THE ONE TRIP THAT CHANGED MY LIFE FOREVER
(CATATAN PERJALANANKU KE NEW ZEALAND)
Day 8: Kamis, 2 Juli 2015
Aku terbangun pukul 7 pagi seiring alarm
HP mengumandangkan salah satu lagu kesukaanku. Pagi itu terasa sangat dingin,
suhunya mencapai -2o Celcius. Brrrr….. dingin sekali rasanya. Sesaat
kemudian, aku menyiapkan sarapan untuk suami dan putri tercinta, seperti
biasanya, roti lapis isi selai cokelat dan keju. Setelah itu aku berusaha
menghangatkan diri dengan setengah gelas susu cokelat. Saat hendak ke toilet
umum, aku sampai setengah berlari-lari, karena suasana masih gelap gulita, suhu
di bawah nol derajat, dan angin bertiup agak kencang. Rasanya….. sesuatu banget
deh hahahaha….
Sembari suami dan putriku makan, aku
membereskan barang-barang kami. Pagi itu aku agak lama berbenah, memisahkan
barang-barang dan pakaian yang sudah tidak dipakai lagi dan menyiapkan
barang-barang serta pakaian yang akan dipakai selama 4 hari berikutnya di
campervan.
Selesai berbenah, kami mandi pagi di
kamar mandi umum, dan bersiap-siap. Sekitar pukul 9.20 pagi, kami check-out
dari holiday park. Resepsionisnya masih sama seperti yang kemarinnya, dan
beliau menyampaikan lagi, bahwa hari itu akses ke Milford Sound telah ditutup,
dan kami sungguh beruntung sudah ke Milford Sound kemarinnya saat jalan masih
dibuka.
Di New Zealand ini, rata-rata
penginapan, baik itu hotel, motel, backpacker lodge, maupun holiday park, jam
check-in-nya adalah pukul 14 siang, dan check-out pukul 10 pagi. Dan
kebanyakan, tarif penginapan dihitung sesuai jumlah orangnya. Tarif anak-anak
(di bawah usia 18 tahun masih dianggap belum dewasa) terkadang sedikit lebih murah
dibandingkan tarif orang dewasa. Kalau di Indonesia, terkadang aku melihat satu
kamar bisa diisi oleh orang banyak, entah apa memang diperbolehkan menginap ramai-ramai
seperti itu atau tamunya saja yang seenaknya sendiri.
Begitu keluar dari holiday park, kami hanya
menyeberang jalan dan langsung menuju ke parkiran di tepian Lake Te Anau. Ya,
kami kembali lagi ke Lake Te Anau, memenuhi janji kepada putriku, yang ingin
memberi makan “itik-itiknya” terlebih dahulu di pinggir danau sebelum
meninggalkan Te Anau. Pagi itu betul-betul dingin sekali, dan angin bertiup
cukup kencang di sekitar danau, sehingga terasa cukup menusuk tulang.
Senang sekali putriku bisa memberi makan remahan roti kepada para itik liar. Awalnya hanya sedikit yang datang, lama-kelamaan jadi bertambah banyak. Jadi terlihat seperti penggembala itik saja hahahaha… Ada beberapa itik liar yang berani mendatangi dan mematuk roti dari tangan putriku. Ada juga yang berebut dengan teman-temannya sampai kejar-kejaran di dalam air. Lucu sekali melihat mereka. Saat itu pun, biarpun sudah terang, namun matahari tidak menampakkan cahayanya yang menyilaukan, jadi suasana pagi itu benar-benar sempurna untuk mengambil foto.
Sekitar pukul 10 pagi, kami beranjak dari tepian Lake Te Anau, dan memulai perjalanan hari itu dengan campervan. Tujuan kami adalah kota Dunedin, dengan jarak 289 kilometer dari Te Anau. Oya, pagi itu GPS yang berada di dalam campervan sudah kembali normal lagi, setelah semalaman tidak digunakan sama sekali. Mungkin dia lelah ya… hahahaha…
Kami melewati pusat kota Te Anau untuk mengisi solar terlebih dahulu, lalu menuju ke luar kota ke arah Tenggara, lewat Te Anau – Mossburn Highway (Highway 94). Sesekali rintik gerimis menyertai perjalanan kami di beberapa tempat. Pemandangan yang indah senantiasa tampak di depan dan samping kiri dan kanan kami. Awan yang bergumpal-gumpal terlihat sangat cantik menghiasi langit yang biru cerah.
