29 Maret 2018
Semalaman di dalam bus, aku terjaga beberapa kali, tapi pada umumnya masih bisa tidur. Baru sekitar jam 5.30 pagi aku benar-benar terbangun. Keadaan di luar masih remang-remang, dan udara masih terasa agak dingin. Beruntung juga AC-nya tidak terlalu dingin, karena aku membaca banyak turis bule yang mengeluh AC di dalam sleeper bus terlalu dingin, sampai harus mengenakan jaket dan kaos kaki.
Aku melihat tujuan kami, stasiun bus di Da Nang, sudah tinggal beberapa puluh kilometer lagi, maka aku pun bersiap-siap dengan menyisir rambut, minum air putih, dan mengelap badan dengan tissue basah. Pada umumnya para penumpang lain masih tertidur nyenyak, termasuk suamiku. Baru sekitar jam 6 pagi aku membangunkannya, agar nanti tidak terburu-buru saat sampai.
Sekitar jam 6.20 pagi, aku melihat sang kernet mulai membangunkan para penumpang. Tinggal beberapa kilometer lagi sebelum bus sampai ke terminal. Saat kernetnya berkeliling inilah aku bertanya kepadanya mengenai transportasi dari terminal nanti, karena aku membaca informasi bahwa dalam radius 10 KM, penumpang berhak mendapatkan tumpangan gratis dari pihak Futa Bus dan diantar sampai ke tujuan, sementara aku melihat di Google Map bahwa jarak dari penginapan yang sudah kami booking hanya 2 KM saja dari terminal. Sang kernet menjawab nanti kami tinggal ke kantor Futa Bus di terminal dan menunjukkan tujuan kami. Dia meyakinkanku bahwa tidak akan dipungut biaya, jadi aku merasa lebih tenang, tidak perlu mencari transportasi umum atau jalan kaki.
Bus sampai di terminal Da Nang jam 6.40 pagi. Aku sempat memberi tahu si gadis dari RRC bahwa kalau dia mau, tidak perlu naik taxi dan bisa diantar gratis ke penginapannya. Kami berdua turun dari bus, lalu mencari kantor Futa Bus. Seperti biasa, para driver taxi langsung menyerbu penumpang yang baru turun dari bus, dan menawarkan jasanya. Walaupun sudah kami tolak, banyak yang masih setengah memaksa dan bertanya mau ke mana. Aku hanya menunjukkan Google Map saja sebagai jawabannya. Si gadis RRC ini entah mengerti atau tidak perkataanku, karena awalnya dia seperti ragu-ragu, tapi pada akhirnya mereka berdua naik taksi. Mungkin tidak mau repot menunggu ya...
Kami mendatangi counter Futa Bus dan menunjukkan tujuan kami, lalu petugasnya menyuruh kami duduk dan menunggu di situ. Aku melihat seorang perempuan petugas kebersihan yang sedang menyortir sampah dari tempat sampah di sudut ruangan. Sejauh ini aku melihat rata-rata petugas kebersihan adalah perempuan.
Aku menanyakan lagi kepada petugas Futa Bus yang berjaga, dan katanya minivan yang akan mengantar penumpang baru akan berangkat jam 7.15 sementara saat itu waktu baru menunjukkan jam 7 pagi. Sambil menunggu, aku ke toilet dulu. Kondisi toiletnya agak kotor, tapi lumayanlah tidak sampai bau. Baru keluar dari toilet, aku melihat suami sudah berdiri, katanya minivannya sudah akan berangkat sekarang. Kami pun meletakkan backpack kami di bagian belakang minivan dan segera duduk di dalamnya. Selain kami berdua hanya ada dua pemuda Asia di dalam minivan ini, entah turis Asia atau penduduk lokal.
Jam 7.10 pagi, minivan berangkat. Karena tujuan kami yang paling dekat, kami diantar pertama. Dalam perjalanan yang cukup singkat ini, aku melihat ada bundaran dengan banyak persimpangan, dan ada jalan di atas dan jalan di bawah. Wah aku sudah membayangkan kalau sampai naik sepeda motor dan harus melewati bundaran ini, pasti membingungkan.
Kami sampai di depan Nha Nghi Loq Quyen/Loq Quyen Guest House (di Google Map namanya Hostel Loq Quyen) jam 7.20 pagi, dan tampak pintu depan sudah terbuka. Setelah berterima kasih kepada sang driver, kami masuk de dalam guest house.
Seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun menyambut kami di dalam ruangan yang tampaknya seperti ruang tamu sekaligus menyambung dengan dapur. Setelah kusampaikan bahwa kami sudah booking online, dia mengatakan bahwa kami baru bisa check-in jam 12 siang. Jujur saja aku agak kecewa, karena tadinya berharap bisa check-in dan mandi dulu, baru sewa motor untuk ke Hoi An. Tapi ya sudahlah, aku tidak mau berburuk sangka, mungkin kamarnya masih ada yang mengisi (walaupun sepertinya enggak sih). Private room di Loq Quyen ini harganya VND 150K/malam, dan ini adalah yang termurah di Da Nang.
Kami sebenarnya sudah sempat membicarakan kemungkinan apabila tidak boleh check-in pagi hari. Rencananya kami akan langsung sewa motor dan berangkat ke Hoi An saja. Yang terpenting adalah mendapatkan gas untuk kompor kami.
Aku menanyakan apakah boleh menitipkan backpack kami, dan katanya boleh. Untuk sewa sepeda motor, tarifnya VND 100K. Selain itu kami juga harus meninggalkan paspor untuk menyewa sepeda motor, dengan berbagai alasan dari pemiliknya. Bahkan fotocopy paspor pun tidak boleh. Akhirnya kami setuju meninggalkan sebuah paspor kami, mengambil barang-barang yang penting saja, memasukkannya ke dalam ransel kecil kami, dan menyewa sepeda motor yang ada.
Kami meninggalkan Loq Quyen jam 7.45 pagi, mencari pombensin terdekat dan membeli bensin sebanyak VND 40K, lalu menuju Hoi An dalam keadaan kucel dan tidak karuan hahahaha... Sepeda motornya matic, tapi kata suami sangat tidak nyaman dikendarai. Remnya tidak enak, dan klaksonnya ternyata juga tidak berfungsi. Belum lagi helmnya juga helm batok seperti sebelumnya, rasanya sewaktu-waktu bisa kabur.
Kami menuju ke Hoi An lewat jalur selatan, jadi tidak memasuki pusat kota Da Nang. Namun demikian, jalanan tetap ramai oleh kendaraan, utamanya sepeda motor. Banyak juga truk-truk besar dan container yang melewati jalan ini. Matahari bersinar dengan cerah, namun udara masih belum terasa panas. Kami melewati beberapa jembatan, traffic light, dan kawasan yang penuh dengan hotel-hotel mewah. Sekitar 45 menit kemudian, setelah berkendara lebih dari 30 KM, kami memasuki kota Hoi An.
Hoi An, dulunya dikenal sebagai Fai-Fo atau Faifoo, merupakan sebuah kota dengan populasi penduduk sekitar 120 ribu jiwa, yang berada di Provinsi Quảng Nam. Total areanya meliputi 60 kilometer persegi, dan dinobatkan sebagai UNESCO World Heritage Site semenjak tahun 1999. Salah satu simbol kota ini adalah Japanese Bridge yang dibangun kisaran abad 16-17 dan berada di area Old Town.
Saat ini Hoi An menjadi salah satu pusat turisme karena faktor sejarah, arsitektur tradisional, dan hasil kerajinan tangannya, seperti textil dan keramik.
Hoi An merupakan pelabuhan utama yang digunakan oleh Kerajaan Cham pada abad ke-7 hingga abad ke-10 untuk mengontrol perdagangan strategis berupa rempah-rempah dari Indonesia. Pada abad ke-16 hingga abad ke-17, kota ini menjadi pelabuhan internasional yang sangat penting. Budaya dan warisan di Hoi An terutama berasal dari rakyat Champa, yang diduga berasal dari Pulau Jawa. Menarik ya?
Walaupun bisnis perkapalan sudah lama dipindahkan ke Da Nang, Old Town masih merupakan jantung kota Hoi An, dengan jalannya yang berliku-liku dan toko-toko bergaya China. Walaupun saat ini hampir semua toko diperuntukkan bagi para turis, arsitektur aslinya tetap dijaga dengan baik.
Turisme di Hoi An berkembang pesat karena kemudahan-kemudahan yang diberikan bagi para turis untuk mengeksplorasi kota ini dengan sepeda motor, sepeda, kayak, dan perahu motor. Sungai Thu Bon masih dianggap penting bagi daerah ini setelah António de Faria pertama kali menyusurinya lebih dari 500 tahun yang lalu, terutama untuk transportasi dan distribusi produk makanan.
Kota yang sudah lama menjadi kota pelabuhan perdagangan ini menawarkan berbagai macam hidangan lokal yang merupakan perpaduan antara budaya Asia Timur dan Asia Tenggara selama berabad-abad. Banyak kelas memasak yang diadakan di Hoi An, di mana turis bisa belajar membuat cao lầu atau braised spiced pork noodle, hidangan khas kota ini. Aktivitas ini pun belakangan menjadi populer bagi wisatawan yang mengunjunginya.
Hoi An juga dikenal sebagai kota yang memproduksi pakaian dan sepatu, dengan lebih dari 600 toko yang melayani jumlah turis yang terbatas. Biasanya turis bule yang suka membuat pakaian dan sepatu, seperti gaun dan jas.
Hoi An memiliki beberapa museum, yaitu:
- The Museum of History and Culture, berlokasi di 13 Nguyen Hue St
- The Hoi An Folklore Museum, berlokasi di 33 Nguyen Thai Hoc Street
- The Museum of Trade Ceramicsberlokasi di 80 Tran Phu Street
- The Museum of Sa Huỳnh Culture, berlokasi di 49 Tran Phu Street
- The Precious Heritage Museum, berlokasi di 26 Phan Boi Chau
Semua museum ini dikelola oleh Hoi An Center for Cultural Heritage Management and Preservation. Untuk masuk ke museum-museum tersebut pengunjung wajib membeli tiket masuk Hoi An.
Sekali membeli tiket Old Town sebesar VND 120K, pengunjung akan diberi 5 buah kupon yang bisa digunakan untuk masuk ke 5 atraksi yang bisa dipilih, termasuk di antaranya museum, rumah-rumah kuno, gedung pertemuan, pertunjukan musik tradisional, teater tradisional, Japanese Covered Bridge, dan Kuil Quan Cong. Tiket dijual di beberapa titik masuk ke Old Town. Untuk memasuki area Old Town, pengunjung diharapkan berpakaian sopan untuk menghormati budaya lokal.
Apabila tidak berniat masuk ke salah satu tempat tersebut, TIDAK PERLU membeli tiket yang harganya cukup mahal ini. Pengunjung bisa tetap berjalan-jalan di area Old Town.
Bagi yang menginap di Da Nang atau naik pesawat ke bandara di Da Nang, cara termurah untuk ke Hoi An adalah dengan naik bus umum, yaitu bus #1. Bus ini akan melalui pusat kota Da Nang (termasuk halte-halte di pasar dan stasiun kereta api), dan berhenti tepat di luar pusat kota Hoi An (sekitar 10 menit berjalan kaki). Tarif resminya semenjak Februari 2016 adalah VND 20K, namun aku membaca beberapa artikel yang mengatakan tarifnya VND 30K. Bus ini jalan tiap 20-30 menit, atau selambat-lambatnya tiap jam. Rute juga berlaku sebaliknya, dari Hoi An ke Da Nang.
Apabila hendak naik bus ini, sebaiknya memberikan uang pas, karena sering terjadi scam, di mana sang kondektur akan meminta VND 50K untuk turis, sementara orang lokal akan berpura-pura bahwa mereka juga membayar VND 50K. Walaupun membawa bagasi, seharusnya tidak dikenakan biaya lebih, karenanya tolaklah dengan halus apabila sang kondektur minta uang lagi. Yang pasti jaga baik-baik barang-barang bawaan kita.
Untuk informasi lebih lengkap mengenai segala sesuatu tentang Hoi An, bisa dibuka di sini.
Kembali ke cerita ya....
Memasuki Hoi An, suasananya tampak sekali touristy. Banyak turis bule di mana-mana. Rumah makan, cafe, dan berbagai macam toko, memadati jalanan.
Kami langsung menuju ke tempat yang katanya menjual gas untuk kompor camping kami. Lokasinya masuk ke dalam gang-gang kecil, bahkan untuk sepeda motor berputar balik saja tidak bisa.
Setelah menemukan lokasinya, ternyata hanya rumah biasa. Kami disambut oleh seorang pemuda, yang ternyata bukan pemilik tempat ini, melainkan adiknya. Kami dipersilakan masuk olehnya. Pemuda ini menghubungi kakaknya, karena aku memang sudah janjian untuk datang pagi ini, hanya tidak menyebutkan jamnya secara pasti. Aku melihat-lihat isi lemari yang ternyata memang berisi banyak gear untuk camping dan kegiatan outdoor lainnya. Gas yang kami cari-cari selama ini, ada di tempat ini!
Ada 3 buah tabung gas kecil, dan kami memutuskan untuk membeli 2 buah, walaupun harganya cukup mahal. Per buahnya dihargai VND 180K (sekitar IDR 108K), sementara pertama kali kami membelinya di Thamel, Nepal, harganya NRs 200 (sekitar IDR 26K). Tapi karena kami membutuhkannya, mau tidak mau ya dibeli, biar bagaimanapun masih lebih murah daripada membeli nasi yang sudah matang.
Setelah ditawar, harga per buahnya menjadi VND 175K, lumayanlah irit VND 10K hahahaha...
Usai mendapatkan gas, kami memikirkan akan ke mana selanjutnya. Karena kondisi kami yang masih kucel dan awut-awutan, kami memutuskan untuk mencari cafe untuk ngopi sekaligus numpang cuci muka dan ke toilet. Mengitari jalanan di seputaran kota, akhirnya kami berhenti di Thy Thy Cafe, yang dari luar tampaknya sudah bernuansa modern.
Suasana cafenya sendiri nyaman dan menyenangkan. Tampak beberapa pengunjung lokal sedang menghabiskan pagi harinya di tempat ini. Selain kami, ada sekitar 5 meja lagi yang terisi pengunjung. Sepertinya kami juga sempat bertemu dengan pemiliknya saat baru datang. Dialah yang menyambut kami dan memanggilkan orang untuk melayani kami.
Kami memesan dua cangkir white coffee, masing-masing seharga VND 25K. Cukup mahal sebetulnya, tapi ternyata rasanya enak sekali, dan penyajiannya pun menarik. Cangkirnya diletakkan di atas wadah berisi lilin, sehingga kopi akan tetap hangat. Selain itu kami juga diberi secangkir teh hangat. Walaupun namanya white coffee, tetap saja kopinya tampak hitam. Kopinya sangat kental, jadi ketika sudah habis hampir separuh, kutambahkan air lagi supaya penuh lagi hahahaha... Rasanya jadi seperti kopi susu seperti pada umumnya.
Hampir satu jam kami menghabiskan waktu di tempat ini sembari merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Karena toiletnya bersih dan luas, kami merasa nyaman memakai toilet di cafe ini. Karena ada sabun cair di wastafel, aku menyempatkan diri untuk sikat gigi, cuci muka, dan sedikit membasuh badan agar segar kembali ^_^
Karena sudah sampai Hoi An, sekalian saja kami putuskan untuk jalan-jalan ke Old Town yang termashyur itu. Mengikuti arahan Google Map menuju ke Old Town, ternyata kami beberapa kali menemui jalan di mana kendaraan bermotor tidak boleh masuk. Akhirnya kami memutar sampai agak jauh, dan parkir di pinggir jalan di tepi sungai kecil, karena di sini kendaraan bermotor juga tidak boleh lewat.
Kami berjalan kaki memasuki area Old Town (kalau di Google Map namanya Ancient Town). Jalan-jalannya relatif agak kecil dan belum terlalu ramai, mungkin karena masih agak pagi. Kami sampai di tepian Sungai Thu Bon dan menyusuri tepiannya sampai ke Japanese Bridge (di Google Map namanya Bridge of Lights). Suasana di sini tampak lebih ramai dengan turis Asia maupun turis bule. Beberapa kali kami menyaksikan turis RRC yang sedang naik becak. Kemudian ada pula rombongan turis bule yang naik kendaraan entah apa namanya, tapi sering kulihat di Queenstown, New Zealand.
Suasananya memang menyenangkan walaupun touristy. Kami sempat duduk-duduk dan banyak mengambil foto di sini. Kemudian kami menyusuri Nguyen Thai Hoc, sebuah jalan kecil yang banyak digantungi lampion. Lanterns (lampion-lampion) yang digantung melintang di jalan ini memang banyak disebut oleh para turis. Memang tampak indah, dengan berbagai macam bentuk dan warna, menghiasi sepanjang jalan ini. Banyak juga toko-toko yang dihias dengan lampion yang berwarna-warni ini di luarnya, indah sekali ^_^
Kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan yang diperuntukkan khusus untuk berjalan kaki. Ternyata jalan yang tadi kami tidak boleh lewat naik motor, kami lewati juga dengan jalan kaki. Tampak ada seorang laki-laki yang hendak menyerobot masuk ke jalan ini, dan langsung dimarahi oleh penjaganya. Tiap ujung jalan memang ada yang menjaga. Bagus juga sih, jadi orang-orang bisa tertib pada peraturan.
Rata-rata sepanjang jalan dipadati oleh kios-kios dan toko-toko yang menjual berbagai macam barang, mulai pakaian hingga lampion. Banyak juga cafe dan restoran, sekaligus warung kaki lima di pinggir jalan. Kebanyakan bangunannya berupa bangunan tua.
Ada beberapa kuil dan bangunan tua yang dipadati oleh turis, dan ternyata tempat-tempat inilah yang kalau kita ingin melihat atau masuk ke dalamnya, harus membeli tiket yang mahal tadi. Bagi kami berdua, melihat dari luar saja sudah cukup. Suasana di jalan justru lebih menyenangkan, selain juga irit hahahaha...
Oya, sempat ada kejadian di mana aku melihat seorang turis perempuan dari RRC, berusia sekitar 30-an, membuang satu kantong plastik agak besar berisi beberapa buah styrofoam, sepertinya bekas wadah makanan. Dengan enaknya dia menaruhnya di pinggir jalan, ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki pemilik toko di tempat tersebut yang berteriak-teriak memarahi turis RRC tadi. Sepertinya dia memaki-maki, tapi karena menggunakan bahas Vietnam, aku tidak tahu apa yang dikatakannya. Si turis RRC kemudian dengan setengah malu mengambil kembali sampah yang dibuangnya barusan.
Aku sempat mendatangi laki-laki pemilik toko ini dan bertanya, apakah mereka turis dari RRC? Si bapak pemilik toko ini dengan antusiasnya menjawab iya. Waktu kukatakan kami berdua dari Indonesia, dia berkata, aku benci sekali turis dari RRC. Mereka semua jorok dan suka buang sampah sembarangan! Dia malah berpikir kami berdua dari Thailand hehehehe....
Sekitar jam 10.45, setelah kami meras cukup melihat-lihat di Hoi An, kami memutuskan untuk kembali ke Da Nang. Karena jalan yang kami tempuh sama dengan jalan menuju ke pantai Hoi An yang cukup terkenal, tadinya kami ingin mampir dulu ke sana. Tapi begitu melihat di perempatan menuju ke pantai tersebut banyak bus dan kendaraan yang menuju ke sana, kami pun mengurungkan niat. Dasarnya kami lebih suka gunung daripada pantai, kalau berkunjung ke pantai yang penuh dengan turis, apalagi harus bayar, rasanya ogah banget deh. Kami yakin pantai-pantai di Bali masih jauh lebih indah.
Perjalanan menuju kembali ke Da Nang aman dan lancar. Seperti sebelumnya, kami melewati jalan di mana di tepi jalan tersebut berjejer hotel-hotel dan resort mewah yang membentang di sepanjang pesisir pantai. Hmmm pastinya harganya mahal sekali menginap di tempat-tempat seperti ini.
Karena sebelumnya ada teman yang mengatakan pantai di Da Nang indah sekali, kami melewati jalan lain saat memasuki kota Da Nang, kali ini jalan yang lewat di pesisir pantai. Aku mencari tempat di mana kami bisa parkir gratis untu melihat-melihat sejenak ke pantainya.
Kami berhenti di jalan Vo Nguyen Giap, di tepi My Khe Beach, dan aku berjalan kaki ke arah pantai sementara suami menunggu di sepeda motor karena kuatir tidak boleh parkir di tempat ini.
Walaupun masih tampak sepi di pantainya, kentara sekali pantai ini touristy. Banyak bangku-bangku pantai yang berjajar di sepanjang pesisir pantai, dengan payung-payung pantai untuk melindungi dari teriknya matahari. Tentunya untuk bisa duduk di bangku-bangku tersebut harus bayar. Tampak pula ada semacam papan skate board yang diberi tulisan daftar harga aktivitas yang bisa dilakukan oleh turis, sekaligus daftar harga minuman. Ada pula locker yang bisa digunakan untuk menitipkan barang.
Kalau dilihat, suasananya tampak kontras sekali. Di satu sisi, pantai berpasir putih bersih, gambaran aktivitas outdoor yang menyenangkan bagi mereka yang suka wisata pantai. Sementara di seberang jalan, berdiri bangunan-bangunan bertingkat yang tinggi-tinggi, kebanyakan hotel, dan suasana jalan raya yang cukup ramai dengan kendaraan bermotor. Di satu sisi alam yang indah, di lain sisi suasana kota besar yang ramai dan sangat modern.
Hanya sekitar 15 menit kami melihat-lihat di sini, lalu pergi dan menuju ke pasar. Aku mulai mempelajari kalau di Google Map tidak ada "market", maka yang dicari adalah "cho" yang berarti pasar atau "cho dem" yang berarti pasar malam. Aku menemukan ada dua buah pasar di pusat kota Da Nang, dan kami pergi ke Con Market, karena dari reviewnya sepertinya ini adalah pasar basah. Kami hendak membeli beras dan bahan lain untuk dimasak.
Kami sengaja lewat Dragon Bridge, karena jembatan ini cukup terkenal. Sesuai namanya, Jembatan Naga, di tengah jembatan sebagai pemisah jalan, terdapat bentuk naga yang sangat besar dan berwarna keemasan. Kalau malam hari sang naga akan berwarna-warni karena dipasangi banyak lampu. Cukup menarik juga melewati jembatan ini.
Kami sampai di Con Market jam 11.35 siang, dan memarkirkan sepeda motor. Biaya parkirnya VND 4K (sepertinya seharusnya kurang dari ini, tapi biasa deh, karena turis jadi dinaikkan harganya).
Memasuki pasar di dalam gedung, yang tampak hanyalah para penjual pakaian, sepatu, dan barang-barang "kering" lainnya. Ada sekelompok ibu-ibu dengan pakaian yang sama sedang akan mulai makan siang bersama. Suasananya ramai sekali. Semakin ke dalam, mulai tampak banyak warung makan dan toko-toko perabotan rumah tangga. Setelah menyeberang jalan barulah tampak penjual bumbu-bumbu dapur, beras, ikan asin, dan tentunya sayur mayur dan daging.
Kami belanja 1/2 kg daging babi (VND 35K), 1/2 kg telur ayam (VND 17K), dan garam, minyak serta kecap asin (total VND 29K). Setelah mendapatkan semua yang kami butuhkan untuk masak hari ini, kami pun kembali ke penginapan.
Benar saja, kami sempat bingung karena salah jalan dan harus melewati persimpangan di bundaran dengan banyak cabang yang kulihat pagi tadi. Untung pada akhirnya bisa menemukan jalan pintas yang bisa dilalui sepeda motor, jadi kami bisa kembali ke jalan yang benar menuju penginapan. Andai naik mobil, memutarnya bisa jauh sekali.
Sampai di Loq Quyen, waktu sudah menunjukkan jam 12.20 siang dan kami sudah boleh check-in dan diberi kunci kamar di lantai 2. Kamarnya cukup luas dan terlihat cukup bersih walaupun sudah kuno. Hanya ada sebuah kasur ukuran queen bed dengan sprei yang usang dan ada yang berlubang, sebuah kursi dan meja tempat meletakkan TV tabung. Meja TV-nya tampak berdebu sekali, sepertinya tidak pernah dibersihkan.
Memasuki kamar mandi, ada sebuah shower, wastafel, dan toilet duduk. Ada sebuah ember juga di bawah kran shower. Di atas wastafel dipasang rak plastik yang ada cerminnya. Di rak plastik inilah aku menemukan sikat gigi dan sabun bekas. Sepertinya dari tamu sebelumnya tidak dibersihkan. Kamar mandinya sendiri tampak usang dan banyak berlumut di sana-sini. Kalau boleh jujur, kamar mandinya agak menjijikkan hahahaha.... Beginilah resikonya kalau menginap di penginapan termurah.
Di luar kamar mandi terdapat jendela dengan teralis besi. Kalau jendelanya dibuka, tampak tempat untuk menjemur pakaian dengan tali di luarnya. Yah, setidaknya kalau mencuci baju bisa kena udara dari luar.
Setelah mengeluarkan barang-barang dari dalam backpack, suami mandi dulu sementara aku masih masak nasi dan mempersiapkan bahan untuk dimasak. Baru sekali ini aku mencoba masak nasi dengan panci yang agak tipis, dengan beras yang belum kuketahui karakternya. Cukup lama juga proses masak nasinya hingga benar-benar matang. Untuk lauknya, daging babi kumasak bersama kubis dengan bumbu seadanya.
Usai mandi (akhirnya), kami pun makan bersama. Hmmmm ternyata enak sekali lho, apalagi makannya dalam keadaan lapar hehehehe... ^_^
Dan setelah badan terasa segar dan perut kekenyangan, kami pun tidur siang. Sebetulnya kasurnya amat sangat keras, kalau bukan karena kelelahan mungkin kami tidak bisa tidur.
Terbangun jam 5.30 petang, kami ngopi di kamar dan aku masak dulu untuk bekal makan malam. Rencananya sore ini kami ingin mengunjungi pasar yang satunya, Han Market. Sekitar jam 5.50 petang, kami keluar dari penginapan dan kembali berkendara ke arah pusat kota. Dari pusat kota, penginapan kami jaraknya sekitar 6 KM. Untuk ke Han Market sendiri jaraknya sekitar 6,5 KM. Senja hari ini, lalu lintas tampak lebih ramai dibandingkan siangnya. Suasana sudah remang-remang, dan lampu-lampu kota sudah menyala di tiap sudut kota.
Kami sampai di Han Market jam 6.10 petang. Di sini biaya parkirnya VND 5K dan ditarik di awal. Memasuki pasar, ternyata lebih mirip Ben Tanh market yang kebanyakan pedagangnya berjualan bahan makanan kering, walaupun ada juga yang berjualan bahan segar seperti cabe dan bawang putih. Di sini sempat membeli vodka lokal (rice wine) produksi Hanoi.
Karena tidak ada lagi yang hendak dibeli, kami keluar dari pasar dan berjalan kaki sampai ke tepi Han River, di mana disediakan tempat-tempat duduk untuk pengunjung. Kami memotret Dragon Bridge dan Han Bridge dari kejauhan. Tidak lama kemudian, kami kembali berjalan ke parkiran motor di depan Han Market, lalu berkendara melintasi Dragon Bridge.
Di sisi timur jembatan ini, di Tran Hung Dao, sepertinya banyak orang berhenti dan memarkirkan sepeda motor di tepi sungai, jadi kami pun parkir di tempat ini juga. Aku sempat naik tangga pejalan kaki untuk memotret Dragon Bridge dari dekat, sementara itu ternyata ada petugas (kalau di Indonesia mungkin Satpol PP ya) yang mengusir sepeda-sepeda motor yang sedang parkir di tepi sungai. Beruntung suami ada di dekat sepeda motor, sehingga dia cepat-cepat memindahkan sepeda motornya. Kalau sepeda motor tidak ada pengendaranya, oleh petugas tadi plat nomornya difoto, mungkin akan dikirim surat tilang atau semacam itu. Ternyata di area ini tidak boleh parkir kendaraan bermotor setelah jam 6 petang.
Kami pun menyusuri jalanan di sisi timur Han River, dan menemukan tempat di mana sepeda motor boleh parkir, tepat di pertigaan jalan Durong Nguyen Cong Tru. Tampak ada beberapa warung kaki lima yang menjual minuman dan makanan. Kami pun numpang makan malam di area ini. Sempat mendatangi Gereja Cathedral An Hai dan memotretnya dari luar saja. Hari ini adalah Kamis Putih, karenanya suasana di gereja cukup ramai.
Beranjak pergi, kami melewati Han Bridge. Kedua jembatan ini, Dragon Bridge dan Han Bridge, dihiasi dengan lampu berwarna-warni, jadi tiap beberapa saat lampunya akan berganti warna. Cantik juga sih sebetulnya... hanya saja membayangkan berapa watt listrik yang digunakan hanya untuk jembatan-jembatan yang menghubungkan sisi barat dan sisi timur Han River ini. Belum lagi seluruh kota dipenuhi dengan lampu-lampu yang sangat gemerlapan.
Kembali ke Loq Quyen, waktu sudah menunjukkan jam 8.30 malam. Aku masih berada di depan laptop untuk menyelesaikan pekerjaan dan kemudian mencari informasi transportasi, penginapan, dan hal-hal lain untuk hari-hari ke depannya.
Sekitar jam 11.30 malam kami hendak tidur. Entah kasur atau spreinya memang kurang bersih atau karena hal lain, semalaman badanku terasa gatal-gatal sekali. Baru benar-benar bisa tidur sekitar jam 3 pagi :(
Hari ini terasa melelahkan, karena banyak bepergian kesana-kemari. Total jalan kakinya saja lebih dari 11,5 KM. Apalagi semalam di dalam sleeper bus tidak bisa tidur nyenyak.
Mudah-mudahan hari esok lebih menyenangkan ^_^
To be continued.......
Aku melihat tujuan kami, stasiun bus di Da Nang, sudah tinggal beberapa puluh kilometer lagi, maka aku pun bersiap-siap dengan menyisir rambut, minum air putih, dan mengelap badan dengan tissue basah. Pada umumnya para penumpang lain masih tertidur nyenyak, termasuk suamiku. Baru sekitar jam 6 pagi aku membangunkannya, agar nanti tidak terburu-buru saat sampai.
Sekitar jam 6.20 pagi, aku melihat sang kernet mulai membangunkan para penumpang. Tinggal beberapa kilometer lagi sebelum bus sampai ke terminal. Saat kernetnya berkeliling inilah aku bertanya kepadanya mengenai transportasi dari terminal nanti, karena aku membaca informasi bahwa dalam radius 10 KM, penumpang berhak mendapatkan tumpangan gratis dari pihak Futa Bus dan diantar sampai ke tujuan, sementara aku melihat di Google Map bahwa jarak dari penginapan yang sudah kami booking hanya 2 KM saja dari terminal. Sang kernet menjawab nanti kami tinggal ke kantor Futa Bus di terminal dan menunjukkan tujuan kami. Dia meyakinkanku bahwa tidak akan dipungut biaya, jadi aku merasa lebih tenang, tidak perlu mencari transportasi umum atau jalan kaki.
Bus sampai di terminal Da Nang jam 6.40 pagi. Aku sempat memberi tahu si gadis dari RRC bahwa kalau dia mau, tidak perlu naik taxi dan bisa diantar gratis ke penginapannya. Kami berdua turun dari bus, lalu mencari kantor Futa Bus. Seperti biasa, para driver taxi langsung menyerbu penumpang yang baru turun dari bus, dan menawarkan jasanya. Walaupun sudah kami tolak, banyak yang masih setengah memaksa dan bertanya mau ke mana. Aku hanya menunjukkan Google Map saja sebagai jawabannya. Si gadis RRC ini entah mengerti atau tidak perkataanku, karena awalnya dia seperti ragu-ragu, tapi pada akhirnya mereka berdua naik taksi. Mungkin tidak mau repot menunggu ya...
Kami mendatangi counter Futa Bus dan menunjukkan tujuan kami, lalu petugasnya menyuruh kami duduk dan menunggu di situ. Aku melihat seorang perempuan petugas kebersihan yang sedang menyortir sampah dari tempat sampah di sudut ruangan. Sejauh ini aku melihat rata-rata petugas kebersihan adalah perempuan.
Aku menanyakan lagi kepada petugas Futa Bus yang berjaga, dan katanya minivan yang akan mengantar penumpang baru akan berangkat jam 7.15 sementara saat itu waktu baru menunjukkan jam 7 pagi. Sambil menunggu, aku ke toilet dulu. Kondisi toiletnya agak kotor, tapi lumayanlah tidak sampai bau. Baru keluar dari toilet, aku melihat suami sudah berdiri, katanya minivannya sudah akan berangkat sekarang. Kami pun meletakkan backpack kami di bagian belakang minivan dan segera duduk di dalamnya. Selain kami berdua hanya ada dua pemuda Asia di dalam minivan ini, entah turis Asia atau penduduk lokal.
Jam 7.10 pagi, minivan berangkat. Karena tujuan kami yang paling dekat, kami diantar pertama. Dalam perjalanan yang cukup singkat ini, aku melihat ada bundaran dengan banyak persimpangan, dan ada jalan di atas dan jalan di bawah. Wah aku sudah membayangkan kalau sampai naik sepeda motor dan harus melewati bundaran ini, pasti membingungkan.
Kami sampai di depan Nha Nghi Loq Quyen/Loq Quyen Guest House (di Google Map namanya Hostel Loq Quyen) jam 7.20 pagi, dan tampak pintu depan sudah terbuka. Setelah berterima kasih kepada sang driver, kami masuk de dalam guest house.
Seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun menyambut kami di dalam ruangan yang tampaknya seperti ruang tamu sekaligus menyambung dengan dapur. Setelah kusampaikan bahwa kami sudah booking online, dia mengatakan bahwa kami baru bisa check-in jam 12 siang. Jujur saja aku agak kecewa, karena tadinya berharap bisa check-in dan mandi dulu, baru sewa motor untuk ke Hoi An. Tapi ya sudahlah, aku tidak mau berburuk sangka, mungkin kamarnya masih ada yang mengisi (walaupun sepertinya enggak sih). Private room di Loq Quyen ini harganya VND 150K/malam, dan ini adalah yang termurah di Da Nang.
Kami sebenarnya sudah sempat membicarakan kemungkinan apabila tidak boleh check-in pagi hari. Rencananya kami akan langsung sewa motor dan berangkat ke Hoi An saja. Yang terpenting adalah mendapatkan gas untuk kompor kami.
Aku menanyakan apakah boleh menitipkan backpack kami, dan katanya boleh. Untuk sewa sepeda motor, tarifnya VND 100K. Selain itu kami juga harus meninggalkan paspor untuk menyewa sepeda motor, dengan berbagai alasan dari pemiliknya. Bahkan fotocopy paspor pun tidak boleh. Akhirnya kami setuju meninggalkan sebuah paspor kami, mengambil barang-barang yang penting saja, memasukkannya ke dalam ransel kecil kami, dan menyewa sepeda motor yang ada.
Kami meninggalkan Loq Quyen jam 7.45 pagi, mencari pombensin terdekat dan membeli bensin sebanyak VND 40K, lalu menuju Hoi An dalam keadaan kucel dan tidak karuan hahahaha... Sepeda motornya matic, tapi kata suami sangat tidak nyaman dikendarai. Remnya tidak enak, dan klaksonnya ternyata juga tidak berfungsi. Belum lagi helmnya juga helm batok seperti sebelumnya, rasanya sewaktu-waktu bisa kabur.
Kami menuju ke Hoi An lewat jalur selatan, jadi tidak memasuki pusat kota Da Nang. Namun demikian, jalanan tetap ramai oleh kendaraan, utamanya sepeda motor. Banyak juga truk-truk besar dan container yang melewati jalan ini. Matahari bersinar dengan cerah, namun udara masih belum terasa panas. Kami melewati beberapa jembatan, traffic light, dan kawasan yang penuh dengan hotel-hotel mewah. Sekitar 45 menit kemudian, setelah berkendara lebih dari 30 KM, kami memasuki kota Hoi An.
Hoi An, dulunya dikenal sebagai Fai-Fo atau Faifoo, merupakan sebuah kota dengan populasi penduduk sekitar 120 ribu jiwa, yang berada di Provinsi Quảng Nam. Total areanya meliputi 60 kilometer persegi, dan dinobatkan sebagai UNESCO World Heritage Site semenjak tahun 1999. Salah satu simbol kota ini adalah Japanese Bridge yang dibangun kisaran abad 16-17 dan berada di area Old Town.
Saat ini Hoi An menjadi salah satu pusat turisme karena faktor sejarah, arsitektur tradisional, dan hasil kerajinan tangannya, seperti textil dan keramik.
Hoi An merupakan pelabuhan utama yang digunakan oleh Kerajaan Cham pada abad ke-7 hingga abad ke-10 untuk mengontrol perdagangan strategis berupa rempah-rempah dari Indonesia. Pada abad ke-16 hingga abad ke-17, kota ini menjadi pelabuhan internasional yang sangat penting. Budaya dan warisan di Hoi An terutama berasal dari rakyat Champa, yang diduga berasal dari Pulau Jawa. Menarik ya?
Walaupun bisnis perkapalan sudah lama dipindahkan ke Da Nang, Old Town masih merupakan jantung kota Hoi An, dengan jalannya yang berliku-liku dan toko-toko bergaya China. Walaupun saat ini hampir semua toko diperuntukkan bagi para turis, arsitektur aslinya tetap dijaga dengan baik.
Turisme di Hoi An berkembang pesat karena kemudahan-kemudahan yang diberikan bagi para turis untuk mengeksplorasi kota ini dengan sepeda motor, sepeda, kayak, dan perahu motor. Sungai Thu Bon masih dianggap penting bagi daerah ini setelah António de Faria pertama kali menyusurinya lebih dari 500 tahun yang lalu, terutama untuk transportasi dan distribusi produk makanan.
Kota yang sudah lama menjadi kota pelabuhan perdagangan ini menawarkan berbagai macam hidangan lokal yang merupakan perpaduan antara budaya Asia Timur dan Asia Tenggara selama berabad-abad. Banyak kelas memasak yang diadakan di Hoi An, di mana turis bisa belajar membuat cao lầu atau braised spiced pork noodle, hidangan khas kota ini. Aktivitas ini pun belakangan menjadi populer bagi wisatawan yang mengunjunginya.
Hoi An juga dikenal sebagai kota yang memproduksi pakaian dan sepatu, dengan lebih dari 600 toko yang melayani jumlah turis yang terbatas. Biasanya turis bule yang suka membuat pakaian dan sepatu, seperti gaun dan jas.
Hoi An memiliki beberapa museum, yaitu:
- The Museum of History and Culture, berlokasi di 13 Nguyen Hue St
- The Hoi An Folklore Museum, berlokasi di 33 Nguyen Thai Hoc Street
- The Museum of Trade Ceramicsberlokasi di 80 Tran Phu Street
- The Museum of Sa Huỳnh Culture, berlokasi di 49 Tran Phu Street
- The Precious Heritage Museum, berlokasi di 26 Phan Boi Chau
Semua museum ini dikelola oleh Hoi An Center for Cultural Heritage Management and Preservation. Untuk masuk ke museum-museum tersebut pengunjung wajib membeli tiket masuk Hoi An.
Sekali membeli tiket Old Town sebesar VND 120K, pengunjung akan diberi 5 buah kupon yang bisa digunakan untuk masuk ke 5 atraksi yang bisa dipilih, termasuk di antaranya museum, rumah-rumah kuno, gedung pertemuan, pertunjukan musik tradisional, teater tradisional, Japanese Covered Bridge, dan Kuil Quan Cong. Tiket dijual di beberapa titik masuk ke Old Town. Untuk memasuki area Old Town, pengunjung diharapkan berpakaian sopan untuk menghormati budaya lokal.
Apabila tidak berniat masuk ke salah satu tempat tersebut, TIDAK PERLU membeli tiket yang harganya cukup mahal ini. Pengunjung bisa tetap berjalan-jalan di area Old Town.
Bagi yang menginap di Da Nang atau naik pesawat ke bandara di Da Nang, cara termurah untuk ke Hoi An adalah dengan naik bus umum, yaitu bus #1. Bus ini akan melalui pusat kota Da Nang (termasuk halte-halte di pasar dan stasiun kereta api), dan berhenti tepat di luar pusat kota Hoi An (sekitar 10 menit berjalan kaki). Tarif resminya semenjak Februari 2016 adalah VND 20K, namun aku membaca beberapa artikel yang mengatakan tarifnya VND 30K. Bus ini jalan tiap 20-30 menit, atau selambat-lambatnya tiap jam. Rute juga berlaku sebaliknya, dari Hoi An ke Da Nang.
Apabila hendak naik bus ini, sebaiknya memberikan uang pas, karena sering terjadi scam, di mana sang kondektur akan meminta VND 50K untuk turis, sementara orang lokal akan berpura-pura bahwa mereka juga membayar VND 50K. Walaupun membawa bagasi, seharusnya tidak dikenakan biaya lebih, karenanya tolaklah dengan halus apabila sang kondektur minta uang lagi. Yang pasti jaga baik-baik barang-barang bawaan kita.
Untuk informasi lebih lengkap mengenai segala sesuatu tentang Hoi An, bisa dibuka di sini.
Kembali ke cerita ya....
Memasuki Hoi An, suasananya tampak sekali touristy. Banyak turis bule di mana-mana. Rumah makan, cafe, dan berbagai macam toko, memadati jalanan.
Kami langsung menuju ke tempat yang katanya menjual gas untuk kompor camping kami. Lokasinya masuk ke dalam gang-gang kecil, bahkan untuk sepeda motor berputar balik saja tidak bisa.
Setelah menemukan lokasinya, ternyata hanya rumah biasa. Kami disambut oleh seorang pemuda, yang ternyata bukan pemilik tempat ini, melainkan adiknya. Kami dipersilakan masuk olehnya. Pemuda ini menghubungi kakaknya, karena aku memang sudah janjian untuk datang pagi ini, hanya tidak menyebutkan jamnya secara pasti. Aku melihat-lihat isi lemari yang ternyata memang berisi banyak gear untuk camping dan kegiatan outdoor lainnya. Gas yang kami cari-cari selama ini, ada di tempat ini!
Ada 3 buah tabung gas kecil, dan kami memutuskan untuk membeli 2 buah, walaupun harganya cukup mahal. Per buahnya dihargai VND 180K (sekitar IDR 108K), sementara pertama kali kami membelinya di Thamel, Nepal, harganya NRs 200 (sekitar IDR 26K). Tapi karena kami membutuhkannya, mau tidak mau ya dibeli, biar bagaimanapun masih lebih murah daripada membeli nasi yang sudah matang.
Setelah ditawar, harga per buahnya menjadi VND 175K, lumayanlah irit VND 10K hahahaha...
Usai mendapatkan gas, kami memikirkan akan ke mana selanjutnya. Karena kondisi kami yang masih kucel dan awut-awutan, kami memutuskan untuk mencari cafe untuk ngopi sekaligus numpang cuci muka dan ke toilet. Mengitari jalanan di seputaran kota, akhirnya kami berhenti di Thy Thy Cafe, yang dari luar tampaknya sudah bernuansa modern.
Suasana cafenya sendiri nyaman dan menyenangkan. Tampak beberapa pengunjung lokal sedang menghabiskan pagi harinya di tempat ini. Selain kami, ada sekitar 5 meja lagi yang terisi pengunjung. Sepertinya kami juga sempat bertemu dengan pemiliknya saat baru datang. Dialah yang menyambut kami dan memanggilkan orang untuk melayani kami.
Kami memesan dua cangkir white coffee, masing-masing seharga VND 25K. Cukup mahal sebetulnya, tapi ternyata rasanya enak sekali, dan penyajiannya pun menarik. Cangkirnya diletakkan di atas wadah berisi lilin, sehingga kopi akan tetap hangat. Selain itu kami juga diberi secangkir teh hangat. Walaupun namanya white coffee, tetap saja kopinya tampak hitam. Kopinya sangat kental, jadi ketika sudah habis hampir separuh, kutambahkan air lagi supaya penuh lagi hahahaha... Rasanya jadi seperti kopi susu seperti pada umumnya.
Hampir satu jam kami menghabiskan waktu di tempat ini sembari merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Karena toiletnya bersih dan luas, kami merasa nyaman memakai toilet di cafe ini. Karena ada sabun cair di wastafel, aku menyempatkan diri untuk sikat gigi, cuci muka, dan sedikit membasuh badan agar segar kembali ^_^
Karena sudah sampai Hoi An, sekalian saja kami putuskan untuk jalan-jalan ke Old Town yang termashyur itu. Mengikuti arahan Google Map menuju ke Old Town, ternyata kami beberapa kali menemui jalan di mana kendaraan bermotor tidak boleh masuk. Akhirnya kami memutar sampai agak jauh, dan parkir di pinggir jalan di tepi sungai kecil, karena di sini kendaraan bermotor juga tidak boleh lewat.
Kami berjalan kaki memasuki area Old Town (kalau di Google Map namanya Ancient Town). Jalan-jalannya relatif agak kecil dan belum terlalu ramai, mungkin karena masih agak pagi. Kami sampai di tepian Sungai Thu Bon dan menyusuri tepiannya sampai ke Japanese Bridge (di Google Map namanya Bridge of Lights). Suasana di sini tampak lebih ramai dengan turis Asia maupun turis bule. Beberapa kali kami menyaksikan turis RRC yang sedang naik becak. Kemudian ada pula rombongan turis bule yang naik kendaraan entah apa namanya, tapi sering kulihat di Queenstown, New Zealand.
Suasananya memang menyenangkan walaupun touristy. Kami sempat duduk-duduk dan banyak mengambil foto di sini. Kemudian kami menyusuri Nguyen Thai Hoc, sebuah jalan kecil yang banyak digantungi lampion. Lanterns (lampion-lampion) yang digantung melintang di jalan ini memang banyak disebut oleh para turis. Memang tampak indah, dengan berbagai macam bentuk dan warna, menghiasi sepanjang jalan ini. Banyak juga toko-toko yang dihias dengan lampion yang berwarna-warni ini di luarnya, indah sekali ^_^
Kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan yang diperuntukkan khusus untuk berjalan kaki. Ternyata jalan yang tadi kami tidak boleh lewat naik motor, kami lewati juga dengan jalan kaki. Tampak ada seorang laki-laki yang hendak menyerobot masuk ke jalan ini, dan langsung dimarahi oleh penjaganya. Tiap ujung jalan memang ada yang menjaga. Bagus juga sih, jadi orang-orang bisa tertib pada peraturan.
Rata-rata sepanjang jalan dipadati oleh kios-kios dan toko-toko yang menjual berbagai macam barang, mulai pakaian hingga lampion. Banyak juga cafe dan restoran, sekaligus warung kaki lima di pinggir jalan. Kebanyakan bangunannya berupa bangunan tua.
Ada beberapa kuil dan bangunan tua yang dipadati oleh turis, dan ternyata tempat-tempat inilah yang kalau kita ingin melihat atau masuk ke dalamnya, harus membeli tiket yang mahal tadi. Bagi kami berdua, melihat dari luar saja sudah cukup. Suasana di jalan justru lebih menyenangkan, selain juga irit hahahaha...
Oya, sempat ada kejadian di mana aku melihat seorang turis perempuan dari RRC, berusia sekitar 30-an, membuang satu kantong plastik agak besar berisi beberapa buah styrofoam, sepertinya bekas wadah makanan. Dengan enaknya dia menaruhnya di pinggir jalan, ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki pemilik toko di tempat tersebut yang berteriak-teriak memarahi turis RRC tadi. Sepertinya dia memaki-maki, tapi karena menggunakan bahas Vietnam, aku tidak tahu apa yang dikatakannya. Si turis RRC kemudian dengan setengah malu mengambil kembali sampah yang dibuangnya barusan.
Aku sempat mendatangi laki-laki pemilik toko ini dan bertanya, apakah mereka turis dari RRC? Si bapak pemilik toko ini dengan antusiasnya menjawab iya. Waktu kukatakan kami berdua dari Indonesia, dia berkata, aku benci sekali turis dari RRC. Mereka semua jorok dan suka buang sampah sembarangan! Dia malah berpikir kami berdua dari Thailand hehehehe....
Sekitar jam 10.45, setelah kami meras cukup melihat-lihat di Hoi An, kami memutuskan untuk kembali ke Da Nang. Karena jalan yang kami tempuh sama dengan jalan menuju ke pantai Hoi An yang cukup terkenal, tadinya kami ingin mampir dulu ke sana. Tapi begitu melihat di perempatan menuju ke pantai tersebut banyak bus dan kendaraan yang menuju ke sana, kami pun mengurungkan niat. Dasarnya kami lebih suka gunung daripada pantai, kalau berkunjung ke pantai yang penuh dengan turis, apalagi harus bayar, rasanya ogah banget deh. Kami yakin pantai-pantai di Bali masih jauh lebih indah.
Perjalanan menuju kembali ke Da Nang aman dan lancar. Seperti sebelumnya, kami melewati jalan di mana di tepi jalan tersebut berjejer hotel-hotel dan resort mewah yang membentang di sepanjang pesisir pantai. Hmmm pastinya harganya mahal sekali menginap di tempat-tempat seperti ini.
Karena sebelumnya ada teman yang mengatakan pantai di Da Nang indah sekali, kami melewati jalan lain saat memasuki kota Da Nang, kali ini jalan yang lewat di pesisir pantai. Aku mencari tempat di mana kami bisa parkir gratis untu melihat-melihat sejenak ke pantainya.
Kami berhenti di jalan Vo Nguyen Giap, di tepi My Khe Beach, dan aku berjalan kaki ke arah pantai sementara suami menunggu di sepeda motor karena kuatir tidak boleh parkir di tempat ini.
Walaupun masih tampak sepi di pantainya, kentara sekali pantai ini touristy. Banyak bangku-bangku pantai yang berjajar di sepanjang pesisir pantai, dengan payung-payung pantai untuk melindungi dari teriknya matahari. Tentunya untuk bisa duduk di bangku-bangku tersebut harus bayar. Tampak pula ada semacam papan skate board yang diberi tulisan daftar harga aktivitas yang bisa dilakukan oleh turis, sekaligus daftar harga minuman. Ada pula locker yang bisa digunakan untuk menitipkan barang.
Kalau dilihat, suasananya tampak kontras sekali. Di satu sisi, pantai berpasir putih bersih, gambaran aktivitas outdoor yang menyenangkan bagi mereka yang suka wisata pantai. Sementara di seberang jalan, berdiri bangunan-bangunan bertingkat yang tinggi-tinggi, kebanyakan hotel, dan suasana jalan raya yang cukup ramai dengan kendaraan bermotor. Di satu sisi alam yang indah, di lain sisi suasana kota besar yang ramai dan sangat modern.
Hanya sekitar 15 menit kami melihat-lihat di sini, lalu pergi dan menuju ke pasar. Aku mulai mempelajari kalau di Google Map tidak ada "market", maka yang dicari adalah "cho" yang berarti pasar atau "cho dem" yang berarti pasar malam. Aku menemukan ada dua buah pasar di pusat kota Da Nang, dan kami pergi ke Con Market, karena dari reviewnya sepertinya ini adalah pasar basah. Kami hendak membeli beras dan bahan lain untuk dimasak.
Kami sengaja lewat Dragon Bridge, karena jembatan ini cukup terkenal. Sesuai namanya, Jembatan Naga, di tengah jembatan sebagai pemisah jalan, terdapat bentuk naga yang sangat besar dan berwarna keemasan. Kalau malam hari sang naga akan berwarna-warni karena dipasangi banyak lampu. Cukup menarik juga melewati jembatan ini.
Kami sampai di Con Market jam 11.35 siang, dan memarkirkan sepeda motor. Biaya parkirnya VND 4K (sepertinya seharusnya kurang dari ini, tapi biasa deh, karena turis jadi dinaikkan harganya).
Memasuki pasar di dalam gedung, yang tampak hanyalah para penjual pakaian, sepatu, dan barang-barang "kering" lainnya. Ada sekelompok ibu-ibu dengan pakaian yang sama sedang akan mulai makan siang bersama. Suasananya ramai sekali. Semakin ke dalam, mulai tampak banyak warung makan dan toko-toko perabotan rumah tangga. Setelah menyeberang jalan barulah tampak penjual bumbu-bumbu dapur, beras, ikan asin, dan tentunya sayur mayur dan daging.
Kami belanja 1/2 kg daging babi (VND 35K), 1/2 kg telur ayam (VND 17K), dan garam, minyak serta kecap asin (total VND 29K). Setelah mendapatkan semua yang kami butuhkan untuk masak hari ini, kami pun kembali ke penginapan.
Benar saja, kami sempat bingung karena salah jalan dan harus melewati persimpangan di bundaran dengan banyak cabang yang kulihat pagi tadi. Untung pada akhirnya bisa menemukan jalan pintas yang bisa dilalui sepeda motor, jadi kami bisa kembali ke jalan yang benar menuju penginapan. Andai naik mobil, memutarnya bisa jauh sekali.
Sampai di Loq Quyen, waktu sudah menunjukkan jam 12.20 siang dan kami sudah boleh check-in dan diberi kunci kamar di lantai 2. Kamarnya cukup luas dan terlihat cukup bersih walaupun sudah kuno. Hanya ada sebuah kasur ukuran queen bed dengan sprei yang usang dan ada yang berlubang, sebuah kursi dan meja tempat meletakkan TV tabung. Meja TV-nya tampak berdebu sekali, sepertinya tidak pernah dibersihkan.
Memasuki kamar mandi, ada sebuah shower, wastafel, dan toilet duduk. Ada sebuah ember juga di bawah kran shower. Di atas wastafel dipasang rak plastik yang ada cerminnya. Di rak plastik inilah aku menemukan sikat gigi dan sabun bekas. Sepertinya dari tamu sebelumnya tidak dibersihkan. Kamar mandinya sendiri tampak usang dan banyak berlumut di sana-sini. Kalau boleh jujur, kamar mandinya agak menjijikkan hahahaha.... Beginilah resikonya kalau menginap di penginapan termurah.
Di luar kamar mandi terdapat jendela dengan teralis besi. Kalau jendelanya dibuka, tampak tempat untuk menjemur pakaian dengan tali di luarnya. Yah, setidaknya kalau mencuci baju bisa kena udara dari luar.
Setelah mengeluarkan barang-barang dari dalam backpack, suami mandi dulu sementara aku masih masak nasi dan mempersiapkan bahan untuk dimasak. Baru sekali ini aku mencoba masak nasi dengan panci yang agak tipis, dengan beras yang belum kuketahui karakternya. Cukup lama juga proses masak nasinya hingga benar-benar matang. Untuk lauknya, daging babi kumasak bersama kubis dengan bumbu seadanya.
Usai mandi (akhirnya), kami pun makan bersama. Hmmmm ternyata enak sekali lho, apalagi makannya dalam keadaan lapar hehehehe... ^_^
Dan setelah badan terasa segar dan perut kekenyangan, kami pun tidur siang. Sebetulnya kasurnya amat sangat keras, kalau bukan karena kelelahan mungkin kami tidak bisa tidur.
Terbangun jam 5.30 petang, kami ngopi di kamar dan aku masak dulu untuk bekal makan malam. Rencananya sore ini kami ingin mengunjungi pasar yang satunya, Han Market. Sekitar jam 5.50 petang, kami keluar dari penginapan dan kembali berkendara ke arah pusat kota. Dari pusat kota, penginapan kami jaraknya sekitar 6 KM. Untuk ke Han Market sendiri jaraknya sekitar 6,5 KM. Senja hari ini, lalu lintas tampak lebih ramai dibandingkan siangnya. Suasana sudah remang-remang, dan lampu-lampu kota sudah menyala di tiap sudut kota.
Kami sampai di Han Market jam 6.10 petang. Di sini biaya parkirnya VND 5K dan ditarik di awal. Memasuki pasar, ternyata lebih mirip Ben Tanh market yang kebanyakan pedagangnya berjualan bahan makanan kering, walaupun ada juga yang berjualan bahan segar seperti cabe dan bawang putih. Di sini sempat membeli vodka lokal (rice wine) produksi Hanoi.
Karena tidak ada lagi yang hendak dibeli, kami keluar dari pasar dan berjalan kaki sampai ke tepi Han River, di mana disediakan tempat-tempat duduk untuk pengunjung. Kami memotret Dragon Bridge dan Han Bridge dari kejauhan. Tidak lama kemudian, kami kembali berjalan ke parkiran motor di depan Han Market, lalu berkendara melintasi Dragon Bridge.
Di sisi timur jembatan ini, di Tran Hung Dao, sepertinya banyak orang berhenti dan memarkirkan sepeda motor di tepi sungai, jadi kami pun parkir di tempat ini juga. Aku sempat naik tangga pejalan kaki untuk memotret Dragon Bridge dari dekat, sementara itu ternyata ada petugas (kalau di Indonesia mungkin Satpol PP ya) yang mengusir sepeda-sepeda motor yang sedang parkir di tepi sungai. Beruntung suami ada di dekat sepeda motor, sehingga dia cepat-cepat memindahkan sepeda motornya. Kalau sepeda motor tidak ada pengendaranya, oleh petugas tadi plat nomornya difoto, mungkin akan dikirim surat tilang atau semacam itu. Ternyata di area ini tidak boleh parkir kendaraan bermotor setelah jam 6 petang.
Kami pun menyusuri jalanan di sisi timur Han River, dan menemukan tempat di mana sepeda motor boleh parkir, tepat di pertigaan jalan Durong Nguyen Cong Tru. Tampak ada beberapa warung kaki lima yang menjual minuman dan makanan. Kami pun numpang makan malam di area ini. Sempat mendatangi Gereja Cathedral An Hai dan memotretnya dari luar saja. Hari ini adalah Kamis Putih, karenanya suasana di gereja cukup ramai.
Beranjak pergi, kami melewati Han Bridge. Kedua jembatan ini, Dragon Bridge dan Han Bridge, dihiasi dengan lampu berwarna-warni, jadi tiap beberapa saat lampunya akan berganti warna. Cantik juga sih sebetulnya... hanya saja membayangkan berapa watt listrik yang digunakan hanya untuk jembatan-jembatan yang menghubungkan sisi barat dan sisi timur Han River ini. Belum lagi seluruh kota dipenuhi dengan lampu-lampu yang sangat gemerlapan.
Kembali ke Loq Quyen, waktu sudah menunjukkan jam 8.30 malam. Aku masih berada di depan laptop untuk menyelesaikan pekerjaan dan kemudian mencari informasi transportasi, penginapan, dan hal-hal lain untuk hari-hari ke depannya.
Sekitar jam 11.30 malam kami hendak tidur. Entah kasur atau spreinya memang kurang bersih atau karena hal lain, semalaman badanku terasa gatal-gatal sekali. Baru benar-benar bisa tidur sekitar jam 3 pagi :(
Hari ini terasa melelahkan, karena banyak bepergian kesana-kemari. Total jalan kakinya saja lebih dari 11,5 KM. Apalagi semalam di dalam sleeper bus tidak bisa tidur nyenyak.
Mudah-mudahan hari esok lebih menyenangkan ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment