11 November 2017
Sepanjang malam aku seringkali terbangun, tidur terasa tidak nyenyak dan masih terasa amat sangat dingin apabila sedikit saja sleeping bag terbuka.
Alarmku berbunyi dengan suara pelan jam 4.15 pagi, dan aku berusaha sesedikit mungkin mengeluarkan suara agar tidak mengganggu yang lainnya. Aku berusaha menyalakan kompor portableku untuk membuat air panas demi secangkir kopi panas. Apa boleh buat, pemantiknya tidak bisa menyala, jadi aku tidak bisa membuat minuman panas pagi ini. Untungnya urusan ke toilet masih cukup lancar ^_^
Baru sewaktu di toilet aku mendapatkan ide untuk menyalakan kompor dengan korek api yang kami bawa, dan ternyata memang bisa! Jadi setidaknya suamiku masih bisa merasakan kopi hangat sewaktu bangun dari tidurnya. Lionel dan Marianne sendiri juga bangun sekitar jam 5 pagi, dan mereka sudah langsung berkemas-kemas, lalu menanti sarapan di ruang makan. Rencananya begitu selesai sarapan mereka akan langsung jalan kaki turun.
Pagi ini suamiku bercerita bahwa semalam dia tidak bisa tidur sama sekali sampai subuh akibat suara mendengkur Lionel yang sangat keras. Kemarin sore saat kami mengatakan kepada Lionel dan MariAnne bahwa kami akan sekamar dengan mereka, MariAnne memang memberi tahu bahwa Lionel kalau tidur mendengkur dan keras sekali, maka aku pun berkata bahwa suamiku juga mendengkur saat tidur. Aku tidak tahu mana yang benar, tapi saat Lionel dan MariAnne masih berada di ruang makan, suamiku sudah tidur dan sudah mendengkur. Justru aku yang tidak bisa tidur sampai lamaaaaa rasanya, dan memang aku mendengar suara mendengkur, yang kupikir adalah suara dengkur suamiku. Mungkin karena aku memakai sleeping bag rapat-rapat, suara dengkur yang kudengar tidaklah keras sekali, namun memang terdengar jelas, dan aku jadi tidak tahu lagi siapa gerangan yang mendengkur semalam hahahaha...
Jam 6 kurang, kami sudah siap dan langsung ke ruang makan, yang sepertinya baru dibuka. Tampak beberapa orang yang tidur di ruangan ini baru saja terbangun. Kemarin sore, saat mengobrol dengan beberapa porter teman-teman kami, aku bertanya-tanya kepada mereka, kalau malam hari tidur di mana? Mereka menjawab di mana saja. Lebih sering di ruang makan, tapi kadang-kadang ada ruangan atau kamar khusus untuk para guide dan porter. Kalau tidur di ruang makan dan tidak kebagian kasur, mereka tidur di mana saja di ruang makan. Bisa tidur di meja, atau bahkan di lantai.Kasihan sekali ya...
Kami duduk di meja makan, dan masih harus menunggu sarapan dihidangkan, padahal tadi malam aku memesan sarapan untuk jam 6 pagi. Aku memesan seporsi noodle soup seharga NRs 350, seporsi plain fried potatoes seharga NRs 540, dan segelas ginger tea seharga NRs 120. Kalau dipikir-pikir, makanan di sini harganya mahal sekali, hanya seporsi kentang yang digoreng dan dimasak, harganya mencapai 72 ribu rupiah. Namun mengingat perjuangan orang-orang yang mengangkut bahan-bahan makanan ke tempat ini, rasanya jadi wajar saja kalau harganya sedemikian tinggi. Sembari menunggu sarapan tersaji, kami membayar dulu di kasir agar nanti setelah selesai makan tidak perlu antri lagi untuk membayar. Total pengeluaran di Snowland Guest House ini sebanyak NRs 2,560. Biaya menginapnya sendiri sebesar NRs 200 per orang. Ini adalah pengeluaran kami yang terbanyak selama trekking. Walaupun sebenarnya cukup mahal, namun bagi sebagian orang mungkin masih murah, karena masih di bawah budget NRs 2,000/orang/hari.
Sewaktu kami masuk ke ruang makan, suasana masih remang-remang. Selagi menunggu sarapan, tampak matahari mulai muncul, maka aku pun bergegas keluar untuk memotret sunrise di balik gunung-gunung. Sinar matahari yang kuning keemasan menimpa puncak-puncak gunung yang bersalju, indah sekali... Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memotretnya.
Saat hendak berjalan kembali ke ruang makan, aku bertemu dengan beberapa porter, dan kami saling bertegur sapa mengucapkan selamat pagi. Para porter dan guide ini tampak sangat sibuk. Ada yang tampak sudah mulai menyiapkan barang-barang bawaan, tapi sebagian besar tampaknya sibuk melayani kebutuhan sarapan. Ada yang hilir mudik membawa makanan dari dapur ke ruang makan (karena kokinya bukan dari penginapan, masaknya pun tidak di dalam dapur restoran). Aku juga melihat beberapa orang yang sedang sibuk mencuci piring dan perabotan lain. Tidak bisa kubayangkan betapa dinginnya mencuci piring dengan air yang nyaris membeku di pagi hari dalam suhu -20 sampai -30 derajat Celcius. Lapisan es di permukaan tanah pun semakin luas dan sedikit lebih tebal dibandingkan kemarin. Benar-benar harus berhati-hati saat berjalan agar tidak terpeleset.
Sarapan kami baru siap disajikan jam 6.20 pagi. Seperti biasa, yang kami makan hanya noodle soup dan sedikit kentang, dan sisanya kami bawa untuk makan siang di jalan. Seusai sarapan, Lionel dan MariAnne langsung bersiap-siap berangkat turun gunung, sementara kami masih kembali untuk berfoto-foto di tempat yang banyak bendera mantranya, kali ini dengan membawa bendera merah putih kebanggaan kita ^_^
Seharusnya sejak kemarin kami berfoto dengan bendera merah putih, tapi karena terlalu excited jadi lupa hehehehe...
Pagi ini belum terlalu ramai di tempat ini, dan kami melihat beberapa biksu. Ternyata mereka pun sedang asyik foto-foto. Di pagi hari yang cerah ini pun kami harus menarik nafas pelan-pelan dan panjang untuk mendapatkan cukup oksigen.
