31 Maret 2018
Setelah tidur yang cukup nyenyak semalaman, pagi ini aku terbangun jam 6 pagi oleh bunyi alarm. Dengan sedikit bermalas-malasan, aku melakukan rutinitas pagiku seperti biasa. Pagi ini pun suami bangun agak awal, tidak sesiang biasanya.
Aku masih harus masak nasi untuk bekal makan hari ini. Belajar dari pengalaman 2 hari kemarin, hari ini berasnya kurendam dulu. Sepertinya aku terlalu lama merendamnya, sehingga pada saat matang nasinya jadi agak lembek. Tapi masih lebih enak daripada nasi setengah matang sih hehehehe...
Nasi yang sudah matang, kubuat jadi nasi goreng dengan tambahan tomat dan 4 buah telur yang tersisa. Sebagian nasi goreng kami makan berdua sekitar jam 9.30 pagi, sedangkan sisanya kumasukkan ke dalam kotak untuk bekal kalau lapar nanti.
Usai membereskan semua barang, kami bergantian mandi, lalu bersiap-siap untuk check-out. Aku pikir backpackku bakal jadi sekitar 13-14 kg karena ketambahan ini dan itu, ternyata hanya 12.5 kg, sedangkan backpack suami sekitar 11 kg beratnya.
Jam 11 siang, kami check-out dari Loc Quyen Guesthouse, setelah membayar total VND 500K untuk semuanya (kamar 2 malam @VND 150K dan sewa sepeda motor 2 hari @VND 100K). Tidak lupa mengambil paspor yang kutinggalkan sebelumnya. Sempat juga berfoto bareng dengan sang pemilik dan keluarganya.
Keluar dari penginapan, aku memesan Uber, dan sekitar 5 menit menunggu, datanglah Uber yang kami tunggu. Drivernya seorang perempuan, sepertinya berusia sekitar 25 tahunan tapi tidak jelas juga, karena dia mengenakan masker dan topi lebar, hanya tampak matanya saja. Aku sampai tidak berani mengajaknya mengobrol, takut dimarahi hahahaha....
Sebetulnya awalnya kami hendak naik bus saja menuju ke stasiun, dengan tambahan jalan kaki sekitar 1,5 KM. Setelah dipikir-pikir lagi, naik bus ongkosnya sekitar VND 10-20K, masih harus jalan berpanas-panasan dengan backpack yang cukup berat, sedangkan naik Uber ongkosnya VND 41K langsung antar jemput, dan aku membayarnya langsung dengan credit card, tidak perlu keluar uang tunai. Karenanya untuk efisiensi tenaga, kami pilih Uber saja.
Perjalanan menuju ke stasiun lancar dan cepat, hanya sekitar 10 menit saja. Si driver sama sekali tidak mengajak bicara, dan sepertinya tidak lancar bahasa Inggris juga. Tak mengapalah, yang penting sampai dengan selamat, dan pastinya kuberi 5 bintang, karena walaupun tanpa percakapan, dia membantu kami mengangkat backpack kami ^_^
Masih 1 jam 10 menit lagi sebelum kereta kami berangkat, yaitu jam 12.46 siang, jadi kami mampir ngopi dulu di sebuah kios kecil di area stasiun. Satu gelas es kopi harganya VND 15K, dan isinya hanya separuh seperti biasanya walaupun memang kental. Karenanya kami tambahi air lagi supaya jadi banyak hahahaha...
Tidak seperti kemarin di mana stasiun tampak amat sangat sepi tanpa pengunjunng (dan petugas), kali ini di dalam area stasiun banyak taxi yang terparkir menunggu penumpang. Saat ada kereta yang datang, para driver taxi yang sedang nongkrong di warung yang sama dengan kami bergegas menuju ke taxi masing-masing dan mulai menawarkan jasa mereka.
Kami mencari toilet umum, karena sekilas waktu dilihat sepertinya tidak ada toilet setelah melewati pemeriksaan tiket. Toilet umumnya letaknya di luar bangunan stasiun, dekat dengan gerbang keluar. Kami mendatanginya dan ternyata untuk masuk sandal atau sepatu harus dilepas dan disediakan sandal khusus untuk masuk ke toilet. Jadi kulepas sepatu dan masuk ke dalamnya. Kondisi toiletnya tampak bersih dan terawat. Ada toilet shower dan tissue paper juga. Sepertinya toilet ini jarang digunakan, atau memang sering dibersihkan oleh petugasnya. Ini kedua kali aku melihat di mana orang harus melepas alas kaki untuk masuk ke toilet. Yang pertama adalah di toilet di dalam area parkir Marble Mountains kemarin.
Jam 12 siang, kami masuk melewati peron dengan boarding pass yang discan di mesin. Tampak sudah banyak orang yang duduk di bangku-bangku yang disediakan di dalam peron. Kami mencari tempat duduk yang masih kosong dan menunggu. Ternyata di dalam peron yang cukup luas ini juga ada toilet umumnya di sudut ruangan, dan sepertinya harus lepas alas kaki juga untuk masuk ke dalamnya. Semakin lama suasana di dalam peron makin ramai. Banyak turis bule yang tampak, beberapa di antaranya pasangan yang sudah agak berumur beserta anak-anaknya. Sepertinya kebanyakan berasal dari Perancis, terdengar dari bahasa yang digunakan saat mereka mengobrol.
Sekitar jam 12.35 siang tampak ada sebuah kereta datang, dan setelah itu barulah pintu-pintu peron menuju keluar dibuka. Sebelumnya semua dalam kondisi terkunci. Aku melihat beberapa orang yang berusaha menuju keluar sebelumnya dengan mendorong-dorong pintu tapi tidak bisa hehehehe...
Beberapa petugas perempuan mendatangi pintu-pintu peron, dan setelah pintu-pintu terbuka, para pengunjung mulai berbondong-bondong keluar menuju ke kereta api sesuai dengan gerbong yang ditentukan. Keretanya sendiri tampak sudah tua dan tidak meyakinkan hahahaha... Setahuku Vietnam Railways memang kereta dengan tarif termurah, masih ada kereta-kereta lain yang lebih mahal tarifnya, dan mungkin lebih bagus kondisinya.
Kami naik ke gerbong 2 sesuai dengan yang tertera di lembaran tiket. Letaknya nomor 2 dari ujung paling belakang. Selain 2 gerbong dengan soft seat, yang tampak di depannya adalah gerbong-gerbong dengan tempat-tempat tidur. Inilah sleeper train.
Kami masuk ke dalam kereta dan mendapati seorang anak muda lokal menempati kursi kami, maka aku berkata kepadanya bahwa itu kursi kami. Dia pun pindah ke tempat duduk lain. Sepertinya anak muda ini hanya asal duduk saja, tidak benar-benar sesuai dengan kursi yang ditentukan. Aku memilih duduk dekat dengan jendela, dan suamiku duduk dekat lorong.
Tempat duduk di kereta soft seat ini lumayan nyaman, berlapis kulit dan sandarannya bisa dimaju-mundurkan. Jarak antar tempat duduk juga lumayan lega. Ada sebuah meja lipat seperti di dalam pesawat juga. Setelah duduk baru terlihat ada colokan listrik di mana kita bisa mengisi baterai hp atau laptop. Ada sebuah LED TV agak di depan sana.
Yang unik, ternyata tempat-tempat duduk di dalam satu gerbong ini tidak semuanya menghadap ke satu arah. Separuh menghadap ke depan dan separuh lainnya menghadap ke belakang. Jadi yang duduk di tengah akan saling berhadap-hadapan, lucu rasanya. Tempat duduk kami termasuk yang menghadap ke belakang, sehingga kereta berjalan mundur. Secara umum, kondisi kereta api di Indonesia terasa jauh lebih baik, dari segi kenyamanan tempat duduknya, pelayanannya, juga interior di dalam kereta.
Baru saja kami duduk, aku melihat laki-laki yang duduk di belakang suamiku mengangkat telapak kakinya hingga ke sandaran kepala suamiku, dan setelah itu telapak kakinya yang kotor dan hitam-hitam berada di antara dua tempat duduk kami. Bahkan setelah aku memotretnya pun tampaknya dia tidak ambil pusing. Di belakangku duduk anaknya yang masih kecil, mungkin berusia sekitar 10-12 tahun. Seperti ayahnya, kakinya juga diangkat. Tadinya sempat terlihat kakinya hendak diangkat ke jendela hingga ke dekatku, tapi lalu tidak jadi. Andai dia berani, aku berencana hendak menyentil kakinya agar lebih sopan hehehehe... Sepertinya orang-orang Vietnam ini kurang punya sopan santun dan tata krama, kurang menghargai orang lain.
Lama menanti di dalam kereta yang terasa semakin panas, baru sekitar jam 1 siang mesin kereta api menyala, dan AC mulai dinyalakan, tapi itu pun tidak sedingin yang diharapkan. Udara masih tetap terasa cukup panas hingga keringat menetes. Baru sekitar jam 1.10 siang kereta berangkat perlahan-lahan, dan aku pun tertidur karena mengantuk.
Sekitar jam 1.45 siang aku terbangun dan melihat di samping kiri ke luar jendela, kereta sedang berada di atas perbukitan dan pemandangan di luar adalah garis pantai timur Vietnam yang indah. Seharusnya jika memungkinkan tadinya kami ingin melewati tempat ini dengan sepeda motor. Hai Van Pass, sangat terkenal dengan pemandangannya yang indah sepanjang garis pantai, dan katanya termasuk dalam salah satu yang tidak boleh dilewatkan apabila ke Da Nang. Pantai dengan bebatuan yang indah dan ombak yang cukup besar tampak sangat indah di kejauhan. Aku beruntung duduk di sisi di mana bisa melihat semua pemandangan ini.
Lama-lama perut mulai terasa agak lapar juga walaupun sudah makan nasi sebelumnya. Aku sedang bimbang memikirkan apakah akan makan bekal nasi yang ada ataukah makan mie instan kering saja, ketika tampak di ujung gerbong, seorang laki-laki petugas kereta sedang menawarkan makanan. Ternyata yang dijualnya adalah jagung rebus. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Suami membelikanku sebuah jagung rebus seharga VND 10K. Jagungnya pun masih panas, dan oleh petugasnya dikupaskan dan dimasukkan ke dalam sebuah kantong plastik, siap makan.
Anak laki-laki di belakangku tampak mengintipku memegang jagung, dan sepertinya minta dibelikan juga, karena setelah itu si anak dan bapak tampak makan jagung juga. Beberapa turis Perancis yang duduk paling belakang juga membeli beberapa buah jagung rebus ini.
Rasa dan tekstur jagung Vietnam ini berbeda dengan jagung yang ada di Indonesia. Teksturnya lebih padat namun lembek seperti nasi dalamnya. Warnanya pun lebih putih, tidak kekuningan seperti jagung yang biasanya kulihat. Apabila dibandingkan dengan jagung manis di Indonesia, jagung manis masih lebih enak. Jagung Vietnam yang putih ini rasanya tidak manis, cenderung tawar. Namun demikian masih okelah untuk mengisi perut. Kami pun menghabiskan satu buah jagung ini berdua, dan merasa cukup kenyang karena ukurannya yang lumayan besar dan teksturnya yang padat tadi.
Selain petugas yang menjual jagung rebus, masih ada lagi kemudian yang lewat dan menjual makanan lain seperti telur rebus, sate sosis dan beberapa macam makanan lainnya. Kemudian lewat pula petugas yang menjual berbagai macam minuman ringan dan kopi serta teh.
Setelah beberapa waktu, bukit-bukit indah yang tampak pun terlalui dan pemandangan berganti melewati kota-kota kecil dengan banyak empang di dekat pantai. Beberapa kali kereta melewati terowongan yang gelap gulita. Udara terasa panas, AC pun tidak terasa dinginnya. Peluh menetes membasahi badan.
Sementara layar TV mulai menyala, menampilkan iklan-iklan, kemudian film kartun Tom & Jerry (hahahaha...), lalu semacam film lokal yang aku tidak mengerti.
Tanpa terasa, saat aku membuka Google Map, ternyata kami sudah nyaris sampai di stasiun kereta api di Hue. Aku membangunkan suami yang tertidur. Kami berdua bersiap-siap. Suami mengambil backpacknya dari kompartemen di atas, dan aku mengenakan sepatu yang kulepas sejak awal duduk tadi.
Beberapa menit kemudian, sampailah kami di stasiun Hue sekitar jam 3.30 sore, dan setelah menanti beberapa saat, orang-orang mulai berjalan, melewati dua buah gerbong sleeper, baru kemudian turun dan keluar dari dalam kereta. Yes, we're in Hue!
Tadinya kami mau skip Hue dari perjalanan kami, yang mungkin akan kusesali di kemudian hari hehehehe...
Keluar dari stasiun, seperti biasa, sopir-sopir taxi menyambut dan menawarkan jasanya, yang kami tolak dengan halus dan seulas senyum. Peta menuju ke penginapan sudah kusiapkan, jadi dengan pedenya kami berjalan kaki. Jarak menuju ke penginapan hanya sekitar 1,6 KM, karenanya kami sepakat untuk berjalan kaki saja.
Sepanjang jalan banyak yang menawarkan jasa becak dan ojek. Mungkin melihat backpack kami yang cukup besar-besar ya...
Mendekati tujuan, aku mulai bingung karena penginapan kami tidak ada. Harusnya ada di sekitar tempat kami berdiri. Kami berputar kesana kemari, mencari penginapan yang kami tuju, sampai bertanya kepada beberapa orang lokal. Setelah itu kami coba balik arah, dan aku bertanya kepada dua laki-laki asal Perancis yang sedang berjalan di depan kami. Dari dialah aku tahu kesalahanku. Aku mencari berdasar peta belaka, sedangkan dia mencari berdasar alamat. Mereka berdua bahkan ikut berjalan mengantarku sampai dekat dengan tempat yang dituju. Aku sangat berterima kasih kepada mereka berdua.
Setelah sedikit lagi berjalan, akhirnya sampailah kami di Thanh Nga Guesthouse! Satu jam penuh kami berjalan untuk mencari tempat yang sebetulnya tidak terlalu sulit ditemukan ini.
Saat memasuki tempat ini, seorang perempuan paruh baya menyambut kami, dan saat aku bilang sudah booking sebelumnya, beliau langsung tertawa-tawa dan memberikan kunci kamar kepada kami. Aku agak terkejut sebetulnya, karena biasanya penginapan di Vietnam sejauh ini selalu minta paspor kami. Si ibu yang baik hati ini pun sedikit bisa berbahasa Inggris. Kadang susah dimengerti artinya, tapi dengan bahasa kalbu dianggap mengerti saja deh hahahaha.... Beliau menyerahkan remote AC dan sepertinya menyebutkan sesuatu tentang saklar.
Kami berdua pun naik ke kamar kami di lantai 3, naik tangga tentunya. Sampai di depan kamar agak ngos-ngosan karena anak tangganya tinggi-tinggi.
Membuka kamar, aku melihat ruangan yang cukup luas, dengan pintu langsung keluar ke arah balkon kecil. Suasana kamar sangat terang dengan jendela yang terbuka lebar. Dua buah kasur queen bed tampak berada di ruangan ini, dengan selimut dan handuk bersih di atasnya. Ada sebuah lemari dan kipas angin juga di dalam kamar. Untuk kamar mandinya, tampak bersih walaupun agak sempit. Di atas wastafel disediakan 4 buah sikat gigi dan shampoo sachet. Sepertinya ini quadruple room, kamar yang diperuntukkan bagi 4 orang. Kami bersyukur walaupun bangunan kamar dan fasilitasnya sangat sederhana, tapi amat sangat memadai dan bagiku pribadi, melebihi harapanku karena harganya yang sangat murah, VND 143K/malam, setara dengan 87 rupiah saja. Ini masih dilengkapi dengan sarapan lho... walaupun menurut review sarapannya sederhana saja.
Karena lapar, sesampai di dalam kamar kami makan bekal nasi yang dibawa sejak dari Da Nang. Setelah perut kenyang, seperti biasa, setiap kali kami baru check-in di sebuah penginapan, kami membongkar barang-barang di backpack dan menatanya, dan sore ini pun kami langsung sepakat akan memperpanjang menginap di tempat ini setidaknya untuk satu malam lagi, karena sebelumnya hanya booking untuk satu malam saja.
Setelah semua beres, kami bergantian mandi, dan jam 5.45 petang kami sudah keluar kamar, menuruni tangga, dan keluar dari penginapan untuk berjalan-jalan menjelajah Hue.
Huế merupakan sebuah kota di Vietnam Tengah di mana kekaisaran Dinasti Nguyen berkuasa dari tahun 1802 hingga tahun 1945. Salah satu pusat turis utamanya adalah benteng yang dibangun di abad ke-19 yang dikelilingi oleh parit dan tembok batu yang tebal. Disebut sebagai Imperial City, wilayahnya meliputi beberapa istana, kuil, Forbidden Purple City yang dulunya adalah rumah sang kaisar, dan sebuah replika Royal Theater. Kotanya sendiri merupakan medan perang Battle of Hue, salah satu perang terlama dan paling banyak menumpahkan darah di Perang Vietnam.
Kota Hue berlokasi di Vietnam Tengah di tepi Perfume River, berjarak sekitar 700 KM dari Hanoi dan 1.100 KM dari Ho Chi Minh City. Karena masyarakatnya yang sebagian besar menganut agama Buddha, di Hue terdapat lebih banyak biara dibandingkan kota-kota lainnya di Vietnam, dan hidangan vegetarian sangat populer di kota ini. Selain itu beberapa hidangan disajikan lebih pedas dibandingkan daerah-daerah lain di Vietnam.
Masih banyak bangunan bergaya Perancis yang ditemukan di sepanjang pesisir selatan Perfume RIver, di antaranya Quốc Học High School, SMA tertua di Vietnam, dan Hai Ba Trung High School. The Huế Museum of Royal Fine Arts di 3 Le Truc Street juga menyimpan beberapa koleksi artifak peninggalan kota ini.
Untuk menarik turis, kota ini menawarkan tour satu hari ke DMZ (Demilitarized Zone) yang berjarak sekitar 70 KM di utara kota. Tempat ini mempertontonkan berbagai macam sisa-sisa perang, di antaranya The Rockpile, Khe Sanh Combat Base dan Vinh Moc tunnels.
The Huế Central Hospital, yang didirikan pada tahun 1894, merupakan rumah sakit Western pertama yang berdiri di Vietnam. Dikelola oleh Departemen Kesehatan, rumah sakit ini memiliki 2.078 tempat tidur dan berada di atas lahan seluas 120.000 meter persegi. Rumah sakit ini merupakan salah satu dari 3 rumah sakit terbesar bersama dengan Bạch Mai Hospital di Hanoi dan Chợ Rẫy Hospital di Ho Chi Minh City.
Selain mengunjungi monumen-monumen kuno dan makam para kaisar di Hue, atraksi lainnya adalah pantai Thuan An dan Lang Co, dengan pasir putih dan langit birunya. Selain itu masih ada mineral hot spring seperti Thanh Tan di Phong An, Phong Dien, di mana turis dapat bersantai setelah berjalan sepanjang hari. Banyak juga agen tour yang menyediakan layanan tour naik perahu sepanjang Perfume River.
Back to the story.... ^_^
Kami menyusuri jalanan melalui pusat kota dengan Google Map, menuju ke tepian Perfume River. Ada jembatan yang tampaknya sedang dibangun di sungai ini. Sementara menyusuri jalan setapak di tepi sungai (Nguyen Dinh Chieu), tampak sekali bahwa area ini cukup touristy. Banyak cafe, rumah makan serta toko souvenir yang berjejer di sepanjang tepi jalan setapak.
Di penghujung jalan setapak, sampailah kami di Night Market yang letaknya di bawah jembatan Truong Tien. Berbagai macam souvenir dijajakan di tempat ini, namun lebih banyak lagi pedagang street food yang menawarkan berbagai macam makanan dan minuman.
Dari mulai snack hinnga makanan berat, semua ada di tempat ini. Suami sempat menanyakan harga daging ayam panggang yang tampaknya menarik, tapi ternyata mahal sekali. Sepotong dada ayam harganya VND 30K, dan tanpa nasi. Kami pun urung membeli apa pun di sini hahahaha...
Menyusuri jalan setapak sepanjang tepian sungai ini, kami banyak ditawari tour untuk naik perahu, namun kami tolak dengan halus karena memang tidak berminat. Sampai di ujung jalan setapak, kami tiba di jalan besar Le Loi, dan menuju ke arah DMZ Bar di Pham Ngu Lao. Daerah ini hanya boleh dilalui pejalan kaki, dan ternyata sangat touristy. Jalan-jalan kecil ini tampak mulai ramai. Sepanjang jalan dipenuhi dengan penginapan atau hotel, restoran, bar, dan berbagai macam toko. Banyak pula penjual street food yang menjajakan berbagai makanan. Suami sempat 1-2 kali bertanya harga makanan semacam sate dan barbeque, tapi ternyata mahal sekali, jadi batal beli deh hahahaha....
Kami hanya sekedar berjalan-jalan dan melihat-lihat saja di area yang sangat touristy ini, hanya sempat masuk ke sebuah mini market untuk membeli kopi instan (VND 61K). Sekitar jam 7 malam kami sudah mulai berjalan kembali ke arah Night Market di Truong Tien Bridge. Setelah melewati pasar ini, kami tidak lewat Nguyen Dinh Chieu lagi, tapi melalui jalan besar Le Loi. Saat melalui XQ Embroidery Museum, terdengar suara kecapi yang sangat indah. Kami memasuki halaman samping museum, dan ternyata ada seorang gadis yang sedang memainkan kecapi di tempat ini. Kami melihat gadis tersebut sebelumnya di dekat Night Market saat hendak berangkat.
Kami berdua sempat menonton sejenak permainan kecapinya bersama dengan beberapa orang lain yang ada di tempat tersebut, dan setelah itu baru kembali melanjutkan berjalan kaki. Ada Le Bang Dang Art Museum juga di jalan ini, namun kami tidak mampir.
Karena masih mencari susu UHT, kami berjalan di sekitar area penginapan ke arah pasar. Ternyata pasarnya sudah tutup. Saat sedang mencari toko yang masih buka, kami melihat ada keramaian di tepi jalan. Ternyata sedang diadakan upacara kematian di sebuah rumah. Tampak banyak pemuda yang mengenakan pakaian yang sama dan menari-nari diiringi musik tradisional, sepertinya mengelilingi jenasah di dalam ruangan tersebut. Tadinya aku takut dimarahi kalau mau melihat dari dekat, tapi malah ada seorang bapak yang menyuruh maju ke depan. Jadi kami sempat menonton dan merekam upacara ini sejenak. Setelah itu kami mendatangi sebuah toko kelontong di seberangnya dan membeli beberapa buah susu UHT (per kotaknya VND 7K). Kemudian saat berjalan pulang, kami mampir di sebuah toko dan membeli Vodka Hanoi dan beberapa bungkus mie instan (total VND 110K). Setelah itu barulah aku menemani suami membeli makan malam di sebuah rumah makan. Seporsi com binh dan (nasi putih dengan lauk semacam babi kecap dengan semangkuk kuah) dihargai VND 30K. Agak mahal sih, karena porsinya sedang.
Kami baru sampai di Nha Nghi Thanh Nga jam 8.30 malam. Tidak terasa, hari ini kami sudah berjalan kaki lebih dari 9 KM. Aku membuat mie instan dengan sayuran untuk makan malam. Setelah itu kami masih mencari informasi mengenai tempat-tempat yang akan kami kunjungi esok hari, sekaligus transportasi dari Hue menuju ke Phong Nha, kota tujuan kami setelah Hue.
Akhirnya baru sekitar jam 12 malam aku beranjak tidur....
To be continued.......
Aku masih harus masak nasi untuk bekal makan hari ini. Belajar dari pengalaman 2 hari kemarin, hari ini berasnya kurendam dulu. Sepertinya aku terlalu lama merendamnya, sehingga pada saat matang nasinya jadi agak lembek. Tapi masih lebih enak daripada nasi setengah matang sih hehehehe...
Nasi yang sudah matang, kubuat jadi nasi goreng dengan tambahan tomat dan 4 buah telur yang tersisa. Sebagian nasi goreng kami makan berdua sekitar jam 9.30 pagi, sedangkan sisanya kumasukkan ke dalam kotak untuk bekal kalau lapar nanti.
Usai membereskan semua barang, kami bergantian mandi, lalu bersiap-siap untuk check-out. Aku pikir backpackku bakal jadi sekitar 13-14 kg karena ketambahan ini dan itu, ternyata hanya 12.5 kg, sedangkan backpack suami sekitar 11 kg beratnya.
Jam 11 siang, kami check-out dari Loc Quyen Guesthouse, setelah membayar total VND 500K untuk semuanya (kamar 2 malam @VND 150K dan sewa sepeda motor 2 hari @VND 100K). Tidak lupa mengambil paspor yang kutinggalkan sebelumnya. Sempat juga berfoto bareng dengan sang pemilik dan keluarganya.
Keluar dari penginapan, aku memesan Uber, dan sekitar 5 menit menunggu, datanglah Uber yang kami tunggu. Drivernya seorang perempuan, sepertinya berusia sekitar 25 tahunan tapi tidak jelas juga, karena dia mengenakan masker dan topi lebar, hanya tampak matanya saja. Aku sampai tidak berani mengajaknya mengobrol, takut dimarahi hahahaha....
Sebetulnya awalnya kami hendak naik bus saja menuju ke stasiun, dengan tambahan jalan kaki sekitar 1,5 KM. Setelah dipikir-pikir lagi, naik bus ongkosnya sekitar VND 10-20K, masih harus jalan berpanas-panasan dengan backpack yang cukup berat, sedangkan naik Uber ongkosnya VND 41K langsung antar jemput, dan aku membayarnya langsung dengan credit card, tidak perlu keluar uang tunai. Karenanya untuk efisiensi tenaga, kami pilih Uber saja.
Perjalanan menuju ke stasiun lancar dan cepat, hanya sekitar 10 menit saja. Si driver sama sekali tidak mengajak bicara, dan sepertinya tidak lancar bahasa Inggris juga. Tak mengapalah, yang penting sampai dengan selamat, dan pastinya kuberi 5 bintang, karena walaupun tanpa percakapan, dia membantu kami mengangkat backpack kami ^_^
Masih 1 jam 10 menit lagi sebelum kereta kami berangkat, yaitu jam 12.46 siang, jadi kami mampir ngopi dulu di sebuah kios kecil di area stasiun. Satu gelas es kopi harganya VND 15K, dan isinya hanya separuh seperti biasanya walaupun memang kental. Karenanya kami tambahi air lagi supaya jadi banyak hahahaha...
Tidak seperti kemarin di mana stasiun tampak amat sangat sepi tanpa pengunjunng (dan petugas), kali ini di dalam area stasiun banyak taxi yang terparkir menunggu penumpang. Saat ada kereta yang datang, para driver taxi yang sedang nongkrong di warung yang sama dengan kami bergegas menuju ke taxi masing-masing dan mulai menawarkan jasa mereka.
Kami mencari toilet umum, karena sekilas waktu dilihat sepertinya tidak ada toilet setelah melewati pemeriksaan tiket. Toilet umumnya letaknya di luar bangunan stasiun, dekat dengan gerbang keluar. Kami mendatanginya dan ternyata untuk masuk sandal atau sepatu harus dilepas dan disediakan sandal khusus untuk masuk ke toilet. Jadi kulepas sepatu dan masuk ke dalamnya. Kondisi toiletnya tampak bersih dan terawat. Ada toilet shower dan tissue paper juga. Sepertinya toilet ini jarang digunakan, atau memang sering dibersihkan oleh petugasnya. Ini kedua kali aku melihat di mana orang harus melepas alas kaki untuk masuk ke toilet. Yang pertama adalah di toilet di dalam area parkir Marble Mountains kemarin.
Jam 12 siang, kami masuk melewati peron dengan boarding pass yang discan di mesin. Tampak sudah banyak orang yang duduk di bangku-bangku yang disediakan di dalam peron. Kami mencari tempat duduk yang masih kosong dan menunggu. Ternyata di dalam peron yang cukup luas ini juga ada toilet umumnya di sudut ruangan, dan sepertinya harus lepas alas kaki juga untuk masuk ke dalamnya. Semakin lama suasana di dalam peron makin ramai. Banyak turis bule yang tampak, beberapa di antaranya pasangan yang sudah agak berumur beserta anak-anaknya. Sepertinya kebanyakan berasal dari Perancis, terdengar dari bahasa yang digunakan saat mereka mengobrol.
Sekitar jam 12.35 siang tampak ada sebuah kereta datang, dan setelah itu barulah pintu-pintu peron menuju keluar dibuka. Sebelumnya semua dalam kondisi terkunci. Aku melihat beberapa orang yang berusaha menuju keluar sebelumnya dengan mendorong-dorong pintu tapi tidak bisa hehehehe...
Beberapa petugas perempuan mendatangi pintu-pintu peron, dan setelah pintu-pintu terbuka, para pengunjung mulai berbondong-bondong keluar menuju ke kereta api sesuai dengan gerbong yang ditentukan. Keretanya sendiri tampak sudah tua dan tidak meyakinkan hahahaha... Setahuku Vietnam Railways memang kereta dengan tarif termurah, masih ada kereta-kereta lain yang lebih mahal tarifnya, dan mungkin lebih bagus kondisinya.
Kami naik ke gerbong 2 sesuai dengan yang tertera di lembaran tiket. Letaknya nomor 2 dari ujung paling belakang. Selain 2 gerbong dengan soft seat, yang tampak di depannya adalah gerbong-gerbong dengan tempat-tempat tidur. Inilah sleeper train.
Kami masuk ke dalam kereta dan mendapati seorang anak muda lokal menempati kursi kami, maka aku berkata kepadanya bahwa itu kursi kami. Dia pun pindah ke tempat duduk lain. Sepertinya anak muda ini hanya asal duduk saja, tidak benar-benar sesuai dengan kursi yang ditentukan. Aku memilih duduk dekat dengan jendela, dan suamiku duduk dekat lorong.
Tempat duduk di kereta soft seat ini lumayan nyaman, berlapis kulit dan sandarannya bisa dimaju-mundurkan. Jarak antar tempat duduk juga lumayan lega. Ada sebuah meja lipat seperti di dalam pesawat juga. Setelah duduk baru terlihat ada colokan listrik di mana kita bisa mengisi baterai hp atau laptop. Ada sebuah LED TV agak di depan sana.
Yang unik, ternyata tempat-tempat duduk di dalam satu gerbong ini tidak semuanya menghadap ke satu arah. Separuh menghadap ke depan dan separuh lainnya menghadap ke belakang. Jadi yang duduk di tengah akan saling berhadap-hadapan, lucu rasanya. Tempat duduk kami termasuk yang menghadap ke belakang, sehingga kereta berjalan mundur. Secara umum, kondisi kereta api di Indonesia terasa jauh lebih baik, dari segi kenyamanan tempat duduknya, pelayanannya, juga interior di dalam kereta.
Baru saja kami duduk, aku melihat laki-laki yang duduk di belakang suamiku mengangkat telapak kakinya hingga ke sandaran kepala suamiku, dan setelah itu telapak kakinya yang kotor dan hitam-hitam berada di antara dua tempat duduk kami. Bahkan setelah aku memotretnya pun tampaknya dia tidak ambil pusing. Di belakangku duduk anaknya yang masih kecil, mungkin berusia sekitar 10-12 tahun. Seperti ayahnya, kakinya juga diangkat. Tadinya sempat terlihat kakinya hendak diangkat ke jendela hingga ke dekatku, tapi lalu tidak jadi. Andai dia berani, aku berencana hendak menyentil kakinya agar lebih sopan hehehehe... Sepertinya orang-orang Vietnam ini kurang punya sopan santun dan tata krama, kurang menghargai orang lain.
Lama menanti di dalam kereta yang terasa semakin panas, baru sekitar jam 1 siang mesin kereta api menyala, dan AC mulai dinyalakan, tapi itu pun tidak sedingin yang diharapkan. Udara masih tetap terasa cukup panas hingga keringat menetes. Baru sekitar jam 1.10 siang kereta berangkat perlahan-lahan, dan aku pun tertidur karena mengantuk.
Sekitar jam 1.45 siang aku terbangun dan melihat di samping kiri ke luar jendela, kereta sedang berada di atas perbukitan dan pemandangan di luar adalah garis pantai timur Vietnam yang indah. Seharusnya jika memungkinkan tadinya kami ingin melewati tempat ini dengan sepeda motor. Hai Van Pass, sangat terkenal dengan pemandangannya yang indah sepanjang garis pantai, dan katanya termasuk dalam salah satu yang tidak boleh dilewatkan apabila ke Da Nang. Pantai dengan bebatuan yang indah dan ombak yang cukup besar tampak sangat indah di kejauhan. Aku beruntung duduk di sisi di mana bisa melihat semua pemandangan ini.
Lama-lama perut mulai terasa agak lapar juga walaupun sudah makan nasi sebelumnya. Aku sedang bimbang memikirkan apakah akan makan bekal nasi yang ada ataukah makan mie instan kering saja, ketika tampak di ujung gerbong, seorang laki-laki petugas kereta sedang menawarkan makanan. Ternyata yang dijualnya adalah jagung rebus. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Suami membelikanku sebuah jagung rebus seharga VND 10K. Jagungnya pun masih panas, dan oleh petugasnya dikupaskan dan dimasukkan ke dalam sebuah kantong plastik, siap makan.
Anak laki-laki di belakangku tampak mengintipku memegang jagung, dan sepertinya minta dibelikan juga, karena setelah itu si anak dan bapak tampak makan jagung juga. Beberapa turis Perancis yang duduk paling belakang juga membeli beberapa buah jagung rebus ini.
Rasa dan tekstur jagung Vietnam ini berbeda dengan jagung yang ada di Indonesia. Teksturnya lebih padat namun lembek seperti nasi dalamnya. Warnanya pun lebih putih, tidak kekuningan seperti jagung yang biasanya kulihat. Apabila dibandingkan dengan jagung manis di Indonesia, jagung manis masih lebih enak. Jagung Vietnam yang putih ini rasanya tidak manis, cenderung tawar. Namun demikian masih okelah untuk mengisi perut. Kami pun menghabiskan satu buah jagung ini berdua, dan merasa cukup kenyang karena ukurannya yang lumayan besar dan teksturnya yang padat tadi.
Selain petugas yang menjual jagung rebus, masih ada lagi kemudian yang lewat dan menjual makanan lain seperti telur rebus, sate sosis dan beberapa macam makanan lainnya. Kemudian lewat pula petugas yang menjual berbagai macam minuman ringan dan kopi serta teh.
Setelah beberapa waktu, bukit-bukit indah yang tampak pun terlalui dan pemandangan berganti melewati kota-kota kecil dengan banyak empang di dekat pantai. Beberapa kali kereta melewati terowongan yang gelap gulita. Udara terasa panas, AC pun tidak terasa dinginnya. Peluh menetes membasahi badan.
Sementara layar TV mulai menyala, menampilkan iklan-iklan, kemudian film kartun Tom & Jerry (hahahaha...), lalu semacam film lokal yang aku tidak mengerti.
Tanpa terasa, saat aku membuka Google Map, ternyata kami sudah nyaris sampai di stasiun kereta api di Hue. Aku membangunkan suami yang tertidur. Kami berdua bersiap-siap. Suami mengambil backpacknya dari kompartemen di atas, dan aku mengenakan sepatu yang kulepas sejak awal duduk tadi.
Beberapa menit kemudian, sampailah kami di stasiun Hue sekitar jam 3.30 sore, dan setelah menanti beberapa saat, orang-orang mulai berjalan, melewati dua buah gerbong sleeper, baru kemudian turun dan keluar dari dalam kereta. Yes, we're in Hue!
Tadinya kami mau skip Hue dari perjalanan kami, yang mungkin akan kusesali di kemudian hari hehehehe...
Keluar dari stasiun, seperti biasa, sopir-sopir taxi menyambut dan menawarkan jasanya, yang kami tolak dengan halus dan seulas senyum. Peta menuju ke penginapan sudah kusiapkan, jadi dengan pedenya kami berjalan kaki. Jarak menuju ke penginapan hanya sekitar 1,6 KM, karenanya kami sepakat untuk berjalan kaki saja.
Sepanjang jalan banyak yang menawarkan jasa becak dan ojek. Mungkin melihat backpack kami yang cukup besar-besar ya...
Mendekati tujuan, aku mulai bingung karena penginapan kami tidak ada. Harusnya ada di sekitar tempat kami berdiri. Kami berputar kesana kemari, mencari penginapan yang kami tuju, sampai bertanya kepada beberapa orang lokal. Setelah itu kami coba balik arah, dan aku bertanya kepada dua laki-laki asal Perancis yang sedang berjalan di depan kami. Dari dialah aku tahu kesalahanku. Aku mencari berdasar peta belaka, sedangkan dia mencari berdasar alamat. Mereka berdua bahkan ikut berjalan mengantarku sampai dekat dengan tempat yang dituju. Aku sangat berterima kasih kepada mereka berdua.
Setelah sedikit lagi berjalan, akhirnya sampailah kami di Thanh Nga Guesthouse! Satu jam penuh kami berjalan untuk mencari tempat yang sebetulnya tidak terlalu sulit ditemukan ini.
Saat memasuki tempat ini, seorang perempuan paruh baya menyambut kami, dan saat aku bilang sudah booking sebelumnya, beliau langsung tertawa-tawa dan memberikan kunci kamar kepada kami. Aku agak terkejut sebetulnya, karena biasanya penginapan di Vietnam sejauh ini selalu minta paspor kami. Si ibu yang baik hati ini pun sedikit bisa berbahasa Inggris. Kadang susah dimengerti artinya, tapi dengan bahasa kalbu dianggap mengerti saja deh hahahaha.... Beliau menyerahkan remote AC dan sepertinya menyebutkan sesuatu tentang saklar.
Kami berdua pun naik ke kamar kami di lantai 3, naik tangga tentunya. Sampai di depan kamar agak ngos-ngosan karena anak tangganya tinggi-tinggi.
Membuka kamar, aku melihat ruangan yang cukup luas, dengan pintu langsung keluar ke arah balkon kecil. Suasana kamar sangat terang dengan jendela yang terbuka lebar. Dua buah kasur queen bed tampak berada di ruangan ini, dengan selimut dan handuk bersih di atasnya. Ada sebuah lemari dan kipas angin juga di dalam kamar. Untuk kamar mandinya, tampak bersih walaupun agak sempit. Di atas wastafel disediakan 4 buah sikat gigi dan shampoo sachet. Sepertinya ini quadruple room, kamar yang diperuntukkan bagi 4 orang. Kami bersyukur walaupun bangunan kamar dan fasilitasnya sangat sederhana, tapi amat sangat memadai dan bagiku pribadi, melebihi harapanku karena harganya yang sangat murah, VND 143K/malam, setara dengan 87 rupiah saja. Ini masih dilengkapi dengan sarapan lho... walaupun menurut review sarapannya sederhana saja.
Karena lapar, sesampai di dalam kamar kami makan bekal nasi yang dibawa sejak dari Da Nang. Setelah perut kenyang, seperti biasa, setiap kali kami baru check-in di sebuah penginapan, kami membongkar barang-barang di backpack dan menatanya, dan sore ini pun kami langsung sepakat akan memperpanjang menginap di tempat ini setidaknya untuk satu malam lagi, karena sebelumnya hanya booking untuk satu malam saja.
Setelah semua beres, kami bergantian mandi, dan jam 5.45 petang kami sudah keluar kamar, menuruni tangga, dan keluar dari penginapan untuk berjalan-jalan menjelajah Hue.
Huế merupakan sebuah kota di Vietnam Tengah di mana kekaisaran Dinasti Nguyen berkuasa dari tahun 1802 hingga tahun 1945. Salah satu pusat turis utamanya adalah benteng yang dibangun di abad ke-19 yang dikelilingi oleh parit dan tembok batu yang tebal. Disebut sebagai Imperial City, wilayahnya meliputi beberapa istana, kuil, Forbidden Purple City yang dulunya adalah rumah sang kaisar, dan sebuah replika Royal Theater. Kotanya sendiri merupakan medan perang Battle of Hue, salah satu perang terlama dan paling banyak menumpahkan darah di Perang Vietnam.
Kota Hue berlokasi di Vietnam Tengah di tepi Perfume River, berjarak sekitar 700 KM dari Hanoi dan 1.100 KM dari Ho Chi Minh City. Karena masyarakatnya yang sebagian besar menganut agama Buddha, di Hue terdapat lebih banyak biara dibandingkan kota-kota lainnya di Vietnam, dan hidangan vegetarian sangat populer di kota ini. Selain itu beberapa hidangan disajikan lebih pedas dibandingkan daerah-daerah lain di Vietnam.
Masih banyak bangunan bergaya Perancis yang ditemukan di sepanjang pesisir selatan Perfume RIver, di antaranya Quốc Học High School, SMA tertua di Vietnam, dan Hai Ba Trung High School. The Huế Museum of Royal Fine Arts di 3 Le Truc Street juga menyimpan beberapa koleksi artifak peninggalan kota ini.
Untuk menarik turis, kota ini menawarkan tour satu hari ke DMZ (Demilitarized Zone) yang berjarak sekitar 70 KM di utara kota. Tempat ini mempertontonkan berbagai macam sisa-sisa perang, di antaranya The Rockpile, Khe Sanh Combat Base dan Vinh Moc tunnels.
The Huế Central Hospital, yang didirikan pada tahun 1894, merupakan rumah sakit Western pertama yang berdiri di Vietnam. Dikelola oleh Departemen Kesehatan, rumah sakit ini memiliki 2.078 tempat tidur dan berada di atas lahan seluas 120.000 meter persegi. Rumah sakit ini merupakan salah satu dari 3 rumah sakit terbesar bersama dengan Bạch Mai Hospital di Hanoi dan Chợ Rẫy Hospital di Ho Chi Minh City.
Selain mengunjungi monumen-monumen kuno dan makam para kaisar di Hue, atraksi lainnya adalah pantai Thuan An dan Lang Co, dengan pasir putih dan langit birunya. Selain itu masih ada mineral hot spring seperti Thanh Tan di Phong An, Phong Dien, di mana turis dapat bersantai setelah berjalan sepanjang hari. Banyak juga agen tour yang menyediakan layanan tour naik perahu sepanjang Perfume River.
Back to the story.... ^_^
Kami menyusuri jalanan melalui pusat kota dengan Google Map, menuju ke tepian Perfume River. Ada jembatan yang tampaknya sedang dibangun di sungai ini. Sementara menyusuri jalan setapak di tepi sungai (Nguyen Dinh Chieu), tampak sekali bahwa area ini cukup touristy. Banyak cafe, rumah makan serta toko souvenir yang berjejer di sepanjang tepi jalan setapak.
Di penghujung jalan setapak, sampailah kami di Night Market yang letaknya di bawah jembatan Truong Tien. Berbagai macam souvenir dijajakan di tempat ini, namun lebih banyak lagi pedagang street food yang menawarkan berbagai macam makanan dan minuman.
Dari mulai snack hinnga makanan berat, semua ada di tempat ini. Suami sempat menanyakan harga daging ayam panggang yang tampaknya menarik, tapi ternyata mahal sekali. Sepotong dada ayam harganya VND 30K, dan tanpa nasi. Kami pun urung membeli apa pun di sini hahahaha...
Menyusuri jalan setapak sepanjang tepian sungai ini, kami banyak ditawari tour untuk naik perahu, namun kami tolak dengan halus karena memang tidak berminat. Sampai di ujung jalan setapak, kami tiba di jalan besar Le Loi, dan menuju ke arah DMZ Bar di Pham Ngu Lao. Daerah ini hanya boleh dilalui pejalan kaki, dan ternyata sangat touristy. Jalan-jalan kecil ini tampak mulai ramai. Sepanjang jalan dipenuhi dengan penginapan atau hotel, restoran, bar, dan berbagai macam toko. Banyak pula penjual street food yang menjajakan berbagai makanan. Suami sempat 1-2 kali bertanya harga makanan semacam sate dan barbeque, tapi ternyata mahal sekali, jadi batal beli deh hahahaha....
Kami hanya sekedar berjalan-jalan dan melihat-lihat saja di area yang sangat touristy ini, hanya sempat masuk ke sebuah mini market untuk membeli kopi instan (VND 61K). Sekitar jam 7 malam kami sudah mulai berjalan kembali ke arah Night Market di Truong Tien Bridge. Setelah melewati pasar ini, kami tidak lewat Nguyen Dinh Chieu lagi, tapi melalui jalan besar Le Loi. Saat melalui XQ Embroidery Museum, terdengar suara kecapi yang sangat indah. Kami memasuki halaman samping museum, dan ternyata ada seorang gadis yang sedang memainkan kecapi di tempat ini. Kami melihat gadis tersebut sebelumnya di dekat Night Market saat hendak berangkat.
Kami berdua sempat menonton sejenak permainan kecapinya bersama dengan beberapa orang lain yang ada di tempat tersebut, dan setelah itu baru kembali melanjutkan berjalan kaki. Ada Le Bang Dang Art Museum juga di jalan ini, namun kami tidak mampir.
Karena masih mencari susu UHT, kami berjalan di sekitar area penginapan ke arah pasar. Ternyata pasarnya sudah tutup. Saat sedang mencari toko yang masih buka, kami melihat ada keramaian di tepi jalan. Ternyata sedang diadakan upacara kematian di sebuah rumah. Tampak banyak pemuda yang mengenakan pakaian yang sama dan menari-nari diiringi musik tradisional, sepertinya mengelilingi jenasah di dalam ruangan tersebut. Tadinya aku takut dimarahi kalau mau melihat dari dekat, tapi malah ada seorang bapak yang menyuruh maju ke depan. Jadi kami sempat menonton dan merekam upacara ini sejenak. Setelah itu kami mendatangi sebuah toko kelontong di seberangnya dan membeli beberapa buah susu UHT (per kotaknya VND 7K). Kemudian saat berjalan pulang, kami mampir di sebuah toko dan membeli Vodka Hanoi dan beberapa bungkus mie instan (total VND 110K). Setelah itu barulah aku menemani suami membeli makan malam di sebuah rumah makan. Seporsi com binh dan (nasi putih dengan lauk semacam babi kecap dengan semangkuk kuah) dihargai VND 30K. Agak mahal sih, karena porsinya sedang.
Kami baru sampai di Nha Nghi Thanh Nga jam 8.30 malam. Tidak terasa, hari ini kami sudah berjalan kaki lebih dari 9 KM. Aku membuat mie instan dengan sayuran untuk makan malam. Setelah itu kami masih mencari informasi mengenai tempat-tempat yang akan kami kunjungi esok hari, sekaligus transportasi dari Hue menuju ke Phong Nha, kota tujuan kami setelah Hue.
Akhirnya baru sekitar jam 12 malam aku beranjak tidur....
To be continued.......
No comments:
Post a Comment