Kami melewati jalan yang sama seperti kami datang menuju Te Anau, sampai di Mossburn. Namun kali ini tanpa efek angin kencang yang membahana, mungkin karena masih pagi, jadi angin belum kencang. Sesampai di pertigaan Mossburn, kami masuk ke Mossburn – Lumsden Highway (masih di Highway 94). Setelah melewati Castlerock, kami sampai di pertigaan jalan dan memasuki Five Rivers – Lumsden Highway (Highway 6). Setelah memasuki Lumsden, kami berpindah ke Lumsden – Riversdale Highway, dan alih-alih terus melewati jalan raya ini, sesuai GPS, kami lewat Old Balfour Road. Jalannya lebih kecil, hanya muat dua mobil apabila berpapasan, namun pemandangan di daerah-daerah yang lebih sepi ini justru sangat indah dan bervariasi. Jalannya banyak yang naik dan turun, jadi tidak membosankan. Kami tidak melewati kota Gore, namun melewati daerah Otama dan Whiterigg, hingga akhirnya kembali ke jalan besar di Waipahi Highway (Highway 1).
Sekitar pukul 12.30 siang, kami melihat ada tempat istirahat di daerah Pukerau, dan kami memutuskan untuk berhenti beristirahat sejenak sambil makan siang. Saat itu cuaca sangat cerah dan matahari bersinar terik, namun udara tetap saja dingin. Sementara aku membuatkan mie instan dan telur untuk suami dan putriku, suami meluruskan punggungnya sembari merebahkan tubuh di kasur. Menu mie instan biasanya jadi andalan di saat-saat seperti ini, karena memasaknya mudah dan cepat. Perjalanan kami baru separuh lebih hari itu, dan rute di depan masih panjang.
Selesai makan siang, sekitar pukul 13.15 siang, kami kembali melanjutkan perjalanan. Baru beberapa menit berjalan, tiba-tiba ada sebuah mobil dengan papan tulisan “PILOT VEHICLE” di atasnya dari arah berlawanan, yang pengemudinya melambai-lambaikan tangannya kepada kami, seolah menyuruh berhenti. Tentu saja kami bingung. Aku bahkan berpikir, apa mungkin kami melanggar rambu lalu lintas? Suami segera berhenti tepi kiri jalan. Sementara itu ada sebuah campervan kecil di belakang kami yang juga disuruh berhenti, dan kemudian ikut berhenti juga di belakang kami. Saat itu posisi jalan sedang menanjak. Tidak lama kemudian, mucullah sesuatu yang tidak disangka-sangka, sebuah kendaraan yang tampak besar dan berat muncul dari puncak jalan yang tinggi. Bentuknya sangat lebar seperti rumah. Semakin dekat baru tampak jelas bahwa itu adalah kendaraan besar yang sedang mengangkut sebuah rumah! Wow! Kami sampai tertegun dan terheran-heran (tapi tetap tidak lupa memotret hehehehe…). Suami yang takut campervan kami terserempet, semakin meminggirkan campervan kami hingga di ujung kiri jalan. Di belakang kendaraan yang mengangkut rumah tersebut, tampak sebuah mobil lagi dengan tulisan “PILOT VEHICLE” seperti yang sebelumnya. Mobil ini kadang meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Ternyata dua buah mobil dengan tulisan “PILOT VEHICLE” inilah yang bertugas mengatur dan mengamankan jalan bagi kendaraan besar tersebut. Wah keren sekali melihatnya. Setelah melewati campervan kami dan campervan di belakang kami, mobil tersebut melambaikan tangannya sambil tersenyum, seakan mengucapkan terima kasih. Baru setelah itu campervan kami kembali melaju di jalan.
