PROLOGUE
Kalau membaca CATATANKU, 9 OKTOBER 2017, di situ aku menulis bahwa waktu itu aku dan suami memang punya keinginan pindah ke New Zealand. Saat itu, kami berencana untuk menjual ruko yang kami miliki untuk modal sekolah lagi di New Zealand. Perlu diketahui, aku dan suami tidak memiliki gelar akademik, hanya ijasah SMA yang kami punya. Kami sama-sama pernah kuliah, bahkan aku sudah sampai semester 8, tinggal 1 semester saja (tugas akhir), tapi kenyataan berkata lain. Aku mengandung Sherly, putriku (and I did never, ever regret this, it was the best thing that happened to me!), dan waktu itu sebetulnya aku hanya mengambil cuti 1 semester untuk melahirkan, dan berencana menyelesaikan studi. Tapi setelah Sherly lahir, aku dan suami akhirnya menikah dan diminta oleh mertua untuk pindah ke Banyuwangi. Jadi akhirnya aku resign baik-baik dengan menyerahkan surat resign langsung kepada dekanku waktu itu. Jadilah kami semenjak Agustus 1998 tinggal di kota "Sunrise of Java" ini.
Nah, untuk ke New Zealand ini, harusnya aku yang sekolah, karena secara bahasa, aku lebih lancar daripada suami. Tapi karena kondisi kesehatanku yang bisa dibilang kurang fit, maka rencananya suami yang akan sekolah lagi, mengambil jurusan yang lulusannya masih sangat dibutuhkan dalam jangka waktu panjang di sana (kalau untuk ini bisa lihat langsung di website imigrasinya New Zealand ya...
Dengan mengambil jurusan tertentu, salah satu dari kami bisa sekolah, dan pasangannya bisa langsung mendapatkan work visa (pada umumnya kalau ambil S2 seperti itu).
Sembari menunggu ruko kami ada yang berminat, suami setiap hari belajar bahasa Inggris, sampai ikut kursus juga seminggu sekali. Tiap hari dia berlatih dengan mengerjakan soal-soal IELTS yang didownloadnya dari internet. Setiap ada waktu luang, dia belajar. Bahkan sampai aku tidur pun, dia masih belajar dengan HP memakai earphonenya. Aku sampai iba melihatnya. Sementara itu, ruko juga sepertinya belum ada yang berminat, karena ekonomi memang sedang lesu secara global, ditambah lagi dengan adanya Sunset Policy di perpajakan, membuat orang jadi enggan menambah asset.
Pada suatu pagi saat aku sedang jalan pagi sendirian, entah dari mana tiba-tiba terbersit olehku, apakah aku tega, sementara suami bersusah payah setiap hari kuliah dan mengerjakan tugas-tugas, sementara aku bekerja dan mungkin lebih santai. Lalu terpikir juga olehku, mungkin tidak usah harus pindah ke sana deh, belum tentu juga kami berdua bisa betah kalau untuk tinggal dalam jangka waktu lama, karena cuaca, suhu, dan budaya yang berbeda.
Dari situ aku berpikir lagi, bagaimana ya, kalau kami coba-coba saja tinggal di sana dengan visa turis, selama 3 bulan? Visa kami masih panjang masa berlakunya, dan maksimum per kunjungan lamanya 3 bulan (90 hari). Kalau bosan dan masih banyak waktu, mungkin kami bisa sambil volunteer atau jadi tenaga sukarela di mana saja.
Untuk tempat tinggal, kami bisa ngeflat di Invercargill yang tidak terlalu mahal. Makan bisa masak sendiri. Di luar itu, aku juga masih ingin menjelajah South Island lebih jauh. Jadi mungkin kami bisa keliling-keliling naik mobil sendiri, dan kalau lelah bisa pulang ke Invercargill sebagai base campnya.
Jadilah niat ini kusampaikan kepada suami, yang seperti biasa, pada awalnya selalu agak susah menerima ide yang baru dan terlalu spontan dariku hehehehe...
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, pada akhirnya dia setuju. Jadi kalau kami dapat tiket murah, kami mungkin akan pergi selama maksimal 3 bulan. Rencananya kami akan pergi saat autumn (musim gugur) karena belum pernah mengalami autumn di New Zealand.
Nah singkat cerita, setiap hari aku memantau harga tiket di Jetstar. Harga tiket berangkat maupun pulang ke dan dari New Zealand kurang lebih sama, paling murah sekitar 3-4 jutaan per orang. Aku masih belum berani mengambil keputusan karena bagiku cukup mahal.
Persis pada tanggal 26 Desember 2016, seperti biasa aku melihat harga tiket, ternyata hari itu harganya turun cukup banyak. Ternyata karena hari itu adalah boxing day, jadi Jetstar memang sedang mengadakan diskon besar-besaran.
Aku langsung melapor pada suami, dan dia setuju untuk membeli tiketnya. Kemudian aku bertanya kepada 3 orang karyawan kami di toko, kalau aku pergi 3 bulan, kalian sanggup nggak? Mereka jawab, ke mana? Aku bilang ke New Zealand, dan mereka langsung bilang, sanggup ce. Waaah... hari itu juga aku langsung membeli tiket PP, sampai melebihi limit pemakaian credit cardku hehehe... Yah lebih baik kena biaya overlimit daripada harga tiketnya naik lagi, bisa menyesal kemudian. Ternyata harga tiket ini hanya berlaku sekitar 2 atau 3 hari, dan setelah itu kembali ke harga normal seperti sebelumnya.π
Untuk tiket berangkat, harganya 2,2 juta per orang, tapi plus bagasi yang banyak (barang-barang titipan Sherly sekoper sendiri banyaknya), inflight voucher, asuransi, dan biaya memilih kursi, total menjadi sekitar 6,61 juta rupiah untuk berdua. Bagasinya total 60 kg. πππ
Sedangkan untuk tiket pulang, harganya 1,8 juta rupiah per orang, tapi ditambah bagasi, inflight voucher, asuransi, dan memilih kursi, totalnya menjadi 4,86 juta rupiah untuk berdua. Bagasinya total 40 kg, seperti biasa untuk bawa oleh-oleh buat yang di rumah hehehehe... Kedua penerbangan baik berangkat maupun pulangnya, hanya transit selama 1 jam lebih di Melbourne.
Untuk transportasi selama di sana, kami berencana akan membeli sebuah mobil bekas, karena banyak sekali backpackers di New Zealand yang membeli mobil saat datang, dan kemudian saat akan pulang dijual kembali. Nah kalau sudah kepepet biasanya dijual murah.
Aku sudah mulai mengamati harga-harga mobil para backpackers tersebut di group-group backpackers NZ di Facebook. Satu bulan terakhir, aku sudah mulai intens dan tawar-menawar harga dengan beberapa orang, tapi masih belum ada yang sreg dengan mobilnya atau kurang cocok dengan harga yang ditawarkan.
Sementara kami sudah mulai packing kurang 1-2 minggu sebelum keberangkatan. Kali ini sudah lebih rileks packingnya, karena sudah mengerti situasi. Yang susah adalah titipan Sherly yang banyaaaak bener, sampai 2 koper hampir penuh oleh barang-barangnya semua. Akhirnya harus diseleksi lagi, yang tidak terlalu penting ditinggal dulu, dan dibawa kalau ke sana lagi. Yang kubawakan untuknya sebetulnya barang-barang yang kalau di Indonesia relatif murah, tapi di sana mahal, seperti setrika dan mixer (alat-alat elektronik di New Zealand mahal-mahal dan merknya belum tentu bagus), ulekan batu (hahahaha ini berat banget), baju-baju, buku, alat melukis, pokoknya banyak dan berat deh... π
Sementara itu, kurang 1 minggu sebelum keberangkatan, tiba-tiba aku membaca iklan sebuah mobil Nissan yang dijual, milik seorang backpacker dari Jerman. Setelah tawar-menawar, kami setuju di harga $4,500, tapi nanti akan kami lihat dulu kondisinya sesampai di sana. Setelah deal, rasanya agak lega, karena kami sudah hampir pasti akan punya kendaraan nantinya. Masalahnya, kendaraan ini baru siap 2 Maret, sedangkan kami tiba 1 Maret pagi-pagi sekali. Kami tidak mau membuang terlalu banyak waktu di Christchurch tanpa melakukan apa pun (naik bus juga mahal ke mana-mana, belum lagi penginapan per malamnya juga menambah pengeluaran yang tidak terlalu perlu).
Aku ingat memiliki seorang kawan Facebook, orang Indonesia yang sedang studi di Christchurch, namanya mas Rendy (sekarang ini beliau sudah selesai menempuh pendidikan S2-nya dan kembali ke Indonesia). Niatku hanya bertanya rental mobil yang murah untuk 1 hari saja kepadanya, eh malah kemudian mas Rendy menawarkan meminjamkan mobilnya ke kami lho... padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya. Baik sekali ya... Maka masalah transportasi selama di Christchurch pun terselesaikan ^_^
Lalu untuk akomodasi, aku cari di AirBnB untuk menginap selama 1 malam di Christchurch, dan menemukan kamar untuk berdua di rumah yang sepertinya nyaman sekali, per malamnya US$ 35 untuk berdua (sekitar 470 ribu rupiah waktu itu). Jadilah kupesan untuk 1 malam. Aku baru booking kamar ini tanggal 25 Februari lho, 3 hari sebelum keberangkatan hehehehe...
Nah, untuk ke New Zealand ini, harusnya aku yang sekolah, karena secara bahasa, aku lebih lancar daripada suami. Tapi karena kondisi kesehatanku yang bisa dibilang kurang fit, maka rencananya suami yang akan sekolah lagi, mengambil jurusan yang lulusannya masih sangat dibutuhkan dalam jangka waktu panjang di sana (kalau untuk ini bisa lihat langsung di website imigrasinya New Zealand ya...
Dengan mengambil jurusan tertentu, salah satu dari kami bisa sekolah, dan pasangannya bisa langsung mendapatkan work visa (pada umumnya kalau ambil S2 seperti itu).
Sembari menunggu ruko kami ada yang berminat, suami setiap hari belajar bahasa Inggris, sampai ikut kursus juga seminggu sekali. Tiap hari dia berlatih dengan mengerjakan soal-soal IELTS yang didownloadnya dari internet. Setiap ada waktu luang, dia belajar. Bahkan sampai aku tidur pun, dia masih belajar dengan HP memakai earphonenya. Aku sampai iba melihatnya. Sementara itu, ruko juga sepertinya belum ada yang berminat, karena ekonomi memang sedang lesu secara global, ditambah lagi dengan adanya Sunset Policy di perpajakan, membuat orang jadi enggan menambah asset.
Pada suatu pagi saat aku sedang jalan pagi sendirian, entah dari mana tiba-tiba terbersit olehku, apakah aku tega, sementara suami bersusah payah setiap hari kuliah dan mengerjakan tugas-tugas, sementara aku bekerja dan mungkin lebih santai. Lalu terpikir juga olehku, mungkin tidak usah harus pindah ke sana deh, belum tentu juga kami berdua bisa betah kalau untuk tinggal dalam jangka waktu lama, karena cuaca, suhu, dan budaya yang berbeda.
Dari situ aku berpikir lagi, bagaimana ya, kalau kami coba-coba saja tinggal di sana dengan visa turis, selama 3 bulan? Visa kami masih panjang masa berlakunya, dan maksimum per kunjungan lamanya 3 bulan (90 hari). Kalau bosan dan masih banyak waktu, mungkin kami bisa sambil volunteer atau jadi tenaga sukarela di mana saja.
Untuk tempat tinggal, kami bisa ngeflat di Invercargill yang tidak terlalu mahal. Makan bisa masak sendiri. Di luar itu, aku juga masih ingin menjelajah South Island lebih jauh. Jadi mungkin kami bisa keliling-keliling naik mobil sendiri, dan kalau lelah bisa pulang ke Invercargill sebagai base campnya.
Jadilah niat ini kusampaikan kepada suami, yang seperti biasa, pada awalnya selalu agak susah menerima ide yang baru dan terlalu spontan dariku hehehehe...
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, pada akhirnya dia setuju. Jadi kalau kami dapat tiket murah, kami mungkin akan pergi selama maksimal 3 bulan. Rencananya kami akan pergi saat autumn (musim gugur) karena belum pernah mengalami autumn di New Zealand.
Nah singkat cerita, setiap hari aku memantau harga tiket di Jetstar. Harga tiket berangkat maupun pulang ke dan dari New Zealand kurang lebih sama, paling murah sekitar 3-4 jutaan per orang. Aku masih belum berani mengambil keputusan karena bagiku cukup mahal.
Persis pada tanggal 26 Desember 2016, seperti biasa aku melihat harga tiket, ternyata hari itu harganya turun cukup banyak. Ternyata karena hari itu adalah boxing day, jadi Jetstar memang sedang mengadakan diskon besar-besaran.
Aku langsung melapor pada suami, dan dia setuju untuk membeli tiketnya. Kemudian aku bertanya kepada 3 orang karyawan kami di toko, kalau aku pergi 3 bulan, kalian sanggup nggak? Mereka jawab, ke mana? Aku bilang ke New Zealand, dan mereka langsung bilang, sanggup ce. Waaah... hari itu juga aku langsung membeli tiket PP, sampai melebihi limit pemakaian credit cardku hehehe... Yah lebih baik kena biaya overlimit daripada harga tiketnya naik lagi, bisa menyesal kemudian. Ternyata harga tiket ini hanya berlaku sekitar 2 atau 3 hari, dan setelah itu kembali ke harga normal seperti sebelumnya.π
Untuk tiket berangkat, harganya 2,2 juta per orang, tapi plus bagasi yang banyak (barang-barang titipan Sherly sekoper sendiri banyaknya), inflight voucher, asuransi, dan biaya memilih kursi, total menjadi sekitar 6,61 juta rupiah untuk berdua. Bagasinya total 60 kg. πππ
Sedangkan untuk tiket pulang, harganya 1,8 juta rupiah per orang, tapi ditambah bagasi, inflight voucher, asuransi, dan memilih kursi, totalnya menjadi 4,86 juta rupiah untuk berdua. Bagasinya total 40 kg, seperti biasa untuk bawa oleh-oleh buat yang di rumah hehehehe... Kedua penerbangan baik berangkat maupun pulangnya, hanya transit selama 1 jam lebih di Melbourne.
Untuk transportasi selama di sana, kami berencana akan membeli sebuah mobil bekas, karena banyak sekali backpackers di New Zealand yang membeli mobil saat datang, dan kemudian saat akan pulang dijual kembali. Nah kalau sudah kepepet biasanya dijual murah.
Aku sudah mulai mengamati harga-harga mobil para backpackers tersebut di group-group backpackers NZ di Facebook. Satu bulan terakhir, aku sudah mulai intens dan tawar-menawar harga dengan beberapa orang, tapi masih belum ada yang sreg dengan mobilnya atau kurang cocok dengan harga yang ditawarkan.
Sementara kami sudah mulai packing kurang 1-2 minggu sebelum keberangkatan. Kali ini sudah lebih rileks packingnya, karena sudah mengerti situasi. Yang susah adalah titipan Sherly yang banyaaaak bener, sampai 2 koper hampir penuh oleh barang-barangnya semua. Akhirnya harus diseleksi lagi, yang tidak terlalu penting ditinggal dulu, dan dibawa kalau ke sana lagi. Yang kubawakan untuknya sebetulnya barang-barang yang kalau di Indonesia relatif murah, tapi di sana mahal, seperti setrika dan mixer (alat-alat elektronik di New Zealand mahal-mahal dan merknya belum tentu bagus), ulekan batu (hahahaha ini berat banget), baju-baju, buku, alat melukis, pokoknya banyak dan berat deh... π
Sementara itu, kurang 1 minggu sebelum keberangkatan, tiba-tiba aku membaca iklan sebuah mobil Nissan yang dijual, milik seorang backpacker dari Jerman. Setelah tawar-menawar, kami setuju di harga $4,500, tapi nanti akan kami lihat dulu kondisinya sesampai di sana. Setelah deal, rasanya agak lega, karena kami sudah hampir pasti akan punya kendaraan nantinya. Masalahnya, kendaraan ini baru siap 2 Maret, sedangkan kami tiba 1 Maret pagi-pagi sekali. Kami tidak mau membuang terlalu banyak waktu di Christchurch tanpa melakukan apa pun (naik bus juga mahal ke mana-mana, belum lagi penginapan per malamnya juga menambah pengeluaran yang tidak terlalu perlu).
Aku ingat memiliki seorang kawan Facebook, orang Indonesia yang sedang studi di Christchurch, namanya mas Rendy (sekarang ini beliau sudah selesai menempuh pendidikan S2-nya dan kembali ke Indonesia). Niatku hanya bertanya rental mobil yang murah untuk 1 hari saja kepadanya, eh malah kemudian mas Rendy menawarkan meminjamkan mobilnya ke kami lho... padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya. Baik sekali ya... Maka masalah transportasi selama di Christchurch pun terselesaikan ^_^
Lalu untuk akomodasi, aku cari di AirBnB untuk menginap selama 1 malam di Christchurch, dan menemukan kamar untuk berdua di rumah yang sepertinya nyaman sekali, per malamnya US$ 35 untuk berdua (sekitar 470 ribu rupiah waktu itu). Jadilah kupesan untuk 1 malam. Aku baru booking kamar ini tanggal 25 Februari lho, 3 hari sebelum keberangkatan hehehehe...
Day 1: Tue - Wed, February 28th - March 1st, 2017
Perjalanan dari Denpasar menuju Christchurch.
Malam sebelum kami berangkat, kami mengadakan perpisahan dengan makan bersama di rumah bersama para karyawan kami. Mereka bertiga sudah kuanggap bukan sekedar karyawan saja, tapi sudah seperti anggota keluarga. Sehari-hari aku sering meluangkan waktu untuk mengobrol apa saja dengan mereka. Ketiganya (2 laki-laki dan 1 perempuan) jujur, rajin, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka. Karenanya kami meluangkan waktu juga untuk makan malam bersama, sekalian menyampaikan pesan-pesan terakhir sebelum pergi.
Bahkan Tyson anjing kami pun, sepertinya merasakan bahwa kami akan pergi lama. Tidak biasanya dia masuk ke dalam rumah sampai berkali-kali dan merenung dengan tampang sedihnya di bawah meja dapur hehehehe...
Hari Senin pagi, 27 Februari 2017, aku sudah bangun jam 2 pagi, lalu mempersiapkan bekal makan dan snack untuk di jalan menuju ke Denpasar. Kami berangkat naik mobil sendiri dari Banyuwangi menuju ke Denpasar. Kebetulan aku mempunyai seorang sahabat juga di Denpasar, namanya Andre. Dia adalah kawan sekolahku semenjak SMP, sekaligus kakak kelas suamiku sewaktu SMA. Mobil kami titipkan kepadanya selama 3 bulan. Andre sendiri memiliki usaha rental mobil di sana, jadi kami memasrahkan mobil kami kepadanya, sekalian kalau ada yang mau menyewa juga boleh. Nanti semua hasil dan pengeluaran akan dibagi dua sama rata. Siang itu pun Andre dan keluarganya mengajak kami makan siang bersama, setelah itu baru kami diantar ke penginapan.
Kami sendiri menginap di hotel Manggar Indonesia, yang berlokasi di gang kecil namun memberikan pelayanan antar atau jemput ke bandara (satu kali saja, antar atau jemput). Kebetulan lokasinya juga dekat dengan bandara, tidak sampai 10 menit naik kendaraan. Harga per malamnya pun relatif murah, hanya 256 ribu rupiah (lewat booking.com), dengan fasilitas biasa saja, tapi sudah memadai kok. Staffnya juga ramah-ramah. Malam harinya kami masih sempat ditraktir makan oleh Andre dan keluarganya.
Tibalah hari keberangkatan, Selasa, 28 Februari 2017. Pesawat kami akan berangkat jam 14.25 WITA menuju Melbourne. Kami diantar ke Ngurah Rai International Airport oleh driver hotel yang ramah, dan tiba sekitar jam 11.20 WITA di bandara. Begitu counter check in dibuka, kami langsung check-in dan semuanya lancar tanpa hambatan apa pun.
Kami membeli 2 botol whisky di duty free untuk bekal di New Zealand. Sembari menunggu waktu, kami makan siang dengan bekal nasi yang sudah dibeli di warung sebelumnya hehehehe...
Sekitar 1 jam sebelum jam penerbangan, kami sudah mulai boarding. Jam 1.45 siang kami sudah duduk manis di kursi pesawat, dan seperti biasanya mayoritas penumpangnya sepertinya orang Australia yang hendak pulang ke negaranya.
Penerbangan pertama berjalan lancar dan tepat waktu, aku sempat tidur sebentar setelah minum wine yang dipesan di atas pesawat. Sisa waktu di pesawat kupakai untuk menulis dan mendengarkan musik, dan kadang jalan-jalan untuk melemaskan badan. Sampai mendarat di Melbourne, ternyata penumpang masih belum bisa turun, kami menunggu 40 menit untuk disembark (keluar dari pesawat), karena tempatnya masih dipakai oleh pesawat milik maskapai Emirates. π¨
Transit yang hanya 1 jam 15 menit ini jadi terasa mendebarkan, takut ditinggal pesawat berikutnya. Belum lagi masih harus melewati security check di International Connecting Flight yang termasuk sangat ketat (dan kadang jutek pula). Kami sampai permisi-permisi dan minta maaf kepada penumpang yang ada di depan kami, karena kami mendahului mereka untuk keluar dulu. Untungnya mereka pengertian dan malah memberikan jalan setelah kami berkata hendak mengejar pesawat berikutnya 15 menit lagi. Ternyata ada juga beberapa penumpang lain yang akan lanjut dengan penerbangan yang selanjutnya bersama kami. Kami berlarian mulai turun dari pesawat, apalagu boarding gatenya kali ini agak jauh pula. Sampai di bagian International Connecting Flight, kami segera melakukan prosedur seperti biasanya. Melepaskan sepatu boots, jaket, belt, arloji, dan melewati mesin X-Ray untuk badan. Petugasnya kali ini kebetulan baik dan tidak sok galak, jadi prosesnya malah cepat. Setelah itu kami masih berlari-lari menuju gate yang ditentukan, dan untungnya masih sempat terkejar. Gerbang masih dibuka, boarding pass dicek, dan lewatlah kami.... legaaaa sekali rasanya waktu itu *sigh* dan kami bertemu lagi dengan beberapa orang yang berada di pesawat sebelumnya. π
Bahkan Tyson anjing kami pun, sepertinya merasakan bahwa kami akan pergi lama. Tidak biasanya dia masuk ke dalam rumah sampai berkali-kali dan merenung dengan tampang sedihnya di bawah meja dapur hehehehe...
Hari Senin pagi, 27 Februari 2017, aku sudah bangun jam 2 pagi, lalu mempersiapkan bekal makan dan snack untuk di jalan menuju ke Denpasar. Kami berangkat naik mobil sendiri dari Banyuwangi menuju ke Denpasar. Kebetulan aku mempunyai seorang sahabat juga di Denpasar, namanya Andre. Dia adalah kawan sekolahku semenjak SMP, sekaligus kakak kelas suamiku sewaktu SMA. Mobil kami titipkan kepadanya selama 3 bulan. Andre sendiri memiliki usaha rental mobil di sana, jadi kami memasrahkan mobil kami kepadanya, sekalian kalau ada yang mau menyewa juga boleh. Nanti semua hasil dan pengeluaran akan dibagi dua sama rata. Siang itu pun Andre dan keluarganya mengajak kami makan siang bersama, setelah itu baru kami diantar ke penginapan.
Kami sendiri menginap di hotel Manggar Indonesia, yang berlokasi di gang kecil namun memberikan pelayanan antar atau jemput ke bandara (satu kali saja, antar atau jemput). Kebetulan lokasinya juga dekat dengan bandara, tidak sampai 10 menit naik kendaraan. Harga per malamnya pun relatif murah, hanya 256 ribu rupiah (lewat booking.com), dengan fasilitas biasa saja, tapi sudah memadai kok. Staffnya juga ramah-ramah. Malam harinya kami masih sempat ditraktir makan oleh Andre dan keluarganya.
Tibalah hari keberangkatan, Selasa, 28 Februari 2017. Pesawat kami akan berangkat jam 14.25 WITA menuju Melbourne. Kami diantar ke Ngurah Rai International Airport oleh driver hotel yang ramah, dan tiba sekitar jam 11.20 WITA di bandara. Begitu counter check in dibuka, kami langsung check-in dan semuanya lancar tanpa hambatan apa pun.
Kami membeli 2 botol whisky di duty free untuk bekal di New Zealand. Sembari menunggu waktu, kami makan siang dengan bekal nasi yang sudah dibeli di warung sebelumnya hehehehe...
Sekitar 1 jam sebelum jam penerbangan, kami sudah mulai boarding. Jam 1.45 siang kami sudah duduk manis di kursi pesawat, dan seperti biasanya mayoritas penumpangnya sepertinya orang Australia yang hendak pulang ke negaranya.
Penerbangan pertama berjalan lancar dan tepat waktu, aku sempat tidur sebentar setelah minum wine yang dipesan di atas pesawat. Sisa waktu di pesawat kupakai untuk menulis dan mendengarkan musik, dan kadang jalan-jalan untuk melemaskan badan. Sampai mendarat di Melbourne, ternyata penumpang masih belum bisa turun, kami menunggu 40 menit untuk disembark (keluar dari pesawat), karena tempatnya masih dipakai oleh pesawat milik maskapai Emirates. π¨
Transit yang hanya 1 jam 15 menit ini jadi terasa mendebarkan, takut ditinggal pesawat berikutnya. Belum lagi masih harus melewati security check di International Connecting Flight yang termasuk sangat ketat (dan kadang jutek pula). Kami sampai permisi-permisi dan minta maaf kepada penumpang yang ada di depan kami, karena kami mendahului mereka untuk keluar dulu. Untungnya mereka pengertian dan malah memberikan jalan setelah kami berkata hendak mengejar pesawat berikutnya 15 menit lagi. Ternyata ada juga beberapa penumpang lain yang akan lanjut dengan penerbangan yang selanjutnya bersama kami. Kami berlarian mulai turun dari pesawat, apalagu boarding gatenya kali ini agak jauh pula. Sampai di bagian International Connecting Flight, kami segera melakukan prosedur seperti biasanya. Melepaskan sepatu boots, jaket, belt, arloji, dan melewati mesin X-Ray untuk badan. Petugasnya kali ini kebetulan baik dan tidak sok galak, jadi prosesnya malah cepat. Setelah itu kami masih berlari-lari menuju gate yang ditentukan, dan untungnya masih sempat terkejar. Gerbang masih dibuka, boarding pass dicek, dan lewatlah kami.... legaaaa sekali rasanya waktu itu *sigh* dan kami bertemu lagi dengan beberapa orang yang berada di pesawat sebelumnya. π
Karena penerbangan kedua ini berangkat tengah malam dari Melbourne dan sampai di Christchurch jam 5.25 pagi, maka aku memesan wine lagi dengan inflight voucherku, dan sebisa mungkin berusaha tidur (cara paling jitu mencegah jetlag). Di penerbangan kedua ini tempat duduknya agak lebih sempit dibanding penerbangan pertama, jadi tidurnya juga agak kurang nyaman sih. Penumpangnya juga penuh, dan sepertinya banyak orang Asia dan orang Maori atau Fiji, dilihat dari wajah mereka. Yang orang-orang Asia kebanyakan masih muda, sepertinya pelajar, bukan turis.
Pesawat mendarat dengan mulus di Christchurch jam 5 pagi. Setelah antri keluar, kami pun menunggu bagasi. Saat di bagian imigrasi, karena aku declare bawa cabe segar, koper yang ada cabenya sempat dibuka, dan aku diberi tahu cabe segar nggak boleh dibawa serta. Ya sudahlah kurelakan untuk dibuang. Tapi aku sudah siap sih, sebelum bawa memang gambling, siapa tahu masih boleh hehehehe.... Semua tas dan koper kemudian dilewatkan mesin X-Ray sekali lagi, dan anjing pelacak juga mengendus semua tas dan koper kami, tapi semua OK. Prosesnya relatif lancar dan menyenangkan.
Setelah itu kami masih menanti di bandara, menunggu bus kota datang jam 7 pagi. Sembari menunggu waktu, kami cuci muka dan gosok gigi dulu di toilet bandara yang bersih ini. Karena masih pagi toiletnya juga sepi. Setelah itu kami repack barang-barang kami, yang berat-berat di backpack, dipindah semua ke dalam koper.
Kemudian tak lupa membeli secangkir flat white ukuran besar seharga $4.9 di cafe yang sama dengan sebelum-sebelumnya (soalnya kalau pagi cuma satu yang buka sih hihihihi).
Kami juga sempat keluar dari ruang tunggu bandara, hendak melihat-lihat suasana di luar. Jam 6 lewat dan suasananya masih gelap gulita. Hari ini, 1 Maret, merupakan hari pertama memasuki musim gugur di negeri ini. Yang pasti udaranya dingiiiiin.... Aku kangen dengan dinginnya New Zealand. π
Sementara masih di dalam bandara ada akses free wifi, aku menggunakannya untuk membeli paket data Vodafone. Kebetulan nomer Vodafoneku dari kunjungan September-Oktober 2016 lalu masih kusimpan, dan sewaktu masih di rumah sudah kupelajari paket-paket data yang ada. Aku membeli paket senilai $35, dan mendapatkan 3,5GB data, plus bonus telepon dan SMS.
Sampai sekitar jam 6.45 pagi, kami keluar untuk mencari bus kota yang menuju ke arah Riccarton, tempat mas Rendy tinggal. Suasana masih remang-remang saat itu. Kami ke arah halte bus dan akan menunggu bus Purple Line. Sembari menunggu busnya datang, suami hendak memotret tower di bandara ini, eh tiba-tiba HP-nya terpeleset dari tangannya dan terjatuh! Langsung LCD-nya retak deh ππ Untungnya HP-nya tidak sampai mati, jadi masih bisa dipakai walaupun dengan kondisi layarnya yang retak itu.
Tepat jam 7 pagi, datanglah bus Purple Line, dan kami masuk ke dalamnya. Untuk ke Riccarton, kami membayar $8.5 per orang. Setelah turun dari bus, kami masih harus berjalan dulu beberapa ratus meter untuk mencapai kediaman mas Rendy. Walaupun koper dan backpack kami berdua cukup berat, namun kami semangat sekali berjalan. Kami sampai sekitar jam 7.45 pagi, dan beliau menyambut kami dengan baik dan ramah. Setelah berbincang-bincang santai sambil disuguhi teh manis hangat, kami pun berpamitan. Kami dipinjami mobil mas Rendy selama satu hari sampai esok harinya, sampai kami mendapatkan mobil kami sendiri. Baik sekali ya... ^_^
Dari tempat mas Rendy, kami langsung menuju ke PakN'Save Riccarton untuk berbelanja bahan makanan, karena di tempat kami menginap ada dapur yang boleh dipakai, jadi rencananya untuk makan kami akan masak. Kami membeli madu, telur, sayur brokoli, chips, dan 2 macam snack cokelat, semuanya senilai $30.93 (harga madunya separuh sendiri dari total semuanya). Lama tidak ke PakN'Save, senang rasanya bisa belanja di tempat ini lagi hehehehe... π
Setelah selesai belanja, kami menuju ke tempat kami akan menginap di Bishop Street. Seharusnya kami bisa check-in awal, tidak perlu menunggu siang hari. Tapi setelah sampai di alamat, ternyata rumahnya kosong dan pintunya terkunci. Aku mengirim pesan kepada sang empunya rumah, Julian. Karena setelah beberapa menit masih belum dibalas, kami memutuskan pergi dulu ke Botanical Garden di Park Terrace yang tidak terlalu jauh dari situ. Jaraknya hanya sekitar 3 KM. Ternyata Botanical Garden (atau di Google Map tampak sebagai North Hagley Park) tempatnya ramai sekali. Kami kesulitan mencari tempat parkir mobil yang kosong, padahal tempat parkirnya luas banget lho...
Akhirnya kami dapat tempat parkir, dan baruuu saja parkir, Julian membalas pesanku, dan mengatakan dia sudah di rumah, dan kalau dia tidak ada, pintunya tidak dikunci. Akhirnya kami kembali ke Bishop Street. Julian masih berada di rumah, jadi dia menunjukkan kamar kami, lalu kamar mandi, dan dapur. Wah rumahnya bersih, rapi dan bagus lho...padahal dia laki-laki dan masih single. Kalau melihat raut wajahnya, kemungkinan usianya beberapa tahun lebih tua daripada kami berdua. Orangnya juga ramah dan santai, dan dia memelihara seekor kucing yang kadang-kadang masuk sendiri ke dalam rumah.
Setelah menunjukkan rumahnya kepada kami, Julian kembali pergi untuk bekerja.
Kalau dipikir-pikir gila juga ya, rumah ditinggalkan begitu saja, dengan orang asing yang menginap di rumahnya. Gimana kalau aku ambil semua tuh barang-barang berharganya? Tingkat kepercayaan orang Kiwi terhadap orang lain memang termasuk tinggi ya, karena pada umumnya mereka sendiri juga jujur-jujur. π
Saat itu masih jam 11 siang, dan kami membenahi barang-barang dulu, lalu mandi. Setelah itu aku masak untuk makan siang sederhana, hanya berupa orak-arik sayuran dan telur. Di dalam lemari-lemari di dapur, banyak bumbu masak yang boleh dipakai dengan bebas. Selain itu juga ada kopi, teh, gula, dan susu yang boleh kami pakai semaunya. Enak sekali kan?
Setelah makan, suami tidur siang karena sepertinya kurang tidur waktu di pesawat, atau mungkin masih jetlag, entahlah. Aku sendiri berusaha tidak tidur dan masih membereskan barang-barang bawaan agar tidak berantakan. Suami baru bangun dari tidurnya sekitar jam 4 sore, dan sekitar jam 4.45 sore kami pergi untuk mengeksplorasi di sekitar Christchurch.
Christchurch (MΔori: Εtautahi) adalah kota terbesar di South Island, New Zealand. Perkiraan jumlah penduduknya sekitar 389.700 jiwa, dan merupakan kota ketiga terpadat penduduknya di New Zealand. Avon River mengalir melalui kota ini, dan Christchurch Botanic Garden dibangun di salah satu bagian tepi sungainya.
Fakta menarik tentang Christchurch, kota ini merupakan salah satu kota yang memiliki sumber air berkualitas terbaik di dunia, di mana airnya sangat jernih dan bersih.
Beberapa kali gempa bumi yang hebat mengguncang kota ini, yakni antara September 2010 hingga awal 2012, dan yang terburuk adalah pada tanggal 22 Februari 2011, mengakibatkan 185 korban jiwa dan ratusan bangunan di seluruh kota ambruk atau rusak parah. Di akhir tahun 2013, 1.500 bangunan dihancurkan untuk kemudian dibangun kembali. Sampai kami ke Christchurch tahun 2015 pun, masih tampak pembangunan dan renovasi gedung di sana-sini. Kota ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat setelah adanya peristiwa gempa bumi tersebut, di mana bagian pusat kotanya dibangun kembali, dan diharapkan pada tahun 2028 akan selesai dibangun 50.000 unit rumah baru di kawasan Greater Christchurch.
Sekitar 2 minggu sebelum keberangkatan kami, pada tanggal 13 Februari 2017, muncul dua titik api yang memicu kebakaran di area Port Hills. Kebakaran ini berlangsung sampai berhari-hari, dan ribuan penduduk diungsikan dari rumahnya. Sebelas rumah dan 2.076 hektar lahan habis terbakar akibat kebakaran ini.
Lanjut cerita, dengan berbekal Google Map kami berkeliling kota yang suasananya cukup ramai ini. Jalan-jalan di Christchurch kadang membingungkan karena ada beberapa ruas jalan yang tidak sesuai dengan arahan Google Map. Ada yang seharusnya bisa dilewati, ternyata tidak bisa karena jalurnya searah, jadi harus memutar dan mencari jalan lain lagi. Tadinya kami ingin ke Port Hill, karena katanya di sana tempatnya bagus, tapi karena lokasinya yang cukup jauh, kami lalu menuju ke New Brighton. Sepanjang sisi timur kota Christchurch merupakan pesisir pantai. Kami parkir di Hawke Street dan berjalan kaki ke New Brighton Pier. Cuaca sangat cerah saat itu, bahkan bisa dibilang panas walaupun angin bertiup cukup kencang. Aku yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek pun masih merasa nyaman dan sama sekali tidak kedinginan.
Di ujung dermaga ini, tampak beberapa burung camar yang hinggap di pagar pembatas, tapi begitu didekati, mereka semua terbang :v
Pantainya sendiri menurutku biasa saja, dengan pasirnya yang kecoklatan, tidak ada yang spesial. Di dekat dermaga ini ada perpustakaan yang bentuk bangunannya cukup unik. Di dalam perpustakaan juga ada cafenya. Selain itu, ada toilet umum, kolam renang anak, dan terdapat pula beberapa ornamen berbentuk artistik yang dipasang di sana. Kami juga sempat berkenalan dengan seorang pria tua yang pekerjaannya menggambar bentuk-bentuk pantai dari pasir, tapi aku lupa namanya hehehehe...
Sekitar jam 6.30 petang, kami beranjak dari dermaga ini, lalu menuju ke PakN'Save. Kali ini bukan untuk belanja lagi, tapi kami ada janji dengan sepasang backpackers dari Jerman. Sebelum berangkat ke NZ, aku sudah sempat janjian untuk bertemu dengan mereka. Sebenarnya mereka mau menjual mobilnya yang sudah diconvert menjadi self contained unit, hanya saat itu harganya agak terlalu tinggi, tahun pembuatannya di bawah tahun 2000, dan odometernya sudah hampir 300.000 KM. Jadi aku ingin menemui mereka sebetulnya hanya untuk kenalan dan bertemu langsung saja, karena pada saat mengobrol sepertinya orangnya menyenangkan dan informatif. Dia mendesain dan mengerjakan sendiri mobilnya, dari family car biasa diubah menjadi self contained unit, dan dia mau memberi tahu tips-tips dan cara mengerjakannya.
Kami bertemu di lapangan parkir PakN'Save dengan Christian dan pacarnya. Dia juga memperlihatkan mobilnya, sebuah Toyota Lucida yang sudah jadi campervan mini, berharap kami tertarik dan akan membelinya hehehehe... Kami juga sempat diajak berkeliling dengan mobil mereka. Lumayan enak dan nyaman sih sebetulnya, cuma kalau kata suamiku agak jorok dan agak bau juga hahahaha... Akhirnya aku berjanji memberi kabar esoknya, kalau-kalau mobil yang sudah kami incar tidak jadi kami beli.
Sekitar jam 8 malam kami pun berpamitan, lalu kembali ke kamar kami di Bishop Street. Oya selain Julian, ada seorang pemuda India yang tinggal di rumahnya (sepertinya ngekos), dan kami sempat bertemu sekilas siang harinya, tapi kemudian dia pergi. Malam itu juga kami tidak bertemu dengan Julian lagi, sepertinya dia masih belum pulang. Maka aku masak untuk makan malam berdua, dan setelah itu kami tidur awal, karena besoknya kami harus bangun pagi.
Senang sekali bisa kembali berada di negeri Kiwi ini... dan rasanya sudah tidak sabar menantikan perjalanan-perjalanan dan petualangan-petualangan baru selama kami berada di sini. πππ
To be continued.......
No comments:
Post a Comment