Kami memotret sepuasnya sebelum turun, karena entah kapan lagi kami bisa datang kemari dan melihat pemandangan seperti ini secara langsung. Semuanya tampak begitu indah dipandang.
Annapurna Conservation Area berada di Nepal tengah bagian utara, dan merupakan wilayah yang dilindungi. Luasnya meliputi 7.629 kilometer persegi, dan menjadi cagar alam terbesar dan yang utama di Nepal. Annapurna sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, yang artinya "ia yang memberi makan" atau lebih sering diartikan sebagai dewi panen.
Area ini sangat dikenal karena banyak trek kelas dunia di dalamnya, termasuk di antaranya adalah Annapurna Sanctuary (Annapurna Base Camp Trek) dan Annapurna Circuit.
Di dalam Annapurna Conservation Area ini terdapat sebuah gunung yang puncaknya lebih dari 8.000 meter, 13 gunung dengan puncak lebih dari 7.000 meter, dan 16 gunung yang puncaknya lebih dari 6.000 meter. Annapurna I Main (yang utama) tingginya 9.091 meter, dan menjadi gunung ke-10 tertinggi di dunia. Puncak-puncak Annapurna masuk ke dalam deretan gunung-gunung yang paling mematikan, terutama Annapurna I Main ini.
Beberapa gunung dengan puncak lebih dari 7.000 meter di Annapurna yaitu:
- Annapurna I (Main), dengan ketinggian 8.091 meter (26.545 ft)
- Annapurna II, dengan ketinggian 7.937 meter (26.040 ft)
- Annapurna III, dengan ketinggian 7.555 meter (24.786 ft)
- Annapurna IV, dengan ketinggian 7.525 meter (24.688 ft)
- Gangapurna, dengan ketinggian 7.455 meter (24.457 ft)
- Annapurna South, dengan ketinggian 7.219 meter (23.684 ft)
Puncak-puncak lain yang tidak terlalu menonjol di wilayah pegunungan ini antara lain:
- Annapurna I Central, dengan ketinggian 8.051 m (26.414 ft)
- Annapurna I East, dengan ketinggian 8,010 m (26.280 ft)
- Annapurna Fang, dengan ketinggian 7.647 m (25.089 ft)
- Khangsar Kang, dengan ketinggian 7.485 m (24.557 ft)
- Tarke Kang, dengan ketinggian 7.202 m (23.629 ft)
- Lachenal Peak, dengan ketinggian 7.140 m (23.425 ft)
- Tilicho Peak, dengan ketinggian 7.135 m (23.409 ft)
- Nilgiri Himal North, dengan ketinggian 7.061 m (23.166 ft), Central 6.940 m (22.769 ft) dan South 6.839 m (22.438 ft)
- Machhapuchchhre, dengan ketinggian 6.993 m (22.943 ft)
- Hiunchuli, dengan ketinggian 6.441 m (21.132 ft)
- Gandharba Chuli, dengan ketinggian 6.248 m (20.499 ft)
Puas memotret, kami pun hendak mampir ke toilet sebelum berangkat. Kondisi toilet setelah orang-orang bangun pagi ini benar-benar mengenaskan. Jorok dan bau. Tidak ada air sama sekali di ember, air dari kran pun mati, padahal kemarin sore masih menyala. Lubang toilet penuh dengan kotoran manusia. Sangat menjijikkan, tidak sampai hati rasanya menggunakannya, tapi karena terpaksa, ya bagaimana lagi hiks hiks...
Sementara berjalan kembali, kami melihat banyak porter, beberapa sepertinya baru selesai mencuci piring, sisanya berkumpul dan berkerumun. Sepertinya mereka sedang menanti pembagian upah hasil kerja keras mereka, karena kemudian suamiku melihat mereka mendapatkan uang.
Kami juga bertemu dengan Laxman dan sempat mengobrol sejenak. Kata Laxman, "Sepertinya kita tidak akan mungkin akan bertemu lagi", yang segera kujawab, "Kok bisa? Kita pasti masih bertemu selama perjalanan turun nanti". Kata Laxman, "Kita lihat saja nanti". Kemudian dia berkata, "Aku iri kepada kalian". Dan sewaktu kutanya sebabnya, dia menjawab, "Kalian terlihat saling mendukung satu sama lain. Aku iri sekali". Waah ternyata ada yang sampai memperhatikan seperti itu, aku jadi tersanjung mendengarnya hehehehe...
Setelah mengucapkan perpisahan dan salam kepada beberapa porter teman kami, jam 7.20 pagi kami mulai beranjak meninggalkan Annapurna Base Camp dengan sedikit berat hati. Kami bertemu lagi dengan Ruben, Deivid dan Miguel yang sedang berfoto di papan ucapan selamat datang. Kami sempat berfoto bersama dengan mereka juga. Sementara itu, tampak sebuah helikopter berwarna merah yang mendarat di ABC, dan hanya beberapa menit kemudian sudah terbang lagi. Hmmm... mungkin ada orang-orang kaya yang akan langsung ke Pokhara dari ABC naik helikopter ini ya...
Engkelku yang terkilir dan kedua lututku yang sakit masih belum membaik, dan mulai hari ini aku sudah tidak punya pain killer lagi. Jadi aku berjalan perlahan-lahan, sembari menahan rasa sakit di kedua kakiku. Aku mengenakan 2 pasang kaus kaki sekaligus, yang baru esoknya kusadari, justru menambah sakitku dalam perjalanan turun.
Aku sudah tidak terlalu banyak lagi mengambil foto-foto selama perjalanan turun ini, karena lebih berkonsentrasi untuk berjalan, padahal pemandangan dari Annapurna Base Camp ke Machhapuchhre Base Camp sungguh luar biasa indahnya. Sungai yang menjadi es tampak begitu indah. Beberapa jejak salju juga tampak di beberapa tempat. Gunung Machhapuchhre tampak sangat jelas berdiri dengan megahnya, dan tekstur permukaan gunung ini tampak begitu jelas pagi ini. Memang seperti batu berlian yang belum diasah, tidak heran disebut The Diamond oleh penduduk lokal.
