DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Thursday, June 15, 2017

NEW ZEALAND TRIP 2015 (13) - EXPLORING DUNEDIN

THE ONE TRIP THAT CHANGED MY LIFE FOREVER
(CATATAN PERJALANANKU KE NEW ZEALAND)




Day 9: Jumat, 3 Juli 2015


Pagi hari, aku terbangun pukul 6.20 pagi dalam suhu 2o Celcius. Setelah itu aku segera menyiapkan sarapan roti isi buat suami dan putri tercinta. Pada umumnya, tuan putri bangun paling siang, mungkin terlalu nyaman berkutat di dalam selimutnya ya hehehehe… Setelah suami dan putriku terbangun, mereka sarapan, lalu kami sempat keluar campervan untuk menghirup udara pagi yang super dingin.


Aku menyempatkan diri ke resepsionis untuk memperpanjang waktu menginap kami di Dunedin Holiday Park ini. Pagi itu ada seekor burung camar yang hinggap di depan campervan. Begitu diberi sedikit remahan roti, entah dari mana datangnya, teman-temannya berdatangan, sampai jadi ramai sekali burung camar di samping campervan kami. Mereka terbang dan berkerumun di sekitar kami. Banyak juga yang menanti di rumput dan di tengah jalan. Sampai waktu itu ada sebuah mobil yang hendak lewat, burung-burung tersebut tidak ada yang mau minggir, akhirnya mobilnya yang mengalah dan melewati tepian jalan dan rerumputan supaya tidak melindas burung-burung yang hinggap di tengah jalan hehehehe…


Selesai sarapan, bermain-main dengan burung camar dan berbenah, kami mandi pagi, lalu bersiap-siap untuk petualangan hari itu. Kami berencana ke Baldwin Street, jalan tercuram di dunia versi Guinness Book of Records, lalu ke Otago Peninsula di ujung timur laut dari tempat kami berada. Berbekal Google Map, kami berangkat.


Baldwin Street terletak 3,5 kilometer arah timur laut dari pusat kota, dan jarak dari tempat kami ke Baldwin Street sekitar 8,5 kilometer. Saat itu pukul 9.15 pagi, matahari belum menampakkan diri, dan suasana masih remang-remang, mungkin karena mendung. Suhu pagi itu mencapai 0o Celcius, dan angin bertiup cukup kencang, jadi terasa dingin sekali dan cukup menusuk tulang. Banyak mobil yang diparkir di kanan kiri jalan, namun lalu lintasnya sendiri saat itu masih cukup sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang, termasuk di jalan rayanya, Cumberland Street dan Great King Street. Tidak ada kemacetan sama sekali. Kami juga melewati pabrik Cadbury dan wilayah kompleks University of Otago yang legendaris.


Kami tiba di Baldwin Street dan memarkirkan campervan tepat di seberangnya, yakni di North Road, di dekat semacam gapura dengan papan nama bertuliskan Otago Community Hospice. Saat itu tampak ada beberapa turis yang tampaknya berasal dari India dilihat dari wajah dan pakaian yang mereka kenakan, beserta seorang tour guide lokal yang juga baru tiba dengan sebuah mobil dan parkir di ujung Baldwin Street. Hanya tiga orang saja, sepasang suami istri dan seorang laki-laki paruh baya lainnya yang mengikuti sang tour guide menaiki jalan ini, sisanya tampak beberapa orang memilih tinggal di dalam mobil. Sama seperti mereka, kami juga banyak berfoto-foto sembari menaiki Baldwin Street.

Dari seberang jalan saja, Baldwin Street ini memang tampak curam sekali. Entah apakah mobil atau sepeda motor bisa kuat menaikinya. Banyak mobil yang diparkir di kanan kiri Baldwin Street ini sepanjang beberapa puluh meter pertama yang tidak securam beberapa ratus meter selanjutnya, karena memang jalan tersebut merupakan jalan pemukiman warga seperti pada umumnya. Rumah-rumah penduduk juga berjejer rapi di sepanjang kanan kiri jalan tersebut. Ada rambu di seberang jalan yang menyatakan Baldwin Street ini merupakan jalan buntu dan tidak ada tempat untuk memutar balik bagi mobil.


Baldwin Street ini jalannya lurus, dengan panjang sekitar 350 meter. Sekitar hampir 150 meter pertama, jalannya tidak terlalu curam, dan berupa jalan aspal. Sedangkan 200 meter sisanya berupa jalan beton, karena dianggap lebih mudah untuk perawatan dan untuk faktor keselamatan juga selama musim salju. Sepanjang 161,2 meter terakhir dari puncak, tingkat menanjaknya adalah 47,2 meter vertikal. Sedangkan 70 meter dari puncak, sudut kemiringannya mencapai 19o, yang artinya setiap kita berjalan horisontal 2,86 meter, ketinggian kita bertambah 1 meter. Cukup fantastis ya…


Sebetulnya kecuraman jalan ini awalnya tidak disengaja, karena dulu jalan-jalan yang dibangun di Dunedin (dan di New Zealand pada umumnya), dirancang di London oleh penguasa saat itu, tanpa mengetahui bagaimana medan sesungguhnya. Survei baru dilakukan pada pertengahan abad ke-19 oleh Charles Kettle, sedangkan nama jalan ini berasal dari William Baldwin, seorang anggota Dewan Provinsial sekaligus pendiri surat kabar Otago, yang membagi-bagi area tersebut. Beberapa jalan lain yang sejajar dengan Baldwin Street pun cukup curam karenanya, yakni Arnold Street, Dalmeny Street, dan Calder Avenue.

Kami pun berjalan menaiki Baldwin Street. Saat kami sedang berada di tengah-tengah, tampak tiga orang pemuda berlari-lari dari bawah. Rupanya mereka sedang jogging dan hendak mencapai puncak Baldwin Street ini. Baru beberapa meter melampaui kami, mereka tampak berhenti kelelahan dengan nafas terengah-engah. Setelah beristirahat baru mereka berjalan lagi naik sampai ke puncak jalan. Lucu juga melihat mereka. Jalan ini sebenarnya memang digunakan untuk ajang tahunan Baldwin Street Gutbuster, yakni lomba lari dari bawah menuju ke puncak, dan berlari turun kembali. Lomba lari ini sudah diadakan sejak tahun 1988 pada musim panas. Tiap tahunnya, ratusan atlet mengikuti kompetisi ini. Rekor tercepatnya adalah 1 menit 56 detik. Hebat sekali ya… Pasti seru sekali menonton pertandingan lari di tempat ini.


Setelah kami sampai di puncak, kami bertemu lagi dengan turis-turis India tadi, bahkan sempat sedikit berbasa-basi dengan mereka. Melihat kami berfoto, sang tour guide malah menawarkan untuk memotret kami bertiga. Baik sekali beliau ya…

Setelah puas berada di puncak Baldwin Street, kami turun melewati anak tangga yang berada di samping kanan kiri jalan, karena turun melewati jalannya tampak lebih seram, kuatir terpeleset saking curamnya. Pernah tercatat kejadian seorang mahasiswi University of Otago yang meninggal di tempat ini pada bulan Maret 2001 karena mencoba menuruni jalan ini bersama seorang temannya di dalam sebuah container beroda. Container tersebut menabrak sebuah trailer yang sedang diparkir di pinggir jalan, yang mengakibatkan kematian seketika, sedangkan temannya menderita luka parah di bagian kepala. Hmmm… yang seperti ini jangan dijadikan contoh ya, perbuatan yang sangat ceroboh dan kurang perhitungan.


Sesampai kami di campervan, waktu sudah menunjukkan pukul 10.15 pagi. Tujuan kami berikutnya adalah menuju ke ujung Otago Peninsula, di Harington Point. Jaraknya sekitar 35 kilometer dari Baldwin Street ke arah Tenggara. Jadi kami berputar balik dan mengikuti petunjuk dari Google Map. Jalan-jalan mulai tampak ramai. Mulai memasuki Portsmouth Drive, di sisi kiri kami tampak tepian laut sepanjang jalan. Setelah itu, memasuki Potobello Road, kami melewati jalan yang dibangun di atas laut. Keren sekali, deh… Dulunya, sebelum Portobello Road sepanjang tepi laut ini dibangun, penduduk area Portobello harus naik kapal feri untuk ke pusat kota Dunedin. Jalan ini dibangun sekitar tahun 1860 oleh pemerintah dengan mempekerjakan para tahanan yang menghuni penjara.


Sepanjang perjalanan, pemandangan tepi laut dan teluk yang indah menyertai kami. Baru sekitar 35 menit, kami berhenti di sebuah rest area dengan sebuah pantai kecil di MacAndrew Bay. Ada sebuah taman umum, pemandangannya indah, dan disediakan tempat untuk duduk-duduk di tempat tersebut. Pantai ini ternyata merupakan pantai buatan, pasirnya didatangkan dari pesisir pantai Pasifik. Pembangunan pantai dan taman ini selesai pada tahun 1979. Di seberang tempat kami berhenti, ada mini market dan sebuah galeri lukisan. MacAndrew Bay merupakan daerah terpadat dengan 1.100 jiwa dibandingkan daerah-daerah lain sepanjang peninsula di Portobello ini.


Udara dingin sekali saat itu. Burung-burung camar dan beberapa ekor itik liar langsung berdatangan melihat kedatangan kami, sepertinya berharap diberi makan hehehehe… Tentu saja kami memberi remahan roti seperti biasanya. Tidak terlalu lama kami berada di tempat ini, lalu kami melanjutkan perjalanan.


Hampir setiap ada tempat yang memungkinkan campervan parkir, kami berhenti sejenak. Perhentian kedua adalah di Raynbirds Bay, dan selanjutnya di Broad Bay. Di daerah Broad Bay ini, kami melewati Fletcher House, sebuah museum, yang aslinya merupakan rumah pertama dari pendiri Fletcher Construction, Sir James Fletcher. Rumah ini dibangun pada tahun 1909 dan direnovasi pada tahun 1992. Fletcher Construction sendiri merupakan salah satu perusahaan konstruksi yang ternama di New Zealand, yang terlibat dalam berbagai proyek besar, termasuk di antaranya Sky Tower di Auckland.


Setelah itu kami masih berhenti lagi di Edwards Bay, dan terakhir di sebuah pantai di Harington Point Road. Pada saat berhenti untuk terakhir kalinya inilah, kami berjumpa dengan seorang laki-laki usia 40-an yang sedang mengajak anjingnya bermain di pantai tersebut. Anjingnya seekor Black Labrador yang lucu sekali dan manja. Aku menyapa pemiliknya, beliau adalah penduduk lokal asal Dunedin. Kami sempat berbincang-bincang sejenak. Beliau menunjukkan kepada kami, seekor pinguin biru yang sudah mati, yang beliau temukan di pinggir pantai tersebut. Kasihan sekali. Lalu beliau juga menanyakan kami berasal dari mana. Aku menceritakan sekilas bahwa kami berasal dari Indonesia, dan ini adalah perjalanan pertama kami menaiki pesawat terbang, dan perjalanan pertama kami ke luar negeri. Komentarnya, “You’re so brave” hahahaha… Sebetulnya bukan berani sih, tetapi lebih tepatnya nekat. Kemudian beliau berpamitan, dan kami berjalan menyusuri tepian pantai yang berpasir.


Di sepanjang pantai-pantai tempat kami berhenti, banyak cangkang-cangkang kerang yang kami temukan. Tetapi di pantai inilah paling banyak ditemukan cangkang kerang. Putriku mengumpulkannya dan mendapatkan satu buah kantong plastik berisi cangkang kerang. Kebanyakan bentuknya masih sepasang, tidak seperti biasanya yang hanya tinggal satu sisi saja. Ada yang besar, ada yang kecil, banyak sekali. Di pesisir pantai ini juga banyak burung berwarna hitam. Kalau aku tidak salah, namanya Eurasian Bird. Burung-burung ini tidak sejinak burung-burung camar yang biasa kami temui di banyak tempat. Mereka tampak berkerumun di tepian air laut, namun jika didatangi, mereka akan menghindar, berlari-lari, lalu terbang menjauh. Kami mengambil foto, mengumpulkan kerang, dan bersantai ria di tepi pantai ini sembari berjemur, karena udara memang dingin saat itu. Tidak lama kemudian, kami kembali ke campervan dan melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 13 siang, kami tiba di ujung timur laut Otago Peninsula. Kami parkir di depan Royal Albatross Centre. Wow, pemandangan di sana sungguh menakjubkan! Tebing-tebing karang, lautan yang biru kehijauan, dan langit biru cerah dihiasi awan-awan, perpaduan yang cantik sekali. Samudera yang begitu luas tampak sangat megah, membentang di hadapan kami, tampak tak berujung sampai batas horison. Terasa begitu nyata, kita manusia sungguh sangat kecil dan tiada artinya di hadapan alam yang luar biasa agung, indah dan megah ini. Saat-saat seperti inilah tampak kebesaran Tuhan yang tiada batas.


Ada beberapa spot yang bisa kita datangi untuk mengambil foto di sini, semuanya indah sekali. Yang agak mengerikan adalah anginnya amat sangat kencang saat itu, terutama saat berada di ujung peninsula, serasa hampir terbang terbawa angin hehehehe… namun kami tidak sampai ketakutan, karena sepanjang tepian tebingnya terdapat pagar yang kokoh, dan secara keseluruhan, sangat menyenangkan sekali berada di sana.


Harington Point ternyata merupakan satu-satunya tempat di mana koloni burung Royal Albatross berkumpul, yang terdekat dengan hunian manusia. Di sini juga sering terlihat blue penguin datang pada saat senja, untuk kembali ke sarangnya. Di balik perbukitan, di arah barat daya dari Harington Point, terdapat pula Penguin Place Conservation Reserve, yakni lokasi sarang dari koloni pinguin bermata kuning. Yellow-eyes penguin ini merupakan pinguin yang sangat langka, dan hanya ada di New Zealand. Semua lokasi tersebut bisa dikunjungi wisatawan dengan tour. Pusatnya ada di Wellers Rock Wharf, di mana kita bisa memesan tempat untuk tour, naik kapal dan mengeksplorasi lautan dan kehidupan unggas liar di seputar tempat ini.

Puas menjelajah tempat ini dan kedinginan juga karena diterpa angin dengan suhu mendekati nol derajat Celcius, kami kembali ke campervan. Tangan, wajah, telinga, dan hidung aku serasa hampir membeku, namun hati terasa hangat karena bahagia. Ini adalah pengalaman yang sangat menakjubkan bagi kami bertiga. Kemudian aku memasak tiga porsi mie instan di dalam campervan untuk makan siang kami bertiga. Setelah kenyang, kami kembali menyusuri jalan menuju ke holiday park. Dalam perjalanan pulang ini, aku sempat tertidur dengan kepala tersandar di dashboard karena kelelahan dan kedinginan. Kami tiba di Dunedin Holiday Park sekitar pukul 15.30 sore, sedangkan aku baru bangun pukul 16 sore, dibangunkan oleh suami tercinta. Setelah kami tiba di holiday park justru putriku yang tertidur di dalam gulungan selimutnya. Aku membiarkannya tertidur agar merasa segar dan hangat kembali setelahnya, sementara itu aku menyiapkan bahan makanan yang akan dipakai untuk masak hidangan malam harinya.


Selesai berbenah, aku melanjutkan menulis digital diaryku sambil kedinginan, sedangkan suami tercinta bersantai sambil istirahat. Ya, sore itu rasanya dingin sekali walaupun heater di dalam campervan sudah dinyalakan. Mungkin karena seharian terpapar udara dingin dan berangin kencang, sehingga butuh waktu untuk menaikkan kembali suhu tubuh. Saat itu pukul 17.30 sore, dan suhu berada pada angka 2o Celcius.

Seharian itu pun kami sering merasa lapar, tidak seperti hari-hari pertama kami berada di New Zealand. Karenanya kami sering ngemil dan makan, juga minum selama di jalan. Walaupun suhu di sana selalu dingin, bahkan aku hampir selalu kedinginan ya, tetapi kalau sudah urusan minum air putih, aku harus tetap minum air dingin. Rasanya ada yang kurang kalau airnya tidak dingin. Karenanya biarpun pagi hari sebelum berangkat botol-botol minum kami sudah diisi air dingin dari kran dapur, biasanya masih tetap ada botol minum yang dimasukkan ke dalam lemari es hehehehe… Atau apabila air di dalam botol masih penuh, biasanya aku letakkan di tempat penyimpanan di pintu depan, karena pada malam hari, bagian depan campervan memang paling dingin udaranya, jadi pagi harinya, air di dalam botol bisa jadi dingin sekali.

Sekitar pukul 18 petang, aku membangunkan sang putri, lalu kami bertiga beranjak ke dapur umum untuk masak. Menu malam itu adalah daging sapi yang dipotong dadu dimasak mentega dan kentang goreng untuk suamiku, sosis, salmon, dan kentang goreng untuk putriku, serta tumis hati domba dan kecambah ditambah lettuce untuk aku. Ada peristiwa kocak yang terjadi malam itu. Aku adalah penggemar makanan pedas, bahkan super pedas. Nah, hampir tiap kali makan, khusus hidangan aku biasanya diberi banyak saus sambal atau bubuk cabe yang kami bawa dari rumah. Bubuk cabe yang aku bawa ini cukup pedas, mungkin sangat pedas untuk lidah orang pada umumnya, sangat berbeda dengan bubuk cabe yang ada di dalam kemasan mie instan. Terkadang aku membubuhi bubuk cabe ini setelah hidangan matang. Malam itu, bubuk cabe menjadi biang kerok peristiwa yang terjadi selanjutnya.

Pada waktu kami masuk ke dapur umum, hanya ada seorang pemuda dan seorang perempuan yang tampak sedikit lebih tua, sedang memasak di dalam. Tentunya seperti biasa, aku berbasa-basi dengan mereka. Keduanya berasal dari Srilanka. Sang pemuda sudah tinggal selama dua tahun di Auckland dan sedang menempuh pendidikan di sana. Dia menyebutkan bahwa segala sesuatu di Dunedin dan Queenstown serbamahal. Harga-harga barang lebih murah, minimal standar di Auckland, dan untuk belajar pun, paling baik di Auckland. Untuk ibukota New Zealand, Wellington, kotanya bagus untuk belajar juga, hanya cuacanya lebih berangin di sana. Menyenangkan juga mengobrol dengannya, walaupun jujur saja, sebetulnya ada banyak perkataannya yang kurang aku mengerti, karena logat bicaranya sangat susah dipahami hehehehe…

