DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Saturday, July 6, 2019

NZ TRIP 2017 (2) - THE LONG ROAD TO INVERCARGILL


Day 2: Thursday, March 2nd, 2017

Christchurch - Invercargill (approx. 700 KM)


Aku terbangun jam 5 pagi dari tidur lelapku dalam keadaan setengah sadar, antara percaya dan tidak percaya, sudah berada di Christchurch lagi. 😝
Setelah terbangun, aku turun ke dapur (kamar kami berada di lantai dua) dan menyibukkan diri dengan rutinitas pagi. Sekitar jam 6 pagi baru suami bangun dari tidurnya. Saat berada di dapur, kami sempat mengobrol dengan Julian sang pemilik rumah. Orangnya memang ramah dan menyenangkan. Sekitar jam 7.45 pagi Julian sudah pergi bekerja.

Usai menyiapkan bekal makan siang dan suamiku selesai sarapan, kami mandi dan bersiap-siap. Barang-barang bawaan kami juga sudah tertata rapi dan dipacking dengan baik di dalam kamar. Sekitar jam 8.15 pagi, kami pun berjalan kaki menuju ke Kiwi Basecamp, sebuah akomodasi di Bealey Avenue, yang berjarak sekitar 1,5 KM dari tempat kami menginap. Kami membuat janji jam 9 pagi dengan Philipp, seorang anak muda dari Jerman yang hendak menjual mobilnya kepada kami.



Sekitar jam 8.45 pagi kami sudah sampai di Kiwi Basecamp, dan kami melihat Philipp sudah ada di luar bersama mobilnya. Tampaknya Philipp baru saja selesai mandi, wajahnya tampak segar, tidak tampak kucel atau baru bangun tidur. Ini pertanda baik, karena berarti orangnya tidak jorok hehehehe... Philipp sendiri masih sangat muda, umurnya baru saja menginjak 18 tahun, dan dia sudah berada di New Zealand selama 5 bulan sebagai solo backpacker. Karena dia akan melanjutkan perjalanannya ke Asia, mobil yang selama ini menemaninya pun harus dijual.

Kami bersalaman, lalu Philipp langsung menunjukkan kondisi mobil beserta kondisiya. Mobil yang kami incar ini adalah Nissan Lafesta buatan tahun 2005, automatic, 2L, warna silver metalik. Sebelum melihat langsung, sedikit banyak kami sudah melihat foto-foto mobil beserta perlengkapan lain yang akan diikutsertakan dalam transaksi ini, dan ternyata memang sesuai dengan apa yang sebelumnya sudah kami bayangkan. Mobilnya tampak bersih dan terawat, dan angka di odometernya pun baru sedikit di atas 100.000 KM. Philipp merupakan pembeli pertama mobil ini dari dealer, jadi kami akan menjadi pemilik kedua. REG berlaku sampai bulan April 2017, dan WOF masih berlaku sampai bulan Oktober 2017.

REG adalah Registration, kalau di Indonesia sama dengan STNK. Perpanjangannya bisa untuk 1,3,6,12 bulan atau lebih, sesuai keinginan kita. Tentunya makin panjang jangka waktunya akan lebih murah.
WOF adalah Warranty of Fitness, kalau di Indonesia sama dengan KIR. Untuk mobil produksi di bawah tahun 2000, pengecekan WOF dilakukan tiap 6 bulan, sedangkan untuk mobil produksi tahun 2000 ke atas, pengecekan WOF dilakukan setiap 1 tahun sekali. Untuk mengecek kelayakan mobil ini, bisa dilakukan di bengkel-bengkel mobil yang sudah ditunjuk di seluruh wilayah New Zealand.

DI New Zealand harga mobil bekas termasuk sangat murah apabila dibandingkan dengan di Indonesia, karenanya daripada kami harus menyewa mobil selama keberadaan kami di sini, akan jauh lebih murah membeli mobil bekas. New Zealand memang mengimport mobil bekas dari berbagai negara, namun yang relatif murah harganya dan perawatan serta sparepartnya lebih mudah dicari adalah mobil-mobil produksi Jepang, seperti Toyota, Nissan, Honda, dan lain-lain. Sebelum menentukan mobil apa yang akan kami beli, aku sudah sempat berkonsultasi juga dengan seorang mekanik lokal di Christchurch. Sayang sekali kami tidak bisa bertemu karena selalu bentrok dengan waktu kerjanya.

Membeli mobil di New Zealand termasuk hal yang mudah dan tidak rumit prosedurnya. Untuk foreigners, yang penting ada passport dan ada alamat tetap selama tinggal di sini, karena nantinya surat-surat akan dikirim ke alamat tersebut. Kita tetap harus berhati-hati dalam membeli mobil bekas ini, terutama mobil bekas dari para backpackers, karena ada juga backpackers yang tidak jujur dalam mendeskripsikan kondisi mobilnya, belum lagi kalau orangnya jorok dan mobilnya tidak terawat. Selain itu kita juga harus mengecek dulu apakah mobil tersebut curian atau bukan, dan pemiliknya ada tanggungan hutang piutang berkenaan dengan mobilnya atau tidak. Aku sudah sempat mengecek status mobil yang akan kami beli ini sewaktu masih di Banyuwangi dengan memasukkan nomor plat mobilnya ke situs resmi AA, dan semuanya OK. Namun di balik itu, entah kenapa aku dari awal merasa bahwa Philipp orangnya jujur, karenanya aku tidak terlalu kuatir untuk hal-hal ini.

Bersama dengan mobil, Philipp juga memberikan semua perlengkapan camping yang sudah tidak dipakainya lagi. Ada matrass beserta selimut dan bantalnya, perlengkapan masak dan perlengkapan makan yang cukup lengkap dan berkualitas, meja kursi camping, headlamp, tools, tirai penutup jendela, converter power dari DC menjadi AC, bahkan ada sebuah box plastik besar berisi sisa bahan makanan yang sudah tidak dibutuhkannya lagi. Pokoknya lengkap dan cukup banget untuk camping naik mobil deh... Apalagi rencananya kami akan mengubah mobil ini menjadi self contained unit juga, jadi tidak usah membeli terlalu banyak barang untuk memaksimalkan fungsinya.

Setelah setuju dengan semua kondisi yang ada, kami pun bersama-sama menuju ke kantor pos terdekat. Mobil Nissan ini dibeli atas nama suami, karenanya dia yang harus mengisi form yang disediakan sebagai pihak pembeli. Demikian juga Philipp mengisi form sebagai pihak penjual. Setelah selesai diisi, tinggal membayar sebesar $9 untuk biaya administrasi, dan kami pun membayar $4,500 kepada Philipp dalam bentuk tunai. Philipp sendiri nantinya akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada NZTA (bisa online atau lewat pos dan gratis juga) bahwa mobilnya sudah berpindah tangan ke orang lain. Ini dimaksudkan agar surat-menyurat berikutnya langsung ditujukan ke alamat pemilik barunya.
Setelah selesai urusan administrasi, kami langsung mendapatkan lembar REG untuk dipasang di kaca depan, yang menunjukkan bahwa pemilik mobil ini adalah suami. Wah keren banget ya rasanya, punya mobil sendiri di New Zealand hahahaha.... aku tidak pernah membayangkan akan sampai mempunyai mobil sendiri di sini lho....



Dari kantor pos, kami mengantar Philipp kembali ke Kiwi Basecamp. Sekitar jam 9.45 pagi, semua urusan sudah selesai dan kami pun berpamitan kepada Philipp. Tidak lupa selfie dulu untuk kenang-kenangan. πŸ˜›
Setelah itu kami langsung menuju ke tempat menginap kami di Bishop Street, lalu membawa turun semua koper dan backpack kami dari kamar dan memasukannya ke dalam mobil baru kami. Karena jok belakang masih dilipat semua, bagian belakang mobil jadi tampak agak penuh setelah kemasukan dua buah koper besar dan dua buah backpack.

Setelah semua barang siap, kami mengecek sekali lagi untuk meyakinkan tidak ada yang tertinggal dan kondisi kamar sudah bersih seperti semula saat kami baru datang, kami pun bersiap untuk pergi. Aku meninggalkan catatan untuk Julian, berterima kasih kepadanya yang sudah menerima kami di rumahnya dan memakai barang-barangnya. Hal ini sebetulnya tidak harus dilakukan, hanya saja aku merasa Julian orangnya baik, jadi supaya dia juga merasa bahwa kami menghargai semua kebaikannya. Tidak selalu lho tuan rumah baik hati walaupun kita sudah membayar untuk tinggal di rumahnya.

Sekitar jam 10 lewat, kami sudah menuju ke rumah mas Rendy untuk mengembalikan mobilnya. Suami mengendarai mobil mas Rendy, dan aku mengendarai mobil kami, mengikuti di belakang suami. Mobilnya masih enak dan nyaman dikendarai walaupun aku masih belum terbiasa mengendarai mobil matic. Sedikit banyak mirip dengan mobil kami di rumah, jadi tidak terlalu kagok.



Setelah sekitar 15-20 menit berkendara, sampailah kami di tempat mas Rendy, tapi orangnya sedang pergi dan beliau meninggalkan pesan agar meninggalkan kuncinya di tempat tertentu. Maka kami pun melakukan apa yang diminta mas Rendy. Baru akan beranjak dari tempat ini, kami malah bertemu dengan teman mas Rendy, orang Indonesia juga, dan sempat mengobrol hampr 15 menitan.

Jam 11 siang, kami berpamitan dan langsung mengendarai mobil kami ke arah luar kota. Tujuan kami hari ini adalah untuk sampai di Lower Shotover, dekat Frankton, Queenstown. Jadi karena mobil ini hendak dijadikan self contained unit, saat masih di Banyuwangi aku sudah membeli porta potti (portable toilet) dari seorang backpacker juga. Porta potti ini bekas tapi belum pernah dipakai, dan harganya hanya $40, karenanya aku minta tolong kepada seorang teman yang tinggal di Lower Shotover ini untuk membantu melakukan transaksinya, dan menitipkan barang tersebut di rumahnya. Temanku ini adalah adik kelas sewaktu SMP, dan saat ini dia sudah menjadi warga negara di New Zealand, karena sudah lebih dari 10 tahun tinggal di negeri ini. Dia bekerja sebagai chef di Queenstown.

Kembali berada di jalan, menyusuri lagi jalanan dari Christchurch ke arah selatan, aku merasa senang sekali. Teringat lagi waktu datang dan melewati jalan yang sama tahun-tahun sebelumnya. Siang itu cuaca sangat cerah dan matahari bersinar sangat terik. Sepanjang jalan aku seringkali melihat kepulan asap di kejauhan, di ladang-ladang dan padang rumput yang kuning warnanya. Sepertinya sedang dilakukan pembakaran di ladang-ladang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memusnahkan tanaman yang sudah ada dan untuk membantu tanaman baru yang akan ditanam kemudian. Sepanjang perjalanan, ladang-ladang tampak menguning atau kecoklatan warnanya.



Kami sempat berhenti di Z Geraldine untuk membeli petrol dan kami isi full tank, dengan total biaya $86.76. Sekitar jam 14.20 siang, kami sudah melewati Lake Tekapo, dan tidak lama kemudian Lake Pukaki. Kami hanya berhenti sebentar saja untuk memotret Lake Tekapo dan Lake Pukaki. Kami berpikir nanti ke depannya masih akan ada banyak waktu untuk menjelajah pulau ini, jadi saat ini lebih baik konsentrasi untuk cepat sampai di tujuan. Selain itu setelah melewati Lake Pukaki, tampak sungai yang airnya sama birunya dengan Lake Pukaki (yang ternyata adalah Pukaki Dam), dan aku berniat akan mendatangi tempat ini ke depannya.



Sekitar jam 3.45 sore, kami sudah memasuki area Lindis Pass, salah satu tempat favoritku. Sekitar 10 menit kemudian, kami melihat ada tempat berhenti dan banyak bunga lupin di sekitar situ, maka kami pun berhenti untuk memotret bunga-bunga lupin tersebut sekaligus beristirahat sejenak. Baru sekali ini kami melihat langsung bunga lupin, biasanya hanya melihat dari foto orang lain saja. Kami juga berjalan-jalan di area ini. Background pegunungan di baliknya sungguh indah, dan kami juga menemukan semacam parit atau sungai kecil dengan banyak bunga berwarna putih di antara semak belukar yang tinggi-tinggi. Indah sekali tempat ini!



Tidak terasa, kami menghabiskan waktu lebih dari 15 menit di tempat ini. Setelah itu barulah kami kembali melanjutkan perjalanan melewati indahnya pegunungan di Lindis Valley ini. Turun dari Lindis Valley, kami memasuki Tarras, lalu sampai di Cromwell. Seperti sudah pernah kuceritakan sebelumnya, Cromwell merupakan salah satu kota penghasil buah terbesar di South Island. Saat di Cromwell inilah kami melihat Jones Family Fruit Stall  di kiri jalan, dan kami memutuskan untuk berhenti beristirahat di tempat ini.
Saat itu tempat ini sedang ramai dikunjungi oleh turis dari RRC yang naik bus tour, dan memang mereka cukup berisik. Kami melihat-lihat buah-buahan apa saja yang dijual di sini. Cukup banyak macamnya, mulai dari macam-macam sayuran dan berries, apricot, kiwi, apel, plum, peach, sampai buah-buahan yang baru pertama kali ini kulihat, yaitu kiwano dan pluots.



Di fruit stall ini juga disediakan meja yang dipenuhi piring-piring berisi potongan buah-buahan untuk tester. Kami mencoba beberapa macam buah, semuanya enak-enak. Dan mumpung gratisan, kami mengambil beberapa sampai agak kenyang hahahaha... Setelah itu barulah aku memilih 1 kotak gold kiwi dan beberapa buah lemon untuk dibeli. Harga-harga buah di tempat ini bagiku relatif mahal sih... Ada mesin penjual kopi juga di tempat ini, dan ternyata kita harus membayar dulu di kasir, barulah kita diberi cangkirnya, dan mengisi sendiri kopi sesuai jenis yang diinginkan. Disediakan juga gula dan sendok serta tutup gelas di sebelah mesinnya. Kopinya sendiri hanya $3, gold kiwinya $6.5 isi 6 buah, dan lemonnya $3.19, semua dibayar dengan credit card.

Kami masih bersantai di luar stall, di mana disediakan bangku-bangku untuk duduk. Dan ternyata di samping tokonya juga ada kebun bunga, dan kita boleh jalan-jalan di sana. Tampak juga kebun blueberry yang dilindungi dengan pagar kawat. Beberapa pohon buahnya tampak sudah siap dipanen. Kalau di Indonesia sudah hilang dicuri tuh... Oya ada toilet umum yang cukup bersih juga di tempat ini.



Setelah hilang rasa penat kami, perjalanan pun dilanjutkan kembali. Saat itu sudah jam 6 petang, namun matahari masih bersinar dengan terik seperti jam 2-3 siang, sampai aku merasa kepanasan dan mengganti celana panjang dengan celana pendek. Kami masih singgah di Roaring Meg untuk beristirahat sejenak, baru kemudian melanjutkan perjalanan.



Kami sampai di rumah temanku, Budi, sekitar jam 6.45 petang. Budi sendiri sedang bekerja, jadi tidak bisa menemui kami. Istrinya, Lita, menemui kami beserta 2 orang anaknya. Rumah Budi berada di kawasan perumahan yang kalau menurutku sih nyaman banget. Kayaknya enak banget kalau bisa punya rumah di sini hehehehe....
Kami mengobrol dengan Lita dan mengambil porta potti yang dititipkan di rumah mereka. Sebetulnya Budi sudah mengundang kami untuk bermalam di rumahnya, dan aku sudah mengiyakan. Namun pada saat itu karena suasana benar-benar masih terang seperti siang hari, dan kami belum merasa lelah, akhirnya mendadak kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan langsung sampai ke Invercargill, yang mungkin akan makan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan (200 KM).

Maka kami pun berpamitan kepada Lita, dan langsung kembali melanjutkan perjalanan. Kami tidak lewat Queenstown, tapi belok kiri ke arah Frankton, dan lewat Kingston Road. Sepanjang jalan sampai ke Kingston, di kanan jalan membentang Lake Wakatipu yang indah, karenanya kami sempat berhenti juga untuk memotret sekaligus istirahat. Wah di tempat ini viewnya benar-benar indah sekali lho...



Saat melewati Garston sekitar jam 8.20 malam, kami juga berhenti untuk ke toilet dan mengisi air bersih di kran yang disediakan untuk air minum. Kalau dipikir-pikir lagi, setiap kali kami melewati Garston selalu saja berhenti di toilet ini, termasuk perjalanan tahun 2015 maupun 2016. Aku masih ingat pertama kali berhenti di tempat ini, kami makan burger yang dibeli di Fergburger hehehehe...
Toilet di sini termasuk sepi dan bersih, selain itu lokasinya juga nyaman untuk parkir kendaraan, makanya sekalian bisa untuk istirahat juga. Lokasinya persis di selatan toko Hunny Shop, di seberang Garston Hotel, satu-satunya hotel di tempat ini.



Setelah Garston, kami tidak berhenti lagi karena suasana sudah mulai sedikit remang-remang, dan matahari mulai tenggelam dan tertutup awan. Sebetulnya kami juga mencari takeaways untuk makan malam, karena semua persediaan bekal makanan kecuali buah-buahan sudah habis dan kami sudah mulai lapar. Dari beberapa kota kecil yang kami lewati, rata-rata takeaways sudah tutup semua. Yang masih tampak buka hanya cafe atau restoran yang sepertinya cukup fancy, jadi kami tidak berani berhenti, takutnya mahal. Kemudian sampailah kami di kota Lumsden yang tampak lebih banyak toko-tokonya, tapi semua juga sudah tutup. Hanya lampu-lampu di dalam toko yang dibiarkan menyala. Wah kami sudah putus asa dan akhirnya berpikir mungkin sampai di Invercargill saja baru makan, setidaknya ada banyak Indomie di dalam koper. Tiba-tiba tampak di kejauhan sebuah Chinese Takeaway yang masih buka di kanan jalan. Kami pun langsung berhenti dan memesan seporsi fish n chips. Harganya $6.5. Sembari menunggu, aku melihat-lihat isi kedai mungil ini, ternyata mereka juga menjual Tip Top ice cream, minuman dingin, dan menu masakannya pun cukup banyak dan bervariasi.



Setelah menunggu sekitar 10 menit, pesanan kami selesai, dan kami pun melanjutkan perjalanan sambil makan. Satu porsi fish n chips yang kami beli ini membuat kami berdua kekenyangan, karena porsinya besar sekali. Rasanya pun enak banget, mungkin karena kami kelaparan ya... hahahaha...

Dengan perut kenyang, perjalanan pun dilanjutkan kembali. Suasana sudah gelap gulita di sekeliling kami dan tidak ada lampu jalan. Akhirnya setelah perjalanan panjang yang serasa tiada habisnya hari ini, sampailah kami di flat putri kami, Sherly, di Ythan Street, Invercargill. Dia tidak tahu kami akan datang malam itu, karena memang rencana awal kami akan menginap di rumah Budi. Jadi kedatangan kami merupakan surprise juga buatnya.

Karena sudah sampai di tujuan akhir yang ibaratnya rumah sendiri, rasa lelah pun hilang, tergantikan dengan bahagianya bertemu dengan putri kami tercinta. Malam itu pun aku membongkar koper-koper dan menyerahkan semua barang titipan putriku. Kamarnya jadi langsung penuh barang deh...
Kami sendiri disediakan sebuah kamar ukuran single, satu-satunya kamar yang tersisa di flat ini. Dulu sewaktu putriku masih tinggal dengan Arina di Pomona Street, dia diberi tahu bahwa bulan Desember seluruh penyewanya harus pindah dulu, karena rumahnya akan direnovasi. Putriku sempat mendapatkan flat sendiri, yang lokasinya cukup jauh dari kampus. Pindahan ke tempat baru ini bahkan membuatnya sampai pingsan esok paginya di kelas bahasa Inggris karena kelelahan, dan dibawa naik ambulans ke rumah sakit. Waktu itu teman-temannya dari Indonesia yang memberi kabar kepada kami di rumah. Aku sempat panik juga, sampai kemudian melihat kondisinya sudah membaik, barulah kami lega. Semua biaya rumah sakit pun ditanggung oleh kampus, karena setiap student di SIT memiliki asuransi kesehatan.

Dari peristiwa itu, aku pun mulai aktif mencarikan flat untuk Sherly di group-group yang aku ikuti. Kebetulan ada satu flat yang diiklankan, tempatnya tampak cukup bersih dan nyaman walaupun agak tua, dan harganya murah, hanya $200/week untuk 1 flat 3 kamar. Kebetulan setelah melihatnya Sherly cocok, jadi bersama salah seorang teman akrabnya dari Indonesia juga, Ester, mereka pindah ke flat ini. Jauh-jauh hari aku sudah memesan kamar yang sisa satu ini untuk kedatanganku nanti, tentunya ikut membayar mingguan juga.
Kamar ini sempat disewakan pada seorang student jurusan Culinary dari RRC, namanya Lance, namun tepat seminggu sebelum kami datang, Lance keluar dari flat karena akan pindah ke Auckland. Jadi pas sekali deh kami dapat satu kamar kosong dengan biaya murah. 😍😍

Kamar tidurnya sebetulnya kecil sekali, karena memang benar-benar untuk 1 orang. Mungkin hanya 2 X 2,5 meter, dan masih terpotong untuk closet (lemari pakaian) di kamar yang depan. Kasurnya pun sangat kecil, sekitar 80 cm saja lebarnya. Terbayang kan, bagaimana aku dan suamiku akan tidur di kasur ini setiap malam? Hahahaha....



Malam itu pun akhirnya kami bisa mandi air hangat dengan tenang, dan tidur dengan perasaan bahagia karena bisa berkumpul lagi sekeluarga. πŸ’—πŸ˜„


To be continued.......

No comments:

Post a Comment