12 November 2017
Seperti hari-hari sebelumnya, jam 4 pagi aku sudah terbangun dari tidur dan membuat minuman panas untukku dan suamiku. Hari ini dia juga bangun pagi, karena kami akan berusaha untuk mulai jalan lebih awal.
Setelah selesai urusan toilet, kami berkemas-kemas, lalu cuci muka dan sikat gigi. Setelah itu masih ada waktu untuk bersantai sejenak di dalam kamar sembari menunggu waktu sarapan tiba.
Jam 5.50 pagi, kami sudah hendak menuju ke ruang makan karena kami memesan makanan untuk jam 6 pagi, tapi pintu depan menuju ruang makan tampaknya masih terkunci dan lampu masih dimatikan, jadi kami menunggu lagi. Jam 6.10 pagi pintu depan masih belum dibuka juga, jadi akhirnya kami masuk lewat pintu samping, di mana para porter tampak keluar masuk. Di sinilah aku melihat beberapa porter yang baru saja bangun dari tidur mereka. Ada yang tidur di atas meja makan, karena mungkin kasurnya sudah penuh terisi. Tampak beberapa orang juga sudah mulai masuk ke ruang makan ini. Suamiku membayar total tagihan terlebih dahulu, supaya tidak harus antri saat selesai makan. Pengeluaran total di Trekking Guest House ini sebanyak NRs 1,740 termasuk biaya kamar. Setelah itu pun kami masih cukup lama menunggu makanan dihidangkan, sampai kemudian pemiliknya sendiri yang membantu menyiapkan sarapan kami. Sarapan yang kupesan untuk pagi ini hanyalah seporsi plain fried potatoes seharga NRs 360 dan sepoci black tea seharga NRs 120. Sebagian kentangnya kami makan berdua, dan sebagian lainnya disisakan untuk makan di jalan. Sementara black tea yang dihidangkan, kami sisihkan sebotol kecil untuk di jalan dan sisanya kami minum untuk menghangatkan pagi yang dingin ini.
Selesai sarapan, kami mengambil backpack di kamar, bersiap-siap, dan jam 6.50 pagi kami sudah mulai berjalan lagi. Tujuan hari ini setidaknya adalah sampai di Jhinnu.
Dari Bamboo menuju desa berikutnya, Sinuwa, rutenya masih banyak menanjak, karena Sinuwa berada di tempat yang lebih tinggi. Aku sempat berandai-andai, kalau saja kemarin jalan terus sampai Sinuwa mungkin masih kuat, tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin kakiku malah jadi makin sakit lagi, apalagi kemarin aku benar-benar merasa lelah secara mental.
Saat berjalan mulai pagi seperti inilah, kami melihat kebanyakan yang melewati kami adalah para koki (dan mungkin asisten-asistennya), dengan membawa keranjang berisi berbagai macam perabotan dapur dan alat masak. Setelah itu tampak para porter juga mulai menyusul kami, dengan bawaannya yang masih tetap besar-besar. Kami bertemu dengan Rohit dan temannya saat sedang duduk beristirahat sejenak. Ternyata mereka juga menginap di Bamboo, hanya saja mungkin di penginapan lain, sehingga dari sore sampai malam kami tidak melihat mereka. Kami sempat mengobrol sebentar dengannya. Hari ini mereka akan menuju ke Jhinnu Danda. Saat kutanya berapa kira-kira berat beban yang dibawanya, dijawabnya sekitar 20 kg. Wah, berat sekali ya... katanya ada beberapa yang membawa beban sampai 25-30 kg. Aku sampai bertanya, apa saja gerangan isinya sampai sedemikian berat. Menurut Rohit, lebih enak membawa beban dalam bentuk backpack atau ransel. Biarpun berat, bebannya bisa diletakkan di pundak. Kalau koper-koper biasanya dibungkus atau diikat, lalu dikalungkan dengan sebuah kain ke kepala, dan katanya tidak enak. Kasihan sekali melihat mereka-mereka ini...
Ketika sedang melanjutkan perjalanan, kami bertemu dengan dua orang gadis muda dari Indonesia yang hendak menuju ABC. Kami sempat mengobrol sejenak, memberi semangat kepadanya, berfoto bersama, lalu melanjutkan perjalanan masing-masing. Setelah sekitar total 1,5 jam berjalan dari Bamboo, kami sampai di desa Sinuwa jam 8.35 pagi. Di desa ini ada peta yang tertera di salah satu tembok penginapan, dan kami memperhatikan peta tersebut, mencari informasi untuk jalan pulang nantinya. Karena secara keseluruhan sudah sangat lelah dan ingin segera pulang, kami akan naik kendaraan di tempat terdekat yang bisa dicapai. Kami bertanya kepada pemilik penginapan yang kebetulan sedang berada di luar, mengenai terminal bus yang terdekat. Sang bapak pemilik penginapan ini menjelaskan bahwa untuk naik bus, kami harus ke desa Siwai. Dari Jhinnu ke Siwai katanya bisa ditempuh sekitar 3-4 jam berjalan kaki. Setelah berterima kasih, kami pun berpamitan dan melanjutkan jalan lagi.
Setelah selesai urusan toilet, kami berkemas-kemas, lalu cuci muka dan sikat gigi. Setelah itu masih ada waktu untuk bersantai sejenak di dalam kamar sembari menunggu waktu sarapan tiba.
Jam 5.50 pagi, kami sudah hendak menuju ke ruang makan karena kami memesan makanan untuk jam 6 pagi, tapi pintu depan menuju ruang makan tampaknya masih terkunci dan lampu masih dimatikan, jadi kami menunggu lagi. Jam 6.10 pagi pintu depan masih belum dibuka juga, jadi akhirnya kami masuk lewat pintu samping, di mana para porter tampak keluar masuk. Di sinilah aku melihat beberapa porter yang baru saja bangun dari tidur mereka. Ada yang tidur di atas meja makan, karena mungkin kasurnya sudah penuh terisi. Tampak beberapa orang juga sudah mulai masuk ke ruang makan ini. Suamiku membayar total tagihan terlebih dahulu, supaya tidak harus antri saat selesai makan. Pengeluaran total di Trekking Guest House ini sebanyak NRs 1,740 termasuk biaya kamar. Setelah itu pun kami masih cukup lama menunggu makanan dihidangkan, sampai kemudian pemiliknya sendiri yang membantu menyiapkan sarapan kami. Sarapan yang kupesan untuk pagi ini hanyalah seporsi plain fried potatoes seharga NRs 360 dan sepoci black tea seharga NRs 120. Sebagian kentangnya kami makan berdua, dan sebagian lainnya disisakan untuk makan di jalan. Sementara black tea yang dihidangkan, kami sisihkan sebotol kecil untuk di jalan dan sisanya kami minum untuk menghangatkan pagi yang dingin ini.
Selesai sarapan, kami mengambil backpack di kamar, bersiap-siap, dan jam 6.50 pagi kami sudah mulai berjalan lagi. Tujuan hari ini setidaknya adalah sampai di Jhinnu.
Dari Bamboo menuju desa berikutnya, Sinuwa, rutenya masih banyak menanjak, karena Sinuwa berada di tempat yang lebih tinggi. Aku sempat berandai-andai, kalau saja kemarin jalan terus sampai Sinuwa mungkin masih kuat, tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin kakiku malah jadi makin sakit lagi, apalagi kemarin aku benar-benar merasa lelah secara mental.
Saat berjalan mulai pagi seperti inilah, kami melihat kebanyakan yang melewati kami adalah para koki (dan mungkin asisten-asistennya), dengan membawa keranjang berisi berbagai macam perabotan dapur dan alat masak. Setelah itu tampak para porter juga mulai menyusul kami, dengan bawaannya yang masih tetap besar-besar. Kami bertemu dengan Rohit dan temannya saat sedang duduk beristirahat sejenak. Ternyata mereka juga menginap di Bamboo, hanya saja mungkin di penginapan lain, sehingga dari sore sampai malam kami tidak melihat mereka. Kami sempat mengobrol sebentar dengannya. Hari ini mereka akan menuju ke Jhinnu Danda. Saat kutanya berapa kira-kira berat beban yang dibawanya, dijawabnya sekitar 20 kg. Wah, berat sekali ya... katanya ada beberapa yang membawa beban sampai 25-30 kg. Aku sampai bertanya, apa saja gerangan isinya sampai sedemikian berat. Menurut Rohit, lebih enak membawa beban dalam bentuk backpack atau ransel. Biarpun berat, bebannya bisa diletakkan di pundak. Kalau koper-koper biasanya dibungkus atau diikat, lalu dikalungkan dengan sebuah kain ke kepala, dan katanya tidak enak. Kasihan sekali melihat mereka-mereka ini...
Ketika sedang melanjutkan perjalanan, kami bertemu dengan dua orang gadis muda dari Indonesia yang hendak menuju ABC. Kami sempat mengobrol sejenak, memberi semangat kepadanya, berfoto bersama, lalu melanjutkan perjalanan masing-masing. Setelah sekitar total 1,5 jam berjalan dari Bamboo, kami sampai di desa Sinuwa jam 8.35 pagi. Di desa ini ada peta yang tertera di salah satu tembok penginapan, dan kami memperhatikan peta tersebut, mencari informasi untuk jalan pulang nantinya. Karena secara keseluruhan sudah sangat lelah dan ingin segera pulang, kami akan naik kendaraan di tempat terdekat yang bisa dicapai. Kami bertanya kepada pemilik penginapan yang kebetulan sedang berada di luar, mengenai terminal bus yang terdekat. Sang bapak pemilik penginapan ini menjelaskan bahwa untuk naik bus, kami harus ke desa Siwai. Dari Jhinnu ke Siwai katanya bisa ditempuh sekitar 3-4 jam berjalan kaki. Setelah berterima kasih, kami pun berpamitan dan melanjutkan jalan lagi.
Dari Sinuwa menuju ke Bhanuwa, jalannya turun, agak curam, dan banyak anak tangganya. Aku merasa agak kesulitan berjalan sepanjang rute ini, tapi masih bisa dipaksakan. Hari ini aku hanya mengenakan sepasang kaos kaki, jadi jari-jari kakiku sedikit lebih longgar di dalam sepatu, dan sedikit mengurangi rasa sakit di jari-jari kaki.
Kami sampai di Bhanuwa sekitar jam 9.20 pagi, dan langsung menuju ke Real Sinuwa Cottage, tempat kami menginap beberapa hari yang lalu. Sementara itu kakiku sakit sekali dan kaos kaki terasa lembab, jadi sambil menunggu suamiku mengambil barang-barang kami yang dititipan di tempat ini, aku melepas sepatu dan kaos kakiku, lalu meletakkannya di bawah sinar matahari. Rasanya nyaman sekali.
Kami juga memesan secangkir kopi susu seharga NRs 100. Kopi susunya enak sekali di tempat ini.
Setelah mengambil kembali barang-barang yang kami tinggalkan beberapa hari lalu, kami memasukkan lagi semuanya ke dalam backpack. Setelah selama 3 hari membawa backpack yang hanya 8 kg beratnya, kini backpack kami menjadi 12-13 kg lagi, rasanya jadi berat sekali.
Aku sempat mengecek HP di sini, karena terakhir kami berada di sini, sinyalnya cukup bagus. Ternyata sudah ada permintaan pertemanan dari Pasang dan Dawa di FB-ku hehehehe... Selesai menghabiskan kopi susu yang kami pesan, jam 9.50 pagi kami melanjutkan lagi perjalanan, kali ini menuju Chhomrong. Sama seperti sebelumnya, Chhomrong tampak di kejauhan dari Sinuwa, dan untuk ke sana harus menyeberangi bukit. Maka kami menuruni anak tangga yang waktu itu kuhitung jumlahnya sekitar 1.100, lalu menyeberang jembatan gantung yang rasanya panjaaaaang sekali, baru kemudian naik anak tangga. Aku berusaha menghitung tangga naik ini satu demi satu.
Selama menaiki anak tangga yang serasa tiada habisnya ini, kami berpapasan dengan orang-orang yang sama sampai berkali-kali, karena saling melewati saat istirahat. Bahkan para trekker dari Western pun tidak sanggup mendaki ke Chhomrong tanpa istirahat. Walaupun suamiku selalu ketinggalan saat menaiki tangga, tapi kali ini jaraknya tidak sampai terlalu jauh. Sepertinya setelah bergerak dari lokasi yang lebih tinggi lalu ke yang lebih rendah, kondisinya sudah jauh lebih baik.
Selama menaiki anak tangga yang serasa tiada habisnya ini, kami berpapasan dengan orang-orang yang sama sampai berkali-kali, karena saling melewati saat istirahat. Bahkan para trekker dari Western pun tidak sanggup mendaki ke Chhomrong tanpa istirahat. Walaupun suamiku selalu ketinggalan saat menaiki tangga, tapi kali ini jaraknya tidak sampai terlalu jauh. Sepertinya setelah bergerak dari lokasi yang lebih tinggi lalu ke yang lebih rendah, kondisinya sudah jauh lebih baik.
Pada hitungan anak tangga ke-1.900, kami sampai di Tourist Check Point di Chhomrong. Saat itu waktu menunjukkan jam 11.10 siang. Berarti kami menempuh sekitar 3.000 anak tangga dalam waktu 1 jam 20 menit. Cepat sekali ya, padahal rasanya tiada akhir saat mendakinya.
Kami menyerahkan kartu permit di pos yang disediakan Tourist Check Point ini. Pengecekan ini bertujuan agar pihak yang berwenang mengetahui kita sudah keluar atau lewat dari area ini. Tujuannya tentu saja baik, apabila kita sampai mengalami musibah atau hal-hal buruk, mereka akan lebih mudah mencari kita. Di tiap-tiap pos pengecekan, petugasnya akan membubuhkan stempel tanggal dan lokasinya, karenanya bisa dilacak kapan kita lewat pos-pos tersebut.
Saat itu salah seorang petugasnya adalah seorang bapak berusia 46 tahun yang ramah. Kami ditanyai habis menempuh rute yang mana saja, dan apakah mau trekking lagi tahun mendatang. Katanya kami disuruh mencoba trek Annapurna Circuit yang indah sekali.
Saat kami sedang duduk dan beristirahat, datanglah rombongan Korea yang bersama Laxman. Begitu mereka melihat kami sudah di sini, seperti biasa mereka langsung heboh dan menyalami kami hahahaha.... Aku pun berkata kepada Laxman, "Apa kubilang, tidak mustahil kan kita ketemu lagi?", dan Laxman pun tersenyum dan berkata, "Iya, ternyata kamu benar".
Lalu kami berdua mengajak Laxman selfie, dan setelah itu kami malah diajak foto bersama rombongan Korea ini. Seru sekali suasananya waktu itu. Ada yang minta alamat email segala, katanya mau mengirimkan fotonya lewat email (dan sampai detik ini belum ada email masuk yang isinya foto-foto tersebut hahahaha).
Menurut Laxman, tangga naik ke Chhomrong jumlahnya 2.300 anak tangga. Memang setelah pos pengecekan ini masih banyak lagi anak tangga yang harus dinaiki sebelum sampai ke pusat desanya. Jadi dari Bhanuwa ke Chhomrong saja sudah 3.400 anak tangga. Tidak heran kalau kakiku sampai sakit begini, ternyata setiap kami memang menempuh ribuan anak tangga selama 8 hari ini. Kata Laxman, lututku sampai menjadi bengkak karena kami berjalan terlalu cepat. Maksudnya, kami sebelumnya tidak terbiasa trekking, dan sekalinya trekking menempuh rute yang berat dan sama cepatnya dengan orang lain yang mungkin sudah lebih terbiasa atau banyak latihan, karenanya kaki (terutama lutut yang menahan beban saat turun) menjadi terlalu lelah dan bengkak. Hmmm ternyata begitu ya....
Karena sudah mendekati jam 11.30 siang, aku dan suamiku memutuskan untuk makan siang di sini saja. Kami makan sisa kentang pagi tadi. Sementara itu rombongan Korea yang bersama Laxman keluar dari Check Point ini, sepertinya mereka juga hendak berhenti makan siang di Chhomrong ini. Kami baru saja selesai makan, saat Dawa dan pak tua dari Jerman memasuki Check Point ini. Kami pun mengobrol sejenak dengan Dawa, sempat selfie juga selagi tongsis masih di luar backpack hehehehe...
Setelah itu barulah kami jalan lagi, naik tangga sampai ke puncak desa Chhomrong, foto-foto sebentar dengan seekor kuda yang lucu, baru kemudian mulailah perjalanan turun tangga sampai ke Lower Chhomrong. Saat hendak keluar desa Chhomrong ini, kami melihat sebuah helikopter merah yang datang. Sepertinya ada yang kelelahan untuk terus berjalan, dan memilih pulang naik helikopter hehehehe....
Chhomrong adalah desa yang terbesar yang kami lewati sejauh ini. Namun di siang hari seperti sekarang pun ternyata suasananya agak sepi. Biasanya desa-desa transit ini akan ramai menjelang sore, di mana para trekker mulai beristirahat dan menginap di desa tersebut.
Dari Chhomrong menuju ke Jhinnu, katanya, rutenya hanya turun dan turun, tapi panas sekali, karena matahari berada di atas kami. Kami baru sekali ini melewati rute ini, karena sebelumnya datang dari arah Ghorepani. Ternyata turunnya kebanyakan berupa tangga dari tanah, dan banyak yang cukup tinggi-tinggi. Aku cukup kesulitan di rute ini, kakiku jadi terasa sakit lagi. Tapi ya bagaimana lagi, harus dijalani, demi cepat sampai di tujuan.
Setelah sekitar 1 jam berjuang, akhirnya sampailah kami di desa Jhinnu Danda menjelang jam 1 siang. Kami akhirnya memutuskan akan menginap di desa ini. Pertama, karena ingin mencoba ke hot springnya yang terkenal itu, dan kedua, karena untuk sampai ke Siwai masih butuh 4 jam lagi berjalan. Kalau kami memaksakan diri langsung ke Siwai, mungkin akan sampai sekitar jam 5-6 petang, belum lagi masih harus melakukan perjalanan ke Pokhara naik bus, dan belum lagi berjalan kaki ke Chautari Pokhara. Wah, sepertinya akan terlalu malam dan pasti akan sangat melelahkan. Jadi lebih baik menghabiskan satu malam lagi untuk beristirahat.
Baru saja masuk ke desanya, kami sudah ditawari tempat menginap di teahouse pertama yang dilewati. Kami menolak dengan halus, karena mumpung masih siang, aku ingin mencari penginapan yang letaknya paling dekat dengan rute keluar besoknya. Jadi kami terus menuruni anak tangga yang ada sembari bertanya arah menuju ke Siwai, desa terdekat di mana kita bisa mencari bus atau jeep untuk kembali ke Pokhara. Ternyata desa Jhinnu ini cukup besar juga, walaupun masih tampak sepi pengunjung. Desa ini berada di ketinggian 1.780 mdpl.
Maka sampailah kami di penghujung desa, dengan sebuah teahouse yang tampaknya bagus dan bersih, dengan restorannya di luar bangunan dan ada rooftop di atasnya, namanya Hotel Namaste & Restaurant. Kami pun bertanya kepada pemiliknya, apakah mereka masih memiliki kamar untuk 2 orang, dan kami ditunjukkan sebuah kamar di bangunan lain yang terpisah, yang jujur saja tampak jauh lebih usang, agak kotor dan dekil. Harga kamarnya NRs 200 untuk 2 orang per malam. Katanya hanya kamar ini yang tersisa, sedangkan kamar-kamar lain merupakan sharing room yang isinya lebih dari 2 bed. Sempat kutawar supaya bisa menginap gratis, tapi tidak boleh hahahaha... Maka kami pun setuju untuk menginap di sini. Saat aku bertanya letak toiletnya, si pemilik penginapan menunjukkan tempatnya, yang ternyata agak jauh dari kamar kami. Yah, tak mengapalah...
Kami meletakkan backpack di kasur, karena di kamar ini tidak ada mejanya sama sekali, dan setelah itu kami melepas sepatu dan kaos kaki. Karena matahari masih bersinar dengan teriknya, kami bisa menjemur kaos kaki di tempat yang terkena panas, yaitu di pepohonan pendek di depan kamar. Sepatu pun kami jemur supaya tidak lembab. Karena di tempat ini kadang-kadang ada sinyal, aku pun memberi kabar kepada Dorje bahwa kami akan ke Chautari besoknya.
Sementara itu tampak Rohit dan teman yang selalu bersamanya selama trekking, Hare, baru sampai. Ternyata mereka juga akan menginap di Hotel Namaste ini. Aku bertanya, kalian nanti akan tidur di mana? Karena aku tidak melihat adanya ruang makan indoor seperti biasanya. Rohit menunjuk ke sebuah tangga turun, seperti gang kecil. Mungkin di sana disediakan kamar-kamar khusus bagi para guide dan porter.
Sejak di jalan tadi, aku sempat berpikir akan mengajak kedua anak muda ini ngopi bareng kalau sampai bertemu lagi di Jhinnu. Maka aku pun bertanya, kamu mau minum kopi bareng nggak? Rohit geleng-geleng kepala. Sepertinya dia berpikir aku akan membelikan kopi di restoran ini, dan aku tidak tahu, mungkin itu dianggap kurang etis atau bagaimana. Aku bilang padanya, bukan di restoran, tapi di sini. Kita bisa ngopi di teras kamar. Aku punya kopi dan gula, kalau kamu mau, pinjam gelas saja di restoran. Ternyata mereka berdua langsung mau, dan meminjam cangkir ke restoran, sementara aku mulai masak air.
Kami berempat duduk dan mengobrol di lantai teras depan kamar. Aku melihat ada beberapa porter yang memperhatikan kami, entah mungkin heran, atau iri kepada Rohit dan Hare yang bisa duduk santai minum kopi. Klien mereka masih belum muncul juga di tempat ini.
Aku bertanya-tanya kepada Rohit dan Hare mengenai kehidupan mereka, pengalaman mereka menjadi porter, dan hal-hal sepele lainnya. Hare tidak sepatah kata pun bicara kepada kami, kata Rohit, dia terlalu pemalu. Jadi kalau aku bertanya kepada Hare, dia akan menjawab kepada Rohit dalam bahasa Nepal, baru kemudian Rohit yang bicara kepada kami. Lucu sekali ya?
Hare berusia 19 tahun, sedangkan Rohit masih berusia 16 tahun, dan masih sekolah. Aku tidak terlalu banyak mengetahui tentang Hare karena sering tidak mau menjawab tadi. Rohit sendiri saat ini sedang liburan sekolah, dan katanya daripada menganggur di rumah, dia menjadi porter untuk mencari uang. Ini adalah pengalaman pertama Rohit menjadi porter. Kebetulan ayahnya adalah seorang guide dan menjadi leader di group ini. Kata Rohit, kadang ayahnya membantunya kalau bebannya sangat berat. Aku sempat beberapa kali melihat ayah Rohit, rambutnya panjang diikat, dan wajahnya keras seperti wajah suku Indian, pokoknya sangar banget deh...
Saat ditanya apakah dia suka menjadi porter, Rohit menggelengkan kepalanya. Dia berkata, mencari pekerjaan di Nepal sangat sulit, karenanya dia melakukan pekerjaan ini. Saat kutanya berapa banyak yang dia dapatkan dalam sehari, katanya per hari dia memperoleh NRs 1,200, tapi masih dipotong dua kali makan sebesar NRs 600 (sekali makan NRs 300), jadi dalam sehari dia bisa menyimpan NRs 600, atau sekitar 78 ribu rupiah. Makannya sehari hanya dua kali, pagi dan malam hari. Hmmm mengenaskan sekali ya...
Saat kami sedang berbincang-bincang, terlihat rombongan Rohit mulai berdatangan, maka dia pun cepat-cepat menghabiskan kopinya, dan berpamitan kepada kami. Tidak lama kemudian, saat kami masih duduk-duduk di depan kamar, Rohit dan beberapa kawannya lewat lagi. Ternyata mereka mau ke hot spring. Tadinya Rohit setengah memaksa kami untuk ikut dengan mereka, tapi aku berkata bahwa kami akan menyusul sekitar jam 3 saja. Kakiku masih butuh istirahat dulu. Maka Rohit pun berpamitan kepada kami dan menuruni jalan setapak yang tertutup pepohonan di depan kamar.
Setelah itu, kami masih masuk ke kamar, lalu membongkar semua barang dari dalam backpack dan menyusun ulang, karena ketambahan barang-barang yang dititipkan tadi. Setelah beres, kami juga menyiapkan ransel kecil yang akan dibawa ke hot spring, berisi handuk, peralatan mandi, dan baju ganti. Pemilik penginapan sempat mendatangi kamar kami dan menawarkan untuk memesan makan malam terlebih dahulu, jadi kami minta menu yang ada. Setelah memilih-milih, akhirnya kami memesan vegetable noodle soup seharga NRs 220, seporsi plain fried potatoes seharga NRs 400, dan secangkir milk coffee seharga NRs 90 untuk jam 6 petang. Kami juga sempat bertanya kepada pemilik penginapan, kalau ke hot spring berapa lama dan berapa biaya masuknya. Katanya sekitar 20 menit turun, dan tiketnya NRs 100/orang.
Jam 2.50 siang, kami pun beranjak dari kamar dan hendak menuju ke hot spring. Tadinya aku mau tidak pakai sepatu, tetapi setelah melihat medannya, akhirnya aku memutuskan pakai sepatu saja, dan ternyata medannya juga sama seperti trekking biasanya, yang sebagian besar berupa batu-batuan, tanah, dan anak tangga. Oh... bahkan mau berendam air panas saja harus trekking dulu :((
Pos tempat membeli tiket berada di awal jalan, dan biayanya memang NRs 100/orang. Dari situ, kami berjalan mengikuti jalan setapak yang ada. Sempat bertemu dengan rombongan kambing yang agak-agak kurang terarah, jadi agak takut kalau sampai diseruduk hahahaha... Sempat ada seekor kerbau juga yang jalannya di tengah-tengah. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Rohit dan kawan-kawannya yang sudah hendak kembali ke penginapan.
Setelah 20 menit berjalan dan turun lebih dari 500 anak tangga, sampailah kami di Jhinnu Hot Spring. Ternyata kolam tempat berendamnya kecil walaupun ada dua. Kolam pertama yang kulihat, tampak sudah cukup penuh dengan orang. Kolam kedua baru tampak setelah turun sampai ke bawah. Yang menakjubkan di tempat ini adalah pemandangan di luar kolam. Terpisah oleh semacam pagar dari batu, di balik pagar ini terdapat sungai Modi Khola yang mengalir dengan deras. Airnya putih kehijauan, dan banyak batu-batu besar di tengah sungai ini, yang membuatnya semakin indah.
Aku melepaskan sepatu dan meletakkannya bersama dengan ransel kecilku dengan hati-hati di atas pagar batu di tepi sungai ini. Jangan sampai jatuh ke sungai, bisa-bisa hanyut dan tidak bisa diselamatkan deh....
Kami melihat ada 3 pancuran air di dekat kolam yang kedua, jadi kami membasuh badan dulu di pancuran tersebut, baru kemudian berendam di kolam yang kedua ini. Airnya tidak terlalu panas, hanya hangat, namun rasanya sangat nyaman, bisa meluruskan kaki, merilekskan tubuh di dalam air hangat. Dan ternyata banyak trekker yang sudah sering kami termui yang sedang berendam di sini juga. Bahkan tidak lama kemudian, rombongan Korea yang bersama Laxman juga datang beramai-ramai, dan semuanya masuk di kolam tempat kami berada! Aduh, jadi penuh sekali deh kolamnya hahahaha... Beberapa orang yang mungkin sudah semenjak tadi berendam, keluar lebih dulu, mungkin untuk memberi tempat juga bagi yang baru datang. Setelah itu pun orang-orang masih terus berdatangan, kebanyakan sudah pernah kami jumpai sebelumnya.
Aku berendam di dalam kolam mengenakan leggings dan tanktop (kaos tanpa lengan), karena aku membaca bahwa orang Nepal pada umumnya masih menghargai kesopanan. Perempuan di negeri ini kebanyakan memakai pakaian yang menutupi lengan dan lutut. Mungkin mulai banyak gadis-gadis muda di kota besar yang mengenakan pakaian ketat, namun itu pun relatif tertutup. Alangkah baiknya apabila kita sebagai tamu di negeri ini pun, mengikuti kebiasaan yang ada di sana. Setiap hari selama di Nepal, aku hampir selalu mengenakan tank top, karena itu yang paling nyaman untukku. Namun di atasnya selalu kulapisi dengan syal, pashmina, atau jaket, untuk menghormati kebiasaan setempat.
Nah, saat di kolam inilah, aku melihat beberapa perempuan Western (beberapa di antaranya aku tahu pasti dari USA), yang mengenakan bikini, atau kaos tanpa (maaf) bra. Masih ditambah kelakuan mereka yang buatku orang Indonesia saja norak. Bagiku, apa yang mereka lakukan tidaklah pantas. Alangkah baiknya apabila kita berkunjung ke negara lain, sebisa mungkin kita menghargai dan menghormati kebiasaan dan adat istiadat penduduk setempat, dan bukannya menerapkan kebiasaan kita semaunya. Maaf jadi curhat lagi... :(
Kami berendam sampai sekitar 30 menit, kemudian jam 3.45 sore kami keluar dari kolam, dan mandi di pancuran. Tadinya aku tidak berani keramas dan mandi dengan shampoo atau sabun, karena sebelumnya aku membaca sebuah papan yang bertuliskan, sebisa mungkin tidak memakai shampoo dan sabun, karena akan mencemari alam. Tapi kami melihat rata-rata orang mandi dengan sabun, dan banyak sachet shampoo di bebatuan, jadi ya sudahlah, sekali ini sedikit memanjakan diri mandi dan keramas yang bersih dengan sabun shampoo yang kami bawa. Rasanya segar dan menyenangkan sekali bisa mandi air hangat, setelah 3 hari tidak mandi sama sekali semenjak di Deurali hehehehe.... For us, this is a good way to end the trek ^_^
Setelah puas mandi di pancuran, kami ganti baju di ruangan-ruangan tertutup yang disediakan, setelah itu kami pun berjalan kembali ke penginapan. Dengan tubuh yang segar dan jalan yang naik, perjalanan pulang terasa cukup menyenangkan bagiku.
Kami sampai kembali di kamar jam 4.30 sore, dan aku baru menyadari bahwa HP-ku berada di dalam tas kecil bersama dengan pakaian yang masih basah kuyup, dan ternyata HP-nya jadi bergetar setiap saat. Doh! Kok bisa sampai lupa mengantongi setelah ganti baju tadi ya... Aku mematikannya, berusaha mengeringkannya, lalu meletakkannya dengan posisi berdiri di atas kasur. Karena kondisi HP yang seperti ini, sepanjang malam aku tidak bisa memakai HP sama sekali.
Saat pulang dari hot spring ini, ternyata kamar-kamar di kanan kiri kami sudah terisi tamu. Aku tidak tahu yang mengisi kamar di sisi kiri kamar kami, karena tidak pernah bertemu orangnya, tapi yang pasti tamu Western. Sedangkan kamar di kanan ternyata berisi 4 single bed, isinya laki-laki semua, berusia 20-30an tahun, dan sepertinya orang Nepal. Wajah mereka tampaknya sangar dan agak urakan.
Dinding pemisahnya hanya berupa tripleks yang tipis, jadi suara apa pun akan terdengar jelas dari kamar sebelahnya.
Nah, saat kami di dalam kamar inilah, kamar di kanan ini berisik, memutar lagu keras-keras, menyanyi, dan ngobrol keras-keras pula. Untungnya sekitar jam 5 sore mereka berempat pergi, sepertinya ke hot spring.
Kami bersantai di dalam kamar sampai menjelang jam 6 petang, setelah itu kami beranjak ke restoran yang berada di luar ruangan, hendak menanti makan malam karena sudah lapar. Saat itulah baru aku tahu bahwa ternyata ada ruang makan indoor di belakang kasir. Rombongan Korea yang bersama Rohit tampak mulai masuk ke dalam ruang makan ini. Di belakang kasir juga ada sebuah meja dengan colokan listrik di mana kita bisa mengecharge HP, dan tanpa biaya. Jadi aku mengecharge powerbank di sana.
Aku memperhatikan suasana di sekitar tempat makan yang terbuka ini. Di sebelah meja kami ada beberapa orang yang sepertinya multi-etnis, sedang asyik ngobrol dan ngemil keju dan cokelat. Tampaknya mereka kurang friendly kepada orang lain, jadi kami pun tidak menyapa mereka. Sementara itu, sejak pertama kali datang, aku melihat ada lapak yang menjual segala macam souvenir di area ruang makan terbuka ini. Baru malam ini lebih kuperhatikan, penjualnya seorang bapak yang sudah manula. Tidak banyak orang yang berbelanja di lapak ini. Belum lagi jam 6 petang, tidak lama setelah kami duduk di ruangan terbuka ini, tampak sang bapak mulai menutupi barang-barang dagangannya dengan kain, dibantu oleh salah seorang staff penginapan, yang menurut kami adalah putranya. Kasihan sekali melihatnya...
Makanan kami baru dihidangkan jam 6 lewat, dan kami segera makan malam. Selesai makan, kami masih duduk-duduk di sini, sampai kemudian Rohit dan Hare lewat. Mereka berdua kemudian duduk dan ngobrol bersama kami. Sepertinya mereka berdua baru selesai melayani rombongan yang bersama mereka. Kata Rohit, malam ini akan ada pesta untuk merayakan malam terakhir trekking. Katanya nanti akan ada tarian segala.
Benar saja, tiap beberapa saat, terdengar suara riuh rendah, sorak sorai dan tepuk tangan dari rombongan yang berada di dalam ruang makan ini. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus dirayakan. Perjalanan belum lagi berakhir bagi kami. Masih ada satu hari lagi di mana kami harus berjuang untuk pulang.
Kami mengobrol dengan Rohit dan Hare, tapi sama seperti sebelumnya, Hare tidak mau bicara, kebanyakan hanya senyam-senyum dan tertawa saja. Saat Rohit ditanya mengenai cita-citanya di masa depan, katanya dia ingin menjadi seorang penyanyi, dan dia bisa memainkan alat musik gitar. Dia memiliki dua orang adik, yang pertama laki-laki, dan yang lebih kecil perempuan. Uang yang diperolehnya dari hasil bekerja sebagai porter, sebagian diberikan kepada orang tuanya, sebagian lagi dia simpan sendiri.
Sekitar jam 7 malam, kami melihat makanan mulai dihidangkan di meja sebelah kami yang berisi beberapa orang tadi. Mereka semua makan dal bhat. Sementara para trekker makan dengan sangat lahap, tampak guide dan porternya menunggu di samping mereka dengan memegang panci dan wadah nasi. Jadi begitu ada yang nasi atau kuahnya habis, langsung ditawari kalau mau menambah lagi.
Sekitar jam 7.30 malam, Rohit dan Hare dipanggil oleh teman-teman mereka yang sepertinya sedang heboh sekali dan saling bercanda. Tidak lama kemudian aku melihat Rohit memegang gendang untuk main musik. Sepertinya mereka akan didaulat untuk main musik untuk para kliennya.
Sementara itu pemilik penginapan datang dan menawari kami untuk memesan sarapan. Tadinya aku tidak mau memesan sarapan, karena kami berencana hendak mulai jalan jam 6 pagi, dan dari pengalaman selama ini, jarang sekali teahouse yang bisa menyediakan sarapan tepat waktu kalau kami memesan untuk jam 6 pagi. Maka aku tegaskan bahwa kami akan berangkat sepagi mungkin, dan pemiliknya menyanggupi bisa menyediakan sarapan jam 6 pagi. Aku hanya memesan plain fried potatoes seharga NRs 400 dan secangkir kopi susu seharga NRs 90, dengan catatan ketangnya untuk dibungkus saja.
Karena sudah lelah dan mulai dingin, kami pun memutuskan hendak beristirahat. Kami sikat gigi di kran yang disediakan di halaman di depan toilet, dan baru malam ini pertama kali aku masuk ke toiletnya. Sebetulnya toiletnya sendiri cukup bersih dan sudah lebih modern walaupun masih berupa toilet jongkok, namun baunya pesing sekali. Mungkin orang-orang yang memakainya saja yang jorok.
Kami kembali ke dalam kamar. Tidak lama setelah itu, suamiku pun mencoba untuk tidur sambil mendengarkan musik dari HP-nya dengan earphone.
Kamar di kanan yang berisi 4 orang laki-laki muda tadi, sampai agak lama masih mengobrol dan kadang menjatuhkan barang atau meletakkan sesuatu menempel ke dinding tripleks, sehingga cukup mengganggu. Sementara kamar di sebelah kiri kami, penghuninya baru masuk jam 9 malam. Aku mendengar mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Tidak lama kemudian, tampaknya mereka pun tidur. Terdengar suara khas sleeping bag yang bergesekan. Dari arah luar kamar masih terdengar suara gendang, musik, dan sorak sorai sampai lebih dari jam 10 malam. Sepertinya rombongan Korea yang di ruang makan benar-benar menikmati malam terakhir mereka di tempat ini.
Aku sendiri tidak bisa tidur sama sekali, kemungkinan karena minum kopi setelah makan malam tadi. Kucoba menyalakan HP, ternyata bisa. Kadang-kadang masih bergetar sendiri, tapi sudah jauh lebih jarang dibandingkan sebelumnya. Jadi aku mencoba menulis di HP sambil menunggu rasa kantuk datang. Beberapa kali sempat bersin-bersin juga, padahal tidak kedinginan. Tenggorokanku pun mulai terasa sakit, sepertinya bakal kena radang nih.... Akhirnya baru jam 1 malam aku bisa tidur...
Hari ini kami menempuh sekitar 10 KM berjalan kaki, dan hampir sepanjang jalan selalu kepanasan akibat matahari yang bersinar terik. Kondisi kakiku tidak separah kemarin, tapi masih tetap sakit. Aku bersyukur setidaknya masih bisa dipakai berjalan sejauh ini. Aku berharap besok kami bisa cepat sampai di Siwai, agar bisa segera kembali ke Pokhara ^_^
To be continued.......
Saat itu salah seorang petugasnya adalah seorang bapak berusia 46 tahun yang ramah. Kami ditanyai habis menempuh rute yang mana saja, dan apakah mau trekking lagi tahun mendatang. Katanya kami disuruh mencoba trek Annapurna Circuit yang indah sekali.
Saat kami sedang duduk dan beristirahat, datanglah rombongan Korea yang bersama Laxman. Begitu mereka melihat kami sudah di sini, seperti biasa mereka langsung heboh dan menyalami kami hahahaha.... Aku pun berkata kepada Laxman, "Apa kubilang, tidak mustahil kan kita ketemu lagi?", dan Laxman pun tersenyum dan berkata, "Iya, ternyata kamu benar".
Lalu kami berdua mengajak Laxman selfie, dan setelah itu kami malah diajak foto bersama rombongan Korea ini. Seru sekali suasananya waktu itu. Ada yang minta alamat email segala, katanya mau mengirimkan fotonya lewat email (dan sampai detik ini belum ada email masuk yang isinya foto-foto tersebut hahahaha).
Menurut Laxman, tangga naik ke Chhomrong jumlahnya 2.300 anak tangga. Memang setelah pos pengecekan ini masih banyak lagi anak tangga yang harus dinaiki sebelum sampai ke pusat desanya. Jadi dari Bhanuwa ke Chhomrong saja sudah 3.400 anak tangga. Tidak heran kalau kakiku sampai sakit begini, ternyata setiap kami memang menempuh ribuan anak tangga selama 8 hari ini. Kata Laxman, lututku sampai menjadi bengkak karena kami berjalan terlalu cepat. Maksudnya, kami sebelumnya tidak terbiasa trekking, dan sekalinya trekking menempuh rute yang berat dan sama cepatnya dengan orang lain yang mungkin sudah lebih terbiasa atau banyak latihan, karenanya kaki (terutama lutut yang menahan beban saat turun) menjadi terlalu lelah dan bengkak. Hmmm ternyata begitu ya....
Karena sudah mendekati jam 11.30 siang, aku dan suamiku memutuskan untuk makan siang di sini saja. Kami makan sisa kentang pagi tadi. Sementara itu rombongan Korea yang bersama Laxman keluar dari Check Point ini, sepertinya mereka juga hendak berhenti makan siang di Chhomrong ini. Kami baru saja selesai makan, saat Dawa dan pak tua dari Jerman memasuki Check Point ini. Kami pun mengobrol sejenak dengan Dawa, sempat selfie juga selagi tongsis masih di luar backpack hehehehe...
Setelah itu barulah kami jalan lagi, naik tangga sampai ke puncak desa Chhomrong, foto-foto sebentar dengan seekor kuda yang lucu, baru kemudian mulailah perjalanan turun tangga sampai ke Lower Chhomrong. Saat hendak keluar desa Chhomrong ini, kami melihat sebuah helikopter merah yang datang. Sepertinya ada yang kelelahan untuk terus berjalan, dan memilih pulang naik helikopter hehehehe....
Chhomrong adalah desa yang terbesar yang kami lewati sejauh ini. Namun di siang hari seperti sekarang pun ternyata suasananya agak sepi. Biasanya desa-desa transit ini akan ramai menjelang sore, di mana para trekker mulai beristirahat dan menginap di desa tersebut.
Dari Chhomrong menuju ke Jhinnu, katanya, rutenya hanya turun dan turun, tapi panas sekali, karena matahari berada di atas kami. Kami baru sekali ini melewati rute ini, karena sebelumnya datang dari arah Ghorepani. Ternyata turunnya kebanyakan berupa tangga dari tanah, dan banyak yang cukup tinggi-tinggi. Aku cukup kesulitan di rute ini, kakiku jadi terasa sakit lagi. Tapi ya bagaimana lagi, harus dijalani, demi cepat sampai di tujuan.
Setelah sekitar 1 jam berjuang, akhirnya sampailah kami di desa Jhinnu Danda menjelang jam 1 siang. Kami akhirnya memutuskan akan menginap di desa ini. Pertama, karena ingin mencoba ke hot springnya yang terkenal itu, dan kedua, karena untuk sampai ke Siwai masih butuh 4 jam lagi berjalan. Kalau kami memaksakan diri langsung ke Siwai, mungkin akan sampai sekitar jam 5-6 petang, belum lagi masih harus melakukan perjalanan ke Pokhara naik bus, dan belum lagi berjalan kaki ke Chautari Pokhara. Wah, sepertinya akan terlalu malam dan pasti akan sangat melelahkan. Jadi lebih baik menghabiskan satu malam lagi untuk beristirahat.
Baru saja masuk ke desanya, kami sudah ditawari tempat menginap di teahouse pertama yang dilewati. Kami menolak dengan halus, karena mumpung masih siang, aku ingin mencari penginapan yang letaknya paling dekat dengan rute keluar besoknya. Jadi kami terus menuruni anak tangga yang ada sembari bertanya arah menuju ke Siwai, desa terdekat di mana kita bisa mencari bus atau jeep untuk kembali ke Pokhara. Ternyata desa Jhinnu ini cukup besar juga, walaupun masih tampak sepi pengunjung. Desa ini berada di ketinggian 1.780 mdpl.
Maka sampailah kami di penghujung desa, dengan sebuah teahouse yang tampaknya bagus dan bersih, dengan restorannya di luar bangunan dan ada rooftop di atasnya, namanya Hotel Namaste & Restaurant. Kami pun bertanya kepada pemiliknya, apakah mereka masih memiliki kamar untuk 2 orang, dan kami ditunjukkan sebuah kamar di bangunan lain yang terpisah, yang jujur saja tampak jauh lebih usang, agak kotor dan dekil. Harga kamarnya NRs 200 untuk 2 orang per malam. Katanya hanya kamar ini yang tersisa, sedangkan kamar-kamar lain merupakan sharing room yang isinya lebih dari 2 bed. Sempat kutawar supaya bisa menginap gratis, tapi tidak boleh hahahaha... Maka kami pun setuju untuk menginap di sini. Saat aku bertanya letak toiletnya, si pemilik penginapan menunjukkan tempatnya, yang ternyata agak jauh dari kamar kami. Yah, tak mengapalah...
Kami meletakkan backpack di kasur, karena di kamar ini tidak ada mejanya sama sekali, dan setelah itu kami melepas sepatu dan kaos kaki. Karena matahari masih bersinar dengan teriknya, kami bisa menjemur kaos kaki di tempat yang terkena panas, yaitu di pepohonan pendek di depan kamar. Sepatu pun kami jemur supaya tidak lembab. Karena di tempat ini kadang-kadang ada sinyal, aku pun memberi kabar kepada Dorje bahwa kami akan ke Chautari besoknya.
Sementara itu tampak Rohit dan teman yang selalu bersamanya selama trekking, Hare, baru sampai. Ternyata mereka juga akan menginap di Hotel Namaste ini. Aku bertanya, kalian nanti akan tidur di mana? Karena aku tidak melihat adanya ruang makan indoor seperti biasanya. Rohit menunjuk ke sebuah tangga turun, seperti gang kecil. Mungkin di sana disediakan kamar-kamar khusus bagi para guide dan porter.
Sejak di jalan tadi, aku sempat berpikir akan mengajak kedua anak muda ini ngopi bareng kalau sampai bertemu lagi di Jhinnu. Maka aku pun bertanya, kamu mau minum kopi bareng nggak? Rohit geleng-geleng kepala. Sepertinya dia berpikir aku akan membelikan kopi di restoran ini, dan aku tidak tahu, mungkin itu dianggap kurang etis atau bagaimana. Aku bilang padanya, bukan di restoran, tapi di sini. Kita bisa ngopi di teras kamar. Aku punya kopi dan gula, kalau kamu mau, pinjam gelas saja di restoran. Ternyata mereka berdua langsung mau, dan meminjam cangkir ke restoran, sementara aku mulai masak air.
Kami berempat duduk dan mengobrol di lantai teras depan kamar. Aku melihat ada beberapa porter yang memperhatikan kami, entah mungkin heran, atau iri kepada Rohit dan Hare yang bisa duduk santai minum kopi. Klien mereka masih belum muncul juga di tempat ini.
Aku bertanya-tanya kepada Rohit dan Hare mengenai kehidupan mereka, pengalaman mereka menjadi porter, dan hal-hal sepele lainnya. Hare tidak sepatah kata pun bicara kepada kami, kata Rohit, dia terlalu pemalu. Jadi kalau aku bertanya kepada Hare, dia akan menjawab kepada Rohit dalam bahasa Nepal, baru kemudian Rohit yang bicara kepada kami. Lucu sekali ya?
Hare berusia 19 tahun, sedangkan Rohit masih berusia 16 tahun, dan masih sekolah. Aku tidak terlalu banyak mengetahui tentang Hare karena sering tidak mau menjawab tadi. Rohit sendiri saat ini sedang liburan sekolah, dan katanya daripada menganggur di rumah, dia menjadi porter untuk mencari uang. Ini adalah pengalaman pertama Rohit menjadi porter. Kebetulan ayahnya adalah seorang guide dan menjadi leader di group ini. Kata Rohit, kadang ayahnya membantunya kalau bebannya sangat berat. Aku sempat beberapa kali melihat ayah Rohit, rambutnya panjang diikat, dan wajahnya keras seperti wajah suku Indian, pokoknya sangar banget deh...
Saat ditanya apakah dia suka menjadi porter, Rohit menggelengkan kepalanya. Dia berkata, mencari pekerjaan di Nepal sangat sulit, karenanya dia melakukan pekerjaan ini. Saat kutanya berapa banyak yang dia dapatkan dalam sehari, katanya per hari dia memperoleh NRs 1,200, tapi masih dipotong dua kali makan sebesar NRs 600 (sekali makan NRs 300), jadi dalam sehari dia bisa menyimpan NRs 600, atau sekitar 78 ribu rupiah. Makannya sehari hanya dua kali, pagi dan malam hari. Hmmm mengenaskan sekali ya...
Saat kami sedang berbincang-bincang, terlihat rombongan Rohit mulai berdatangan, maka dia pun cepat-cepat menghabiskan kopinya, dan berpamitan kepada kami. Tidak lama kemudian, saat kami masih duduk-duduk di depan kamar, Rohit dan beberapa kawannya lewat lagi. Ternyata mereka mau ke hot spring. Tadinya Rohit setengah memaksa kami untuk ikut dengan mereka, tapi aku berkata bahwa kami akan menyusul sekitar jam 3 saja. Kakiku masih butuh istirahat dulu. Maka Rohit pun berpamitan kepada kami dan menuruni jalan setapak yang tertutup pepohonan di depan kamar.
Setelah itu, kami masih masuk ke kamar, lalu membongkar semua barang dari dalam backpack dan menyusun ulang, karena ketambahan barang-barang yang dititipkan tadi. Setelah beres, kami juga menyiapkan ransel kecil yang akan dibawa ke hot spring, berisi handuk, peralatan mandi, dan baju ganti. Pemilik penginapan sempat mendatangi kamar kami dan menawarkan untuk memesan makan malam terlebih dahulu, jadi kami minta menu yang ada. Setelah memilih-milih, akhirnya kami memesan vegetable noodle soup seharga NRs 220, seporsi plain fried potatoes seharga NRs 400, dan secangkir milk coffee seharga NRs 90 untuk jam 6 petang. Kami juga sempat bertanya kepada pemilik penginapan, kalau ke hot spring berapa lama dan berapa biaya masuknya. Katanya sekitar 20 menit turun, dan tiketnya NRs 100/orang.
Jam 2.50 siang, kami pun beranjak dari kamar dan hendak menuju ke hot spring. Tadinya aku mau tidak pakai sepatu, tetapi setelah melihat medannya, akhirnya aku memutuskan pakai sepatu saja, dan ternyata medannya juga sama seperti trekking biasanya, yang sebagian besar berupa batu-batuan, tanah, dan anak tangga. Oh... bahkan mau berendam air panas saja harus trekking dulu :((
Pos tempat membeli tiket berada di awal jalan, dan biayanya memang NRs 100/orang. Dari situ, kami berjalan mengikuti jalan setapak yang ada. Sempat bertemu dengan rombongan kambing yang agak-agak kurang terarah, jadi agak takut kalau sampai diseruduk hahahaha... Sempat ada seekor kerbau juga yang jalannya di tengah-tengah. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Rohit dan kawan-kawannya yang sudah hendak kembali ke penginapan.
Setelah 20 menit berjalan dan turun lebih dari 500 anak tangga, sampailah kami di Jhinnu Hot Spring. Ternyata kolam tempat berendamnya kecil walaupun ada dua. Kolam pertama yang kulihat, tampak sudah cukup penuh dengan orang. Kolam kedua baru tampak setelah turun sampai ke bawah. Yang menakjubkan di tempat ini adalah pemandangan di luar kolam. Terpisah oleh semacam pagar dari batu, di balik pagar ini terdapat sungai Modi Khola yang mengalir dengan deras. Airnya putih kehijauan, dan banyak batu-batu besar di tengah sungai ini, yang membuatnya semakin indah.
Aku melepaskan sepatu dan meletakkannya bersama dengan ransel kecilku dengan hati-hati di atas pagar batu di tepi sungai ini. Jangan sampai jatuh ke sungai, bisa-bisa hanyut dan tidak bisa diselamatkan deh....
Kami melihat ada 3 pancuran air di dekat kolam yang kedua, jadi kami membasuh badan dulu di pancuran tersebut, baru kemudian berendam di kolam yang kedua ini. Airnya tidak terlalu panas, hanya hangat, namun rasanya sangat nyaman, bisa meluruskan kaki, merilekskan tubuh di dalam air hangat. Dan ternyata banyak trekker yang sudah sering kami termui yang sedang berendam di sini juga. Bahkan tidak lama kemudian, rombongan Korea yang bersama Laxman juga datang beramai-ramai, dan semuanya masuk di kolam tempat kami berada! Aduh, jadi penuh sekali deh kolamnya hahahaha... Beberapa orang yang mungkin sudah semenjak tadi berendam, keluar lebih dulu, mungkin untuk memberi tempat juga bagi yang baru datang. Setelah itu pun orang-orang masih terus berdatangan, kebanyakan sudah pernah kami jumpai sebelumnya.
Aku berendam di dalam kolam mengenakan leggings dan tanktop (kaos tanpa lengan), karena aku membaca bahwa orang Nepal pada umumnya masih menghargai kesopanan. Perempuan di negeri ini kebanyakan memakai pakaian yang menutupi lengan dan lutut. Mungkin mulai banyak gadis-gadis muda di kota besar yang mengenakan pakaian ketat, namun itu pun relatif tertutup. Alangkah baiknya apabila kita sebagai tamu di negeri ini pun, mengikuti kebiasaan yang ada di sana. Setiap hari selama di Nepal, aku hampir selalu mengenakan tank top, karena itu yang paling nyaman untukku. Namun di atasnya selalu kulapisi dengan syal, pashmina, atau jaket, untuk menghormati kebiasaan setempat.
Nah, saat di kolam inilah, aku melihat beberapa perempuan Western (beberapa di antaranya aku tahu pasti dari USA), yang mengenakan bikini, atau kaos tanpa (maaf) bra. Masih ditambah kelakuan mereka yang buatku orang Indonesia saja norak. Bagiku, apa yang mereka lakukan tidaklah pantas. Alangkah baiknya apabila kita berkunjung ke negara lain, sebisa mungkin kita menghargai dan menghormati kebiasaan dan adat istiadat penduduk setempat, dan bukannya menerapkan kebiasaan kita semaunya. Maaf jadi curhat lagi... :(
Kami berendam sampai sekitar 30 menit, kemudian jam 3.45 sore kami keluar dari kolam, dan mandi di pancuran. Tadinya aku tidak berani keramas dan mandi dengan shampoo atau sabun, karena sebelumnya aku membaca sebuah papan yang bertuliskan, sebisa mungkin tidak memakai shampoo dan sabun, karena akan mencemari alam. Tapi kami melihat rata-rata orang mandi dengan sabun, dan banyak sachet shampoo di bebatuan, jadi ya sudahlah, sekali ini sedikit memanjakan diri mandi dan keramas yang bersih dengan sabun shampoo yang kami bawa. Rasanya segar dan menyenangkan sekali bisa mandi air hangat, setelah 3 hari tidak mandi sama sekali semenjak di Deurali hehehehe.... For us, this is a good way to end the trek ^_^
Setelah puas mandi di pancuran, kami ganti baju di ruangan-ruangan tertutup yang disediakan, setelah itu kami pun berjalan kembali ke penginapan. Dengan tubuh yang segar dan jalan yang naik, perjalanan pulang terasa cukup menyenangkan bagiku.
Kami sampai kembali di kamar jam 4.30 sore, dan aku baru menyadari bahwa HP-ku berada di dalam tas kecil bersama dengan pakaian yang masih basah kuyup, dan ternyata HP-nya jadi bergetar setiap saat. Doh! Kok bisa sampai lupa mengantongi setelah ganti baju tadi ya... Aku mematikannya, berusaha mengeringkannya, lalu meletakkannya dengan posisi berdiri di atas kasur. Karena kondisi HP yang seperti ini, sepanjang malam aku tidak bisa memakai HP sama sekali.
Saat pulang dari hot spring ini, ternyata kamar-kamar di kanan kiri kami sudah terisi tamu. Aku tidak tahu yang mengisi kamar di sisi kiri kamar kami, karena tidak pernah bertemu orangnya, tapi yang pasti tamu Western. Sedangkan kamar di kanan ternyata berisi 4 single bed, isinya laki-laki semua, berusia 20-30an tahun, dan sepertinya orang Nepal. Wajah mereka tampaknya sangar dan agak urakan.
Dinding pemisahnya hanya berupa tripleks yang tipis, jadi suara apa pun akan terdengar jelas dari kamar sebelahnya.
Nah, saat kami di dalam kamar inilah, kamar di kanan ini berisik, memutar lagu keras-keras, menyanyi, dan ngobrol keras-keras pula. Untungnya sekitar jam 5 sore mereka berempat pergi, sepertinya ke hot spring.
Kami bersantai di dalam kamar sampai menjelang jam 6 petang, setelah itu kami beranjak ke restoran yang berada di luar ruangan, hendak menanti makan malam karena sudah lapar. Saat itulah baru aku tahu bahwa ternyata ada ruang makan indoor di belakang kasir. Rombongan Korea yang bersama Rohit tampak mulai masuk ke dalam ruang makan ini. Di belakang kasir juga ada sebuah meja dengan colokan listrik di mana kita bisa mengecharge HP, dan tanpa biaya. Jadi aku mengecharge powerbank di sana.
Aku memperhatikan suasana di sekitar tempat makan yang terbuka ini. Di sebelah meja kami ada beberapa orang yang sepertinya multi-etnis, sedang asyik ngobrol dan ngemil keju dan cokelat. Tampaknya mereka kurang friendly kepada orang lain, jadi kami pun tidak menyapa mereka. Sementara itu, sejak pertama kali datang, aku melihat ada lapak yang menjual segala macam souvenir di area ruang makan terbuka ini. Baru malam ini lebih kuperhatikan, penjualnya seorang bapak yang sudah manula. Tidak banyak orang yang berbelanja di lapak ini. Belum lagi jam 6 petang, tidak lama setelah kami duduk di ruangan terbuka ini, tampak sang bapak mulai menutupi barang-barang dagangannya dengan kain, dibantu oleh salah seorang staff penginapan, yang menurut kami adalah putranya. Kasihan sekali melihatnya...
Makanan kami baru dihidangkan jam 6 lewat, dan kami segera makan malam. Selesai makan, kami masih duduk-duduk di sini, sampai kemudian Rohit dan Hare lewat. Mereka berdua kemudian duduk dan ngobrol bersama kami. Sepertinya mereka berdua baru selesai melayani rombongan yang bersama mereka. Kata Rohit, malam ini akan ada pesta untuk merayakan malam terakhir trekking. Katanya nanti akan ada tarian segala.
Benar saja, tiap beberapa saat, terdengar suara riuh rendah, sorak sorai dan tepuk tangan dari rombongan yang berada di dalam ruang makan ini. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus dirayakan. Perjalanan belum lagi berakhir bagi kami. Masih ada satu hari lagi di mana kami harus berjuang untuk pulang.
Kami mengobrol dengan Rohit dan Hare, tapi sama seperti sebelumnya, Hare tidak mau bicara, kebanyakan hanya senyam-senyum dan tertawa saja. Saat Rohit ditanya mengenai cita-citanya di masa depan, katanya dia ingin menjadi seorang penyanyi, dan dia bisa memainkan alat musik gitar. Dia memiliki dua orang adik, yang pertama laki-laki, dan yang lebih kecil perempuan. Uang yang diperolehnya dari hasil bekerja sebagai porter, sebagian diberikan kepada orang tuanya, sebagian lagi dia simpan sendiri.
Sekitar jam 7 malam, kami melihat makanan mulai dihidangkan di meja sebelah kami yang berisi beberapa orang tadi. Mereka semua makan dal bhat. Sementara para trekker makan dengan sangat lahap, tampak guide dan porternya menunggu di samping mereka dengan memegang panci dan wadah nasi. Jadi begitu ada yang nasi atau kuahnya habis, langsung ditawari kalau mau menambah lagi.
Sekitar jam 7.30 malam, Rohit dan Hare dipanggil oleh teman-teman mereka yang sepertinya sedang heboh sekali dan saling bercanda. Tidak lama kemudian aku melihat Rohit memegang gendang untuk main musik. Sepertinya mereka akan didaulat untuk main musik untuk para kliennya.
Sementara itu pemilik penginapan datang dan menawari kami untuk memesan sarapan. Tadinya aku tidak mau memesan sarapan, karena kami berencana hendak mulai jalan jam 6 pagi, dan dari pengalaman selama ini, jarang sekali teahouse yang bisa menyediakan sarapan tepat waktu kalau kami memesan untuk jam 6 pagi. Maka aku tegaskan bahwa kami akan berangkat sepagi mungkin, dan pemiliknya menyanggupi bisa menyediakan sarapan jam 6 pagi. Aku hanya memesan plain fried potatoes seharga NRs 400 dan secangkir kopi susu seharga NRs 90, dengan catatan ketangnya untuk dibungkus saja.
Karena sudah lelah dan mulai dingin, kami pun memutuskan hendak beristirahat. Kami sikat gigi di kran yang disediakan di halaman di depan toilet, dan baru malam ini pertama kali aku masuk ke toiletnya. Sebetulnya toiletnya sendiri cukup bersih dan sudah lebih modern walaupun masih berupa toilet jongkok, namun baunya pesing sekali. Mungkin orang-orang yang memakainya saja yang jorok.
Kami kembali ke dalam kamar. Tidak lama setelah itu, suamiku pun mencoba untuk tidur sambil mendengarkan musik dari HP-nya dengan earphone.
Kamar di kanan yang berisi 4 orang laki-laki muda tadi, sampai agak lama masih mengobrol dan kadang menjatuhkan barang atau meletakkan sesuatu menempel ke dinding tripleks, sehingga cukup mengganggu. Sementara kamar di sebelah kiri kami, penghuninya baru masuk jam 9 malam. Aku mendengar mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Tidak lama kemudian, tampaknya mereka pun tidur. Terdengar suara khas sleeping bag yang bergesekan. Dari arah luar kamar masih terdengar suara gendang, musik, dan sorak sorai sampai lebih dari jam 10 malam. Sepertinya rombongan Korea yang di ruang makan benar-benar menikmati malam terakhir mereka di tempat ini.
Aku sendiri tidak bisa tidur sama sekali, kemungkinan karena minum kopi setelah makan malam tadi. Kucoba menyalakan HP, ternyata bisa. Kadang-kadang masih bergetar sendiri, tapi sudah jauh lebih jarang dibandingkan sebelumnya. Jadi aku mencoba menulis di HP sambil menunggu rasa kantuk datang. Beberapa kali sempat bersin-bersin juga, padahal tidak kedinginan. Tenggorokanku pun mulai terasa sakit, sepertinya bakal kena radang nih.... Akhirnya baru jam 1 malam aku bisa tidur...
Hari ini kami menempuh sekitar 10 KM berjalan kaki, dan hampir sepanjang jalan selalu kepanasan akibat matahari yang bersinar terik. Kondisi kakiku tidak separah kemarin, tapi masih tetap sakit. Aku bersyukur setidaknya masih bisa dipakai berjalan sejauh ini. Aku berharap besok kami bisa cepat sampai di Siwai, agar bisa segera kembali ke Pokhara ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment