Day 3: Friday, March 3rd, 2017
Pagi pertama di Invercargill, aku bangun jam 6 pagi dan segera turun ke dapur. Begitu keluar dari dalam selimut, langsung terasa betapa dinginnya kota ini, padahal cuaca cerah. Memasuki musim gugur ini, matahari baru mulai menampakkan sinarnya menjelang jam 7 pagi, karenanya biasanya tiap pagi kalau aku bangun suasana masih gelap.
Hari ini kami tidak mempunyai agenda khusus, lebih banyak untuk beristirahat saja, jadi suami pun bersantai-santai dengan bangun siang. Aku bisa memakluminya, karena seharian kemarin dia sudah menyetir sejauh lebih dari 700 KM selama hampir 12 jam. Pasti dia lelah sekali. Aku sendiri tidak terlalu merasakan lelah, mungkin lebih karena perasaanku yang selalu excited berada di tempat ini hehehehe...
Sepagian aku menyibukkan diri di dapur, tapi bukan untuk masak, melainkan membersihkan dapur, menata dan merapikan perabotan, sekalian melihat-lihat isi dapur. Ada bahan makanan dan bumbu masak apa saja yang tersedia, supaya mudah kalau mau masak. Untuk hari ini, aku diberi tahu untuk tidak usah masak, karena Sherly akan masak untuk kami. π
Putriku Sherly mengambil jurusan Culinary Arts Level 5 di SIT, Invercargill, atas saranku. Sebetulnya aku tidak memaksanya, dan dia boleh saja mengambil jurusan apa pun yang dia mau, misalnya musik atau yang lainnya (karena yang jadi passionnya selalu musik). Tapi dengan berbagai pertimbangan, dengan kemauannya sendiri, akhirnya dia memilih untuk mengambil jurusan kuliner ini. Cita-citanya adalah untuk membuka cafe suatu saat nanti, karena dia lebih suka membuat kue-kue atau dessert yang lucu-lucu dan cantik-cantik daripada memasak. Nah, sewaktu sudah lulus SMA dan tidak ada kegiatan selama di rumah, dia sempat bekerja selama beberapa bulan di sebuah cafe milik sahabat suami di Banyuwangi, dan dari situ ternyata dia jadi jatuh cinta pada profesi barista. Maka semakin cocoklah jurusan kuliner ini untuknya, karena bisa menjadi pendukung dalam pengetahuan dan praktek bidang kuliner.
Seperti yang sudah sedikit kuceritakan di edisi NZ Trip 2016, untuk diterima menjadi pelajar ada test bahasa Inggris (IELTS) yang harus dilalui dengan nilai minimal. SIT merupakan salah satu kampus milik pemerintah yang memberikan program kursus bahasa Inggris gratis sampai 6 bulan (bisa kurang dari itu kalau sudah lulus, kalau lebih dari 6 bulan bisa tetap kursus tapi ada biaya), dan Sherly memanfaatkan fasilitas ini. Jadi dari Indonesia, dia sama sekali tidak mengambil test apa pun, dan mulai masuk kelas bahasa Inggris tanggal 10 Oktober 2016. Kelas bahasa Inggris ini sendiri ada banyak kelas, karena yang mendaftar jadi siswa memang banyak. Masing-masing kelas diklasifikasikan menurut levelnya melaui test awal. Kebetulan Sherly langsung masuk ke kelas intermediate.
Kalau aku tidak salah info, hampir setiap bulan diadakan test IELTS bagi para siswa kelas bahasa Inggris ini, dan kebetulan hanya dalam waktu 3 minggu setelah masuk kelas bahasa Inggris ini, Sherly lulus test IELTS dengan hasil yang baik sekali, bahkan test readingnya berhasil meraih nilai tertinggi untuk satu angkatan. Aku jelas bangga sekali dengan hasil yang diraih oleh putri semata wayangku ini, dan berharap dia akan langsung mendapat tempat di kelas Culinary Level 3.
Level 5 Culinary Arts di SIT merupakan program studi dengan durasi total kurang lebih 2 tahun. Kalau di Indonesia mungkin setara dengan D3 ya, jadi memang tidak akan ada gelar yang didapat seusai lulus, tapi itu bukan masalah buatku atau suami. Sherly sendiri sudah kuberi tahu di awal, bahwa kalau dia mengambil jurusan ini, dia tidak akan punya gelar, kecuali mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sampai Level 6 atau 7, misalnya, dan dia menyanggupi tetap mengambil Level 5 ini saja.
Untuk menyelesaikan Level 5 Culinary Arts, dia harus melewati Cookery Level 3, Cookery Level 4, baru kemudian Diploma in Culinary Excellence Level 5.
Satu tahun pertama adalah untuk Level 3 dan Level 4 Cookery, dan tahun kedua baru memasuki Level 5 yang sudah merupakan materi profesional. Untuk biayanya pendidikannya, sesuai dengan yang tertera di situs resmi SIT, untuk mahasiswa internasional dikenakan biaya $16,000 per tahun. Karena tahun 2016 untuk pelajar dari Indonesia ada beasiswa atau potongan harga sebesar 25%, totalnya menjadi $12,000 per tahun. Tahun kedua bisa mengajukan biaya yang sama asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya minimal prosentase kehadiran di kelas dan minimal nilai yang dicapai di Level 3 dan Level 4.
Nah, yang jadi masalah, jurusan Culinary ini ternyata peminatnya cukup banyak, sementara siswa yang diterima terbatas sekali jumlahnya. Sebetulnya untuk Culinary, SIT memiliki 2 kampus, yaitu di Invercargill dan di Queenstown, namun yang di Queenstown pun saat itu masih dalam tahap pembangunan, walau dipastikan akan dibuka kelas di bulan Februari 2017. Yang kupikirkan adalah, kalau di Queenstown biaya hidup akan jauh lebih mahal, terutama akomodasi. Bahan makanan pun harganya jauh lebih mahal daripada Invercargill. Menurutku, harga-harga barang dan terutama bahan makanan di Invercargill merupakan salah satu yang termurah di New Zealand. Selain itu kotanya juga tidak touristy, sehingga tidak terlalu ramai, cocok dijadikan kota pelajar.
Saat Sherly sudah lulus test IELTS, aku menghubungi Charles, agennya Sherly, untuk meminta kepastian apakah putriku ini akan dapat tempat di Invercargill. Kata Charles, supaya lebih aman, sebaiknya biaya kuliahnya (tuition fee) langsung dilunasi dulu saja, supaya dia bisa memintakan prioritas. Setengah gambling, akhirnya kami lunasi kekurangan tuition fee untuk tahun pertama. Selama beberapa minggu kemudian, aku tahu bahwa Charles benar-benar mengusahakan dan mendesak pihak SIT untuk memberikan tempat buat Sherly di kelas Culinary. Namun keputusan memang bukan berada di tangan kami, dan setelah diombang-ambingkan oleh ketidakjelasan dari pihak kampus, aku pun pasrah, dengan harapan setidaknya masih bisa diterima di Queenstown, masih OK lah. Mungkin malah nantinya Sherly akan lebih cepat mendapat pekerjaan untuk bisa menyupport biaya hidupnya sendiri, karena Queenstown selalu membutuhkan tenaga kerja.
Baru sekitar bulan Januari 2017 aku mendapat kepastian bahwa Sherly akhirnya mendapatkan tempat di kelas Culinary dengan lokasi Invercargill, bersama dengan Ester dan Ivan, dua orang yang sudah aku kenal sebelumnya, yang sama-sama mengambil jurusan Culinary juga. Tentu saja aku senang sekali mendengar berita ini, dan tak henti-hentinya bersyukur kepada-NYA. Aku yakin semua ini sudah diaturkan oleh-NYA. ππ
Masalah kelas pun beres. Sementara itu, ternyata putriku ini sejak awal juga mencari-cari pekerjaan, karena kelas bahasa Inggris memang tidak setiap hari, hanya 3 kali seminggu, jadi banyak waktu menganggur di rumah. Beruntung sekali, dia diterima menjadi karyawan di sebuah restoran Thailand mulai bulan Januari 2017 lalu, dengan pekerjaan serabutan, mulai dari kasir sampai waitress. Aku bangga sekali padanya yang mau bekerja dan tidak malu dengan pekerjaannya. Semenjak itu pun putriku mulai mempunyai penghasilan sendiri walaupun tidak terlalu banyak. Aku sendiri mengurangi sedikit demi sedikit uang bulanan yang aku kirimkan agar dia bisa hemat dan mengatur keuangannya dengan baik.
Main course atau kelas masaknya sendiri sudah dimulai sejak bulan Februari 2017, dan Sherly masih tetap bekerja di restoran yang sama. Karenanya saat kami datang ini, dia baru beberapa minggu masuk kelas, dan ada saatnya selama beberapa hari dalam seminggu dia harus bekerja sampai malam hari sampai restoran tempat kerjanya tutup (kadang sampai jam 9.30 malam).
Untuk kendaraan, kami membelikan sepeda kayuh bekas untuknya waktu Sherly masih awal-awal tinggal di Pomona Street. Sepeda beserta helmnya dibelinya dengan harga $50 saja, dan Debby, istri Charles, sangat berbaik hati mau mengantar Sherly mengambil sepeda tersebut ke rumah penjualnya dan membawakannya pulang ke Pomona Street dengan mobilnya. Jadi sejak itu Sherly lebih banyak bepergian naik sepeda, malah kemudian teman-teman akrabnya pun jadi ikut membeli sepeda, sehingga kemana-mana mereka berombongan naik sepeda. Yang susah adalah kalau anginnya sedang kencang, katanya bisa sampai kabur terbawa angin hahahaha....
Sebetulnya kasihan juga sih, apalagi di awal aku sebetulnya setengah menjanjikan akan membelikan mobil untuknya kalau dia sudah di Invercargill, karena selisih biaya pendidikan yang jauh lebih murah di SIT daripada di NSIA. Tapi sewaktu melihatnya mengendarai mobil sendiri di Invercargill tahun 2016 lalu, aku dan suami masih agak kuatir karena cara mengendarainya masih sering ragu-ragu. Selain itu mungkin memang belum waktunya ya, karena aku sebetulnya sudah sempat sering mencari-cari mobil bekas secara online di Auckland atau Christchurch sebelum mengantarnya ke New Zealand, dan nyatanya belum ada yang cocok karena terlalu mahal-mahal. Jadi sementara naik sepeda dulu ya nak, untuk olahraga juga, kan baik buat kesehatan hehehehe... π
Pengguna sepeda di New Zealand juga memiliki peraturan. Harus mengenakan helm setiap saat, menggunakan jalur khusus sepeda jika ada, dan sepedanya harus dilengkapi dengan lampu untuk pemakaian malam hari atau kalau hari sudah gelap. Sebisa mungkin pun, pengendaranya memakai rompi atau pakaian berwarna terang atau menyolok terutama di malam hari, agar terlihat oleh pengguna jalan lain dari kejauhan. Apabila mengendarai sepeda tanpa helm atau lampu yang layak, dendanya mencapai $50 kalau pas apes ketemu polisi hehehehe...
Untuk kamar flat di Ythan Street ini, kami ikut membayar $70 per minggu untuk 2 minggu pertama. Setelah itu hanya $50 per minggu dan hanya apabila kami tinggal di sana saja, karena kamarnya memang paling kecil. Dua kamar lain yang ditempati Sherly dan Ester jauh lebih luas dan lega, mungkin sekitar 3,5 X 4 meter, dan sudah ada built-in closetnya. Kamar mandinya ada satu, ukurannya sekitar 2 X 3 meter, dengan sebuah shower box kecil dengan shower curtain, wastafel, serta laci-laci di bawah wastafel untuk menyimpan barang-barang. Tiga buah kamar tidur dan kamar mandi berada di lantai atas. Sedangkan di lantai bawah terdapat ruang tamu yang cukup besar dengan sofa dan mejanya, dapur beserta kompor, oven, fridge dan kitchen setnya, toilet, serta laundry room di sebelah toilet untuk tempat mesin cuci. Perabotan dapur, alat masak dan alat makan, semua diisi sendiri. Demikian juga kasur dan semua furniture yang ada di dalam kamar, diisi sendiri oleh tenant (penyewa). Waktu itu Sherly dan Ester membeli semua barang yang diperlukan di rumah ini dengan belanja di opshop (toko barang bekas), atau membeli bekas dari orang lain (biasanya diiklankan online lewat Facebook Groups). Terkadang ada juga orang Indonesia yang sudah selesai studi atau hendak pindah ke luar kota, dan mereka menjual barang-barang yang tidak akan mereka bawa dengan harga yang amat sangat murah, bahkan kadang gratis.
Di luar flat, ada halaman kecil berpaving. Tempat sampah utama diletakkan di sini, dan dibedakan antara sampah kering (recyclable) dan sampah basah. Sampah yang bisa didaur ulang dimasukkan ke bak bertutup kuning, dan sampah basah/organik dimasukkan ke bak bertutup merah. Tempat sampah kering ukurannya lebih besar daripada tempat sampah basah, karena diambil setiap 2 minggu sekali. Di area Appleby ini, sampah biasanya diambil setiap hari Jumat pagi oleh mobil sampah. Karenanya, hari Kamis malam atau Jumat pagi, tempat sampah didorong keluar dan diletakkan di tepi jalan.
Ada saatnya kalau libur nasional, sampah baru diambil pada hari kerja berikutnya setelah libur. Jadi kalau libur nasionalnya 3 hari mulai Jumat, sampah baru diambil pada hari Senin berikutnya. Kalau seperti ini sebetulnya kadang merepotkan juga, apalagi jika sampahnya sedang banyak.
Flat yang ditempati Sherly dan Ester sendiri merupakan satu dari total 5 flat yang berjejer, pemiliknya seorang Kiwi yang bernama Kelly. Di depan kelima flat yang menghadap ke utara ini ada garasi mobil yang bisa muat sampai 6 mobil dan sebuah lapangan rumput kecil yang bisa dipakai untuk menjemur cucian. Masalahnya karena cuaca setiap hari tidak bisa diprediksi, pada umumnya Sherly dan Ester meletakkan jemurannya di sebuah jemuran kecil di dalam kamar, karena justru di sanalah matahari menyinari paling lama apabila kordennya dibuka.
Lokasi flatnya sendiri berada di daerah yang cukup aman dan sangat dekat dengan pusat kota, namun jalannya relatif sepi. Untuk ke kampus dan pusat kota hanya perlu berjalan kaki sekitar 7-10 menit saja, jadi lokasinya termasuk strategis dan menguntungkan.
Kembali ke cerita ya... karena bersih-bersih di dapur sudah selesai, aku mulai mencari-cari kegiatan lain. Saat itu masih jam 8 pagi, dan suami juga masih belum bangun. Sherly dan Ester juga biasanya bangun agak siang kalau tidak ada kelas. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk membersihkan mobil saja. Barang-barang di mobil juga masih belum semuanya dikeluarkan, terutama barang-barang peninggalan Philipp. Jadi sedikit demi sedikit semua barang yang tersisa di mobil kukeluarkan dan kuletakkan di ruang tamu di bawah. Wah, ruang tamunya jadi tampak banyak barang, terutama matrassnya yang cukup makan tempat walau sudah diberdirikan.
Setelah itu aku mengambil lap basah dan ember, lalu mulai membersihkan bagian dalam mobil, terutama di bagian-bagian yang jarang tersentuh. Mobil ini memang relatif bersih, hanya banyak debu atau pasir saja di beberapa tempat yang agak tersembunyi, seperti di bawah karpet, tapi tidak ada noda-noda atau cacat yang berarti, jadi memang Philipp orangnya bersihan. Aku membersihkan bagian dalam mobil sebisanya, sampai kemudian suami bangun, entah jam berapa itu hahahaha...
Kalau boleh dibilang, kami beruntung sekali mendapatkan mobil ini, sebab aku sering membaca bahwa mobil bekas backpackers biasanya jorok-jorok dan tidak terawat. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan seperti itu. Mereka biasanya hanya memakai saja dan kurang merawatnya, mungkin karena terlalu lelah setiap hari berpindah-pindah tempat ya...
Di New Zealand dan Australia utamanya, ternyata memang banyak sekali backpackers, terutama dari Jerman, yang tinggal selama 3 bulan sampai 1 tahun lamanya. Pada umumnya mereka masih muda (pastinya di bawah 30 tahun) dan memiliki WHV (Working Holiday Visa) yang berlaku 1 tahun. Jadi kadang sambil berlibur, mereka juga bekerja sementara di tempat-tempat yang membutuhkan tenaga kerja. Musim panas biasanya masa paling ramai dengan orang-orang yang memiliki WHV ini, karena banyak pekerjaan memetik buah atau merawat peternakan. Karenanya mereka membutuhkan kendaraan untuk mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Dan karena banyak tempat bermalam gratis, kebanyakan memilih membeli mobil dan berpindah-pindah menginap dari hari ke hari apabila sedang menjelajah. Tidak heran mobilnya jadi seperti rumah, ada kasur, perlengkapan tidur, perlengkapan masak, dan perlengkapan makan. Banyak juga yang kemudian mengubah mobilnya menjadi self contained unit, lengkap dengan bak cuci piring dan portable toilet, karena tempat bermalam gratis untuk self contained vehicle lebih banyak tersebar di mana-mana.
Untuk menjadikan sebuah mobil menjadi self contained unit, ada peraturan-peraturan dan standar minimum yang harus ditaati. Apabila semua syarat sudah dilengkapi, seorang petugas yang berwenang akan melakukan pengecekan terhadap mobil ini, dan apabila disetujui, mobil tersebut akan mendapatkan sertifikasi sebagai self contained unit yang berlaku selama 4 tahun. Nah, inilah yang akan berusaha kami lakukan, mengubah mobil kami menjadi sebuah self contained campervan.
Setelah kurasa cukup bersih, bagian jok belakangnya semua dikembalikan ke posisi tempat duduk penumpang, agar bisa dipakai kalau bepergian bersama. Setelah itu aku melihat-lihat barang-barang lainnya yang tadi kukeluarkan, sambil menata ulang. Wah barangnya cukup banyak juga lho, mulai dari kompor portable beserta gasnya, satu set perabotan masak yang masih lengkap dosnya (2 panci dan 1 wajan beserta tutup-tutupnya), satu set peralatan masak yang terbuat dari bahan plastik berkualitas (suthil, penyaring minyak, potato masher, sendok sayur, gunting, pisau, duh banyak deh), satu set mangkuk plastik, satu set piring plastik, satu set gelas plastik, satu cangkir melamin, satu cangkir yang bisa menyimpan minuman panas/dingin beserta tutupnya, beberapa set sendok garpu, itu baru perlengkapan dapurnya. Masih ada pula bahan-bahan makanan seperti kacang, selai, bumbu-bumbu masak, oatmeal, maple syrup, sultana, beberapa makanan kalengan yang masih utuh, minyak, bahkan sampai beras segala. Semua bahan makanan ini dimasukkan ke dalam sebuah box/container plastik yang besar.
Di luar itu ada converter listrik untuk digunakan di mobil, kain-kain dan peralatan kecil-kecil untuk menutupi kaca mobil, meteran ala tukang bangunan (wah ini meterannya bagus banget kualitasnya), headlamp (ini juga bagus banget), beberapa kain lap dan serbet, matrass dan 2 buah bantal beserta duvet dan sebuah selimut, pewangi ruangan, dan masih ada beberapa lagi barang-barang kecil yang aku tidak ingat. Komplit banget ya... π
Siang hari kami habiskan di rumah dengan bersantai, sementara makan siang disiapkan oleh Sherly. Dia membuatkan masakan ayam beserta nasi, dan khusus untukku ditambah pouched egg plus sausnya. Mentang-mentang baru saja dapat materi tentang macam-macam cara mengolah telur nih, jadi aku dibuatkan telur hehehehe...
Kami makan siang bersama-sama, dan semua rasanya enak-enak lho... ππ
Setelah makan siang, aku masih membongkar dan menata ulang pakaian dan barang-barang kami di koper, dan menata barang-barang di dapur. Oya, dari siang hari kami kedatangan tamu, pacarnya Sherly, namanya Chris, pelajar dari RRC. Mereka baru saja jadian belum lagi sebulan. Jadi kami juga mengajak ngobrol Chris. Orangnya cenderung tidak banyak bicara, bahasa Inggrisnya juga agak kagok dan tidak terlalu lancar, pengucapannya kadang sulit dimengerti hehehehe...
Untuk makan malam, katanya Chris yang akan masak untuk kami semua, jadi dia yang membeli bahan-bahannya, lalu sedari sore hari dia sudah sibuk di dapur, mempersiapkan bahan-bahan, memotong-motong, pokoknya sibuk sekali deh... Sepertinya dia agak grogi, mungkin takut masakannya kurang enak ya hahahaha...
Sementara itu, kami bertiga mendapat undangan dari warga Katolik Indonesia di Invercargill setelah acara doa rosario untuk latihan koor dan kumpul-kumpul. Kami baru datang sekitar jam 8.30 malam, dan ternyata cukup banyak yang hadir saat itu. Kami ikut latihan koor walaupun tahu tidak akan bisa hadir saat penampilan. Paduan suara ini dimaksudkan sebagai acara sosial untuk menghibur para manula di panti jompo. Kami tidak mungkin hadir karena sudah akan bepergian di tanggal yang ditentukan.
Seusai latihan koor, kami masih berkumpul, mengobrol dan bercanda dengan teman-teman Indonesia yang hadir. Mereka semua menyambut kedatangan kami di kota ini dengan baik dan meriah. Acaranya sendiri diadakan di rumah Pak Gede, salah satu orang indonesia yang tinggal di Invercargill bersama istri dan kedua putra-putrinya.
Sekitar jam 10.30 malam kami bertiga berpamitan pulang karena sudah malam dan belum makan. Sesampai di rumah, Chris masak makan malam kami dibantu oleh Sherly. Menunya adalah nasi dengan lauk daging sapi yang dimasak dengan celery (seperti seledri tapi besar-besar sekali), fillet ayam yang dimasak dengan bawang bombay, dan telur tomat. Telur tomat ini katanya merupakan salah satu makanan yang paling sering dibuat oleh penduduk di RRC karena mudah, cepat, enak, dan bergizi. Intinya sebetulnya hanya orak arik telur dan tomat yang dimasak, lalu dijadikan satu. So simple.
Kami berempat makan dengan lahap karena sudah kelaparan. Semua makanan yang dihidangkan rasanya enak, sampai nambah lebih dari sekali. Hmmm... kenyang sekali rasanya, sampai susah berdiri nih... hahahaha...
Setelah makan, kami masih mengobrol sebentar di ruang tamu, sampai akhirnya kami tidur dulu karena sudah mengantuk.
Nah, untuk tidurnya, seperti sudah kuceritakan kemarin, lebar kasurnya hanya sekitar 80cm untuk berdua. Jadi kalau tidur aku harus menempel di tembok dengan posisi miring, mungkin hanya makan tempat sekitar 20-25 cm lah, sisanya dipakai suami, karena dia tipe yang kalau tempatnya sempit susah tidur. Keadaan seperti ini berlangsung setiap hari selama kami tinggal di flat ini. Jujur saja ada masanya aku kangen sekali dengan kasur kami di rumah. Walaupun tidak terlalu besar, setidaknya masih 160 cm, masih cukup layak untuk tidur 2 orang hehehehe...
Tapi tidak mengapalah, sudah resikonya kalau mau murah ya begini, yang penting masih ada kasur untuk tidur hihihihi π
Day 4: Saturday, March 4th, 2017
Yang namanya sudah terbiasa bangun pagi dan memang menikmati suasana pagi, di mana pun juga kalau sudah pagi akan terbangun dengan sendirinya. Hari libur atau hari kerja, sama saja bagiku. Kalau duluuu sekali, aku masih suka bangun siang, terutama kalau hari libur, makin lama tidur makin baik hahahaha....
Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi seperti itu. Kalau bangun agak siang malah terasa kurang nyaman. Aku senang dan sangat menikmati beraktivitas (terutama di dapur) di dalam heningnya subuh, sebelum orang lain terjaga. Kalau di rumah Banyuwangi, kadang aku bisa bangun jam 2 atau jam 3 pagi. Ngapain aja?
Yah , yang namanya pekerjaan atau kegiatan, selalu saja ada yang perlu dilakukan. Karena aku suka sekali masak atau membuat jajanan, seringnya saat subuh ini kumanfaatkan untuk masak atau membuatkan makanan untuk karyawan di toko. Menyiapkan sarapan dan makan siang untuk suami, dan menyiapkan makan siang untukku sendiri. Kalau waktunya banyak dan sempat membuatnya, kadang aku membagi-bagikan makanan untuk mereka yang kurang beruntung di sekitar rumah atau toko.
Selama tinggal di Invercargill, awalnya aku bangun jam 5 pagi, tapi lama-lama baru bangun sekitar jam 6 pagi, karena jam 6 pagi pun masih gelap gulita di sini, dan yang pasti sangat dingin. Secangkir kopi panas pun tidak cukup untuk menghangatkan tubuh, sehingga seringkali aku harus minum alkohol untuk menghangatkan badan. Tapi tetap terkontrol porsinya ya, agar tidak sapai mabuk juga hehehehe...
Setelah mengetahui kebiasaan para penghuni flat ini, biasanya setiap pagi aku menyempatkan membuatkan sarapan buat seisi rumah dan masak nasi untuk seisi rumah. Untuk Sherly dan Ester, kalau mereka ada kelas biasanya kubuatkan bekal makan siang, dan menyiapkan kotak-kotak makan untuk mereka bawa. Kalau kelasnya praktek, biasanya mereka berdua akan membawa pulang makanan hasil praktek di kelasnya. Seringkali yang dibawa pulang adalah menu masakan daging-dagingan, jadi biasanya aku tidak perlu masak, paling hanya menambah menu sayuran saja. Atau kalau rasa masakannya kurang cocok (karena Western style kadang justru hambar), aku olah lagi menjadi masakan lain dengan menambah bumbu-bumbu lain. Sherly dan Ester kebetulan satu kelas, jadi jadwalnya selalu sama. Kalau ada kelas teori, biasanya mereka masuk jam 9 pagi dan pulang sekitar jam 3 sore. Kalau kelas praktek, masuknya jam 8 pagi, dan baru pulang paling cepat jam 5 sore, seringnya malah jam 6 sore ke atas, karena setelah kelas usai, mereka masih harus membersihkan meja kerja dan perabotan yang mereka pakai. Pada umumnya mereka bangun 30-45 menit sebelum kelas dimulai. What? Yah begitulah kebiasaan di sini, karena semua serbapasti, mereka bangun tidur di jam yang pas-pasan, mandi, bersiap-siap sebentar, dan langsung berangkat. Tidak akan ada yang namanya kena macet di jalan deh...
Selama Level 3 ini, tiap Sabtu dan Minggu selalu jadi hari libur untuk Sherly dan Ester. Jadi untuk hari ini, Sherly mengajak kami berdua dan Chris untuk makan malam di restoran tempatnya bekerja. Katanya, bossnya mengundang kami untuk makan di sana. Aku pikir on the house, alias mau ditraktir oleh bossnya. Ternyata tidak, tetap disuruh bayar, dengan potongan 10% saja hahahaha... Tapi demi menghargai Sherly, kami menyanggupi untuk makan malam di sana, sekalian ingin tahu juga seperti apa tempat dan pekerjaannya. Jadi untuk siang hari, kami makan sisa masakan semalam yang dipanaskan kembali. Sherly sendiri bekerja dari siang hingga sore hari.
Kegiatanku seharian, pagi hari mencuci sprei, duvet dan selimut yang dari Philipp. Butuh sedikit perjuangan untuk menggunakan mesin cuci di rumah ini, karena berbeda dengan yang aku punya di rumah, dan harus ditunggui. Jadi mencuci sendiri, kalau sudah berhenti harus kita putar lagi tombolnya secara manual untuk mengeringkan. Hasilnya pun tidak sekering mesin cuci dengan lubang di depan. Menjemur kain-kain yang berat ini juga butuh perjuangan, karena anginnya kencang sekali. Seperti kuceritakan di kisah perjalanan tahun 2016, Invercargill merupakan kota kedua dengan angin terbesar di New Zealand. Jadi jemuran yang sudah diberi jepit baju pun masih bisa terbang kesana kemari. Benar-benar butuh perjuangan.
Setelah itu aku mengeluarkan semua bumbu masak yang ada di laci bawah dapur. Ada banyaaak sekali macam bumbu masak yang ditinggalkan oleh Lance, flatmate Sherly sebelumnya. Lance sendiri juga sekolah kuliner dan sudah bekerja sebagai chef saat itu, karenanya koleksi bumbu-bumbunya sangat lengkap dan banyak di antaranya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku merapikan semuanya, menggabungkan yang sama, kuberi nama/label satu-persatu supaya mudah dikenali, dan menyusunnya berdasarkan sering tidaknya dipakai. Kelihatannya sepele, tapi ternyata makan waktu juga mengerjakan hal seperti ini.
Setelah mandi dan makan, sekitar jam 12.30 siang kami pergi ke PakN'Save di Tay Street untuk belanja bahan makanan. Aku menggunakan credit card untuk membayar. Sepulang dari belanja, aku masih sibuk menyimpan barang-barang belanjaan dan berbenah di dapur.
Bagi yang penasaran mengenai harga-harga bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari di New Zealand, kuusahakan ke depannya untuk selalu mencantumkan nama barang beserta harganya ya (semuanya dalam NZ$), supaya ada gambaran berapa besar pengeluaran untuk hidup sehari-hari.
Berikut ini daftar belanjaanku di PaknSave:
Malam hari setelah mandi, jam 7 malam kami bertiga dan Chris pergi ke Thai-Thai, restoran masakan Thailand tempat Sherly bekerja. Kami memesan 3 macam masakan dan nasi putih untuk dimakan bersama. Setelah diskon pun totalnya masih hampir $50. Untuk masakannya sendiri rasanya cukup okelah. Tertulis di menunya, tidak menggunakan MSG, tapi lidahku tidak bisa dibohongi, karena setelah makan di sana, aku jadi super haus sampai berjam-jam lamanya. Ini memang reaksi tubuhku kalau mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak MSG. Dulunya aku tidak sensitif seperti ini, tapi semenjak di rumah hampir tidak pernah menggunakan MSG, lama-lama aku jadi tidak tahan terhadap MSG, padahal aku tidak anti lho... (Kalau sekarang, semenjak operasi memang sudah tidak boleh sama sekali mengkonsumsi MSG.) Mungkin masakannya tidak menggunakan bubuk MSG, tapi berbagai macam saus yang digunakan tentunya mengandung MSG juga, karenanya tubuhku bereaksi negatif.
Selesai acara makan malam, waktu sudah menunjukkan jam 8 malam, dan kami diantar ke rumah Peter & MaryAnn. Peter sebetulnya teman Lance, tapi Sherly juga mengenalnya dan pernah berkunjung ke rumahnya. Peter adalah seorang tukang kayu yang sudah berpengalaman, dan tujuan kami mengunjunginya adalah hendak minta tolong untuk mengubah mobil kami menjadi self-contained unit. Minimal bisa membuatkan lemari-lemari dan alas kasurnya untuk dipasang di dalam mobil.
Peter & MaryAnn merupakan pasangan Kiwi yang sudah manula namun masih energik dan sangat ramah. Mereka mempunyai 3 orang putri yang sudah dewasa. Dua di antaranya sudah menikah dan tidak tinggal di Invercargill, sementara Bethany, putri bungsu mereka, baru menginjak SMA. Peter orangnya senang bergurau, membuat suasana menjadi ramai. MaryAnn sendiri tipe orang yang suka sekali minum wine. Mereka menjamu kami dengan wine dan cookies. Kami mengobrol akrab dengan mereka berdua, hingga tak terasa waktu berlalu. Menyenangkan sekali mereka ini.
Untuk masalah mobil, Peter belum bisa memberikan gambaran atau keputusan apa pun, karena kami datang naik mobil Chris, sedangkan Peter harus melihat dulu seperti apa mobil kami sebelum bisa memberikan keputusan lebih lanjut. Maka malam itu pun kami pulang dan membuat janji dengan Peter esok hari.
Sesampai di rumah, kami hanya mengobrol di kamar Sherly, sembari aku menghangatkan diri di dalam electric blanketnya hehehehe.... Lama-kelamaan aku pun mengantuk, dan akhirnya kami berdua beranjak tidur di kasur sempit kami. π
Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi seperti itu. Kalau bangun agak siang malah terasa kurang nyaman. Aku senang dan sangat menikmati beraktivitas (terutama di dapur) di dalam heningnya subuh, sebelum orang lain terjaga. Kalau di rumah Banyuwangi, kadang aku bisa bangun jam 2 atau jam 3 pagi. Ngapain aja?
Yah , yang namanya pekerjaan atau kegiatan, selalu saja ada yang perlu dilakukan. Karena aku suka sekali masak atau membuat jajanan, seringnya saat subuh ini kumanfaatkan untuk masak atau membuatkan makanan untuk karyawan di toko. Menyiapkan sarapan dan makan siang untuk suami, dan menyiapkan makan siang untukku sendiri. Kalau waktunya banyak dan sempat membuatnya, kadang aku membagi-bagikan makanan untuk mereka yang kurang beruntung di sekitar rumah atau toko.
Selama tinggal di Invercargill, awalnya aku bangun jam 5 pagi, tapi lama-lama baru bangun sekitar jam 6 pagi, karena jam 6 pagi pun masih gelap gulita di sini, dan yang pasti sangat dingin. Secangkir kopi panas pun tidak cukup untuk menghangatkan tubuh, sehingga seringkali aku harus minum alkohol untuk menghangatkan badan. Tapi tetap terkontrol porsinya ya, agar tidak sapai mabuk juga hehehehe...
Setelah mengetahui kebiasaan para penghuni flat ini, biasanya setiap pagi aku menyempatkan membuatkan sarapan buat seisi rumah dan masak nasi untuk seisi rumah. Untuk Sherly dan Ester, kalau mereka ada kelas biasanya kubuatkan bekal makan siang, dan menyiapkan kotak-kotak makan untuk mereka bawa. Kalau kelasnya praktek, biasanya mereka berdua akan membawa pulang makanan hasil praktek di kelasnya. Seringkali yang dibawa pulang adalah menu masakan daging-dagingan, jadi biasanya aku tidak perlu masak, paling hanya menambah menu sayuran saja. Atau kalau rasa masakannya kurang cocok (karena Western style kadang justru hambar), aku olah lagi menjadi masakan lain dengan menambah bumbu-bumbu lain. Sherly dan Ester kebetulan satu kelas, jadi jadwalnya selalu sama. Kalau ada kelas teori, biasanya mereka masuk jam 9 pagi dan pulang sekitar jam 3 sore. Kalau kelas praktek, masuknya jam 8 pagi, dan baru pulang paling cepat jam 5 sore, seringnya malah jam 6 sore ke atas, karena setelah kelas usai, mereka masih harus membersihkan meja kerja dan perabotan yang mereka pakai. Pada umumnya mereka bangun 30-45 menit sebelum kelas dimulai. What? Yah begitulah kebiasaan di sini, karena semua serbapasti, mereka bangun tidur di jam yang pas-pasan, mandi, bersiap-siap sebentar, dan langsung berangkat. Tidak akan ada yang namanya kena macet di jalan deh...
Selama Level 3 ini, tiap Sabtu dan Minggu selalu jadi hari libur untuk Sherly dan Ester. Jadi untuk hari ini, Sherly mengajak kami berdua dan Chris untuk makan malam di restoran tempatnya bekerja. Katanya, bossnya mengundang kami untuk makan di sana. Aku pikir on the house, alias mau ditraktir oleh bossnya. Ternyata tidak, tetap disuruh bayar, dengan potongan 10% saja hahahaha... Tapi demi menghargai Sherly, kami menyanggupi untuk makan malam di sana, sekalian ingin tahu juga seperti apa tempat dan pekerjaannya. Jadi untuk siang hari, kami makan sisa masakan semalam yang dipanaskan kembali. Sherly sendiri bekerja dari siang hingga sore hari.
Kegiatanku seharian, pagi hari mencuci sprei, duvet dan selimut yang dari Philipp. Butuh sedikit perjuangan untuk menggunakan mesin cuci di rumah ini, karena berbeda dengan yang aku punya di rumah, dan harus ditunggui. Jadi mencuci sendiri, kalau sudah berhenti harus kita putar lagi tombolnya secara manual untuk mengeringkan. Hasilnya pun tidak sekering mesin cuci dengan lubang di depan. Menjemur kain-kain yang berat ini juga butuh perjuangan, karena anginnya kencang sekali. Seperti kuceritakan di kisah perjalanan tahun 2016, Invercargill merupakan kota kedua dengan angin terbesar di New Zealand. Jadi jemuran yang sudah diberi jepit baju pun masih bisa terbang kesana kemari. Benar-benar butuh perjuangan.
Setelah itu aku mengeluarkan semua bumbu masak yang ada di laci bawah dapur. Ada banyaaak sekali macam bumbu masak yang ditinggalkan oleh Lance, flatmate Sherly sebelumnya. Lance sendiri juga sekolah kuliner dan sudah bekerja sebagai chef saat itu, karenanya koleksi bumbu-bumbunya sangat lengkap dan banyak di antaranya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku merapikan semuanya, menggabungkan yang sama, kuberi nama/label satu-persatu supaya mudah dikenali, dan menyusunnya berdasarkan sering tidaknya dipakai. Kelihatannya sepele, tapi ternyata makan waktu juga mengerjakan hal seperti ini.
Setelah mandi dan makan, sekitar jam 12.30 siang kami pergi ke PakN'Save di Tay Street untuk belanja bahan makanan. Aku menggunakan credit card untuk membayar. Sepulang dari belanja, aku masih sibuk menyimpan barang-barang belanjaan dan berbenah di dapur.
Bagi yang penasaran mengenai harga-harga bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari di New Zealand, kuusahakan ke depannya untuk selalu mencantumkan nama barang beserta harganya ya (semuanya dalam NZ$), supaya ada gambaran berapa besar pengeluaran untuk hidup sehari-hari.
Berikut ini daftar belanjaanku di PaknSave:
- Offal Ox Liver $2.39 (hati sapi)
- Tegel Wings $13.99 (sayap ayam)
- Eclipse Cheese Colby 1kg $8.49 (keju colby)
- Lemons NZ 1.845kg $14.74
- Pams Sugar Brown 1kg $2.29
- Robert Harris Coffee $3.49 (kopi instan isi 10 sachet)
- Moccona Coffee $8.19 (kopi instan isi 10 sachet)
- Cauliflower $2.89
- Doritos Cheese Supreme $1.99
- Value White Toast 600g $.89 (roti tawar 1 loaf)
Malam hari setelah mandi, jam 7 malam kami bertiga dan Chris pergi ke Thai-Thai, restoran masakan Thailand tempat Sherly bekerja. Kami memesan 3 macam masakan dan nasi putih untuk dimakan bersama. Setelah diskon pun totalnya masih hampir $50. Untuk masakannya sendiri rasanya cukup okelah. Tertulis di menunya, tidak menggunakan MSG, tapi lidahku tidak bisa dibohongi, karena setelah makan di sana, aku jadi super haus sampai berjam-jam lamanya. Ini memang reaksi tubuhku kalau mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak MSG. Dulunya aku tidak sensitif seperti ini, tapi semenjak di rumah hampir tidak pernah menggunakan MSG, lama-lama aku jadi tidak tahan terhadap MSG, padahal aku tidak anti lho... (Kalau sekarang, semenjak operasi memang sudah tidak boleh sama sekali mengkonsumsi MSG.) Mungkin masakannya tidak menggunakan bubuk MSG, tapi berbagai macam saus yang digunakan tentunya mengandung MSG juga, karenanya tubuhku bereaksi negatif.
Selesai acara makan malam, waktu sudah menunjukkan jam 8 malam, dan kami diantar ke rumah Peter & MaryAnn. Peter sebetulnya teman Lance, tapi Sherly juga mengenalnya dan pernah berkunjung ke rumahnya. Peter adalah seorang tukang kayu yang sudah berpengalaman, dan tujuan kami mengunjunginya adalah hendak minta tolong untuk mengubah mobil kami menjadi self-contained unit. Minimal bisa membuatkan lemari-lemari dan alas kasurnya untuk dipasang di dalam mobil.
Peter & MaryAnn merupakan pasangan Kiwi yang sudah manula namun masih energik dan sangat ramah. Mereka mempunyai 3 orang putri yang sudah dewasa. Dua di antaranya sudah menikah dan tidak tinggal di Invercargill, sementara Bethany, putri bungsu mereka, baru menginjak SMA. Peter orangnya senang bergurau, membuat suasana menjadi ramai. MaryAnn sendiri tipe orang yang suka sekali minum wine. Mereka menjamu kami dengan wine dan cookies. Kami mengobrol akrab dengan mereka berdua, hingga tak terasa waktu berlalu. Menyenangkan sekali mereka ini.
Untuk masalah mobil, Peter belum bisa memberikan gambaran atau keputusan apa pun, karena kami datang naik mobil Chris, sedangkan Peter harus melihat dulu seperti apa mobil kami sebelum bisa memberikan keputusan lebih lanjut. Maka malam itu pun kami pulang dan membuat janji dengan Peter esok hari.
Sesampai di rumah, kami hanya mengobrol di kamar Sherly, sembari aku menghangatkan diri di dalam electric blanketnya hehehehe.... Lama-kelamaan aku pun mengantuk, dan akhirnya kami berdua beranjak tidur di kasur sempit kami. π
Day 5: Sunday, March 5th, 2017
Terbangun pagi hari mendengar suara alarm, aku bangkit dan turun dari kasur. Satu hal yang ingin kuceritakan, entah kenapa setiap pagi saat aku beranjak bangun dari kasur di kamar ini, kepalaku langsung terasa pusing dan berkunang-kunang. Aku memang punya darah rendah, tapi tidak pernah terjadi kalau bangun tidur langsung seperti ini. Aku tidak tahu apakah itu karena udara yang terlalu dingin, karena kamar yang kami tempati ini memang yang paling dingin dan tanpa pemanas ruangan, sedangkan suhu di pagi hari rata-rata mendekati nol derajat Celcius di hari-hari normal. Beruntung Sherly meminjamkan kami selimut yang tebal dan sangat hangat, sehingga tidak sampai terlalu kedinginan saat tidur. Tapi tetap saja kalau ada anggota badan yang sampai keluar dari selimut, terasa sekali betapa dinginnya udara. Karenanya walaupun pada akhirnya sudah terbiasa tidur di kamar ini, tetap saja aku sering terbangun di malam hari.
Hal aneh kedua yang aku rasakan adalah, biasanya kalau di rumah, begitu bangun tidur, aku bersemangat melakukan kegiatanku di dapur, dan sepertinya semua sudah terstruktur dengan rapi di otakku. Jadi aku bisa melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan terorganisir. Tapi selama tinggal di flat ini, tiap pagi aku seperti orang bingung walaupun sudah ada hal-hal yang harus dilakukan, atau sudah kurencanakan sejak malam sebelumnya. Aku jadi teringat istilah brain freeze, yang sebetulnya adalah istilah untuk mengungkapkan sakit kepala akibat makan es krim yang dingin. Sedangkan yang aku alami ini adalah brain freeze dalam arti harafiah, di mana otakku seperti membeku dan susah untuk diajak berpikir normal seperti biasanya. Jadi kadang apa yang sudah aku rencanakan, lupa begitu saja. Meletakkan suatu barang, lupa di mana. Dan rasanya sering kebingungan akan urutan pekerjaan yang harusnya aku lakukan. Hal ini hanya terjadi di pagi hari saja, dan saat aku dan suami travelling justru tidak setiap hari aku mengalami hal ini. Aneh juga kan?
Kami mengisi waktu dengan beberes dan bersih-bersih di rumah. Siang harinya kami berdua pergi ke toko Good 2 You $2 store di untuk membeli ember dan alat-alat pertukangan ringan untuk digunakan suami memperbaiki apa saja yang bisa diperbaiki. Kami juga sempat mampir ke Countdown dengan niat untuk membeli deterjen (Homebrand Laundry Powder, 4 kg harganya $6.5). Saat itu sedang ada sale brokoli, ukurannya besar sekali dan harganya hanya $1, jadi kami beli juga hehehehe...
Pulang berbelanja, kami berdua mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, dan sisanya bersantai di rumah saja menunggu sore hari. Sekitar jam 5 sore, kami berdua pergi ke rumah Peter. Sherly tidak ikut karena sedang bekerja. Cukup lama kami berada di sana, sampai sekitar jam 7 malam. Banyak sekali hal yang dibicarakan dengan Peter dan MaryAnn. Sedangkan untuk mengubah mobil kami menjadi self contained, Peter menganjurkan kami untuk tidak melakukannya. Beberapa alasan dikemukakan olehnya. Katanya dari kemarin dia ingin bilang tapi masih ragu-ragu, takut kami tidak bisa menerima.
Jadi seperti sudah kuceritakan sebelumnya, sangat banyak backpackers di New Zealand yang mengendarai mobil di seantero negeri ini. Banyak di antara mereka yang memang kulihat sendiri, tidak menghormati warga setempat, atau membuang sampah dan kotoran sembarangan. Kadang mereka menginap di freedom camping ground dan meninggalkan banyak sampah serta kotoran manusia. Intinya banyak backpackers (terutama westerner sih sebetulnya) yang tidak bertanggung jawab. Dari kejadian-kejadian tersebut, mulai banyak orang Kiwi yang marah akibat kelakuan mereka, dan kadang orang-orang ini mengganggu para backpackers yang terutama menginap di freedom camping ground tersebut. Mulai dari menakut-nakuti, mengganggu di tengah malam, sampai mencuri atau merampok dari para turis. Yang kena imbasnya tentu saja mereka yang tidak tahu apa-apa dan tidak melakukan perbuatan buruk.
Selain itu, menurut Peter masih banyak juga orang Kiwi yang rasis terhadap orang Asia. Karenanya beliau ini sebetulnya kuatir, kalau kami tetap menjadikan mobil kami sebagai self contained dan kami sering menginap di freedom camping ground, takutnya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Peter menyarankan kami tetap berkeliling, namun lebih aman apabila kami tidur di penginapan atau semacamnya, yang pasti jauh lebih aman. Dan menurut Peter, kalau dihitung-hitung akan lebih murah mengeluarkan biaya menginap daripada mengubah mobil menjadi self contained.
Dalam hati sebetulnya aku kecewa juga, tapi mungkin ada benarnya juga apa yang diungkapkan oleh Peter. Dan sisi positifnya adalah kami bisa sewaktu-waktu berangkat apabila kami sudah siap, karena untuk mengubah mobil juga butuh waktu. Aku bilang akan kupikirkan dulu, dan kalau kami tidak kembali berarti kami akan mengendarai mobil kami apa adanya saja. Setelah itu Peter malah memberi kami chilly bin (kotak yang besar, tapi berfungsi seperti thermos, bisa menyimpan makanan dingin lebih lama, dan istilah ini hanya ada di New Zealand lho, biasanya orang menyebutnya cooler, cool box, atau portable ice box). Wah kami tentu saja senang sekali walaupun yang diberikannya bukanlah barang baru. Kondisinya masih bagus sekali, bisa sangat berguna untuk menyimpan makanan.
Akhirnya kami pun berpamitan kepada Peter dan MaryAnn, lalu pulang ke flat. Cuaca saat itu mendung, tetapi masih terang. Baru saja kami sampai, sebentar kemudian datanglah dua orang teman Sherly, namanya Anne dan Nguyen Dinh Tai. Bisa dibilang mereka adalah tetangga kami, karena tinggalnya di flat di di selatan flat kami, dan kami bisa melihat aktivitas yang mereka lakukan melalui jendela flat mereka kalau kordennya dibuka. Mereka berdua datang untuk masak, katanya untuk menyambut kedatangan kami berdua. Baik sekali ya... ππ
Anne adalah pelajar dari RRC, dan Tai, sesuai namanya, berasal dari Vietnam. Seperti rata-rata pelajar asing dari Asia lainnya, mereka belajar di New Zealand dengan harapan untuk bisa bekerja dan pindah ke negeri ini, demi untuk kehidupan yang lebih baik. Anne sendiri sudah berkeluarga dan memiliki seorang putra yang masih batita (beberapa bulan kemudian Anne lulus dan keluarganya menyusul, dan sekarang ini mereka sekeluarga tinggal di Christchurch).
Anne suka dan pandai memasak. Dibantu oleh Tai, Sherly dan Chris, dia masak daging ayam yang dicampur dengan bawang bombay, daging sapi dimasak dengan wortel dan kentang, udang yang ditumis dengan spring onion, dan sayur silverbeet yang ditumis dengan bawang putih. Melihatnya saja sudah membuatku meneteskan air liur hehehehe...
Semua masakannya enak-enak sekali dan kami semua makan dengan lahap. Saat sedang makan dan mengobrol inilah, Inov, salah satu teman akrab Sherly, datang. Dia memang suka ngaret kata Sherly hahahaha...
Selesai makan, kami masih melanjutkan mengobrol, mengenai kondisi umum, budaya, dan kebiasaan-kebiasaan penduduk di RRC maupun Vietnam. Dari sinilah aku jadi tahu sedikit mengenai RRC dan Vietnam. Kami bertukar cerita dan pengalaman, sampai sekitar jam 9.30 malam, tamu-tamu kami pun pulang karena sudah tampak mengantuk dan lelah.
Malam itu pun kami tidur (lagi-lagi) dengan perut kekenyangan ^_^
To be continued.......
Hal aneh kedua yang aku rasakan adalah, biasanya kalau di rumah, begitu bangun tidur, aku bersemangat melakukan kegiatanku di dapur, dan sepertinya semua sudah terstruktur dengan rapi di otakku. Jadi aku bisa melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan terorganisir. Tapi selama tinggal di flat ini, tiap pagi aku seperti orang bingung walaupun sudah ada hal-hal yang harus dilakukan, atau sudah kurencanakan sejak malam sebelumnya. Aku jadi teringat istilah brain freeze, yang sebetulnya adalah istilah untuk mengungkapkan sakit kepala akibat makan es krim yang dingin. Sedangkan yang aku alami ini adalah brain freeze dalam arti harafiah, di mana otakku seperti membeku dan susah untuk diajak berpikir normal seperti biasanya. Jadi kadang apa yang sudah aku rencanakan, lupa begitu saja. Meletakkan suatu barang, lupa di mana. Dan rasanya sering kebingungan akan urutan pekerjaan yang harusnya aku lakukan. Hal ini hanya terjadi di pagi hari saja, dan saat aku dan suami travelling justru tidak setiap hari aku mengalami hal ini. Aneh juga kan?
Kami mengisi waktu dengan beberes dan bersih-bersih di rumah. Siang harinya kami berdua pergi ke toko Good 2 You $2 store di untuk membeli ember dan alat-alat pertukangan ringan untuk digunakan suami memperbaiki apa saja yang bisa diperbaiki. Kami juga sempat mampir ke Countdown dengan niat untuk membeli deterjen (Homebrand Laundry Powder, 4 kg harganya $6.5). Saat itu sedang ada sale brokoli, ukurannya besar sekali dan harganya hanya $1, jadi kami beli juga hehehehe...
Pulang berbelanja, kami berdua mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, dan sisanya bersantai di rumah saja menunggu sore hari. Sekitar jam 5 sore, kami berdua pergi ke rumah Peter. Sherly tidak ikut karena sedang bekerja. Cukup lama kami berada di sana, sampai sekitar jam 7 malam. Banyak sekali hal yang dibicarakan dengan Peter dan MaryAnn. Sedangkan untuk mengubah mobil kami menjadi self contained, Peter menganjurkan kami untuk tidak melakukannya. Beberapa alasan dikemukakan olehnya. Katanya dari kemarin dia ingin bilang tapi masih ragu-ragu, takut kami tidak bisa menerima.
Jadi seperti sudah kuceritakan sebelumnya, sangat banyak backpackers di New Zealand yang mengendarai mobil di seantero negeri ini. Banyak di antara mereka yang memang kulihat sendiri, tidak menghormati warga setempat, atau membuang sampah dan kotoran sembarangan. Kadang mereka menginap di freedom camping ground dan meninggalkan banyak sampah serta kotoran manusia. Intinya banyak backpackers (terutama westerner sih sebetulnya) yang tidak bertanggung jawab. Dari kejadian-kejadian tersebut, mulai banyak orang Kiwi yang marah akibat kelakuan mereka, dan kadang orang-orang ini mengganggu para backpackers yang terutama menginap di freedom camping ground tersebut. Mulai dari menakut-nakuti, mengganggu di tengah malam, sampai mencuri atau merampok dari para turis. Yang kena imbasnya tentu saja mereka yang tidak tahu apa-apa dan tidak melakukan perbuatan buruk.
Selain itu, menurut Peter masih banyak juga orang Kiwi yang rasis terhadap orang Asia. Karenanya beliau ini sebetulnya kuatir, kalau kami tetap menjadikan mobil kami sebagai self contained dan kami sering menginap di freedom camping ground, takutnya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Peter menyarankan kami tetap berkeliling, namun lebih aman apabila kami tidur di penginapan atau semacamnya, yang pasti jauh lebih aman. Dan menurut Peter, kalau dihitung-hitung akan lebih murah mengeluarkan biaya menginap daripada mengubah mobil menjadi self contained.
Dalam hati sebetulnya aku kecewa juga, tapi mungkin ada benarnya juga apa yang diungkapkan oleh Peter. Dan sisi positifnya adalah kami bisa sewaktu-waktu berangkat apabila kami sudah siap, karena untuk mengubah mobil juga butuh waktu. Aku bilang akan kupikirkan dulu, dan kalau kami tidak kembali berarti kami akan mengendarai mobil kami apa adanya saja. Setelah itu Peter malah memberi kami chilly bin (kotak yang besar, tapi berfungsi seperti thermos, bisa menyimpan makanan dingin lebih lama, dan istilah ini hanya ada di New Zealand lho, biasanya orang menyebutnya cooler, cool box, atau portable ice box). Wah kami tentu saja senang sekali walaupun yang diberikannya bukanlah barang baru. Kondisinya masih bagus sekali, bisa sangat berguna untuk menyimpan makanan.
Akhirnya kami pun berpamitan kepada Peter dan MaryAnn, lalu pulang ke flat. Cuaca saat itu mendung, tetapi masih terang. Baru saja kami sampai, sebentar kemudian datanglah dua orang teman Sherly, namanya Anne dan Nguyen Dinh Tai. Bisa dibilang mereka adalah tetangga kami, karena tinggalnya di flat di di selatan flat kami, dan kami bisa melihat aktivitas yang mereka lakukan melalui jendela flat mereka kalau kordennya dibuka. Mereka berdua datang untuk masak, katanya untuk menyambut kedatangan kami berdua. Baik sekali ya... ππ
Anne adalah pelajar dari RRC, dan Tai, sesuai namanya, berasal dari Vietnam. Seperti rata-rata pelajar asing dari Asia lainnya, mereka belajar di New Zealand dengan harapan untuk bisa bekerja dan pindah ke negeri ini, demi untuk kehidupan yang lebih baik. Anne sendiri sudah berkeluarga dan memiliki seorang putra yang masih batita (beberapa bulan kemudian Anne lulus dan keluarganya menyusul, dan sekarang ini mereka sekeluarga tinggal di Christchurch).
Anne suka dan pandai memasak. Dibantu oleh Tai, Sherly dan Chris, dia masak daging ayam yang dicampur dengan bawang bombay, daging sapi dimasak dengan wortel dan kentang, udang yang ditumis dengan spring onion, dan sayur silverbeet yang ditumis dengan bawang putih. Melihatnya saja sudah membuatku meneteskan air liur hehehehe...
Semua masakannya enak-enak sekali dan kami semua makan dengan lahap. Saat sedang makan dan mengobrol inilah, Inov, salah satu teman akrab Sherly, datang. Dia memang suka ngaret kata Sherly hahahaha...
Selesai makan, kami masih melanjutkan mengobrol, mengenai kondisi umum, budaya, dan kebiasaan-kebiasaan penduduk di RRC maupun Vietnam. Dari sinilah aku jadi tahu sedikit mengenai RRC dan Vietnam. Kami bertukar cerita dan pengalaman, sampai sekitar jam 9.30 malam, tamu-tamu kami pun pulang karena sudah tampak mengantuk dan lelah.
Malam itu pun kami tidur (lagi-lagi) dengan perut kekenyangan ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment