11 April 2018
Aku memasang alarm di HP untuk jam 4.30 pagi, karena hari ini kami akan naik bus jam 9 pagi menuju ke Hanoi. Bangun dari tidur dalam keadaan masih agak mengantuk, aku melakukan rutinitas pagi dan masak nasi untuk makan siang dan malam nanti. Suami pun bangun agak pagi agar kami tidak perlu terlalu terburu-buru nanti.
Setelah mandi, jam 6.30 pagi kami sudah turun ke lantai dasar untuk sarapan. Seperti kemarin-kemarin, kami memilih menu pancake yang hari ini juga diberi topping buah nanas. Menjelang jam 7 pagi, sarapan sudah siap, dan kami makan dengan lahap. Pagi ini juga ada beberapa tamu lain yang sarapan namun kami tidak terlalu banyak mengobrol dengan mereka, dan usai sarapan kami segera naik kembali ke dalam kamar, mandi, dan bersiap-siap.
Jam 8 pagi kami sudah turun lagi untuk menyelesaikan pembayaran dan sekaligus check-out dari hostel. Total yang kami bayarkan adalah VND 869K (2 tiket boat tour @ VND 250K dan biaya kamar 3 hari @ VND 123K). Kami juga diberi dua kaleng beer sebagai bonus boat tour kemarin. Di sinilah kami bertemu kembali dengan Rez dan Fini, yang sepertinya sedang sarapan. Karena mereka menanyakan transportasi yang akan kami gunakan menuju ke Hanoi, kami mengajak mereka untuk sekalian ikut dengan kami agar bisa langsung bertanya harganya (karena mereka akan pergi ke kota lain). Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada Vi dan keluarganya, jam 8.15 pagi kami berdua melangkahkan kaki meninggalkan Victor Charlie Hostel dan segera berjalan kaki menuju ke Full Moon Party Hotel bersama Rez dan Fini.
Sempat mengobrol banyak dengan mereka sepanjang berjalan kaki, dan menjelang jam 8.30 pagi kami sudah sampai di Full Moon party Hotel. Karena bus yang akan kami naiki masih belum datang, kami menyempatkan diri berfoto bersama Rez dan Fini, dan setelah itu mereka berdua berpamitan. Kami duduk di kursi-kursi di depan hotel sembari memperhatikan keadaan sekitar. Selain kami tampaknya ada beberapa orang lain yang juga menunggu bus di sini. Aku juga masih sempat menumpang ke toiletnya yang bersih.
Sekitar jam 8.45 pagi, sepertinya bus yang akan kami naiki datang. Busnya tidak terlalu besar dengan tulisan Full Moon Party Hotel tertera di kedua sisinya. Tidak lama sesudahnya, para penumpang dipersilakan naik ke dalam bus, dan kami memilih duduk agak di depan, seperti biasanya. Kondisi di dalam bus relatif bersih dan tempat duduknya juga cukup nyaman. Pada saat bus berangkat jam 9.05 pagi dari depan hotel, hanya ada 4 orang yang mengisi kursi-kursi di dalam bus ini. Selama beberapa menit berikutnya, bus memutari kota Cat Ba dan makin lama makin banyak kursi yang terisi walaupun tidak sampai penuh semua. Selain orang lokal, lagi-lagi kami menjadi satu-satunya turis Asia di dalam bus ini. Karena masih mengantuk, aku berusaha untuk tidur di pangkuan suami.
Sekitar jam 10 pagi, bus sampai di pelabuhan yang akan menyeberang ke Cat Hai. Lokasinya berbeda dengan waktu kami pertama kali sampai di Cat Ba. Para penumpang menunggu di dalam semacam bangunan di mana berderet penjual makanan dan minuman di sepanjang salah satu sisinya. Di luar bangunan yang tidak terlalu besar ini juga ada beberapa penjual ikan asin. Aku sempat ke toilet umum yang ada di sini, dan lagi-lagi menemukan toilet yang tanpa pintu, namun kali ini ada sekat-sekatnya walaupun tidak terlalu tinggi. Aku memilih masuk ke dalam toilet yang perpintu, tentunya hehehehe...
Sekitar jam 10.15 tampak sebuah kapal ferry yang cukup besar berlabuh di sini, dan ternyata ferry inilah yang akan membawa kami menyeberang. Kali ini kapalnya cukup besar karena bisa muat beberapa mobil, tidak seperti waktu ke Cat Ba kemarin, namun masih lebih kecil daripada ferry dari Banyuwangi ke Bali.
Semua penumpang berjalan kaki masuk ke dalam ferry, sebagian besar penumpang (bule) memilih untuk duduk di lantai atas yang ada kedai-kedainya, dan sisanya termasuk kami memilih untuk berada di bawah saja, berdiri atau jongkok karena tidak ada tempat duduknya sama sekali. Beberapa menit kemudian ferry sudah berlayar melalui perairan yang tampak tenang. Bersama kami di lantai dasar, ada beberapa pengendara sepeda motor, dan ada satu yang membawa anak-anak itik di dalam kurungan. Lucu sekaligus kasihan sekali melihat mereka berdesakan di dalam sebuah kurungan kecil ini.
Sekitar jam 10.45, ferry yang kami naiki berlabuh di Cat Hai Island, dan setelah kendaraan yang terparkir di dalam ferry turun barulah para pejalan kaki turun. Kami diarahkan menuju ke sebuah bus, dan kondisi di dalamnya mirip dengan sebelumnya. Setelah semua penumpang naik, bus segera berangkat menuju ke Hanoi.
Sekitar jam 1 siang, bus sudah menyeberangi jembatan Cau Curong Durong di kota Hanoi menuju ke Old Quarter yang ramai dan padat lalu lintasnya. Seharusnya bus bisa berhenti untuk menurunkan penumpang di beberapa lokasi termasuk di dekat Hoan Kiem Lake seperti yang kuharapkan, namun sepertinya sang driver takut berhenti di sana karena katanya takut ditilang polisi. Jadi akhirnya bus terus melaju sampai ke depan St. Joseph Cathedral, yang ternyata justru membuat perjalanan kami ke penginapan yang sudah kami booking menjadi lebih dekat. Saat kami turun dari bus, waktu sudah menunjukkan jam 1.20 siang, dan dengan menggunakan Google Map kami berdua langsung berjalan menuju ke penginapan kami malam ini.
Melalui jalan-jalan kecil di Old Quarter di Hanoi ini rasanya menyenangkan sekali. Memang suasananya terasa ramai dan sangat-sangat touristy, namun tetap menyenangkan. Sepanjang jalan, di kanan kiri berjejer segala macam toko, rumah-rumah makan, penginapan, cafe, dan tour agent. Banyak juga pedagang kaki lima yang berseliweran menawarkan berbagai macam street food atau souvenir.
Kami tidak terlalu menghiraukan para penjual ini, hingga akhirnya ada seorang gadis muda yang "memberikan" makanan semacam roti goreng mungil berbalut gula kepadaku. Karena memang kondisi kami cukup lapar sehingga tidak terlalu ngeh, aku menerima dan memakannya bersama suami. Rasanya okelah, not bad. Aku merasa bahwa setelah "mencicipi" kami harus membeli dari gadis ini. Waktu kutanya berapa harganya, dia menjawab VND 25K, yang tentu saja kubilang tidak mau. Aku hanya mau kalau harganya VND 5K, dan setelah tawar-menawar, aku mau VND 10K saja dan dengan sedikit bersungut-sungut si gadis memberikan lagi 3 buah kue yang serupa kepadaku. Sepertinya aku nyaris kena scam deh... beruntung hanya VND 10K dan masih dapat total 4 buah roti goreng biarpun ukurannya agak mini hehehehe...
Dari sini kami tidak lagi mau ditawari apa pun selama di jalan, dan langsung menuju ke penginapan. Tidak terlalu sulit mencarinya walaupun harus masuk ke dalam sebuah gang. Sewaktu mencari penginapan untuk di Hanoi beberapa hari lalu, penginapan ini adalah private room dengan private bathroom termurah yang bisa kami dapatkan di aplikasi booking.com. Sekitar jam 1.30 siang akhirnya kami sampai di tujuan, Nha Nghi Thu Giang.
Resepsionis yang menyambut kami sepertinya putri pemilik penginapan, usianya sekitar 30-an. Paspor kami difoto, kemudian dikembalikan. Setelah itu kami diberi kunci kamar, dan dipersilakan check-in. Pelayanannya cukup baik dan ramah walaupun terasa agak kaku.
Lagi-lagi kami mendapat kamar di lantai 4, dan kali ini anak tangganya agak curam-curam, sehingga baru sampai di depan kamar saja rasanya sudah cukup ngos-ngosan. Memasuki kamar, keadaannya sesuai dengan apa yang ada di foto-foto yang kami lihat sebelumnya. Kamarnya sempit, dengan sebuah ranjang dengan selimut yang hanya berupa kain saja. Ada sebuah kulkas kecil dan dua buah kipas angin (besar dan kecil), serta sebuah LCD TV di dinding. Walaupun ada AC yang juga terpasang di dinding, tapi kami tidak diberi remote karena untuk AC ada biaya tambahan yang harus dibayar, padahal tidak disebutkan demikian saat akan booking. Kamar mandinya cukup modern walaupun cukup sempit juga, lengkap dengan pemanas air. Handuk dan tissue disediakan di dalamnya. Yang pasti, kasurnya keras sekali di kamar ini hiks...
Kami agak kesulitan menata barang karena sisa ruang yang ada sangat sempit, jadi benar-benar ditata seadanya dan sebisanya. Karena sudah lapar, aku segera masak lauk dengan bahan-bahan yang tersisa menggunakan electric kettle sementara suami mandi, dan setelah aku mandi kami berdua makan siang.
Usai makan siang, kami bersiap-siap. Jam 2.50 siang kami sudah keluar dari kamar dan menuruni tangga, kemudian keluar dari penginapan untuk jalan-jalan di sekitar Old Quarter.
Pertama-tama kami menuju ke St. Joseph Cathedral, karena gereja ini memang menjadi salah satu ikon di tempat ini. Hanya butuh waktu sekitar 5-6 menit untuk kami sampai ke gereja, mungkin karena perut sudah kenyang dan tidak lagi membawa beban berat di pundak hehehehe...
Cathedral ini ternyata dibuka untuk umum/turis, jadi kami masuk ke dalamnya.
St. Joseph's Cathedral (Vietnamese: Nhà thờ Lớn Hà Nội, Nhà thờ Chính tòa Thánh Giuse; French: Cathédrale Saint-Joseph) adalah sebuah gereja di 40 Nha Chung Street di Hoàn Kiếm District di Hanoi, Vietnam. Gereja Gothic Revival (bergaya Neo-Gothic) dari akhir abad ke-19 ini berfungsi sebagai katedral dari Keuskupan Agung Katolik Roma Hanoi bagi hampir 4 juta umat Katolik di negara ini.
Konstruksinya dimulai pada tahun 1886, dengan gaya arsitektur yang menyerupai Notre Dame di Paris. Gereja ini merupakan salah satu bangunan pertama yang dibangun oleh pemerintah kolonial Perancis di Indochina, dan mulai digunakan pada bulan Desember 1886. Gereja ini adalah gereja tertua di Hanoi dan masih tetap beroperasi karena jumlah komunitas warga Katolik yang cukup banyak di kota ini.
Pada tahun 1975 katedral ini sempat ditutup karena reunifikasi Vietnam, dan baru dibuka kembali pada tahun 1990.
Dulunya, untuk membangun katedral ini bangsa Perancis merobohkan Bao Thien pagoda yang berdiri sebelumnya. Jendela-jendela yang terbuat dari stained glass terpasang di dalamnya, sehingga sinar matahari yang masuk memberikan nuansa yang khas dan menakjubkan. Dua buah menara lonceng yang hingga saat ini masih aktif tingginya mencapai 31,5 meter. Katedral ini juga menjadi tempat yang populer untuk tempat foto pre-wedding.
Alun-alun di sekitar katedral sendiri menjadi tempat yang populer untuk nongkrong bagi para penduduk lokal. Di sekitarnya banyak berdiri cafe dan tempat-tempat makan.
