DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Monday, June 12, 2017

IJEN CRATER HIKE 11 Juni 2017

Minggu, 10 Juni 2017



Hari Jumat malam, kami kedatangan seorang tamu couchsurfing dari Macedonia. Namanya Gea, perempuan ceria berusia 30 tahun. Orangnya sangat menyenangkan, enak diajak ngobrol, dan dia benar-benar seorang pecinta alam sejati. Pecinta alam bukan hanya berarti orang yang suka hiking (namun ini juga salah satu hobinya), akan tetapi orang yang betul-betul sangat memperhatikan kelestarian alam.

Kami banyak sekali bertukar cerita dan pengalaman, dan aku belajar banyak hal darinya. Tentang tips-tips hiking dan surviving di alam, hubungan dengan orang lain maupun dengan alam, dan bahkan aku diajari teknik-teknik dasar yoga olehnya.

Gea adalah seorang raw vegan sejati. Dia hanya makan buah dan sayuran mentah. Satu buah pepaya berukuran besar bisa dihabiskan untuk sekali makan. Bahkan sebagian bijinya pun dimakannya! Saat camping di hutan, dia bisa makan daun-daun yang ada di dalam hutan loh! Hehehe... Pokoknya menarik sekali deh kehidupannya ^_^

Karena Gea ingin mencoba mendaki Ijen, maka kami berdua pun menemaninya, karena sebelumnya memang kami berencana ingin ke Ijen, hanya belum menentukan waktunya.

Hari minggu jam 1 pagi, kami berangkat menuju Paltuding, base camp untuk mendaki Ijen. Jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dari rumah, dan melewati jalanan yang cukup menyeramkan. Jalannya berkelak-kelok tajam, gelap, dan banyak tanjakan yang cukup curam. Di jalan bahkan ada sebuah mobil yang mogok di daerah Erek-Erek, tempat yang tanjakannya paling curam.

Sesampainya kami di Paltuding, banyak penjual beanie, jas hujan dan sarung tangan yang menawarkan dagangannya. Beberapa guide pun menawarkan jasanya. Kami sendiri sudah mempunyai guide sendiri, namanya Eko.

Setelah beberapa lama menunggu, mas Eko datang juga, rupanya dia ketiduran, sehingga agak terlambat. Setelah membeli tiket, sekitar pukul 2.30 pagi kami mulai mendaki. Untuk hari kerja, tiket untuk turis lokal hanya Rp 5.000,- dan turis mancanegara Rp. 100.000,- per orang.

Mendaki gunung Ijen selalu terasa berat bagi kami, karena jalannya kebanyakan agak curam, dan pendakian di malam hari membuat kita kekurangan oksigen sehingga mudah kehabisan nafas. Namun kami tetap berjalan dan terus berjalan. Gea sudah kerap kali mendaki gunung, karenanya bagi dia mendaki Ijen adalah hal yang mudah. Gea berjalan mendahului kami dan akan menunggu di puncak.

Suami sempat pusing, sehingga kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Setelah agak baikan, kami melanjutkan berjalan kaki, dan tidak lama kemudian sudah tiba di kantin (pos terakhir di titik 2 km). Aku agak terkejut juga, karena dulu rasanya lamaaaaaa sekali baru sampai di kantin ini. Setelah minum teh, suami jadi semangat lagi, dan bahkan jalannya paling cepat sampai ke puncak ^_^

Kami tiba di puncak Ijen sekitar pukul 4 pagi, lalu bersama Gea yang sudah menanti, langsung ke tangga menuju dasar gunung. Tangganya sangat sempit dan hanya tersusun dari batu-batuan dan pasir atau tanah, gelap sekali, dan kadang sangat curam dan licin sekali. Untung mas Eko sigap membantu setiap kali dibutuhkan. Begitu banyak pengunjung, sehingga kadangkala harus menunggu giliran. Belum lagi sesekali penambang yang lewat dari arah berlawanan membawa pikulannya yang penuh berisi sulfur, sehingga kami harus minggir dan memberi jalan.


Ada sekitar 45 menitan cukup berdebar-debar menuruni tangga tersebut, karena di pinggirnya banyak yang berupa jurang bebatuan. Akhirnya kami sampai di spot untuk melihat blue fire, api abadi yang berwarna biru.

Konon kabarnya, blue fire hanya ada 2 di seluruh muka bumi ini. Yang pertama berada di Iceland, dan yang kedua ada di Ijen. Tidak heran makin lama Ijen makin dikenal oleh turis asing.

Buat kami berdua, blue firenya sendiri memang indah, tapi tidak wow banget. Saat itu keadaan masih gelap, sehingga tidak ada yang bisa dilihat selain blue fire dan kepulan asap dari tambang sulfur.


Perlahan-lahan, suasana mulai agak remang-remang dan semakin terang. Saat itulah mulai terlihat betap indahnya tempat ini. Sekeliling kami berupa dinding bebatuan yang sangat indah, dan danau kawah Ijen mulai menampakkan warna turquoise nya yang cantik.


Setelah memotret pemandangan sekitar dan beberapa selfie, kami kembali ke atas menuju puncak. Jalan naik terasa lebih mudah karena tidak selicin waktu turun. Selain itu ada beberapa spot yang sangat bagus untuk memotret.


Sesampainya kami di atas, kami beristirahat dulu sembari makan bekal yang kami bawa dari rumah, karena asap bercampur kabut sedang sangat tebal sehingga hanya bisa melihat dalam radius dekat. Angin pun bertiup luar biasa kencangnya. Sepertinya banyak pengunjung sampai kedinginan. Mungkin suhu saat itu mencapai 4-6 derajat Celcius. Ternyata long traveling di NZ kemarin membuatku jadi lebih kebal terhadap udara dingin. Dulu kalau ke Ijen selalu tidak tahan terhadap dinginnya, tapi kali ini biasa saja ^_^




Tadinya aku sudah pesimis tidak akan bisa melihat danau/kawah dari puncaknya. Namun perlahan-lahan asap dan kabut mulai terkuak, dan matahari pun tampak menyinari dinding kawah. Lama-kelamaan danau di dalam kawah dan perbukitan di belakang kami pun tampak dengan jelas. Waaah indah sekali ^_^




Kami pun berjalan menyusuri puncak sampai beberapa ratus meter jauhnya. Lalu tampak di kejauhan, di arah pulang, awan putih tampak sangat tebal, sepertinya hujan. Maka kami pun berjalan kembali ke arah pulang. Kabut yang sangat tebal membawa tetesan-tetesan air yang sangat halus. Kilometer pertama menuruni puncak sampaj di kantin, kabutnya benar-benar luar biasa tebalnya, keren banget loh!


Kami sempat ngopi dulu di kantin sampai sekitar pukul 7.45, lalu turun ke arah parkiran. Dulu kalau turun pun masih pake banyak berhenti untuk istirahat, namun kali ini benar-benar nonstop. Jarak 2 km ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit saja. Ditambah lagi hujan turun walau tidak terlalu deras, wah... makin seru dan menyenangkan rasanya.

Sesampai di parkiran, kami membereskan peralatan, lalu beranjak keluar dari parkiran. Kali ini kami diundang oleh mas Eko untuk mampir ke rumahnya.

Rumah mas Eko cukup jauh dan agak blusukan ke desa. Bangunannya sangat sederhana, lantainya pun hanya berupa tanah liat. Kami bertukar cerita dan mengobrol hampir satu jam lamanya. Istri mas Eko menyuguhi kami kopi dari kebun mereka sendiri. Kopinya enak sekali, karena tanpa ditambahi campuran ini dan itu seperti yang banyak dijual di mana-mana.

Mas Eko ini sudah menjadi guide langganan kami semenjak pertama kali naik Ijen. Orangnya baik dan sabar. Sebetulnya tanpa guide pun kami bisa jalan sendiri, karena sekarang ini Ijen menjadi salah satu obyek wisata yang cukup favorit bagi turis manca negara. Jadi setiap malam selalu ramai dengan turis asing, dan kebanyakan mereka pun memakai jasa guide, atau mereka ikut open trip dari agen wisata, dan pasti disediakan guide. Jadi kalau mau, bisa mengikuti rombongan-rombongan tersebut.

Namun demikian, kami mempunyai misi lain. Mas Eko dan kebanyakan guide lainnya (kecuali guide yang dari rombongan hotel atau pribadi), mereka rata-rata aslinya adalah pekerja tambang sulfur/belerang di Ijen. Penghasilan mereka sangat minim. Dua tahun lalu, per kg sulfur dihargai Rp 925,-. Para penambang memikul sulfur padat dengan hanya pikulan bambu tradisional. Sekali pikul dengan 2 buah keranjang, beratnya berkisar 50kg sampai lebih dari 100kg, tergantung kekuatan mereka. Mereka harus naik dulu ke puncak, lalu turun ke dasar untuk mengambil sulfur yang sudah padat, lalu naik lagi ke puncak, dan turun sampaj parkiran mobil. Total jaraknya sekitar 7.6 km PP. Dan terkadang mereka melakukannya 2-3 kali dalam sehari. Terkadang kalau sedang apes, sepeda motor mogok atau sakit, mereka tidak bisa membawa pulang uang yang mereka dapatkan ke rumah. Sungguh mengenaskan sekali.

Saat itu, mereka pun menawarkan jasa mengangkut orang dengan pikulan, biasanya ini buat turis yang manja dan ingin tiba di puncak tanpa harus merasa lelah.Per orang dikenai tarif Rp 400.000,- pulang pergi, dan hasilnya dibagi 2, karena dipikul oleh 2 orang.


Setelah itu mulai ada beberapa penambang yang mengganti pikulan dengan dorongan, seperti gerobak kecil. Mereka menyebutnya troli atau taksi. Dengan troli ini mereka bisa membawa lebih banyak sulfur dengan harapan bisa membawa pulang uang lebih banyak. Mereka tetap harus menambang di dasar dan mengangkutnya dengan pikulan, namun sampai puncak, semua sulfur dipindahkan ke troli. Kadang sulfur dipukul-pukul, dipecah agar lebih kecil ukurannya, lalu dimasukkan ke dalam karung, baru dimuat ke troli, supaya lebih banyak yang bisa dibawa. Namun troli ini sendiri tidak murah, harganya sekitar 1,5 juta rupiah. Sangat mahal bagi mereka, jadi masih jarang sekali penambang yang memakai troli.


Dua tahun berlalu semenjak itu, dan kehidupan para penambang masih belum jauh berbeda. Hari ini harga sulfur jadi Rp 1.000,-/kg. Mereka masih tetap harus mengais rejeki dengan susah payah, karenanya banyak di antara mereka yang bekerja sambilan atau bahkan beralih profesi sebagai guide. Penambang yang menggunakan troli sudah cukup banyak, namun masih ada beberapa yang masih memikul hasil sulfur yang mereka peroleh. Bagi yang memiliki troli, mereka pun menawarkan jasa naik "taksi" untuk turis yang tidak kuat berjalan. Biayanya Rp. 600.000,- per orang untuk pulang pergi. Itu pun masih dibagi 2 orang, karena seorang bertugas mendorong taksinya, dan seorang lagi menarik dari depan.

Mas Eko sendiri sudah menjadi penambang selama 10 tahun lebih. Usianya saat ini baru 30 tahun. Putra pertamanya berusia 10 tahun, yang kedua berusia 20 bulan. Terkadang rasanya ironis sekali, saat berada di dasar kawah, para penambang berpeluh memikul sulfur, sementara para turis sibuk selfie. Bahkan kadang ada penambang yang diajak selfie dengan tetap memikul bebannya, tanpa diberi imbalan apa pun.

Karena itulah, kami berharap dengan menggunakan jasanya, kami bisa sedikit membantu perekonomian mas Eko dan keluarganya.

Overall pendakian ke Ijen kali ini sangat berkesan, karena kami bisa melihat blue fire, dapat view kawah dan danau dari puncak, dan perjalanan turun tidak sedikit pun kepanasan. Aku sangat bersyukur masih diberi kaki yang bisa kuat dipakai untuk berjalan mendaki tempat yang indah ini... ^_^

Selamat bertualang! ^_^

No comments:

Post a Comment