DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Friday, July 6, 2018

VIETNAM & LAOS BACKPACKING 2018 (17) - EXPLORING TAM COC


6 April 2018



Bus yang kami naiki dari Phong Nha menuju ke Tam Coc dengan jarak kurang lebih 400 KM sempat berhenti selama sekitar 5 menit di kota Vinh. Aku sempat terbangun dan melihat arlojiku. Waktu memunjukkan jam 1.05 pagi. Setelah itu bus berangkat lagi, dan aku lebih banyak tertidur walaupun tidak terlalu nyenyak. Sempat terbangun lagi karena arlojiku bergetar jam 3.30 pagi, dan saat aku melihat di Google Map, posisi kami sudah tinggal 20 KM lagi dari Tam Coc. Aku pun tidur lagi memanfaatkan waktu yang tinggal 20 menitan ini.

Selama hampir 6 jam perjalanan naik bus ini, betul-betul tidak ada toilet stop. Aku sempat terjaga entah di mana saat bus sedang berhenti sejenak dan melihat seorang penumpang bule yang hendak turun, sepertinya mau buang air kecil, dan langsung dihardik oleh pemuda yang berdiri di samping driver. Beruntung aku tidak sampai kebelet sekali buang air kecil selama perjalanan, jadi masih bisa ditahan.

Jam 3.45 pagi, aku terbangun karena mendengar suara orang yang berteriak Tam Coc, Tam Coc. Ternyata kami sudah hampir tiba, jadi kubangunkan suami dan kami bersiap-siap. Tepat jam 3.50 pagi, bus berhenti di tepi danau yang menjadi pusat atraksi di Tam Coc. Ternyata cukup banyak penumpang yang turun di sini.
Penginapan yang sudah kubooking sebelumnya kebetulan sangat dekat lokasinya dengan danau ini, namun melihat suasana sekitar yang masih gelap dan sangat sepi, sepertinya semua tempat masih tutup. Rata-rata penumpang yang turun di Tam Coc menunggu di The Long Hotel, penginapan yang terdekat dengan danau. Aku pikir tadinya mereka semua memang akan menginap di hotel tersebut. Kami berdua masih berdiri di depan sebuah restoran dan sedang bingung mencari toilet, saat seorang laki-laki menyuruh kami ke lobby The Long Hotel dan menunggu di sana saja. Menurut suami, The Long Hotel ini katanya memang semacam ada kerjasama dengan bus-bus yang berhenti di Tam Coc, maka kami berjalan masuk ke dalam lobby hotel yang lebih hangat walaupun tempatnya terbuka juga. Ternyata memang banyak backpackers lain yang sedang duduk dan menunggu di tempat ini, walaupun hanya kami berdua yang berwajah Asia (seperti biasanya hehehehe), dan karenanya tidak ada yang mau mengajak kami mengobrol.

Sembari menunggu, kami duduk-duduk dan memanfaatkan fasilitas toilet yang disediakan. Tempatnya lumayan bersih walaupun sudah tampak agak usang. Kembali duduk di bangku-bangku yang disediakan di lobby, aku masih merasa mengantuk sekali. namun sulit untuk bisa tidur lagi. Beberapa backpackers tampak sedang mengobrol, dan sisanya memanfaatkan sofa-sofa yang ada untuk tidur lagi. Aku sendiri hanya bisa menyibukkan diri mencari info di internet. Sempat menawarkan kepada suami kalau mau membuat kopi dengan segala perlengkapan yang kami miiki, tapi katanya tidak usah.

Menjelang jam 5 pagi, aku iseng berjalan kaki. Niat awalnya adalah untuk mencari lokasi pasti tempat kami akan menginap hari ini. Ternyata memang dekat sekali, tidak sampai 50 meter jaraknya dari The Long Hotel, namun di luarnya terdapat pintu pagar besi dan masih terkunci rapat. Aku tidak melihat ada bel pintu, dan walaupun aku memiliki nomor telepon yang bisa dihubungi, aku tidak menelepon. Satu, karena SIM Card yang kumiliki hanya untuk data, dan kedua, biar bagaimanapun sungkan untuk membangunkan pemilik penginapan saat subuh begini.

Saat hendak kembali ke lobby The Long Hotel, aku melihat ada sepasang turis backpacker yang sedang berdiri dua rumah dari bakal penginapan kami. Saat aku menyapa mereka, ternyata mereka sangat responsif. Akhirnya terjadilah percakapan yang cukup seru di antara kami bertiga. Mereka berdua adalah Felipe dan Karina yang berasal dari Chile. Kami lebih banyak bertukar cerita mengenai tempat-tempat tujuan travelling, dan aku sempat memberitahu juga beberapa tempat yang bisa dikunjungi selama di Tam Coc.

Hujan sempat turun, semakin lama agak deras, dan karena aku hanya berdiri di trotoar, aku pun agak kehujanan, tapi tidak sampai basah kuyup sih, dan menjelang jam 6 pagi aku berpamitan kepada mereka berdua, kuatir apabila suami kelamaan menunggu sendirian. Dan benar saja, ternyata suami beberapa kali mengirimkan pesan dan telepon via WhatsApp, namun karena HP-ku masih dalam keadaan silent, aku benar-benar tidak mengetahuinya. Aku minta maaf dan menceritakan tentang Felipe dan Karina, yang membuatku tertahan sampai agak lama.

Sementara itu, rumah makan di seberang tempatku mengobrol dengan Felipe dan Karina tadi sudah buka mulai jam 5.30 pagi, dan tidak lama kemudian tampak banyak turis lokal yang memesan dan menikmati sarapan di sini. Karena itu aku mengajak suami untuk meninggalkan ruang lobby The Long Hotel untuk mencari secangkir kopi di salah satu rumah makan yang sudah buka.
Kami melewati lagi Felipe dan Karina, yang baru saja check-in di penginapan mereka yang baru saja buka. Kami berhenti di sebuah rumah makan yang sudah buka tepat di sebelah penginapan kami. Memesan secangkir kopi, dan menghabiskan sekitar 25 menit di tempat ini sembari menunggu penginapan kami buka. Segelas dripping coffee di rumah makan berjudul Lang Khanh ini dihargai VND 20K. Rasanya biasa saja karena tidak diberi susu atau susu kental manis, hanya diberi satu sachet gula pasir saja. Kopi ala Vietnam ini memang paling enak kalau dicampur susu kental manis atau susu dan gula. Tanpa susu, kopinya terasa sangat kental dan cukup pahit. Bagi para pecinta black coffee tentunya akan suka sekali dripping coffee ini, namun bagi kami yang cenderung lebih suka long white ala New Zealand, kopi Vietnam yang disajikan tanpa susu atau susu kental manis terasa agak pahit dan keras di lidah.



Tepat jam 6.25 pagi, kami melihat penginapan kami, Hotel Ha Trang, dibuka oleh pemiliknya, seorang laki-laki berusia sekitar 35-40 tahun. Tidak pakai lama, kami pun membayar kopi yang sudah habis diminum, lalu menuju ke penginapan kami.
Setelah menyampaikan bahwa kami sudah booking di tempat ini untuk 2 malam, pemiliknya mengajak kami ke meja resepsionis, lalu meminta paspor kami. Saat kutanya, apakah boleh kami beri fotokopian saja, beliau malah bertampang masam dan sepertinya sedikit mengomel, namun tanpa diduga memberikan kunci kamar kepada kami, dan menunjukkan kamar tempat kami akan tinggal selama dua malam ini.
Aku dan suami agak terkejut tapi sekaligus senang juga hahahaha... Kami tidak menyangka boleh check-in sepagi ini, dan tidak menyangka boleh masuk juga tanpa paspor hehehehe..

Setelah naik tangga ke lantai 2, kami masuk ke dalam kamar yang nomornya sesuai dengan kunci yang diberikan. Memasuki kamar, terlihat kamarnya sudah cukup usang. Dua buah ranjang (yang lagi-lagi kasurnya keras), sebuah meja kecil  dan dua buah kursi pendek terlihat di dalamnya. Ada dua buah kipas angin yang tergantung di dinding kamar dan dua buah lampu tidur. Di dalam kamar mandinya terdapat wastafel, shower, pispot, toilet duduk, dan pemanas air. Di luar kamar mandi ada gantungan baju dengan sebuah jendela berteralis kawat yang menghadap ke luar, namun pemandangannya adalah rumah lain di belakangnya hehehehe...
Seperti sebelum-sebelumnya, aku memesan kamar ini dengan booking.com, dan ini adalah private room with private bathroom yang termurah di Tam Coc. Harga per malamnya adalah VND 227,5K/malam. Yah, tidak buruk lah... setidaknya ada dua buah kasur, dan biasanya kami hanya akan memakai satu kasur saja, sementara satu kasur lainnya dipakai untuk meletakkan dan menata barang-barang.



Karena kami belum mandi semenjak kemarin siang, suami mandi terlebih dulu sementara aku masak nasi dulu untuk makan kami hari ini sembari menata barang-barang. Setelah nasi masak dan bisa ditinggal barulah aku mandi, dan kemudian jam 7.45 pagi kami mencoba untuk tidur. Di dalam cuaca yang cukup dingin ini, selimut yang disediakan terasa sangat hangat dan nyaman. Tidak lama kemudian kami berdua pun tertidur dengan pulas walaupun kasurnya keras.

Waktu menunjukkan jam 8.35 pagi saat aku dan suami terbangun. Setelah bersantai sambil membicarakan tempat-tempat yang akan kami kunjungi hari ini, jam 9.30 pagi kami keluar dari kamar, turun, dan hendak keluar untuk jalan-jalan. Karena pemilik penginapan tampak sedang duduk di meja yang terletak di dekat pintu masuk, kami sekalian menanyakan harga tiket bus kepadanya. Tujuan kami selanjutnya dari sini adalah ke Cat Ba Island, dan ternyata beliau menjual tiket bus menuju ke Cat Ba juga. Katanya begini, karena kamu menginap di sini, aku beri harga diskon, VND 200K saja. Selain itu kami tidak perlu berjalan ke mana-mana, bus akan menjemput di depan penginapan. Herannya kami percaya saja bahwa beliau ini jujur. Yang pasti, tampangnya sudah tidak masam lagi seperti pagi tadi sih hahahaha... Kami pun langsung memesan dua buah tiket menuju ke Cat Ba Island dan langsung membayarnya tunai. Saat kami bertanya apakah penginapannya perlu dibayar sekarang juga, katanya besok saja kalau check-out. Baik juga ternyata ya hehehehe...

Setelah membeli tiket, kami berjalan kaki menuju ke danau. Cuaca tampak mendung dan sinar matahari tidak tampak sama sekali. Hanya beberapa menit berjalan kaki, kami sudah sampai di tepi danau dan melihat banyak sekali perahu-perahu kecil yang tertambat di pesisir danau ini, dengan beberapa tukang perahu yang berada di dalamnya, mengharapkan ada penumpang yang memakai jasa mereka. Hanya tampak satu-dua perahu yang sedang memulai perjalanannya, dan loket tiket pun tampak sepi pengunjung, sepertinya karena cuaca yang tidak mendukung hari ini. Harga tiket di loketnya tertera dengan jelas, untuk tiket masuknya saja VND 120K/orang, dan perahunya VND 150K/perahu, dan satu perahu maksimal hanya bisa diisi dua orang dewasa. Jadi kurang lebih per orang harus membayar VND 195K, atau VND 390K per perahu isi 2 orang. Aku membaca bahwa setelah selesai dengan boat tour, pengunjung akan setengah dipaksa untuk membeli minuman, atau membelikan minuman untuk sang pendayung, dan hal ini seringkali membuat para pengunjungnya merasa discam.
Sejak awal aku memang tidak berminat untuk ikut boat tour di Tam Coc ini, karena dari beberapa review katanya agak membosankan. Kami berencana untuk ikut boat tour di Trang An besok, di mana sungainya lebih panjang dan area yang dicakup lebih luas.




Kami hanya melihat-lihat saja di tempi danau ini selama sekitar 15 menit, dan kemudian kami memutuskan untuk berjalan kaki ke Bich Dong Pagoda, yang tampaknya sangat dekat dilihat di Google Map, hanya 1-2 KM saja. Kami berjalan mengikuti arahan Google Map. Karena habis hujan, kondisi jalan tampak basah dan becek di beberapa tempat. Di tengah danau tampak sebuah bangunan yang terhubung oleh sebuah jembatan, dan kami tidak tahu untuk apa bangunan tersebut. Bisa jadi semacam biara, atau mungkin juga akan dibangun sebuah tempat akomodasi untuk turis di tempat ini karena lokasinya yang strategis.

Kami sampai di sebuah jembatan, dan melihat beberapa kali perahu lewat dengan membawa penumpang. Ternyata di Tam Coc ini pendayungnya duduk di paling belakang, dan perahu didayung dengan kaki. Unik sekali!
Setelah menyeberangi jembatan kecil ini aku benar-benar bingung. Menurut Google Map, harusnya kami berjalan menyusuri aliran air, dan itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan cara berenang atau naik perahu. Sementara hujan mulai turun, kadang gerimis, kadang agak deras. Ramalan cuaca yang kulihat hari ini di Accu Weather benar-benar sesuai, karena dikatakan seharian ini akan hujan. Cukup lama kami bolak-balik di sekitar jembatan ini, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mencari jalan alternatif lain.



Setelah berjalan dan berjalan terus, melalui gang-gang kecil dan memasuki kampung-kampung, akhirnya kami menemukan jalan yang benar untuk menuju ke Bich Dong Pagoda. Kami tiba di sebuah jalan beraspal yang bisa dilalui sepeda motor, dan ternyata dari tempat kami berdiri jaraknya masih lebih dari 2 KM. Wah, aku tidak menyangka akan sejauh ini jaraknya, dan lagi kami tidak membawa bekal makan siang sementara waktu sudah menunjukkan jam 10.35 siang. Akhirnya kami memutuskan kalau sempat besok kami akan ke Bich Dong Pagoda naik sepeda motor (karena sudah menemukan jalan lain yang bisa dilalui sepeda motor), dan kalau tidak sempat ya diskip dulu. Kami berjalan kembali melalui gang-gang yang tadi rasanya kami lalui, dan ternyata sempat nyasar juga hahahaha.... Setelah berputar balik dan mengingat-ingat lagi, akhirnya kami masuk ke jalan setapak yang kami tempuh saat berangkat tadi.

Selama berjalan kaki melalui gang-gang kecil dan perkampungan ini, baik berangkat maupun pulangnya, kami beberapa kali bertemu dengan penduduk lokal, dan ternyata mereka sangat ramah dan cenderung menyapa duluan. Menyenangkan sekali menerima keramahan penduduk lokal seperti ini.
Setelah sampai kembali ke jembatan awal di mana kami mulai bingung tadi, kami memutuskan untuk kembali menyeberangi jembatan tersebut dan memutari danau. Desa kecil Tam Coc ini memang sangat indah, dengan pegunungan karst yang menjadi backgroundnya.




Setelah akhirnya kami sampai kembali di area tempat membeli tiket boat tour, kami langsung kembali ke penginapan karena udara yang agak dingin. Walaupun di siang bolong begini, matahari sama sekali tidak tampak dan suhunya sekitar 17 derajat Celcius.
Jam 11.30 siang kami sudah sampai kembali di kamar, dan aku masak seporsi mie instan dengan sayuran untuk makan siangku, dan suami makan nasi dengan sisa lauk yang kusisihkan dari kemarin.

Usai makan siang dan perut kenyang, kami beristirahat sambil menghangatkan diri di dalam selimut. Baru sekitar jam 1 siang kami memutuskan untuk keluar lagi dan jalan-jalan, tujuan utamanya untuk mencari bahan makanan yang bisa dimasak di pasar. Menurut Google Map seharusnya ada pasar tidak jauh dari penginapan.
Saat kami keluar dari penginapan, gerimis kecil mengiringi kami. Semakin lama semakin deras, hingga akhirnya suami kupinjami jaket anti-airku. Walaupun agak kekecilan , setidaknya bisa melindunginya dari air hujan yang cukup deras ini. Aku sendiri cukup nyaman dengan pashmina yang kupakai. Sesampai di lokasi di mana seharusnya pasar berada, ternyata faktanya tidak ada pasar. Entah mungkin karena kami sudah kesiangan, atau mungkin memang lokasinya yang salah. Setelah berjalan terus lagi ke depan dan tidak menemukan juga pasar yang kami cari, kami pun berputar balik. Karena tidak tahu hendak ke mana lagi, kami memutuskan untuk berjalan ke tepi danau seperti sebelumnya. Jalan raya tampak sepi dan basah, bahkan di beberapa tempat banyak genangan air akibat hujan seharian ini.



Sesampai di tepi danau, waktu menunjukkan hampir jam 2 siang. Perahu-perahu turis yang terlihat di pesisir tampak semakin banyak dibandingkan sebelumnya. Masih tampak beberapa perahu yang baru saja berangkat mengangkut turis, sementara para pendayung yang menganggur di tepi semuanya mengenakan ponco, jas hujan yang terbuat dari plastik tipis. Kasihan juga melihat mereka kalau sepi pengunjung begini...



Kami berteduh di sbuah tempat yang ada atapnya. Karena udara dingin dan sebelumnya cukup banyak minum, aku jadi merasa ingin buang air kecil, saat melihat sebuah toilet umum di sudut lapangan yang luas ini. Akhirnya aku memutuskan untuk ke toilet dulu. Saat masuk ke dalamnya, ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang menjaganya dan menarik biaya sebesar VND 3K/orang. Baru sekali ini aku harus membayar untuk ke toilet selama di Vietnam (dan selanjutnya ternyata memang banyak toilet berbayar seperti di Indonesia), akhirnya kubayar saja walau dengan agak berat hati hahahaha... Toiletnya sendiri bersih dan sudah berupa toilet duduk, jadi sudah cukup modern.



Keluar dari toilet, aku melihat ada sebuah kios kecil saat menuju ke tempat suami berada. Aku sempat mendatangi kios ini dan memperhatikan apa saja yang dijualnya. Selain air mineral, ada kopi sachet, beer, rokok, beberapa macam minuman ringan lain, dan es krim di dalam freezer. Yang membuatku tiba-tiba ingin menitikkan air mata adalah saat melihat penjualnya ternyata sepasang manula, mungkin berusia sekitar 60-70 tahun. Mereka berdua berdiri menanti pembeli sambil mengenakan ponco di bawah hujan yang turun. Terpal yang dipasang di atas kios mungilnya sepertinya tidak akan melindungi mereka dari dinginnya angin yang bertiup. Aku hanya melihat-lihat sebentar dan tersenyum, lalu kembali ke suami.

Kami duduk di beberapa tempat duduk yang masih kosong. Dari sini kami hanya duduk sembari mengamati kegiatan orang-orang di sekitar kami. Di sebuah sudut tampak beberapa orang laki-laki yang sedang memainkan permainan lokal, entah apa itu. Satu orang di antara mereka memiliki cacat fisik dan menggunakan kursi roda yang dimodifikasi sebagai alat transportasinya.
Aku kembali memperhatikan kios kecil tadi. Tampak ada beberapa orang lokal yang sedang membeli sesuatu di situ. Setelah mereka semua pergi, aku menceritakan tentang kios ini dan mengungkapkan keinginanku membeli sesuatu di situ kepada suami. Apa saja deh, mungkin beer, yang bisa menghangatkan kami di siang yang dingin ini. Hitung-hitung untuk amal, bisa membantu meningkatkan pendapatan mereka.



Akhirnya suami menghampiri kios tersebut (dan aku menyusulnya sesaat kemudian), dan membeli sebuah beer. Ternyata yang dipajang di etalase pun kebanyakan berupa botol dan kaleng kosong. Yang masih utuh disimpan di dalam freezer. Jadilah kami membeli sekaleng Bia Ha Noi (bia = beer) seharga VND 20K. Beer dingin untuk cuaca yang dingin hahahaha...



Sembari minum beer sedikit-sedikit, hujan kembali turun agak deras. Semakin banyak ibu-ibu yang berteduh satu atap dengan kami. Kebanyakan mereka sudah berusia cukup lanjut. Mereka tampak ramai mengobrol satu sama lain. Tadinya aku hanya memperhatikan saja tanpa mengerti apa gerangan yang mereka bicarakan, sampai kemudian timbul ide untuk mengajak seorang ibu yang duduk di sampingku mengobrol dengan bantuan Google Translate.
Sebetulnya aku hanya mengucapkan kata-kata supaya beliau tetap bersemangat. Aku berkata (lewat Google Translate speaker tentunya), kamu perempuan yang kuat dan hebat!
Tidak kusangka, responnya sangat positif, dan dari satu kalimat awal ini, kami melanjutkan percakapan lewat Google Translate, bahkan beberapa temannya ikut membantu si ibu untuk menjelaskan. Si ibu ini sudah berusia 59 tahun. Aku sempat melihat si ibu menitikkan air mata, mungkin beliau terharu ada orang tak dikenal yang mau memperhatikannya. Tidak lama kemudian tampak si ibu tampaknya dijemput oleh suaminya, tapi ternyata aku salah. Suaminya yang baru datang ini menggantikan tugas si ibu, dan sepertinya si ibu bisa pulang.



Entah bagaimana ceritanya, si ibu kemudian malah mengajak kami untuk singgah di rumahnya. Awalnya aku ragu-ragu, karena kuatir apabila rumahnya jauh dan kami kemalaman pulang. Saat kutanya berapa jauh rumahnya dari tempat ini, ternyata hanya 100 meter saja katanya. Maka kami berdua memutuskan untuk ikut dengannya. Berjalan memasuki sebuah gang kecil di dekat danau, tidak sampai 5 menit kemudian kami sudah sampai di rumahnya.

Jujur saja, kami tidak saling mengerti bahasa satu sama lain. Si ibu bahkan tidak mengerti bahasa Inggris sama sekali. Kami lebih banyak menggunakan bahasa kalbu daripada Google Translate selama di rumahnya. Si ibu menceritakan bahwa beliau memiliki 3 orang anak, dan semuanya sudah tinggal di luar kota. Dua orang anaknya tinggal di Hanoi, dan seorang lagi di kota Ninh Binh. Semuanya sudah dewasa dan sudah menikah. Semua hal ini diceritakannya dengan menunjukkan foto-foto yang terpampang di dinding rumahnya yang sederhana.
Selama di rumahnya, kami dijamu dengan teh, semacam teh hijau. Nah di sini lucunya. Teh yang disuguhkan oleh ibu ini sangat pahit sekali, namun demi menghormatinya, aku menghabiskan berapa banyak pun yang beliau tuangkan di cangkirku. Aku juga baru tahu belakangan bahwa suami pun beranggapan sama, tehnya sangat pahit dan aneh rasanya, tapi sungkan kalau tidak diminum hahahaha...

Si ibu sempat juga berpesan kepada kami untuk mengiriminya surat apabila kami sudah kembali ke Indonesia. Beliau memberikan nama dan alamatnya di atas secarik kertas yang kemudian disimpan oleh suami (sayang sungguh sayang, kertas ini hilang entah ke mana). Kami juga sempat berfoto bersama beliau.
Setelah sekitar 20 menit kami bertamu di rumahnya, kami berpamitan. Tanpa disangka, si ibu mengambil sebuah ponco yang masih baru dari kemasannya dan hendak memberikannya kepada kami berdua. Karena aku menolak (lebih suka hujan-hujanan), suami yang memang tidak tahan hujan menerima pemberian ibu ini. Si ibu bahkan langsung memakaikannya kepada suami. Jujur saja aku terharu melihat adegan ini, saat si ibu memakaikan ponco kepada suami. Bukan berapa harganya, namun sikap dan perlakuan si ibu seolah-olah memakaikan ponco kepada anaknya sendiri. Sementara di tepi danau para turis harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli ponco semacam ini apabila mereka hendak tetap naik perahu dalam situasi hujan.




Kami pulang ke penginapan dengan hati yang penuh dengan kekaguman kepada kebaikan orang lokal yang tulus di Tam Coc ini. Sesampai di kamar, waktu menunjukkan jam 3.15 sore, dan entah karena lelah atau cuaca yang dingin seharian, kami tertidur selama hampir 45 menit.
Terbangun dari tidur, kami menghabiskan sore dan malam hari di dalam kamar saja, karena seharian ini hujan benar-benar mengguyur Tam Coc. Suami sempat video call dengan sahabatnya yang tinggal di Tangerang. Untuk makan malam, aku hanya masak satu buah mie instan dengan kubis, dan dijadikan lauk untuk makan nasi kami berdua. Beginilah nasib menjadi backpackers dengan budget yang tipis hahahaha... Aku sendiri tidak masalah, I really enjoyed it very much, karena makan mie instan bagiku sudah menjadi kemewahan (kalau di rumah jarang sekali makan mie intan sih), sementara untuk suami yang terbiasa sehari-harinya makan dengan layak (dengan atau tanpa daging, tapi nggak makan nasi sama mie instan lah hehehehe) mau makan seperti ini karena keadaan memaksa. Karenanya aku sangat bersyukur suami bisa mengerti keadaan (keuangan) kami saat ini hehehehe...



Bahkan sampai malam hari, hujan terus mengguyur tempat ini. Suhu udara mencapai 15 derajat Celcius di malam hari, lumayan dingin apabila dibandingkan dengan kemarin-kemarin. Aku lebih banyak berada di laptop untuk menyelesaikan pembukuan dan seperti biasa, mencari informasi lebih lanjut untuk tujuan-tujuan kami berikutnya.
Hari ini kami hanya berjalan kaki sejauh 7,5 KM, karena hanya berkeliaran di sekitar saja. Sebenarnya kami tidak terlalu lelah melakukan aktivitas fisik, namun lebih banyak lelah karena kurang tidur semalam selama di dalam sleeper bus.

Waktu menunjukkan jam 9 malam saat aku sudah menyelesaikan semua tugasku, dan kami berdua pun tidur.......


To be continued.......

No comments:

Post a Comment