Untuk jam bukanya:
- Senin - Sabtu : 08:00–11:00, 14:00-17:00
- Minggu : 07:00-11:30, 15:00-21:00
Tidak dipungut biaya untuk masuk ke dalamnya.
Katedral ini memliki panjang 64,5 meter, lebar 20,5 meter, dan tinggi 31,5 meter. Dinding eksteriornya terbuat dari lempengan batu granit.
Kami berdua memotret eksterior dan interior katedral ini, dan sempat duduk sejenak di bangku umat. Aku bahkan sempat berdoa sejenak, menyampaikan rasa syukur yang tak terhingga karena bisa berada di tempat ini hingga air mata menetes tanpa terasa.
Baru sekitar jam 3.20 sore kami keluar dari dalam katedral dan melihat suasana sekitar yang cukup ramai. Kami berjalan keluar dari halaman katedral dan melanjutkan berjalan kaki menuju ke Hoan Kiem Lake.
Hanya berjalan kaki beberapa menit saja, kami sudah berada di dekat danau, dan suami mencoba membeli minuman di sebuah vending machine yang tersedia. Dia membeli sebotol air putih seharga VND 5K dan satu buah kopi kalengan seharga VND 15K. Lucu juga, karena ini pertama kalinya kami mencoba membeli minuman lewat mesin ^_^
Kami berjalan-jalan mengitari Hoan Kiem Lake dan sempat nongkrong di tepiannya. Danaunya sendiri biasa saja kok, tidak ada yang istimewa. Di tepi danau disediakan banyak bangku untuk duduk-duduk para pengunjung. Ada beberapa air mancur kecil yang memancar di tengah danau. Ada beberapa toilet umum gratis juga di sekeliling danau.
Kami sempat menyaksikan seorang laki-laki lokal berusian sekitar 30-an yang sedang membuat kerajinan, entah dari bambu atau rotan, dan dibuat menjadi berbagai macam bentuk yang unik. Dia tampak sedang membuat kemasan dari mika untuk memajang hasil kerajinannya. Secara keseluruhan, suasana di sekitar danau ini tampak ramai dengan orang-orang, baik pengunjung lokal maupun turis asing.
Kami melihat sebuah kebun yang dipenuhi oleh bunga berwarna putih, lalu kebun bunga yang berwarna merah dan putih. Setelah itu, tanpa disangka-sangka, kami bertemu kembali dengan Felipe dan Karina dari Chile! Kami hanya mengobrol sebentar saja, saling bertukar Facebook, dan kemudian mengucapkan salam perpisahan. Dari sini, kami kembali berjalan di sekitar danau, dan kemudian saat melihat ada lapangan terbuka di seberang jalan, kami memutuskan untuk menyeberang. Saat menyeberang jalan inilah suami memvideokanku.
Jadi begini, bagi orang bule dari negara-negara maju di mana lalu lintas pada umumnya serba teratur di negara mereka, mereka akan kaget melihat betapa kacaunya lalu lintas di Vietnam, terutama di Hanoi dan Ho Chi Minh. Begitu banyak sepeda motor dan kendaraan lain yang memenuhi jalan, hingga pejalan kaki tidak dihiraukan. Karenanya sempat ada video entah sungguhan entah sekedar kelakar, yang mengajarkan bagaimana cara menyeberang jalan di Vietnam, yaitu dengan berjalan lurus tanpa menoleh ke kanan maupun ke kiri hahahaha.... Memang cara ini sebetulnya berbahaya, tapi sejak di Ho Chi Minh kami mengamati bahwa para pengendara (terutama sepeda motor) pada umumnya tidak akan menabrak para pejalan kaki yang menyeberang jalan. Mereka akan dengan lincah membelokkan kemudi untuk menghindari orang yang akan menyeberang. Dan itulah yang kupraktekkan di Hanoi ini, walaupun tidak sepenuhnya tidak melihat kanan kiri. Tetap kita harus waspada juga, terutama apabila ada mobil atau bus yang akan melintas. Sebetulnya sama saja dengan menyeberang jalan di Indonesia kok, malah di negeri kita sendiri pengendara sepeda motor jarang sekali mau memberi jalan kepada para pejalan kaki yang akan menyeberang, bahkan cenderung menambah kecepatan :(
Kami sampai di Ly Thai To Monument, yang dibuat untuk mengenang Ly Thai To, salah satu tokoh pendiri dinasti Ly di Vietnam. Di tempat ini tampak ada beberapa anak muda yang sedang belajar bermain skate board. Senang sekali melihat anak-anak muda yang menghabiskan waktu mereka dengan kegiatan yang positif seperti ini.
Setelah beberapa saat berada di area ini, kami kembali menyeberang jalan dengan gaya Vietnam, dan kembali menyusuri Hoan Kiem Lake. Lalu lintas bisa dibilang sangat ramai dan serasa tiada henti kendaraan yang lewat. Sempat pula melihat sepasang muda-mudi yang sepertinya sedang melakukan sesi foto pre-wedding di tepi danau. Ada pula seorang laki-laki dengan disabilitas yang tampak menjual kartu-kartu ucapan tiga dimensi. Kasihan sekali melihatnya...
Kemudian kami berjalan lagi hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga berwarna merah. Setelah berfoto sejenak di tempat ini, kami berjalan lagi dan tiba di jembatan The Huc yang menuju ke kuil Ngoc Son. Ternyata untuk masuk ke kuilnya harus membeli tiket, sementara tampak suasananya penuh dengan turis, jadi kami urung menuju ke kuil, dan hanya berada di sekitaran pintu gerbang saja hehehehe...
Hoan Kiem Lake (Vietnamese: Hồ Hoàn Kiếm, Hán tự: 湖還劍, artinya "Lake of the Returned Sword" atau "Lake of the Restored Sword"), juga dikenal debagai Hồ Gươm (Sword Lake/Danau Pedang), merupakan sebuah danau di pusat historis Hanoi, ibukota Vietnam. Danau ini merupakan salah satu pusat turis utama dan berfungsi sebagai salah satu pusat kehidupan bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut legenda, di awal tahun 1428 Kaisar Lê Lợi sedang berperahu di danau ini ketika seekor Dewa Kura-Kura Emas (Kim Qui) menyembul ke permukaan dan meminta pedang sakti sang kaisar. Lợi menyimpulkan bahwa Kim Qui datang untuk mengambil kembali pedang yang aslinya dimiliki oleh Dragon King (Long Vương), yang selama ini sudah dipakainya untuk melawan Kaisar Ming dari China. Setelah mengusir orang-orang China, Kaisar Lợi mengembalikan pedang yang dipakainya tersebut, dan setelah itu untuk mengenang peristiwa ini danaunya diberi nama Hoan Kiem setelah sebelumnya bernama Luc Thuy ("Green Water"). Menara Kura-Kura (Tháp Rùa) yang berdiri di atas sebuah pulau kecil di dekat pusat danau dihubungkan dengan legenda ini.
Ada beberapa ekor kura-kura bercangkang lunak dari species Rafetus swinhoei (dinamai juga species Rafetus leloi untuk menghormati sang kaisar Le Loi) yang pernah terlihat di permukaan danau ini selama bertahun-tahun. Pada 19 Januari 2016 ditemukan seekor kura-kura yang mati di danau ini, dan dipercaya masih ada 3 ekor lagi yang masih hidup di danau ini. Menarik ya?
Di dekat tepi utara danau terletak Jade Island, di mana Temple of the Jade Mountain (Ngoc Son Temple) berdiri. Kuil ini didirikan pada abad ke-18 untuk menghormati pemimpin militer Tran Hung Dao. Jade Island terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang dicat berwarna merah, The Huc Bridge/Cầu Thê Húc (The Huc artinya sinar matahari pagi).
Keluar dari area ini, kami berjalan kaki hingga ke ujung utara danau, dan memasuki jalan-jalan kecil di sekitarnya. Kami menemukan sebuah mini market, Circle K, dan membeli beberapa buah Indomie Goreng di tempat ini. Satu bungkus Indomie Goreng Rendang atau Iga Penyet dihargai VND 6K.
Setelah itu kami berjalan lagi dan tertarik untuk membeli sebuah lumpia goreng ala Vietnam seharga VND 5K. Isinya hanya sayuran, karenanya relatif agak murah. Di beberapa tempat lain banyak dijual lumpia goreng yang berisi daging atau udang, dan rata-rata harganya VND 10K atau lebih. Kami pilih yang murah-murah saja deh hahahaha....
Jeleknya membeli gorengan di sini adalah sangat berminyak sekali. Walaupun sudah ditiriskan dan diberi tissue, masih terasa berminyak sekali. Mungkin di Indonesia sebetulnya juga sama ya, namun kami sudah terlalu lama tidak pernah membeli gorengan sehingga lupa seperti apa. Terakhir kali membeli sendiri gorengan mungkin sudah lebih dari 10 tahun hehehehe...
Sepanjang berjalan kaki terlihat juga ada beberapa penjual berbagai macam gorengan. Oya ternyata ada juga lho potong rambut bawah pohon di sini. Benar-benar mirip dengan kehidupan di Indonesia deh! Ada juga penjual lumpia goreng yang sekaligus menjual daging mentah. Banyak hal-hal unik yang kami lihat di sini.
Berjalan kaki menuju ke Night Market, kami justru menemukan pasar tradisional di jalan Cho Cau Go. Aku sampai memberikan tanda di Google Map agar tidak melupakan lokasi tempat ini. Awalnya hanya tampak beberapa penjual bunga segar (yang katanya berasal dari Da Lat), lalu kemudian tampak toko-toko yang menjual berbagai sayuran hingga aneka macam lauk-pauk matang. Wah... untuk cuci mata benar-benar surga deh hehehehe...
Kami sempat membeli 1 kg jeruk nipis seharga VND 45K di sebelah para penjual lauk-pauk yang menggiurkan ini. Banyak pula warung dan toko-toko kecil yang menjual berbagai macam bumbu dan kebutuhan dapur lainnya. Menyusuri jalanan di pasar ini,kami sampai di sebuah mini market lokal, Vin Mart, dan masuk ke dalamnya. Di sini kami membeli kopi instan Nescafe Cafe Viet (VND 55K isi 20 sachet) dan sekaleng Highlands Coffee (VND 12K). Pada umumnya harga-harga di mini market lokal lebih murah daripada mini market asing. Dari Vin Mart kami berjalan menuju ke arah penginapan karena waktu sudah menunjukkan jam 5.10 sore. Di jalan kami melihat seorang penjual gorengan dan suami ingin membeli (gorengan yang tampak seperti) pisang goreng. Per buahnya dihargai VND 5K, dan suami membeli dua buah. Saat dimakan, memang sih pisang goreng, tapi kata suami rasanya aneh, pisang goreng teraneh yang pernah dia makan, katanya hahahaha... Sebetulnya tidak buruk-buruk amat rasanya, hanya memang agak berbeda dari biasanya sih... Sempat pula membeli sebuah donat seharga VND 10K di sebuah bakery.
Melalui bundaran dan jalan raya utama di sisi Hoan Kiem Lake, lalu lintas tampak semakin ramai dan kacau balau. Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, akhirnya kami sampai kembali di penginapan, masih harus naik pula sampai ke lantai 4 hingga habis rasanya nafas hahahaha....
Lega sekali rasanya sampai di kamar yang kecil dan pengap ini. Suami mandi sementara aku masak dengan bahan seadanya, daging babi dan tomat. Usai mandi, kami berdua makan malam dengan lahap, dan kemudian jam 6.40 petang kami sudah kembali turun dan berjalan kaki untuk membeli alkohol buatku hehehehe... Kami menyusuri jalanan dan gang-gang kecildi dekat area rumah sakit, hingga akhirnya menemukan sebuah toko kecil yang menjual Vodka Hanoi dengan harga cukup murah, VND 80K. Setelah itu kami pulang kembali ke penginapan.
Kami sampai di penginapan, mendaki lagi berpuluh anak tangga, dan kemudian sampai di kamar sekitar jam 7.30 malam. Suami beristirahat sementara aku mengerjakan pembukuan di laptop kecilku. Kasur yang kami dapat malam ini sungguh keras sekali, entah apakah kami bisa tidur atau tidak malam ini hahahaha...
Jam 9 malam, kami berdua beranjak tidur karena kondisi tubuh yang cukup lelah. Hari ini kami berjalan sejauh 10 KM, lumayan untuk olahraga membakar lemak dari gorengan-gorengan yang dimakan hari ini hahahaha...
To be continued.......
Setelah mandi, jam 6.30 pagi kami sudah turun ke lantai dasar untuk sarapan. Seperti kemarin-kemarin, kami memilih menu pancake yang hari ini juga diberi topping buah nanas. Menjelang jam 7 pagi, sarapan sudah siap, dan kami makan dengan lahap. Pagi ini juga ada beberapa tamu lain yang sarapan namun kami tidak terlalu banyak mengobrol dengan mereka, dan usai sarapan kami segera naik kembali ke dalam kamar, mandi, dan bersiap-siap.
Jam 8 pagi kami sudah turun lagi untuk menyelesaikan pembayaran dan sekaligus check-out dari hostel. Total yang kami bayarkan adalah VND 869K (2 tiket boat tour @ VND 250K dan biaya kamar 3 hari @ VND 123K). Kami juga diberi dua kaleng beer sebagai bonus boat tour kemarin. Di sinilah kami bertemu kembali dengan Rez dan Fini, yang sepertinya sedang sarapan. Karena mereka menanyakan transportasi yang akan kami gunakan menuju ke Hanoi, kami mengajak mereka untuk sekalian ikut dengan kami agar bisa langsung bertanya harganya (karena mereka akan pergi ke kota lain). Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada Vi dan keluarganya, jam 8.15 pagi kami berdua melangkahkan kaki meninggalkan Victor Charlie Hostel dan segera berjalan kaki menuju ke Full Moon Party Hotel bersama Rez dan Fini.
Sempat mengobrol banyak dengan mereka sepanjang berjalan kaki, dan menjelang jam 8.30 pagi kami sudah sampai di Full Moon party Hotel. Karena bus yang akan kami naiki masih belum datang, kami menyempatkan diri berfoto bersama Rez dan Fini, dan setelah itu mereka berdua berpamitan. Kami duduk di kursi-kursi di depan hotel sembari memperhatikan keadaan sekitar. Selain kami tampaknya ada beberapa orang lain yang juga menunggu bus di sini. Aku juga masih sempat menumpang ke toiletnya yang bersih.
Sekitar jam 8.45 pagi, sepertinya bus yang akan kami naiki datang. Busnya tidak terlalu besar dengan tulisan Full Moon Party Hotel tertera di kedua sisinya. Tidak lama sesudahnya, para penumpang dipersilakan naik ke dalam bus, dan kami memilih duduk agak di depan, seperti biasanya. Kondisi di dalam bus relatif bersih dan tempat duduknya juga cukup nyaman. Pada saat bus berangkat jam 9.05 pagi dari depan hotel, hanya ada 4 orang yang mengisi kursi-kursi di dalam bus ini. Selama beberapa menit berikutnya, bus memutari kota Cat Ba dan makin lama makin banyak kursi yang terisi walaupun tidak sampai penuh semua. Selain orang lokal, lagi-lagi kami menjadi satu-satunya turis Asia di dalam bus ini. Karena masih mengantuk, aku berusaha untuk tidur di pangkuan suami.
Sekitar jam 10 pagi, bus sampai di pelabuhan yang akan menyeberang ke Cat Hai. Lokasinya berbeda dengan waktu kami pertama kali sampai di Cat Ba. Para penumpang menunggu di dalam semacam bangunan di mana berderet penjual makanan dan minuman di sepanjang salah satu sisinya. Di luar bangunan yang tidak terlalu besar ini juga ada beberapa penjual ikan asin. Aku sempat ke toilet umum yang ada di sini, dan lagi-lagi menemukan toilet yang tanpa pintu, namun kali ini ada sekat-sekatnya walaupun tidak terlalu tinggi. Aku memilih masuk ke dalam toilet yang perpintu, tentunya hehehehe...
Sekitar jam 10.15 tampak sebuah kapal ferry yang cukup besar berlabuh di sini, dan ternyata ferry inilah yang akan membawa kami menyeberang. Kali ini kapalnya cukup besar karena bisa muat beberapa mobil, tidak seperti waktu ke Cat Ba kemarin, namun masih lebih kecil daripada ferry dari Banyuwangi ke Bali.
Semua penumpang berjalan kaki masuk ke dalam ferry, sebagian besar penumpang (bule) memilih untuk duduk di lantai atas yang ada kedai-kedainya, dan sisanya termasuk kami memilih untuk berada di bawah saja, berdiri atau jongkok karena tidak ada tempat duduknya sama sekali. Beberapa menit kemudian ferry sudah berlayar melalui perairan yang tampak tenang. Bersama kami di lantai dasar, ada beberapa pengendara sepeda motor, dan ada satu yang membawa anak-anak itik di dalam kurungan. Lucu sekaligus kasihan sekali melihat mereka berdesakan di dalam sebuah kurungan kecil ini.
Sekitar jam 10.45, ferry yang kami naiki berlabuh di Cat Hai Island, dan setelah kendaraan yang terparkir di dalam ferry turun barulah para pejalan kaki turun. Kami diarahkan menuju ke sebuah bus, dan kondisi di dalamnya mirip dengan sebelumnya. Setelah semua penumpang naik, bus segera berangkat menuju ke Hanoi.
Sekitar jam 1 siang, bus sudah menyeberangi jembatan Cau Curong Durong di kota Hanoi menuju ke Old Quarter yang ramai dan padat lalu lintasnya. Seharusnya bus bisa berhenti untuk menurunkan penumpang di beberapa lokasi termasuk di dekat Hoan Kiem Lake seperti yang kuharapkan, namun sepertinya sang driver takut berhenti di sana karena katanya takut ditilang polisi. Jadi akhirnya bus terus melaju sampai ke depan St. Joseph Cathedral, yang ternyata justru membuat perjalanan kami ke penginapan yang sudah kami booking menjadi lebih dekat. Saat kami turun dari bus, waktu sudah menunjukkan jam 1.20 siang, dan dengan menggunakan Google Map kami berdua langsung berjalan menuju ke penginapan kami malam ini.
Melalui jalan-jalan kecil di Old Quarter di Hanoi ini rasanya menyenangkan sekali. Memang suasananya terasa ramai dan sangat-sangat touristy, namun tetap menyenangkan. Sepanjang jalan, di kanan kiri berjejer segala macam toko, rumah-rumah makan, penginapan, cafe, dan tour agent. Banyak juga pedagang kaki lima yang berseliweran menawarkan berbagai macam street food atau souvenir.
Kami tidak terlalu menghiraukan para penjual ini, hingga akhirnya ada seorang gadis muda yang "memberikan" makanan semacam roti goreng mungil berbalut gula kepadaku. Karena memang kondisi kami cukup lapar sehingga tidak terlalu ngeh, aku menerima dan memakannya bersama suami. Rasanya okelah, not bad. Aku merasa bahwa setelah "mencicipi" kami harus membeli dari gadis ini. Waktu kutanya berapa harganya, dia menjawab VND 25K, yang tentu saja kubilang tidak mau. Aku hanya mau kalau harganya VND 5K, dan setelah tawar-menawar, aku mau VND 10K saja dan dengan sedikit bersungut-sungut si gadis memberikan lagi 3 buah kue yang serupa kepadaku. Sepertinya aku nyaris kena scam deh... beruntung hanya VND 10K dan masih dapat total 4 buah roti goreng biarpun ukurannya agak mini hehehehe...
Dari sini kami tidak lagi mau ditawari apa pun selama di jalan, dan langsung menuju ke penginapan. Tidak terlalu sulit mencarinya walaupun harus masuk ke dalam sebuah gang. Sewaktu mencari penginapan untuk di Hanoi beberapa hari lalu, penginapan ini adalah private room dengan private bathroom termurah yang bisa kami dapatkan di aplikasi booking.com. Sekitar jam 1.30 siang akhirnya kami sampai di tujuan, Nha Nghi Thu Giang.
Resepsionis yang menyambut kami sepertinya putri pemilik penginapan, usianya sekitar 30-an. Paspor kami difoto, kemudian dikembalikan. Setelah itu kami diberi kunci kamar, dan dipersilakan check-in. Pelayanannya cukup baik dan ramah walaupun terasa agak kaku.
Lagi-lagi kami mendapat kamar di lantai 4, dan kali ini anak tangganya agak curam-curam, sehingga baru sampai di depan kamar saja rasanya sudah cukup ngos-ngosan. Memasuki kamar, keadaannya sesuai dengan apa yang ada di foto-foto yang kami lihat sebelumnya. Kamarnya sempit, dengan sebuah ranjang dengan selimut yang hanya berupa kain saja. Ada sebuah kulkas kecil dan dua buah kipas angin (besar dan kecil), serta sebuah LCD TV di dinding. Walaupun ada AC yang juga terpasang di dinding, tapi kami tidak diberi remote karena untuk AC ada biaya tambahan yang harus dibayar, padahal tidak disebutkan demikian saat akan booking. Kamar mandinya cukup modern walaupun cukup sempit juga, lengkap dengan pemanas air. Handuk dan tissue disediakan di dalamnya. Yang pasti, kasurnya keras sekali di kamar ini hiks...
Kami agak kesulitan menata barang karena sisa ruang yang ada sangat sempit, jadi benar-benar ditata seadanya dan sebisanya. Karena sudah lapar, aku segera masak lauk dengan bahan-bahan yang tersisa menggunakan electric kettle sementara suami mandi, dan setelah aku mandi kami berdua makan siang.
Usai makan siang, kami bersiap-siap. Jam 2.50 siang kami sudah keluar dari kamar dan menuruni tangga, kemudian keluar dari penginapan untuk jalan-jalan di sekitar Old Quarter.
Pertama-tama kami menuju ke St. Joseph Cathedral, karena gereja ini memang menjadi salah satu ikon di tempat ini. Hanya butuh waktu sekitar 5-6 menit untuk kami sampai ke gereja, mungkin karena perut sudah kenyang dan tidak lagi membawa beban berat di pundak hehehehe...
Cathedral ini ternyata dibuka untuk umum/turis, jadi kami masuk ke dalamnya.
St. Joseph's Cathedral (Vietnamese: Nhà thờ Lớn Hà Nội, Nhà thờ Chính tòa Thánh Giuse; French: Cathédrale Saint-Joseph) adalah sebuah gereja di 40 Nha Chung Street di Hoàn Kiếm District di Hanoi, Vietnam. Gereja Gothic Revival (bergaya Neo-Gothic) dari akhir abad ke-19 ini berfungsi sebagai katedral dari Keuskupan Agung Katolik Roma Hanoi bagi hampir 4 juta umat Katolik di negara ini.
Konstruksinya dimulai pada tahun 1886, dengan gaya arsitektur yang menyerupai Notre Dame di Paris. Gereja ini merupakan salah satu bangunan pertama yang dibangun oleh pemerintah kolonial Perancis di Indochina, dan mulai digunakan pada bulan Desember 1886. Gereja ini adalah gereja tertua di Hanoi dan masih tetap beroperasi karena jumlah komunitas warga Katolik yang cukup banyak di kota ini.
Pada tahun 1975 katedral ini sempat ditutup karena reunifikasi Vietnam, dan baru dibuka kembali pada tahun 1990.
Dulunya, untuk membangun katedral ini bangsa Perancis merobohkan Bao Thien pagoda yang berdiri sebelumnya. Jendela-jendela yang terbuat dari stained glass terpasang di dalamnya, sehingga sinar matahari yang masuk memberikan nuansa yang khas dan menakjubkan. Dua buah menara lonceng yang hingga saat ini masih aktif tingginya mencapai 31,5 meter. Katedral ini juga menjadi tempat yang populer untuk tempat foto pre-wedding.
Alun-alun di sekitar katedral sendiri menjadi tempat yang populer untuk nongkrong bagi para penduduk lokal. Di sekitarnya banyak berdiri cafe dan tempat-tempat makan.
Untuk jam bukanya:
- Senin - Sabtu : 08:00–11:00, 14:00-17:00
- Minggu : 07:00-11:30, 15:00-21:00
Tidak dipungut biaya untuk masuk ke dalamnya.
