DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Thursday, July 4, 2019

VIETNAM & LAOS BACKPACKING 2018 (59) - SHOPPING & ENJOYING THE LAST NIGHT IN HO CHI MINH CITY ^_^


18 Mei 2018



Melewatkan malam di kasur yang empuk dan suasana kamar yang nyaman, aku bangun dan melakukan rutinitas pagi ini dengan keadaan segar dan senang. Karena suami sepertinya masih belum ingin bangun, aku memutuskan akan jalan-jalan ke pasar untuk melihat-lihat. Beruntung sekali pasar tradisionalnya sangat dekat dari Ace House, hanya berjalan kaki beberapa menit saja sudah sampai, namun sayangnya kami sudah tidak akan masak lagi, karena sudah tidak ada bahan bakar untuk  menyalakan kompor.

Aku sampai di Cho Thai Binh jam 7.25 pagi. Suasana pasar tampak ramai. Aku menyusuri lorong-lorong kecil di pasar ini, yang penuh dangan lapak para pedagang. Betah sekali melihat suasana dan bahan-bahan makanan yang dijual di sini, walaupun banyak kemiripan dengan yang ada di Indonesia. Mulai dari sayur-mayur, aneka bahan membuat es (cendol, cincau, agar-agar, bubur mutiara, dll), tahu putih (baik mentah maupun yang sudah digoreng), aneka jajan pasar tradisional (onde-onde, kue lapis santan, pie, pastry, dll), umbi-umbian rebus, buah-buahan (durian, nanas, srikaya, mangga, kelengkeng, pepaya, pisang, manggis, jambu, jeruk bali, semangka, langsep, dll), aneka gorengan (pangsit goreng, sosis goreng, dll), berbagai macam seafood (ikan, kepiting, udang, dll), aneka daging mentah (sapi, babi, ayam, dalam berbagai irisan), daging barbeque (bebek, babi, ayam), makanan siap makan (pangsit pho, banh mi, canh bun, dll), hingga segala macam bumbu masak, bunga segar, peralatan makan dan pakaian murah meriah pun ada di sini. Yang tidak ada mungkin hanya tempe saja. ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚
Oya, pernahkah aku ceritakan, bahwa seringkali kami menjumpai pedagang di dalam pasar yang mempunyai lapak kira-kira setinggi meja, namun penjualnya bukan berada di balik meja tersebut, namun duduk di atas mejanya dengan dingklik/bangku pendek? Kalau belum, demikianlah keadaan yang sering kami jumpai di pasar tradisional. Walaupun tidak selalu seperti itu, namun sering kami jumpai. Pertama kali melihat rasanya agak aneh, tapi lama-lama biasa juga, karena ternyata di mana-mana sama saja hahahaa...



Keluar dari sisi lain pasar, ada gang yang sepanjang jalannya juga banyak pedagangnya, kemudian tembus hingga ke Bui Vien Walking Street yang sangat populer di kalangan turis asing. Karena masih pagi, jalanan masih tampak sepi dan kebanyakan toko masih tutup. Aku ingat kami pernah satu kali melewati jalan ini, yaitu pertama kali kami tiba di Ho Chi Minh City, berjalan kaki di malam hari dari halte bus menuju ke penginapan kami saat itu. Jalannya ramai sekali (kendaraan tidak boleh lewat jalur ini), dan sepanjang jalan penuh dengan penjual makanan (street food) yang dipadati oleh manusia, terutama turis asing. Kalau dilihat-lihat lagi, lokasi penginapan kami kali ini benar-benar strategis dan berada di tengah pusat turis, karenanya di sekitar Ace House pun banyak sekali penginapan lain dengan berbagai level harga.



Dari Bui Vien Street, aku berjalan kembali ke arah pasar, dan menjelang jam 8 pagi aku memutuskan untuk pulang dulu ke penginapan karena kuatir suami sudah bangun dan menungguku sarapan. Setibanya di Ace House, suami sudah bangun, jadi kami turun untuk sarapan dulu.
Sepertinya "simple breakfast" di Vietnam ini artinya sama di semua daerah: banh mi dan telur. Tinggal cara masak dan pernak-perniknya saja yang berbeda. Kali ini kami mendapatkan roti, telur orak-arik, dan sebuah pisang ambon. Untuk minumnya, kali ini kami diberi kopi satu teko yang seharusnya bisa dipanasi terus-menerus (ada tempat lilin di bawahnya, namun tidak dinyalakan), dan bebas mengambil sepuasnya. Walaupun hanya kopi instan dan agak encer, tapi lumayanlah.



Usai sarapan, waktu sudah menunjukkan jam 8.30 pagi, dan kami bergantian mandi. Pagi ini kami akan kembali ke PNJ Co.opmart yang jaraknya hanya sekitar 0,5 KM saja untuk belanja oleh-oleh. Setelah bersiap-siap, jam 9.30 pagi kami sudah berangkat dengan membawa backpack yang besar.
Sudah menjadi kebiasaan bahkan sebelum ke Vietnam, kami mengusahakan untuk belanja tanpa menggunakan kantung plastik a.k.a tas kresek, baik di pasar tradisional maupun di supermarket (kecuali kalau yang dibeli bahan basah atau daging), tentunya demi tujuan ramah lingkungan: mengurangi limbah plastik. Aku tahu walaupun apa yang kami lakukan mungkin tidak banyak berarti, namun kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi? Dan kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?
Karenanya, ke mana pun pergi biasanya kami membawa backpack/ransel, besar ataupun kecil, sesuai dengan kebutuhan. Pada umumnya para pedagang di pasar di Banyuwangi sudah hapal dengan permintaanku: tanpa kresek. Selama di Vietnam pun kami selalu memasukkan belanjaan langsung ke dalam ransel, biasanya kami membawa dua yang kecil-kecil. Karena hari ini aku tahu akan belanja agak banyak, aku membawa ranselku yang besar. ๐Ÿ˜

Tiba di Co.opmart, kami memilih-milih berbagai macam barang yang akan dibeli, dan kalau dituruti sebetulnya aku ingin belanja bahan makanan mentah/kering lebih banyak lagi andai tidak ingat kondisi keuangan kami sekarang hahahaha...
Kami menghabiskan VND 789.5K yang dibayar dengan credit card untuk berbagai macam barang yang kami beli, antara lain: telur asin, kopi kalengan, permen dan beer (untuk dikonsumsi langsung), bubuk kaldu Knorr, beberapa pak teh daun (untuk mamiku), beberapa pak kopi bubuk (untuk suami dan papiku), berbagai macam snack tradisional dan modern, kopi instan, pho mentah, banh trang (kulit lumpia kering yang terbuat dari beras), dan beberapa bungkus pho instan. Sebagian besar untuk diberikan sebagai oleh-oleh, sisanya yang bahan masak akan kugunakan sendiri di rumah. Bagusnya, semuanya masuk ke dalam backpack 60 literku hehehehe... ๐Ÿ˜›

Usai belanja kami langsung kembali ke Ace House untuk menaruh semua barang belanjaan tadi. Aku sempat makan sebutir telur asinnya yang dibungkus pasir hitam, dan ternyata telurnya masih mentah! Setelah itu aku merebus sisa telur yang masih 3 butir, dan setelah dimakan rasanya memang enak (karena sudah lama sekali tidak makan telur asin).
Setelah istirahat sebentar, jam 11.45 siang kami pergi lagi, kali ini ke Benh Thanh Market, yang jaraknya hanya sekitar 1,5 KM saja.



Beruntung sekali saat kami berangkat cuaca sedang agak mendung, jadi kami tidak kepanasan. Kami lewat Bui Vien Walking Street yang sisi timur dan kemudian lanjut lewat Durong Tran Hung Dao. Di Jalan Bui Vien, suasananya sudah cukup ramai dengan kendaraan bermotor, dan kami sering berpapasan dengan turis asing. Sesekali tampak pedagang kaki lima yang berjalan kaki menawarkan dagangannya. Jalan ini benar-benar dikondisikan untuk mengakomodasi turis asing, karenanya sepanjang jalan penuh dengan cafe, rumah makan, dan penginapan.



Sampai di Ben Thanh Market, kami langsung ke bagian yang menjual pakaian, karena tujuan kami kali ini adalah mencarikan kaos untuk mamiku. Para pelapak yang berjualan  di sini termasuk sangat aktif menawarkan barang. Hanya dengan melewati atau melirik ke arah lapak mereka saja pasti mereka akan langsung menawarkan barang atau menanyakan apa yang kami cari. Cukup lama kami berkeliling di lorong-lorong yang padat dengan pedagang pakaian ini, hingga mataku tertuju pada kaos yang dipajang, yang sepertinya cocok untuk mamiku. Penjualnya pun pandai membujuk. Setelah aku menjelaskan perawakan mamiku, dia berkata kaos tersebut pasti cukup dikenakan, karena bahannya bisa melar. Aku sampai lupa berapa harga awal yang ditawarkan, tapi sepertinya sekitar VND 150K, dan akhirnya kami sepakat di harga VND 90K karena aku mau membeli 2 potong. Desainnya sederhana namun kainnya bagus dan sepertinya nyaman dikenakan, karenanya aku setuju dan merasa harga tersebut cukup pantas.



Setelah membayar, selebihnya kami hanya keliling-keliling saja dan melihat suasana di dalam pasar ini, dan sekitar jam 12.30 siang kami keluar dari pasar. Rencananya suami ingin membeli nasi campur yang penjualnya kami lihat tadi saat berjalan ke Co.opmart. Hanya sebuah gerobak kaki lima yang berjualan di salah satu sudut simpang lima. Di sana suami membeli satu bungkus nasi dengan sayur kangkung dan daging babi panggang seharga VND 30K.



Sembari berjalan kembali ke Ace House, kami mampir di sebuah cafe, namanya Piscat Cafe, yang menjual berbagai minuman panas dan dingin. Kami memang tertarik untuk membeli kopi di sini karena melihat desain cafenya yang putih bersih dan tampak menarik. Kami hanya memesan satu Coconut Coffee seharga VND 26K untuk dibawa pergi. Bartendernya membuatnya di hadapan kami, jadi sepertinya ke depannya aku bisa membuatnya sendiri di rumah hahahaha... Kopinya terasa sekali, kental, dan santannya juga terasa gurih. Baru sekali ini kami minum kopi dengan santan, dan ternyata enak sekali. ๐Ÿ˜




Kami sampai di Ace House jam 1.10 siang, lalu menikmati makan siang plus Coconut Coffee bersama. Setelah kenyang, kami berdua tidur siang.
Setelah bangun dari tidur dan sedang menata barang-barang, aku baru ingat bahwa kami lupa membeli cokelat batangan yang kami lihat di Co.opmart akibat terlalu banyak yang dibeli siang tadi. Kami juga belum membeli kopi bubuk Highland yang akan dijadikan oleh-oleh untuk papiku, jadi sore harinya kami pergi lagi ke Family Mart di dekat penginapan untuk membeli kopi bubuk Highland (@ VND 55K), lalu ke Co.opmart untuk membeli lagi cokelat batangan, beberapa snack yang terbuat dari kacang hijau (banh dau), kue yang mirip kueku (banh com), dan pia ala Vietnam (banh nuong, yang mirip dengan tong tjiu pia). Totalnya VND 339.5K, dibayar dengan credit card.



Kami berjalan-jalan menyusuri jalan di sekitar situ, dan sampai di sebuah gereja Katolik, Huyแป‡n Sฤฉ Church di Durong Ton That Tung. Bangunan gereja ini dengan menaranya yang tinggi dibangun pada tahun 1859. Suasana gereja yang berada di antara pohon-pohon besar, dengan beberapa patung untuk berdoa di sekeliling halaman gereja, tampak sangat kontras dengan hingar-bingar turisme di kota ini.
Kami masuk ke halamannya, memotret di sana-sini, dan menyempatkan diri menyalakan lilin dan berdoa sejenak di sana. Sepertinya akan ada acara, karena di salah satu sudut halaman tertata banyak kursi, dan ada pemusik beserta sound system yang sudah siap di sana. Sayangnya saat kami tiba di gereja ini suasana sudah gelap, sehingga agak sulit memotret dengan jelas. Setelah menghabiskan waktu 15-20 menit di area halaman gereja, kami berjalan keluar lagi, kembali pada ramainya suasana perkotaan yang dipenuhi suara kendaraan, klakson, dan musik dari cafe dan bar di sepanjang jalan.



Berjalan ke arah Ace House, suami membeli makan malam nasi bungkus dengan daging babi lagi di sebuah pedagang kaki lima di depan sebuah gang kecil. Sampai di penginapan, kami makan malam berdua, tapi aku hanya mengambil sedikit saja karena takut suami kurang kenyang.
Usai makan, aku menghabiskan waktu cukup lama untuk packing. Memisahkan barang-barang yang akan tetap dibawa dengan backpack sebagai carry-on baggage dan yang akan dimasukkan sebagai bagasi untuk penerbangan pulang kami besok. Yah, ini adalah malam terakhir kami di Vietnam. ๐Ÿ˜ฅ



Barang-barang yang rapuh dan relatif ringan, snack yang mungkin akan dimakan atau dibagikan sebelum sampai di rumah, laptop, kamera, serta satu potong kaos dan pakaian dalam untuk cadangan dimasukkan ke dalam backpack. Sementara sisa semua pakaian, alat masak, oleh-oleh dan makanan yang berat-berat serta dikemas dalam kardus ditata di dalam kantung plastik ukuran jumbo yang kami bawa dari rumah.
Ini adalah cara kami agar tidak perlu membawa banyak tas waktu berangkat. Kantung plastik ini biasanya didobel, lalu diikat dengan tali rafia atau tali tampar, diisolasi seluruh permukaannya, dan kemudian ditali sekali lagi untuk membawanya. Kadangkala kalau mendapat tas plastik jumbo dari supermarket juga kami gunakan untuk melapisi lagi agar lebih aman. Kemarin pun saat terbang dari Hanoi ke Ho Chi Minh kami menggunakan metode ini, hanya saja tidak diisolasi dan ikatannya dibuat supaya bisa dibuka lagi. Kali ini karena tidak akan dibuka lagi sampai di rumah, talinya diikat mati.

Mengeluarkan energi yang cukup banyak untuk packing dua buah bagasi seberat total 20 kg, aku jadi agak lapar lagi karena tadi hanya makan sedikit. Karena suami sudah agak lelah berjalan, aku berpamitan untuk keluar sendiri, jalan kaki sejenak sembari mencari makan lagi. Saat itu sudah jam 9.15 malam, jadi aku mencari alternatif terdekat, yaitu di daerah pasar, apalagi waktu malam kami datang dari Hanoi sebelumnya aku melihat banyak penjual street food di daerah sekitar pasar.
Ternyata benar, ada beberapa penjual street food, dan salah satu di antaranya adalah banh mi, yang relatif murah harganya. Nama kiosnya Banh Mi Chim Chay. Aku membeli banh mi isi ayam seharga VND 15K, dan kemudian langsung kembali ke Ace House. Belakangan baru aku membaca beberapa review di Google Map, Banh Mi Chim Chay ini ternyata memiliki reputasi yang baik karena enak dan murah, serta karyawan yang melayani mengerti bahasa Inggris. ๐Ÿ˜ƒ



Aku makan banh mi yang baru kubeli sampai kekenyangan karena walaupun tampaknya standar saja, tapi isinya cukup banyak. Usai makan aku masih mengobrol dan bertukar pikiran dengan suami hingga menjelang tengah malam, dan baru sesudahnya kami tidur.

Hmmm... besok kami sudah akan pulang kembali ke negeri tercinta. Suami senang, karena katanya sudah kangen dengan makanan Indonesia, dan kangen dengan peliharaan kami di rumah, Tyson. Aku sendiri, setengahnya senang karena akan kembali ke rumah, namun setengahnya sedih karena petualangan kami akan berakhir. Rasanya masih ingin melihat hal-hal baru setiap harinya. Mudah-mudahan esok semuanya berjalan dengan lancar hingga kami tiba di rumah... ๐Ÿ™๐Ÿ˜„


To be continued.......

No comments:

Post a Comment