Sepanjang perjalanan, perbukitan dan ladang yang penuh warna membentang di kiri dan kanan kami. Hijau, kekuningan, coklat, bahkan kemerahan. Bukit-bukit teletubbies tampak berserakan di mana-mana. Seringkali tampak pula kerumunan biri-biri yang sedang merumput. Beberapa kali, aku melihat kawanan rusa yang sangat banyak jumlahnya. Sepertinya memang rusa-rusa ini termasuk hewan ternak dan dikembangbiakkan juga. Seringkali aku melihat menu daging rusa dijual di kedai-kedai makanan, termasuk sewaktu di Fergburger.
Setelah melewati Waipahi, kami sempat melewati kota yang sangat kecil tapi cantik, Clinton. Kami terus berada di Highway 1. Jalanan yang kami lewati cukup panjang, kadang berkelak-kelok, kadang naik turun, namun aku perhatikan, tidak ada satu pun jalan yang berlubang atau rusak sepanjang kami menaiki campervan di New Zealand ini. Kalaupun ada bagian jalan yang mulai rusak atau berlubang, sepertinya cepat sekali ditangani oleh petugas yang berwenang. Betul-betul luar biasa!
Sekitar pukul 14.05 siang, kami melewati
kota Balclutha, yang memasang slogan “Big River Town” di papan selamat
datangnya. Balclutha adalah kota
terbesar di wilayah South Otago, dengan jumlah penduduk sebesar 4.060 jiwa(data
Juni 2014). Sungai Clutha mengalir melewati kota ini, dan merupakan sungai yang
menyuburkan wilayah pertanian di sana. Sungai Clutha sendiri merupakan sungai
terbesar di New Zealand berdasarkan kapasitas volume airnya, sekaligus sungai
terpanjang kedua di New Zealand setelah Waikato.
Saat melintasi Balclutha, aku teringat pada Queenstown, karena kotanya ramai, banyak kendaraan di jalan-jalan besarnya. Perumahan penduduk, pertokoan, dan bangunan-bangunan lainnya pun berjejer rapi di daerah perbukitan, walaupun tidak seterjal di Queenstown. Sebagian besar kota Blaclutha berada di “daerah datar” yang terletak di bagian selatan Balclutha River, sedangkan di bagian utara sungai, daerah kotanya dibangun di daerah perbukitan. Di Balclutha ini juga banyak kami lewati tempat-tempat makan, café, hotel dan motel, supermarket, dealer-dealer mobil, dan berbagai jenis toko maupun jenis usaha lainnya. Setelah melewati pusat kotanya, kami melintasi sebuah jembatan yang berdiri megah di atas Clutha River, yang diberi nama Balclutha Road Bridge. Setelah itu campervan tetap melaju di Highway 1 (Milton Highway), masih 79 kilometer lagi menuju Dunedin. Andainya waktu kami tidak terbatas, mungkin akan kami jelajahi pula kota Balclutha dan sekitarnya. Di dekat kotanya, terdapat Lake Tuakitoto, ada pula Matai Falls, air terjun yang indah di daerah Catlins, dan masih banyak lagi yang bisa dijelajah di sekitar situ.
Sejauh kami menjelajah di negeri dongeng ini, semua daerah maupun kota-kota yang kami lewati, besar maupun kecil, ramai maupun sepi, semuanya tampak teratur, rapi, dan bersih. Tidak ada kemacetan yang kami jumpai walaupun di kota yang ramai sekalipun. Sungguh menyenangkan dan sungguh luar biasa rasanya. Apalagi di jalan-jalan antarkota atau antarwilayah, biasanya cenderung sepi, sehingga jalan terasa milik sendiri hahahaha…. tetapi walaupun begitu, kami tidak pernah berkendara ngawur atau menyalahi peraturan lho, kami tetap mematuhi rambu-rambu dan peraturan lalu lintas di New Zealand ini, bahkan berhenti di sembarang tempat pun kami tidak berani, walaupun pemandangannya sangat indah.
Kira-kira 20 kilometer setelah kami
melewati Balclutha, kami berhenti di sebuah rest
area untuk beristirahat sejenak. Di tempat tersebut juga ada dua buah mobil
yang sedang parkir. Yang satu pengemudinya tampak sedang bertelepon, sedangkan
mobil yang satunya lagi, pengemudinya tampak sedang tertidur sembari duduk.
Suami pun memarkir campervan, lalu turun untuk meregangkan tubuh yang
pegal-pegal. Sembari beristirahat, kami makan potato chips, dan tak lupa
berfoto-foto, karena tempat ini pun cukup indah, pepohonan sisa musim gugur yang
meranggas dan kecoklatan tampak berjejer dengan indahnya di pinggiran rest area ini.
Setelah sekitar 30 menit beristirahat, sekitar pukul 14.45 siang, kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati Milton, The Town of Opportunities. Kotanya cukup besar, lebih besar dan ramai apabila dibandingkan dengan Te Anau atau Wanaka, namun tidak seramai Balclutha. Sepanjang jalan di pusat kota pun berjejer toko-toko yang menawarkan berbagai macam kebutuhan. Dari Milton ke Dunedin jaraknya sekitar 50 kilometer.
Milton merupakan kota dengan jumlah penduduk sekitar 2.000 jiwa. Sebuah gereja bergaya Gothic, Tokomairiro Presbyterian Church, merupakan bangunan bersejarah yang dibangun pada abad ke-19. Saat itu, bangunan tersebut merupakan bangunan tertinggi di belahan bumi bagian selatan, dan sampai saat ini masih berdiri. Kami melewati gereja yang dimaksud tersebut saat melintasi Milton, namun sayang tidak terfoto secara utuh. Dulunya Milton merupakan kota yang penting, karena merupakan kota terdekat sekaligus jalur menuju daerah tambang emas di Gabrielle’s Gully di dekat Lawrence. Kini, Milton menjadi kota kedua terbesar di wilayah South Otago setelah Balclutha.
Di Milton ini, ada suatu hal yang
menarik, yakni jalan raya utamanya, Union Street. Jalan ini lurus-lurus saja
sampai beberapa kilometer jauhnya melintasi Tokomairiro Plain dan pusat kota,
namun di bagian utara Milton, jalannya tiba-tiba sedikit berbelok ke barat,
lalu kembali sejajar dengan jalan sebelumnya. Seakan-akan jalan raya ini
“digeser” pada titik tersebut. Menurut pandangan yang dapat diterima, walaupun
bukan pandangan resmi, jalan ini dulunya dikerjakan oleh dua orang, di mana
seorang mulai dari selatan, dan seorang lagi dari utara, dan keduanya
mengerjakan sesuai yang benar menurut masing-masing, hingga akhirnya terjadilah
“belitan” (kink) pada jalan tersebut.
Ada-ada saja ya hehehehe….
Sekitar tiga kilometer dari Milton, kami
melewati Milburn. Sejak tahun 2007, di tempat ini berdiri Otago Corrections
Facility, yang merupakan penjara laki-laki dengan tingkat kejahatan rendah
sampai sedang, dan merupakan penjara terbesar di wilayah Otago. Tempat ini bisa
menampung sampai 485 orang tahanan dan memiliki 201 orang karyawan.
Hanya beberapa kilometer setelah Milburn, kami melihat rambu penunjuk arah ke Lake Waihola, yang hanya beberapa ratus meter saja dari jalan yang sedang kami lalui. Kami mencoba mampir ke tempat tersebut karena saat itu masih pukul 15 sore. Matahari sudah tidak terik lagi saat itu, dan langit tampak sangat indah. Kami masuk ke tempat parkir di tepi danau dan cukup ter-wow dengan pemandangan yang tampak di depan mata kami. Lake Waihola, danau yang indah, banyak burung camar di tepiannya, tidak terlalu banyak pengunjung, bahkan bisa dibilang sepi. Menyenangkan sekali tempat ini.
Waihola, sebuah kota kecil dengan penduduk hanya 200 jiwa, merupakan kota yang cukup populer dijadikan tujuan wisata bagi turis atau pengunjung dari Dunedin, karena perjalanannya hanya sekitar 35 kilometer saja, bisa ditempuh pulang pergi tanpa menginap. Biasanya atraksi utama ada di Lake Waihola, antara lain waterskiing, yachting, fishing, maupun rowing.
Lake Waihola dan Lake Waipori merupakan sepasang danau pasang surut yang mengairi sekitar 2.175 hektar lahan dataran rendah, dan merupakan salah satu sistem pengairan terbesar dan terpenting di New Zealand. Kedua danau ini termasuk dangkal dan dikelilingi tanah yang basah. Kedangkalan danau ini dapat terlihat dari namanya, Waihola, istilah bahasa Maori di daerah Selatan untuk waihora, yang artinya “menyebarkan air”. Selain itu, ekosistemnya juga merupakan suaka bagi beberapa spesies burung, seperti giant kokopu dan South Island Fernbird. Sebetulnya, nama Waihola sendiri cukup menjadi kontroversi, karena abjad Maori tidak mengenal huruf “L”.
Di tepian Lake Waihola ini disediakan banyak bangku dan meja untuk para pengunjung. Kami berada di tepian Lake Waihola selama sekitar 30 menit, bersantai dan memberi makan remah roti kepada burung-burung camar yang banyak sekali terbang di sekitar kami, dan tak lupa berfoto dengan panorama-panorama yang sangat indah di beberapa tepiannya. Tidak perlu dikatakan, tentunya udara yang dingin selalu menyertai kami hehehehe… Setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Dunedin.
Langit yang menyertai perjalanan kami saat itu benar-benar indah. Langit yang biru cerah, awan yang bergumpal-gumpal, ditambah pemandangan di samping kanan kiri yang indah, tiada bosannya aku mengambil foto sepanjang perjalanan. Kami juga melewati Allanton, mulai wilayah inilah jalanan mulai terasa lebih ramai dari sebelumnya. Lama-kelamaan, rumah-rumah dan bangunan lain tampak mulai padat di tepi jalan.
Saat itu sekitar pukul 16 sore, matahari sudah meredup dan suasana mulai agak remang-remang walaupun belum sore benar. Suami mengemudi mengikuti GPS, langsung menuju ke tempat kami akan menginap malam itu, yakni di Dunedin Holiday Park and Motels, yang berlokasi di Victoria Road, di antara Hancock Park dan Tahuna Park.
Sepanjang jalan menuju holiday park, jalan yang kami lewati semenjak memasuki kota Dunedin, sangat ramai. Mobil-mobil banyak berseliweran, padahal kami hanya melewati pinggiran kotanya saja. Kotanya pun termasuk besar. Banyak sekali dealer mobil di sini. Supermarket, liquor store, toko-toko fashion, bar, fast food franchise, sekolah, sports club, segala macam deh pokoknya.
Dunedin (dʌ’ni:dɨn/dun-EE-din;
Māori: Ōtepoti), adalah kota terbesar kedua
di South Island, New Zealand, dan merupakan kota utama di region Otago. Dunedin
juga masih diperhitungkan sebagai salah satu dari empat kota utama di New
Zealand dari segi historis, budaya, dan geografis. Sebelum 2010, Dunedin merupakan
kota dengan wilayah terluas di New Zealand, dengan luas daerah 3.314 km2,
sampai kemudian Auckland direformasi menjadi kota terluas dengan 5.600 km2
pada bulan November 2010. Jumlah penduduk di Dunedin mencapai 116.200 jiwa pada
tahun 2014. Dunedin dikenal sebagai kota pendidikan, dengan adanya University
of Otago (universitas pertama di New Zealand yang didirikan pada tahun 1869)
dan Otago Polytechnic. Selain itu, Dunedin juga ditunjuk sebagai Creative City of Literature oleh UNESCO
pada tahun 2014. Banyak perusahaan besar yang didirikan di Dunedin, beberapa di
antaranya menjadi perusahaan nasional. Dunedin juga merupakan pusat ekowisata,
dengan Otago Peninsula yang menjadi pusat koloni beberapa jenis pinguin, royal
albatross, dan anjing laut. Baldwin Street, jalan tercuram di dunia menurut Guinness Book of
Records, ada di kota Dunedin. Dan Cadbury, salah satu perusahaan cokelat
ternama dari Inggris, juga mempunyai sebuah pabrik yang beroperasi di Dunedin. Pokoknya
banyak sekali deh yang bisa dieksplorasi di kota ini hehehehe….
Kami tiba di Dunedin Holiday Park
sekitar pukul 16.30 sore, lalu kami check-in di bagian resepsionis. Tarif di
holiday park ini NZ$ 18 per orang per malam, sudah mendapatkan powered site. Seperti biasa, aku dan putriku
keliling-keliling terlebih dahulu begitu campervan diparkir, untuk “inspeksi”
keadaan dan melihat-lihat fasilitas umumnya. Fasilitas yang diberikan pada
umumnya sama, ditambah ada free wifi
selama berada di campsite. Dapurnya
sedikit lebih kecil dari yang sebelum-sebelumya, namun sama bersih dan lengkap
fasilitasnya. Kamar mandi dan toiletnya pun bersih. Di dalam dapur umum ada
ruang TV, dan dapur serta ruang TV ini akan tutup tiap pukul 21 malam, dan
dibuka kembali pukul 07 pagi setiap harinya. Di dapurnya sendiri terdapat
peralatan memasak yang cukup lengkap yang bisa kita pakai. Mulai dari
wajan-wajan teflon, talenan, panci-panci, pisau, dan perabotan makan. Yang
penting, selesai menggunakan, harus kita bersihkan sendiri tentunya.
Karena sesampainya di holiday park tadi suami dan putri tercinta sudah lapar, selesai aku berbenah, kami bertiga beranjak ke dapur umum untuk masak makan malam. Adanya wajan teflon alias antilengket di dapur umum ini sangat membantu sekali, karena wajan bawaan dari campervan terbuat dari stainless steel, dan biasanya lengket apabila digunakan untuk menggoreng, terutama telur. Jadi putriku senang sekali karena kali ini telur mata sapinya bisa bagus penampilannya hehehehe…
Menu makan malam hari itu, salmon, sosis
dan kentang goreng untuk putriku, daging sapi dan kentang goreng untuk sang
suami, serta tumis tauge dan hati domba dilengkapi lettuce dan saus thousand island untuk aku sendiri. Hmmm
nikmat sekali makan malam kami bersama malam itu. Walaupun di dalam ruangan
dapur, namun suhu udara terasa dingin sekali, aku masih harus mengenakan jaket
sembari makan saking dinginnya, itu pun masih agak menggigil kedinginan.
Selesai makan malam bersama, kami mandi dulu untuk menghangatkan diri di kamar mandi umum. Setelah itu kami bersantai di dalam campervan sembari melihat-lihat hasil jepretan kami selama di New Zealand di laptop putriku. Malam itu angin cukup kencang, hingga terkadang campervan kami agak berguncang-guncang. Suhu saat itu 10o Celcius, dan kami merasa cukup kedinginan. Yang aku heran, di luar, di sebelah campervan kami juga ada campervan yang terparkir. Sebuah keluarga kecil juga, sepasang suami istri dan putranya yang masih berusia sekitar 6-7 tahun. Sejak kami akan masak di dapur hingga kami selesai mandi, mereka bertiga duduk santai di bangku yang disediakan di samping masing-masing tempat parkir. Sang ayah sepertinya sedang membuat barbeque. Tampak asyik sekali dan tidak kedinginan seperti kami. Aku sendiri tidak sempat menyapa mereka karena sungkan mengganggu. Mungkin mereka penduduk New Zealand yang sedang berkeliling negeri, atau turis yang negara asalnya lebih dingin dari New Zealand ya, karena tidak tampak kedinginan sama sekali hehehehe…
Inginnya kami berkeliling malam itu dengan campervan, namun saat check-in, sang resepsionis, seorang pria paruh baya yang ramah namun berlogat agak susah dimengerti, kami diberi tahu bahwa di wilayah kota Dunedin, campervan hanya boleh parkir sampai jam 17 sore saja. Karenanya kami kuatir kalau malah jadi bingung berkendara di tengah kota, apalagi kotanya ramai sekali tampaknya. Takutnya pak sopir malah jadi tertekan kalau menyetir di tengah kota yang ramai, kuatirnya diomeli pengendara lain jika menutupi jalan. Paling enak memang berkendara di kota-kota kecil seperti Wanaka dan Te Anau, selain relatif sepi (kadang malah sepi sekali), parkir untuk mobil jenis besar seperti campervan juga bebas di mana-mana. Sedangkan di kota-kota yang lebih besar dan ramai, contohnya Queenstown, jauh lebih sulit menemukan tempat parkir untuk kendaraan besar.
Sekitar pukul 20.30 malam, karena masih
belum terlalu lelah, suami mengajak aku berjalan-jalan di sekitar situ. Putriku
tidak mau ikut karena ingin berhangat ria di dalam gumpalan-gumpalan
selimutnya. Aku dan suami berjalan kaki menyusuri Victoria Street, ke arah
barat maupun ke arah timur, tidak sampai terlalu jauh dari holiday park. Kami
hanya memutari beberapa blok saja. Suasana sudah sepi saat itu, hanya sedikit
kendaraan yang lewat di jalan. Hanya ada satu tempat yang tampaknya ramai mobil
parkir, dan ternyata tempat tersebut adalah Tahuna Normal Intermediate School.
Sepertinya sedang ada acara malam itu, karena makin ramai orang tua murid yang
berdatangan. Di jalan-jalan yang kami lewati, baik jalan besar maupun kecil,
rumah-rumah penduduk tampak padat. Banyak rumah-rumah yang tampak sudah tua,
namun masih tetap kelihatan cantik dan anggun. Pada umumnya tampak bersih dan
menarik dengan warna tembok rumah yang bervariasi.
Saat itu suhu udara sekitar 7o Celcius, namun kami tidak merasa kedinginan, entah karena berjalan kaki menggerakkan tubuh, atau liquor yang kami minum sebelumnya yang membuat tubuh kami tidak kedinginan. Sekitar pukul 21.15 malam, kami berjalan kembali ke holiday park. Begitu memasuki campervan, rasanya badan jadi hangat sekali karena udara di luar yang dingin. Tidak banyak yang kami lakukan, hanya bersantai, mengobrol, sembari aku melanjutkan digital diary aku. Kami juga sempat makan mie instan lagi karena merasa lapar. Sepertinya tubuh kami sudah mulai menyesuaikan diri dengan suhu udara dan perbedaan waktu dengan di rumah. Beberapa hari pertama, rasanya perut tidak merasa lapar walaupun sebetulnya sudah waktunya diisi. Dan suamiku yang biasanya dalam udara dingin terus-menerus merasa lapar, selama beberapa hari pertama pun jarang sekali merasa lapar kecuali malam hari. Pagi dan siang hari biasanya terasa masih kenyang. Ternyata perbedaan waktu selama lima jam cukup besar pengaruhnya buat tubuh kami. Setelah beberapa hari barulah tubuh kami mulai bisa menyesuaikan diri, baik dari segi perubahan suhu maupun jam tidur dan jam makan. Dari yang aku lihat, makin muda usia, justru makin mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru, biarpun perbedaannya cukup ekstrim. Putriku sudah mulai jarang mengenakan jaketnya, walaupun sedang berada di udara terbuka, dia hanya mengenakan sweater saja sebagai penghangat tubuhnya. Sedangkan aku dan suami justru kerap kali masih merasa kedinginan hehehehe…
Malam itu suhu mencapai 4o
Celcius dan sesekali gerimis menerpa, tapi kami tidak merasa terlalu
kedinginan. Bahkan suami tercinta tidur pukul 23.15 malam tanpa mengenakan
selimut, sedangkan aku dan sang putri menyusul tidak lama sesudahnya, pun tanpa
sarung tangan, kaos kaki, dan jaket tebal seperti malam-malam sebelumnya.
To be continued.......
To be continued.......
No comments:
Post a Comment