Kami melewati MBC sekitar jam 9.30 pagi. Dari MBC ke Deurali perjalanan terasa lebih menyakitkan lagi bagiku, karena turunnya sedikit lebih curam dan berbatu-batu. Pemandangan di sini serasa bagaikan suasana di film-film kolosal. Lembah yang dalam dan sangat panjang diapit gunung-gunung yang tinggi di sekitarnya. Indah sekali...
Kami menginjakkan kaki kembali di Deurali menjelang jam 11 siang. Suasana tampak cukup ramai dengan para trekker yang sedang duduk beristirahat di bangku-bangku yang disediakan di luar restoran. Aku jadi teringat lagi pengalaman menginap di ruang makan saat melewati Dream Guest House ini hahahaha.... Benar-benar pengalaman yang luar biasa.
Melewati Deurali, kami menuju ke Himalaya. Kali ini ada suamiku yang membimbingku menyeberangi jembatan pendek yang mengerikan itu. Ternyata masih tampak menyeramkan bagiku. Airnya sangat deras, kalau sampai terpeleset bisa jadi malapetaka. Sebenarnya aku ingin memvideokan saat menyeberang, tapi terlalu takut untuk melakukannya. Batu-batuan yang besar dan tinggi harus dilewati lagi, tapi kali ini berlawanan arah, dan lagi-lagi aku teringat perjuangan kami berdua untuk melewati tempat ini dua hari sebelumnya. Bagiku, beberapa tempat jadi lebih sulit dilewati pada saat turun karena agak licin, curam, dan berpasir. Seringkali aku nyaris terpeleset di sepanjang rute ini
Sampai di desa Himalaya sekitar jam 12.35 siang. Kami pun duduk sejenak di desa ini untuk beristirahat sekaligus makan siang. Banyak juga trekker lain yang sedang duduk-duduk di desa ini, mungkin sedang berhenti makan siang juga. Kami tidak berlama-lama berhenti karena mengejar waktu, apalagi aku tidak bisa berjalan secepat suamiku.
Dari Himalaya menuju Dovan, aku sudah mulai tidak kuat menahan rasa sakit di kakiku. Dengan rute yang hampir selalu turun dan turun dan turun, rasanya kedua kaki ini sangat sakit dipakai menahan berat badan dan backpackku. Aku hanya bisa memaksakan diri untuk terus berjalan perlahan-lahan. Seperti pada waktu berangkat, lebih banyak tempat yang becek atau tergenang air di sepanjang rute ini. Entah karena kakiku sakit sehingga tidak percaya diri atau hanya perasaanku saja, aku nyaris terpeleset saat hendak melewati sebuah mata air, padahal waktu berangkat rasanya tidak licin. Akhirnya kami sampai di Dovan jam 2.15 siang. Suamiku sudah menawarkan untuk berhenti di sini saja, tapi aku menolak. Aku ingin kami sesegera mungkin pulang. Kalau terlalu banyak berhenti dan menginap, justru semakin lama sampainya.
Maka aku mencoba untuk terus berjalan dengan rasa sakit yang makin tak tertahankan, menarik nafas panjang setiap kali melangkah, dan kami melanjutkan lagi perjalanan sampai ke desa Bamboo. Dengan penuh perjuangan (aku saja sih, suamiku berjalan dengan santai dan nyaman hehehehe), akhirnya sampailah kami di desa Bamboo menjelang jam 3.30 sore, dan kami memutuskan untuk bermalam di sini.
Sebetulnya tujuan kami hari ini adalah sampai di Chhomrong atau minimal Bhanuwa, tempat kami menginap beberapa malam lalu dan menitipkan barang-barang kami. Tadinya kupikir kami harus menginap lagi di sana, tapi sewaktu di ABC Thakur menjelaskan bahwa kita tinggal mengambil barang-barang kita saja, dan tidak harus menginap dalam perjalanan pulangnya. Setelah mengetahui hal ini, kami jadi lebih santai, karena berarti tidak harus sampai di Bhanuwa hari ini juga.
Oya, dalam perjalanan turun ini, kami sempat bertemu dengan Faruk lagi. Ternyata Faruk dan adiknya justru tertinggal satu hari, dan hari ini mereka baru akan menuju ABC. Sepertinya Faruk pun tidak menyangka bahwa kami sudah sampai di ABC dan sudah dalam perjalanan turun hehehehe...
Sepanjang jalan turun ini, kami berkali-kali masih bertemu dengan Rohit, Symon, Laxman, dan beberapa porter lain yang sudah menjadi akrab dengan kami. Mereka menyemangati aku sewaktu tahu kakiku sakit untuk berjalan. Pada umumnya mereka akan berkata, "Bisatari. Bistari." Artinya adalah pelan-pelan saja, tidak usah terburu-buru.
Sesampai di Bamboo, kami mencari penginapan terlebih dahulu. Seperti sudah kuceritakan sebelumnya, Bamboo hanyalah sebuah desa yang kecil sekali dengan 6 buah teahouse. Melewati teahouse pertama, tampak rombongan Korea yang kurang menyenangkan dari malam sebelumnya, karenanya kami lewati saja. Aku malas kalau harus satu penginapan dengan mereka lagi. Kemudian setelah berjalan lagi, di sisi kiri tampak penginapan yang kelihatannya lumayan, jadi kami mendatangi tempat ini. Kebetulan tampak Symon sedang duduk di depan penginapan ini. Saat kami bertanya tarif kamar untuk dua orang, pemiliknya yang berwajah agak judes menjawab hanya ada sharing room, dan per orang biayanya NRs 200. Kami masih harus berbagi kamar dengan orang lain.
Saat itu Symon berkata, kalau kami menginap di sharing room, akan satu kamar dengan kliennya, dua pria Korea setengah baya (yang kami tahu agak jorok hahahaha). Aku dan suamiku sudah merasa cukup kapok berbagi kamar dengan orang lain setelah semalam. Bukan karena mereka berisik atau tidak menyenangkan, tapi lebih karena merasa tidak punya privasi dan sungkan mengganggu. Tidur memakai sleeping bag, bergerak sedikit saja akan menimbulkan suara-suara "kemresek" yang cukup keras, jadi semalam aku tidak berani banyak bergerak karena takut berisik. Padahal badan sampai pegal-pegal ingin bolak-balik di kasur hehehehe....
