8 November 2017
Setelah semalam susah tidur, pagi hari ini pun aku sudah terjaga jam 3 dini hari. Sebenarnya aku pasang alarm untuk jam 4.15 pagi, tapi setelah terbangun jam 3 ini aku sudah tidak bisa tidur lagi. Ingin ke toilet, malas sekali membayangkan dinginnya di luar berjalan sejauh 50 meter. Selain itu kalau membuka tutup pintu luar, aku takut mengganggu mereka yang tidur di ruang makan. Aku hanya bisa bolak-balik di dalam selimut di atas kasur yang keras ini, dan akhirnya aku bangun jam 4 pagi dan membuat kopi panas. Setiap bangun dari tidur, aku berusaha membuat minuman panas, entah kopi, teh manis sisa kemarin yang dipanaskan ulang, atau jeruk nipis dan madu, supaya tidak kedinginan dan cepat ke toilet hahahaha...
Setelah dari toilet, aku memenuhi air di ember dulu, supaya kalau suamiku bangun tidak repot lagi mengambil air. Baru kemudian aku kembali ke dalam rumah dan masuk kembali ke dalam selimut hehehehe... Seperti yang kuceritakan sebelumnya, baterai HP-ku ternyata tidak mengisi sama sekali, karena kabelnya agak longgar, jadi sementara HP tidak kugunakan dulu agar baterainya cepat terisi. Aku tidak bisa melihat berapa suhu udara, karena tidak ada koneksi internet sama sekali di Chuile ini. Baru sekitar jam 6 pagi tamu-tamu yang lain bangun, aku mendengar suara mereka bercakap-cakap. Setelah itu suamiku pun bangun.
Kami keluar kamar dan masih sempat memotret pemandangan di belakang rumah. Tampak puncak gunung Annapurna South dan Machhapuchhre/Fish Tail di belakang rumah. Kedua puncak gunung ini tampak dekat, tidak heran udaranya dingin sekali di sini. Kami juga bertemu lagi dengan pamannya Nishan yang sedang memeberi makan dan menyiapkan kudanya, sepertinya hendak pergi ke suatu tempat. Ada insiden di mana kaki suamiku sempat terinjak kuda yang sedang makan jagung kering ini, untungnya tidak sampai cedera. Tidak lama kemudian, paman Nishan pun berpamitan dan pergi sambil menuntun kudanya.
Setelah itu kami masuk dan menunggu sarapan selesai disiapkan. Untuk pagi ini, aku sarapan vegetable noodle soup seharga NRs 300, dan suamiku kupesankan vegetable fried rice seharga NRs 460. Kami juga memesan dua gelas ginger tea seharga @NRs 120.
Semenjak trekking, entah mengapa, suamiku justru kehilangan selera makannya, Pagi ini nasi gorengnya hanya dimakan separuhnya saja, jadi sisanya kubawa untuk bekal makan siang. Saat sarapan ini, aku menaburkan cabe bubuk yang aku bawa ke dalam makananku, dan ketika Nishan melihatnya, aku ditawari kalau mau cabe sungguhan. Tentu saja aku mau, dan Nishan memberiku 5 buah cabe hijau yang agak besar-besar. Waktu aku memakan habis semua cabe tersebut, semua yang ada di ruangan makan sampai terheran-heran melihatnya hahahaha...
Seusai sarapan, aku minum satu pain killer yang diberi oleh MariAnne, lalu kami masih duduk dan mengobrol dengan yang lainnya. Ruben bahkan menuangkan secangkir kopi bagi kami berdua, karena mereka memesan satu termos besar yang isinya banyak sekali. Pada umumnya mereka sarapan oatmeal atau bubur dengan madu. Sepertinya mereka sangat bersemangat dengan perjalanan yang akan ditempuh hari ini. Aku sendiri masih merasa pesimis karena kakiku masih sakit untuk berjalan. Pagi ini aku bertanya lagi kepada suamiku, bagaimana keputusannya, apakah kami akan tetap lanjut sampai ke Annapurna Base Camp atau tidak, dan katanya tetap lanjut. Aku sudah membayangkan akan betapa sakitnya kakiku untuk berjalan nanti.
Setelah mengepak semua barang kami yang masih berserakan, kami berdua cuci muka dan sikat gigi di pipa air. Tadinya sempat mau ke toilet lagi untuk buang air kecil, tapi begitu aku melihat pak tua dari Jerman baru saja keluar dari toilet, aku memilih tidak jadi saja.
Sejujurnya, dari sering mengamati kelakuan orang-orang di sekitar kami, aku mengambil kesimpulan bahwa banyak orang dari negara-negara barat ini yang cenderung lebih jorok walaupun kelihatannya bersih. Contoh paling mudah adalah biasanya mereka tidak mau menyiram toilet setelah menggunakannya, baik setelah buang air kecil atau bahkan buang air besar. Hal ini kualami sendiri semenjak hari pertama trekking, di mana toiletnya sudah berupa toilet duduk yang tinggal menekan tombol flush. Apalagi kalau masih model toilet jongkok yang harus disiram manual dengan gayung. Entah mereka ini tidak tahu, tidak mau, atau memang tidak peduli. Hal ini tidak terjadi selama di Nepal saja, aku pernah mengalaminya juga sewaktu masuk ke toilet umum di Paltuding, base camp untuk ke Ijen dan saat di base camp gunung Batur di Bali. Apabila kondisi air berlimpah ruah saja kelakuan mereka seperti itu, bayangkan apabila airnya sedikit atau terbatas seperti di tempat ini.
Hal kedua yang aku amati dari orang-orang dari negara-negara maju ini adalah, mereka cenderung kurang menghargai orang lokal atau orang-orang yang menurut mereka berasal dari negara-negara yang kurang maju, termasuk Indonesia dan juga di Nepal ini. Tadi malam aku melihat pak tua dari Jerman ini mengambil madu yang disediakan di meja dengan sebuah sendok, lalu sendoknya masuk mulut, dan disendok lagi dengan sendok yang sama, diulangi sampai 3-4 kali. Aku yang melihatnya sampai merasa jijik sekali. Apakah sebegitu tidak tahu aturannya ya? Padahal seperti yang kuceritakan sebelumnya, pak tua Jerman ini banyak membanggakan dirinya yang sudah keliling dunia dan sepertinya sudah super pengalaman dengan segala hal.
Masalah kurang menghargai penduduk, adat istiadat dan budaya lokal ini juga banyak terbukti sepanjang trekking ke depannya. Aku tahu, tidak semua orang Western seperti itu, dan juga tidak hanya orang Western yang seperti itu, karena banyak kulihat juga para trekker dari Korea Selatan atau RRC yang kadang tidak tahu aturan juga. Yah, malah jadi curhat deh... Makanya begitu melihat pak tua Jerman yang modelnya kurang tahu aturan ini keluar dari toilet, aku memilih kalau memang terpaksa ya pakai toilet di alam saja di hutan.
Setelah membayar semua makanan kami sebesar NRs 1,720, kami sempat berfoto bersama Nishan dan para pemuda dari Spanyol ini, lalu bertukar FB. Dan setelah berpamitan kepada Nishan, pukul 8.30 pagi kami pun berangkat bersama Ruben, Deivid dan Miguel. Langkah kaki mereka yang panjang-panjang membuat kami segera tertinggal, ditambah lagi kakiku yang keseleo masih sangat sakit untuk berjalan, apalagi jalannya turun.
Baru sekitar 10 menit berjalan, kami sampai di depan sebuah hotel di Chuile, dan melihat Lionel dan MariAnne sedang duduk bersama Thakur dan Phrobin di bangku outdoor. Sepertinya mereka juga sudah siap hendak berangkat. Senang sekali bertemu kembali dengan mereka. Maka kami pun mampir sejenak menyapa mereka.
Aku menceritakan kondisi kakiku yang sedang terkilir, dan karena sakit untuk berjalan, kami mungkin tidak akan bisa berjalan jauh hari ini, mungkin hanya sampai di Chhomrong saja. Mendengar hal ini, MariAnne kemudian memberiku pain killer. Satu buah kaplet langsung aku minum saat itu juga, dan sisanya ada 2 buah kaplet kalau kambuh lagi nanti. Aku bersyukur sekali bertemu dengan orang-orang yang baik ini.
Saat itu aku juga menanyakan siapa tahu MariAnne masih memiliki mata uang Rupee yang bisa aku tukarkan ke dalam US dollar, namun katanya uang Rupee yang dibawanya tidak sampai 10 ribu, jadi aku tidak bisa menukarkan uang kepadanya.
Setelah itu kami pun berpamitan akan jalan lebih dulu, karena kami tahu mereka pasti akan menyusul kami dengan segera. Benar saja, belum terlalu lama kami berjalan turun, mereka berempat sudah berada di belakang kami. Phrobin sang porter dengan segera mendahului kami, disusul oleh MariAnne dan Lionel, sementara Thakur berjalan bersama kami dan mengajak mengobrol. Dia menjelaskan rute hari ini yang akan banyak naik turun. Thakur banyak bercerita mengenai keluarganya. Aku pun meminta nomor teleponnya yang bisa dihubungi, beserta alamatnya. Thakur tinggal di Pokhara, jadi mungkin seusai trekking nanti kami masih bisa mengunjunginya di Pokhara.
Saat berbincang-bincang inilah aku bertanya kepada Thakur, kira-kira cukupkah jumlah sisa uang yang kami bawa untuk trekking ini, dan kata Thakur pasti tidak cukup. Karenanya aku menyatakan niatku untuk menukarkan uang US dollarku, dan dia berjanji akan membantu kami sebisanya untuk menukarkan uang saat di Chhomrong nanti, karena kalau di desa yang kecil nilainya akan berkurang banyak. Aku tahu sedikit banyak Takhur mungkin merasa berhutang budi kepada kami, karena akulah yang membujuk Lionel dan Marianne sampai akhirnya mereka jadi memperpanjang waktu trekking mereka, yang otomatis tentunya menambah penghasilan bagi Takhur.
Karena Lionel dan MariAnne sudah cukup jauh di depan, Thakur pun berpamitan dan mendahului kami berjalan. Kami masih berjalan perlahan-lahan, tidak terlalu terburu-buru agar kakiku tidak sampai salah menapak, karena rute di awal ini adalah menuruni bukit sampai ke dasarnya. Sebelum mulai berjalan tadi, aku sudah berdoa agar kakiku dikuatkan dan bisa bekerja sama dengan baik. Sepertinya doaku dikabulkan dengan diberi pain killer tadi. Semakin lama berjalan, rasa sakit di kakiku berkurang, dan hingga siang hari sudah tidak terasa lagi sakitnya. Tuhan sungguh baik ya ^_^
Matahari sudah bersinar sejak pagi hari, dan mulai kami berjalan, teriknya sudah terasa, apalagi kami berjalan menghadap matahari. Sekitar pukul 9.15 pagi, setelah jalan setapak dan beberapa set anak tangga yang selalu turun, sampailah kami di dasar bukit, lalu menyeberangi sebuah jembatan gantung yang agak panjang. Seperti biasa, pandanganku lurus ke depan, tidak berani melihat ke samping, apalagi ke bawah hehehehe...
Dari sini, rute kembali naik dan naik lagi, sampai ke sebuah desa kecil dengan beberapa restoran/penginapan, dan kami bertemu lagi dengan sebuah jembatan gantung yang sedikit lebih pendek dibandingkan yang sebelumnya. Setelah menyeberangi jembatan pun masih naik anak tangga lagi, sampai di sebuah desa kecil. Waktu saat itu menunjukkan pukul 11.20 siang dan cuacanya panas sekali.
Saat melalui desa ini, kami melihat Lionel dan yang lainnya sedang istirahat. Biasanya orang-orang yang menggunakan jasa guide atau tour memang ada waktu khusus untuk istirahat minum teh atau kopi dan makan siang. Kami hanya menyapa mereka dan terus berjalan. Setelah berjalan beberapa waktu, mereka kembali mendahului kami.
Tetapi tidak lama kemudian, kami melihat Thakur sedang berdiri seperti menunggu, sementara yang lainnya tidak tampak. Sewaktu kutanya, katanya trekking pole yang mestinya dibawa oleh Phrobin ketinggalan, jadi dia harus kembali dan mengambilnya di tempat istirahat tadi. Beban bawaan Phrobin dititipkan kepada Thakur. Tadinya kami berjalan terus, tapi ternyata Thakur malah berjalan bersama kami. Maka aku pun mengajaknya mengobrol, Aku mengungkapkan bahwa kami bukanlah orang yang berlebihan harta, karenanya kami belum bisa sewa jasa guide atau porter. Selain itu kami juga ingin berusaha dengan tenaga kami sendiri. Dari situ Takhur malah banyak bercerita tentang keadaan keluarganya juga. Dia memiliki 3 orang anak, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Dia mengatakan sebenarnya ingin mengajak keluarganya berlibur ke Thailand atau ke Bali, tapi masih menabung untuk bisa melaksanakan niatnya. Dia juga berkeinginan menjual rumah peninggalan orang tuanya, yang sebetulnya nilainya cukup besar, namun masih bimbang, karena untuk membeli rumah lagi di desa, akan lebih sulit baginya mencari pekerjaan. Sebetulnya dia masih ingin memiliki pekerjaan yang lebih baik, yang bisa lebih menjamin kehidupan keluarganya. Iba juga ya mendengarkan cerita orang-orang seperti ini.
Tidak lama kemudian, Phrobin pun sudah muncul kembali, dan setelah Thakur mengembalikan beban bawaan Phrobin, mereka berdua berjalan mendahului kami untuk menyusul Lionel dan MariAnne.
Rute yang kami lalui berikutnya masih berupa jalan setapak yang menanjak dan melewati sisi luar bukit, jadi tidak ada pepohonan yang melindungi dari teriknya matahari yang bersinar. Peluh pun bercucuran, semua yang menempel di badan ikut basah kuyup. Tapi aku tetap bersyukur di dalam cuaca panas ini, karena kalau sampai hujan, perjalanan ini akan lebih sulit lagi bagi kami berdua. Di rute ini aku sampai tidak mengambil foto sama sekali, karena untuk mengeluarkan HP dari kantong celana saja seperti buang-buang energi hahahaha... Beberapa kali kami juga bertemu dengan orang-orang yang sudah sering bertemu di hari-hari kemarin, termasuk rombongan dari Korea Selatan, Michael dari Belanda, couple yang sering menyapa dari Korea Selatan, banyak deh... Beberapa guide dan porter lain pun mulai banyak yang kami kenali walaupun tidak tahu nama mereka.
Setelah jalan menanjak dan panas yang serasa tiada habisnya, kami sampai di sebuah desa kecil. Hanya ada 1-2 buah penginapan saja di tempat ini. Ada tulisan Chhomrong di sebuah papan, jadi kami pikir sudah sampai di Chhomrong. Maka kami mencoba bertanya di sebuah toko, kalau mau tukar US$ 100, berapa yang kami peroleh? Katanya dapat NRs 9,000. Wah mahal banget... akhirnya kami mengurungkan niat untuk menukar uang di sini. Kami sempat disapa oleh seorang guide, yang sudah beberapa kali menyapa sebelumnya. Dia mengerti sedikit bahasa Melayu, karena pernah bekerja di Malaysia. Kami tidak tahu namanya sampai menjadi akrab menjelang Annapurna Base Camp. Namanya Laxman, usianya baru 26 tahun, sudah menikah dan memiliki seorang putra yang masih kecil.
Kami pun mencari tempat yang teduh dan memutuskan makan siang di sini. Suamiku makan nasi goreng sisa tadi pagi, dan aku makan kacang panggang serta cokelat.
Kebetulan saat makan siang ini aku mendengar ada orang yang baru sampai, dan bertanya kepada guidenya, kita istirahat di sini? Lalu sang guide menjawab, belum, ini masih Lower Chhomrong. Masih jalan lagi 20 menit. Wah pantas saja tampak kecil desanya, ternyata kami belum sampai. Akhirnya kami cepat-cepat berjalan lagi, karena hendak menemui Thakur di Chhomrong.
Belum lagi 10 menit berjalan, tampaklah desa yang lebih besar. Kupikir kami sudah sampai di Chhomrong, ternyata masih belum. Inilah pusat desa Lower Chhomrong. Aku melihat beberapa rombongan juga tidak berhenti, jadi kami pun bergegas melanjutkan perjalanan kembali. Sudah tidak terpikir olehku untuk memotret setiap tempat yang kulalui akibat terburu-buru, kecuali beberapa yang kuanggap penting.
Keluar dari Lower Chhomrong, aku membaca papan yang bertuliskan kurang lebih seperti ini: Mulai Sinuwa sampai Annapurna Base Camp, pengunjung tidak diperkenankan membawa makanan yang berupa daging, baik ayam, sapi, maupun babi. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan kuno, kuil-kuil suci, dan rahasia alam gunung-gunung. Jika bersikeras, bisa saja terjadi kecelakaan atau hal-hal yang tidak diinginkan. Karenanya dimohon dengan sangat untuk menaati instruksi ini. Terima kasih
Nah, jadi memang aku pernah diberi tahu oleh suamiku, bahwa mulai titik tertentu tidak ada daging sama sekali. Ternyata mulai Sinuwa dan seterusnya. Selain karena alasan-alasan kepercayaan di atas, aku juga pernah membaca bahwa makan daging sebetulnya akan membuat kita lebih cepat dehidrasi di tempat-tempat yang tinggi, karenanya walaupun tidak ada aturan seperti di atas pun, lebih baik tidak makan daging.
Aku pun membaca papan yang bertuliskan bahwa setelah Chhomrong tidak akan ada lagi yang menjual air dalam kemasan botol plastik. Air minum yang dijual merupakan air hasil filter (ditampung dengan wadah yang kita bawa sendiri), dan harganya mencapai NRs 100/liter. Cukup mahal juga ya...
Selain itu, setelah Chhomrong, penduduk setempat tidak diijinkan menggunakan kuda sebagai alat transportasi atau pembawa barang, karenanya semua bahan makanan dan kebutuhan penduduk lainnya yang tinggal di desa-desa setelah Chhomrong, diangkut menggunakan tenaga manusia. Hal inilah yang menyebabkan semakin tinggi lokasinya, harga makanan dan penginapan juga semakin mahal.
Setelah naik tangga lagi dan lagi dan lagi, pukul 12.40 siang sampailah kami di sebuah tempat dengan banyak sekali atap bangunan dan dilatarbelakangi pemandangan bukit-bukit yang sangat indah. Inilah Chhomrong!
Kalau dibandingkan dengan desa-desa yang pernah kami lewati sejak awal, Chhomrong bisa dibilang seperti sebuah kota. Saat kami memasuki dan melalui bangunan-bangunan di sini, tampak banyak sekali penginapan, restoran, bakery, toko-toko souvenir dan alat trekking, kerajinan tangan, bahkan sekolah. Wah senang sekali rasanya di sini, suasananya tampak menyenangkan dan hidup dengan banyak orang berkeliaran.
Baru saja kami memasuki Chhomrong, suamiku melihat Thakur yang sedang berjalan. Kami pun mengejarnya. Thakur senang sekali melihat kami sampai di sini. Ternyata dia sedang berjalan menuju apotek untuk membeli obat, katanya tenggorokannya agak radang. Jadi kami menunggunya sambil duduk beristirahat di depan Lavazza Cafe. Saat itulah ada yang memanggil kami, dan ternyata tiga pemuda dari Spanyol sedang makan siang di Lavazza Cafe. What a coincidence! Mereka pun mengatakan hari ini akan menuju Upper Sinuwa. Kami berkata kalau kami sanggup kami akan mencoba ke sana juga. Setelah itu mereka pun masuk lagi untuk melanjutkan makan siangnya.
Tidak lama kemudian, Thakur pun datang. Aku menyerahkan selembar uang US$ 100 kepadanya. Thakur mengajak suamiku untuk menukar uang di toko souvenir yang berada di sebelah Lavazza Cafe ini. Kami mendapatkan NRs 9,500. Lumayanlah, lebih baik daripada yang sebelumnya di Lower Chhomrong. Dan pastinya kami tidak perlu kuatir kekurangan uang cash lagi seperti kemarin-kemarin.
Setelah itu, Thakur bertanya kami akan ke mana, dan kami jawab, kalau sanggup akan ke Sinuwa. Lalu Thakur menunjukkan kepada kami bukit di seberang sana. Banyak atap-atap bangunan yang tampak kecil-kecil dari tempat kami berdiri. Itulah desa yang akan mereka capai hari ini. Dan secara spesifik, Thakur menunjuk pada sebuah atap, yang kedua dari puncak. Katanya mereka kemungkinan akan menginap di tempat itu, dan dia akan senang sekali apabila bisa bertemu dengan kami di sana. Wah, aku merasa tersanjung juga, karena biasanya para guide cenderung agak pelit informasi kalau bukan kepada klien yang membayarnya.
Setelah itu Thakur pun berpamitan hendak kembali kepada Lionel dan yang lainnya di sebuah restoran dengan rooftop di dekat situ, dan karena kami sudah merasa cukup beristirahat, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Tidak lupa sebelumnya membeli sebotol kecil minuman berjudul Ruslan Vodka di German Bakery seharga NRs 600, yang merupakan minuman beralkohol produksi Nepal. Rencananya aku akan membawanya untuk diminum di Annapurna Base Camp, untuk penghangat sekaligus merayakan apabila kami bisa sampai di sana. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 1.10 siang.
Ketika hendak keluar dari desa Chhomrong ini, ternyata ada pos pemeriksaan permit lagi. Jadi kami mampir sejenak untuk menyerahkan ACAP Card kami, yang kemudian distempel oleh petugasnya. Setelah itu, kami berjalan keluar dari pusat Chhomrong.
Medan yang kami tempuh berikutnya berupa anak tangga, kali ini turun. Di sini kami bertemu lagi dengan 3 pemuda dari Spanyol. Maka kami pun sempat berjalan bersama. Turun dan turun dan turun dan turun tangga yang serasa tiada habisnya. Di beberapa tempat ada persimpangan dengan papan penunjuk arah. Ada juga yang tanpa papan petunjuk, tapi ternyata petunjuknya ada di lantai, hanya berupa anak panah. Lama-kelamaan ketiga pemuda Spanyol tadi mendahului kami karena langkah kaki mereka yang panjang-panjang dan cepat. Saat sedang menuruni tangga yang super banyak inilah, kami berdua sedang ngobrol dalam bahasa Indonesia, ketika tiba-tiba ada beberapa pemuda yang menyapa kami dan mengatakan kita serumpun. Ternyata mereka adalah pemuda-pemuda dari negeri Malaysia yang baru saja menyelesaikan trekkingnya ke Annapurna Base Camp. Mereka pun memberi semangat kepada kami.
Setelah rasanya melalui ribuan anak tangga (saat itu aku belum mulai menghitung anak tangga), sampailah kami di dasar bukit 30 menit kemudian, dengan sebuah jembatan gantung di ujungnya. Sepertinya jembatan gantung ini adalah yang terpanjang yang pernah kami temui sepanjang perjalanan. Posisinya pun cukup tinggi, dengan suara air sungai yang deras mengalir di bawahnya. Aslinya takut banget sih, tapi ya dijalani saja dengan komat-kamit berdoa sebelumnya hehehehe.... Butuh waktu 1 menit lebih sedikit untuk menyeberangi jembatan ini, tapi bagiku merupakan 1 menit yang mencekam dan serasa tiada akhirnya hahahaha...
Baru saja sampai di ujung jembatan dan berbelok untuk mulai jalan lagi, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari beberapa orang sambil meneriakkan "Indonesia! Indonesia!".
Eh... aku sampai agak tertegun karenanya. Ternyata rombongan dari Korea Selatan yang sering menyapa kami sedang beristirahat di tempat teduh setelah jembatan, dan mereka sudah memperhatikan saat kami menyeberang. Kami pun mampir dan menyapa mereka semua. Lagi-lagi kami diberi snack saat mereka sedang bagi-bagi. "Kamsa hamnida", kata kami kepada mereka, dan sepertinya mereka senang sekali kami mengerti sedikit bahasa mereka (aslinya cuma ngerti 1-2 kata saja sih).
Bapak tua yang kemarin memberi permen berkata kepadaku, pacarmu ganteng ya... Aku pun tertawa dan berkata bahwa dia adalah suamiku. Lalu ditanya sudah lama menikah atau belum, punya anak atau tidak. Saat kutunjukkan foto kami bersama putri kami, mereka tidak percaya bahwa anak kami sudah dewasa hehehehe... Sempat pula ada yang mengatakan, wah suamimu kalah kuat, kalau jalan selalu ketinggalan. Ada-ada saja ya, berarti mereka memperhatikan kami sejak awal. Padahal aku jarang sekali memperhatikan orang lain saat sedang berjalan. Kalau bukan karena bertemu berkali-kali, aku pasti sudah melupakan wajah-wajah mereka ini hehehehe...
Setelah sedikit mengobrol, bercanda dan basa-basi, kami pun berpamitan untuk jalan duluan, karena kami tahu kecepatan jalan kami bisa dibilang lambat. Apalagi sudah tampak di depan mata, rutenya adalah naik tangga lagi. Kali ini aku mulai mencoba menghitung jumlah anak tangga yang ada. Seperti sebelumnya, dengan medan yang seperti ini, aku berjalan lebih dulu dan banyak menunggu suamiku. Rombongan Korea Selatan dan banyak lagi orang-orang lain pun mendahului kami. Tapi hari ini walaupun masih tampak ngos-ngosan, suamiku tampak bersemangat dan tak kenal lelah. Satu demi satu anak tangga kami lalui, dan akhirnya pukul 2.45 siang, sampailah kami di Bhanuwa, tujuan akhir kami untuk hari ini, dengan total 1,100 anak tangga (kalau tidak salah hitung). Not bad, sedemikian banyaknya anak tangga ditempuh dalam waktu 45 menit ^_^
Kami pun mencari penginapan untuk malam ini. Penginapan pertama yang kami temui adalah Real Sinuwa Cottage & Restaurant. Aku bertanya kepada seorang pemuda yang sepertinya adalah staff di tempat ini, berapa tarifnya per malam untuk double room. Dijawabnya NRs 200/orang, jadi NRs 400 untuk 2 orang. Aku menjelaskan bahwa dana kami terbatas, dan aku bertanya, tidak bolehkah menginapnya gratis saja kalau membeli makan di sini, katanya tidak boleh. Oleh suamiku ditawar NRs 300 untuk berdua, dan oleh si pemuda ini boleh. Tapi aku masih belum puas, karena belum bertanya di tempat lain. Karenanya aku minta suamiku menunggu saja di tempat ini, karena aku tahu dia sudah sangat lelah setelah naik tangga sekian banyak, sedangkan aku mencoba bertanya dulu ke beberapa tempat lainnya.
Karena penginapan yang pertama ini lokasinya paling bawah, untuk ke penginapan lainnya harus naik tangga lagi yang lumayan curam. Aku bertanya ke 2 penginapan lain, yang satu tampak lebih modern dan satu lagi tampak sangat sederhana. Ternyata harganya sama saja, NRs 200/orang, dan tidak boleh ditawar. Jadi aku turun lagi dan setuju untuk menginap di Real Sinuwa Cottage. Kami pun segera diantar ke kamar kami oleh pemuda tadi, yang bernama Shakti.
Kamarnya juga tidak berbeda jauh dengan kamar-kamar tempat kami menginap sebelumnya, hanya sebuah ruangan kecil berisi 2 buah single bed. Tidak ada meja atau apa pun. Sekatnya pun berupa tripleks tipis, sama seperti sebelum-sebelumnya. Yang membedakan adalah adanya teras kecil langsung di luar pintu kamar, dan setelah itu langsung jalan yang kami lewati tadi saat memasuki desa ini. Jadi kalau kita mau nongkrong atau duduk-duduk di luar kamar, kita bisa melihat siapa-siapa saja yang lewat atau keluar dan masuk desa ini. Toiletnya walaupun sederhana juga tampak masih bersih.
Setelah melepaskan sepatu dan kaos kaki yang seharian membungkus kakiku, rasanya seperti kakiku bisa bernafas lagi dan lega sekali. Kuperhatikan bengkak yang kemarin malam cukup besar, ternyata sudah tampak jauh berkurang. Entah karena pain killer yang diberi oleh MariAnne ataukah karena doaku sepanjang jalan hehehehe... Hanya saja setelah selesai trekking begini, untuk melipat kaki apalagi untuk berjongkok rasanya sakit sekali. Setelah beberapa jam diistirahatkan baru agak berkurang sakitnya.
Kami pun mengeluarkan kompor dan panci dari backpack, lalu membuat kopi. Kalau tidak punya kompor sendiri, air panas di tempat ini bisa dibeli dengan harga NRs 100, ukurannya tidak tahu seberapa banyak, tapi pada umumnya 1 liter, atau satu termos.
Setelah itu kami duduk di luar kamar ditemani segelas kopi dan sebatang rokok sambil beristirahat. Hmmmm rasanya nikmat sekali bisa bersantai sejenak setelah melakukan perjalanan panjang tadi. Sesungguhnya kalau sudah mulai agak sore begini, aku sudah mulai lapar, sedangkan makan malam biasanya paling cepat dihidangkan jam 6 petang. Sepertinya semua energi terkuras selama berjalan kaki. Karenanya minum kopi bisa dijadikan pengganjal sesaat agar tidak kelaparan. Kami juga langsung ditawari untuk memesan makan malam, jadi kami minta menunya dulu untuk dipelajari.
Mengingat lokasinya yang sudah semakin mendekati Annapurna, bagiku harga-harga di tempat ini relatif murah. Harga makanannya bahkan lebih murah daripada waktu di Chuile kemarin. Kami hanya memesan seporsi vegetable egg fried rice seharga NRs 390 dan segelas ginger tea seharga NRs 90 untuk dihidangkan jam 6 petang. Suamiku masih kehilangan selera makannya, karenanya kalau pesan 2 porsi takutnya malah tidak habis. Sembari memberikan pesanan, kami bertanya kepada Shakti apakah bisa numpang mengisi baterai HP, dan katanya untuk mengecharge bayar lagi per orang NRs 100.
Daripada gadget kami habis baterainya, kami pun mengecharge di tempat ini. Suamiku yang membawa HP sekaligus baterai kamera kami untuk dicharge ke ruangan di dekat ruang makan. Sewaktu kembali dari sana, katanya oleh Shakti hanya disuruh bayar NRs 50 saja untuk semuanya. Wah baik banget ya... atau mungkin Shakti kasihan melihat tampang-tampang kami yang memelas ini hahahaha...
Shakti juga menjelaskan, kalau mau mandi air panas bayar lagi NRs 150/orang, tapi kalau mandi air dingin gratis. Maka aku pun memutuskan segera mandi dan keramas dengan air dingin selagi belum terlalu sore. Ternyata airnya memang amat sangat dingin, saat keramas dan membilas rambut, kepalaku sampai cekot-cekot rasanya. Saking dinginnya, mandi pun cepat-cepat. Dan selesai aku mandi, ternyata sudah ada 2 orang yang sedang antri mau mandi juga dengan air dingin.
Setelah mandi, badan terasa segar sekali, namun udara jadi terasa semakin dingin. Tidak heran, karena Sinuwa berada pada ketinggian 2.340 mdpl. Tadinya aku menyangka suamiku tidak akan mau mandi air dingin, tapi ternyata mandi juga hehehehe...
Setelah mandi, kami menyeleksi dan membenahi barang-barang kami, karena kami memutuskan akan meninggalkan barang-barang yang tidak vital di tempat ini, sesuai saran dari Thakur. Desa ini adalah lokasi terendah yang akan kami lewati lagi dalam perjalanan turun nantinya. Sebetulnya yang terendah adalah Chhomrong, tapi karena kami tidak menginap di sana, ya tidak bisa titip barang di sana.
Dengan berat hati, aku memutuskan untuk meninggalkan filter air di tempat ini. Dengan perutku yang tahan banting ini, harusnya cukup aman untuk minum air langsung dari gunung, entah air kran atau air dari mata air yang sering kami jumpai di jalan. Tapi sebelumnya kami memfilter air dulu dan mengisikannya ke dalam water bladder kami. Trekking pants, hanya satu saja yang tebal, langsung dipakai sehari-hari. Leggings pun hanya satu yang lebih tebal, langsung dipakai. Sebuah tanktop heat tech yang dipakai terus, dan sebuah kaos lengan pendek untuk melapisi di malam hari. Sebuah syal yang lebih tebal, 2 kaos kaki dipakai, dan 1 kaos kaki untuk malam hari. Windproof jacket pun kutinggal, hanya kubawa fleece yang dipakai dan down jacket. Sleeping bag sudah pasti dibawa. Kompor panci dan bahan makanan seperti cokelat dan keju pun tetap dibawa. Suamiku bahkan meninggalkan kamera DSLR-nya, karena beratnya lebih dari 1 kg. Alat mandi bawa seminimal mungkin, hanya sabun cuci muka, odol dan sikat gigi. Setelah disortir, semua yang akan ditinggalkan ini kami masukkan ke dalam ransel lipat yang kami miliki. Berat total setelahnya menjadi masing-masing 8 kg, berkurang 4-5 kg dari sebelumnya.
Menjelang pukul 5 sore, kami pun duduk-duduk di luar kamar sambil bersantai, ketika kami melihat Lionel dan MariAnne baru saja memasuki desa ini. Aku berpikir mereka sudah sampai duluan sebelum kami. Pantas saja aku tidak melihat mereka saat berkeliling mencari penginapan tadi. Lionel dan MariAnne duduk di bangku di halaman Sinuwa Cottage, sementara sepertinya Thakur pergi mencari penginapan untuk mereka. Setelah agak lama menunggu, sepertinya mereka mendapatkan penginapan di tempat yang lokasinya lebih tinggi, jadi mereka berpamitan dan naik ke penginapan mereka sendiri.
Saat sunset tiba, kami pun memanfaatkan kesempatan untuk memotret pemandangan yang indah di sekitar area ini. Sementara itu udara menjadi semakin dingin, dan menjelang jam 6 petang, kami masuk ke dalam ruang makannya yang lebih hangat.
Tepat pukul 6 petang, makanan yang kami pesan sudah siap di meja, dan aku pun makan dengan lahapnya. Aku minta cabe kepada Shakti, lalu dia membawa 3 buah cabe yang katanya paling pedas. Bentuknya agak bulat-bulat, tidak seperti cabe di Indonesia. Rasa cabenya memang seperti meledak di dalam mulut, aku jadi beberapa kali tersedak karenanya, tapi sebenarnya tidak terlalu pedas. Setelah 3 buah cabe pertama habis, aku minta lagi, dan kali ini dia membawakan 5 buah cabe, yang kuhabiskan juga. Orang-orang yang sedang makan atau duduk di ruang makan sepertinya terheran-heran melihatku makan cabe sebanyak itu hehehehe...
Saat kami sedang makan malam, tampak Lionel dan MariAnne memasuki ruang makan tempat kami berada. Katanya sedang jalan-jalan dan cari minuman. Maka mereka pun memesan sebotol bir di sini dan mengobrol bersama kami sembari menemani kami makan. Lionel berkata bahwa besok mereka akan berjalan sampai ke Deurali, dan besoknya lagi sampai ke Annapurna Base Camp. Saat kulihat rutenya di peta, sepertinya agak terlalu sulit bagi kami. Mungkin kami hanya bisa sampai di desa Bamboo atau Himalaya saja. Tapi entahlah, tergantung kondisi kakiku dan kesehatan suamiku juga.
Sekitar jam 7 malam, kami pun berpamitan kepada mereka berdua untuk beristirahat. Sepertinya bagi mereka agak aneh, karena jam 7 malam masih dianggap terlalu awal. Mereka berdua bahkan belum makan malam.
Di kamar kami tidak disediakan selimut, jadi kupikir memang tidak ada selimutnya. Setidaknya aku masih memiliki sleeping bag, jadi tidak terlalu kuatir, sedangkan suamiku tidak membawa sleeping bagnya. Saat aku baru selesai sikat gigi, aku mendengar seorang gadis yang sedang minta selimut di dekat ruang makan, maka aku berkata kepada suamiku untuk mencoba meminjam selimut. Dia kembali dengan membawa satu buah selimut yang besar. Yah, biarpun besar kan tetap tidak bisa dipakai bersama, karena kasurnya yang pas-pasan untuk satu orang. Karenanya aku memilih tetap memakai sleeping bag saja, sedangkan selimutnya dipakai suamiku. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku mencoba tidur di dalam sleeping bag. Ternyata tidur di dalam sleeping bag rasanya menyenangkan dan hangat sekali lho! Tapi entahlah kalau nanti sampai di Annapurna Base Camp, apakah rasanya masih akan sehangat ini.
Hari ini adalah hari keempat kami trekking, dan 10 KM kami lalui dengan medan turun naik bukit. Beberapa jalan setapak maupun tangga yang kami lalui hari ini, bagiku cukup berbahaya. Banyak tempat di mana kita tidak boleh lengah sedikit pun. Ada yang jalannya agak longsor sedikit, ada juga yang di sisinya berupa jurang yang menyeramkan. Tidak sedikit pula area yang licin.
Setiap hari, selama 4 hari ini, kami berjalan naik turun naik turun naik turun bukit atau gunung, kadang bisa berkali-kali dalam sehari. Tidak heran setiap kali selesai trekking lelahnya luar biasa. Banyaaaaaaaak sekali anak tangga yang harus kami lalui setiap hari, dan sekarang aku yakin jumlahnya ribuan dalam sehari.
Baru 4 hari kami berjalan, dan kami sudah memiliki banyak "teman baru", walaupun seringkali tidak tahu namanya. Rata-rata mereka sudah kami jumpai dari hari pertama, ada yang menyapa, ada juga yang tidak. Kemudian bertemu lagi keesokan harinya, kadang saling lewat-melewati saat istirahat. Sepertinya mereka paham bahwa kami berjalan sangat pelan hehehe...
Oya, hari ini pun kami bertemu lagi dengan Michael dari Belanda dan dua orang guidenya. Waktu kuceritakan bahwa kemarin aku terpeleset sampai terkilir, dia memberi aku pain killer juga. Aku menerimanya untuk jaga-jaga kalau kakiku sampai sakit lagi.
Banyak juga kejadian-kejadian kecil tapi berkesan, baik dengan trekker lain, guide, porter, maupun dengan penduduk lokal. Orang Nepal biasanya sangat terkesan kalau kita bisa bicara sedikit bahasa mereka, dan kadang mereka tertawa-tawa, mungkin lucu mendengarkan logat kita yang kurang pas. Yang pasti, banyaaaaak sekali orang yang tanya kami dari mana. Kebanyakan menebak antara Jepang dan Korea. Hanya beberapa yang menebak kami dari Thailand atau Malaysia.
Rasanya menyenangkan, walaupun kita tidak berada di negeri sendiri, tapi memiliki banyak teman seperti ini. Hal-hal semacam inilah yang kadang membuat kami jadi bersemangat lagi walaupun menghadapi medan yang berat dan menantang, dan pastinya membuat travelling kami jadi lebih berarti, bukan sekedar pencapaian fisik saja. Aku berharap trekking dan travelling yang kami lakukan ini pun bisa menyebarkan kebaikan dan menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kami.... ^_^
To be continued.......
Setelah dari toilet, aku memenuhi air di ember dulu, supaya kalau suamiku bangun tidak repot lagi mengambil air. Baru kemudian aku kembali ke dalam rumah dan masuk kembali ke dalam selimut hehehehe... Seperti yang kuceritakan sebelumnya, baterai HP-ku ternyata tidak mengisi sama sekali, karena kabelnya agak longgar, jadi sementara HP tidak kugunakan dulu agar baterainya cepat terisi. Aku tidak bisa melihat berapa suhu udara, karena tidak ada koneksi internet sama sekali di Chuile ini. Baru sekitar jam 6 pagi tamu-tamu yang lain bangun, aku mendengar suara mereka bercakap-cakap. Setelah itu suamiku pun bangun.
Kami keluar kamar dan masih sempat memotret pemandangan di belakang rumah. Tampak puncak gunung Annapurna South dan Machhapuchhre/Fish Tail di belakang rumah. Kedua puncak gunung ini tampak dekat, tidak heran udaranya dingin sekali di sini. Kami juga bertemu lagi dengan pamannya Nishan yang sedang memeberi makan dan menyiapkan kudanya, sepertinya hendak pergi ke suatu tempat. Ada insiden di mana kaki suamiku sempat terinjak kuda yang sedang makan jagung kering ini, untungnya tidak sampai cedera. Tidak lama kemudian, paman Nishan pun berpamitan dan pergi sambil menuntun kudanya.
Setelah itu kami masuk dan menunggu sarapan selesai disiapkan. Untuk pagi ini, aku sarapan vegetable noodle soup seharga NRs 300, dan suamiku kupesankan vegetable fried rice seharga NRs 460. Kami juga memesan dua gelas ginger tea seharga @NRs 120.
Semenjak trekking, entah mengapa, suamiku justru kehilangan selera makannya, Pagi ini nasi gorengnya hanya dimakan separuhnya saja, jadi sisanya kubawa untuk bekal makan siang. Saat sarapan ini, aku menaburkan cabe bubuk yang aku bawa ke dalam makananku, dan ketika Nishan melihatnya, aku ditawari kalau mau cabe sungguhan. Tentu saja aku mau, dan Nishan memberiku 5 buah cabe hijau yang agak besar-besar. Waktu aku memakan habis semua cabe tersebut, semua yang ada di ruangan makan sampai terheran-heran melihatnya hahahaha...
Seusai sarapan, aku minum satu pain killer yang diberi oleh MariAnne, lalu kami masih duduk dan mengobrol dengan yang lainnya. Ruben bahkan menuangkan secangkir kopi bagi kami berdua, karena mereka memesan satu termos besar yang isinya banyak sekali. Pada umumnya mereka sarapan oatmeal atau bubur dengan madu. Sepertinya mereka sangat bersemangat dengan perjalanan yang akan ditempuh hari ini. Aku sendiri masih merasa pesimis karena kakiku masih sakit untuk berjalan. Pagi ini aku bertanya lagi kepada suamiku, bagaimana keputusannya, apakah kami akan tetap lanjut sampai ke Annapurna Base Camp atau tidak, dan katanya tetap lanjut. Aku sudah membayangkan akan betapa sakitnya kakiku untuk berjalan nanti.
Setelah mengepak semua barang kami yang masih berserakan, kami berdua cuci muka dan sikat gigi di pipa air. Tadinya sempat mau ke toilet lagi untuk buang air kecil, tapi begitu aku melihat pak tua dari Jerman baru saja keluar dari toilet, aku memilih tidak jadi saja.
Sejujurnya, dari sering mengamati kelakuan orang-orang di sekitar kami, aku mengambil kesimpulan bahwa banyak orang dari negara-negara barat ini yang cenderung lebih jorok walaupun kelihatannya bersih. Contoh paling mudah adalah biasanya mereka tidak mau menyiram toilet setelah menggunakannya, baik setelah buang air kecil atau bahkan buang air besar. Hal ini kualami sendiri semenjak hari pertama trekking, di mana toiletnya sudah berupa toilet duduk yang tinggal menekan tombol flush. Apalagi kalau masih model toilet jongkok yang harus disiram manual dengan gayung. Entah mereka ini tidak tahu, tidak mau, atau memang tidak peduli. Hal ini tidak terjadi selama di Nepal saja, aku pernah mengalaminya juga sewaktu masuk ke toilet umum di Paltuding, base camp untuk ke Ijen dan saat di base camp gunung Batur di Bali. Apabila kondisi air berlimpah ruah saja kelakuan mereka seperti itu, bayangkan apabila airnya sedikit atau terbatas seperti di tempat ini.
Hal kedua yang aku amati dari orang-orang dari negara-negara maju ini adalah, mereka cenderung kurang menghargai orang lokal atau orang-orang yang menurut mereka berasal dari negara-negara yang kurang maju, termasuk Indonesia dan juga di Nepal ini. Tadi malam aku melihat pak tua dari Jerman ini mengambil madu yang disediakan di meja dengan sebuah sendok, lalu sendoknya masuk mulut, dan disendok lagi dengan sendok yang sama, diulangi sampai 3-4 kali. Aku yang melihatnya sampai merasa jijik sekali. Apakah sebegitu tidak tahu aturannya ya? Padahal seperti yang kuceritakan sebelumnya, pak tua Jerman ini banyak membanggakan dirinya yang sudah keliling dunia dan sepertinya sudah super pengalaman dengan segala hal.
Masalah kurang menghargai penduduk, adat istiadat dan budaya lokal ini juga banyak terbukti sepanjang trekking ke depannya. Aku tahu, tidak semua orang Western seperti itu, dan juga tidak hanya orang Western yang seperti itu, karena banyak kulihat juga para trekker dari Korea Selatan atau RRC yang kadang tidak tahu aturan juga. Yah, malah jadi curhat deh... Makanya begitu melihat pak tua Jerman yang modelnya kurang tahu aturan ini keluar dari toilet, aku memilih kalau memang terpaksa ya pakai toilet di alam saja di hutan.
Setelah membayar semua makanan kami sebesar NRs 1,720, kami sempat berfoto bersama Nishan dan para pemuda dari Spanyol ini, lalu bertukar FB. Dan setelah berpamitan kepada Nishan, pukul 8.30 pagi kami pun berangkat bersama Ruben, Deivid dan Miguel. Langkah kaki mereka yang panjang-panjang membuat kami segera tertinggal, ditambah lagi kakiku yang keseleo masih sangat sakit untuk berjalan, apalagi jalannya turun.
Baru sekitar 10 menit berjalan, kami sampai di depan sebuah hotel di Chuile, dan melihat Lionel dan MariAnne sedang duduk bersama Thakur dan Phrobin di bangku outdoor. Sepertinya mereka juga sudah siap hendak berangkat. Senang sekali bertemu kembali dengan mereka. Maka kami pun mampir sejenak menyapa mereka.
Aku menceritakan kondisi kakiku yang sedang terkilir, dan karena sakit untuk berjalan, kami mungkin tidak akan bisa berjalan jauh hari ini, mungkin hanya sampai di Chhomrong saja. Mendengar hal ini, MariAnne kemudian memberiku pain killer. Satu buah kaplet langsung aku minum saat itu juga, dan sisanya ada 2 buah kaplet kalau kambuh lagi nanti. Aku bersyukur sekali bertemu dengan orang-orang yang baik ini.
Saat itu aku juga menanyakan siapa tahu MariAnne masih memiliki mata uang Rupee yang bisa aku tukarkan ke dalam US dollar, namun katanya uang Rupee yang dibawanya tidak sampai 10 ribu, jadi aku tidak bisa menukarkan uang kepadanya.
Setelah itu kami pun berpamitan akan jalan lebih dulu, karena kami tahu mereka pasti akan menyusul kami dengan segera. Benar saja, belum terlalu lama kami berjalan turun, mereka berempat sudah berada di belakang kami. Phrobin sang porter dengan segera mendahului kami, disusul oleh MariAnne dan Lionel, sementara Thakur berjalan bersama kami dan mengajak mengobrol. Dia menjelaskan rute hari ini yang akan banyak naik turun. Thakur banyak bercerita mengenai keluarganya. Aku pun meminta nomor teleponnya yang bisa dihubungi, beserta alamatnya. Thakur tinggal di Pokhara, jadi mungkin seusai trekking nanti kami masih bisa mengunjunginya di Pokhara.
Saat berbincang-bincang inilah aku bertanya kepada Thakur, kira-kira cukupkah jumlah sisa uang yang kami bawa untuk trekking ini, dan kata Thakur pasti tidak cukup. Karenanya aku menyatakan niatku untuk menukarkan uang US dollarku, dan dia berjanji akan membantu kami sebisanya untuk menukarkan uang saat di Chhomrong nanti, karena kalau di desa yang kecil nilainya akan berkurang banyak. Aku tahu sedikit banyak Takhur mungkin merasa berhutang budi kepada kami, karena akulah yang membujuk Lionel dan Marianne sampai akhirnya mereka jadi memperpanjang waktu trekking mereka, yang otomatis tentunya menambah penghasilan bagi Takhur.
Karena Lionel dan MariAnne sudah cukup jauh di depan, Thakur pun berpamitan dan mendahului kami berjalan. Kami masih berjalan perlahan-lahan, tidak terlalu terburu-buru agar kakiku tidak sampai salah menapak, karena rute di awal ini adalah menuruni bukit sampai ke dasarnya. Sebelum mulai berjalan tadi, aku sudah berdoa agar kakiku dikuatkan dan bisa bekerja sama dengan baik. Sepertinya doaku dikabulkan dengan diberi pain killer tadi. Semakin lama berjalan, rasa sakit di kakiku berkurang, dan hingga siang hari sudah tidak terasa lagi sakitnya. Tuhan sungguh baik ya ^_^
Matahari sudah bersinar sejak pagi hari, dan mulai kami berjalan, teriknya sudah terasa, apalagi kami berjalan menghadap matahari. Sekitar pukul 9.15 pagi, setelah jalan setapak dan beberapa set anak tangga yang selalu turun, sampailah kami di dasar bukit, lalu menyeberangi sebuah jembatan gantung yang agak panjang. Seperti biasa, pandanganku lurus ke depan, tidak berani melihat ke samping, apalagi ke bawah hehehehe...
Dari sini, rute kembali naik dan naik lagi, sampai ke sebuah desa kecil dengan beberapa restoran/penginapan, dan kami bertemu lagi dengan sebuah jembatan gantung yang sedikit lebih pendek dibandingkan yang sebelumnya. Setelah menyeberangi jembatan pun masih naik anak tangga lagi, sampai di sebuah desa kecil. Waktu saat itu menunjukkan pukul 11.20 siang dan cuacanya panas sekali.
Saat melalui desa ini, kami melihat Lionel dan yang lainnya sedang istirahat. Biasanya orang-orang yang menggunakan jasa guide atau tour memang ada waktu khusus untuk istirahat minum teh atau kopi dan makan siang. Kami hanya menyapa mereka dan terus berjalan. Setelah berjalan beberapa waktu, mereka kembali mendahului kami.
Tetapi tidak lama kemudian, kami melihat Thakur sedang berdiri seperti menunggu, sementara yang lainnya tidak tampak. Sewaktu kutanya, katanya trekking pole yang mestinya dibawa oleh Phrobin ketinggalan, jadi dia harus kembali dan mengambilnya di tempat istirahat tadi. Beban bawaan Phrobin dititipkan kepada Thakur. Tadinya kami berjalan terus, tapi ternyata Thakur malah berjalan bersama kami. Maka aku pun mengajaknya mengobrol, Aku mengungkapkan bahwa kami bukanlah orang yang berlebihan harta, karenanya kami belum bisa sewa jasa guide atau porter. Selain itu kami juga ingin berusaha dengan tenaga kami sendiri. Dari situ Takhur malah banyak bercerita tentang keadaan keluarganya juga. Dia memiliki 3 orang anak, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Dia mengatakan sebenarnya ingin mengajak keluarganya berlibur ke Thailand atau ke Bali, tapi masih menabung untuk bisa melaksanakan niatnya. Dia juga berkeinginan menjual rumah peninggalan orang tuanya, yang sebetulnya nilainya cukup besar, namun masih bimbang, karena untuk membeli rumah lagi di desa, akan lebih sulit baginya mencari pekerjaan. Sebetulnya dia masih ingin memiliki pekerjaan yang lebih baik, yang bisa lebih menjamin kehidupan keluarganya. Iba juga ya mendengarkan cerita orang-orang seperti ini.
Tidak lama kemudian, Phrobin pun sudah muncul kembali, dan setelah Thakur mengembalikan beban bawaan Phrobin, mereka berdua berjalan mendahului kami untuk menyusul Lionel dan MariAnne.
Rute yang kami lalui berikutnya masih berupa jalan setapak yang menanjak dan melewati sisi luar bukit, jadi tidak ada pepohonan yang melindungi dari teriknya matahari yang bersinar. Peluh pun bercucuran, semua yang menempel di badan ikut basah kuyup. Tapi aku tetap bersyukur di dalam cuaca panas ini, karena kalau sampai hujan, perjalanan ini akan lebih sulit lagi bagi kami berdua. Di rute ini aku sampai tidak mengambil foto sama sekali, karena untuk mengeluarkan HP dari kantong celana saja seperti buang-buang energi hahahaha... Beberapa kali kami juga bertemu dengan orang-orang yang sudah sering bertemu di hari-hari kemarin, termasuk rombongan dari Korea Selatan, Michael dari Belanda, couple yang sering menyapa dari Korea Selatan, banyak deh... Beberapa guide dan porter lain pun mulai banyak yang kami kenali walaupun tidak tahu nama mereka.
Setelah jalan menanjak dan panas yang serasa tiada habisnya, kami sampai di sebuah desa kecil. Hanya ada 1-2 buah penginapan saja di tempat ini. Ada tulisan Chhomrong di sebuah papan, jadi kami pikir sudah sampai di Chhomrong. Maka kami mencoba bertanya di sebuah toko, kalau mau tukar US$ 100, berapa yang kami peroleh? Katanya dapat NRs 9,000. Wah mahal banget... akhirnya kami mengurungkan niat untuk menukar uang di sini. Kami sempat disapa oleh seorang guide, yang sudah beberapa kali menyapa sebelumnya. Dia mengerti sedikit bahasa Melayu, karena pernah bekerja di Malaysia. Kami tidak tahu namanya sampai menjadi akrab menjelang Annapurna Base Camp. Namanya Laxman, usianya baru 26 tahun, sudah menikah dan memiliki seorang putra yang masih kecil.
Kami pun mencari tempat yang teduh dan memutuskan makan siang di sini. Suamiku makan nasi goreng sisa tadi pagi, dan aku makan kacang panggang serta cokelat.
Kebetulan saat makan siang ini aku mendengar ada orang yang baru sampai, dan bertanya kepada guidenya, kita istirahat di sini? Lalu sang guide menjawab, belum, ini masih Lower Chhomrong. Masih jalan lagi 20 menit. Wah pantas saja tampak kecil desanya, ternyata kami belum sampai. Akhirnya kami cepat-cepat berjalan lagi, karena hendak menemui Thakur di Chhomrong.
Belum lagi 10 menit berjalan, tampaklah desa yang lebih besar. Kupikir kami sudah sampai di Chhomrong, ternyata masih belum. Inilah pusat desa Lower Chhomrong. Aku melihat beberapa rombongan juga tidak berhenti, jadi kami pun bergegas melanjutkan perjalanan kembali. Sudah tidak terpikir olehku untuk memotret setiap tempat yang kulalui akibat terburu-buru, kecuali beberapa yang kuanggap penting.
Keluar dari Lower Chhomrong, aku membaca papan yang bertuliskan kurang lebih seperti ini: Mulai Sinuwa sampai Annapurna Base Camp, pengunjung tidak diperkenankan membawa makanan yang berupa daging, baik ayam, sapi, maupun babi. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan kuno, kuil-kuil suci, dan rahasia alam gunung-gunung. Jika bersikeras, bisa saja terjadi kecelakaan atau hal-hal yang tidak diinginkan. Karenanya dimohon dengan sangat untuk menaati instruksi ini. Terima kasih
Nah, jadi memang aku pernah diberi tahu oleh suamiku, bahwa mulai titik tertentu tidak ada daging sama sekali. Ternyata mulai Sinuwa dan seterusnya. Selain karena alasan-alasan kepercayaan di atas, aku juga pernah membaca bahwa makan daging sebetulnya akan membuat kita lebih cepat dehidrasi di tempat-tempat yang tinggi, karenanya walaupun tidak ada aturan seperti di atas pun, lebih baik tidak makan daging.
Aku pun membaca papan yang bertuliskan bahwa setelah Chhomrong tidak akan ada lagi yang menjual air dalam kemasan botol plastik. Air minum yang dijual merupakan air hasil filter (ditampung dengan wadah yang kita bawa sendiri), dan harganya mencapai NRs 100/liter. Cukup mahal juga ya...
Selain itu, setelah Chhomrong, penduduk setempat tidak diijinkan menggunakan kuda sebagai alat transportasi atau pembawa barang, karenanya semua bahan makanan dan kebutuhan penduduk lainnya yang tinggal di desa-desa setelah Chhomrong, diangkut menggunakan tenaga manusia. Hal inilah yang menyebabkan semakin tinggi lokasinya, harga makanan dan penginapan juga semakin mahal.
Setelah naik tangga lagi dan lagi dan lagi, pukul 12.40 siang sampailah kami di sebuah tempat dengan banyak sekali atap bangunan dan dilatarbelakangi pemandangan bukit-bukit yang sangat indah. Inilah Chhomrong!
Kalau dibandingkan dengan desa-desa yang pernah kami lewati sejak awal, Chhomrong bisa dibilang seperti sebuah kota. Saat kami memasuki dan melalui bangunan-bangunan di sini, tampak banyak sekali penginapan, restoran, bakery, toko-toko souvenir dan alat trekking, kerajinan tangan, bahkan sekolah. Wah senang sekali rasanya di sini, suasananya tampak menyenangkan dan hidup dengan banyak orang berkeliaran.
Baru saja kami memasuki Chhomrong, suamiku melihat Thakur yang sedang berjalan. Kami pun mengejarnya. Thakur senang sekali melihat kami sampai di sini. Ternyata dia sedang berjalan menuju apotek untuk membeli obat, katanya tenggorokannya agak radang. Jadi kami menunggunya sambil duduk beristirahat di depan Lavazza Cafe. Saat itulah ada yang memanggil kami, dan ternyata tiga pemuda dari Spanyol sedang makan siang di Lavazza Cafe. What a coincidence! Mereka pun mengatakan hari ini akan menuju Upper Sinuwa. Kami berkata kalau kami sanggup kami akan mencoba ke sana juga. Setelah itu mereka pun masuk lagi untuk melanjutkan makan siangnya.
Tidak lama kemudian, Thakur pun datang. Aku menyerahkan selembar uang US$ 100 kepadanya. Thakur mengajak suamiku untuk menukar uang di toko souvenir yang berada di sebelah Lavazza Cafe ini. Kami mendapatkan NRs 9,500. Lumayanlah, lebih baik daripada yang sebelumnya di Lower Chhomrong. Dan pastinya kami tidak perlu kuatir kekurangan uang cash lagi seperti kemarin-kemarin.
Setelah itu, Thakur bertanya kami akan ke mana, dan kami jawab, kalau sanggup akan ke Sinuwa. Lalu Thakur menunjukkan kepada kami bukit di seberang sana. Banyak atap-atap bangunan yang tampak kecil-kecil dari tempat kami berdiri. Itulah desa yang akan mereka capai hari ini. Dan secara spesifik, Thakur menunjuk pada sebuah atap, yang kedua dari puncak. Katanya mereka kemungkinan akan menginap di tempat itu, dan dia akan senang sekali apabila bisa bertemu dengan kami di sana. Wah, aku merasa tersanjung juga, karena biasanya para guide cenderung agak pelit informasi kalau bukan kepada klien yang membayarnya.
Setelah itu Thakur pun berpamitan hendak kembali kepada Lionel dan yang lainnya di sebuah restoran dengan rooftop di dekat situ, dan karena kami sudah merasa cukup beristirahat, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Tidak lupa sebelumnya membeli sebotol kecil minuman berjudul Ruslan Vodka di German Bakery seharga NRs 600, yang merupakan minuman beralkohol produksi Nepal. Rencananya aku akan membawanya untuk diminum di Annapurna Base Camp, untuk penghangat sekaligus merayakan apabila kami bisa sampai di sana. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 1.10 siang.
Ketika hendak keluar dari desa Chhomrong ini, ternyata ada pos pemeriksaan permit lagi. Jadi kami mampir sejenak untuk menyerahkan ACAP Card kami, yang kemudian distempel oleh petugasnya. Setelah itu, kami berjalan keluar dari pusat Chhomrong.
Medan yang kami tempuh berikutnya berupa anak tangga, kali ini turun. Di sini kami bertemu lagi dengan 3 pemuda dari Spanyol. Maka kami pun sempat berjalan bersama. Turun dan turun dan turun dan turun tangga yang serasa tiada habisnya. Di beberapa tempat ada persimpangan dengan papan penunjuk arah. Ada juga yang tanpa papan petunjuk, tapi ternyata petunjuknya ada di lantai, hanya berupa anak panah. Lama-kelamaan ketiga pemuda Spanyol tadi mendahului kami karena langkah kaki mereka yang panjang-panjang dan cepat. Saat sedang menuruni tangga yang super banyak inilah, kami berdua sedang ngobrol dalam bahasa Indonesia, ketika tiba-tiba ada beberapa pemuda yang menyapa kami dan mengatakan kita serumpun. Ternyata mereka adalah pemuda-pemuda dari negeri Malaysia yang baru saja menyelesaikan trekkingnya ke Annapurna Base Camp. Mereka pun memberi semangat kepada kami.
Setelah rasanya melalui ribuan anak tangga (saat itu aku belum mulai menghitung anak tangga), sampailah kami di dasar bukit 30 menit kemudian, dengan sebuah jembatan gantung di ujungnya. Sepertinya jembatan gantung ini adalah yang terpanjang yang pernah kami temui sepanjang perjalanan. Posisinya pun cukup tinggi, dengan suara air sungai yang deras mengalir di bawahnya. Aslinya takut banget sih, tapi ya dijalani saja dengan komat-kamit berdoa sebelumnya hehehehe.... Butuh waktu 1 menit lebih sedikit untuk menyeberangi jembatan ini, tapi bagiku merupakan 1 menit yang mencekam dan serasa tiada akhirnya hahahaha...
Baru saja sampai di ujung jembatan dan berbelok untuk mulai jalan lagi, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari beberapa orang sambil meneriakkan "Indonesia! Indonesia!".
Eh... aku sampai agak tertegun karenanya. Ternyata rombongan dari Korea Selatan yang sering menyapa kami sedang beristirahat di tempat teduh setelah jembatan, dan mereka sudah memperhatikan saat kami menyeberang. Kami pun mampir dan menyapa mereka semua. Lagi-lagi kami diberi snack saat mereka sedang bagi-bagi. "Kamsa hamnida", kata kami kepada mereka, dan sepertinya mereka senang sekali kami mengerti sedikit bahasa mereka (aslinya cuma ngerti 1-2 kata saja sih).
Bapak tua yang kemarin memberi permen berkata kepadaku, pacarmu ganteng ya... Aku pun tertawa dan berkata bahwa dia adalah suamiku. Lalu ditanya sudah lama menikah atau belum, punya anak atau tidak. Saat kutunjukkan foto kami bersama putri kami, mereka tidak percaya bahwa anak kami sudah dewasa hehehehe... Sempat pula ada yang mengatakan, wah suamimu kalah kuat, kalau jalan selalu ketinggalan. Ada-ada saja ya, berarti mereka memperhatikan kami sejak awal. Padahal aku jarang sekali memperhatikan orang lain saat sedang berjalan. Kalau bukan karena bertemu berkali-kali, aku pasti sudah melupakan wajah-wajah mereka ini hehehehe...
Setelah sedikit mengobrol, bercanda dan basa-basi, kami pun berpamitan untuk jalan duluan, karena kami tahu kecepatan jalan kami bisa dibilang lambat. Apalagi sudah tampak di depan mata, rutenya adalah naik tangga lagi. Kali ini aku mulai mencoba menghitung jumlah anak tangga yang ada. Seperti sebelumnya, dengan medan yang seperti ini, aku berjalan lebih dulu dan banyak menunggu suamiku. Rombongan Korea Selatan dan banyak lagi orang-orang lain pun mendahului kami. Tapi hari ini walaupun masih tampak ngos-ngosan, suamiku tampak bersemangat dan tak kenal lelah. Satu demi satu anak tangga kami lalui, dan akhirnya pukul 2.45 siang, sampailah kami di Bhanuwa, tujuan akhir kami untuk hari ini, dengan total 1,100 anak tangga (kalau tidak salah hitung). Not bad, sedemikian banyaknya anak tangga ditempuh dalam waktu 45 menit ^_^
Kami pun mencari penginapan untuk malam ini. Penginapan pertama yang kami temui adalah Real Sinuwa Cottage & Restaurant. Aku bertanya kepada seorang pemuda yang sepertinya adalah staff di tempat ini, berapa tarifnya per malam untuk double room. Dijawabnya NRs 200/orang, jadi NRs 400 untuk 2 orang. Aku menjelaskan bahwa dana kami terbatas, dan aku bertanya, tidak bolehkah menginapnya gratis saja kalau membeli makan di sini, katanya tidak boleh. Oleh suamiku ditawar NRs 300 untuk berdua, dan oleh si pemuda ini boleh. Tapi aku masih belum puas, karena belum bertanya di tempat lain. Karenanya aku minta suamiku menunggu saja di tempat ini, karena aku tahu dia sudah sangat lelah setelah naik tangga sekian banyak, sedangkan aku mencoba bertanya dulu ke beberapa tempat lainnya.
Karena penginapan yang pertama ini lokasinya paling bawah, untuk ke penginapan lainnya harus naik tangga lagi yang lumayan curam. Aku bertanya ke 2 penginapan lain, yang satu tampak lebih modern dan satu lagi tampak sangat sederhana. Ternyata harganya sama saja, NRs 200/orang, dan tidak boleh ditawar. Jadi aku turun lagi dan setuju untuk menginap di Real Sinuwa Cottage. Kami pun segera diantar ke kamar kami oleh pemuda tadi, yang bernama Shakti.
Kamarnya juga tidak berbeda jauh dengan kamar-kamar tempat kami menginap sebelumnya, hanya sebuah ruangan kecil berisi 2 buah single bed. Tidak ada meja atau apa pun. Sekatnya pun berupa tripleks tipis, sama seperti sebelum-sebelumnya. Yang membedakan adalah adanya teras kecil langsung di luar pintu kamar, dan setelah itu langsung jalan yang kami lewati tadi saat memasuki desa ini. Jadi kalau kita mau nongkrong atau duduk-duduk di luar kamar, kita bisa melihat siapa-siapa saja yang lewat atau keluar dan masuk desa ini. Toiletnya walaupun sederhana juga tampak masih bersih.
Setelah melepaskan sepatu dan kaos kaki yang seharian membungkus kakiku, rasanya seperti kakiku bisa bernafas lagi dan lega sekali. Kuperhatikan bengkak yang kemarin malam cukup besar, ternyata sudah tampak jauh berkurang. Entah karena pain killer yang diberi oleh MariAnne ataukah karena doaku sepanjang jalan hehehehe... Hanya saja setelah selesai trekking begini, untuk melipat kaki apalagi untuk berjongkok rasanya sakit sekali. Setelah beberapa jam diistirahatkan baru agak berkurang sakitnya.
Kami pun mengeluarkan kompor dan panci dari backpack, lalu membuat kopi. Kalau tidak punya kompor sendiri, air panas di tempat ini bisa dibeli dengan harga NRs 100, ukurannya tidak tahu seberapa banyak, tapi pada umumnya 1 liter, atau satu termos.
Setelah itu kami duduk di luar kamar ditemani segelas kopi dan sebatang rokok sambil beristirahat. Hmmmm rasanya nikmat sekali bisa bersantai sejenak setelah melakukan perjalanan panjang tadi. Sesungguhnya kalau sudah mulai agak sore begini, aku sudah mulai lapar, sedangkan makan malam biasanya paling cepat dihidangkan jam 6 petang. Sepertinya semua energi terkuras selama berjalan kaki. Karenanya minum kopi bisa dijadikan pengganjal sesaat agar tidak kelaparan. Kami juga langsung ditawari untuk memesan makan malam, jadi kami minta menunya dulu untuk dipelajari.
Mengingat lokasinya yang sudah semakin mendekati Annapurna, bagiku harga-harga di tempat ini relatif murah. Harga makanannya bahkan lebih murah daripada waktu di Chuile kemarin. Kami hanya memesan seporsi vegetable egg fried rice seharga NRs 390 dan segelas ginger tea seharga NRs 90 untuk dihidangkan jam 6 petang. Suamiku masih kehilangan selera makannya, karenanya kalau pesan 2 porsi takutnya malah tidak habis. Sembari memberikan pesanan, kami bertanya kepada Shakti apakah bisa numpang mengisi baterai HP, dan katanya untuk mengecharge bayar lagi per orang NRs 100.
Daripada gadget kami habis baterainya, kami pun mengecharge di tempat ini. Suamiku yang membawa HP sekaligus baterai kamera kami untuk dicharge ke ruangan di dekat ruang makan. Sewaktu kembali dari sana, katanya oleh Shakti hanya disuruh bayar NRs 50 saja untuk semuanya. Wah baik banget ya... atau mungkin Shakti kasihan melihat tampang-tampang kami yang memelas ini hahahaha...
Shakti juga menjelaskan, kalau mau mandi air panas bayar lagi NRs 150/orang, tapi kalau mandi air dingin gratis. Maka aku pun memutuskan segera mandi dan keramas dengan air dingin selagi belum terlalu sore. Ternyata airnya memang amat sangat dingin, saat keramas dan membilas rambut, kepalaku sampai cekot-cekot rasanya. Saking dinginnya, mandi pun cepat-cepat. Dan selesai aku mandi, ternyata sudah ada 2 orang yang sedang antri mau mandi juga dengan air dingin.
Setelah mandi, badan terasa segar sekali, namun udara jadi terasa semakin dingin. Tidak heran, karena Sinuwa berada pada ketinggian 2.340 mdpl. Tadinya aku menyangka suamiku tidak akan mau mandi air dingin, tapi ternyata mandi juga hehehehe...
Setelah mandi, kami menyeleksi dan membenahi barang-barang kami, karena kami memutuskan akan meninggalkan barang-barang yang tidak vital di tempat ini, sesuai saran dari Thakur. Desa ini adalah lokasi terendah yang akan kami lewati lagi dalam perjalanan turun nantinya. Sebetulnya yang terendah adalah Chhomrong, tapi karena kami tidak menginap di sana, ya tidak bisa titip barang di sana.
Dengan berat hati, aku memutuskan untuk meninggalkan filter air di tempat ini. Dengan perutku yang tahan banting ini, harusnya cukup aman untuk minum air langsung dari gunung, entah air kran atau air dari mata air yang sering kami jumpai di jalan. Tapi sebelumnya kami memfilter air dulu dan mengisikannya ke dalam water bladder kami. Trekking pants, hanya satu saja yang tebal, langsung dipakai sehari-hari. Leggings pun hanya satu yang lebih tebal, langsung dipakai. Sebuah tanktop heat tech yang dipakai terus, dan sebuah kaos lengan pendek untuk melapisi di malam hari. Sebuah syal yang lebih tebal, 2 kaos kaki dipakai, dan 1 kaos kaki untuk malam hari. Windproof jacket pun kutinggal, hanya kubawa fleece yang dipakai dan down jacket. Sleeping bag sudah pasti dibawa. Kompor panci dan bahan makanan seperti cokelat dan keju pun tetap dibawa. Suamiku bahkan meninggalkan kamera DSLR-nya, karena beratnya lebih dari 1 kg. Alat mandi bawa seminimal mungkin, hanya sabun cuci muka, odol dan sikat gigi. Setelah disortir, semua yang akan ditinggalkan ini kami masukkan ke dalam ransel lipat yang kami miliki. Berat total setelahnya menjadi masing-masing 8 kg, berkurang 4-5 kg dari sebelumnya.
Menjelang pukul 5 sore, kami pun duduk-duduk di luar kamar sambil bersantai, ketika kami melihat Lionel dan MariAnne baru saja memasuki desa ini. Aku berpikir mereka sudah sampai duluan sebelum kami. Pantas saja aku tidak melihat mereka saat berkeliling mencari penginapan tadi. Lionel dan MariAnne duduk di bangku di halaman Sinuwa Cottage, sementara sepertinya Thakur pergi mencari penginapan untuk mereka. Setelah agak lama menunggu, sepertinya mereka mendapatkan penginapan di tempat yang lokasinya lebih tinggi, jadi mereka berpamitan dan naik ke penginapan mereka sendiri.
Saat sunset tiba, kami pun memanfaatkan kesempatan untuk memotret pemandangan yang indah di sekitar area ini. Sementara itu udara menjadi semakin dingin, dan menjelang jam 6 petang, kami masuk ke dalam ruang makannya yang lebih hangat.
Tepat pukul 6 petang, makanan yang kami pesan sudah siap di meja, dan aku pun makan dengan lahapnya. Aku minta cabe kepada Shakti, lalu dia membawa 3 buah cabe yang katanya paling pedas. Bentuknya agak bulat-bulat, tidak seperti cabe di Indonesia. Rasa cabenya memang seperti meledak di dalam mulut, aku jadi beberapa kali tersedak karenanya, tapi sebenarnya tidak terlalu pedas. Setelah 3 buah cabe pertama habis, aku minta lagi, dan kali ini dia membawakan 5 buah cabe, yang kuhabiskan juga. Orang-orang yang sedang makan atau duduk di ruang makan sepertinya terheran-heran melihatku makan cabe sebanyak itu hehehehe...
Saat kami sedang makan malam, tampak Lionel dan MariAnne memasuki ruang makan tempat kami berada. Katanya sedang jalan-jalan dan cari minuman. Maka mereka pun memesan sebotol bir di sini dan mengobrol bersama kami sembari menemani kami makan. Lionel berkata bahwa besok mereka akan berjalan sampai ke Deurali, dan besoknya lagi sampai ke Annapurna Base Camp. Saat kulihat rutenya di peta, sepertinya agak terlalu sulit bagi kami. Mungkin kami hanya bisa sampai di desa Bamboo atau Himalaya saja. Tapi entahlah, tergantung kondisi kakiku dan kesehatan suamiku juga.
Sekitar jam 7 malam, kami pun berpamitan kepada mereka berdua untuk beristirahat. Sepertinya bagi mereka agak aneh, karena jam 7 malam masih dianggap terlalu awal. Mereka berdua bahkan belum makan malam.
Di kamar kami tidak disediakan selimut, jadi kupikir memang tidak ada selimutnya. Setidaknya aku masih memiliki sleeping bag, jadi tidak terlalu kuatir, sedangkan suamiku tidak membawa sleeping bagnya. Saat aku baru selesai sikat gigi, aku mendengar seorang gadis yang sedang minta selimut di dekat ruang makan, maka aku berkata kepada suamiku untuk mencoba meminjam selimut. Dia kembali dengan membawa satu buah selimut yang besar. Yah, biarpun besar kan tetap tidak bisa dipakai bersama, karena kasurnya yang pas-pasan untuk satu orang. Karenanya aku memilih tetap memakai sleeping bag saja, sedangkan selimutnya dipakai suamiku. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku mencoba tidur di dalam sleeping bag. Ternyata tidur di dalam sleeping bag rasanya menyenangkan dan hangat sekali lho! Tapi entahlah kalau nanti sampai di Annapurna Base Camp, apakah rasanya masih akan sehangat ini.
Hari ini adalah hari keempat kami trekking, dan 10 KM kami lalui dengan medan turun naik bukit. Beberapa jalan setapak maupun tangga yang kami lalui hari ini, bagiku cukup berbahaya. Banyak tempat di mana kita tidak boleh lengah sedikit pun. Ada yang jalannya agak longsor sedikit, ada juga yang di sisinya berupa jurang yang menyeramkan. Tidak sedikit pula area yang licin.
Setiap hari, selama 4 hari ini, kami berjalan naik turun naik turun naik turun bukit atau gunung, kadang bisa berkali-kali dalam sehari. Tidak heran setiap kali selesai trekking lelahnya luar biasa. Banyaaaaaaaak sekali anak tangga yang harus kami lalui setiap hari, dan sekarang aku yakin jumlahnya ribuan dalam sehari.
Baru 4 hari kami berjalan, dan kami sudah memiliki banyak "teman baru", walaupun seringkali tidak tahu namanya. Rata-rata mereka sudah kami jumpai dari hari pertama, ada yang menyapa, ada juga yang tidak. Kemudian bertemu lagi keesokan harinya, kadang saling lewat-melewati saat istirahat. Sepertinya mereka paham bahwa kami berjalan sangat pelan hehehe...
Oya, hari ini pun kami bertemu lagi dengan Michael dari Belanda dan dua orang guidenya. Waktu kuceritakan bahwa kemarin aku terpeleset sampai terkilir, dia memberi aku pain killer juga. Aku menerimanya untuk jaga-jaga kalau kakiku sampai sakit lagi.
Banyak juga kejadian-kejadian kecil tapi berkesan, baik dengan trekker lain, guide, porter, maupun dengan penduduk lokal. Orang Nepal biasanya sangat terkesan kalau kita bisa bicara sedikit bahasa mereka, dan kadang mereka tertawa-tawa, mungkin lucu mendengarkan logat kita yang kurang pas. Yang pasti, banyaaaaak sekali orang yang tanya kami dari mana. Kebanyakan menebak antara Jepang dan Korea. Hanya beberapa yang menebak kami dari Thailand atau Malaysia.
Rasanya menyenangkan, walaupun kita tidak berada di negeri sendiri, tapi memiliki banyak teman seperti ini. Hal-hal semacam inilah yang kadang membuat kami jadi bersemangat lagi walaupun menghadapi medan yang berat dan menantang, dan pastinya membuat travelling kami jadi lebih berarti, bukan sekedar pencapaian fisik saja. Aku berharap trekking dan travelling yang kami lakukan ini pun bisa menyebarkan kebaikan dan menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kami.... ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment