7 April 2018
Today was another highlight during our Vietnam Trip!
Pagi ini aku bangun jam 5.15 pagi. Cukup puas dengan tidur yang lumayan nyenyak semalam. Aku melakukan aktivitas pagi seperti biasa, dan tidak lupa masak nasi untuk makan kami seharian ini.
Suami terbangun oleh bunyi alarm jam 6 pagi. Hari ini rencananya kami akan mengunjungi Hang Mua (Mua Cave) dan ke Trang An untuk mengikuti boat tour di sana, karenanya kami berusaha untuk bangun awal.
Setelah mandi dan bersiap-siap, jam 6.50 pagi kami berdua turun ke restoran di lantai dasar dan menantikan sarapan. Sementara menunggu, aku sempat melihat-lihat suasana di luar penginapan. Jalannya masih sepi sekali dan kebanyakan toko masih tutup. Hanya sesekali saja ada motor yang lewat di jalan ini.
Tam Coc berjarak sekitar 90 KM dari Hanoi, dan 7 KM di barat kota Ninh Binh. Tam Coc sendiri berarti 3 gua, dan gua yang dimaksud adalah Hang Cả, Hang Hai, dan Hang Ba - yang semuanya berlokasi di Ngô Đồng River. Jadi apabila kita mengambil boat tour yang ada di Tam Coc, intinya adalah untuk melihat gua-gua ini, selain juga melihat sawah-sawah yang diairi oleh sungai Ngo Dong dan limestone karsts. Orang Vietnam bahkan menjuluki area sawah yang menghijau di Tam Coc ini sebagai The Green Sea. Area ini juga disebut sebagai versi daratan dari Ha Long Bay. Area Tam Coc dan Bich Dong luasnya meliputi 350 hektar.
Jadi, desa tempat kami menginap ini sebenarnya bernama Van Lam, dan tempat ini memang merupakan titik awal bagi boat tour untuk melihat keindahan Tam Coc. Ketiga buah gua yang berada di Tam Coc ini terbentuk secara alami dari proses erosi selama jangka waktu yang lama, dan memiliki ketinggian sekitar 2 meter. Hang Ca Cave panjangnya sekitar 127 meter dan merupakan yang terbesar dari ketiganya. Hang Hai Cave panjangnya sekitar 70 meter, berjarak sekitar 1 KM dari Hang Ca Cave. Sementara Hang Ba Cave merupakan yang terkecil dari ketiganya dengan jarak hanya sekitar 45 meter saja.
Van Lam, desa tempat kami berada saat ini, terkenal dengan hasil kerajinan sulamnya. Pengrajin setempat membuat sulaman di saputangan, serbet, taplak meja, T-shirt, dan berbagai macam barng lain yang terbuat dari kain. Kebanyakan hasil kerajinan tangan mereka dijual di Hanoi, namun apabila berminat membelinya, akan lebih murah berbelanja di desa Van Lam ini ^_^
Tidak lama kemudian, hanya sekitar 10 menit menunggu, sarapan pun dihidangkan. Masing-masing kami mendapatkan sebongkah roti yang besar yang hangat, empuk, dan diisi dengan telur orak-arik, beserta irisan tomat dan timun di piring. Walaupun tampaknya sederhana, bagiku sarapan ini cukup mewah karena disajikan hangat. Kopi yang kami pesan hanya berupa seduhan kopi instan, tapi cukuplah untuk menghangatkan pagi ini. Seperti biasa, karena aku tidak terbiasa sarapan, aku menyisihkan roti jatahku untuk dimakan nanti dan kusimpan di dalam rantang plastik yang kami bawa. Aku hanya makan telur serta tomat dan timun yang tersaji. Nyam nyam... Not bad, not bad at all! ^_^
Usai sarapan, kami berdua mengatakan kepada sang pemilik penginapan bahwa kami akan menyewa sepeda motor untuk 1 hari saja. Tarifnya hanya VND 90K, dan katanya dibayar besok saja. Kami bebas memilih helm dari tumpukan helm yang ada, dan walaupun rasanya sudah mengambil 2 yang terbaik, helmku ternyata susah sekali diklik talinya. Tapi tidak terlalu masalah, karena hari ini kami tidak akan pergi jauh-jauh.
Jam 7.26 pagi, kami berangkat naik sepeda motor menuju ke Hang Mua atau Mua Cave, yang jaraknya hanya sekitar 4,3 KM. Tentunya aku sudah mencari tahu lokasi pombensin terdekat, dan kebetulan memang kami lewati, jadi kami mengisi bensin VND 25K saja. Setelah mengisi bensin barulah kami nonstop menuju ke Mua Cave. Jalanan masih tampak relatif sepi, apalagi kemudian kami melewati jalan-jalan desa yang kecil. Pemandangan selama di pedesaan ini memang indah, banyak gunung-gunung limestone yang terlihat sepanjang jalan.
Nah, ini ada tips bagi yang hendak berkunjung ke Mua Cave. Aku membaca banyak keluhan, mendekati lokasi akan ada banyak orang yang setengah memaksa, bahkan berteriak-teriak agar pengunjung parkir di tempat yang mereka tunjuk. Jangan mau!!!
Cuek saja dan lewati semuanya, hingga sampai ke tujuan akhir, di mana kita akan memasuki gerbang Mua Caves Ecolodge. Mua Cave memang dikelola oleh Mua Caves Ecolodge, jadi kita akan masuk ke lapangan parkirnya. Bagi yang punya budget lebih, bisa menginap di sini jadi tidak perlu repot naik sepeda motor untuk naik ke viewpoint-nya.
Kalau kita berangkat cukup pagi (seperti kami hari ini), orang-orang yang katanya akan memaksa parkir di tempat mereka itu masih belum tampak. Selain itu, Mua Cave merupakan tempat wisata yang cukup touristy, jadi lebih pagi lebih baik ^_^
Kami sampai di Mua Caves Ecolodge tepat jam 8 pagi, dan memarkirkan sepeda motor di tempat yang disediakan (gratis). Setelah itu kami menuju ke loket tiket. Harga tiket per orangnya adalah VND 100K. Setelah membeli tiket, kami masih ke toilet umum yang disediakan di area parkir. Saat itulah aku melihat ada seorang turis (bule, kalau tidak salah dari Spanyol) yang hendak masuk tanpa membeli tiket. Saat diminta membeli tiket, katanya semua uangnya dipegang oleh dua orang temannya yang sudah naik lebih dulu, dan masih berusaha masuk tanpa harus membeli tiket. Wah, menurutku ini memalukan sekali sih.... Belakangan pun setelah kami naik hingga ke puncak dan turun kembali, kami tidak menemui ada turis lain dari Spanyol, jadi sepertinya dia memang mencoba untuk masuk gratis. Benar-benar perbuatan yang tidak patut ditiru, dan entah bagaimana nasibnya kemudian, karena setelah itu kami berdua berjalan dan tidak lagi menghiraukannya.
Jalan setapak yang kami lewati dihiasi dengan berbagai macam pot bunga yang indah dan berwarna-warni di kanan kiri. Dari kejauhan sudah tampak anak tangga yang mengular untuk menuju ke viewpoint di puncak. Aku membaca bahwa untuk sampai ke puncak dibutuhkan mendaki sekitar 500 anak tangga.
Ada banyak ornamen yang kami temui sepanjang jalan setapak ini. Mulai dari sepeda yang dipenuhi dengan perabotan dari bambu, patung-patung kuda, gua-gua bertema Natal, hingga patung-patung berbentuk kambing. Setelah itu kami menyeberangi sebuah jembatan pendek. Dari sini, kemegahan gunung Mua sudah makin terlihat. Setelah melewati sebuah taman dengan beberapa patung sebagai hiasan, kami melewati Tiger Cave, dan kemudian mulai mendaki Mua Mountain (The Lying Dragon Mountain).
Deretan anak tangga menanti di depan mata. Siapa takut???
Kami berdua mulai mendaki anak-anak tangga ini dengan penuh semangat. Awalnya masih normal, namun makin ke atas makin curam dan memang agak licin. Pemandangan semakin ke atas semakin indah, pastinya. Tampak juga ada deretan anak tangga lain untuk menuju ke puncak yang lain. Baru sekitar 8 menit mendaki tangga, kami sampai di sebuah spot yang sangat indah. Dan setelah mendaki lagi selama 1-2 menit, kami sudah sampai ke puncaknya yang tertinggi. Jujur saja sama sekali tidak melelahkan kok, apalagi udaranya cukup dingin di pagi hari.
Sesampai di puncak, kami cukup dibuat terkagum-kagum oleh pemandangan yang tampak. Nun jauh di bawah sana, tampak sungai berwarna kecoklatan, dengan padang rumput hijau di tepiannya, dan semuanya ini dikelilingi oleh gunung-gunung kecil yang indah sekali. sampai sejauh mata memandang. Wow... benar-benar pemandangan yang memukau!
Sementara di sisi lain, kami bisa melihat ke puncak satunya yang lebih rendah, dengan background view yang sangat indah juga, di mana gunung-gunung bebatuan kecil tampak menjulang. Suami sudah wanti-wanti tidak mau ke sana, karena tangga menuju ke sana memang tampak lebih berbahaya dan menyeramkan hehehehe...
Di viewpoint tertinggi ini, ada sebuah patung Dewi Kwan Im, dan tampaknya orang lokal berdoa dan memberikan sesajen di tempat ini. Dari sini kami juga bisa melihat patung naga yang menjadi icon tempat ini. Aku tidak menyadarinya hingga aku sampai di puncak yang lebih rendah, namun seandainya tahu pun, sepertinya aku tidak berani mencapai patung naga tersebut, karena sepertinya cukup berbahaya dan dibutuhkan keberanian khusus untuk ke sana hehehehe...
Setelah hampir 30 menit kami nongkrong di sini sambil memotret dan menikmati suasana, datanglah 3 orang pemuda. Ternyata mereka semuanya ramah dan menyenangkan, jadi kami sempat mengobrol cukup akrab dengan mereka. Ketiganya berasal dari USA, namun dua di antara mereka asli dari Filipina. Nick, Jordan, dan Jearvin. Ketiganya baik, namun yang paling suka mengobrol adalah Jearvin. Kami pun sempat bertukar Facebook account agar tetap bisa berkomunikasi di kemudian hari. Kami juga sempat berfoto bersama agar tidak melupakan momen ini hehehehe...
Kami berdua berpamitan terlebih dahulu untuk naik ke viewpoint yang satunya. Suami yang tadinya mengatakan tidak mau naik ke sini, ternyata ikut naik juga. Katanya, dia lebih kuatir kalau terjadi apa-apa pada diriku dibandingkan kuatir tempatnya yang berbahaya. Awww... so sweet... thank you, honey ^_^
Anak tangga menuju ke puncak yang lebih rendah ini memang lebih berbahaya dan cenderung agak menyeramkan, namun yang ada dalam pikiranku adalah, kalau aku hanya mempunyai kesempatan satu kali saja ke tempat ini, aku harus melakukannya! Walaupun dengan agak merinding-merinding, akhirnya kami berdua sampai di puncak kedua, yang pemandangannya tidak kalah indah dengan puncak pertama yang lebih tinggi tadi.
Dari viewpoint ini, kami bisa melihat bahwa Nick, Jordan dan Jearvin mendaki sampai ke patung naga, dan memang tampak menyeramkan sekali. Kami banyak berfoto juga di sini, walaupun agak seram karena tingkat keamanannya memang sangat rendah. Kalau ceroboh bisa saja terjatuh dan terluka parah. Bayangkan, aku yang begitu takutnya dengan ketinggian, bisa berada di tempat yang seperti ini hehehehe...
Oya, di sudut bebatuan di viewpoint ini ada sebuah bangku yang diletakkan begitu saja, dan bagi kami berdua hal ini sebetulnya agak aneh. Entah siapa gerangan yang repot-repot membawanya ke sini hahahaha...
Saat kami masih menikmati indahnya pemandangan di sini, Nick, Jordan dan Jearvin yang tadinya berkata akan naik ke sini, melambaikan tangan dari kejauhan dan berpamitan, katanya mereka akan langsung turun. Sewaktu kami berbincang-bincang memang mereka mengatakan bahwa waktu yang mereka miliki sangat terbatas, karena harus mengejar kendaraan untuk pindah kota. Mereka juga berencana akan mengunjungi negeri tercinta Indonesia, namun saat itu kami masih akan berada di Vietnam.
Setelah sekitar 20 menit berada di tempat ini, kami memutuskan untuk turun. Tentu saja waktu untuk turun lebih cepat daripada waktu naik, dan saat sedang turun ini kami berjumpa dengan dua orang ibu yang tampaknya sudah berusia minimal 60 tahunan yang sedang berjalan naik. Kami berdua menyemangati mereka dan salut dengan semangat mereka.
Waktu menunjukkan jam 9.10 pagi saat kami sampai kembali di dasar. Kami berminat mengunjungi gua utama yang ada di sini: Mua Cave. Dari review banyak orang, katanya guanya sendiri tidak layak dikunjungi, dan atraksi utamanya adalah viewpoint di puncak gunungnya. Namun karena sudah sampai di sini, tidak ada salahnya kami mencoba mengunjunginya sekalian karena lokasinya sangat dekat.
Ada semacam cafe dengan banyak tempat duduk yang sepertinya diperuntukkan bagi pengunjung yang hendak istirahat di sini, namun saat itu kondisinya masih tutup. Mendekati gua, tampak ada sebuah toilet, dan kami memutuskan untuk ke toilet dulu. Bangunannya unik karena terbuat dari bambu, namun kondisi di dalamnya cukup modern dengan toilet duduk yang bersih. Kekurangannya hanya satu, ada lubang di mana orang bisa mengintip, karenanya kami bergantian saling berjaga di depan toilet untuk memastikan tidak ada orang lain yang mengintip hahahaha....
Dari sini, kami memasuki Mua Cave. Ada beberapa gubuk yang dulunya mungkin dijadikan tempat berjualan dan kini kosong. Semakin masuk ke dalam gua, suasananya tampak gelap dan kadang remang-remang dengan beberapa lampu yang terpasang. Di beberapa tempat guanya sangat rendah hingga kami harus membungkuk untuk bisa melewatinya. Setelah berjalan beberapa puluh meter, kami tiba di sebuah ujung yang buntu, di mana tampak genangan air seperti danau kecil, dan tampak ada semacam tempat untuk berdoa di sudut seberang danau kecil ini. Jujur saja suasananya memang agak sedikit creepy di dalam gua ini, karenanya setelah mengambil beberapa foto dan video kami tidak terlalu berlama-lama di sini.
Kami masuk ke gua ini dari arah kanan, dan saat keluar kami memilih ke kiri, yang ternyata menuju ke alam terbuka di luar gua. Di dekat ujung gua banyak terdapat tempat-tempat duduk dan meja yang terbuat dari batu. Dugaanku, dulunya tempat ini mungkin dijadikan semacam cafe atau restoran, namun karena tidak menguntungkan jadi tidak dioperasikan lagi. Di sisi lain gua ini, lagi-lagi tampak area yang luas dikelilingi gunung-gunung limestone yang indah.
Tidak seperti biasanya, suami tiba-tiba merasakan mules, dan kebetulan ada sebuah toilet di luar gua ini. Akhirnya suami menghabiskan beberapa menit di dalam toilet yang sepertinya sudah lama tidak dipakai ini. Positifnya adalah di tempat ini tidak ada orang lain selain kami berdua, jadi bebas menggunakan toiletnya tanpa harus kuatir ada orang yang mengantri. Bahkan kata suami toiletnya pun bersih dan cukup nyaman hehehehe...
Memang betul, karena tempat ini dianggap tidak indah oleh para pengunjung dibandingkan dengan viewpoint di puncak, tidak ada seorang pun yang tampak semenjak kami memasuki area gua. Tapi kami jadi bisa menikmati tempat ini dengan tenang tanpa ada yang mengganggu, serasa milik sendiri. Setelah puas berada di sini, jam 9.23 pagi kami memutuskan untuk kembali keluar. Setelah keluar dari area gua, kami lewat jalan setapak yang berbeda dengan waktu kami datang tadi. Di sini aku melihat ada sebuah sumur yang tampak cukup creepy di dekat sebuah kolam. Kami juga melewati sebuah ayunan yang terpasang di sebuah pohon di tepi kolam. Setelah itu kami melewati kamar-kamar milik penginapan, yang nilainya tentu saja di atas VND 500K per malamnya.
Akhirnya kami kembali lagi ke jalan setapak dengan pot-pot bunga di kanan kiri jalan, dan sampai di parkiran. Meninggalkan Mia Caves Ecolodge, karena hari masih cukup pagi, kami langsung berkendara menuju ke Trang An, yang jaraknya hanya sekitar 4,5 KM saja.
Tràng An adalah daerah yang indah di dekat Ninh Bình, Vietnam, yang terkenal akan wisata gua perahunya. Pada tanggal 23 Juni 2014, Kompleks Pemandangan Indah di Trang An dimasukkan sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 2014, yang meliputi Hoa Lư, Tam Cốc/Bích Động, dan Bai Dinh Temple. Trang An memiliki 31 lembah, 48 gua, dan beberapa gua di antanya memiliki panjang hingga 2 KM seperti Dia Linh Cave, Sinh Duong Cave, dan May Cave.
Bahkan sebelum sampai di tempat untuk tour dengan perahu, alam di Trang An ini tampak sangat indah. Gunung-gunung kecil menyembul di segala arah, dan suasananya sendiri tampak sangat menyenangkan. Kami sampai di area naik perahu Trang An Grottoes jam 9.30 pagi, dan memarkirkan sepeda motor di tempat yang sudah disediakan. Untuk parkir sepeda motor biayanya VND 15K, tapi dibayar belakangan. Kebetulan penjaga parkirnya cukup ramah dan sempat menanyakan asal negara kami. Seringkali orang Vietnam berkata, Indonesia Vietnam same-same, maksudnya wajahnya mirip-mirip hehehehe...
Tempat ini ternyata touristy sekali, tapi memang lebih banyak dikunjungi oleh penduduk lokal daripada turis asing. Saat kami datang, suasana sudah tampak ramai sekali, terutama oleh turis-turis lokal. Di sebelah area parkir sepeda motor tampak banyak penjual makanan dan souvenir yang berderet-deret. Menyeberangi jalan, kami lalu menyeberangi sebuah jembatan, dan dari atas jembatan ini tampak sudah banyak perahu-perahu yang berlayar membawa para penumpang.
Sebelum membeli tiket, ada sebuah papan yang memberikan informasi rute-rute yang ada. Jadi, harga tiket per orang dewasa adalah VND 200K, dan dengan tiket ini pengunjung berhak memilih salah satu rute yang diinginkan. Beruntung kami sudah mendapatkan tips dari Jearvin dan kawan-kawannya tadi di Mua Cave. Mereka mengambil rute 3, yang walaupun paling pendek namun katanya viewnya paling bagus. Biasanya orang mencari rute dengan durasi terlama (rute 1) atau yang melewati King Kong movie set yang ada di rute 2 dan rute 3. Kami malah baru tahu kalau boat tour ini akan melewati tempat syuting film King Kong tersebut, dan memutuskan untuk mengambil rute 3 juga.
Antrian di loket penjualan tiket hanya sedikit, sehingga kami segera dilayani. Tiketnya berupa kartu elektronik seperti pada saat membeli tiket naik cable car di Dalat. Setelah itu aku masih mencari toilet terlebih dahulu, karena asumsinya akan berada di dalam perahu selama beberapa jam. Ternyata toilet di sini pun bayar VND 2K, dan kondisinya pun sangat ramai sehingga harus antri juga.
Usai dari toilet, kami mengikuti jalur menuju ke tepi sungai. Seperti waktu naik cable car, pengunjung harus mengantri melalui lajur-lajur yang disediakan, dan di ujungnya kita tinggal memasukkan tiket tersebut ke dalam alat pemeriksa kartu. Mirip seperti waktu naik kereta api di Australia dulu.
Nah, setelah itu semua pengunjung bebas memilih perahu yang banyak sekali tertambat di tepian sungai ini. Jujur saja suasananya cukup chaotic, dan tidak ada petugas yang mengatur untuk rute 1, 2 atau 3. Aku sempat bertanya beberapa kali kepada beberapa turis asing, karena ternyata di sini setiap perahu memuat 4 orang, dan pengunjung harus mencari sendiri orang-orang untuk membentuk satu tim hingga muat ke dalam satu perahu. Beberapa yang kutanya, kebanyakan mengambil rute 1 yang paling panjang. Setelah beberapa menit cukup kebingungan, aku melihat dua orang pemuda berwajah Asia yang sepertinya juga sedang mencari partner dan menyebutkan rute 3. Pikirku, tak mengapalah satu perahu dengan orang lokal atau orang RRC, dan berharap saja mereka berdua tidak menyebalkan sepanjang perjalanan nanti.
Akhirnya kami berempat naik ke dalam perahu, aku dan suami duduk di belakang dan kedua pemuda tadi duduk di depan. Perahu di sini bisa dibilang agak seram karena sangat rendah/dangkal bagian dalamnya, dan kalau ada penumpang yang bergeser sedikit langsung tidak stabil. Jadi selama di dalam perahu bisa dibilang aku tidak berani menggerakkan pantat sama sekali hahahaha....
Pendayung perahu kami adalah seorang perempuan berusia sekitar 50 tahunan. Saat kami sudah naik, baru beliau bertanya kami mau rute berapa, hanya dengan bahasa isyarat. Setelah kami jawab rute 3, beliau langsung mendayung perahu dengan semangat. Bisa dibilang rute 3 ini masih sangat baru, karena sebelumnya hanya ada rute 1 dan 2. Sementara itu aku melihat ada 4 buah dayung yang diletakkan di sisi penumpang, jadi aku berpikir mungkin nanti harus ikut mendayung juga. Tepat jam 10.05 pagi perahu kami mulai melaju. Perahu-perahu lain pun tampak melaju di sekitar kami, jadi suasananya memang ramai sekali. Baru di awal saja sudah mulai tampak pemandangan di depan mata yang indah. Sayang sekali kami berdua duduk di belakang, sehingga tidak bisa maksimal mengambil foto dan merekam video, karena kedua pemuda di depan kami cukup tinggi.
Semakin jauh, pemandangan tampak semakin indah. Aku sempat menanyakan asal negara kedua pemuda di depan kami ini, karena mereka sempat berbicara bahasa Vietnam dengan si ibu pendayung. Ternyata mereka berdua berasal dari negara asal K-Pop, Korea Selatan. Katanya mereka bisa sedikit-sedikit bahasa Vietnam.
Lama-kelamaan perahu-perahu yang tadinya tampak memenuhi sungai ini mulai terpencar. Sebagian besar sepertinya menuju ke rute 1, sehingga suasana tidak seramai tadi, namun masih ada beberapa perahu di depan dan di belakang kami. Wah, pemandangan di sini benar-benar indah lho... aku belum pernah ke Halong Bay, tapi menurut beberapa orang pemandangan di sini melebihi indahnya Halong Bay. Suami sempat ikut mendayung untuk membantu lajunya perahu, dan apabila sedang tidak memotret aku pun turut membantu mendayung. Awalnya agak aneh, tapi lama-kelamaan cukup terbiasa juga hehehehe...
Setelah sekitar 20 menit di dalam perahu, si ibu bertanya apakah kami mau melihat kuil, dan kami semua setuju, dan tidak lama kemudian kami sampai di sebuah daratan. Si ibu mengatakan akan menunggu kami di tempat yang lebih maju lagi.
Jadi kami berempat berpencar dan menjelajah daratan kecil ini, di mana pusat atraksinya adalah sebuah kuil. Karena memang tidak terlalu besar, kami hanya menghabiskan sekitar 5 menit saja di sini untuk melihat-lihat, dan setelah itu kembali ke dalam perahu dan melanjutkan perjalanan.
Selanjutnya, kami memasuki sebuah gua. Memang pemandangan di dalam gua yang dilewati tidak spektakuler seperti di Phong Nha, namun tetap unik. Dan yang pasti, di sini para penumpang perahu harus berhati-hati dan selalu waspada, karena kadang stalaktit yang menonjol dari atas atau permukaan gua itu sendiri sangt rendah hingga bisa membentur ke kepala kita apabila tidak merunduk. Di dalam gua sendiri kadang ada lampunya, tapi lebih sering gelap.
Keluar dari gua, kami kembali dihadapkan dengan pemandangan alam yang sangat indah. Gunung-gunung karst yang tampak menjulang tinggi berdiri dengan megahnya di depan mata kami. Rasanya baru sebentar, kami sudah memasuki sebuah gua lagi, namun kali ini langit-langitnya lebih tinggi dan jaraknya pendek.
Keluar dari gua kedua ini, pemandangan bahkan tampak lebih indah lagi dari sebelumnya. Aku mulai terkagum-kagum di sini. Setelah itu kami diturunkan lagi di sebuah daratan untuk melihat-lihat kuil lagi, sementara si ibu mendayung perahunya ke sisi lain dan menunggu kami di sana.
Area di sini tampak lebih luas dan kuilnya juga lebih besar. Ada toilet yang disediakan agak jauh dari kuil, dan berbayar VND 2K.
Dari tempat ini, kami berempat melanjutkan lagi perjalan naik perahu. Menurutku pemandangan terindah adalah setelah dari kuil kedua barusan. Wow, keren banget deh pokoknya! Di sini juga kemudian si ibu menunukkan ada sebuah lokasi yang tampak di kejauhan, yang digunakan sebagai movie set film King Kong, yaitu tempat yang digunakan sebagai "rumah" Kong.
Waktu menunjukkan jam 12.05 siang saat kami memasuki sebuah gua yang rendah langit-langitnya sehingga kami semua harus merunduk berkali-kali, dan setelah itu kami sampai di sebuah tempat dengan sebuah kuil lagi. Tanpa kami duga, ternyata si ibu mengatakan bahwa kalau mau kami bisa berjalan kaki untuk mencapai King Kong movie set, jadi kami semua setuju untuk ke sana, sementara si ibu akan menunggu di akhir rute.
Di sepanjang perjalanan naik perahu atau saat berhenti untuk melihat kuil-kuil tadi, kadang kami mengobrol dengan kedua pemuda Korea ini. Ternyata keduanya sedang menempuh studi di Hanoi, Vietnam. Junwoo Park, pemuda yang lebih kurus dan lebih muda berusia 23 tahun, sementara Heejong Chae, pemuda yang berbadan lebih besar berusia 28 tahun, dan pernah belajar di New Zealand selama 5 tahun. Tidak heran, bahasa Inggrisnya bagus sekali! Hehehehe...
Kami berempat akhirnya berjalan bersama di Kong Island ini, dan sempat foto bersama untuk kenang-kenangan. Dari sini, kami berjalan sendiri-sendiri lagi, melihat "sisa-sisa" pesawat yang ada di dalam film, dan kemudian setelah itu... kami tiba di sebuah tempat yang tampak seperti desa di mana penduduknya berpakaian jubah berwarna merah. Rumah-rumah mereka dibangun dari rerumputan kering dan berbentuk seperti kerucut. Tidak lama kemudian kami baru menyadari bahwa ini adalah bagian dari lokasi syuting film juga, dan tempat ini memang dimaksudkan sebagai atraksi puncak sekaligus kejutan untuk para pengunjung yang datang. Turis diperbolehkan foto dengan penduduk "suku asli" yang kadang berakting lucu juga. Sepertinya gratis, tapi kami tidak mencoba berfoto dengan mereka hehehehe...
Keluar dari "desa" kecil ini, kami berjalan kembali ke perahu, dan kedua pemuda Korea sudah menunggu di tepi sungai. Sebetulnya semenjak di kuil kedua tadi, mereka sempat menawarkan apabila kami mau bergantian duduk di depan, hanya saja kami merasa tidak perlu. Si ibu sempat menyerahkan selembar kertas untuk kami isi. Ternyata semacam kuesioner untuk pelayanan boat tour ini, demi menjaga kualitas layanan dan kejujuran para pendayung. Bagus juga sih menurutku...
Dari tempat ini, perjalanan kembali ke titik awal hanya makan waktu sekitar 20 menit saja, dan kami berempat ikut mendayung agar perahu bisa melaju dengan cepat. Sesampai kembali di daratan, kami berdua menyerahkan tips sebesar VND 20K kepada ibu tersebut. Memang tidak seberapa, tapi mudah-mudahan bisa cukup membantu. Kalau aku tidak salah membaca, para pendayung di Trang An ini hanya menerima gaji kurang dari US$ 10 per harinya, padahal kerja mereka cukup berat. Kasihan juga sebetulnya ya...
Setelah mendarat, barulah kami berdua bertukar nama Facebook dengan kedua pemuda Korea tadi, dengan harapan bisa bertemu kembali di Hanoi. Sayang sekali baterai HP-ku sudah tinggal 3% sehingga semua layanan internet otomatis non-aktif dan tidak bisa mencari mereka di Facebook. Aku hanya mencatat nama mereka berdua untuk kucari belakangan (dan bahkan setelah menggunakan laptop pun tidak bisa menemukan profil yang cocok karena nama mereka berdua sangat pasaran).
Setelah keduanya berpamitan karena harus mengejar transportasi, kami berdua mencari tempat duduk yang cukup nyaman di dekat sungai untuk istirahat dan makan bekal sisa roti sarapan yang kami bawa. Waktu sudah menunjukkan jam 12.45, tidak heran perut rasanya sudah mulai lapar.
Setelah perut sedikit terisi, kami melihat-lihat di sekitar di mana banyak penjual makanan ringan dan oleh-oleh. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli dua macam snack di sini, dan harganya juga tidak terlalu mahal. Satu plastik besar masing-masing harganya VND 20K.
Setelah itu baru kami kembali berjalan ke tempat parkir sepeda motor. Suami sempat agak bingung mencari sepeda motor yang kami sewa hahahaha... dan akhirnya ketemu juga. Setelah membayar VND 15K kepada petugas yang berjaga, kami meninggalkan Trang An.
Oya, di dekat pertigaan menuju ke Tam Coc, kami melihat beberapa penjual daging kambing sewaktu berangkat, karenanya saat pulang kami bermaksud untuk membeli daging kambing ini walaupun harganya agak mahal. Kalau tidak salah lihat, ada yang memasang harga VND 300K/kg. Untuk daging kambing panggang masih OK-lah harga segitu, jadi kami berniat membeli 1/4 kg untuk makan malam. Saat kami mendatangi salah satu pedagang di tepi jalan ini dan aku perhatikan lebih dekat,ternyata daging yang dijualnya bisa dibilang masih mentah, hanya bagian luarnya saja yang seperti dipanggang atau diasap (bentuknya masih utuh seekor kambing). Akhirnya kami batal membeli karena tidak tahu mau dimasak bagaimana, dan kemudian para pedagang ini malah menertawakan kami yang mengira dagingnya matang hahahaha.... Ada-ada saja deh...
Sekitar jam 1.50 siang, akhirnya kami sampai di penginapan. Karena sudah masak nasi namun belum ada lauknya, suami usul untuk masak mie instan saja. Jadilah siang ini kami makan nasi dan mie instan lagi hehehehe.... yang penting perut kenyang dan hati bahagia ^_^
Usai makan siang, kami bersiap-siap dan kemudian keluar lagi untuk mencari kompor listrik atau panci listrik di kota Ninh Binh. Dengan berbekal Google Map, jam 2.30 siang kami berdua naik motor menuju ke pusat kota Ninh Binh yang berjarak sekitar 7 KM dari penginapan. Beruntung seharian ini cuaca tidak panas.
Setelah melewati beberapa jalan besar yang cukup membingungkan, akhirnya kami sampai di pusat kota. Kami nberhenti dulu di ATM Military Bank yang tampak di tepi jalan raya, dan setelah mengantri beberapa orang, akhirnya kami menarik uang tunai di tempat ini.
Catatan: transaksi masing-masing 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.813.040, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Setelah mengambil uang tunai, kami parkir di satu tempat yang tampak banyak toko elektroniknya, lalu memasuki toko demi toko. Dari semua toko yang kami masuki, tidak ada satu pun orang yang bisa berbicara bahasa Inggris, jadi aku menggunakan jurus mutakhir Google Translate untuk menerjemahkan "electric stove" atau "electric saucepan".
Wah, untuk komunikasinya saja sulit, ditambah lagi barang yang dicari juga tidak ada. Lebih dari 5 toko kami masuki tanpa hasil. Ada sih yang jual kompor listrik, tapi ukurannya besar dan cukup berat. Malah akhirnya kami ke ATM untuk ambil uang (mumpung ada Military Bank ATM), dan membeli baterai untuk timbangan digital kami.
Kami memutuskan untuk masuk ke sebuah toko elektronik yang tampak sangat besar dan mewah (kalau di Jawa Timur semacam Hartono Elektronik), berharap bisa menemukan yang kami cari.
Di toko besar ini sama saja, tidak ada staffnya yang mengerti bahasa Inggris. Saat bertanya kompor listrik memang ada, tapi ukurannya masih terlalu besar buat kami. Cukup lama aku ragu-ragu di tempat ini. Suami mengatakan lebih baik cari di Hanoi saja, di kota yang lebih besar. Sementara aku merasa bahwa kebutuhan alat masak ini sudah mendesak. Di lain pihak, saat kutanya kepada salah satu staff di sini mengenai perbandingan harga di Hanoi dan di Ninh Binh, dia dengan yakin berkata bahwa Ninh Binh lebih murah.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, dengan berat hati aku meninggalkan tempat ini tanpa membeli apa pun.
Kembali kami berkendara, dan sempat bertanya lagi di lain toko, yang kemudian menunjukkan sebuah tempat di mana apa yang kami cari mungkin ada. Dengan penuh harap, kami akhirnya sampai di sebuah mall elektronik lainnya, dan keluar tanpa hasil. Setelah itu kami melewati sebuah mall elektronik lagi dan masuk ke tempat ini dan mencoba lagi untuk terakhir kali.
Tidak jauh berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, Pico Electronic yang kami masuki ini tidak menjual kompor listrik maupun panci listrik yang kami cari. Aku iseng melihat-lihat saja dan berkeliling, saat mataku melihat deretan teko listrik dan tiba-tiba terbersit ide bahwa setidaknya teko listrik bisa untuk masak air, mie instan, dan harusnya bisa untuk menumis sayuran, merebus daging, dan banyak lagi!
Setelah mengutarakan ideku, suami akhirnya setuju, dan kami memilih sebuah teko listrik merk Comet dengan daya 1.500 watt yang bentuknya ideal dengan keinginanku (dan kebetulan paling murah hahahaha). Harga di bandrolnya VND 199K, namun pada saat membayar ternyata hanya VND 149K. Wah, senang sekali dapat diskon hehehehe...
Setelah membayar di kasir, kami harus mengambilnya di bagian pengambilan barang. Di sini aku menanyakan lokasi pasar tradisional kepada salah satu staff, dan menjawab dengan bingung. Wah, benar-benar susah berkomunikasi walaupun sudah menggunakan Google Translate!
Keluar dari Pico Electronic, waktu sudah menunjukkan jam 4.30 sore, dan kami hendak langsung kembali ke Tam Coc, saat aku melihat deretan penjual sayur di sebuah jalan kecil. Akhirnya kami putar balik dan menemukan sebuah pasar tradisional!
Di pasar kecil bernama Cho Rong Market inilah aku pertama kalinya membeli sayur kangkung di Vietnam. Harganya VND 4K untuk 2 ikat besar (tapi kangkungnya pendek-pendek sekali), dan 1 kg tomat seharga VND 10K. Kami juga membeli 1 kg beras seharga VND 14K. Kemudian untuk daging, tadinya kami mencari daging ayam, tapi saat mendatangi seorang pedagang ayam, modelnya seperti yang tidak butuh pembeli dan ternyata harga ayam jantan (yang notabene pasti lebih alot) VND 100K/kg. Walah, kami urung membeli, dan mencari daging babi saja yang lebih murah. Akhirnya kami mendapatkan 1/2 kg daging babi seharga VND 30K saja.
Selama memutari pasar, beberapa kali aku diajak mengobrol dalam bahasa Vietnam oleh pedagang yang kami lewati, karena mereka pikir kami orang lokal hahahaha...
Setelah lengkap semua bahan masak, kami berkendara kembali ke Tam Coc. Memasuki Tam Coc, menjelang sampai di penginapan, kami berhenti di sebuah toko kelontong yang agak besar. Niat awalnya hanya membeli susu dan odol saja, namun ternyata semua barang yang dijual di sini relatif murah sekali, bahkan termurah sepanjang di Vietnam, jadi aku sekalian membeli kopi instan dan mie instan. Total belanja di sini VND 81K untuk 4 kotak susu, 1 kotak kopi instan, 4 buah mie instan, dan 1 buah odol Pepsodent besar. Sempat juga membeli vodka lokal (rice wine) di toko di dekat penginapan.
Kami baru sampai di penginapan jam 5.30 petang. Kami berdua membereskan barang-barang karena besok akan check-out pagi hari demi mengejar bus ke Cat Ba. Packing sepertinya merupakan hal yang remeh, tapi kadang bisa makan waktu lama supaya bisa maksimal.
Usai packing waktu sudah menunjukkan jam 6.30 petang, dan aku mulai menyiapkan sayuran dan daging untuk dimasak. Pertama kalinya dalam hidupku aku masak tumis kangkung dengan tomat dan daging babi menggunakan sebuah teko listrik! Yah, waktu awal menumis dasar tekonya langsung agak kehitaman dengan aroma gosong memenuhi kamar karena panas sekali hahahaha.... tapi pada akhirnya jadi kok.
Jadi usai masak kami berdua makan nasi dengan lauk seadanya ini dengan lahap. Tidak ada rasa atau aroma gosong juga yang terasa hehehehe... ^_^
Baru sekitar jam 8 malam kami bergantian mandi dengan air hangat, dan setelah mandi barulah terasa lelahnya tubuh setelah seharian beraktivitas. Jam 8.30 malam kami pun tertidur karena kelelahan dan kekenyangan.... ^_^
Hari ini kami hanya berjalan kaki sejauh 8 KM, karena banyak berada di atas perahu dan sepeda motor. Selama di Tam Coc, suhu pagi atau malam hari berkisar antara 13-14 derajat Celcius, dan siang hari sekitar 19 derajat Celcius, jadi relatif cukup dingin, karenanya kadang orang sedikit heran melihatku atau suami yang kadang berpakaian cukup minimalis hahahaha...
Pagi ini aku bangun jam 5.15 pagi. Cukup puas dengan tidur yang lumayan nyenyak semalam. Aku melakukan aktivitas pagi seperti biasa, dan tidak lupa masak nasi untuk makan kami seharian ini.
Suami terbangun oleh bunyi alarm jam 6 pagi. Hari ini rencananya kami akan mengunjungi Hang Mua (Mua Cave) dan ke Trang An untuk mengikuti boat tour di sana, karenanya kami berusaha untuk bangun awal.
Setelah mandi dan bersiap-siap, jam 6.50 pagi kami berdua turun ke restoran di lantai dasar dan menantikan sarapan. Sementara menunggu, aku sempat melihat-lihat suasana di luar penginapan. Jalannya masih sepi sekali dan kebanyakan toko masih tutup. Hanya sesekali saja ada motor yang lewat di jalan ini.
Tam Coc berjarak sekitar 90 KM dari Hanoi, dan 7 KM di barat kota Ninh Binh. Tam Coc sendiri berarti 3 gua, dan gua yang dimaksud adalah Hang Cả, Hang Hai, dan Hang Ba - yang semuanya berlokasi di Ngô Đồng River. Jadi apabila kita mengambil boat tour yang ada di Tam Coc, intinya adalah untuk melihat gua-gua ini, selain juga melihat sawah-sawah yang diairi oleh sungai Ngo Dong dan limestone karsts. Orang Vietnam bahkan menjuluki area sawah yang menghijau di Tam Coc ini sebagai The Green Sea. Area ini juga disebut sebagai versi daratan dari Ha Long Bay. Area Tam Coc dan Bich Dong luasnya meliputi 350 hektar.
Jadi, desa tempat kami menginap ini sebenarnya bernama Van Lam, dan tempat ini memang merupakan titik awal bagi boat tour untuk melihat keindahan Tam Coc. Ketiga buah gua yang berada di Tam Coc ini terbentuk secara alami dari proses erosi selama jangka waktu yang lama, dan memiliki ketinggian sekitar 2 meter. Hang Ca Cave panjangnya sekitar 127 meter dan merupakan yang terbesar dari ketiganya. Hang Hai Cave panjangnya sekitar 70 meter, berjarak sekitar 1 KM dari Hang Ca Cave. Sementara Hang Ba Cave merupakan yang terkecil dari ketiganya dengan jarak hanya sekitar 45 meter saja.
Van Lam, desa tempat kami berada saat ini, terkenal dengan hasil kerajinan sulamnya. Pengrajin setempat membuat sulaman di saputangan, serbet, taplak meja, T-shirt, dan berbagai macam barng lain yang terbuat dari kain. Kebanyakan hasil kerajinan tangan mereka dijual di Hanoi, namun apabila berminat membelinya, akan lebih murah berbelanja di desa Van Lam ini ^_^
Tidak lama kemudian, hanya sekitar 10 menit menunggu, sarapan pun dihidangkan. Masing-masing kami mendapatkan sebongkah roti yang besar yang hangat, empuk, dan diisi dengan telur orak-arik, beserta irisan tomat dan timun di piring. Walaupun tampaknya sederhana, bagiku sarapan ini cukup mewah karena disajikan hangat. Kopi yang kami pesan hanya berupa seduhan kopi instan, tapi cukuplah untuk menghangatkan pagi ini. Seperti biasa, karena aku tidak terbiasa sarapan, aku menyisihkan roti jatahku untuk dimakan nanti dan kusimpan di dalam rantang plastik yang kami bawa. Aku hanya makan telur serta tomat dan timun yang tersaji. Nyam nyam... Not bad, not bad at all! ^_^
Usai sarapan, kami berdua mengatakan kepada sang pemilik penginapan bahwa kami akan menyewa sepeda motor untuk 1 hari saja. Tarifnya hanya VND 90K, dan katanya dibayar besok saja. Kami bebas memilih helm dari tumpukan helm yang ada, dan walaupun rasanya sudah mengambil 2 yang terbaik, helmku ternyata susah sekali diklik talinya. Tapi tidak terlalu masalah, karena hari ini kami tidak akan pergi jauh-jauh.
Jam 7.26 pagi, kami berangkat naik sepeda motor menuju ke Hang Mua atau Mua Cave, yang jaraknya hanya sekitar 4,3 KM. Tentunya aku sudah mencari tahu lokasi pombensin terdekat, dan kebetulan memang kami lewati, jadi kami mengisi bensin VND 25K saja. Setelah mengisi bensin barulah kami nonstop menuju ke Mua Cave. Jalanan masih tampak relatif sepi, apalagi kemudian kami melewati jalan-jalan desa yang kecil. Pemandangan selama di pedesaan ini memang indah, banyak gunung-gunung limestone yang terlihat sepanjang jalan.
Nah, ini ada tips bagi yang hendak berkunjung ke Mua Cave. Aku membaca banyak keluhan, mendekati lokasi akan ada banyak orang yang setengah memaksa, bahkan berteriak-teriak agar pengunjung parkir di tempat yang mereka tunjuk. Jangan mau!!!
Cuek saja dan lewati semuanya, hingga sampai ke tujuan akhir, di mana kita akan memasuki gerbang Mua Caves Ecolodge. Mua Cave memang dikelola oleh Mua Caves Ecolodge, jadi kita akan masuk ke lapangan parkirnya. Bagi yang punya budget lebih, bisa menginap di sini jadi tidak perlu repot naik sepeda motor untuk naik ke viewpoint-nya.
Kalau kita berangkat cukup pagi (seperti kami hari ini), orang-orang yang katanya akan memaksa parkir di tempat mereka itu masih belum tampak. Selain itu, Mua Cave merupakan tempat wisata yang cukup touristy, jadi lebih pagi lebih baik ^_^
Kami sampai di Mua Caves Ecolodge tepat jam 8 pagi, dan memarkirkan sepeda motor di tempat yang disediakan (gratis). Setelah itu kami menuju ke loket tiket. Harga tiket per orangnya adalah VND 100K. Setelah membeli tiket, kami masih ke toilet umum yang disediakan di area parkir. Saat itulah aku melihat ada seorang turis (bule, kalau tidak salah dari Spanyol) yang hendak masuk tanpa membeli tiket. Saat diminta membeli tiket, katanya semua uangnya dipegang oleh dua orang temannya yang sudah naik lebih dulu, dan masih berusaha masuk tanpa harus membeli tiket. Wah, menurutku ini memalukan sekali sih.... Belakangan pun setelah kami naik hingga ke puncak dan turun kembali, kami tidak menemui ada turis lain dari Spanyol, jadi sepertinya dia memang mencoba untuk masuk gratis. Benar-benar perbuatan yang tidak patut ditiru, dan entah bagaimana nasibnya kemudian, karena setelah itu kami berdua berjalan dan tidak lagi menghiraukannya.
Jalan setapak yang kami lewati dihiasi dengan berbagai macam pot bunga yang indah dan berwarna-warni di kanan kiri. Dari kejauhan sudah tampak anak tangga yang mengular untuk menuju ke viewpoint di puncak. Aku membaca bahwa untuk sampai ke puncak dibutuhkan mendaki sekitar 500 anak tangga.
Ada banyak ornamen yang kami temui sepanjang jalan setapak ini. Mulai dari sepeda yang dipenuhi dengan perabotan dari bambu, patung-patung kuda, gua-gua bertema Natal, hingga patung-patung berbentuk kambing. Setelah itu kami menyeberangi sebuah jembatan pendek. Dari sini, kemegahan gunung Mua sudah makin terlihat. Setelah melewati sebuah taman dengan beberapa patung sebagai hiasan, kami melewati Tiger Cave, dan kemudian mulai mendaki Mua Mountain (The Lying Dragon Mountain).
Deretan anak tangga menanti di depan mata. Siapa takut???
Kami berdua mulai mendaki anak-anak tangga ini dengan penuh semangat. Awalnya masih normal, namun makin ke atas makin curam dan memang agak licin. Pemandangan semakin ke atas semakin indah, pastinya. Tampak juga ada deretan anak tangga lain untuk menuju ke puncak yang lain. Baru sekitar 8 menit mendaki tangga, kami sampai di sebuah spot yang sangat indah. Dan setelah mendaki lagi selama 1-2 menit, kami sudah sampai ke puncaknya yang tertinggi. Jujur saja sama sekali tidak melelahkan kok, apalagi udaranya cukup dingin di pagi hari.
Sementara di sisi lain, kami bisa melihat ke puncak satunya yang lebih rendah, dengan background view yang sangat indah juga, di mana gunung-gunung bebatuan kecil tampak menjulang. Suami sudah wanti-wanti tidak mau ke sana, karena tangga menuju ke sana memang tampak lebih berbahaya dan menyeramkan hehehehe...
Di viewpoint tertinggi ini, ada sebuah patung Dewi Kwan Im, dan tampaknya orang lokal berdoa dan memberikan sesajen di tempat ini. Dari sini kami juga bisa melihat patung naga yang menjadi icon tempat ini. Aku tidak menyadarinya hingga aku sampai di puncak yang lebih rendah, namun seandainya tahu pun, sepertinya aku tidak berani mencapai patung naga tersebut, karena sepertinya cukup berbahaya dan dibutuhkan keberanian khusus untuk ke sana hehehehe...
Setelah hampir 30 menit kami nongkrong di sini sambil memotret dan menikmati suasana, datanglah 3 orang pemuda. Ternyata mereka semuanya ramah dan menyenangkan, jadi kami sempat mengobrol cukup akrab dengan mereka. Ketiganya berasal dari USA, namun dua di antara mereka asli dari Filipina. Nick, Jordan, dan Jearvin. Ketiganya baik, namun yang paling suka mengobrol adalah Jearvin. Kami pun sempat bertukar Facebook account agar tetap bisa berkomunikasi di kemudian hari. Kami juga sempat berfoto bersama agar tidak melupakan momen ini hehehehe...
Kami berdua berpamitan terlebih dahulu untuk naik ke viewpoint yang satunya. Suami yang tadinya mengatakan tidak mau naik ke sini, ternyata ikut naik juga. Katanya, dia lebih kuatir kalau terjadi apa-apa pada diriku dibandingkan kuatir tempatnya yang berbahaya. Awww... so sweet... thank you, honey ^_^
Anak tangga menuju ke puncak yang lebih rendah ini memang lebih berbahaya dan cenderung agak menyeramkan, namun yang ada dalam pikiranku adalah, kalau aku hanya mempunyai kesempatan satu kali saja ke tempat ini, aku harus melakukannya! Walaupun dengan agak merinding-merinding, akhirnya kami berdua sampai di puncak kedua, yang pemandangannya tidak kalah indah dengan puncak pertama yang lebih tinggi tadi.
Dari viewpoint ini, kami bisa melihat bahwa Nick, Jordan dan Jearvin mendaki sampai ke patung naga, dan memang tampak menyeramkan sekali. Kami banyak berfoto juga di sini, walaupun agak seram karena tingkat keamanannya memang sangat rendah. Kalau ceroboh bisa saja terjatuh dan terluka parah. Bayangkan, aku yang begitu takutnya dengan ketinggian, bisa berada di tempat yang seperti ini hehehehe...
Oya, di sudut bebatuan di viewpoint ini ada sebuah bangku yang diletakkan begitu saja, dan bagi kami berdua hal ini sebetulnya agak aneh. Entah siapa gerangan yang repot-repot membawanya ke sini hahahaha...
Saat kami masih menikmati indahnya pemandangan di sini, Nick, Jordan dan Jearvin yang tadinya berkata akan naik ke sini, melambaikan tangan dari kejauhan dan berpamitan, katanya mereka akan langsung turun. Sewaktu kami berbincang-bincang memang mereka mengatakan bahwa waktu yang mereka miliki sangat terbatas, karena harus mengejar kendaraan untuk pindah kota. Mereka juga berencana akan mengunjungi negeri tercinta Indonesia, namun saat itu kami masih akan berada di Vietnam.
Setelah sekitar 20 menit berada di tempat ini, kami memutuskan untuk turun. Tentu saja waktu untuk turun lebih cepat daripada waktu naik, dan saat sedang turun ini kami berjumpa dengan dua orang ibu yang tampaknya sudah berusia minimal 60 tahunan yang sedang berjalan naik. Kami berdua menyemangati mereka dan salut dengan semangat mereka.
Waktu menunjukkan jam 9.10 pagi saat kami sampai kembali di dasar. Kami berminat mengunjungi gua utama yang ada di sini: Mua Cave. Dari review banyak orang, katanya guanya sendiri tidak layak dikunjungi, dan atraksi utamanya adalah viewpoint di puncak gunungnya. Namun karena sudah sampai di sini, tidak ada salahnya kami mencoba mengunjunginya sekalian karena lokasinya sangat dekat.
Ada semacam cafe dengan banyak tempat duduk yang sepertinya diperuntukkan bagi pengunjung yang hendak istirahat di sini, namun saat itu kondisinya masih tutup. Mendekati gua, tampak ada sebuah toilet, dan kami memutuskan untuk ke toilet dulu. Bangunannya unik karena terbuat dari bambu, namun kondisi di dalamnya cukup modern dengan toilet duduk yang bersih. Kekurangannya hanya satu, ada lubang di mana orang bisa mengintip, karenanya kami bergantian saling berjaga di depan toilet untuk memastikan tidak ada orang lain yang mengintip hahahaha....
Dari sini, kami memasuki Mua Cave. Ada beberapa gubuk yang dulunya mungkin dijadikan tempat berjualan dan kini kosong. Semakin masuk ke dalam gua, suasananya tampak gelap dan kadang remang-remang dengan beberapa lampu yang terpasang. Di beberapa tempat guanya sangat rendah hingga kami harus membungkuk untuk bisa melewatinya. Setelah berjalan beberapa puluh meter, kami tiba di sebuah ujung yang buntu, di mana tampak genangan air seperti danau kecil, dan tampak ada semacam tempat untuk berdoa di sudut seberang danau kecil ini. Jujur saja suasananya memang agak sedikit creepy di dalam gua ini, karenanya setelah mengambil beberapa foto dan video kami tidak terlalu berlama-lama di sini.
Kami masuk ke gua ini dari arah kanan, dan saat keluar kami memilih ke kiri, yang ternyata menuju ke alam terbuka di luar gua. Di dekat ujung gua banyak terdapat tempat-tempat duduk dan meja yang terbuat dari batu. Dugaanku, dulunya tempat ini mungkin dijadikan semacam cafe atau restoran, namun karena tidak menguntungkan jadi tidak dioperasikan lagi. Di sisi lain gua ini, lagi-lagi tampak area yang luas dikelilingi gunung-gunung limestone yang indah.
Tidak seperti biasanya, suami tiba-tiba merasakan mules, dan kebetulan ada sebuah toilet di luar gua ini. Akhirnya suami menghabiskan beberapa menit di dalam toilet yang sepertinya sudah lama tidak dipakai ini. Positifnya adalah di tempat ini tidak ada orang lain selain kami berdua, jadi bebas menggunakan toiletnya tanpa harus kuatir ada orang yang mengantri. Bahkan kata suami toiletnya pun bersih dan cukup nyaman hehehehe...
Memang betul, karena tempat ini dianggap tidak indah oleh para pengunjung dibandingkan dengan viewpoint di puncak, tidak ada seorang pun yang tampak semenjak kami memasuki area gua. Tapi kami jadi bisa menikmati tempat ini dengan tenang tanpa ada yang mengganggu, serasa milik sendiri. Setelah puas berada di sini, jam 9.23 pagi kami memutuskan untuk kembali keluar. Setelah keluar dari area gua, kami lewat jalan setapak yang berbeda dengan waktu kami datang tadi. Di sini aku melihat ada sebuah sumur yang tampak cukup creepy di dekat sebuah kolam. Kami juga melewati sebuah ayunan yang terpasang di sebuah pohon di tepi kolam. Setelah itu kami melewati kamar-kamar milik penginapan, yang nilainya tentu saja di atas VND 500K per malamnya.
Akhirnya kami kembali lagi ke jalan setapak dengan pot-pot bunga di kanan kiri jalan, dan sampai di parkiran. Meninggalkan Mia Caves Ecolodge, karena hari masih cukup pagi, kami langsung berkendara menuju ke Trang An, yang jaraknya hanya sekitar 4,5 KM saja.
Tràng An adalah daerah yang indah di dekat Ninh Bình, Vietnam, yang terkenal akan wisata gua perahunya. Pada tanggal 23 Juni 2014, Kompleks Pemandangan Indah di Trang An dimasukkan sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 2014, yang meliputi Hoa Lư, Tam Cốc/Bích Động, dan Bai Dinh Temple. Trang An memiliki 31 lembah, 48 gua, dan beberapa gua di antanya memiliki panjang hingga 2 KM seperti Dia Linh Cave, Sinh Duong Cave, dan May Cave.
Bahkan sebelum sampai di tempat untuk tour dengan perahu, alam di Trang An ini tampak sangat indah. Gunung-gunung kecil menyembul di segala arah, dan suasananya sendiri tampak sangat menyenangkan. Kami sampai di area naik perahu Trang An Grottoes jam 9.30 pagi, dan memarkirkan sepeda motor di tempat yang sudah disediakan. Untuk parkir sepeda motor biayanya VND 15K, tapi dibayar belakangan. Kebetulan penjaga parkirnya cukup ramah dan sempat menanyakan asal negara kami. Seringkali orang Vietnam berkata, Indonesia Vietnam same-same, maksudnya wajahnya mirip-mirip hehehehe...
Tempat ini ternyata touristy sekali, tapi memang lebih banyak dikunjungi oleh penduduk lokal daripada turis asing. Saat kami datang, suasana sudah tampak ramai sekali, terutama oleh turis-turis lokal. Di sebelah area parkir sepeda motor tampak banyak penjual makanan dan souvenir yang berderet-deret. Menyeberangi jalan, kami lalu menyeberangi sebuah jembatan, dan dari atas jembatan ini tampak sudah banyak perahu-perahu yang berlayar membawa para penumpang.
Sebelum membeli tiket, ada sebuah papan yang memberikan informasi rute-rute yang ada. Jadi, harga tiket per orang dewasa adalah VND 200K, dan dengan tiket ini pengunjung berhak memilih salah satu rute yang diinginkan. Beruntung kami sudah mendapatkan tips dari Jearvin dan kawan-kawannya tadi di Mua Cave. Mereka mengambil rute 3, yang walaupun paling pendek namun katanya viewnya paling bagus. Biasanya orang mencari rute dengan durasi terlama (rute 1) atau yang melewati King Kong movie set yang ada di rute 2 dan rute 3. Kami malah baru tahu kalau boat tour ini akan melewati tempat syuting film King Kong tersebut, dan memutuskan untuk mengambil rute 3 juga.
Antrian di loket penjualan tiket hanya sedikit, sehingga kami segera dilayani. Tiketnya berupa kartu elektronik seperti pada saat membeli tiket naik cable car di Dalat. Setelah itu aku masih mencari toilet terlebih dahulu, karena asumsinya akan berada di dalam perahu selama beberapa jam. Ternyata toilet di sini pun bayar VND 2K, dan kondisinya pun sangat ramai sehingga harus antri juga.
Usai dari toilet, kami mengikuti jalur menuju ke tepi sungai. Seperti waktu naik cable car, pengunjung harus mengantri melalui lajur-lajur yang disediakan, dan di ujungnya kita tinggal memasukkan tiket tersebut ke dalam alat pemeriksa kartu. Mirip seperti waktu naik kereta api di Australia dulu.
Nah, setelah itu semua pengunjung bebas memilih perahu yang banyak sekali tertambat di tepian sungai ini. Jujur saja suasananya cukup chaotic, dan tidak ada petugas yang mengatur untuk rute 1, 2 atau 3. Aku sempat bertanya beberapa kali kepada beberapa turis asing, karena ternyata di sini setiap perahu memuat 4 orang, dan pengunjung harus mencari sendiri orang-orang untuk membentuk satu tim hingga muat ke dalam satu perahu. Beberapa yang kutanya, kebanyakan mengambil rute 1 yang paling panjang. Setelah beberapa menit cukup kebingungan, aku melihat dua orang pemuda berwajah Asia yang sepertinya juga sedang mencari partner dan menyebutkan rute 3. Pikirku, tak mengapalah satu perahu dengan orang lokal atau orang RRC, dan berharap saja mereka berdua tidak menyebalkan sepanjang perjalanan nanti.
Akhirnya kami berempat naik ke dalam perahu, aku dan suami duduk di belakang dan kedua pemuda tadi duduk di depan. Perahu di sini bisa dibilang agak seram karena sangat rendah/dangkal bagian dalamnya, dan kalau ada penumpang yang bergeser sedikit langsung tidak stabil. Jadi selama di dalam perahu bisa dibilang aku tidak berani menggerakkan pantat sama sekali hahahaha....
Pendayung perahu kami adalah seorang perempuan berusia sekitar 50 tahunan. Saat kami sudah naik, baru beliau bertanya kami mau rute berapa, hanya dengan bahasa isyarat. Setelah kami jawab rute 3, beliau langsung mendayung perahu dengan semangat. Bisa dibilang rute 3 ini masih sangat baru, karena sebelumnya hanya ada rute 1 dan 2. Sementara itu aku melihat ada 4 buah dayung yang diletakkan di sisi penumpang, jadi aku berpikir mungkin nanti harus ikut mendayung juga. Tepat jam 10.05 pagi perahu kami mulai melaju. Perahu-perahu lain pun tampak melaju di sekitar kami, jadi suasananya memang ramai sekali. Baru di awal saja sudah mulai tampak pemandangan di depan mata yang indah. Sayang sekali kami berdua duduk di belakang, sehingga tidak bisa maksimal mengambil foto dan merekam video, karena kedua pemuda di depan kami cukup tinggi.
Semakin jauh, pemandangan tampak semakin indah. Aku sempat menanyakan asal negara kedua pemuda di depan kami ini, karena mereka sempat berbicara bahasa Vietnam dengan si ibu pendayung. Ternyata mereka berdua berasal dari negara asal K-Pop, Korea Selatan. Katanya mereka bisa sedikit-sedikit bahasa Vietnam.
Lama-kelamaan perahu-perahu yang tadinya tampak memenuhi sungai ini mulai terpencar. Sebagian besar sepertinya menuju ke rute 1, sehingga suasana tidak seramai tadi, namun masih ada beberapa perahu di depan dan di belakang kami. Wah, pemandangan di sini benar-benar indah lho... aku belum pernah ke Halong Bay, tapi menurut beberapa orang pemandangan di sini melebihi indahnya Halong Bay. Suami sempat ikut mendayung untuk membantu lajunya perahu, dan apabila sedang tidak memotret aku pun turut membantu mendayung. Awalnya agak aneh, tapi lama-kelamaan cukup terbiasa juga hehehehe...
Setelah sekitar 20 menit di dalam perahu, si ibu bertanya apakah kami mau melihat kuil, dan kami semua setuju, dan tidak lama kemudian kami sampai di sebuah daratan. Si ibu mengatakan akan menunggu kami di tempat yang lebih maju lagi.
Jadi kami berempat berpencar dan menjelajah daratan kecil ini, di mana pusat atraksinya adalah sebuah kuil. Karena memang tidak terlalu besar, kami hanya menghabiskan sekitar 5 menit saja di sini untuk melihat-lihat, dan setelah itu kembali ke dalam perahu dan melanjutkan perjalanan.
Selanjutnya, kami memasuki sebuah gua. Memang pemandangan di dalam gua yang dilewati tidak spektakuler seperti di Phong Nha, namun tetap unik. Dan yang pasti, di sini para penumpang perahu harus berhati-hati dan selalu waspada, karena kadang stalaktit yang menonjol dari atas atau permukaan gua itu sendiri sangt rendah hingga bisa membentur ke kepala kita apabila tidak merunduk. Di dalam gua sendiri kadang ada lampunya, tapi lebih sering gelap.
Keluar dari gua, kami kembali dihadapkan dengan pemandangan alam yang sangat indah. Gunung-gunung karst yang tampak menjulang tinggi berdiri dengan megahnya di depan mata kami. Rasanya baru sebentar, kami sudah memasuki sebuah gua lagi, namun kali ini langit-langitnya lebih tinggi dan jaraknya pendek.
Keluar dari gua kedua ini, pemandangan bahkan tampak lebih indah lagi dari sebelumnya. Aku mulai terkagum-kagum di sini. Setelah itu kami diturunkan lagi di sebuah daratan untuk melihat-lihat kuil lagi, sementara si ibu mendayung perahunya ke sisi lain dan menunggu kami di sana.
Area di sini tampak lebih luas dan kuilnya juga lebih besar. Ada toilet yang disediakan agak jauh dari kuil, dan berbayar VND 2K.
Dari tempat ini, kami berempat melanjutkan lagi perjalan naik perahu. Menurutku pemandangan terindah adalah setelah dari kuil kedua barusan. Wow, keren banget deh pokoknya! Di sini juga kemudian si ibu menunukkan ada sebuah lokasi yang tampak di kejauhan, yang digunakan sebagai movie set film King Kong, yaitu tempat yang digunakan sebagai "rumah" Kong.
Waktu menunjukkan jam 12.05 siang saat kami memasuki sebuah gua yang rendah langit-langitnya sehingga kami semua harus merunduk berkali-kali, dan setelah itu kami sampai di sebuah tempat dengan sebuah kuil lagi. Tanpa kami duga, ternyata si ibu mengatakan bahwa kalau mau kami bisa berjalan kaki untuk mencapai King Kong movie set, jadi kami semua setuju untuk ke sana, sementara si ibu akan menunggu di akhir rute.
Di sepanjang perjalanan naik perahu atau saat berhenti untuk melihat kuil-kuil tadi, kadang kami mengobrol dengan kedua pemuda Korea ini. Ternyata keduanya sedang menempuh studi di Hanoi, Vietnam. Junwoo Park, pemuda yang lebih kurus dan lebih muda berusia 23 tahun, sementara Heejong Chae, pemuda yang berbadan lebih besar berusia 28 tahun, dan pernah belajar di New Zealand selama 5 tahun. Tidak heran, bahasa Inggrisnya bagus sekali! Hehehehe...
Kami berempat akhirnya berjalan bersama di Kong Island ini, dan sempat foto bersama untuk kenang-kenangan. Dari sini, kami berjalan sendiri-sendiri lagi, melihat "sisa-sisa" pesawat yang ada di dalam film, dan kemudian setelah itu... kami tiba di sebuah tempat yang tampak seperti desa di mana penduduknya berpakaian jubah berwarna merah. Rumah-rumah mereka dibangun dari rerumputan kering dan berbentuk seperti kerucut. Tidak lama kemudian kami baru menyadari bahwa ini adalah bagian dari lokasi syuting film juga, dan tempat ini memang dimaksudkan sebagai atraksi puncak sekaligus kejutan untuk para pengunjung yang datang. Turis diperbolehkan foto dengan penduduk "suku asli" yang kadang berakting lucu juga. Sepertinya gratis, tapi kami tidak mencoba berfoto dengan mereka hehehehe...
Keluar dari "desa" kecil ini, kami berjalan kembali ke perahu, dan kedua pemuda Korea sudah menunggu di tepi sungai. Sebetulnya semenjak di kuil kedua tadi, mereka sempat menawarkan apabila kami mau bergantian duduk di depan, hanya saja kami merasa tidak perlu. Si ibu sempat menyerahkan selembar kertas untuk kami isi. Ternyata semacam kuesioner untuk pelayanan boat tour ini, demi menjaga kualitas layanan dan kejujuran para pendayung. Bagus juga sih menurutku...
Dari tempat ini, perjalanan kembali ke titik awal hanya makan waktu sekitar 20 menit saja, dan kami berempat ikut mendayung agar perahu bisa melaju dengan cepat. Sesampai kembali di daratan, kami berdua menyerahkan tips sebesar VND 20K kepada ibu tersebut. Memang tidak seberapa, tapi mudah-mudahan bisa cukup membantu. Kalau aku tidak salah membaca, para pendayung di Trang An ini hanya menerima gaji kurang dari US$ 10 per harinya, padahal kerja mereka cukup berat. Kasihan juga sebetulnya ya...
Setelah mendarat, barulah kami berdua bertukar nama Facebook dengan kedua pemuda Korea tadi, dengan harapan bisa bertemu kembali di Hanoi. Sayang sekali baterai HP-ku sudah tinggal 3% sehingga semua layanan internet otomatis non-aktif dan tidak bisa mencari mereka di Facebook. Aku hanya mencatat nama mereka berdua untuk kucari belakangan (dan bahkan setelah menggunakan laptop pun tidak bisa menemukan profil yang cocok karena nama mereka berdua sangat pasaran).
Setelah keduanya berpamitan karena harus mengejar transportasi, kami berdua mencari tempat duduk yang cukup nyaman di dekat sungai untuk istirahat dan makan bekal sisa roti sarapan yang kami bawa. Waktu sudah menunjukkan jam 12.45, tidak heran perut rasanya sudah mulai lapar.
Setelah perut sedikit terisi, kami melihat-lihat di sekitar di mana banyak penjual makanan ringan dan oleh-oleh. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli dua macam snack di sini, dan harganya juga tidak terlalu mahal. Satu plastik besar masing-masing harganya VND 20K.
Setelah itu baru kami kembali berjalan ke tempat parkir sepeda motor. Suami sempat agak bingung mencari sepeda motor yang kami sewa hahahaha... dan akhirnya ketemu juga. Setelah membayar VND 15K kepada petugas yang berjaga, kami meninggalkan Trang An.
Oya, di dekat pertigaan menuju ke Tam Coc, kami melihat beberapa penjual daging kambing sewaktu berangkat, karenanya saat pulang kami bermaksud untuk membeli daging kambing ini walaupun harganya agak mahal. Kalau tidak salah lihat, ada yang memasang harga VND 300K/kg. Untuk daging kambing panggang masih OK-lah harga segitu, jadi kami berniat membeli 1/4 kg untuk makan malam. Saat kami mendatangi salah satu pedagang di tepi jalan ini dan aku perhatikan lebih dekat,ternyata daging yang dijualnya bisa dibilang masih mentah, hanya bagian luarnya saja yang seperti dipanggang atau diasap (bentuknya masih utuh seekor kambing). Akhirnya kami batal membeli karena tidak tahu mau dimasak bagaimana, dan kemudian para pedagang ini malah menertawakan kami yang mengira dagingnya matang hahahaha.... Ada-ada saja deh...
Sekitar jam 1.50 siang, akhirnya kami sampai di penginapan. Karena sudah masak nasi namun belum ada lauknya, suami usul untuk masak mie instan saja. Jadilah siang ini kami makan nasi dan mie instan lagi hehehehe.... yang penting perut kenyang dan hati bahagia ^_^
Usai makan siang, kami bersiap-siap dan kemudian keluar lagi untuk mencari kompor listrik atau panci listrik di kota Ninh Binh. Dengan berbekal Google Map, jam 2.30 siang kami berdua naik motor menuju ke pusat kota Ninh Binh yang berjarak sekitar 7 KM dari penginapan. Beruntung seharian ini cuaca tidak panas.
Setelah melewati beberapa jalan besar yang cukup membingungkan, akhirnya kami sampai di pusat kota. Kami nberhenti dulu di ATM Military Bank yang tampak di tepi jalan raya, dan setelah mengantri beberapa orang, akhirnya kami menarik uang tunai di tempat ini.
Catatan: transaksi masing-masing 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.813.040, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Wah, untuk komunikasinya saja sulit, ditambah lagi barang yang dicari juga tidak ada. Lebih dari 5 toko kami masuki tanpa hasil. Ada sih yang jual kompor listrik, tapi ukurannya besar dan cukup berat. Malah akhirnya kami ke ATM untuk ambil uang (mumpung ada Military Bank ATM), dan membeli baterai untuk timbangan digital kami.
Kami memutuskan untuk masuk ke sebuah toko elektronik yang tampak sangat besar dan mewah (kalau di Jawa Timur semacam Hartono Elektronik), berharap bisa menemukan yang kami cari.
Di toko besar ini sama saja, tidak ada staffnya yang mengerti bahasa Inggris. Saat bertanya kompor listrik memang ada, tapi ukurannya masih terlalu besar buat kami. Cukup lama aku ragu-ragu di tempat ini. Suami mengatakan lebih baik cari di Hanoi saja, di kota yang lebih besar. Sementara aku merasa bahwa kebutuhan alat masak ini sudah mendesak. Di lain pihak, saat kutanya kepada salah satu staff di sini mengenai perbandingan harga di Hanoi dan di Ninh Binh, dia dengan yakin berkata bahwa Ninh Binh lebih murah.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, dengan berat hati aku meninggalkan tempat ini tanpa membeli apa pun.
Kembali kami berkendara, dan sempat bertanya lagi di lain toko, yang kemudian menunjukkan sebuah tempat di mana apa yang kami cari mungkin ada. Dengan penuh harap, kami akhirnya sampai di sebuah mall elektronik lainnya, dan keluar tanpa hasil. Setelah itu kami melewati sebuah mall elektronik lagi dan masuk ke tempat ini dan mencoba lagi untuk terakhir kali.
Tidak jauh berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, Pico Electronic yang kami masuki ini tidak menjual kompor listrik maupun panci listrik yang kami cari. Aku iseng melihat-lihat saja dan berkeliling, saat mataku melihat deretan teko listrik dan tiba-tiba terbersit ide bahwa setidaknya teko listrik bisa untuk masak air, mie instan, dan harusnya bisa untuk menumis sayuran, merebus daging, dan banyak lagi!
Setelah mengutarakan ideku, suami akhirnya setuju, dan kami memilih sebuah teko listrik merk Comet dengan daya 1.500 watt yang bentuknya ideal dengan keinginanku (dan kebetulan paling murah hahahaha). Harga di bandrolnya VND 199K, namun pada saat membayar ternyata hanya VND 149K. Wah, senang sekali dapat diskon hehehehe...
Setelah membayar di kasir, kami harus mengambilnya di bagian pengambilan barang. Di sini aku menanyakan lokasi pasar tradisional kepada salah satu staff, dan menjawab dengan bingung. Wah, benar-benar susah berkomunikasi walaupun sudah menggunakan Google Translate!
Keluar dari Pico Electronic, waktu sudah menunjukkan jam 4.30 sore, dan kami hendak langsung kembali ke Tam Coc, saat aku melihat deretan penjual sayur di sebuah jalan kecil. Akhirnya kami putar balik dan menemukan sebuah pasar tradisional!
Di pasar kecil bernama Cho Rong Market inilah aku pertama kalinya membeli sayur kangkung di Vietnam. Harganya VND 4K untuk 2 ikat besar (tapi kangkungnya pendek-pendek sekali), dan 1 kg tomat seharga VND 10K. Kami juga membeli 1 kg beras seharga VND 14K. Kemudian untuk daging, tadinya kami mencari daging ayam, tapi saat mendatangi seorang pedagang ayam, modelnya seperti yang tidak butuh pembeli dan ternyata harga ayam jantan (yang notabene pasti lebih alot) VND 100K/kg. Walah, kami urung membeli, dan mencari daging babi saja yang lebih murah. Akhirnya kami mendapatkan 1/2 kg daging babi seharga VND 30K saja.
Selama memutari pasar, beberapa kali aku diajak mengobrol dalam bahasa Vietnam oleh pedagang yang kami lewati, karena mereka pikir kami orang lokal hahahaha...
Setelah lengkap semua bahan masak, kami berkendara kembali ke Tam Coc. Memasuki Tam Coc, menjelang sampai di penginapan, kami berhenti di sebuah toko kelontong yang agak besar. Niat awalnya hanya membeli susu dan odol saja, namun ternyata semua barang yang dijual di sini relatif murah sekali, bahkan termurah sepanjang di Vietnam, jadi aku sekalian membeli kopi instan dan mie instan. Total belanja di sini VND 81K untuk 4 kotak susu, 1 kotak kopi instan, 4 buah mie instan, dan 1 buah odol Pepsodent besar. Sempat juga membeli vodka lokal (rice wine) di toko di dekat penginapan.
Kami baru sampai di penginapan jam 5.30 petang. Kami berdua membereskan barang-barang karena besok akan check-out pagi hari demi mengejar bus ke Cat Ba. Packing sepertinya merupakan hal yang remeh, tapi kadang bisa makan waktu lama supaya bisa maksimal.
Usai packing waktu sudah menunjukkan jam 6.30 petang, dan aku mulai menyiapkan sayuran dan daging untuk dimasak. Pertama kalinya dalam hidupku aku masak tumis kangkung dengan tomat dan daging babi menggunakan sebuah teko listrik! Yah, waktu awal menumis dasar tekonya langsung agak kehitaman dengan aroma gosong memenuhi kamar karena panas sekali hahahaha.... tapi pada akhirnya jadi kok.
Jadi usai masak kami berdua makan nasi dengan lauk seadanya ini dengan lahap. Tidak ada rasa atau aroma gosong juga yang terasa hehehehe... ^_^
Baru sekitar jam 8 malam kami bergantian mandi dengan air hangat, dan setelah mandi barulah terasa lelahnya tubuh setelah seharian beraktivitas. Jam 8.30 malam kami pun tertidur karena kelelahan dan kekenyangan.... ^_^
Hari ini kami hanya berjalan kaki sejauh 8 KM, karena banyak berada di atas perahu dan sepeda motor. Selama di Tam Coc, suhu pagi atau malam hari berkisar antara 13-14 derajat Celcius, dan siang hari sekitar 19 derajat Celcius, jadi relatif cukup dingin, karenanya kadang orang sedikit heran melihatku atau suami yang kadang berpakaian cukup minimalis hahahaha...
And by the way, sejauh ini belum pernah ada orang yang menebak umur kami dengan benar! Pada umumnya orang tidak percaya saat diberi tahu usia kami sesungguhnya atau ditunjukkan foto bertiga dengan putri kami hahahaha... Kebanyakan orang menebak usia kami berdua berada di kisaran 20-30 tahunan hehehehe... Semoga bisa selalu tampak seperti itu seterusnya ^_^
To be continued.......
To be continued.......
No comments:
Post a Comment