Maka kami pun menolak dengan halus dan mencoba mencari lagi, kali ini ke penginapan di seberangnya, Trekking Guest House. Saat kami bertanya tarif, ternyata sama saja NRs 200/orang. Kamarnya berisi 3 kasur single, dan kalau kami mau private (tidak diisi orang lain lagi), dikenai tarif NRs 500 untuk berdua. Aku mencoba menawar siapa tahu boleh kurang lagi harganya, dan akhirnya ibu pemilik penginapan ini memberikan harga NRs 400 untuk berdua, dan kami pun langsung setuju. Setidaknya dengan harga yang sama dengan tempat sebelumnya, kami bisa mendapatkan private room di tempat ini.
Maka kami pun meletakkan backpack di dalam kamar dan melepaskan sepatu dan kaos kaki. Aduuuuuhh.... lega sekali rasanya telapak kakiku ini. Kamarnya juga sederhana seperti biasanya, hanya berisi 3 buah single bed beserta bantal dan selimutnya, serta sebuah meja kecil di salah satu sudutnya. Setelah mengeluarkan isi backpack, aku pun masak air untuk membuat kopi. Setelah itu kami pun hendak duduk di teras kamar untuk bersantai. Saat aku mencoba melipat kakiku untuk duduk di lantai, rasanya sakit sekali, benar-benar tidak bisa dilipat, jadi aku duduk di bangku yang ada di depan kamar saja. Kami pun bersantai sambil melemaskan kaki dan badan sambil menikmati secangkir kopi. Belum lama duduk diam, udara sudah mulai terasa dingin lagi.
Kami melihat banyak orang yang sudah kami kenal melewati desa ini untuk terus melanjutkan perjalanan, pada umumnya ke Sinuwa atau Chhomrong bagi yang fisiknya kuat. Seharusnya hari ini Lionel dan MariAnne pun menuju Chhomrong. Pasang dan kedua kliennya pun lewat, mereka berkata akan ke Sinuwa. Sementara itu, klien Symon yang baru saja sampai akhirnya memutuskan untuk berjalan sampai ke Sinuwa juga, jadi Symon berpamitan kepada kami. Sementara itu, di tempat kami menginap ini ada serombongan trekker dari Perancis yang ramai sekali. Barang bawaan mereka pun sangat banyak. Beberapa di antara mereka sepertinya sudah lanjut usia. Mereka sedang antri untuk mandi air hangat.
Sekitar jam 4 sore, kami memesan makan malam untuk jam 6 petang nanti. Di Trekking Guest House ini, untuk mandi air panas biayanya NRs 150, dan untuk mengecharge baterai biayanya NRs 100/gadget. Demi pengiritan, hanya suamiku saja yang mengecharge hp-nya dan powerbank-ku, baru setelah itu aku akan mengisi dari powerbank. Ternyata waktu malam harinya diambil, baterainya belum sampai penuh, karena sering mati listrik di sini. Setelah memesan makan malam, kami pun beristirahat sambil merebahkan diri di kasur. Aku memakai sleeping bag agar hangat. Perutku sudah mulai merasa lapar, jadi sembari menunggu waktu, aku makan keju yang masih utuh sejak hari pertama.
Menjelang jam 6 petang, kami masuk ke ruang makan. Tampak beberapa orang sudah duduk di meja-meja makan di ruangan ini. Tidak ada satu pun yang kami kenal. Tidak lama kemudian, makanan kami pun siap dihidangkan. Kami memesan dua porsi egg fried rice seharga @NRs 370 dan seteko black tea seharga NRs 120. Penyajian black tea kali ini dengan termos yang cukup besar, isinya banyak sekali, karenanya sisa black tea kutuang ke dalam botol untuk diminum lagi kemudian. Harga makanan di Bamboo terasa jauh lebih murah daripada di Annapurna Base Camp. Untuk minuman, sejauh yang aku perhatikan selama di Nepal, black tea adalah minuman yang paling murah di dalam menu. Untuk gula, biasanya disediakan terpisah, jadi bisa kita tambahkan sendiri sesuai selera. Kalau tidak disediakan, kita bisa minta. Pada jam makan, biasanya disediakan saus di meja, saus tomat dan saus cabe hijau (yang tidak pedas menurutku), dan kadang ada garam dan merica juga.
Setelah selesai makan malam, kami memesan menu untuk sarapan, lalu menyempatkan diri untuk gosok gigi dan cuci muka terlebih dahulu di kran air yang ada di halaman. Water bladder juga kami isi dengan air dari kran ini. Setelah itu kami berusaha untuk tidur awal, selain karena sangat lelah, tentunya supaya bisa menyimpan lebih banyak energi untuk esok hari...
Di hari ketujuh kami trekking ini, aku merasa kakiku kurang bisa diajak bekerja sama. Sakit begitu mendera, mungkin karena sudah tidak minum pain killer lagi. Aku sangat kesulitan menapakkan kaki di anak tangga yang tingginya lebih dari 10-15 cm. Hari ini aku hampir selalu tertinggal jauh dari suamiku, yang selalu berjalan di depan dan jauh lebih cepat. Seringkali aku terpeleset dan tersandung, karena dalam kondisi normal pun aku memang selalu lemah dalam jalan turun. Kadang-kadang rasanya sampai hampir menangis menahan rasa sakit yang mendera. Kaki kiri: engkel terkilir, dan lutut sakit sekali. Kaki kanan: lutut sakit sekali, dan 3 jari kaki juga sakit sekali akibat banyak menahan berat badan. Selain kakiku yang sakit sekali, kedua telapak tanganku juga lecet-lecet akibat terlalu erat mencengkeram trekking poles. Aku memang berusaha membebankan badanku di tangan supaya kaki tidak terlalu sakit, ternyata malah berakibat seperti ini. Hidungku juga terasa sangat keiring dan agak pedih akibat udara dingin, bahkan sedikit berdarah. Bamboo berada di ketinggian sekitar 2.500 mdpl, karenanya masih dingin sekali di tempat ini.
Sepanjang perjalanan, yang terpikir hanyalah ingin cepat sampai di tujuan. Aku sudah kangen sekali dengan Chautari Pokhara dengan segala kesederhanaannya. Aku sudah kangen dengan Dorje yang lugu dan lucu. Suamiku juga banyak membantuku melalui jembatan-jembatan kecil dan medan yang sulit.
Hari ini kami sudah menempuh sekitar 14 KM berjalan kaki di aneka medan. Tidak terlalu buruk mengingat kondisi kakiku saat ini. Banyak juga trekker lain yang berhenti di Bamboo. Kami masih belum memutuskan besok akan jalan sampai ke mana, karena masih ingin mampir di sebuah desa bernama Jhinnu Danda, yang terkenal dengan sumber air panasnya. Kami berharap bisa mandi atau berendam dengan air hangat setelah menempuh perjalanan yang melelahkan selama berhari-hari ini. Just a small reward for both of us LOL.
Malam itu pun akhirnya kami bisa tidur dengan cukup nyenyak di dalam selimut yang hangat...
To be continued.......
Alarmku berbunyi dengan suara pelan jam 4.15 pagi, dan aku berusaha sesedikit mungkin mengeluarkan suara agar tidak mengganggu yang lainnya. Aku berusaha menyalakan kompor portableku untuk membuat air panas demi secangkir kopi panas. Apa boleh buat, pemantiknya tidak bisa menyala, jadi aku tidak bisa membuat minuman panas pagi ini. Untungnya urusan ke toilet masih cukup lancar ^_^
Baru sewaktu di toilet aku mendapatkan ide untuk menyalakan kompor dengan korek api yang kami bawa, dan ternyata memang bisa! Jadi setidaknya suamiku masih bisa merasakan kopi hangat sewaktu bangun dari tidurnya. Lionel dan Marianne sendiri juga bangun sekitar jam 5 pagi, dan mereka sudah langsung berkemas-kemas, lalu menanti sarapan di ruang makan. Rencananya begitu selesai sarapan mereka akan langsung jalan kaki turun.
Pagi ini suamiku bercerita bahwa semalam dia tidak bisa tidur sama sekali sampai subuh akibat suara mendengkur Lionel yang sangat keras. Kemarin sore saat kami mengatakan kepada Lionel dan MariAnne bahwa kami akan sekamar dengan mereka, MariAnne memang memberi tahu bahwa Lionel kalau tidur mendengkur dan keras sekali, maka aku pun berkata bahwa suamiku juga mendengkur saat tidur. Aku tidak tahu mana yang benar, tapi saat Lionel dan MariAnne masih berada di ruang makan, suamiku sudah tidur dan sudah mendengkur. Justru aku yang tidak bisa tidur sampai lamaaaaa rasanya, dan memang aku mendengar suara mendengkur, yang kupikir adalah suara dengkur suamiku. Mungkin karena aku memakai sleeping bag rapat-rapat, suara dengkur yang kudengar tidaklah keras sekali, namun memang terdengar jelas, dan aku jadi tidak tahu lagi siapa gerangan yang mendengkur semalam hahahaha...
Jam 6 kurang, kami sudah siap dan langsung ke ruang makan, yang sepertinya baru dibuka. Tampak beberapa orang yang tidur di ruangan ini baru saja terbangun. Kemarin sore, saat mengobrol dengan beberapa porter teman-teman kami, aku bertanya-tanya kepada mereka, kalau malam hari tidur di mana? Mereka menjawab di mana saja. Lebih sering di ruang makan, tapi kadang-kadang ada ruangan atau kamar khusus untuk para guide dan porter. Kalau tidur di ruang makan dan tidak kebagian kasur, mereka tidur di mana saja di ruang makan. Bisa tidur di meja, atau bahkan di lantai.Kasihan sekali ya...
Pagi ini saat ke toilet, aku sempat melihat Bhabin teman porter kami dan seorang lagi temannya, keluar dari kamar yang tampaknya kecil dan gelap, persis di sebelah toilet.
Kami duduk di meja makan, dan masih harus menunggu sarapan dihidangkan, padahal tadi malam aku memesan sarapan untuk jam 6 pagi. Aku memesan seporsi noodle soup seharga NRs 350, seporsi plain fried potatoes seharga NRs 540, dan segelas ginger tea seharga NRs 120. Kalau dipikir-pikir, makanan di sini harganya mahal sekali, hanya seporsi kentang yang digoreng dan dimasak, harganya mencapai 72 ribu rupiah. Namun mengingat perjuangan orang-orang yang mengangkut bahan-bahan makanan ke tempat ini, rasanya jadi wajar saja kalau harganya sedemikian tinggi. Sembari menunggu sarapan tersaji, kami membayar dulu di kasir agar nanti setelah selesai makan tidak perlu antri lagi untuk membayar. Total pengeluaran di Snowland Guest House ini sebanyak NRs 2,560. Biaya menginapnya sendiri sebesar NRs 200 per orang. Ini adalah pengeluaran kami yang terbanyak selama trekking. Walaupun sebenarnya cukup mahal, namun bagi sebagian orang mungkin masih murah, karena masih di bawah budget NRs 2,000/orang/hari.
Sewaktu kami masuk ke ruang makan, suasana masih remang-remang. Selagi menunggu sarapan, tampak matahari mulai muncul, maka aku pun bergegas keluar untuk memotret sunrise di balik gunung-gunung. Sinar matahari yang kuning keemasan menimpa puncak-puncak gunung yang bersalju, indah sekali... Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memotretnya.
Saat hendak berjalan kembali ke ruang makan, aku bertemu dengan beberapa porter, dan kami saling bertegur sapa mengucapkan selamat pagi. Para porter dan guide ini tampak sangat sibuk. Ada yang tampak sudah mulai menyiapkan barang-barang bawaan, tapi sebagian besar tampaknya sibuk melayani kebutuhan sarapan. Ada yang hilir mudik membawa makanan dari dapur ke ruang makan (karena kokinya bukan dari penginapan, masaknya pun tidak di dalam dapur restoran). Aku juga melihat beberapa orang yang sedang sibuk mencuci piring dan perabotan lain. Tidak bisa kubayangkan betapa dinginnya mencuci piring dengan air yang nyaris membeku di pagi hari dalam suhu -20 sampai -30 derajat Celcius. Lapisan es di permukaan tanah pun semakin luas dan sedikit lebih tebal dibandingkan kemarin. Benar-benar harus berhati-hati saat berjalan agar tidak terpeleset.
Sarapan kami baru siap disajikan jam 6.20 pagi. Seperti biasa, yang kami makan hanya noodle soup dan sedikit kentang, dan sisanya kami bawa untuk makan siang di jalan. Seusai sarapan, Lionel dan MariAnne langsung bersiap-siap berangkat turun gunung, sementara kami masih kembali untuk berfoto-foto di tempat yang banyak bendera mantranya, kali ini dengan membawa bendera merah putih kebanggaan kita ^_^
Seharusnya sejak kemarin kami berfoto dengan bendera merah putih, tapi karena terlalu excited jadi lupa hehehehe...
Pagi ini belum terlalu ramai di tempat ini, dan kami melihat beberapa biksu. Ternyata mereka pun sedang asyik foto-foto. Di pagi hari yang cerah ini pun kami harus menarik nafas pelan-pelan dan panjang untuk mendapatkan cukup oksigen.
Kami memotret sepuasnya sebelum turun, karena entah kapan lagi kami bisa datang kemari dan melihat pemandangan seperti ini secara langsung. Semuanya tampak begitu indah dipandang.
Annapurna Conservation Area berada di Nepal tengah bagian utara, dan merupakan wilayah yang dilindungi. Luasnya meliputi 7.629 kilometer persegi, dan menjadi cagar alam terbesar dan yang utama di Nepal. Annapurna sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, yang artinya "ia yang memberi makan" atau lebih sering diartikan sebagai dewi panen.
Area ini sangat dikenal karena banyak trek kelas dunia di dalamnya, termasuk di antaranya adalah Annapurna Sanctuary (Annapurna Base Camp Trek) dan Annapurna Circuit.
Di dalam Annapurna Conservation Area ini terdapat sebuah gunung yang puncaknya lebih dari 8.000 meter, 13 gunung dengan puncak lebih dari 7.000 meter, dan 16 gunung yang puncaknya lebih dari 6.000 meter. Annapurna I Main (yang utama) tingginya 9.091 meter, dan menjadi gunung ke-10 tertinggi di dunia. Puncak-puncak Annapurna masuk ke dalam deretan gunung-gunung yang paling mematikan, terutama Annapurna I Main ini.
Beberapa gunung dengan puncak lebih dari 7.000 meter di Annapurna yaitu:
- Annapurna I (Main), dengan ketinggian 8.091 meter (26.545 ft)
- Annapurna II, dengan ketinggian 7.937 meter (26.040 ft)
- Annapurna III, dengan ketinggian 7.555 meter (24.786 ft)
- Annapurna IV, dengan ketinggian 7.525 meter (24.688 ft)
- Gangapurna, dengan ketinggian 7.455 meter (24.457 ft)
- Annapurna South, dengan ketinggian 7.219 meter (23.684 ft)
Puncak-puncak lain yang tidak terlalu menonjol di wilayah pegunungan ini antara lain:
- Annapurna I Central, dengan ketinggian 8.051 m (26.414 ft)
- Annapurna I East, dengan ketinggian 8,010 m (26.280 ft)
- Annapurna Fang, dengan ketinggian 7.647 m (25.089 ft)
- Khangsar Kang, dengan ketinggian 7.485 m (24.557 ft)
- Tarke Kang, dengan ketinggian 7.202 m (23.629 ft)
- Lachenal Peak, dengan ketinggian 7.140 m (23.425 ft)
- Tilicho Peak, dengan ketinggian 7.135 m (23.409 ft)
- Nilgiri Himal North, dengan ketinggian 7.061 m (23.166 ft), Central 6.940 m (22.769 ft) dan South 6.839 m (22.438 ft)
- Machhapuchchhre, dengan ketinggian 6.993 m (22.943 ft)
- Hiunchuli, dengan ketinggian 6.441 m (21.132 ft)
- Gandharba Chuli, dengan ketinggian 6.248 m (20.499 ft)
Puas memotret, kami pun hendak mampir ke toilet sebelum berangkat. Kondisi toilet setelah orang-orang bangun pagi ini benar-benar mengenaskan. Jorok dan bau. Tidak ada air sama sekali di ember, air dari kran pun mati, padahal kemarin sore masih menyala. Lubang toilet penuh dengan kotoran manusia. Sangat menjijikkan, tidak sampai hati rasanya menggunakannya, tapi karena terpaksa, ya bagaimana lagi hiks hiks...
Sementara berjalan kembali, kami melihat banyak porter, beberapa sepertinya baru selesai mencuci piring, sisanya berkumpul dan berkerumun. Sepertinya mereka sedang menanti pembagian upah hasil kerja keras mereka, karena kemudian suamiku melihat mereka mendapatkan uang.
Kami juga bertemu dengan Laxman dan sempat mengobrol sejenak. Kata Laxman, "Sepertinya kita tidak akan mungkin akan bertemu lagi", yang segera kujawab, "Kok bisa? Kita pasti masih bertemu selama perjalanan turun nanti". Kata Laxman, "Kita lihat saja nanti". Kemudian dia berkata, "Aku iri kepada kalian". Dan sewaktu kutanya sebabnya, dia menjawab, "Kalian terlihat saling mendukung satu sama lain. Aku iri sekali". Waah ternyata ada yang sampai memperhatikan seperti itu, aku jadi tersanjung mendengarnya hehehehe...
Setelah mengucapkan perpisahan dan salam kepada beberapa porter teman kami, jam 7.20 pagi kami mulai beranjak meninggalkan Annapurna Base Camp dengan sedikit berat hati. Kami bertemu lagi dengan Ruben, Deivid dan Miguel yang sedang berfoto di papan ucapan selamat datang. Kami sempat berfoto bersama dengan mereka juga. Sementara itu, tampak sebuah helikopter berwarna merah yang mendarat di ABC, dan hanya beberapa menit kemudian sudah terbang lagi. Hmmm... mungkin ada orang-orang kaya yang akan langsung ke Pokhara dari ABC naik helikopter ini ya...
Engkelku yang terkilir dan kedua lututku yang sakit masih belum membaik, dan mulai hari ini aku sudah tidak punya pain killer lagi. Jadi aku berjalan perlahan-lahan, sembari menahan rasa sakit di kedua kakiku. Aku mengenakan 2 pasang kaus kaki sekaligus, yang baru esoknya kusadari, justru menambah sakitku dalam perjalanan turun.
Aku sudah tidak terlalu banyak lagi mengambil foto-foto selama perjalanan turun ini, karena lebih berkonsentrasi untuk berjalan, padahal pemandangan dari Annapurna Base Camp ke Machhapuchhre Base Camp sungguh luar biasa indahnya. Sungai yang menjadi es tampak begitu indah. Beberapa jejak salju juga tampak di beberapa tempat. Gunung Machhapuchhre tampak sangat jelas berdiri dengan megahnya, dan tekstur permukaan gunung ini tampak begitu jelas pagi ini. Memang seperti batu berlian yang belum diasah, tidak heran disebut The Diamond oleh penduduk lokal.
Kami melewati MBC sekitar jam 9.30 pagi. Dari MBC ke Deurali perjalanan terasa lebih menyakitkan lagi bagiku, karena turunnya sedikit lebih curam dan berbatu-batu. Pemandangan di sini serasa bagaikan suasana di film-film kolosal. Lembah yang dalam dan sangat panjang diapit gunung-gunung yang tinggi di sekitarnya. Indah sekali...
Kami menginjakkan kaki kembali di Deurali menjelang jam 11 siang. Suasana tampak cukup ramai dengan para trekker yang sedang duduk beristirahat di bangku-bangku yang disediakan di luar restoran. Aku jadi teringat lagi pengalaman menginap di ruang makan saat melewati Dream Guest House ini hahahaha.... Benar-benar pengalaman yang luar biasa.
Melewati Deurali, kami menuju ke Himalaya. Kali ini ada suamiku yang membimbingku menyeberangi jembatan pendek yang mengerikan itu. Ternyata masih tampak menyeramkan bagiku. Airnya sangat deras, kalau sampai terpeleset bisa jadi malapetaka. Sebenarnya aku ingin memvideokan saat menyeberang, tapi terlalu takut untuk melakukannya. Batu-batuan yang besar dan tinggi harus dilewati lagi, tapi kali ini berlawanan arah, dan lagi-lagi aku teringat perjuangan kami berdua untuk melewati tempat ini dua hari sebelumnya. Bagiku, beberapa tempat jadi lebih sulit dilewati pada saat turun karena agak licin, curam, dan berpasir. Seringkali aku nyaris terpeleset di sepanjang rute ini
Sampai di desa Himalaya sekitar jam 12.35 siang. Kami pun duduk sejenak di desa ini untuk beristirahat sekaligus makan siang. Banyak juga trekker lain yang sedang duduk-duduk di desa ini, mungkin sedang berhenti makan siang juga. Kami tidak berlama-lama berhenti karena mengejar waktu, apalagi aku tidak bisa berjalan secepat suamiku.
Dari Himalaya menuju Dovan, aku sudah mulai tidak kuat menahan rasa sakit di kakiku. Dengan rute yang hampir selalu turun dan turun dan turun, rasanya kedua kaki ini sangat sakit dipakai menahan berat badan dan backpackku. Aku hanya bisa memaksakan diri untuk terus berjalan perlahan-lahan. Seperti pada waktu berangkat, lebih banyak tempat yang becek atau tergenang air di sepanjang rute ini. Entah karena kakiku sakit sehingga tidak percaya diri atau hanya perasaanku saja, aku nyaris terpeleset saat hendak melewati sebuah mata air, padahal waktu berangkat rasanya tidak licin. Akhirnya kami sampai di Dovan jam 2.15 siang. Suamiku sudah menawarkan untuk berhenti di sini saja, tapi aku menolak. Aku ingin kami sesegera mungkin pulang. Kalau terlalu banyak berhenti dan menginap, justru semakin lama sampainya.
Maka aku mencoba untuk terus berjalan dengan rasa sakit yang makin tak tertahankan, menarik nafas panjang setiap kali melangkah, dan kami melanjutkan lagi perjalanan sampai ke desa Bamboo. Dengan penuh perjuangan (aku saja sih, suamiku berjalan dengan santai dan nyaman hehehehe), akhirnya sampailah kami di desa Bamboo menjelang jam 3.30 sore, dan kami memutuskan untuk bermalam di sini.
Sebetulnya tujuan kami hari ini adalah sampai di Chhomrong atau minimal Bhanuwa, tempat kami menginap beberapa malam lalu dan menitipkan barang-barang kami. Tadinya kupikir kami harus menginap lagi di sana, tapi sewaktu di ABC Thakur menjelaskan bahwa kita tinggal mengambil barang-barang kita saja, dan tidak harus menginap dalam perjalanan pulangnya. Setelah mengetahui hal ini, kami jadi lebih santai, karena berarti tidak harus sampai di Bhanuwa hari ini juga.
Oya, dalam perjalanan turun ini, kami sempat bertemu dengan Faruk lagi. Ternyata Faruk dan adiknya justru tertinggal satu hari, dan hari ini mereka baru akan menuju ABC. Sepertinya Faruk pun tidak menyangka bahwa kami sudah sampai di ABC dan sudah dalam perjalanan turun hehehehe...
Sepanjang jalan turun ini, kami berkali-kali masih bertemu dengan Rohit, Symon, Laxman, dan beberapa porter lain yang sudah menjadi akrab dengan kami. Mereka menyemangati aku sewaktu tahu kakiku sakit untuk berjalan. Pada umumnya mereka akan berkata, "Bisatari. Bistari." Artinya adalah pelan-pelan saja, tidak usah terburu-buru.
Sesampai di Bamboo, kami mencari penginapan terlebih dahulu. Seperti sudah kuceritakan sebelumnya, Bamboo hanyalah sebuah desa yang kecil sekali dengan 6 buah teahouse. Melewati teahouse pertama, tampak rombongan Korea yang kurang menyenangkan dari malam sebelumnya, karenanya kami lewati saja. Aku malas kalau harus satu penginapan dengan mereka lagi. Kemudian setelah berjalan lagi, di sisi kiri tampak penginapan yang kelihatannya lumayan, jadi kami mendatangi tempat ini. Kebetulan tampak Symon sedang duduk di depan penginapan ini. Saat kami bertanya tarif kamar untuk dua orang, pemiliknya yang berwajah agak judes menjawab hanya ada sharing room, dan per orang biayanya NRs 200. Kami masih harus berbagi kamar dengan orang lain.
Saat itu Symon berkata, kalau kami menginap di sharing room, akan satu kamar dengan kliennya, dua pria Korea setengah baya (yang kami tahu agak jorok hahahaha). Aku dan suamiku sudah merasa cukup kapok berbagi kamar dengan orang lain setelah semalam. Bukan karena mereka berisik atau tidak menyenangkan, tapi lebih karena merasa tidak punya privasi dan sungkan mengganggu. Tidur memakai sleeping bag, bergerak sedikit saja akan menimbulkan suara-suara "kemresek" yang cukup keras, jadi semalam aku tidak berani banyak bergerak karena takut berisik. Padahal badan sampai pegal-pegal ingin bolak-balik di kasur hehehehe....
Maka kami pun menolak dengan halus dan mencoba mencari lagi, kali ini ke penginapan di seberangnya, Trekking Guest House. Saat kami bertanya tarif, ternyata sama saja NRs 200/orang. Kamarnya berisi 3 kasur single, dan kalau kami mau private (tidak diisi orang lain lagi), dikenai tarif NRs 500 untuk berdua. Aku mencoba menawar siapa tahu boleh kurang lagi harganya, dan akhirnya ibu pemilik penginapan ini memberikan harga NRs 400 untuk berdua, dan kami pun langsung setuju. Setidaknya dengan harga yang sama dengan tempat sebelumnya, kami bisa mendapatkan private room di tempat ini.
Maka kami pun meletakkan backpack di dalam kamar dan melepaskan sepatu dan kaos kaki. Aduuuuuhh.... lega sekali rasanya telapak kakiku ini. Kamarnya juga sederhana seperti biasanya, hanya berisi 3 buah single bed beserta bantal dan selimutnya, serta sebuah meja kecil di salah satu sudutnya. Setelah mengeluarkan isi backpack, aku pun masak air untuk membuat kopi. Setelah itu kami pun hendak duduk di teras kamar untuk bersantai. Saat aku mencoba melipat kakiku untuk duduk di lantai, rasanya sakit sekali, benar-benar tidak bisa dilipat, jadi aku duduk di bangku yang ada di depan kamar saja. Kami pun bersantai sambil melemaskan kaki dan badan sambil menikmati secangkir kopi. Belum lama duduk diam, udara sudah mulai terasa dingin lagi.
Kami melihat banyak orang yang sudah kami kenal melewati desa ini untuk terus melanjutkan perjalanan, pada umumnya ke Sinuwa atau Chhomrong bagi yang fisiknya kuat. Seharusnya hari ini Lionel dan MariAnne pun menuju Chhomrong. Pasang dan kedua kliennya pun lewat, mereka berkata akan ke Sinuwa. Sementara itu, klien Symon yang baru saja sampai akhirnya memutuskan untuk berjalan sampai ke Sinuwa juga, jadi Symon berpamitan kepada kami. Sementara itu, di tempat kami menginap ini ada serombongan trekker dari Perancis yang ramai sekali. Barang bawaan mereka pun sangat banyak. Beberapa di antara mereka sepertinya sudah lanjut usia. Mereka sedang antri untuk mandi air hangat.
Sekitar jam 4 sore, kami memesan makan malam untuk jam 6 petang nanti. Di Trekking Guest House ini, untuk mandi air panas biayanya NRs 150, dan untuk mengecharge baterai biayanya NRs 100/gadget. Demi pengiritan, hanya suamiku saja yang mengecharge hp-nya dan powerbank-ku, baru setelah itu aku akan mengisi dari powerbank. Ternyata waktu malam harinya diambil, baterainya belum sampai penuh, karena sering mati listrik di sini. Setelah memesan makan malam, kami pun beristirahat sambil merebahkan diri di kasur. Aku memakai sleeping bag agar hangat. Perutku sudah mulai merasa lapar, jadi sembari menunggu waktu, aku makan keju yang masih utuh sejak hari pertama.
Menjelang jam 6 petang, kami masuk ke ruang makan. Tampak beberapa orang sudah duduk di meja-meja makan di ruangan ini. Tidak ada satu pun yang kami kenal. Tidak lama kemudian, makanan kami pun siap dihidangkan. Kami memesan dua porsi egg fried rice seharga @NRs 370 dan seteko black tea seharga NRs 120. Penyajian black tea kali ini dengan termos yang cukup besar, isinya banyak sekali, karenanya sisa black tea kutuang ke dalam botol untuk diminum lagi kemudian. Harga makanan di Bamboo terasa jauh lebih murah daripada di Annapurna Base Camp. Untuk minuman, sejauh yang aku perhatikan selama di Nepal, black tea adalah minuman yang paling murah di dalam menu. Untuk gula, biasanya disediakan terpisah, jadi bisa kita tambahkan sendiri sesuai selera. Kalau tidak disediakan, kita bisa minta. Pada jam makan, biasanya disediakan saus di meja, saus tomat dan saus cabe hijau (yang tidak pedas menurutku), dan kadang ada garam dan merica juga.
Setelah selesai makan malam, kami memesan menu untuk sarapan, lalu menyempatkan diri untuk gosok gigi dan cuci muka terlebih dahulu di kran air yang ada di halaman. Water bladder juga kami isi dengan air dari kran ini. Setelah itu kami berusaha untuk tidur awal, selain karena sangat lelah, tentunya supaya bisa menyimpan lebih banyak energi untuk esok hari...
Hari ini kami sudah menempuh sekitar 14 KM berjalan kaki di aneka medan. Tidak terlalu buruk mengingat kondisi kakiku saat ini. Banyak juga trekker lain yang berhenti di Bamboo. Kami masih belum memutuskan besok akan jalan sampai ke mana, karena masih ingin mampir di sebuah desa bernama Jhinnu Danda, yang terkenal dengan sumber air panasnya. Kami berharap bisa mandi atau berendam dengan air hangat setelah menempuh perjalanan yang melelahkan selama berhari-hari ini. Just a small reward for both of us LOL.
Malam itu pun akhirnya kami bisa tidur dengan cukup nyenyak di dalam selimut yang hangat...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment