taktik lama pun digunakan, pura-pura dapat telepon, seolah-olah kami sudah ditunggu oleh orang lain di hotel. Jadilah kami seolah sedang tergesa-gesa dan langsung berpamitan kepada si penipu ini. Dia tidak bisa berbuat apa-apa melihat kami pergi, walaupun sebenarnya kalau kami kena tipu/scam, kami sedang tidak pegang uang sama sekali, karena habis sama sekali untuk belanja perlengkapan trekking tadi hahahaha...

Maka kami jalan-jalan saja memutari sekitaran area Thamel, lalu ke ATM untuk menarik uang tunai. Lagi-lagi aku melihat pashmina yang menarik, dan akhirnya setelah tawar-menawar yang cukup alot, aku beli juga seharga NRs 400 hehehehe...
Sempat pula aku membeli street food, semacam gorengan yang bulat dan garing tapi kopong, lalu diisi sedikit adonan semacam kentang yang dimasak, dan disiram kuah cuka. Rasanya unik tapi enak, aku suka sekali. Harganya cuma NRs 10 per biji, dan aku beli 2 buah. Selesai makan, tampak ada beberapa orang lokal yang sepertinya mentertawakanku. Mungkin aneh lihat turis makan street food seperti itu ya hehehehe...


Senang sekali dan rasanya tidak bosan-bosan berjalan-jalan di area Thamel ini. Segala macam toko berjejer di sepanjang jalan yang ada, Seringkali pemilik toko memanggil kita dan menawarkan dagangannya kalau kita lewat. Apalagi kalau sampai kita berhenti sejenak di depan tokonya, pasti akan disuruh masuk dan melihat lebih banyak lagi di dalam tokonya.
Pada umumnya, barang-barang yang dijual (kecuali yang sudah ada bandrol harganya) bisa ditawar. Mereka akan berusaha untuk menjual dagangannya dengan harga setinggi mungkin, tapi kalau kita pandai menawar, pada akhirnya mereka akan menjualnya dengan harga yang murah, bahkan kadang sangat murah. Yang penting kita sebagai calon pembeli menawar dengan sopan, kalau perlu dengan senyum memelas sepertiku hahahaha... niscaya mereka akan memberikan harga terbaiknya untuk kita kok ^_^

Thamel adalah salah satu distrik di Kathmandu yang merupakan area pusat turis yang komersial. Kawasan ini telah menjadi pusat industri pariwisata selama lebih dari empat dekade. Area Thamel dibedakan dari jalan-jalannya yang sempit dan dipenuhi dengan berbagai macam toko dan penyedia jasa. Beberapa yang umum dijual di sini adalah makanan, sayur mayur dan buah-buahan segar, roti dan kue-kue, trekking gear, walking gear, DVD, musik, kerajinan, souvenir, barang-barang dari wool, dan pakaian, yang utamanya sebenarnya ditujukan bagi turis berkulit putih. Agen-agen perjalanan, warung-warung, hotel-hotel dan tempat-tempat makan murah pun banyak menghiasi tempat ini. Mobil-mobil, sepeda motor, rickshaw, dan taxi berseliweran, berbagi jalan dengan ratusan pejalan kaki yang setiap hari melewati jalan-jalan kecilnya.

Banyak restoran di Thamel yang menyajikan hidangan tradisional dan continental, walaupun tentu saja harganya jauh lebih mahal dibandingkan membeli di area-area yang bukan untuk turis. Thamel menjadi semacam pre-base camp bagi para pendaki gunung dan trekker. Banyak sekali dijumpai toko-toko yang menjual peralatan trekking atau mendaki gunung, money changer, toko-toko HP dan pulsa isi ulang, agen perjalanan, guest house, pub, club, beserta kehidupan malamnya. Thamel juga merupakan tempat tinggal dari penduduk Nepal dari berbagai kalangan, dan menyediakan layanan hiburan sekaligus lapangan kerja bagi mereka. Pada tanggal 28 September 2011, Thamel dinyatakan sebagai zona full Wi-Fi, dan merupakan yang pertama di Nepal.

Thamel merupakan salah satu "surga" bagi para turis yang mengunjungi Kathmandu, walaupun banyak juga yang menganggap tempat ini terlalu ramai dan padat. Areanya meliputi 5 sampai 7 jalan utama dan lebih banyak lagi jalan-jalan yang lebih kecil yang saling bersilangan. Pada umumnya, turis yang pertama kali datang ke Nepal akan langsung menuju ke Thamel dari bandara (termasuk kami juga!).
Thamel sendiri merupakan salah satu area tertua di Kathmandu, yang dulunya bernama Tabitha Bahal. Bangunan-bangunan tua di seluruh Thamel didesain dalam gaya Newari (penduduk asli pertama yang tinggal di Kathmandu Valley).

Pada bulan Oktober 2017, diberlakukan "traffic free" di Thamel. Hanya layanan-layanan darurat dan kendaraan-kendaraan yang mengantar turis saja yang boleh memasuki area ini. Ada juga beberapa jalan di pusatnya, di mana kendaraan apa pun sama sekali tidak boleh lewat. Biasanya di area-area di mana kendaraan dilarang masuk ini, ujung jalannya dijaga oleh 1-2 orang polisi. Polisi-polisi yang berjaga di jalan-jalan ini pun biasanya ramah, mereka akan membalas sapaan kita dengan senyuman.

Seharian ini, sepanjang jalan, berkali-kali kami ditanya oleh penduduk lokal, dari Jepang ya? Dari Korea ya? Entah kenapa, sepertinya wajah kami lebih mirip orang Jepang mungkin ya? Padahal bendera Indonesia sudah terpasang di backpack yang kami bawa lho... Biasanya dengan bangganya kami akan menjawab dari Indonesia! ^_^

Tidak terasa sudah jam 4 sore, dan kami pun kembali ke hotel. Aku menata dan merapikan semua barang kami ke dalam backpack. Isinya sekarang jadi penuh sesak ketambahan segala peralatan trekking yang baru dibeli hari ini. Selesai mengepak semua barang dan mempersiapkan barang-barang untuk esok pagi, aku pun mandi duluan selagi masih ada air hangat, baru kemudian suamiku mandi setelahnya.

Selesai mandi, waktu menunjukkan jam 5.30 petang, dan baru terasa betapa lemas dan lelahnya diriku. Maksud hati ingin rebahan sejenak selagi menunggu suami selesai mandi,  karena setelahnya kami akan pergi lagi untuk mencari makan malam. Tanpa kusadari, ternyata aku ketiduran.... zzzzzzzzz.......


To be continued.......

No comments:

Post a Comment