Nah, selesai berbincang-bincang, aku melanjutkan pekerjaan di hadapan aku, yakni memasak. Tadinya kami sedang menggoreng kentang, dan putriku yang menangani. Setelah masuk menumis, aku yang melanjutkan. Aku buatkan dulu hidangan untuk suami dan putriku, setelah itu tumisan hati domba dan tauge untuk aku. Malam itu, aku masukkan bubuk cabe pada saat sedang menumis, dan aku agak terlalu banyak menuangkan bubuk cabenya. Akibatnya, uap yang keluar dari masakan membuat orang-orang di sekelilingnya jadi bersin-bersin, termasuk suami dan putriku, dan kedua orang dari Srilanka tadi. Aku menumis tidak sampai 5 menit lamanya, namun uap pedas ini tak kunjung beranjak dari dapur. Saat kami bertiga sudah dengan santainya makan malam, sang pemuda Srilanka masih bersin-bersin, kemudian temannya datang dari luar dapur dan langsung bersin-bersin saat masuk. Tidak lama kemudian, masuklah seorang pemuda berkulit putih, dan langsung bersin-bersin di dalam dapur. Lalu jendela-jendela di situ dibuka supaya udara keluar, tapi tetap saja orang-orang bersin ini berlanjut, datang dan pergi, bahkan sampai kami selesai makan. Kami yang melihat merasa geli karenanya. Aku sendiri merasa agak bersalah, tapi apa daya, aku tidak bermaksud untuk mengganggu para pengunjung dapur ini hehehehe… Sepertinya rasa pedas memang kurang atau tidak disukai oleh pada umumnya orang kulit putih ya, tidak hanya di New Zealand. Jadi mungkin mereka kaget dengan aroma pedas yang cukup menyengat di dalam dapur saat itu.


Selesai kami  makan malam, kami masih duduk-duduk di ruang makan sambil menobrol. Aku memperhatikan di salah satu sisi dindingnya, banyak ditempel kertas-kertas. Ternyata isinya adalah informasi bagi parapengunjung. Yang terbanyak adalah daftar tempat yang bisa dikunjungi atau atraksi bagi wisatawan yang datang. Sisanya adalah informasi keberangkatan bus, yang bisa ditunggu persis di tepi jalan di depan Dunedin Holiday Park, lengkap dengan jam-jam keberangkatannya. Bus ini menuju ke pusat kota Dunedin. Ada pula informasi cara kembali dari pusat kota menuju holiday park ini. Semua dilengkapi dengan tarifnya, yakni NZ$ 3 untuk dewasa, dan NZ$ 1.9 untuk anak-anak. Lengkap sekali deh informasinya. Ada daftar pombensin, supermarket, bahkan dokter dan rumah sakit, lengkap beserta lokasinya. Ada pula informasi pemesanan taksi. Kita hanya perlu mengangkat pesawat teepon yang tersedia di dinding di luar kantor resepsionis, dan otomatis telepon akan tersambung ke perusahaan taksi. Keren sekali ya…

Aku memotret semua informasi yang ditempelkan di dinding tersebut, siapa tahu kelak berguna. Untuk daftar tempat dan atraksi bagi wisatawan, ada 59 nomor di kertas-kertas tersebut, banyak sekali ya… Kebanyakan tempat-tempat tersebut hanya bisa dikunjungi dengan mengikuti tour. Di antaranya adalah Cadbury World di Cumberland Street, Speight’s Brewery di Rattray Street, Olveston House di Royal Terrace, Botanic Gardens (botanic garden tertua di New Zealand, dibangun pada tahun 1863, dan di dalamnya terdapat café juga), Baldwin Street sebagai jalan tercuram di dunia, Otago Museum di Great King Street, Otago Peninsula (yang kami kunjungi hari itu), Larnach Castle di Camp Road, Royal Albatross (termasuk di dalamnya mengunjungi Royal Albatross Centre di ujung Otago Peninsula), Glenfalloch Woodland Gardens di Portobello Road, Fletcher House di Portobello Road, Penguin Place di Harington Point, Rialto Cinemas di Moray Place, Dunedin Public Art Gallery di The Octagon, The Octagon itu sendiri, Dunedin Casino di Hight Street, New Zealand Sports Hall of Fame di Dunedin Railway Station, Dunedin Ice Stadium di Victoria Road (sangat dekat dengan Dunedin Holiday Park), dan masih banyak lagi.


The Octagon adalah pusat kota Dunedin. Bentuknya berupa bangunan plaza segi delapan sesuai namanya, dan terbelah dua oleh George Street dan Princes Street. Balai kota, i-Site, St. Paul’s Cathedral, pusat informasi, shopping centre, café, bar, dan restoran, semuanya ada di sana. Di tempat ini pula transportasi umum di Dunedin berpusat. The Octagon pertama kali didirikan pada tahun 1846 dan direnovasi besar-besaran pada tahun 1980. Di depan katedral, terdapat sebuah patung penyair Skotlandia, Robert Burns.

Larnach Castle, merupakan sebuah mansion di pinggiran kota Dunedin, dan merupakan salah satu dari sedikit bangunan dengan ukuran yang demikian besar di New Zealand. Nilainya berkisar US$ 600-900 juta saat ini. Bangunan ini didirikan antara tahun 1881 – 1887, sebagai rumah kediaman William Larnach, seorang pengusaha dan politisi ternama di jaman kolonial New Zealand, di atas tanah seluas 10 acre. Bangunan megah ini terdiri atas 43 kamar dan sebuah ballroom. Ballroom ini dibangun pada tahun 1887, dan sedianya merupakan hadiah ulang tahun ke-21 bagi putri kesayangan Larnach, Kate. Namun Kate meninggal pada usia 26 tahun karena penyakit typhoid, dan dikabarkan hantunya menggentayangi ruangan tersebut. Hantu istri pertama Larnach, Eliza, pun dikabarkan bergentayangan di dalam puri dengan empat lantai tersebut. Ternyata megahnya bangunan ini tidak membuat Larnach bahagia, dan setelah mengalami banyak masalah dan kemerosotan finansial, William Larnach bunuh diri pada Oktober 1898. Setelah beberapa kali berganti pemilik, pada tahun 1967, bangunan ini dibeli oleh pasangan Barry dan Margaret Barker. Larnach Castle direnovasi, dan sampai saat ini menjadi tempat yang penting dan banyak diminati oleh wisatawan. Taman-taman di Larnach Castle merupakan satu dari lima taman di New Zealand yang diberi gelar "Garden of International Significance". Kamar-kamar di Larnach Castle pun disewakan untuk penginapan dengan kelas hotel bintang 4. Untuk memesan kamar, akomodasi dan kegiatan lainnya di sekitar Larnach Castle seperti dinner, high tea, sewa tempat untuk pernikahan, kita bisa masuk ke website resminya, http://www.larnachcastle.co.nz

Ah panjang sekali cerita tentang Dunedin ya… sebetulnya malah masih lebih banyak lagi lho, hehehehe… Aku sendiri merasa kota ini termasuk salah satu kota yang paling komersial selain Queenstown.

Setelah selesai di ruang makan, kami kembali ke campervan, mempersiapkan peralatan mandi, lalu mandi di kamar mandi umum untuk menghangatkan tubuh yang seharian kedinginan. Selesai mandi barulah terasa agak hangat. Kami bersantai saja di dalam campervan sambil mengistirahatkan tubuh. Sebetulnya tadinya kami ingin berjalan-jalan ke pusat kota naik bus umum, namun dinginnya udara di luar mengurungkan niat kami bertiga. Saat itu suhu berkisar 0 – 1o Celcius, tapi dinginnya serasa melebihi malam-malam sebelumnya. Angin pun bertiup agak kencang, dan terasa seperti menembus masuk ke dalam campervan, padahal semua pintu dan jendela sudah ditutup rapat.

Suami tercinta tidur pukul 23 malam, sedangkan aku dan putriku baru menyusul sekitar pukul 00.30 dini hari. Mungkin karena sore harinya sudah sempat tertidur, jadi malam itu sampai larut baru bisa tidur. Aku mengenakan jaket, kaos kaki, dan sarung tangan sebelum tidur. Setelah itu tubuh jadi terasa hangat, sehingga bisa tertidur pulas sampai pagi harinya.


To be continued.......

No comments:

Post a Comment