Katedral ini memliki panjang 64,5 meter, lebar 20,5 meter, dan tinggi 31,5 meter. Dinding eksteriornya terbuat dari lempengan batu granit.
Kami berdua memotret eksterior dan interior katedral ini, dan sempat duduk sejenak di bangku umat. Aku bahkan sempat berdoa sejenak, menyampaikan rasa syukur yang tak terhingga karena bisa berada di tempat ini hingga air mata menetes tanpa terasa.
Baru sekitar jam 3.20 sore kami keluar dari dalam katedral dan melihat suasana sekitar yang cukup ramai. Kami berjalan keluar dari halaman katedral dan melanjutkan berjalan kaki menuju ke Hoan Kiem Lake.
Hanya berjalan kaki beberapa menit saja, kami sudah berada di dekat danau, dan suami mencoba membeli minuman di sebuah vending machine yang tersedia. Dia membeli sebotol air putih seharga VND 5K dan satu buah kopi kalengan seharga VND 15K. Lucu juga, karena ini pertama kalinya kami mencoba membeli minuman lewat mesin ^_^
Kami berjalan-jalan mengitari Hoan Kiem Lake dan sempat nongkrong di tepiannya. Danaunya sendiri biasa saja kok, tidak ada yang istimewa. Di tepi danau disediakan banyak bangku untuk duduk-duduk para pengunjung. Ada beberapa air mancur kecil yang memancar di tengah danau. Ada beberapa toilet umum gratis juga di sekeliling danau.
Kami sempat menyaksikan seorang laki-laki lokal berusian sekitar 30-an yang sedang membuat kerajinan, entah dari bambu atau rotan, dan dibuat menjadi berbagai macam bentuk yang unik. Dia tampak sedang membuat kemasan dari mika untuk memajang hasil kerajinannya. Secara keseluruhan, suasana di sekitar danau ini tampak ramai dengan orang-orang, baik pengunjung lokal maupun turis asing.
Kami melihat sebuah kebun yang dipenuhi oleh bunga berwarna putih, lalu kebun bunga yang berwarna merah dan putih. Setelah itu, tanpa disangka-sangka, kami bertemu kembali dengan Felipe dan Karina dari Chile! Kami hanya mengobrol sebentar saja, saling bertukar Facebook, dan kemudian mengucapkan salam perpisahan. Dari sini, kami kembali berjalan di sekitar danau, dan kemudian saat melihat ada lapangan terbuka di seberang jalan, kami memutuskan untuk menyeberang. Saat menyeberang jalan inilah suami memvideokanku.
Jadi begini, bagi orang bule dari negara-negara maju di mana lalu lintas pada umumnya serba teratur di negara mereka, mereka akan kaget melihat betapa kacaunya lalu lintas di Vietnam, terutama di Hanoi dan Ho Chi Minh. Begitu banyak sepeda motor dan kendaraan lain yang memenuhi jalan, hingga pejalan kaki tidak dihiraukan. Karenanya sempat ada video entah sungguhan entah sekedar kelakar, yang mengajarkan bagaimana cara menyeberang jalan di Vietnam, yaitu dengan berjalan lurus tanpa menoleh ke kanan maupun ke kiri hahahaha.... Memang cara ini sebetulnya berbahaya, tapi sejak di Ho Chi Minh kami mengamati bahwa para pengendara (terutama sepeda motor) pada umumnya tidak akan menabrak para pejalan kaki yang menyeberang jalan. Mereka akan dengan lincah membelokkan kemudi untuk menghindari orang yang akan menyeberang. Dan itulah yang kupraktekkan di Hanoi ini, walaupun tidak sepenuhnya tidak melihat kanan kiri. Tetap kita harus waspada juga, terutama apabila ada mobil atau bus yang akan melintas. Sebetulnya sama saja dengan menyeberang jalan di Indonesia kok, malah di negeri kita sendiri pengendara sepeda motor jarang sekali mau memberi jalan kepada para pejalan kaki yang akan menyeberang, bahkan cenderung menambah kecepatan :(
Kami sampai di Ly Thai To Monument, yang dibuat untuk mengenang Ly Thai To, salah satu tokoh pendiri dinasti Ly di Vietnam. Di tempat ini tampak ada beberapa anak muda yang sedang belajar bermain skate board. Senang sekali melihat anak-anak muda yang menghabiskan waktu mereka dengan kegiatan yang positif seperti ini.
Setelah beberapa saat berada di area ini, kami kembali menyeberang jalan dengan gaya Vietnam, dan kembali menyusuri Hoan Kiem Lake. Lalu lintas bisa dibilang sangat ramai dan serasa tiada henti kendaraan yang lewat. Sempat pula melihat sepasang muda-mudi yang sepertinya sedang melakukan sesi foto pre-wedding di tepi danau. Ada pula seorang laki-laki dengan disabilitas yang tampak menjual kartu-kartu ucapan tiga dimensi. Kasihan sekali melihatnya...
Kemudian kami berjalan lagi hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga berwarna merah. Setelah berfoto sejenak di tempat ini, kami berjalan lagi dan tiba di jembatan The Huc yang menuju ke kuil Ngoc Son. Ternyata untuk masuk ke kuilnya harus membeli tiket, sementara tampak suasananya penuh dengan turis, jadi kami urung menuju ke kuil, dan hanya berada di sekitaran pintu gerbang saja hehehehe...
Hoan Kiem Lake (Vietnamese: Hồ Hoàn Kiếm, Hán tự: 湖還劍, artinya "Lake of the Returned Sword" atau "Lake of the Restored Sword"), juga dikenal debagai Hồ Gươm (Sword Lake/Danau Pedang), merupakan sebuah danau di pusat historis Hanoi, ibukota Vietnam. Danau ini merupakan salah satu pusat turis utama dan berfungsi sebagai salah satu pusat kehidupan bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut legenda, di awal tahun 1428 Kaisar Lê Lợi sedang berperahu di danau ini ketika seekor Dewa Kura-Kura Emas (Kim Qui) menyembul ke permukaan dan meminta pedang sakti sang kaisar. Lợi menyimpulkan bahwa Kim Qui datang untuk mengambil kembali pedang yang aslinya dimiliki oleh Dragon King (Long Vương), yang selama ini sudah dipakainya untuk melawan Kaisar Ming dari China. Setelah mengusir orang-orang China, Kaisar Lợi mengembalikan pedang yang dipakainya tersebut, dan setelah itu untuk mengenang peristiwa ini danaunya diberi nama Hoan Kiem setelah sebelumnya bernama Luc Thuy ("Green Water"). Menara Kura-Kura (Tháp Rùa) yang berdiri di atas sebuah pulau kecil di dekat pusat danau dihubungkan dengan legenda ini.
Ada beberapa ekor kura-kura bercangkang lunak dari species Rafetus swinhoei (dinamai juga species Rafetus leloi untuk menghormati sang kaisar Le Loi) yang pernah terlihat di permukaan danau ini selama bertahun-tahun. Pada 19 Januari 2016 ditemukan seekor kura-kura yang mati di danau ini, dan dipercaya masih ada 3 ekor lagi yang masih hidup di danau ini. Menarik ya?
Di dekat tepi utara danau terletak Jade Island, di mana Temple of the Jade Mountain (Ngoc Son Temple) berdiri. Kuil ini didirikan pada abad ke-18 untuk menghormati pemimpin militer Tran Hung Dao. Jade Island terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang dicat berwarna merah, The Huc Bridge/Cầu Thê Húc (The Huc artinya sinar matahari pagi).
Keluar dari area ini, kami berjalan kaki hingga ke ujung utara danau, dan memasuki jalan-jalan kecil di sekitarnya. Kami menemukan sebuah mini market, Circle K, dan membeli beberapa buah Indomie Goreng di tempat ini. Satu bungkus Indomie Goreng Rendang atau Iga Penyet dihargai VND 6K.
Setelah itu kami berjalan lagi dan tertarik untuk membeli sebuah lumpia goreng ala Vietnam seharga VND 5K. Isinya hanya sayuran, karenanya relatif agak murah. Di beberapa tempat lain banyak dijual lumpia goreng yang berisi daging atau udang, dan rata-rata harganya VND 10K atau lebih. Kami pilih yang murah-murah saja deh hahahaha....
Jeleknya membeli gorengan di sini adalah sangat berminyak sekali. Walaupun sudah ditiriskan dan diberi tissue, masih terasa berminyak sekali. Mungkin di Indonesia sebetulnya juga sama ya, namun kami sudah terlalu lama tidak pernah membeli gorengan sehingga lupa seperti apa. Terakhir kali membeli sendiri gorengan mungkin sudah lebih dari 10 tahun hehehehe...
Sepanjang berjalan kaki terlihat juga ada beberapa penjual berbagai macam gorengan. Oya ternyata ada juga lho potong rambut bawah pohon di sini. Benar-benar mirip dengan kehidupan di Indonesia deh! Ada juga penjual lumpia goreng yang sekaligus menjual daging mentah. Banyak hal-hal unik yang kami lihat di sini.
Berjalan kaki menuju ke Night Market, kami justru menemukan pasar tradisional di jalan Cho Cau Go. Aku sampai memberikan tanda di Google Map agar tidak melupakan lokasi tempat ini. Awalnya hanya tampak beberapa penjual bunga segar (yang katanya berasal dari Da Lat), lalu kemudian tampak toko-toko yang menjual berbagai sayuran hingga aneka macam lauk-pauk matang. Wah... untuk cuci mata benar-benar surga deh hehehehe...
Kami sempat membeli 1 kg jeruk nipis seharga VND 45K di sebelah para penjual lauk-pauk yang menggiurkan ini. Banyak pula warung dan toko-toko kecil yang menjual berbagai macam bumbu dan kebutuhan dapur lainnya. Menyusuri jalanan di pasar ini,kami sampai di sebuah mini market lokal, Vin Mart, dan masuk ke dalamnya. Di sini kami membeli kopi instan Nescafe Cafe Viet (VND 55K isi 20 sachet) dan sekaleng Highlands Coffee (VND 12K). Pada umumnya harga-harga di mini market lokal lebih murah daripada mini market asing. Dari Vin Mart kami berjalan menuju ke arah penginapan karena waktu sudah menunjukkan jam 5.10 sore. Di jalan kami melihat seorang penjual gorengan dan suami ingin membeli (gorengan yang tampak seperti) pisang goreng. Per buahnya dihargai VND 5K, dan suami membeli dua buah. Saat dimakan, memang sih pisang goreng, tapi kata suami rasanya aneh, pisang goreng teraneh yang pernah dia makan, katanya hahahaha... Sebetulnya tidak buruk-buruk amat rasanya, hanya memang agak berbeda dari biasanya sih... Sempat pula membeli sebuah donat seharga VND 10K di sebuah bakery.
Melalui bundaran dan jalan raya utama di sisi Hoan Kiem Lake, lalu lintas tampak semakin ramai dan kacau balau. Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, akhirnya kami sampai kembali di penginapan, masih harus naik pula sampai ke lantai 4 hingga habis rasanya nafas hahahaha....
Lega sekali rasanya sampai di kamar yang kecil dan pengap ini. Suami mandi sementara aku masak dengan bahan seadanya, daging babi dan tomat. Usai mandi, kami berdua makan malam dengan lahap, dan kemudian jam 6.40 petang kami sudah kembali turun dan berjalan kaki untuk membeli alkohol buatku hehehehe... Kami menyusuri jalanan dan gang-gang kecildi dekat area rumah sakit, hingga akhirnya menemukan sebuah toko kecil yang menjual Vodka Hanoi dengan harga cukup murah, VND 80K. Setelah itu kami pulang kembali ke penginapan.
Kami sampai di penginapan, mendaki lagi berpuluh anak tangga, dan kemudian sampai di kamar sekitar jam 7.30 malam. Suami beristirahat sementara aku mengerjakan pembukuan di laptop kecilku. Kasur yang kami dapat malam ini sungguh keras sekali, entah apakah kami bisa tidur atau tidak malam ini hahahaha...
Jam 9 malam, kami berdua beranjak tidur karena kondisi tubuh yang cukup lelah. Hari ini kami berjalan sejauh 10 KM, lumayan untuk olahraga membakar lemak dari gorengan-gorengan yang dimakan hari ini hahahaha...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment