DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Friday, July 5, 2019

VIETNAM & LAOS BACKPACKING 2018 (60) - GOING HOME & SUMMARY (THE END)


19 Mei 2018



Hari terakhir di Vietnam!
Aku bangun jam 6.30 pagi dengan penuh semangat walaupun masih agak mengantuk. Setelah melakukan rutinitas pagi, sekitar jam 8.30 pagi aku pamit sejenak untuk pergi ke pasar, hanya sekedar untuk membeli cabe seharga VND 5K. Untuk apa?
Jadi ceritanya aku ini kan penggemar makanan pedas, otomatis aku sangat suka makan cabe; segala jenis cabe, yang penting pedas. Nah begitu sayangnya suami kepadaku (ciyeee), dia jadi rajin menanam pohon cabe di rumah. Setiap hari dirawat, dan biasanya setiap beberapa hari sekali ada saja panenan cabe yang diberikannya kepadaku. Cabe rawit di Indonesia memang pedas, namun cabe keriting yang lebih besar-besar sama sekali tidak pedas menurutku. Sepertinya aku pernah menceritakan bahwa cabe di Vietnam ini besar-besar, lebih besar dan lebih gemuk daripada cabe merah keriting di Indonesia, namun dengan warna seperti cabe rawit, dan lebih pedas daripada cabe rawit di Indonesia. Karenanya suami mengatakan kepadaku bahwa dia ingin mencoba menanam cabe Vietnam ini di rumah. Karenanya aku khusus membeli cabe, untuk dibawa pulang. Sebetulnya ini tidak boleh ditiru ya, karena setahuku peraturan melarang dibawanya bahan segar ke dalam negeri. Tapi aku berani jamin cabenya tidak membawa penyakit kok, bahkan pada saat tulisan ini dibuat aku sudah seringkali menikmati hasil panen cabe Vietnam ini hehehehe...



Pulang dari pasar, waktu sudah menunjukkan hampir jam 9 pagi, dan kami berdua memesan sarapan, dengan menu yang sama dengan kemarin, roti dan telur orak-arik dan pisang, serta kopi. Satu buah roti, telur dan pisangnya kusimpan untuk makan siang. Usai sarapan, kami masih mengobrol dengan salah satu tamu di Ace House ini. Aku lupa menceritakan bahwa kemarin kami bertemu dengan seorang gadis dari USA dan aku mengobrol cukup lama dengannya. Sepertinya orangnya baik, dan yang pasti ramah. Sebetulnya lebih banyak aku yang berbagi cerita dengannya mengenai pengalaman kami selama di Vietnam, karena dia baru tinggal di Ho Chi Minh City saja dan belum sempat menjelajah ke banyak tempat di Vietnam. Aku juga sempat memberikan beberapa tips kepadanya karena dia ingin mencari pekerjaan di Vietnam.




Pagi ini pun kami bertemu lagi dengannya, dan sempat mengobrol lagi. Setelah itu kami berdua ke pasar untuk membeli bekal makan malam. Penerbangan kami menuju ke Singapura dijadwalkan berangkat jam 3.35 sore, jadi rencananya kami akan berangkat ke bandara jam 12 siang, dan daripada kami membeli makan di bandara (entah di Tan Son Nhat maupun Changi) yang sudah pasti mahal dan belum tentu enak, ditambah lagi untuk efisiensi waktu, kami memilih membawa bekal saja.

Kami membeli dua bungkus nasi dengan daging babi panggang (com binh dan) di pasar, seporsinya VND 30K dan isinya cukup banyak. Oya, kalau aku menuliskan nasi bungkus, jangan disangka nasinya dibungkus dengan kertas coklat seperti di Indonesia ya, rata-rata di Vietnam ini makanan dipacking menggunakan styrofoam, jadi cukup makan tempat juga sebenarnya.



Percaya tidak, kalau kukatakan bahwa pagi ini setelah aku menyisihkan uang sebesar VND 40K untuk naik bus ke bandara, sisanya hanya tinggal VND 66K? Yang VND 5K untuk membeli cabe, dan bekal makan siangnya VND 60K, jadi uang tunai kami tinggal VND 1K (Rp 600,-) hahahaha... Masih untung bisa membeli nasi untuk bekal makan. Rencana kami untuk sekali lagi membeli kopi di Piscat Cafe pun akhirnya batal karena tidak ada lagi uang dong yang tersisa selain untuk naik bus.


Pulang dari pasar, kami mengepak semua barang kami ke dalam backpack, dan kemudian mandi dan bersiap-siap. Tepat jam 12 siang kami check-out dari Ace House, penginapan termewah kami selama berada di Vietnam, lalu berjalan kaki menuju ke terminal bus dengan masing-masing membawa sebuah backpack dan "paket" bagasi. Hanya dengan berjalan sekitar 5 menit saja, kami sudah sampai di terminal dan mencari Bus 109 yang akan menuju ke bandara. Bus yang kami cari masih terparkir di halaman terminal, jadi kami membeli tiket dulu, baru kemudian masuk ke dalamnya. Penumpangnya relatif sepi, banyak tempat duduk yang masih kosong. Jam 12.15 siang bus mulai berangkat perlahan-lahan menyusuri jalan-jalan raya di tengah kota, menuju ke bandara. Selama perjalanan, bus beberapa kali mengangkut penumpang (rata-rata turis asing). Sempat ada couple muda, sepertinya turis dari RRC, yang membawa koper-koper besar dan ikut naik bus ini.




Kami sampai di Tan Son Nhat International Airport jam 12.55 siang. Masuk ke gerbang International Departure, kami mencari counter Jetstar dan antri untuk check-in. Sekitar jam 1.15 siang, kami sudah selesai check-in dan mendapatkan boarding pass kami termasuk untuk penerbangan berikutnya yang menuju ke Denpasar. Setelah itu kami masih duduk-duduk, kadang di luar, kadang di dalam, sembari mengamati orang-orang yang lalu-lalang.




Baru sekitar jam 1.45 siang kami antri menuju ke security check pertama saat sedang sepi, dan kemudian menuju ke bagian imigrasi yang mengecek paspor kita. Antriannya cukup panjang, namun kami tidak sampai harus menunggu lama sekali. Setelah paspor kami distempel tanggal keluar dari Vietnam dan dikembalikan, kembali lagi melewati security check kedua yang lebih ketat, di mana semua cairan yang melebihi 100 ml akan dibuang. Di sini antriannya agak sedikit lebih lama, dan baru sekitar jam 2.10 siang kami selesai melewati semuanya.





Kami mencari dulu letak gerbang tempat kami akan boarding nanti, supaya tidak buru-buru, dan setelah ketemu kami makan sisa sarapan tadi. Suami makan roti dan pisang, dan aku makan buah pisang. Setelah itu kami jalan-jalan di dalam area bandara ini. Baru jam 3.10 siang para penumpang dipanggil untuk boarding, dan lima menit kemudian kami sudah memasuki pesawat yang akan membawa kami ke bandara Changi di Singapura.

Kami menunggu sekitar 15 menit hingga semua penumpang masuk, selesai meletakkan barang-barang bawaan mereka, lalu duduk manis di tempat duduk masing-masing.



Jam 3.30 sore, pesawat mulai berjalan perlahan di landasan, dan jam 3.38 sore pesawat Jetstar Pacific yang kami naiki ini lepas landas meninggalkan Ho Chi Minh International Airport. Goddbye now, Vietnam... It sure has been a pleasant time with you and your people. Hope we will have time to visit you again one day... ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜ญ




Penerbangan selama 2 jam 5 menit ini berjalan dengan lancar. Cuaca cerah, dan kami menyaksikan awan yang bergumpal-gumpal dengan indah di langit biru. Kami mengisi waktu dengan melihat pemandangan keluar jendela dan mendengarkan musik lewat earphone saja.



Pesawat mendarat tepat jam 6.13 petang waktu Changi (5.13 WIB), dan jam 6.25 petang kami sudah turun dari pesawat. Kami sudah merasa lapar sejak masih berada di dalam pesawat karena makan siang kami hanya sedikit, karenanya begitu menemukan tempat duduk yang nyaman dan tidak banyak orang, kami makan nasi yang dibeli di Ho Chi Minh tadi. Pesawat yang akan membawa kami pulang ke Denpasar baru akan berangkat jam 5 pagi esok hari, jadi kami memliki waktu transit lebih dari 10 jam di dalam bandara ini. Aku sempat ke salah satu toilet yang ada, dan baru tahu kalau ada toilet jongkok juga di Changi, karena sebelumnya aku hanya menemukan toilet duduk saja. ๐Ÿ˜€



Setelah perut kenyang, kami lebih banyak duduk-duduk, bersantai, dan kadang jalan-jalan untuk melepaskan penat sembari melihat harga-harga makanan, siapa tahu nanti lapar lagi hehehehe... Tadinya aku membaca ada free city tour, tapi sepertinya jam tournya tidak memungkinkan untuk ikut. Tadinya juga sempat terpikir untuk keluar saja dan melihat-lihat kota Singapura selama beberapa jam, namun rasanya malas juga. Mungkin kami akan harus mengeluarkan uang lagi untuk transport bolak-balik, dan sejauh ini kami masih belum terlalu ingin menjelajah di negara ini. It's just another big city for us.



Kami sempat melihat-lihat informasi bandara di layar komputer yang disediakan di dekat meja informasi. Kebanyakan berisi soal belanja sih, jadi tidak menarik buat kami. Setelah lelah (lebih tepatnya bosan sih) berjalan-jalan di dalam bandara, kami mencari tempat yang nyaman untuk istirahat. Bangku-bangku panjang yang untuk tidur rata-rata sudah penuh terisi. Akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang sepi di lantai atas Terminal 3. Bangkunya memang bukan untuk tidur sih, namun setidaknya bisa menampung setengah badan, dan ada colokan listrik juga di mejanya. Setelah itu kami lebih banyak berada di sini sambil memanfaatkan fasilitas wifi gratisnya. Sebetulnya bangku yang kami tempati ini seperti sofa, tapi keras, jadi ya agak kurang nyaman. Tapi kami tetap memilih di sini dengan pertimbangan sepi, tidak banyak dilewati orang, dekat dengan toilet maupun tempat mengambil air minum, dan colokan listrik tadi.
Aku juga pernah membaca bahwa kalau kita melewatkan malam di bandara Changi untuk penerbangan berikutnya, kita boleh minta selimut gratis. Waktu itu sudah jam 9.15 malam, jadi kucoba saja ke meja informasi dan minta selimut. Dengan menunjukkan paspor dan boarding pass penerbangan selanjutnya, aku diberi dua buah selimut berwarna ungu yang masih tersegel dalam kemasan plastik (walaupun harus menunggu diambilkan agak lama karena stok di situ habis). Lumayan juga yah hehehehe...



Sekitar jam 10 malam, kami membuat kopi sendiri dengan teko listrik dan kopi instan yang ada di dalam backpack hahahaha... Maklumlah pengiritan dan malas pula jalan jauh-jauh hanya untuk membeli kopi yang mahal. Untungnya sedang tidak ada orang di area tersebut, jadi tidak memalukan. ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚ Sebetulnya aku sudah menawarkan kepada suami untuk membeli kopi di deretan kedai di dekat smoking area, tapi katanya lebih enak membuat sendiri saja. ๐Ÿ˜„

Oya informasi penting bagi yang hendak mendarat di bandara Changi. Banyak orang yang karena ingin hemat saat pergi ke Singapura (akomodasi di Singapura termasuk mahal), dan kebetulan pesawat tiba di Changi sore, malam atau menjelang pagi hari, mereka memilih untuk tidur di bandara. Hal ini tidak bisa dilakukan di Changi. Penumpang yang penerbangannya berakhir di Changi harus segera keluar imigrasi. Apabila nanti kemudian hendak tidur di area setelah imigrasi tidak masalah, namun harus keluar imigrasi terlebih dahulu. Hanya penumpang transit yang diperbolehkan bermalam di dalam bandara. Katanya akan ada petugas yang mengecek setiap beberapa jam, dan akan diminta bukti boarding pass untuk penerbangan berikutnya kalau sampai tidur di bandara. Apabila ketahuan hanya numpang menginap sebelum keluar imigrasi, bisa-bisa penumpang tersebut dideportasi.

Beberapa kali kami bergantian ke smoking area di lantai bawah, karena yang seorang bertugas menjaga backpack sekaligus agar tempat duduknya tidak dipakai orang lain. Nah, ada satu kesempatan saat suami sedang merokok di smoking area, ada seorang gadis Western yang mendekatinya. Gadis muda tersebut ternyata berusaha menggoda suami dan mengajak suami untuk tidur di kamar yang katanya sudah disewanya di dalam bandara. Fiyuh.... Suami cerita bahwa dia menjawab, "Apa kamu gila? Aku sudah punya istri, dia sedang di lantai atas dan aku sayang kepadanya", lalu langsung pergi meninggalkan gadis tersebut. ๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜ฑ





20 Mei 2018



Lewat tengah malam, aku mencoba tidur supaya tidak terlalu lelah pagi harinya. Tidur di bangku yang kami tempati ini agak susah juga karena panjangnya tidak mencukupi. Akhirnya backpackku diletakkan di sebelah kursi sebagai ganjalan kaki, dan aku tidur tengkurap atau miring di kursi, dengan kepala diganjal bantal angin suami. Aku sempat bisa tertidur dari jam 1 hingga jam 3 dini hari dengan posisi seperti ini, sementara suami hanya duduk-duduk dan menjagaku sambil membaca-baca HP.
Saat aku bangun, suami bercerita bahwa ketika aku tidur ada petugas keamanan yang datang untuk patroli. Kebetulan di meja lain ada seorang bapak yang juga tidur, namun dengan menggabungkan dua buah kursi panjang yang seperti kami tempati, padahal mejanya dipaten dan kursinya berat sekali lho. Katanya petugas keamanan tersebut mendatangi bapak tersebut dan mengusirnya. Kami berdua malah tidak didatangi atau ditanya boarding pass. Mungkin petugasnya kasihan melihatku tidur dengan posisi jungkir balik begitu ya hahahaha...



Sekitar jam 3 pagi ternyata kami sudah mulai merasa lapar, jadi kami membawa backpack kami dan mencari makanan. Sebelumnya aku sudah memantau harga beberapa counter makanan yang buka, dan ada beberapa yang harganya (tetap) mahal namun masih reasonable. Salah satunya adalah yang kemudian kami datangi, yaitu counter Hainan Chicken Rice.
Saat didatangi, ada seorang staf yang berada di sana, tetapi diam saja dan tidak menanyakan apa pun saat kami melihat-lihat menu. Setelah memutuskan apa yang akan dipesan, kami memanggil staf tersebut untuk memesan menu yang kami inginkan. Ternyata oh ternyata, kami harus memesannya di mesin yang ada di depan counter. Maklum orang desa, jadi agak katrok hehehehe...

Belajar memasukkan order dengan layar sentuh, kami berhasil memesan 1 porsi Hainan Chicken (SG$ 7.5) dan 2 porsi Plain Chicken Rice (@ SG$ 1.5), dengan total SG$ 10.5, dan harus dibayar dengan credit card. Berhasil! ๐Ÿ˜ Setelah notanya keluar, kami membawanya ke counter sebagai bukti pembayaran, dan kemudian menunggu sejenak hingga pesanan kami siap.
Sementara menunggu inilah ada seorang bapak berusia paruh baya, sepertinya berasal dari Jepang, yang kebingungan hendak memesan menu dengan mesin yang barusan kami pakai. Beliau bertanya kepadaku bagaimana cara memesannya (dengan campuran bahasa isyarat pula), jadi aku yang baru saja sukses bertransaksi, membantunya memesankan yang beliau inginkan, dan membantu membayarkan dengan credit cardnya. Sepertinya beliau senang juga dibantu. ๐Ÿ˜‡



Setelah pesanan kami selesai, kami membawanya ke salah satu meja di ruang makan yang besar dan sepi pengunjung, lalu makan berdua. Bapak paruh baya tadi juga kemudian duduk tidak jauh dari meja kami dan makan di sana. Sementara itu ada beberapa kru pesawat yang mengobrol dengan agak berisik hingga kami agak sedikit terganggu.
Secara umum, nasi dan ayamnya lumayan enak (yang tidak enak cuma harganya ๐Ÿ˜‚). Disajikan dengan semangkuk kecil kuah kaldu dan sambal yang tidak pedas serta irisan acar cabe rawit yang juga tidak pedas. Kami menghabiskan semuanya hingga bersih tak bersisa.



Usai makan dan perut cukup kenyang, kami menyempatkan diri ke sebuah toko duty free yang masih buka. Tadinya aku berpikir bahwa bandara terbaik di dunia selama bertahun-tahun ini toko-tokonya pasti buka 24 jam sehari, namun ternyata di jam-jam seperti ini kebanyakan tutup. Kami hendak membeli sebotol minuman beralkohol untuk dibawa pulang, dan pilihan suami jatuh pada Johnnie Walker Gold Label L seharga SD$ 75.9 yang dibayar dengan credit card. Setelah itu karena waktu sudah menunjukkan jam 4.20 pagi, kami bergegas menuju ke boarding gate untuk menunggu di sana.



Setelah melewati security check yang cukup ketat untuk terakhir kalinya, kami menunggu di dekat boarding gate. Sekitar jam 4.35 pagi, penumpang sudah mulai boarding, dan jam 4.55 pagi kami sudah duduk manis di tempat duduk di dalam pesawat. Saat selfie, tampak benar wajah kami berdua kucel dan acak-acakan, padahal sudah sempat cuci muka. ๐Ÿ˜„
Kalau dulu saat memilih seat, biasanya suami menyarankan untuk duduk agak belakang demi faktor keamanan, namun belakangan kalau kami bisa memilih seat, biasanya aku memilih yang agak depan supaya bisa turun lebih cepat (pada umumnya pintu masuk dan keluar pesawat hanya dibuka satu saja, dan biasanya yang sebelah depan). Kebetulan kali ini kami bisa duduk di baris ketiga dari depan, dan beruntung sekali dari sederet kursi yang diperuntukkan bagi 3 orang, yang satu kosong, jadi aku bisa merebahkan badan lebih nyaman saat tidur di pangkuan suami hehehehe...
Tepat jam 5.15 pagi, pesawat yang akan membawa kami pulang ke negeri tercinta tinggal landas. Penerbangan dari Changi menuju Denpasar juga berjalan lancar, bahkan suami sempat mengabadikan langit yang kemerahan saat sunrise.


Kami tiba di Ngurah Rai International Airport di Denpasar jam 7.20 pagi WITA, dan setelah menunggu beberapa saat seluruh penumpang diperbolehkan turun dari pesawat. Masuk ke dalam bandara, kami mengantri untuk mengambil bagasi, dan setelah semua bagasi kami keluar, kami menuju ke bagian imigrasi. Karena antrian untuk WNI sepi, kami cepat dilayani oleh petugasnya. Setelah paspor kami dikembalikan, kami tinggal melalui bagian customs (bea cukai). Semua barang wajib melaui mesin X-Ray, dan setelah barang kami keluar, di ujung tampak beberapa petugas yang sedang berjaga, dan salah seorang di antara mereka memanggil kami dan hendak memeriksa barang-barang kami.
Kami tidak grogi karena tidak membawa barang apa pun yang ilegal atau berbahaya (seburuk-buruknya, mungkin cabe rawitnya disita). Kami ditanya apa saja isi dari salah satu kantung plastik hitam yang kami bawa, dan setelah kujelaskan, petugasnya bertanya apa boleh dibuka? Berhubung sudah sampai di Denpasar dan nantinya kami akan dijemput oleh teman kami naik mobil kami sendiri, aku tidak keberatan kalau kantung plastiknya disobek bagian atasnya. Beberapa macam snack dan makanan serta bumbu masak dikeluarkan, bahkan gula pasir pun ditanya untuk apa. Gula pasir ini kami dapatkan gratis dari pembelian bubuk kaldu Knorr sebelumnya. Suami sampai bercanda dan mengatakan, maklum ibu-ibu pak, belanjaannya kan bahan masakan, hahahaha...
Tetapi yang kemudian diperiksa dengan teliti adalah panci yang kubawa untuk masak. Isinya ditanya satu-persatu (termasuk flash disk yang kusimpan di situ pun ditanya untuk apa). Setelah itu sisanya tidak diperiksa, malah kemudian mereka bingung sendiri bagaimana kami akan membawa barang-barang kami dengan kantung plastik yang sudah disobek. Karena backpack kami sebetulnya tidak penuh, sebagian barang yang dikeluarkan tadi kumasukkan ke dalam backpack supaya tidak berantakan. Kami langsung dipersilakan lewat dan keluar bandara.



Sembari berjalan keluar baru terpikir olehku, sepertinya yang menjadi pusat kecurigaan para petugas tadi memang panci (pastinya terlihat waktu melewati mesin X-Ray), karena ternyata belakangan sedang ramai kasus bom panci di Indonesia. Jadi mereka memastikan bahwa panci yang kami bawa aman dan bukan berisi bom hahahahaha... ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚
Sejujurnya aku sama sekali tidak merasa jengkel atau tersinggung saat para petugas tadi bertanya dengan nada yang sangat menyelidik, bahkan menurutku mereka melakukan tugas dan kewajiban mereka dengan baik, melindungi negeri tercinta ini dari siapa pun dan apa pun yang bisa membahayakan. Dan sesungguhnya menurut kami, walaupun para petugas tersebut memeriksa barang-barang kami, sikap mereka semua tetap baik dan sopan, tidak ada kesan arogan dan sok kuasa. ๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘

Singkat cerita, kami dijemput oleh teman kami Andre yang berdomisili di Denpasar, kemudian kami diajak sarapan bersama, dan setelah sarapan Andre dijemput oleh sang istri Ilen, lalu kami berkendara ke penginapan (Gowin Hotel di dekat bandara), menghabiskan senja di Pantai Petitenget Seminyak, dan esok harinya pulang kembali ke rumah Banyuwangi. Home sweet home. ๐Ÿ’—๐Ÿ˜‹



Hmmm... berakhir sudah dua bulan travelling kami di Vietnam (dan Laos). Dua bulan yang hampir setiap harinya diisi dengan hal-hal baru, orang-orang dan teman-teman baru, kisah-kisah baru, dan tentunya petualangan dan pengalaman baru. Banyak sekali yang kami dapatkan dari perjalanan selama dua bulan terakhir ini, dan aku sangat bersyukur kami diberi kesempatan untuk mengalami semua itu. ๐Ÿ˜„



Rangkuman dan hal-hal berkesan yang kuperoleh selama 2 bulan backpacking kali ini:


- Berat badanku bertambah 2 kg di akhir travelling karena banyak asupan karbohidrat dan lemak dari mie instan, bubur instan, nasi, dan daging-dagingan. Padahal pada umumnya berat backpack yang kami bawa berkisar 10-15 kg dan ke mana-mana banyak berjalan kaki. ๐Ÿ˜ Kalau suami, seperti biasa kalau travelling agak lama berat badannya turun. Jadi travelling adalah cara yang baik buat suami untuk diet hehehehe...

- Di kaki dan tanganku jadi banyak bekas luka yang berbentuk lubang-lubang kecil, dan aku masih belum tahu serangga apa gerangan yang begitu teganya menggigitku, terutama selama 3 minggu terakhir sewaktu berada di Vietnam utara (Sa Pa dan Ha Giang). ๐Ÿ˜ฅ

- Kulit jadi semakin hitam akibat sering berpanas ria di bawah terik matahari.๐Ÿ˜“

- Gelang tali di tangan yang waktu berangkat hanya 1 saja kini menjadi banyak, karena selain yang dibeli sendiri, aku masih mendapatkan 3 lagi secara gratis. ๐Ÿ˜…

- Dapat bibit cabe Vietnam yang besar-besar sekali tapi pedas. ๐Ÿ˜Ž

- Walaupun jadi backpackers misqueen dan seringkali hanya makan mie instan saja dalam sehari, namun sekurang-kurangnya mandi 1 kali sehari, danp ada umumnya 2 kali. Pakaian walaupun itu-itu saja, namun hampir setiap hari dicuci bersih. Hanya saja seringkali dijemur seadanya di dalam kamar, atau digantung di kipas angin supaya cepat kering hahahaha... ๐Ÿ˜‚

- Kami menjalani kehidupan travelling hari per hari selama di Vietnam dan Laos. Tidak ada rencana pasti walaupun itinerary sudah ada dan cukup lengkap untuk setiap tempat. Penginapan seringkali baru dibook 1-2 hari sebelumnya. Biasanya kami mencari yang termurah di booking.com. Segala sesuatu seperti transportasi antarkota pun dilihat kemudian, apa yang ada dan termurah selama masih layak dan dirasa cukup aman.

- Semua penginapan dipesan melalui booking.com atau go show (datang langsung) namun setelah membaca review dari booking.com. Baca review, fasilitas, lokasi dll terlebih dulu supaya ada gambaran bakal seperti apa kamarnya. Pada umumnya semua sesuai dengan foto. Lumayan juga karena selama 2 bulan travelling dapat refund USD 60 (sekitar Rp. 830.000,-) karena berbagi link discount.

- Secara keseluruhan, untuk akomodasi/penginapan selama dua bulan ini berkisar Rp 62.000 - Rp 235.000,- per malam untuk dua orang (lebih sering di bawah Rp 100.000,-) yang mahal hanya di Ho Chi Minh dan Hanoi). Semuanya dengan kamar mandi dalam.
Ada yang sangat murah sudah termasuk sarapan dan ada AC-nya (biasanya di kota kecil dan tidak touristy), ada yang agak mahal tidak termasuk sarapan (biasanya di kota besar atau saat long weekend di mana harga penginapan bisa dua kali lipat harga normal).

- Kasur di Vietnam rata-rata sekeras batu. Katanya orang Vietnam memang suka kasur yang keras begitu, karena baik untuk tubuh dan menyehatkan.

- Seringkali dapat kamar di lantai 3 atau 4, tanpa ada elevator, jadi kadang sampai kamar sudah ngos-ngosan duluan. ๐Ÿ˜…

- Pada umumnya penginapan di Vietnam menyediakan sandal kamar. Bentuknya rata-rata sama semua seantero negeri hehehehe...

- Banyak penginapan (terutama yang sudah agak kuno) di mana air dari wastafel langsung mengalir ke lantai kamar mandi (kesannya kadang jadi agak jorok walaupun kamar mandinya bersih).

- Kadang ada penginapan atau tempat penyewaan motor yang minta paspor asli ditinggal. Usahakan tidak meninggalkan paspor apabila menginap atau sewa motor. Kalau bisa dibayar dulu di muka, dan hanya copy paspor yang ditinggal. Hal ini karena pemilik penginapan kadang takut tamunya "kabur" dan tidak bayar (banyak kejadian seperti ini yang dilakukan oleh backpackers dari negara-negara barat sono).

- Kalau mau sewa motor, sebaiknya dicoba dulu motornya, apakah semuanya berfungsi dengan baik termasuk lampu-lampu, rem, dan klakson. Kalau perlu dicek kondisi bodinya dan difoto. Kadangkala ada pemilik motor yang nakal, ada goresan sedikit dan minta ganti uang banyak sekali, dan kalau tidak mau bayar paspor tidak dikembalikan (karena itu jangan memberikan paspor asli).

- Bagiku, Vietnam bukan negara di mana segala sesuatunya sangat murah seperti kata orang kebanyakan, terutama apabila membeli makanan matang.

- Makanan, terutama yang berkuah, selalu menggunakan vetsin dalam jumlah cukup banyak. Suami pernah melihat seorang pedagang kaki lima yang membawa "bekal" vetsin satu kemasan besar, entah apakah habis dalam sehari atau tidak. ๐Ÿ˜จ

- Pada umumnya apabila memungkinkan, kami masak sendiri dengan kompor camping yang kami bawa dari rumah. Karena sulit mencari gasnya, sampai di Ninh Binh kami membeli electric kettle (teko listrik/water boiler) dan semenjak itu masak menggunakan electric kettle ini.
Seringkali demi pengiritan kami hanya makan mie instan yang ditambah dengan berbagai macam sayur atau daging yang beli di pasar (karena electric kettle tidak bisa untuk masak nasi). Pada umumnya harga bahan mentah di pasar relatif murah, tentunya jauh lebih murah daripada membeli makanan jadi. Beras Laos jauh lebih enak daripada beras Vietnam. Bentuknya agak lebih bulat-bulat, dan masaknya juga lebih cepat.
Untuk perjalanan jarak jauh (antarkota, naik sleeper bus, naik kereta api, dan selama Ha Giang Loop naik sepeda motor), kami selalu bawa bekal makan sendiri, jadi tidak perlu membeli saat berhenti makan di perjalanan.

- Sayur dan buah-buahan yang ada di Vietnam hampir semuanya mirip dengan di Indonesia, termasuk kangkung, pare, daun bawang, buah naga, durian, mangga, jeruk, dll. Kalau suka pedas, beli cabe saja di pasar. Cabe yang besar-besar yang di Indonesia tidak pedas, di sana pedas sekali, bahkan ada yang ukurannya jumbo dan pedas juga.

- Untuk air minum, kami tidak pernah membeli (kecuali satu kali waktu kepanasan dan membeli air es). Dari rumah bawa botol kosong, camelback/water bladder, dan water filter. Tujuannya selain irit, yang utama adalah mengurangi limbah plastik.
Jadi untuk di bandara kami mengisi air di botol secukupnya. Selama travelling kami memfilter air sendiri kalau tidak diberi air oleh penginapan. Sejak ada teko listrik kami masak air sendiri, dan bisa bantu travelmate(s) kami untuk mengisi botol air minumnya juga. ๐Ÿ˜ƒ

- Kopi Vietnam yang kami cicipi pada umumnya enak, terutama kopi tetesnya. Kalau di kawasan non touristy rata-rata harganya VND 15-20K (bahkan ada yang VND 10K kalau membeli di pedagang kaki lima), sedangkan di kawasan touristy atau kelas cafe minimal VND 25K. Kalau mau berhemat, bisa membeli alatnya. Harganya hanya VND 15-25K, dan kopi bubuknya bisa dibeli di cafe atau supermarket. Katanya, kalau membeli kopi bubuk di tempat seperti Ben Thanh Market kadang pedagangnya tidak jujur. Sekalian beli yang branded, kadang justru lebih murah (kesukaan suami antara lain merk Highlands dan King Coffee, katanya merk KOK juga enak). Susu kental manis juga banyak dijual dalam kemasan sachet (seperti kemasan butter) kalau tidak mau membeli yang kemasan kaleng. Dengan membuat sendiri, kita bisa minum ca phe sua (kopi susu) ala Vietnam setiap hari dengan biaya yang sangat murah. ๐Ÿ˜Š

- Toilet umum berbayar pada umumnya murah, hanya VND 2.000 atau Rp 1.200. Kondisi juga lumayan bersih (untuk yang berbayar, kalau yang gratis lain lagi ceritanya ๐Ÿ˜…).
Ada juga toilet yang kalau mau masuk harus lepas sepatu/sandal. Nanti disediakan sandal untuk masuk ke toiletnya. Baru di Vietnamlah aku melihat "toilet berjamaah" (ini toilet perempuan lho ya), di mana tempat untuk buang air kecil hanya berupa lantai, tanpa sekat, hanya diberi beberapa pijakan kaki, dan tempatnya terbuka. Wow banget deh! ๐Ÿ˜จ๐Ÿ˜จ๐Ÿ˜จ

- Banyak bertemu dengan orang-orang baru, baik lokal maupun travellers dari negara lain, yang pada akhirnya menjadi teman.

- Pertama kali travelling dengan memiliki travelmate(s), dan cocok satu sama lain dalam jangka waktu yang cukup lama.
Repotnya memiliki travelmate(s) berkulit putih di negara-negara Asia Tenggara: lebih sering disangka guide yang mengantar travelmate(s) kami berkeliling. ๐Ÿ˜‚

- Selama di Vietnam, seringkali kami disangka orang lokal, atau turis dari Thailand. Kebanyakan orang Vietnam tidak tahu mengenai Indonesia (mungkin mereka hanya tahu Bali saja), bahkan menyebutkan kata Indonesia saja tidak bisa (ada yang menirukan dengan pedenya, Oh Indosia!).

- Walaupun sebelum berangkat kami sudah mendengar banyak cerita buruk mengenai scam di Vietnam, puji tuhan tidak ada hal buruk yang terjadi sepanjang perjalanan kami, bahkan banyak ditolong dan menerima kebaikan orang sekitar. Aku percaya ini bukan sekedar kebetulan, namun sikap dan perbuatan kita terhadap orang lain juga akan berpengaruh. What you sow, you reap.

- Banyak menerima bantuan dari orang lain selama travelling, baik diharapkan maupun tidak. ๐Ÿ˜˜

- Penduduk di South Vietnam dan Central Vietnam, pada umumnya suka berteriak-teriak walaupun berbicara normal. Mendengarkan orang-orang ini mengobrol bagaikan mendengarkan orang marah-marah atau bertengkar. Ada kemiripan dengan turis dari RRC yang sering kami jumpai di mana-mana.

- Alam dan budaya di South Vietnam dan North Vietnam sangat berbeda. South Vietnam cenderung lebih turistik, banyak pantai, dan banyak tourist trap juga, sementara North Vietnam (utamanya di daerah-daerah yang benar-benar di bagian utara dan masih pedesaan, bukan Hanoi, Halong, Ninh Binh dan semacamnya) tidak terlalu turistik dan bagi yang suka gunung, alamnya jauh lebih indah. Masih banyak tempat yang benar-benar alami dan jarang disentuh manusia.

- Penduduk North Vietnam (terutama yang di pedesaan tadi) cenderung lebih ramah, jujur dan lugu. Harga barang untuk turis dan penduduk lokal tidak ada perbedaan. Mereka pada umumnya baik, suka menyapa, dan selalu menyapa balik apabila kita menyapa lebih dulu. Termasuk sopir-sopir bus dan truk, mereka suka melambaikan tangan di jalan. ✋

- Seperti layaknya di Indonesia, Vietnam adalah negara berkembang, dan masih banyak penduduk Vietnam yang hidup di bawah garis kemiskinan. Banyak penduduk yang tinggal di dusun yang jauh dari keramaian, dengan rumah panggung berdinding anyaman bambu, dan tinggal bersama ternak peliharaan mereka. ๐Ÿ˜”

- Pada umumnya orang Vietnam tidak bisa berbahasa Inggris. Kaum mudanya pun banyak yang tidak begitu paham bahasa Inggris. Seringkali ada yang bisa berbahasa Inggris cukup lancar namun logatnya tetap sulit dimengerti. ๐Ÿ˜จ

- Alam di Laos masih belum banyak disentuh manusia, masih tampak sangat asri dan liar. Bagi yang suka "raw beauty", Laos adalah tempat yang tepat.

- Semua uang Dong dan Kip yang kami ambil dari ATM, pas sekali habis di hari terakhir. Hanya tersisa VND 1K dan LAK 6K (yang diberi oleh Flo & Jasmin). ๐Ÿ˜ฌ


TOTAL BUDGET

Total Pengeluaran: Rp. 7.500.000,-/orang/bulan - ALL IN


Pengeluaran meliputi (per orang):

- Tiket pesawat Jetstar Denpasar - Ho Chi Minh pp (berangkat hanya carry-on baggage, pulang dengan bagasi 20 kg): Rp. 2.124.320,-/orang
- Tiket pesawat Jetstar Ho Chi Minh - Da Lat : Rp. 210.000,-
- Tiket pesawat Jetstar Hanoi - Ho Chi Minh (plus bagasi 15 kg) : Rp 712.297,-
- Transportasi dalam kota (shuttle bus, grab, sewa sepeda motor)
- Transportasi antarkota/antarnegara (bus & kereta api)
- Tiket masuk semua tempat wisata yang berbayar (museum, botanic garden, air terjun, caves, dll)
- Biaya one day tour dari Cat Ba island (VND 250K), Trang An boat tour(VND 200K)
- Biaya trekking 3 hari 2 malam di Sa Pa (VND 800K)
- Biaya akomodasi (hampir setiap hari menginap di private room with private bathroom, kecuali saat naik sleeper bus atau naik kereta malam dan ngemper di stasiun atau bandara ^_^)
- Semua pengeluaran makan dan bahan makanan untuk masak
- Semua pengeluaran snack, kopi, rokok, alkohol (beer, rice wine, corn wine)

Dari 2 bulan travelling, kami total 11 kali mengambil uang di ATM di Vietnam dan 2 kali di ATM di Laos.
Untuk ATM di Vietnam, kalau ada carilah Military Bank ATM. Kalau tidak ada, bisa pakai TP Bank atau Agri Bank. Military Bank tidak mengenakan biaya apa pun dan kursnya lebih bagus. Agri Bank kena biaya VND 22K sekali tarik. TP Bank cuma mencoba sekali, kebetulan tidak bisa dipakai ATM-nya saat itu, tapi katanya tidak dikenakan biaya atau kalau ada pun mungkin sama dengan Agri Bank. Pada umumnya sekali tarik tunai maksimal VND 3M (sekitar 1,8 juta rupiah), tapi kadang bisa mengambil lebih dari sekali.

Keterangan: VND 1 ≈ IDR 0,62 pada saat kami berada di sana (ini sudah dihitung termasuk biaya dari ATM BCA Rp 25.000,- sekali tarik)



EPILOGUE


Kami tidak berani menyebut diri kami sebagai traveller sejati atau backpacker sejati atau apalah. Itu hanyalah sebutan, dan tidak akan mempengaruhi apa pun.
Kami hanya berusaha untuk mendapatkan "sesuatu yang lebih"  dari menjelajahi suatu tempat/negara, tidak hanya mengunjungi tempat-tempat turistik dan mendapatkan foto-foto yang "instagrammable" saja. Kami lebih suka menjelajah satu tempat saja namun lebih menyeluruh, daripada banyak tempat dalam sehari namun masing-masing tempat dikunjungi 5 menit saja hanya demi foto dengan background kekinian yang bisa dipamerkan kepada semua orang.
Coba deh, berapa banyak orang Indonesia yang sudah ke Vietnam (bahkan mungkin sampai berkali-kali), dan pernah mengunjungi Cat Ba Island, atau Ha Giang, atau bahkan Cao Bang? Pada umumnya yang dikunjungi hanya Ho Chi Minh City, Hanoi, Halong Bay, Nha Trang, Mui Ne, Hoi An, dan Ba Na Hills di Da Nang, yang notabene semuanya adalah pusat turisme, dan beberapa di antaranya justru kami hindari.

Bagaimana caranya mencari tempat-tempat indah dan tidak terlalu touristy?
Browsing dong! Jangan malas mencari informasi. Semuanya ada di Google. Aku membuat itinerary sepanjang 8 halaman selama hampir 3 minggu untuk perjalanan selama 2 bulan ini berdasarkan informasi yang kudapatkan dari Google dan Google Map.

Makna travelling bagi kami bukan hanya untuk sekedar "mencentang" bucket list bahwa kita sudah pernah "masuk" di negara tersebut, tapi berusaha untuk lebih mengenal budayanya, mengenal karakter dan keseharian penduduk lokal, sedangkan alam yang indah adalah bonus.
Kalau tidak punya banyak waktu dijadikan sebagai alasan, setidaknya berkunjunglah ke lebih sedikit tempat namun lebih mengeksplorasi tempat tersebut.

Bagi kami, banyaknya negara atau bahkan benua yang sudah pernah dikunjungi, sangat-sangat tidak penting. Aku pribadi, tidak akan peduli dengan orang yang berkata misalnya, "Aku sudah menjelajah 55 negara di 5 benua dalam 2 tahun".
So what??? Terus gue harus kagum, gitu maksud loh? Karena banyak orang yang mengaku dirinya traveller, namun harus selalu memamerkan hal seperti di atas untuk diakui bahwa dirinya traveller.
Orang pintar tidak akan mengatakan dirinya sendiri pintar. Orang baik tidak akan mengatakan dirinya sendiri baik.

Travelling (menurutku) juga lebih dari sekedar mengunjungi tempat-tempat yang tampak indah dan penuh turis saja, namun kalau bisa juga mendapatkan pengalaman yang lebih mendalam. Lebih bagus lagi kalau bisa sambil membantu ekonomi lokal (walaupun kita sendiri tidak berlebih harta). Karenanya kami tidak mau menggunakan jasa tour (dalam arti tour sepaket, misalnya "Menjelajah Vietnam dalam 7 hari" atau "10 European Countries in 14 Days"). Memang lebih merepotkan karena semua harus dipikirkan sendiri, mulai berburu tiket pesawat murah, akomodasi, transportasi, makan, tujuan wisata, dsb, namun ada kepuasan tersendiri yang kami dapatkan dengan apa yang sudah kami jalani ini.

Apalah artinya memamerkan banyaknya negara atau benua yang sudah dikunjungi, tapi tidak mendapat apa-apa selain foto-foto selfie di tempat wisata yang sudah umum dikunjungi orang. Berapa banyak pun negara yang dikunjungi, kalau tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik pada diri orang tersebut, rasanya percuma saja.

Oya, penting juga untuk mengingat bahwa kita sebagai "turis" atau tamu di negara lain, alangkah baiknya menghormati adat dan istiadat, tata cara, budaya, dan gaya hidup orang lokal. Jangan memaksakan budaya, tata cara dan keinginan kita tidak pada tempatnya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Namun kembali lagi, masing-masing pribadi akan mempunyai pendapat yang berbeda mengenai makna makna travelling bagi diri mereka dan apa yang dicari dari sebuah "perjalanan".

Kalau ada yang bertanya, "Kenapa lama sekali travellingnya?"
Karena dengan lebih banyak waktu, kita tidak saja bisa mendatangi lebih banyak tempat, namun juga bisa lebih memahami karakter dan budaya penduduk lokal (itu pun kadang hanya sedikit yang didapat apabila negaranya luas).

Kalau ada yang mengatakan, "Enak ya banyak duit, makanya bisa travelling terus?"
Amiiin dan terima kasih, semoga secepat mungkin terkabul doanya hahahaha...
Gambar di bawah ini adalah sedikit gambaran mengenai hidup kami sehari-hari, bahkan aslinya lebih parah hahahaha...



Jujur saja, perjuangan menjadi backpackers tidak mudah, bahkan kadang rasanya menderita sekali, namun buatku pribadi hal tersebut adalah seni tersendiri, dan kami (terutama aku) bisa belajar lebih banyak hal dengan cara travelling seperti ini.
Mungkin karena aku sudah terbiasa dibesarkan dengan hidup yang (kadang sangat) sederhana, aku tidak merasa keberatan dengan gaya travelling kami berdua yang seringkali serba perhitungan dan irit hehehehe...

Aku berharap semoga apa yang kutulis ini, selain menjadi diary bagi diriku sendiri, bisa bermanfaat dan menginspirasi orang-orang yang (mungkin) minder karena tidak berlimpah hartanya untuk bisa travelling dan menjelajah negeri orang. Asalkan giat berusaha (tidak malas bekerja), mau hidup sederhana dan mengutamakan menabung daripada gengsi, mau hidup sederhana (kadang agak menderita) selama travelling, bertujuan lebih mencari pengalaman daripada pamer, dan selalu berusaha menyebarkan kebaikan sekecil apa pun kepada siapa pun, niscaya semua bisa terlaksana. ๐Ÿ‘๐Ÿ’—๐Ÿ˜Ž

Di masa lalu, pergi ke luar negeri identik dengan perjalanan yang mewah dan mahal. Hanya orang-orang yang kaya atau para pejabat dan penguasa yang bisa melakukannya. Namun semenjak banyaknya maskapai udara yang menjual tiket pesawat dengan harga yang jauh lebih terjangkau (walaupun dengan fasilitas yang minimum), sebetulnya semua orang bisa bepergian ke luar negeri. Tergantung dari bagaimana mindset orang tersebut, apakah bertujuan untuk:
- berwisata ke tempat-tempat terkenal dan menginap di hotel-hotel berbintang, keluar masuk theme parks (taman-taman hiburan berbayar) yang notabene tentu saja tidak murah,
- "yang penting sudah pernah keluar negeri",
- "aku ingin tahu seperti apa suasana dan keadaan di sana",
- "aku ingin melihat semua tempat yang indah di sana",
- "aku ingin mencicipi makanan-makanan enak di sana",
- dan sebagainya.
Hal-hal inilah yang nantinya akan banyak mempengaruhi jumlah pengeluaran selama travelling.

Hari gini, bagi yang benar-benar ingin "pergi ke luar negeri" untuk mencari pengalaman dan hal-hal baru, banyak cara yang bisa ditempuh. Bagi yang muda-muda, bisa mencari beasiswa untuk belajar lagi di luar negeri, atau apply Working Holiday Visa, jadi bisa bekerja sembari travelling. Bisa juga mencari pekerjaan secara online dengan WWOF, WorkAway, dan masih banyak situs dan aplikasi di HP untuk hal-hal tersebut. Kadang ada pekerjaan yang hanya dibayar dengan akomodasi saja, atau akomodasi dan makan, bahkan dibayar dengan uang. Tinggal bagaimana usaha dan kegigihan untuk mewujudkannya.

Travelling tidak harus selalu mahal, tergantung gaya travelling masing-masing orang.
Seperti apa gaya travellingmu?


THE END

No comments:

Post a Comment