DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Saturday, June 2, 2018

VIETNAM & LAOS BACKPACKING 2018 (7) - EXPLORING AROUND DA LAT


27 Maret 2018



Hari ini lagi-lagi aku terjaga jam 3.30 pagi. Udara terasa sangat dingin, hingga wajah pun harus ditutupi dengan selimut. Aku masih mencoba tidur lagi, namun sangat sulit karena dingin dan entah mengapa pikiranku sudah berkelana kemana-mana.
Akhirnya aku benar-benar terbangun jam 4 pagi karena sudah tidak bisa lagi tidur. Suhu pagi ini mencapai 12 derajat Celcius, sedikit lebih dingin daripada kemarin pagi. Aku mendengar suara-suara di rumah penduduk yang letaknya di belakang kamar, sepertinya mereka juga sudah bangun.

Sepagian aku menghabiskan waktu untuk melakukan rutinitas pagi dan berada di depan netbook. Suamiku baru terbangun sekitar jam 6.20 pagi dan sepertinya masih tampak mengantuk sekali. Mungkin akibat kelelahan kemarin seharian banyak mengendarai sepeda motor.

Baru sekitar jam 8.30 pagi kami siap untuk berangkat berkendara dengan sepeda motor. Pertama-tama kami mengisi bensin terlebih dahulu sebanyak VND 40K, lalu menuju ke kantor Futa Bus Lines, yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Ternyata sebelumnya kami pernah melewati tempat ini, dan aku menyangkanya sebagai bangunan mall atau supermarket. Ternyata ini adalah kantor sekaligus terminal milik perusahaan bus ini. Bangunannya besar sekali, dengan banyak kursi untuk duduk. Mirip seperti sebuah gate di dalam bandara. Aku membaca bahwa Futa termasuk salah satu bus yang cukup baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan bus lainnya. Di luar bangunan terminal juga tampak ada Futa Ex, sepertinya untuk jasa pengiriman barang.


Semalam aku sudah mencari informasi di internet mengenai bus jurusan Da Lat ke Da Nang, dan tarif tiketnya sebesar VND 265K. Dengan membeli di kantornya, aku memastikan bahwa harganya sama dengan informasi yang kuperoleh sebelumnya. Padahal kemarin waktu bertanya kepada Wang, dia bilang untuk bus lain yang bukan Futa, harga tiketnya VND 320K.
Ternyata memang benar harganya VND 265K dan ada beberapa jam keberangkatan sesuai di webnya, maka suami memilih yang jam 4 sore. Sempat ditanya juga hendak duduk di lantai bawah atau lantai atas, dan kami pilih di lantai bawah, karena aku membaca kalau di atas AC-nya terasa dingin sekali. Karena tinggal posisi paling belakang, kami mengiyakan. Usai membayar, kami pun mendapatkan dua buah tiket. Aku bertanya jam berapa kami harus tiba di tempat, dan malah petugasnya bertanya balik kepadaku, mau datang sendiri atau mau dijemput? Aku tanya, kalau dijemput ada biaya tambahan atau tidak? Katanya tidak ada, jadi aku minta dijemput saja. Kami hanya dimintai nomor telepon penginapan kami dan diharap untuk siap jam 3.15 sore.

Dari kantor Futa Bus, kami menuju ke Robin Hill yang kebetulan lokasinya sangat dekat dengan kantor Futa Bus. Hanya berkendara beberapa menit namun sempat nyasar gara-gara Google Map, sampailah kami di Robin Hill.

Aku sudah membaca beberapa review tempat ini, dan semuanya membicarakan naik cable car yang viewnya indah, jadi kami memang sudah berniat untuk membeli tiket cable car ini, apalagi ada yang mengatakan bahwa harga tiket cable car di sini adalah yang termurah di Vietnam.

Kami masih melihat-lihat dulu suasana di sekitar lokasi. Karena datarannya agak tinggi, tampak view rumah-rumah di kejauhan.
Memasuki satu-satunya bangunan di tempat ini, di dalamnya ada toko-toko souvenir, cafe, rumah makan, dan loket pembelian tiket.
Untuk tiket pulang pergi, harganya VND 80K/orang. Tiket satu kali jalan VND 60K. Tentu saja kami beli yang pulang pergi, kalau tidak bagaimana nanti akan kembali?



Setelah itu kami berjalan melewati petugas yang mengecek tiket, dan naik tangga lagi melewati pagar besi pembatas antrian. Tampak sudah cukup ramai orang yang mengantri, tapi belum sampai panjang. Selain itu cable carnya bisa muat 4 orang sekali masuk, dan jarak waktu menunggu kereta selanjutnya hanya sebentar saja.



Tibalah giliran kami masuk, bersama dengan dua orang perempuan paruh baya. Saat kusapa mereka, katanya mereka berasal dari Belanda. Perjalanan naik cable car selama sekitar 15 menit berlalu tanpa terasa, dan kami sampai di Langfarm Cable Car.



Tempat ini mirip dengan sebelumnya, ada banyak toko yang menjual souvenir dan makanan. Saat memasuki sebuah cafe, aku memutuskan untuk membeli kopi susu. Sekali-sekali bolehlah jajan di luar selain makanan hehehehe...
Es kopi susu atau ca phe sua da, harganya VND 20K. Kopi susunya isinya sedikit sekali, bahkan setelah ketambahan es batu pun, hanya setengah gelas saja, jadi kami tambahi air sendiri hahahaha... Kami pun duduk-duduk di tempat duduk cafe yang sebenarnya outdoor tapi diberi atap supaya tidak panas.



Waktu sudah menunjukkan jam 10 saat kami memutuskan untuk mulai menjelajah di sekitar tempat ini. Keluar dari area cable car, kami masuk ke sebuah tempat parkir yang luas. Ternyata ada sebuah biara dan beberapa kuil dalam satu wilayah, di Google Map namanya Thien Vien Truc Lam Monastery.
Tadinya kami pikir harus bayar lagi, karena banyak tulisan yang dipajang, ternyata setelah didekati hanyalah peringatan agar berpakaian sopan, pundak harus tertutup dan celana atau rok harus di bawah lutut. Aturan yang wajar di setiap tempat ibadah.


Kami pun mulai melihat-lihat yang ada di area ini. Banyak bangunan kuil, pagoda, patung-patung, lonceng, dan ada biara tempat tinggal para biksu. Sesekali tampak beberapa orang biksu yang berseliweran juga, dan mereka rata-rata tidak ambil pusing dengan para turis yang sedang melihat-lihat tempat ini.
Memang pada saat kami datang, sudah banyak turis yang ada di sini, kebanyakan orang lokal. Dan terkadang aku heran, karena justru kebanyakan orang-orang Vietnam ini yang seringkali bersikap kurang hormat terhadap tempat-tempat ibadah mereka sendiri.
Mirip dengan turis-turis RRC yang sering kujumpai di mana-mana, mereka ini kalau bicara juga keras-keras, seperti berteriak-teriak, bahkan di tempat ibadah seperti ini pun banyak yang bercanda. Kalau menurutku sih kurang pada tempatnya dan terkesan tidak sopan.

Kami berjalan mengitari tempat ini, berusaha menjelajahi area-area yang boleh dimasuki. Kami sempat memasuki kuil-kuil dan memotret patung-patung di dalamnya. Biasanya alas kaki harus dilepas untuk masuk kuil.
Pepohonan dan bunga-bunga di sini juga banyak yang unik dan menarik. Banyak pohon bonsai, besar dan kecil. Semua tanaman ini tampak terawat dengan baik. Ada beberapa biksu yang tampak sedang menyirami taman bunga. Ada rumah untuk pembibitan juga. Menyenangkan sekali melihatnya.

Beberapa kali kami memberi salam "Namaste" kepada para biksu yang berpapasan dengan kami, dan ada salah seorang biksu yang menyangka kami berasal dari Thailand hehehehe....






Di bagian agak bawah juga ada sebuah bendungan yang agak besar, serupa danau. Airnya tampak kehijauan. Kami lihat pada umumnya orang berjalan memutari bendungan ini, lalu berjalan keluar, sepertinya langsung menuju ke tempat parkir di depan biara.
Aku masih mencoba menuruni anak tangga ke arah yang berlawanan, ternyata menuju ke hutan pinus yang luas. Di ujungnya tampak sebuah danau. Sayangnya setelah kudekati ada kawat berduri yang mengitari area ini. Sebetulnya kalau mau bisa mencapai danau, ada jalan lain yang turun lagi ke dermaga, di mana kita bisa naik perahu. Tapi sepertinya suami sudah mulai lelah, jadi aku mengurungkan niat untuk melihat-lihat ke arah dermaga.



Setelah menyusuri hutan pinus ini, kami naik kembali dan menuju ke parkiran, lalu kembali ke arah stasiun cable car. Kami tiba jam 11.30 siang dan langsung naik ke cable car berbekal kartu tiket yang diberikan di awal. Kali ini tidak ada lagi antrian, bahkan suasananya relatif sepi, jadi kami hanya berdua dalam satu kereta.



Ternyata hanya berdua rasanya justru agak menyeramkan, entah mengapa bisa begitu. Keretanya terasa lebih mudah bergoyang-goyang kalau ada yang bergerak. Belum lagi saat sudah lebih dari separuh jalan, keretanya tiba-tiba berhenti. Waduh, aku langsung berdebar-debar, takut jatuh atau sampai harus menunggu berjam-jam seperti di dalam film-film, apalagi posisi kami sedang cukup tinggi. Walaupun pemandangan tampak indah, aku tidak berani melihat ke bawah. Untung saja sekitar 20-30 detik kemudian keretanya kembali jalan, dan tidak lama kemudian kami pun sampai di Robin Hill lagi. Lega rasanya bisa menginjakkan kaki di bumi lagi hehehehe...
Oya aku mendapatkan informasi dari dua turis Belanda tadi, bahwa cable car berhenti beroperasi tiap jam 12 hingga jam 2 siang. Mungkin istirahat makan siang ya... ^_^



Aku baru melihat bahwa di dalam bangunan di Robin Hill ini ada kursi-kursi pijatnya. Mungkin bagi yang lelah jalan-jalan ke biara tadi, bisa langsung pijat di sini ya hehehehe.... Ada seekor anjing yang lucu sekali di dekatnya, jinak dan menggemaskan ^_^
Di luar, deretan bus di tempat parkir makin bertambah banyak, pertanda semakin siang pengunjungnya pun semakin ramai.



Setelah pengalaman yang mengasyikkan barusan, kami memutuskan akan melanjutkan ke Linh Phuoq Pagoda karena belum lapar.
Hari ini cara berkendara suamiku sudah seperti orang lokal saja, seringkali membunyikan klakson, dan sudah lebih berani daripada kemarin ^_^

Kami sampai di Linh Phuoq Pagoda menjelang jam 12 siang, dan baru memasuki areanya saja sudah terkagum-kagum. Tampak struktur bangunan yang luar biasa indah, megah, dan artistik terlihat dari kejauhan. Kami pun mulai menjelajahi satu demi satu bangunan yang ada.



Oya, selama beberapa hari berada di Vietnam, beberapa kali aku sempat melihat orang jualan ca phe, yang awalnya kubaca capek dan kujadikan bahan guyonan dengan suami., orang kok jualan capek hahahaha...
Baru di area pagoda ini aku bisa memotret tulisan tersebut, dan ca phe maksudnya adalah kopi, dan cara bacanya adalah kafé ^_^



Kami mulai dari bangunan yang tengah. Di luarnya tampak patung-patung penjaga seukuran manusia, kemudian tampak dua patung dewa yang sedang duduk. Pilar-pilar bangunannya berwarna-warni indah sekali.



Ada anak tangga naik di samping bangunan ini, maka kami pun naik. Mengagumkan sekali melihat bahkan sampai bagian langit-langitnya dihiasi porselen kecil-kecil dan berwarna-warni. Sampai ke lantai dua, ada sebuah lonceng berukuran besar sekali yang ditempeli banyak kertas berwarna kuning. Bagi penganut Buddha, diperbolehkan memukul lonceng raksasa ini dengan cara mendorongnya dengan kayu yang disediakan. Biasanya orang memukul lonceng ini sebanyak 3 kali bersama dengan kertas kuning tadi.




Dari luar lantai dua ruangan berlonceng ini, tampak deretan patung-patung keemasan di sisi lain bangunan, maka kami pun menuju ke sana. Mengagumkan sekali patung-patung penjaga di depan kuil ini. Patung-patung berwarna emas seukuran 1 - 1,5 kali ukuran manusia berjejer dengan megahnya.
Dan saat melihat ke dalam kuil, aku langsung merasa terkagum-kagum dengan patung dewi Kwan Im keemasan yang ada nun jauh di dalam sana. Setelah melepaskan sepatu, kami masuk dan duduk di pinggir luar. Ternyata malah ada seorang turis Western yang sedang difoto dengan gaya-gaya lebay di tempat yang dimaksudkan untuk orang duduk berdoa. Walah, tidak sopan sekali rasanya.




Aku dan suami pun sempat bergantian foto di tempat tersebut, namun tentunya tidak berani dengan gaya yang aneh-aneh, bahkan selfie saja tidak pantas rasanya. Kami masih berada di dalam kuil ini untuk beberapa saat, hanya untuk mengambil foto dan mengagumi keindahannya. Lebih banyak lagi patung-patung keemasan berjejer di sepanjang sisi kanan dan kiri kuil ini. Setiap detil pilar, langit-langit dan dinding temboknya sangat luar biasa indah. Penuh warna dan tampak anggun sekali. Tiap sudut bangunan dihiasi porselen kecil-kecil berwarna-warni yang tentunya butuh waktu dan kesabaran tinggi dalam proses pembuatannya.

Bangunan kuil ini terdiri dari 3 lantai, dan sekilas dari bawah tampak banyak patung keemasan yang berjejer-jejer di sepanjang balkonnya. Aku tidak tahu apakah diperbolehkan naik atau tidak, jadi kami tidak berani naik.

Keluar dari dalam ruangan kuil, menuju ke ruangan kecil di sebelahnya, tampaklah patung Dewi Kwan Im yang sangat tinggi, mungkin sampai belasan meter. Ini adalah patung Dewi Kwan Im tertinggi yang pernah kulihat berada di dalam suatu ruangan. Sepertinya bagian luarnya ditempeli dengan kerang, dan walaupun tidak secantik patung Dewi Kwan Im yang keemasan, patung ini memiliki keindahannya sendiri.


Di sudut luar tempat ini ada pohon sakura yang bunganya banyak sekali, tapi aku curiga bukan bunga asli. Benar saja, setelah didekati ternyata pohonnya terbuat dari plastik. Tapi tak mengapalah, selfie dulu supaya tampak pernah ke Jepang hahahaha....




Memasuki satu demi satu, menjelajah tiap sudut bangunan-bangunan ini, aku menyadari tempat tidaklah indah, tapi sangat menakjubkan!!! Tiada hentinya tempat ini membuatku terkagum-kagum. Melihat foto pun sepertinya tidak akan bisa merasakan apa yang dilihat sesungguhnya.

Aku bukan penganut Buddhism, tapi aku merasa kagum, hormat, dan ada suatu perasaan entah apa saat memasuki kuil dengan patung dewi Kwan Im raksasa di dalamnya. Super amazing!!! Secara keseluruhan, Linh Phuoc Pagoda adalah salah satu tempat buatan manusia yang terindah dan paling luar biasa yang pernah kukunjungi seumur hidupku!
And the best thing is, gratis! Hehehehe...

Dari sini, kami turun, keluar, dan masuk ke bangunan yang paling belakang, di tempat parkir mobil. Dari luar tampak patung-patung yang dipahat dari kayu. Kali ini banyak patung Jilaihud atau Buddha tertawa.
Banyak sekali koleksi artistik di sini yang menggambarkan dewa-dewa, sayang kami tidak tahu arti tulisan-tulisan yang rata-rata dalam bahasa Vietnam.





Karena ada tangga naik, kami pun melanjutkan naik ke lantai dua. Tampak ada beberapa etalase yang menjual aneka aksesoris keagamaan, utamanya tasbih, gelang, patung, dan masih banyak lagi. Aku tertarik untuk membelinya, tapi gelangnya besar-besar manik-maniknya, dan setelah dilihat harganya, yang paling murah lebih dari VND 100K hehehehe...

Berjalan ke salah satu sudut, ternyata ada ruangan semacam diorama yang berisi patung-patung lilin yang diberi nama. Sepertinya tokoh-tokoh atau biksu-biksu Buddha yang terkenal. Ruangan ini ditata sedemikian rupa sehingga suasananya tampak berbeda, diterangi dengan lampu-lampu berwarna hijau dan dipenuhi suara-suara alam yang seolah menggambarkan suasana meditasi, bahkan ada suara tokeknya juga hehehehe... Di tengah ruangan yang tidak terlalu besar ini juga ada patung-patung dewa berwarna hijau, seperti terbuat dari kaca atau mungkin batu berharga. Mengagumkan sekali.



Keluar dari ruangan unik ini, tampak deretan patung-patung artistik lagi dari bahan kayu maupun keramik. Setelah itu ada etalase yang menjual aksesoris seperti tadi, tapi kali ada gelang-gelang dengan harga VND 30-50K. Sayang malah tidak ada penjaganya, padahal aku ingin beli. Hitung-hitung untuk menyumbang karena semua yang dilihat di sini gratis dan indah sekali.



Kami pun berjalan ke ujung ruangan. Tampak ada 2 patung penjaga, satunya manusia berkepala kerbau, satunya lagi manusia berkepala kuda. Keduanya memegang senjata, seperti menjaga sebuah gerbang. Maka masuklah kami ke dalam "gerbang" tersebut.


Suasana di dalamnya mirip sekali dengan rumah hantu. Lorong-lorong yang panjang, sempit, gelap, hanya diterangi lampu warna-warni, dan terdengar suara-suara seperti hantu.

Dari showcase satu ke showcase berikutnya dan seterusnya, barulah aku mengerti bahwa ini adalah gambaran neraka. Apa yang ditampilkan berupa setan-setan dan macam-macam siksaan yang menanti di neraka sana.
Panjang sekali lorong-lorong yang kami lalui, dan kemudian ada satu showcase yang agak luas, yang sepertinya menggambarkan hari penghakiman. Kalau tidak salah arti, Judge Bao lah yang berkuasa di sini. Ada juga beberapa hakim lain, pengawal, dan orang-orang yang sedang diadili. Keren banget sih menurutku...



Setelah melalui banyak lagi showcase, akhirnya kami sampai di pintu keluar. Ternyata di sini ada seorang ibu paruh baya yang berjualan souvenir juga. Kebetulan malah ada gelang yang agak kecil-kecil dan dari tali. Waktu ditanya harganya, katanya VND 20K. Tanpa ba bi bu, aku membeli satu buah dan langsung kupasang di tanganku.
Sebetulnya aku punya keinginan untuk mulai mengoleksi gelang-gelang seperti ini, kalau bisa satu gelang untuk tiap negara yang pernah kukunjungi. Rencana ini baru terpikirkan sewaktu kembali dari Nepal beberapa bulan yang lalu ^_^

Waktu sudah menunjukkan jam 1 siang, jadi aku mencarikan tempat makan nasi untuk suamiku. Setelah berjalan mengitari depot-depot yang kebanyakan hanya menjual minuman atau souvenir, kami sampai di area di belakang patung naga yang tampak besar sekali dari luar. Di dalamnya ada pedagang souvenir, manisan, dan sebuah restoran dengan banyak meja kursi.


Karena membaca ada menu nasi, aku bertanya harga dulu kepada petugasnya, katanya VND 20K. Untuk makan di sini, kita beli tiket dulu, baru kemudian tiketnya diserahkan kepada petugas yang mengambilkan makanan.
Karena tidak tahu apa saja jenis masakan yang tampak di balik kaca etalase, kami cuma bilang 1 porsi saja.

Tidak lama kemudian datanglah makanan yang dipesan, com chay alias nasi dan sayur. Nasi dengan lauk macam-macam masakan vegetarian. Piringnya sampai tampak penuh sekali, dan masih ditambah dengan semangkuk kecil kuah yang ada sayuran dan sepotong tahu putih. Apa yang tidak disukai suami, disisihkan olehnya dan kumakan setelah dia selesai makan. Di tempat ini teh yang disediakan ada yang panas (di dalam termos) dan ada yang dingin, jadi kami pilih es teh karena haus dan udaranya panas.


Walaupun hanya makan sisa-sisa, ternyata aku cukup kenyang juga. Tadinya kami berencana pulang dulu ke penginapan di siang hari untuk membuat mie instan untuk makan siangku, tapi karena sudah agak kenyang akhirnya kami memutuskan untuk lanjut menjelajah saja. Sembari makan kami membicarakan tujuan selanjutnya. Di dekat Linh Phuoc Pagoda ada sebuah kuil lain yang ingin kami datangi juga. Lalu kalau waktu memungkinkan kami akan ke Lang Biang juga.

Ternyata di bangunan terdepan masih ada yang belum kami lihat, jadi usai makan siang kami ke sana dulu. Isinya lebih banyak patung-patung dan kerajinan dari batu pualam. Cantik-cantik semuanya.



Setelah itu kami meninggalkan area Linh Phuoc Pagoda dan menuju ke Cao Dai Temple of Da Lat yang jaraknya dekat sekali. Sempat nyasar juga gara-gara mengikuti arahan Google Map, nyaris melewati jalan tanah yang sangat curam, turun, lalu naik lagi. Setelah mencari jalan alternatif, akhirnya kami sampai juga di tujuan.

Cao Dai Temple tentu saja tidak ada apa-apanya dibandingkan Linh Phuoc, namun kuil kecil ini memiliki keindahan tersendiri. Ada satu bangunan di bagian bawah, dan satu lagi di atas, yang tampak seperti istana kecil di puncak bukit. Ada seorang bikhuni yang sedang menyapu, karenanya kami agak sungkan untuk blusukan ke dalam kuilnya hehehehe...
Setelah memotret sebentar, kami pun meninggalkan tempat ini.





Kami ke Lang Biang Mountain yang jaraknya sekitar 12 KM kalau dari pusat kota Da Lat. Tempat ini katanya memiliki view yang indah ke arah kota Da Lat dan sekitarnya.
Dari yang kubaca, setelah membeli tiket masuk bisa jalan kaki, naik jeep, atau naik motor. Kami berencana naik motor saja karena aku takut suami terlalu lelah seperti kemarin.



Semakin mendekati Lang Biang, udara terasa sedikit dingin walaupun matahari bersinar dengan terik. Setelah menempuh jarak sekitar 23 KM, sampailah kami di pintu gerbang menuju Lang Biang Peak.
Begitu sampai di gerbang, seorang petugas menjelaskan bahwa sepeda motor tidak boleh dibawa masuk, harus diparkir. Untuk menuju puncak bisa naik jeep saja katanya.
Waktu ditanya kalau jalan kaki bagaimana, dijelaskannya bahwa ada 2 puncak, yang lebih dekat dan lebih jauh. Yang lebih dekat sedikitnya butuh 3 jam pulang pergi, sedangkan yang lebih jauh selisih sekitar 30 menit lebih lama.

Saat itu sudah jam 2.30 siang, sedangkan jam tutupnya adalah jam 5 sore. Kata petugas tersebut, kalau naik jeep biarpun sampai jam 6 atau jam 7 malam juga akan ditunggu. Komersil sekali ya...
Suamiku bimbang dan ragu, sementara aku sendiri sebetulnya yakin kami bisa naik ke puncak yang lebih dekat ini. Akhirnya kami membeli tiket masuk seharga VND 30K/orang, kata suami jalan sekuatnya saja. Yah minimal bisa sedikit olahraga deh... Harga tiket di sini ditentukan oleh usia. Untuk usia 30 tahun ke atas harganya ya segitu.


Setelah memarkirkan sepeda motor dengan membayar VND 5K, kami ke toilet dulu, dan baru jam 2.40 siang kami mulai berjalan. Yang membuat agak kuatir adalah bahwa si tukang parkirnya bertanya kepada suamiku, naik jeep atau tidak? Dan setelah dijawab jalan kaki, dia berkata kalau kembali lebih dari jam 5 sore, kamu pulang jalan kaki saja. Waduh, aku agak kepikiran juga jadinya.

Sejauh yang aku tahu, memang ada 2 puncak, yang lebih dekat tadi namanya Radar Peak (di Google Map namanya Dinh Rada) dengan ketinggian 1.967 mdpl, sedangkan yang satunya adalah Lang Biang Peak dengan ketinggian 2.167 mdpl. Yang tidak kusangka, ternyata tempat ini touristy sekali dan semua harus serba uang. Kalau tidak salah info, untuk naik jeep pengunjung harus bayar lagi sekitar VND 50-150K/orang.

Kami berjalan di atas aspal hotmix sejauh sekitar 500 meter, dan kemudian ada petunjuk untuk masuk ke arah hutan bagi pejalan kaki. Maka kami mengikuti rute jalan kaki ini memasuki hutan pinus, memulai trekking yang sesungguhnya.
Awalnya relatif mudah, kebanyakan jalurnya berupa rumput atau jalan setapak dari tanah yang sedikit menanjak. Lama-kelamaan tracknya semakin berat dan berbahaya di beberapa tempat. Karena suamiku tampak ngos-ngosan, aku membawakan ranselnya supaya bebannya lebih ringan dan tidak terlalu kepanasan.




Setelah sekitar 30 menit berjalan, aku memperhatikan di peta bahwa kami sudah sekitar 2/3 jalan untuk sampai ke puncak. Aku berusaha menyemangati suamiku yang tampak kepayahan. Bekal air minum yang kami bawa hanya 1/2 botol air, jadi aku tidak berani minum sepanjang mendaki, karena aku tahu suamiku pasti lebih membutuhkannya.

Pada umumnya, rute trekking diberi tanda tiap rentang jarak tertentu atau kalau medannya membingungkan. Beberapa tanda yang kulihat adalah papan petunjuk di pohon, cat merah berbentuk panah di pohon, cat putih berbentuk panah di pohon, dan di beberapa tempat yang dirasa berbahaya atau licin diberi pita pembatas, tali tampar untuk pegangan, atau keduanya.




Seperti kubilang tadi, semakin lama tracknya semakin banyak yang curam dan sepertinya agak berbahaya. Ada suatu titik selama beberapa puluh meter tracknya sangat curam, licin, dan apabila terpeleset bisa jatuh dalam ke jurang. Di track ini diberi tali tampar sekaligus pita pembatas. Hmmm... sepertinya bisa berbahaya kalau turun lewat sini nanti. Anak-anak tangga dari tanah yang rapuh dan agak licin ini menjadi titik akhir tersulit, dan setelah aku melewatinya, tampaknya jalan di depan relatif lebih landai.
Aku pun menyemangati lagi suamiku yang sepertinya sudah kehabisan nafas, dan akhirnya sampailah dia ke tempatku menunggu.





Dari sini, jalan yang kami tempuh relatif landai, dan setelah beberapa ratus meter lagi berjalan, sampailah kami di puncak, Radar Peak ^_^
Aku sampai duluan jam 3.40 sore, jadi sekitar 1 jam waktu yang kami butuhkan untuk mendaki pegunungan ini.
Tampak banyak sopir jeep sedang duduk-duduk menanti para penumpangnya yang masih asyik berkeliling di area ini. Saat aku sampai, rata-rata mereka memperhatikamku, mungkin heran ada yang mau jalan kaki sudah sore begini.

Setelah suamiku sampai juga, kami berdua jalan-jalan di sekitar Radar Peak ini. Aku membelikan sebotol teh dingin seharga VND 20K untuk suamiku supaya dia tidak kehausan lagi. Suasana masih panas sekali, untuk memotret pun backlight dan kurang bagus hasilnya. Sepertinya semua orang yang ada di puncak ini naik jeep, tampak dari gaya mereka yang turis banget, bahkan ada yang pakai sepatu hak tinggi hahahaha...



Ada sebuah cafe yang sepertinya mahal. Tampak pula beberapa pedagang asongan yang menjajakan beberapa macam barang kerajinan tangan. Sebetulnya kasihan melihat mereka, tapi aku juga tidak membutuhkan apa yang mereka jual.
Selain itu ada sebuah tempat di mana kita bisa menyewa pakaian adat suku minoritas di Vietnam. Kalau aku tidak salah pakaian yang disewakan ini sepertinya merupakan pakaian khas suku Hmong dari daerah Sa Pa. Dengan membayar VND 30K, siapa saja boleh memakai pakaian khas ini dan berfoto-foto sendiri. Beberapa turis lokal tampak sedang mengenakan pakaian ini dan asyik berpose. Suamiku malah sempat mengira mereka ini para petugas di tempat ini karena memakai baju "seragam" hahahaha....


Ada beberapa meja kursi di mana pengunjung bisa duduk-duduk untuk menikmati pemandangan. Ada juga beberapa spot memotret sekaligus tempat di mana kita bisa istirahat, tapi harus turun tangga lagi. Kami memutuskan tidak ke sana, karena waktu kami sangat terbatas. Kami harus memperhitungkan agar bisa sampai di parkiran sebelum jam 5 sore. Rencananya kami akan turun lewat jalan aspal karena sepertinya untuk turun kembali melewati hutan agak berbahaya dan bisa lebih lama walaupun jaraknya lebih dekat.

Dari Radar Peak ini tampak pemandangan kota Da Lat di kejauhan, beserta alam di sekelilingnya. Secara keseluruhan, menurut kami berdua pemandangannya tidak sampai wow walaupun indah.


Setelah menganggap cukup puas berada di tempat ini, jam 4.05 sore kami memutuskan untuk turun kembali, kali ini melalui jalan beraspal. Karena aku tahu kakiku lemah dalam turunan sedangkan aku tidak memakai knee support dan tidak membawa trekking poles, aku bilang kepada suamiku, yang penting salah satu bisa sampai duluan, jadi bisa mengambil sepeda motor di parkiran. Kalau memang dia bisa jalan lebih cepat, tidak perlu menungguku.


Jalanan hotmix yang kami lalui pada umumnya menurun, lumayan memberi tekanan pada lututku. Pada saat jalannya datar, biasanya aku berlari-lari agar tidak terlalu jauh tertinggal. Rasanya tidak nyaman juga jogging sambil membawa ransel plus kamera di pundak. Seringkali jeep yang membawa penumpang melewati kami, baik ke arah naik maupun turun. Sepertinya banyak penumpangnya yang heran melihat ada orang berjalan kaki turun hehehehe...
Setelah terus dan terus berjalan tanpa menghiraukan rasa lelah dan pegal, aku melihat dari kejauhan suamiku sampai di tempat parkir jam 4.50 sore. Slamet... slamet.... hehehehe... Good job, dear!
Aku sendiri baru menyusul sekitar 5 menit kemudian.



Total jarak yang kami tempuh pada saat turun ini 5 KM, sedangkan pada saat naik melewati hutan hanya sekitar 4 KM saja. Total selisih ketinggian dari tempat parkir hingga ke Radar Peak sekitar 500 meter.
Ternyata lumayan berat juga ya...
Secara pribadi aku bangga terhadap diriku sendiri dan tentunya suamiku untuk pencapaian ini. Aku tahu ini bukan sesuatu yang sulit dilakukan oleh orang normal pada umumnya, tapi kondisi kami sebetulnya kurang siap. Aku tahu suamiku lemah dalam menanjak, dan aku sendiri takut tanpa knee support aku tidak akan bisa turun dengan cepat. Untungnya kakiku hanya pegal-pegal dan ngilu-ngilu saja, tidak sampai sakit. Bayangkan saja harus jalan cepat campur jogging selama 5 KM sambil bawa ransel dan kamera.

Usai mengambil sepeda motor, kami pun meninggalkan Lang Biang, menuju ke kota Da Lat. Menjelang sampai di penginapan, kami membeli susu UHT lokal seharga VND 6K, lalu pulang ke Katie Guest House.
Setelah membereskan barang-barang, kami bergantian mandi. Menyegarkan sekali rasanya mandi dengan air hangat dalam udara dingin ini setelah seharian banyak berjalan kaki.


Sekitar jam 6.30 petang, kami pergi ke warung dekat penginapan untuk membeli mie instan. Satu buah mie harganya VND 4K, dan aku membeli 3 bungkus. Dari sini kami berjalan ke tempat suamiku makan malam kemarin, dan aku menemaninya makan malam di sini.
Sepiring nasi dengan daging babi, sedikit sayuran dan semangkuk kuah sudah cukup mengenyangkan perut suamiku malam ini. Aku sendiri membuat mie instan kuah dengan sayuran di penginapan setelahnya ^_^


Menghabiskan malam di kamar, aku mencari-cari penginapan untuk di Da Nang 2 hari lagi, saat kami tiba di sana, dan akhirnya kami memutuskan untuk booking di sebuah penginapan dengan harga termurah untuk double room. Lokasinya tampaknya agak jauh dari pusat kota, tapi tak mengapalah karena kami bisa sewa motor sekalian untuk keliling-keliling.
Total berjalan kaki hari ini sekitar 11 KM,dengan sebagian besar di antaranya adalah trekking/hiking. Naik motornya sendiri sepertinya lebih dari 70 KM. Tidak heran sekitar jam 9 malam kami berdua sudah tertidur karena lelah....

Secara keseluruhan, hari ini merupakan highlight dari seluruh perjalanan kami beberapa hari terakhir ini.
Pertama, karena banyak tempat yang bisa dikunjungi dalam satu hari. Kedua, karena aku menyaksikan salah satu bangunan hasil buatan manusia yang terlihat sangat menakjubkan dari segi detil dan keindahan. Linh Phuoq Pagoda benar-benar berkesan bagiku! It never stopped mesmerizing me. Ketiga, tentunya karena berhasil sampai ke Radar Peak dengan usaha kami sendiri.

Sejauh ini kami belum pernah membeli air putih untuk minum. Kami memilih masak air sendiri kalau dari penginapan disediakan electric kettle, atau memfilter air dengan water purifier yang kami bawa.
Walaupun sedikit, tapi bisa menghemat pengeluaran. Yang aku kuatirkan adalah karena kami belum mendapatkan gas untuk kompor yang kami bawa. Namun aku baru saja mendapatkan kabar gembira. Siang tadi aku posting di group backpackers Vietnam untuk bertanya informasi mengenai toko yang menjual jenis gas yang kami butuhkan, dan malam ini aku mendapat respon positif ada satu toko di Hoi An yang menjualnya. Jarak dari Da Nang ke Hoi An hanya sekitar 35 KM dan bisa ditempuh dengan sepeda motor, jadi kami harusnya bisa mendapatkan gas yang kami butuhkan besok lusa saat sampai di Da Nang ^_^


To be continued.......

No comments:

Post a Comment