10 November 2017
Semalam beberapa kali aku terjaga dengan perasaan agak gelisah, karena masih belum tahu hari ini akan seperti apa. Pagi hari aku bangun jam 4, karena walaupun perjalanan hari ini kata orang tidak terlalu sulit dan tidak terlalu panjang, namun aku tidak mau sampai harus berebutan toilet dengan orang lain. Tidak nyaman rasanya kalau sedang jongkok ada yang mengetuk toiletnya. Dan herannya, tadi aku sudah ke toilet sangat pagi, dan malah ada yang nyaris membuka toilet yang sedang kupakai (selotnya memang tidak bisa rapat sekali), padahal pintunya jelas-jelas tertutup. Untung saja tidak sampai terbuka. Akhirnya orang tersebut memakai toilet di sebelah toilet yang sedang kugunakan.
Untuk diketahui, setiap penginapan/guesthouse/teahouse hanya memiliki biasanya 1-2 kamar mandi dan 1-2 toilet. Padahal kadang tamu yang menginap sangat banyak, bisa berpuluh orang. Karenanya kita sendiri yang harus pandai-pandai mengatur waktu untuk urusan toilet. Pada umumnya, para pemilik teahouse juga membersihkan toiletnya setiap pagi, jadi walaupun kuno dan tradisional pun harusnya cukup memadai. Yang jadi masalah adalah para pengguna toiletnya, para tamu di teahouse. Aku memperhatikan banyak orang yang jorok selama trekking ini, tidak peduli dari mana asalnya. Pernah sekali dua kali aku memakai toilet yang baru saja dipakai oleh trekker dari Korea Selatan (perempuan pula), dan ternyata tidak disiram. Hiiii.... jijik banget sebetulnya, tapi kadang ya kepepet juga karena tidak ada toilet yang lain saat itu. Karenanya kalau tidak kebelet pipis banget, aku cenderung cari tempat pipis di dalam hutan saja sewaktu trekking.
Tapi seperti yang kusebutkan bebeapa hari lalu, yang paling jorok menurutku adalah orang bule/Western. Mereka sepertinya sok bersih, padahal joroknya melebihi orang-orang kita. Aku sering merasa kesal dengan orang-orang semacam ini. Sepertinya mereka memang tidak peduli, bukannya tidak bisa memakai toilet dengan baik dan benar.
Pagi ini aku juga mengambil air dari kran di shower room. Tadi malam aku melihat dua buah galon air di dining room, yang satu bertuliskan air panas, satunya lagi air filter. Kulihat beberapa guide atau porter mengisikan botol minum atau thermos untuk kliennya dari galon-galon ini. Tidak ada tulisan harganya (kalau bayar biasanya diberi tulisan), jadi aku bertanya kepada Pasang, air yang di galon itu apakah gratis? Kata Pasang, biasanya bayar NRs 100. Jadi aku batal mengambilnya. Aku juga sempat bertanya, kalau air yang kita temui di sumber air selama di jalan, apakah bisa diminum? Kata Pasang, air di gunung ini tidak baik untuk diminum.
Kadang-kadang di teahouse atau penginapan disediakan kran air di halaman, biasanya digunakan untuk mencuci pakaian, sikat gigi, atau cuci muka. Tapi di Deurali ini aku sama sekali tidak melihat kran air selain di dalam toilet dan shower room. Dari yang pernah aku baca, semua kran yang ada di daerah ini asalnya dari mata air langsung di pegunungan ini. Jadi biarpun mungkin airnya tidak sebaik air yang difilter, water bladder kuisi air langsung dari shower room saja. Mudah-mudahan tidak sakit perut hahahaha...
Menjelang jam 5 pagi, suamiku bangun, lalu kubuatkan kopi supaya hangat dan tidak mengantuk lagi. Sekitar jam 5.30 pagi, kami cuci muka dan sikat gigi, lalu mengemasi barang-barang kami. Jam 6 pagi sudah siap di meja makan.
Untuk sarapan, semalam kami sudah memesan seporsi noodle soup seharga NRs 310, seporsi plain fried potatoes seharga NRs 400, dan segelas ginger tea seharga NRs 100. Oya, kalau kita memesan teh, kopi, atau minuman lain, pada umumnya belum diberi gula. Nanti di meja disediakan gula pasir atau madu yang bisa kita ambil sendiri sesuai selera kita. Walaupun menu yang kami pesan pada umumnya hanya itu-itu saja, namun penyajian dan rasa dari masing-masing teahouse agak berbeda-beda. Misalnya sama-sama noodle soup (mie kuah), di satu tempat banyak mienya, di lain tempat mienya hanya sedikit tapi banyak kuahnya.
Sebetulnya aku minta sarapan siap jam 6 pagi, tapi pintu baru dibuka dan lampu-lampu dinyalakan menjelang jam 6 pagi, jadi sarapan kami baru siap sekitar jam 6.20 pagi. Seperti biasanya, noodle soup kami makan berdua, ditambah sedikit kentang, dan sisa kentangnya dibawa untuk bekal makan siang. Pagi ini aku minum pain killer terakhir yang kumiliki. Usai sarapan, kami pun membayar total tagihan di Dream Guest House ini sebesar NRs Jam 7 pagi, kami sudah selesai dan siap untuk jalan lagi. Total yang kami habiskan di Dream Guest House ini untuk tempat tidur, makan malam dan sarapan adalah NRs 2,000. Setelah itu, kami bersiap-siap untuk berangkat.
Keluar dari teahouse, aku mencari Pasang. Tampak dia juga sedang bersiap-siap untuk berangkat. Aku bertanya kepadanya, apakah dia jadi mau memesankan tempat untuk kami di ABC? Aku mengatakan kalau memang tidak ada kamar, kasur di dining room pun tidak apa-apa. Lalu Pasang mengambil HP-nya yang masih dicharge di dalam ruang makan, lalu tampak sibuk menelepon.
Setelah beberapa menit bertelepon, Pasang berbalik kepadaku lalu bertanya, kalau sharing room apakah kami mau? Wow, tanpa berpikir dua kali, aku langsung menjawab tentu saja mau! Ini sudah jauh melebihi yang kami harapkan!
Kemudian Pasang menelepon lagi, dan 1-2 menit kemudian dia berbalik kepada kami, katanya sudah dipesankan. Setelah itu, Pasang masuk ke dalam ruang makan, dan keluar lagi dengan secarik kertas yang bertuliskan nama teahouse di mana dia memesankan kami kamar, nomor teleponnya, dan disertai dengan namanya sendiri juga. Kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Pasang. Setelah itu kami pun mulai berjalan.
Baru naik beberapa anak tangga, kami sampai di Deurali Guest House, tempat Dawa menginap. Ternyata rombongan Korea yang kemarin sore sempat kudahului menginap di sini. Tentunya Laxman dan beberapa porter yang kami kenal juga ada di sini. Mereka tampak sedang bersiap untuk berangkat juga. Kami pun mengobrol sejenak bersama mereka. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada Laxman karena sudah bersedia menunggu suamiku sampai lama menyampaikan pesanku kemarin sore.
Pukul 7.25 pagi, kami pun mulai lagi berjalan. Tujuan berikutnya adalah MBC. Setelah dipesankan tempat menginap oleh Pasang, kami jadi agak lega, dan aku tahu aku tidak perlu jalan terlalu terburu-buru untuk hari ini. Aku bisa berjalan lebih santai dan rileks menemani suamiku, yang aku tahu pasti akan lambat dalam perjalanan naik ini.
Rute dari Deurali menuju MBC ini normalnya bisa ditempuh dalam waktu 2 jam, namun mungkin tidak semua orang akan bisa secepat itu. Bukan karena faktor medan yang terlalu sulit, namun lebih karena udara akan mulai menipis, sehingga akan lebih sulit bernafas. Thakur pun sudah berpesan agar kami berjalan pelan-pelan saja untuk mencegah AMS, terutama nanti dari MBC menuju ABC.
Di awal perjalanan, kami menjumpai sungai Modi Khola yang indah dan mengalir dengan deras. Dikatakan dalam bulan-bulan ini, debit airnya termasuk sangat kecil. Kalau sedang musim banyak hujan, airnya bisa deras sekali.
Medannya sendiri tidak seberat kemarin. Di awal jalannya lebih banyak menyusuri sisi bukit dengan jurang di sisi kanan dan agak terjal menanjaknya. Kadang jalannya sangat sempit sampai benar-benar merinding kalau melihat ke arah kanan bawah. Pada dasarnya aku memang selalu takut pada ketinggian hehehehe... Setelah itu jalannya relatif tidak terlalu menanjak dan jalannya pun lebar, namun agak berbatu-batu. Kami bertemu lagi dengan rombongan Korea yang bersama Laxman, dan lagi-lagi diajak foto beramai-ramai bersama mereka. Setelah itu kami juga berfoto dengan Laxman dan guide yang satu lagi. Pemandangan sepanjang perjalanan tampak indah, dengan view Annapurna tampak jauh di depan, suara air sungai mengalir di sisi kanan kami, dan pegunungan mengelilingi kami.
Aku berjalan perlahan-lahan, seringkali menunggu suami tercinta yang jalannya lebih perlahan lagi, karena semenjak setengah perjalanan sakit kepalanya kambuh lagi. Kami dilewati banyak trekker lain, banyak di antaranya yang sudah sering kami jumpai dalam perjalanan hari-hari sebelumnya. Beberapa ratus meter menjelang sampai di MBC, jalannya makin berbatu-batu dan tanjakannya lumayan tajam, diakhiri beberapa ratus anak tangga yang harus kami lewati untuk sampai ke desa ini.
Rute yang seharusnya ditempuh dalam waktu 2 jam, kami tempuh dalam waktu 3,5 jam. Lama yah? Nggak apa-apa lah, sambil dinikmati... ^_^
Machhapuchhre Base Camp berada pada ketinggian 3.700 mdpl, jadi tidak heran kalau sebelum sampai di tempat ini nafas sudah mulai terasa berat. Dianjurkan memang untuk tidak berjalan terlalu cepat, karena bagi yang tidak kuat, bisa dengan mudah terserang AMS. Aku sampai lebih dulu di MBC, dan ketika sedang memotret pemandangan sekitar sambil menunggu suamiku tiba, lagi-lagi diajak foto-foto bersama oleh para bapak dari sebuah rombongan Korea Selatan lainnya ^_^
Suamiku sampai di MBC menjelang jam 11 siang, dan kami berdua mencari teahouse yang disebut oleh Thakur kemarin, yaitu Gurung Co-Operative Guest House, dengan maksud hendak menitipkan pesan kepada Thakur bahwa kami sudah dapat penginapan di ABC. Setelah kami sampai di tempat yang dimaksud, ternyata pemiliknya tidak kenal dengan Thakur, jadi kami membeli segelas kopi susu saja dan duduk-duduk di meja di luar restoran sembari beristirahat sejenak. Mumpung ada meja dan kursi, kami sekalian makan siang dengan kentang sisa sarapan tadi pagi.
Udara sudah terasa sangat dingin di tempat ini walaupun matahari bersinar dengan terik. Kalau sedang berjalan memang tidak terlalu terasa, tapi berhenti tidak sampai 5 menit saja kami sudah merasa kedinginan. Kami pun duduk di bawah sinar matahari untuk berjemur. Pemandangan di tempat ini sungguh sangat indah, dan puncak Annapurna sudah tampak jauh lebih dekat, sementara puncak gunung Machhapuchhre ada di sisi timur, berdiri dengan anggun dan megahnya. Sayang saat itu sinar matahrinya terlalu keras, jadi sulit memotret keindahannya.
Machhapuchhre sendiri berarti fish tail, jadi kalau di awal aku sempat beberapa kali menyebutkan "puncak Fish Tail", ya sebenarnya sama saja dengan Machhapuchhre ini. Orang sekitar seringkali menyebut gunung Machhapuchhre ini The Diamond, karena bentuk puncaknya yang sangat indah dan seperti dipahat, bagaikan berlian. Puncak gunung Machhapuchhre mencapai ketinggian 6.993 meter. Gunung ini dianggap suci oleh penduduk di Nepal, yakni milik dewa Shiva, dan karenanya tidak boleh didaki. Satu-satunya orang yang mencoba mendakinya adalah Letkol Jimmy Roberts dari Inggris pada tahun 1957, bersama dua pendaki lainnya, Wilfrid Noyce dan A. D. M. Cox. Mereka hanya mendaki sampai jarak 150 meter dari puncak, dan tidak melanjutkannya lagi, karena telah berjanji kepada penduduk setempat untuk tidak sampai summit yang sesungguhnya. Sejak saat itu, gunung ini benar-benar terlarang bagi para pendaki.
Setelah beristirahat selama sekitar 15-20 menit di MBC, kami melanjutkan lagi perjalanan, yakni rute terakhir menuju Annapurna Base Camp!
Kalau boleh sedikit sombong, sebetulnya ini medan yang sangat mudah bagiku, jalannya menanjak tapi relatif landai, tidak ada lagi jalan setapak yang curam. Tidak ada jurang di kanan maupun kiri. Dan apabila kita melihat ke depan, belakang, maupun ke samping kanan dan kiri, pemandangannya sungguh terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata! Yang terlihat di depan mata benar-benar seperti sebuah lukisan, sulit dipercaya bahwa semuanya nyata.
Annapurna Mountain berada tepat di depan kita, sementara Fish Tail/Machhapuchhre/The Diamond berada di belakang kita. Di samping kiri tampak pegunungan yang masih ditutupi bercak-bercak salju, tampak seperti Lindiss Pass di New Zealand saat musim dingin. Sungai Modi Khola yang airnya sudah setengah membeku di trek ini menemani perjalanan di sisi kiri kita. Semuanya sungguh indah! Di beberapa tempat juga banyak terdapat formasi batu-batuan yang tampak seperti Castle Hill di New Zealand.
Ada saat di mana aku sedang berdiri dan beristirahat sembari memotret, saat seorang pria muda Nepal berhenti di dekatku untuk istirahat di sebuah batu besar. Dia membawa sebuah keranjang dari bambu yang berisi peralatan masak, yang kemudian disandarkannya di batu tersebut. Aku sedang mengobrol basa basi dengannya, ketika seorang anak laki-laki berusia belasan tahun (mungkin sekitar 15-16 tahun) tiba-tiba bertanya, "this way to ABC?" Duh, tidak ada sapaan hallo, tidak ada namaste, tiba-tiba bertanya seperti itu. Jelas tidak kujawab, karena sopan santunnya nol. Oleh pemuda Nepal ini pun hanya dijawab dengan anggukan. Dan seperti sudah kuduga, tidak ada kata terima kasih terucap setelah itu. Anak laki-laki itu hanya berkata, "okay", dan berlalu begitu saja. Aku sempat menggeleng-gelengkan kepala, dan si pemuda Nepal ini hanya tersenyum.
Di hari ke-9 baru aku melihat anak laki-laki ini lagi, ternyata dia trekking bersama ibunya, dan mereka berasal dari USA. Aku jadi semakin tidak suka pada para orang-orang bule yang model seperti ini. Kelihatan sekali mereka sangat meremehkan orang lain. Ugh... jadi curhat nih...
Sepanjang jalan dari MBC menuju ke ABC, aku menjumpai banyak orang, yang aku tahu berangkat dari Deurali juga, berjalan berbalik arah. Saat kutanya kenapa sudah kembali, mereka menjawab, sudah tidak ada lagi tempat untuk menginap di Annapurna Base Camp. Bahkan kasur di dining room pun tidak ada. Aku sungguh bersyukur pagi tadi Pasang berhasil memesankan tempat untuk kami!
Aku berjalan perlahan-lahan dengan mengatur nafas sebaik mungkin karena makin lama memang terasa sekali bahwa udara sudah semakin tipis, semakin sulit untuk bernafas normal seperti biasanya. Bagi yang belum pernah trekking di tempat setinggi ini, rasanya seperti agak sesak nafas. Menghirup dan menghela nafasnya harus pelan-pelan dan panjang-panjang supaya oksigen yang masuk mencukupi. Karenanya irama untuk melangkahkan kaki pun kusamakan dengan irama bernafas. Dengan cara ini, aku tidak sampai ngos-ngosan. Sementara itu, menjelang jam 1 siang kabut mulai turun dan seringkali menutupi puncak-puncak gunung yang indah tadi, sehingga kadang hanya tampak sebagian saja atau tertutup kabut semua. Namun ada saatnya angin bertiup dan puncak-puncak gunung ini tampak semakin jelas dan dekat. They looked so amazing!
Suamiku seperti biasa, tertinggal jauh di belakang. Ditambah udara yang tipis dan sakit kepalanya, jalannya sangat lambat. Di rute inilah, akhirnya aku berkenalan dengan seorang porter, namanya Symon. Sebetulnya aku sudah sering melihatnya sepanjang perjalanan yang lalu di hari-hari awal, masih tampak muda dengan wajahnya yang rupawan, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron hahahaha... Hanya saja aku merasa dia agak diam dan kurang ramah kalau kusapa. Sama juteknya dengan Pasang.
Saat itu aku sedang berjalan selangkah demi selangkah sambil mengatur nafas, dan Symon berjalan di belakangku, lalu dia berkata, "Jalanmu cepat sekali, jangan cepat-cepat". Saat itu kujawab, "Kamu yang jalannya cepat, aku lambat kok"
Dari situlah kemudian kami mulai mengobrol. Symon berjalan dengan seorang temannya, porter juga, namun klien mereka berbeda. Klien Symon adalah dua orang laki-laki berusia 50-60 tahun dari Korea Selatan yang jalannya juga termasuk lambat. Jadi kalau aku berhenti atau duduk untuk menunggu suamiku sampai, Symon dan temannya juga ikut berhenti untuk menunggu klien mereka.
Karena sepertinya sudah tidak jutek lagi, aku berani bertanya-tanya mengenai ini itu dan mengajak Symon ngobrol. Lama-kelamaan dia mulai membuka diri dan banyak bercerita mengenai kehidupannya sehari-hari dan nasibnya sebagai porter.Teman Symon yang bersama kami orangnya ramah dengan mimik muka yang lucu, tapi pendiam, hanya sesekali menjawab kalau ditanya saja, karenanya aku jadi lupa namanya hahahaha... apalagi setelah hari itu aku tidak bertemu lagi dengannya.
Symon adalah pemuda Nepal berusia 21 tahun yang tinggal di Pokhara. Trekking menuju Annapurna Base Camp ini merupakan pengalaman pertamanya menjadi seorang porter. Dia bercerita, sebenarnya banyak orang Nepal yang ingin trekking di negaranya sendiri, namun karena biayanya sama dengan turis dan relatif mahal bagi mereka, maka keinginan tersebut harus dipendam. Menjadi porter adalah salah satu cara mereka-mereka yang fisiknya cukup kuat untuk bisa ikut trekking gratis, bahkan dibayar. Menurut Symon, dalam sehari dia dibayar NRs 1,200, yang mana masih dipotong 2 X NRs 200 untuk dua kali makan dalam sehari. Dalam sehari dia masih bisa menabung NRs 800 untuk dirinya sendiri. Nominal uang ini tentunya relatif kecil apabila dibandingkan dengan perjuangannya yang harus membawa beban berat setiap hari, dari pagi sampai sore, naik turun gunung.
Sementara itu, mencari pekerjaan di Nepal juga sulit, karenanya menjadi porter adalah pilihan satu-satunya saat itu.
Katanya dia dulu punya pacar, tapi orang tua pacarnya tidak setuju, mungkin karena dia miskin. Menurut Symon, gadis-gadis di Kathmandu maupun Pokhara sekarang ini hanya mau pacaran dengan pemuda yang punya mobil atau motor yang keren, dengan kata lain cewek matre. Aku rasa hal ini terjadi tidak hanya di Nepal saja ya, tapi di mana-mana, termasuk di Indonesia juga pastinya...
Dari banyak berbincang-bincang dengan Symon inilah, aku pun akhirnya bercerita bahwa aku dan suamiku bukanlah orang yang berlebihan harta. Kami backpacking karena inilah yang bisa kami lakukan. Kami trekking karena kami cinta dan ingin lebih dekat dengan alam. Dan karena kondisi kesehatanku yang tidak terlalu baik, aku justru ingin melakukan hal-hal yang kuinginkan selagi aku masih mampu melakukannya. Symon tampak sekali sangat berubah sikapnya hari ini dibanding kemarin-kemarin. Dia tampak sangat ceria, bahkan cerewet sekali hahahaha....
Aku tahu, kebanyakan orang, trekker, dari Western khususnya (tidak semua lho ya, karena aku tahu betul beberapa orang yang tidak seperti itu), menganggap porter atau guide hanyalah sebagai pesuruh. Mereka jarang diajak bicara apalagi mengobrol akrab., karenanya mungkin jadi berprasangka negatif terhadap semua turis. Jangankan porter atau guide, aku melihat sendiri betapa banyak orang dari negara-negara Western yang katanya negara-negara maju ini, seringkali memandang sebelah mata kepada orang-orang Asia pada umumnya. Kebanyakan mereka hanya mau saling bertegur sapa dengan "sesama" mereka sendiri. Aku kasihan kepada mereka yang katanya berpendidikan tinggi tapi maaf saja, kelakuannya kadang tidak mencerminkan pendidikannya. Hmmm jadi curhat lagi deh...
Sekitar pukul 2 siang, suamiku menyuruhku untuk jalan dulu saja, katanya dia akan pelan-pelan. Jadi aku jalan bersama Symon dan temannya ini sambil mengobrol. Kalau kata Symon, kita berjalan semakin menjauh dari Machhapuchhre, tapi justru tampak semakin dekat. Setelah kuperhatikan, betul juga yang dia ucapkan. Tanpa terasa, tepat pukul 2.27 siang, kami bertiga mencapai Annapurna Base Camp di ketinggian 4.130 mdpl! Wah, akhirnya sampai juga di tempat ini! Tempat yang dari beberapa bulan lalu mulai kulihat dari foto-foto di internet dan dari video-video di YouTube. I'm here, finally! I did it! It's sooooo unbelievable!!!
Kami sempat selfie-selfie bersama, dan mereka berdua mengajariku cara mengucapkan selamat datang di sini. "Swagatam cha Annapurnama", demikian bunyinya dalam huruf alfabet normal, aslinya adalah वर्णमाला (pusing kan bacanya?).
Tidak lama setelah kami sampai, teman Symon dipanggil oleh atasannya untuk cepat-cepat datang. Tidak lama setelah itu, klien Symon juga sampai dan dia pun harus mengikuti mereka ke teahouse untuk melayani semua kebutuhan yang diperlukan.
Karena sudah sendirian, aku langsung menuju ke Snowland Guest House, tempat Pasang memesankan kamar untuk kami. Permukaan tanah di sini banyak yang dilapisi es tipis saking dinginnya, termasuk di depan pintu masuk ke restoran. Harus berhati-hati sekali kalau berjalan di atasnya. Aku meletakkan trekking pole di luar, sempat nyaris terpeleset, lalu masuk ke dalam ruang makan, dan menemui salah seorang staff yang tampaknya sedang sibuk di dapur. Setelah kusampaikan bahwa aku sudah memesan kamar, aku disuruh menunggu.
Saat menunggu inilah, aku melihat ternyata di dalam ruang makan ini sudah penuh dengan orang, kebanyakan sepertinya guide dan porter. Saat sedang melayangkan pandangan ke sekeliling, di seberang ruangan tampak ada yang melambai ke arahku. Aku tahu itu adalah Phrobin. Lalu kudatangi dia, dan ternyata di sebelahnya juga ada Thakur. Wah, aku betul-betul senang sekali melihat wajah-wajah ramah ini!
Kami pun bertegur sapa, dan aku langsung menjelaskan kepada Thakur bahwa kami dapat sharing room di teahouse ini. Aku memberikan secarik kertas yang diberikan oleh Pasang kepada Thakur. Begitu Thakur membacanya, dia langsung berdiri dan minta dipanggilkan pemilik penginapan ini. Setelah pemiliknya datang, Thakur berbicara dengannya, dan tampaknya serius sekali. Setelah itu pemilik penginapan ini berjalan entah ke mana, ke arah dapur.
Sementara itu Thakur menyuruhku meletakkan dulu backpackku sembari menunggu. Aku pun menjawab, ah sekarang sudah ringan, karena kami meninggalkan 4-5 kg di Sinuwa. Thakur lalu berkata, So you can dance with it now? Kami pun tertawa-tawa sampai beberapa orang memperhatikam kami. Aku tahu, akrab dengan guide atau porter bukan hal yang biasa mereka lihat di sini...
Tidak lama kemudian, sang pemilik penginapan yang berbadan bulat datang lagi, dan menyerahkan sebuah kunci kepada Thakur. You know what, ternyata kami satu kamar dengan Lionel dan MariAnne! What another nice surprise!
Satu kamar diisi hanya oleh 4 orang, jadi isinya adalah kami berdua dan couple dari perancis ini saja. Setidaknya kami tidak kuatir harus sekamar dengan orang yang tidak kami kenal sama sekali atau orang yang menyebalkan hehehehe...
Thakur lalu bercerita kepadaku, bahwa kemarin malam dia masih berusaha untuk menelepon ke penginapan-penginapan di ABC, mencarikan kamar untuk kami. Semuanya menjawab sudah penuh. Thakur sampai memohon tempat di dining room, tapi tetap dibilang tidak ada, benar-benar penuh. Karena itu Thakur sangat senang aku bisa sampai di sini. Mengenai penginapan yang di MBC, aku bercerita bahwa aku ke sana, tapi kata pemiliknya dia tidak kenal dengan Thakur, lalu Thakur menjelaskan bahwa yang dia kenal di penginapan itu adalah salah satu staffnya.
Siang tadi Thakur juga menelepon ke sana, menanyakan apakah kami berdua menginap di sana, dan staffnya menjawab bahwa kami sudah pergi lagi untuk menuju ABC.
Setelah meletakkan backpack yang kubawa di dalam kamar, aku mengambil notes dan bolpen, lalu kutuliskan account FB dan nomor WhatsApp-ku. Setelah itu aku mengunci kamar dan keluar mencari Symon. Dia dan kliennya menginap di Annapurna Guest House di seberang penginapanku. Aku sudah berjanji kepadanya dan beberapa orang teman porter kami yang lain, untuk memberikan nama account FB-ku kepada mereka.
Memasuki ruang makan Annapurna Guest House, aku langsung mengenali Symon dari warna jaket yang dikenakannya. Maka kudatangi dia dan kuberikan secarik kertas kepadanya, dan kepada 2 orang porter lain yang ada di sana. Aku merasa bahwa orang -orang yang ada di ruangan ini menatapku, mungkin heran dengan apa yang sedang kulakukan.
Kemudian aku keluar dan kembali ke Snowland Guest House, dan aku melakukan hal yang sama. Kuberikan kertas-kertas ini kepada 2-3 orang porter di sana, saat aku melihat Pasang sedang berdiri. Aku pun sekali lagi berterima kasih kepada Pasang, karena tanpanya aku tidak akan berada di sini sekarang. Entah memakai kartu SIM apa, Pasang bisa langsung melihat profil FB-ku, dan langsung mengirimkan message di FB (yang baru bisa kubaca 2 hari kemudian). Dia juga memberikan sebuah kartu nama kepadaku.
Setelah itu, aku bergegas keluar untuk menunggu suamiku datang. Aku berdiri di gerbang tanda masuk ke Annapurna Base Camp ini. Thakur, Phrobin dan Symon sepertinya melihatku di luar, lalu mereka menyusul dan menemaniku di sana. Thakur menanyakan lagi mengenai Pasang yang membookingkan kamar untukku dan suamiku. Thakur kuatir bahwa Pasang mungkin saja menginginkan aku dan suamiku sharing satu kamar dengan kliennya, pasangan dari Korea itu. Thakur merasa sungkan kepada Pasang, telah menempatkan aku dan suamiku sekamar dengan Lionel dan MariAnne. Aku memastikan bahwa Pasang memesankan kami kamar random. Kebetulan saat itu Pasang sedang lewat, jadi kupanggil dia. Mereka pun bercakap-cakap sendiri, dan sepertinya masalah sudah beres.
Sementara itu, aku melihat suamiku berjalan perlahan-lahan di kejauhan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 3.20 sore. Sedikit demi sedikit, diakhiri dengan satu set anak tangga dan dengan nafasnya yang terlihat ngos-ngosan akibat oksigen yang tipis, sampailah suamiku di Annapurna Base Camp! Aku menyambutnya dengan kalimat yang baru aku pelajari dari Symon: "Swagatam cha Annapurnama!"
Semua yang ada di situ saat itu tertawa dan sepertinya ikut senang sekali, melihat kami berdua bisa sampai di titik akhir trek ini.
Aku memeluk suamiku dan mensyukuri saat-saat ini, di mana akhirnya kami bisa sampai di tempat yang kami cita-citakan ini. Perjuangan yang tak kenal lelah (sebetulnya lelah banget sih, cuma maksa), peluh, air mata dan darah mewarnai perjalanan kami selama 6 hari terakhir, tak ada satu pun yang kami sesali.
Untuk diketahui, setiap penginapan/guesthouse/teahouse hanya memiliki biasanya 1-2 kamar mandi dan 1-2 toilet. Padahal kadang tamu yang menginap sangat banyak, bisa berpuluh orang. Karenanya kita sendiri yang harus pandai-pandai mengatur waktu untuk urusan toilet. Pada umumnya, para pemilik teahouse juga membersihkan toiletnya setiap pagi, jadi walaupun kuno dan tradisional pun harusnya cukup memadai. Yang jadi masalah adalah para pengguna toiletnya, para tamu di teahouse. Aku memperhatikan banyak orang yang jorok selama trekking ini, tidak peduli dari mana asalnya. Pernah sekali dua kali aku memakai toilet yang baru saja dipakai oleh trekker dari Korea Selatan (perempuan pula), dan ternyata tidak disiram. Hiiii.... jijik banget sebetulnya, tapi kadang ya kepepet juga karena tidak ada toilet yang lain saat itu. Karenanya kalau tidak kebelet pipis banget, aku cenderung cari tempat pipis di dalam hutan saja sewaktu trekking.
Tapi seperti yang kusebutkan bebeapa hari lalu, yang paling jorok menurutku adalah orang bule/Western. Mereka sepertinya sok bersih, padahal joroknya melebihi orang-orang kita. Aku sering merasa kesal dengan orang-orang semacam ini. Sepertinya mereka memang tidak peduli, bukannya tidak bisa memakai toilet dengan baik dan benar.
Pagi ini aku juga mengambil air dari kran di shower room. Tadi malam aku melihat dua buah galon air di dining room, yang satu bertuliskan air panas, satunya lagi air filter. Kulihat beberapa guide atau porter mengisikan botol minum atau thermos untuk kliennya dari galon-galon ini. Tidak ada tulisan harganya (kalau bayar biasanya diberi tulisan), jadi aku bertanya kepada Pasang, air yang di galon itu apakah gratis? Kata Pasang, biasanya bayar NRs 100. Jadi aku batal mengambilnya. Aku juga sempat bertanya, kalau air yang kita temui di sumber air selama di jalan, apakah bisa diminum? Kata Pasang, air di gunung ini tidak baik untuk diminum.
Kadang-kadang di teahouse atau penginapan disediakan kran air di halaman, biasanya digunakan untuk mencuci pakaian, sikat gigi, atau cuci muka. Tapi di Deurali ini aku sama sekali tidak melihat kran air selain di dalam toilet dan shower room. Dari yang pernah aku baca, semua kran yang ada di daerah ini asalnya dari mata air langsung di pegunungan ini. Jadi biarpun mungkin airnya tidak sebaik air yang difilter, water bladder kuisi air langsung dari shower room saja. Mudah-mudahan tidak sakit perut hahahaha...
Menjelang jam 5 pagi, suamiku bangun, lalu kubuatkan kopi supaya hangat dan tidak mengantuk lagi. Sekitar jam 5.30 pagi, kami cuci muka dan sikat gigi, lalu mengemasi barang-barang kami. Jam 6 pagi sudah siap di meja makan.
Untuk sarapan, semalam kami sudah memesan seporsi noodle soup seharga NRs 310, seporsi plain fried potatoes seharga NRs 400, dan segelas ginger tea seharga NRs 100. Oya, kalau kita memesan teh, kopi, atau minuman lain, pada umumnya belum diberi gula. Nanti di meja disediakan gula pasir atau madu yang bisa kita ambil sendiri sesuai selera kita. Walaupun menu yang kami pesan pada umumnya hanya itu-itu saja, namun penyajian dan rasa dari masing-masing teahouse agak berbeda-beda. Misalnya sama-sama noodle soup (mie kuah), di satu tempat banyak mienya, di lain tempat mienya hanya sedikit tapi banyak kuahnya.
Sebetulnya aku minta sarapan siap jam 6 pagi, tapi pintu baru dibuka dan lampu-lampu dinyalakan menjelang jam 6 pagi, jadi sarapan kami baru siap sekitar jam 6.20 pagi. Seperti biasanya, noodle soup kami makan berdua, ditambah sedikit kentang, dan sisa kentangnya dibawa untuk bekal makan siang. Pagi ini aku minum pain killer terakhir yang kumiliki. Usai sarapan, kami pun membayar total tagihan di Dream Guest House ini sebesar NRs Jam 7 pagi, kami sudah selesai dan siap untuk jalan lagi. Total yang kami habiskan di Dream Guest House ini untuk tempat tidur, makan malam dan sarapan adalah NRs 2,000. Setelah itu, kami bersiap-siap untuk berangkat.
Keluar dari teahouse, aku mencari Pasang. Tampak dia juga sedang bersiap-siap untuk berangkat. Aku bertanya kepadanya, apakah dia jadi mau memesankan tempat untuk kami di ABC? Aku mengatakan kalau memang tidak ada kamar, kasur di dining room pun tidak apa-apa. Lalu Pasang mengambil HP-nya yang masih dicharge di dalam ruang makan, lalu tampak sibuk menelepon.
Setelah beberapa menit bertelepon, Pasang berbalik kepadaku lalu bertanya, kalau sharing room apakah kami mau? Wow, tanpa berpikir dua kali, aku langsung menjawab tentu saja mau! Ini sudah jauh melebihi yang kami harapkan!
Kemudian Pasang menelepon lagi, dan 1-2 menit kemudian dia berbalik kepada kami, katanya sudah dipesankan. Setelah itu, Pasang masuk ke dalam ruang makan, dan keluar lagi dengan secarik kertas yang bertuliskan nama teahouse di mana dia memesankan kami kamar, nomor teleponnya, dan disertai dengan namanya sendiri juga. Kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Pasang. Setelah itu kami pun mulai berjalan.
Baru naik beberapa anak tangga, kami sampai di Deurali Guest House, tempat Dawa menginap. Ternyata rombongan Korea yang kemarin sore sempat kudahului menginap di sini. Tentunya Laxman dan beberapa porter yang kami kenal juga ada di sini. Mereka tampak sedang bersiap untuk berangkat juga. Kami pun mengobrol sejenak bersama mereka. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada Laxman karena sudah bersedia menunggu suamiku sampai lama menyampaikan pesanku kemarin sore.
Pukul 7.25 pagi, kami pun mulai lagi berjalan. Tujuan berikutnya adalah MBC. Setelah dipesankan tempat menginap oleh Pasang, kami jadi agak lega, dan aku tahu aku tidak perlu jalan terlalu terburu-buru untuk hari ini. Aku bisa berjalan lebih santai dan rileks menemani suamiku, yang aku tahu pasti akan lambat dalam perjalanan naik ini.
Rute dari Deurali menuju MBC ini normalnya bisa ditempuh dalam waktu 2 jam, namun mungkin tidak semua orang akan bisa secepat itu. Bukan karena faktor medan yang terlalu sulit, namun lebih karena udara akan mulai menipis, sehingga akan lebih sulit bernafas. Thakur pun sudah berpesan agar kami berjalan pelan-pelan saja untuk mencegah AMS, terutama nanti dari MBC menuju ABC.
Di awal perjalanan, kami menjumpai sungai Modi Khola yang indah dan mengalir dengan deras. Dikatakan dalam bulan-bulan ini, debit airnya termasuk sangat kecil. Kalau sedang musim banyak hujan, airnya bisa deras sekali.
Medannya sendiri tidak seberat kemarin. Di awal jalannya lebih banyak menyusuri sisi bukit dengan jurang di sisi kanan dan agak terjal menanjaknya. Kadang jalannya sangat sempit sampai benar-benar merinding kalau melihat ke arah kanan bawah. Pada dasarnya aku memang selalu takut pada ketinggian hehehehe... Setelah itu jalannya relatif tidak terlalu menanjak dan jalannya pun lebar, namun agak berbatu-batu. Kami bertemu lagi dengan rombongan Korea yang bersama Laxman, dan lagi-lagi diajak foto beramai-ramai bersama mereka. Setelah itu kami juga berfoto dengan Laxman dan guide yang satu lagi. Pemandangan sepanjang perjalanan tampak indah, dengan view Annapurna tampak jauh di depan, suara air sungai mengalir di sisi kanan kami, dan pegunungan mengelilingi kami.
Aku berjalan perlahan-lahan, seringkali menunggu suami tercinta yang jalannya lebih perlahan lagi, karena semenjak setengah perjalanan sakit kepalanya kambuh lagi. Kami dilewati banyak trekker lain, banyak di antaranya yang sudah sering kami jumpai dalam perjalanan hari-hari sebelumnya. Beberapa ratus meter menjelang sampai di MBC, jalannya makin berbatu-batu dan tanjakannya lumayan tajam, diakhiri beberapa ratus anak tangga yang harus kami lewati untuk sampai ke desa ini.
Rute yang seharusnya ditempuh dalam waktu 2 jam, kami tempuh dalam waktu 3,5 jam. Lama yah? Nggak apa-apa lah, sambil dinikmati... ^_^
Machhapuchhre Base Camp berada pada ketinggian 3.700 mdpl, jadi tidak heran kalau sebelum sampai di tempat ini nafas sudah mulai terasa berat. Dianjurkan memang untuk tidak berjalan terlalu cepat, karena bagi yang tidak kuat, bisa dengan mudah terserang AMS. Aku sampai lebih dulu di MBC, dan ketika sedang memotret pemandangan sekitar sambil menunggu suamiku tiba, lagi-lagi diajak foto-foto bersama oleh para bapak dari sebuah rombongan Korea Selatan lainnya ^_^
Suamiku sampai di MBC menjelang jam 11 siang, dan kami berdua mencari teahouse yang disebut oleh Thakur kemarin, yaitu Gurung Co-Operative Guest House, dengan maksud hendak menitipkan pesan kepada Thakur bahwa kami sudah dapat penginapan di ABC. Setelah kami sampai di tempat yang dimaksud, ternyata pemiliknya tidak kenal dengan Thakur, jadi kami membeli segelas kopi susu saja dan duduk-duduk di meja di luar restoran sembari beristirahat sejenak. Mumpung ada meja dan kursi, kami sekalian makan siang dengan kentang sisa sarapan tadi pagi.
Udara sudah terasa sangat dingin di tempat ini walaupun matahari bersinar dengan terik. Kalau sedang berjalan memang tidak terlalu terasa, tapi berhenti tidak sampai 5 menit saja kami sudah merasa kedinginan. Kami pun duduk di bawah sinar matahari untuk berjemur. Pemandangan di tempat ini sungguh sangat indah, dan puncak Annapurna sudah tampak jauh lebih dekat, sementara puncak gunung Machhapuchhre ada di sisi timur, berdiri dengan anggun dan megahnya. Sayang saat itu sinar matahrinya terlalu keras, jadi sulit memotret keindahannya.
Machhapuchhre sendiri berarti fish tail, jadi kalau di awal aku sempat beberapa kali menyebutkan "puncak Fish Tail", ya sebenarnya sama saja dengan Machhapuchhre ini. Orang sekitar seringkali menyebut gunung Machhapuchhre ini The Diamond, karena bentuk puncaknya yang sangat indah dan seperti dipahat, bagaikan berlian. Puncak gunung Machhapuchhre mencapai ketinggian 6.993 meter. Gunung ini dianggap suci oleh penduduk di Nepal, yakni milik dewa Shiva, dan karenanya tidak boleh didaki. Satu-satunya orang yang mencoba mendakinya adalah Letkol Jimmy Roberts dari Inggris pada tahun 1957, bersama dua pendaki lainnya, Wilfrid Noyce dan A. D. M. Cox. Mereka hanya mendaki sampai jarak 150 meter dari puncak, dan tidak melanjutkannya lagi, karena telah berjanji kepada penduduk setempat untuk tidak sampai summit yang sesungguhnya. Sejak saat itu, gunung ini benar-benar terlarang bagi para pendaki.
Setelah beristirahat selama sekitar 15-20 menit di MBC, kami melanjutkan lagi perjalanan, yakni rute terakhir menuju Annapurna Base Camp!
Kalau boleh sedikit sombong, sebetulnya ini medan yang sangat mudah bagiku, jalannya menanjak tapi relatif landai, tidak ada lagi jalan setapak yang curam. Tidak ada jurang di kanan maupun kiri. Dan apabila kita melihat ke depan, belakang, maupun ke samping kanan dan kiri, pemandangannya sungguh terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata! Yang terlihat di depan mata benar-benar seperti sebuah lukisan, sulit dipercaya bahwa semuanya nyata.
Annapurna Mountain berada tepat di depan kita, sementara Fish Tail/Machhapuchhre/The Diamond berada di belakang kita. Di samping kiri tampak pegunungan yang masih ditutupi bercak-bercak salju, tampak seperti Lindiss Pass di New Zealand saat musim dingin. Sungai Modi Khola yang airnya sudah setengah membeku di trek ini menemani perjalanan di sisi kiri kita. Semuanya sungguh indah! Di beberapa tempat juga banyak terdapat formasi batu-batuan yang tampak seperti Castle Hill di New Zealand.
Ada saat di mana aku sedang berdiri dan beristirahat sembari memotret, saat seorang pria muda Nepal berhenti di dekatku untuk istirahat di sebuah batu besar. Dia membawa sebuah keranjang dari bambu yang berisi peralatan masak, yang kemudian disandarkannya di batu tersebut. Aku sedang mengobrol basa basi dengannya, ketika seorang anak laki-laki berusia belasan tahun (mungkin sekitar 15-16 tahun) tiba-tiba bertanya, "this way to ABC?" Duh, tidak ada sapaan hallo, tidak ada namaste, tiba-tiba bertanya seperti itu. Jelas tidak kujawab, karena sopan santunnya nol. Oleh pemuda Nepal ini pun hanya dijawab dengan anggukan. Dan seperti sudah kuduga, tidak ada kata terima kasih terucap setelah itu. Anak laki-laki itu hanya berkata, "okay", dan berlalu begitu saja. Aku sempat menggeleng-gelengkan kepala, dan si pemuda Nepal ini hanya tersenyum.
Di hari ke-9 baru aku melihat anak laki-laki ini lagi, ternyata dia trekking bersama ibunya, dan mereka berasal dari USA. Aku jadi semakin tidak suka pada para orang-orang bule yang model seperti ini. Kelihatan sekali mereka sangat meremehkan orang lain. Ugh... jadi curhat nih...
Sepanjang jalan dari MBC menuju ke ABC, aku menjumpai banyak orang, yang aku tahu berangkat dari Deurali juga, berjalan berbalik arah. Saat kutanya kenapa sudah kembali, mereka menjawab, sudah tidak ada lagi tempat untuk menginap di Annapurna Base Camp. Bahkan kasur di dining room pun tidak ada. Aku sungguh bersyukur pagi tadi Pasang berhasil memesankan tempat untuk kami!
Aku berjalan perlahan-lahan dengan mengatur nafas sebaik mungkin karena makin lama memang terasa sekali bahwa udara sudah semakin tipis, semakin sulit untuk bernafas normal seperti biasanya. Bagi yang belum pernah trekking di tempat setinggi ini, rasanya seperti agak sesak nafas. Menghirup dan menghela nafasnya harus pelan-pelan dan panjang-panjang supaya oksigen yang masuk mencukupi. Karenanya irama untuk melangkahkan kaki pun kusamakan dengan irama bernafas. Dengan cara ini, aku tidak sampai ngos-ngosan. Sementara itu, menjelang jam 1 siang kabut mulai turun dan seringkali menutupi puncak-puncak gunung yang indah tadi, sehingga kadang hanya tampak sebagian saja atau tertutup kabut semua. Namun ada saatnya angin bertiup dan puncak-puncak gunung ini tampak semakin jelas dan dekat. They looked so amazing!
Suamiku seperti biasa, tertinggal jauh di belakang. Ditambah udara yang tipis dan sakit kepalanya, jalannya sangat lambat. Di rute inilah, akhirnya aku berkenalan dengan seorang porter, namanya Symon. Sebetulnya aku sudah sering melihatnya sepanjang perjalanan yang lalu di hari-hari awal, masih tampak muda dengan wajahnya yang rupawan, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron hahahaha... Hanya saja aku merasa dia agak diam dan kurang ramah kalau kusapa. Sama juteknya dengan Pasang.
Saat itu aku sedang berjalan selangkah demi selangkah sambil mengatur nafas, dan Symon berjalan di belakangku, lalu dia berkata, "Jalanmu cepat sekali, jangan cepat-cepat". Saat itu kujawab, "Kamu yang jalannya cepat, aku lambat kok"
Dari situlah kemudian kami mulai mengobrol. Symon berjalan dengan seorang temannya, porter juga, namun klien mereka berbeda. Klien Symon adalah dua orang laki-laki berusia 50-60 tahun dari Korea Selatan yang jalannya juga termasuk lambat. Jadi kalau aku berhenti atau duduk untuk menunggu suamiku sampai, Symon dan temannya juga ikut berhenti untuk menunggu klien mereka.
Karena sepertinya sudah tidak jutek lagi, aku berani bertanya-tanya mengenai ini itu dan mengajak Symon ngobrol. Lama-kelamaan dia mulai membuka diri dan banyak bercerita mengenai kehidupannya sehari-hari dan nasibnya sebagai porter.Teman Symon yang bersama kami orangnya ramah dengan mimik muka yang lucu, tapi pendiam, hanya sesekali menjawab kalau ditanya saja, karenanya aku jadi lupa namanya hahahaha... apalagi setelah hari itu aku tidak bertemu lagi dengannya.
Symon adalah pemuda Nepal berusia 21 tahun yang tinggal di Pokhara. Trekking menuju Annapurna Base Camp ini merupakan pengalaman pertamanya menjadi seorang porter. Dia bercerita, sebenarnya banyak orang Nepal yang ingin trekking di negaranya sendiri, namun karena biayanya sama dengan turis dan relatif mahal bagi mereka, maka keinginan tersebut harus dipendam. Menjadi porter adalah salah satu cara mereka-mereka yang fisiknya cukup kuat untuk bisa ikut trekking gratis, bahkan dibayar. Menurut Symon, dalam sehari dia dibayar NRs 1,200, yang mana masih dipotong 2 X NRs 200 untuk dua kali makan dalam sehari. Dalam sehari dia masih bisa menabung NRs 800 untuk dirinya sendiri. Nominal uang ini tentunya relatif kecil apabila dibandingkan dengan perjuangannya yang harus membawa beban berat setiap hari, dari pagi sampai sore, naik turun gunung.
Sementara itu, mencari pekerjaan di Nepal juga sulit, karenanya menjadi porter adalah pilihan satu-satunya saat itu.
Katanya dia dulu punya pacar, tapi orang tua pacarnya tidak setuju, mungkin karena dia miskin. Menurut Symon, gadis-gadis di Kathmandu maupun Pokhara sekarang ini hanya mau pacaran dengan pemuda yang punya mobil atau motor yang keren, dengan kata lain cewek matre. Aku rasa hal ini terjadi tidak hanya di Nepal saja ya, tapi di mana-mana, termasuk di Indonesia juga pastinya...
Dari banyak berbincang-bincang dengan Symon inilah, aku pun akhirnya bercerita bahwa aku dan suamiku bukanlah orang yang berlebihan harta. Kami backpacking karena inilah yang bisa kami lakukan. Kami trekking karena kami cinta dan ingin lebih dekat dengan alam. Dan karena kondisi kesehatanku yang tidak terlalu baik, aku justru ingin melakukan hal-hal yang kuinginkan selagi aku masih mampu melakukannya. Symon tampak sekali sangat berubah sikapnya hari ini dibanding kemarin-kemarin. Dia tampak sangat ceria, bahkan cerewet sekali hahahaha....
Aku tahu, kebanyakan orang, trekker, dari Western khususnya (tidak semua lho ya, karena aku tahu betul beberapa orang yang tidak seperti itu), menganggap porter atau guide hanyalah sebagai pesuruh. Mereka jarang diajak bicara apalagi mengobrol akrab., karenanya mungkin jadi berprasangka negatif terhadap semua turis. Jangankan porter atau guide, aku melihat sendiri betapa banyak orang dari negara-negara Western yang katanya negara-negara maju ini, seringkali memandang sebelah mata kepada orang-orang Asia pada umumnya. Kebanyakan mereka hanya mau saling bertegur sapa dengan "sesama" mereka sendiri. Aku kasihan kepada mereka yang katanya berpendidikan tinggi tapi maaf saja, kelakuannya kadang tidak mencerminkan pendidikannya. Hmmm jadi curhat lagi deh...
Sekitar pukul 2 siang, suamiku menyuruhku untuk jalan dulu saja, katanya dia akan pelan-pelan. Jadi aku jalan bersama Symon dan temannya ini sambil mengobrol. Kalau kata Symon, kita berjalan semakin menjauh dari Machhapuchhre, tapi justru tampak semakin dekat. Setelah kuperhatikan, betul juga yang dia ucapkan. Tanpa terasa, tepat pukul 2.27 siang, kami bertiga mencapai Annapurna Base Camp di ketinggian 4.130 mdpl! Wah, akhirnya sampai juga di tempat ini! Tempat yang dari beberapa bulan lalu mulai kulihat dari foto-foto di internet dan dari video-video di YouTube. I'm here, finally! I did it! It's sooooo unbelievable!!!
Kami sempat selfie-selfie bersama, dan mereka berdua mengajariku cara mengucapkan selamat datang di sini. "Swagatam cha Annapurnama", demikian bunyinya dalam huruf alfabet normal, aslinya adalah वर्णमाला (pusing kan bacanya?).
Tidak lama setelah kami sampai, teman Symon dipanggil oleh atasannya untuk cepat-cepat datang. Tidak lama setelah itu, klien Symon juga sampai dan dia pun harus mengikuti mereka ke teahouse untuk melayani semua kebutuhan yang diperlukan.
Karena sudah sendirian, aku langsung menuju ke Snowland Guest House, tempat Pasang memesankan kamar untuk kami. Permukaan tanah di sini banyak yang dilapisi es tipis saking dinginnya, termasuk di depan pintu masuk ke restoran. Harus berhati-hati sekali kalau berjalan di atasnya. Aku meletakkan trekking pole di luar, sempat nyaris terpeleset, lalu masuk ke dalam ruang makan, dan menemui salah seorang staff yang tampaknya sedang sibuk di dapur. Setelah kusampaikan bahwa aku sudah memesan kamar, aku disuruh menunggu.
Saat menunggu inilah, aku melihat ternyata di dalam ruang makan ini sudah penuh dengan orang, kebanyakan sepertinya guide dan porter. Saat sedang melayangkan pandangan ke sekeliling, di seberang ruangan tampak ada yang melambai ke arahku. Aku tahu itu adalah Phrobin. Lalu kudatangi dia, dan ternyata di sebelahnya juga ada Thakur. Wah, aku betul-betul senang sekali melihat wajah-wajah ramah ini!
Kami pun bertegur sapa, dan aku langsung menjelaskan kepada Thakur bahwa kami dapat sharing room di teahouse ini. Aku memberikan secarik kertas yang diberikan oleh Pasang kepada Thakur. Begitu Thakur membacanya, dia langsung berdiri dan minta dipanggilkan pemilik penginapan ini. Setelah pemiliknya datang, Thakur berbicara dengannya, dan tampaknya serius sekali. Setelah itu pemilik penginapan ini berjalan entah ke mana, ke arah dapur.
Sementara itu Thakur menyuruhku meletakkan dulu backpackku sembari menunggu. Aku pun menjawab, ah sekarang sudah ringan, karena kami meninggalkan 4-5 kg di Sinuwa. Thakur lalu berkata, So you can dance with it now? Kami pun tertawa-tawa sampai beberapa orang memperhatikam kami. Aku tahu, akrab dengan guide atau porter bukan hal yang biasa mereka lihat di sini...
Tidak lama kemudian, sang pemilik penginapan yang berbadan bulat datang lagi, dan menyerahkan sebuah kunci kepada Thakur. You know what, ternyata kami satu kamar dengan Lionel dan MariAnne! What another nice surprise!
Satu kamar diisi hanya oleh 4 orang, jadi isinya adalah kami berdua dan couple dari perancis ini saja. Setidaknya kami tidak kuatir harus sekamar dengan orang yang tidak kami kenal sama sekali atau orang yang menyebalkan hehehehe...
Thakur lalu bercerita kepadaku, bahwa kemarin malam dia masih berusaha untuk menelepon ke penginapan-penginapan di ABC, mencarikan kamar untuk kami. Semuanya menjawab sudah penuh. Thakur sampai memohon tempat di dining room, tapi tetap dibilang tidak ada, benar-benar penuh. Karena itu Thakur sangat senang aku bisa sampai di sini. Mengenai penginapan yang di MBC, aku bercerita bahwa aku ke sana, tapi kata pemiliknya dia tidak kenal dengan Thakur, lalu Thakur menjelaskan bahwa yang dia kenal di penginapan itu adalah salah satu staffnya.
Siang tadi Thakur juga menelepon ke sana, menanyakan apakah kami berdua menginap di sana, dan staffnya menjawab bahwa kami sudah pergi lagi untuk menuju ABC.
Setelah meletakkan backpack yang kubawa di dalam kamar, aku mengambil notes dan bolpen, lalu kutuliskan account FB dan nomor WhatsApp-ku. Setelah itu aku mengunci kamar dan keluar mencari Symon. Dia dan kliennya menginap di Annapurna Guest House di seberang penginapanku. Aku sudah berjanji kepadanya dan beberapa orang teman porter kami yang lain, untuk memberikan nama account FB-ku kepada mereka.
Memasuki ruang makan Annapurna Guest House, aku langsung mengenali Symon dari warna jaket yang dikenakannya. Maka kudatangi dia dan kuberikan secarik kertas kepadanya, dan kepada 2 orang porter lain yang ada di sana. Aku merasa bahwa orang -orang yang ada di ruangan ini menatapku, mungkin heran dengan apa yang sedang kulakukan.
Kemudian aku keluar dan kembali ke Snowland Guest House, dan aku melakukan hal yang sama. Kuberikan kertas-kertas ini kepada 2-3 orang porter di sana, saat aku melihat Pasang sedang berdiri. Aku pun sekali lagi berterima kasih kepada Pasang, karena tanpanya aku tidak akan berada di sini sekarang. Entah memakai kartu SIM apa, Pasang bisa langsung melihat profil FB-ku, dan langsung mengirimkan message di FB (yang baru bisa kubaca 2 hari kemudian). Dia juga memberikan sebuah kartu nama kepadaku.
Setelah itu, aku bergegas keluar untuk menunggu suamiku datang. Aku berdiri di gerbang tanda masuk ke Annapurna Base Camp ini. Thakur, Phrobin dan Symon sepertinya melihatku di luar, lalu mereka menyusul dan menemaniku di sana. Thakur menanyakan lagi mengenai Pasang yang membookingkan kamar untukku dan suamiku. Thakur kuatir bahwa Pasang mungkin saja menginginkan aku dan suamiku sharing satu kamar dengan kliennya, pasangan dari Korea itu. Thakur merasa sungkan kepada Pasang, telah menempatkan aku dan suamiku sekamar dengan Lionel dan MariAnne. Aku memastikan bahwa Pasang memesankan kami kamar random. Kebetulan saat itu Pasang sedang lewat, jadi kupanggil dia. Mereka pun bercakap-cakap sendiri, dan sepertinya masalah sudah beres.
Sementara itu, aku melihat suamiku berjalan perlahan-lahan di kejauhan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 3.20 sore. Sedikit demi sedikit, diakhiri dengan satu set anak tangga dan dengan nafasnya yang terlihat ngos-ngosan akibat oksigen yang tipis, sampailah suamiku di Annapurna Base Camp! Aku menyambutnya dengan kalimat yang baru aku pelajari dari Symon: "Swagatam cha Annapurnama!"
Semua yang ada di situ saat itu tertawa dan sepertinya ikut senang sekali, melihat kami berdua bisa sampai di titik akhir trek ini.
Aku memeluk suamiku dan mensyukuri saat-saat ini, di mana akhirnya kami bisa sampai di tempat yang kami cita-citakan ini. Perjuangan yang tak kenal lelah (sebetulnya lelah banget sih, cuma maksa), peluh, air mata dan darah mewarnai perjalanan kami selama 6 hari terakhir, tak ada satu pun yang kami sesali.
Peluh yang setiap hari melekat di tubuh kami saat mendaki, apalagi saat matahari bersinar terik. Air mata yang kuteteskan, saat ketakutan dan kebingungan akan melewati medan yang sangat berat sendirian. Darah, karena jari-jari tangan yang menjadi sangat kering sampai kulitnya terkelupas dan berdarah (ini agak lebay sih hahahaha). Tapi di luar itu, kami sangat bersyukur, kami masih sanggup berjalan dengan kaki kami sendiri sambil membawa beban kami sendiri. Kami tidak mengalami AMS seperti yang kami kuatirkan sebelumnya. Dan tentunya kami sangat bersyukur untuk semua bantuan, semangat dan petunjuk dari para trekker lain, guide, dan porter yang kami jumpai selama di perjalanan... God is soooo good to us!!!
Thakur menyalami dan memberi selamat kepada suamiku, lalu berkata bahwa tadinya dia tidak menyangka bahwa kami akan sampai di Annapurna Base Camp hari ini, karena melihat kondisi kami. Sepertinya sama seperti guide dan porter lain, dia salut kepada kami.
Setelah suamiku sampai, aku menunjukkan kepadanya kamar kami, agar dia bisa meletakkan backpacknya. Kemudian barulah kami menjelajah ke arah utara, tempat yang sangat ikonik dan menjadi ciri khas di Annapurna Base Camp ini. Kami berfoto-foto di tempat tersebut, tempat yang banyak sekali bendera mantra yang berwarna-warni. Ternyata di balik bentangan bendera-bendera mantra ini berupa jurang lho, jadi kalau mau foto-foto di sini tetap harus berhati-hati. Kami juga sempat foto-foto bersama beberapa porter lain yang saat itu ada di sana. Beberapa dari mereka masih baru pertama kali berada di ABC juga, jadi mereka pun sibuk saling memotret. Mereka ternyata juga suka selfie lho hahahaha... Menyenangkan sekali suasananya waktu itu. Yang pasti, dinginnya juga luar biasa. Kami sampai harus mengenakan down jacket di atas fleece.
Pemandangan di Annapurna Base Camp ini luar biasa indahnya. Kami bisa melihat gunung-gunung yang tinggi menjulang di sekitar kami. Mulai dari Annapurna I, Annapurna II, sampai Dhaulagiri, Himchuli, dan tentunya Machhapuchhre alias Fish Tail. Rasanya masih belum percaya bahwa akhirnya kami bisa sampai di tempat ini, a place so high, beyond my imagination. I couldn't believe that I would reach this place...
Selesai berfoto dan sedikit menjelajah sekitar, waktu sudah menunjukkan jam 4.10 sore , dan kami hendak kembali ke ruang makan karena sudah mulai kedinginan. Saat itu kami bertemu lagi dengan Thakur, lalu mengobrol sebentar dan foto bersamanya, juga 2 porter lain, Rohit dan seorang temannya. Menurut Thakur, 3 hari terakhir ini cuaca du Annapurna sedang kurang bagus. Mulai siang hingga sore sudah berkabut, sehingga gunung-gunungnya tertutup kabut semua. Katanya kami beruntung sekali cuaca masih cerah di jam segini. Saat kutanya berapa suhu di tempat ini, Thakur menjawab, kalau malam hari dan pagi hari, minimal suhunya -20 sampai -30 derajat Celcius, dan itu dalam kondisi normal, bukan di musim dingin. Jadi karena saat ini memasuki musim dingin, pastinya lebih dingin lagi. Hiiii..... tidak heran kami sampai kedinginan hehehehe...
Setelah itu kami masuk ke ruang makan di Snowland. Udara di luar terasa sangat dingiiin sekali, sedangkan di dalam agak lebih hangat. Setelah memesan segelas black tea seharga NRs 90, kami duduk di bangku dan minum teh hangat sambil mengobrol. Tidak lama kemudian, tampak Lionel dan Marianne masuk ke dalam ruangan ini. Mereka baru saja kembali dari menjelajah pegunungan di sekitar. Kami pun duduk bersama di sebuah meja panjang, sembari menikmati suasana. Kondisi baterai HP dan powerbank-ku sudah kritis, jadi aku bertanya kepada salah seorang staff, apakah kami bisa numpang mengisi baterai di sini, dan ternyata daya di tempat ini menggunakan energi matahari, jadi kalau sudah sore sampai malam tidak bisa. Baru bisa besok pagi. Jadilah aku bertahan menggunakan HP yang diset airplane mode sepanjang beberapa hari terakhir ini. Hanya digunakan untuk memotret saja.
Waktu menunjukkan pukul 4.45 sore, ketika di luar jendela tampak entah kabut atau awan yang bergumpal-gumpal, naik dari arah bawah, makin lama makin ke atas. Tampak seperti arumanis berwarna putih yang sangat besar dan indah, hingga akhirnya hampir sejajar dengan posisi kami saat itu. Aku sempat keluar dan memotretnya, hanya beberapa menit saja di luar, namun sampai membuatku menggigil kedinginan.
Tidak lama kemudian, puncak Machhapuchhre yang terkena sinar matahari jadi berwarna kuning keemasan. Rupanya matahari mulai terbenam. Perlahan-lahan warnanya menjadi semakin oranye, lalu makin meredup dan meredup, hingga suasana menjadi remang-remang. Sekitar jam 5.30 petang, matahari pun menghilang di balik pegunungan. Wah, betul-betul pengalaman yang sangat luar biasa bagiku! Salah satu sunset terindah yang pernah kusaksikan sepanjang hidupku...
Semuanya ini disaksikan hanya dengan duduk di ruang makan lho, karena ada jendela yang besar di sekeliling ruangan ini, dan kebetulan puncak Machhapuchhre tampak dengan jelas dari jendela-jendela ini. Setelah matahari terbenam, suasana makin gelap, dan suhu udara makin dingin. Kalau kita mau keluar dari dining room, tidak ada penerangan di lorong menuju ke kamar maupun ke toilet, jadi harus menyiapkan headlamp untuk berjalan keluar.
Sementara itu, sejak kami masuk ke dining room ini, sudah ada satu grup dari Korea Selatan yang duduk di meja panjang ini. Jumlahnya sekitar 14 orang, laki-laki dan petrmpuan. Sejak awal mereka tampak ramai dan cukup berisik, menghabiskan waktu dengan bermain game ala mereka. Tampaknya mereka juga tidak peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Waktu di perjalanan pun, beberapa kali kami berpapasan dengan grup yang satu ini, dan kata suamiku, mereka tipe orang-orang yang kurang sopan. Mereka pernah menyuruh suamiku memotret mereka, seperti menyuruh pembantunya saja, dan satu kali saat berjalan dari MBC ke ABC, suamiku sedang berhenti dan bersandar pada trekking polenya karena pusing dan mual, orang-orang Korea ini menyuruhnya minggir karena mereka mau foto-foto. Menyebalkan ya?
Sekitar jam 5.30 petang, makanan bagi rombongan Korea ini sudah mulai datang satu-persatu. Sepertinya mereka menggunakan jasa tour dari negaranya sendiri, di mana semua sudah diatur sejak awal, mulai dari tiket pesawat, rute perjalanan, sampai makanan. Mereka membawa koki sendiri, karenanya yang dihidangkan adalah makanan-makanan khas Korea. Beberapa bahan makanan yang tidak ada di Nepal pun sepertinya dibawa langsung dari Korea, seperti beras dan kimchi.
Kami sering sekali melihat orang-orang yang membawa keranjang dari bambu, yang dikaitkan dengan kain di kepala mereka. Isi keranjangnya bervariasi, mulai dari beras, sayur mayur, dan berbagai macam perabotan dapur seperti panci, wajan, bahkan tabung elpiji. Tadinya kupikir orang-orang ini mengangkut semua barang dan bahan makanan tersebut untuk penginapan dan restoran-restoran yang ada di sepanjang. Ternyata mereka inilah koki dan tukang bersih-bersih yang membawakan segala macam kebutuhan bagi rombongan-rombongan semacam ini.
Kami banyak menjumpai rombongan-rombongan seperti ini dari beberapa negara, misalnya Perancis, tapi yang paling banyak memang rombongan dari Korea Selatan. Kentara sekali anggota-anggota rombongan ini kebanyakan bahkan tidak bisa berbahasa Inggris. Biasanya sudah disediakan guide yang menguasai bahasa mereka. Karena semua sudah dipersiapkan dan diatur untuk mereka, terkadang mereka jadi tampak tidak peduli dengan sekitarnya. Hanya mengobrol dengan anggota rombongannya sendiri, dengan bahasa mereka sendiri. Dan kadang jadi menyebalkan kalau mereka tidak tahu diri.
Ada satu hal yang lucu dari rombongan-rombongan Korea yang banyak jumlahnya ini. Mereka hanya mau mengobrol dengan anggota rombongannya sendiri, tetapi tidak mau mengobrol dengan orang Korea lain yang tidak serombongan. Aneh sekali kan?
Kemarin sewaktu di Deurali, pasangan suami istri yang bersama Pasang mengobrol bersama kami. Di saat yang bersamaan, di seberang meja kami ada 2 pria Korea kliennya Symon, dan mereka juga mengajak kami mengobrol dengan sok akrab, karena memang sering bertemu dan kadang menyapa sepanjang trek, walau tidak seheboh kliennya Pasang. Tapi di antara mereka sendiri tidak mau saling mengobrol, sedangkan mereka berempat ini bahasa Inggrisnya juga tidak terlalu fasih. Aku dan suamiku sempat menertawakan hal ini karena memang aneh rasanya hahahaha...
Dari beberapa orang, aku diberi tahu bahwa orang Korea Selatan sangat suka, atau bisa dibilang, memuja Perancis. Setelah mengetahui bahwa Lionel dan MariAnne berasal dari Perancis, saat malam untuk rombongan ini datang, salah seorang dari mereka mengambil sebuah piring yang diisi sedikit-sedikit dengan tiap jenis makanan yang tersaji, dan diberikan kepada Lionel dan MariAnne. Padahal jelas-jelas kami berdua juga mengobrol akrab dengan pasangan tersebut, tapi tidak ditawari (bukannya ingin sih, cuma merasa kurang pantas saja). Pada akhirnya, Lionel dan MariAnne malah membagikan kembali makanan yang mereka peroleh ini kepada kami, dan kepada orang lain yang duduk di kasur-kasur di dining room. Aku dan suamiku tidak terlalu banyak mencicipi, karena kami juga sudah memesan makan malam dan akan segera datang.
Jam 6 petang, makanan yang kupesan untuk makan malam pun datang. Aku memesan dal bhat seharga NRs 620 untuk diriku sendiri, dan egg soup seharga NRs 350 untuk suami tercinta, dengan harapan bisa menghangatkan tubuhnya. Selera makannya sampai sore ini masih belum kembali juga. Aku memesan dal bhat dengan harapan bisa tambah berkali-kali karena memang aku lapar sekali. Selain itu, suamiku bisa mengambil nasi putih dari piringku juga, kalau kurang tinggal minta lagi hehehehe....
Ternyata suamiku tidak bisa menghabiskan makanannya, yang ada malah aku menghabiskan sisa sup telurnya. Usai dal bhatku habis, si empunya penginapan mendatangiku dan bertanya kalau-kalau aku mau tambah lagi. Aku menjawab, wah aku sudah kenyang sekali, sudah tidak muat diisi lagi. Lalu dia berkata lagi, iya, kamu makannya banyak sekali. Hahahaha... ternyata dia memperhatikan aku selama makan. Tapi memang di sini seperti itu. Orang yang memesan menu dal bhat, tidak perlu sampai minta kalau ingin tambah, biasanya begitu habis atau baru mau habis langsung ditawari lagi kalau-kalau mau tambah nasi atau sayur atau kuahnya, karena yang menyajikan biasanya menunggui atau memperhatikan yang sedang makan.
Semenjak mulai trekking, kalau pagi dan siang aku tidak bisa makan banyak, biasanya hanya ngemil cokelat, kacang, atau makan dari sisa makan pagi. Tapi kalau malam hari, aku merasa sangat lapar, dan biasanya bisa makan dengan porsi besar sekaligus. Berbeda dengan suamiku, yang semenjak sampai di Nepal, nafsu makannya menurun, dan terutama semenjak trekking, makannya bukan bertambah banyak, tapi justru semakin sedikit. Kadang bahkan dia merasa mual dan makan sedikit sekali. Kalau menurutku, sebetulnya suamiku ini kena AMS, hanya mungkin tidak sampai parah, karenanya dia sering pusing, mual, dan tidak nafsu makan.
Selesai makan, kami masih berada di dining room sebentar, baru kemudian kembali ke kamar. Selain hendak beristirahat, kami juga sadar diri untuk memberikan tempat kepada mereka-mereka yang duduk menunggu di atas kasur di sekitar meja makan, para guide, porter, dan beberapa trekker yang sepertinya bakal menginap di dining room. Thakur berinisiatif untuk meminjamkan selimut bagi kami berempat, dan langsung meletakannya di dalam kamar kami.
Kami masih sempat ke toilet dulu, di mana toiletnya sudah mulai kotor dan agak bau (sebelumnya masih cukup bersih dan banyak air), baru kemudian masuk ke kamar, menata barang, dan membersihkan diri dengan tissue basah. Setelah itu aku masuk ke dalam sleeping bag. Biasanya tidak lama setelah masuk ke dalamnya, badan menjadi hangat, namun kali ini butuh waktu agak lama sampai badanku menjadi hangat, padahal fleece dan down jacket masih kukenakan. Untung saja di setiap teahouse tempat kami tidur, pada umumnya pemiliknya bersedia meminjamkan selimut, jadi suamiku masih terselamatkan bisa tidur di dalam selimut yang hangat. Aku sendiri, semenjak tidur di dalam sleeping bag di Bhanuwa, jadi lebih senang memakai sleeping bag. Karena malam ini mendapatkan selimut, aku pakai selimutnya untuk melapisi di luar sleeping bag. Yang pasti, dengan mengenakan sleeping bag, aku bisa melepaskan kaus kakiku, dan kakiku bisa merasakan udara. Setelah seharian mengenakan kaus kaki dan sepatu, rasanya jari-jari dan telapak kakiku membutuhkan udara segar.
Malam itu, entah mengapa aku merasa sangat susah untuk tidur. Mungkin terlalu excited, mungkin juga terlalu dingin. Sedikiiiiit saja ada udara masuk di sleeping bag, terasa begitu dingin yang menggigit. Sedangkan apabila selimut dan sleeping bag ditutup rapat, udara terasa sesak untuk bernafas. Ternyata memang sangat terasa di tempat ini, untuk bernafas saja rasanya beraaaat dan butuh perjuangan, beda dengan hari-hari sebelumnya. Sementara itu, aku memanfaatkan powerbank untuk mengisi ulang baterai hpku, yang ternyata bisa terisi sampai 94%, lumayan banget!!
Aku mendengar Lionel dan Marianne masuk ke kamar jam 8 malam. Sepertinya mereka bersiap-siap untuk tidur dan mengenakan sleeping bag mereka juga, lalu tidur. Terdengar beberapa kali mereka bercakap dengan berbisik-bisik, sebelum akhirnya tidur. Sementara itu dengkur suamiku sudah terdengar, pertanda dia tertidur dengan nyenyak.... ^_^
Aku sendiri merasa tidak bisa tidur sama sekali sampai lewat jam 1 pagi, tapi mungkin sesungguhnya aku mengalami fase beberapa kali tidur dan bangun tanpa kusadari...
Hari ini kami berjalan sejauh 7 KM dengan elevasi hampir 1.000 meter dari Deurali (3.200 mdpl) sampai di Annapurna Base Camp (4.130 mdpl), dan benar-benar merupakan salah satu hari yang sangat luar biasa bagi kami berdua. Sewaktu masih di Indonesia, cita-cita dan harapan kami sangat tinggi untuk bisa mencapai Annapurna Base Camp, namun baru 2 hari trekking, aku benar-benar merasa ragu akan kemampuan kami, terutama suamiku yang kepayahan untuk jalan yang naik. Dan di hari keempat, setelah mengalami keseleo di pergelangan kaki, aku sangat pesimis bahwa kami akan sampai di sini. Namun Tuhan sungguh baik, kami diberiNya kekuatan yang melebihi kemampuan kami untuk bertahan, kami diberiNya tenaga entah dari mana, dan yang pasti kami diberiNya semangat dan bantuan melalui orang-orang lain di sekitar kami selama perjalanan, hingga pada akhirnya kami bisa berada di sini malam ini: Annapurna Base Camp!!!
To be continued.......
Selesai berfoto dan sedikit menjelajah sekitar, waktu sudah menunjukkan jam 4.10 sore , dan kami hendak kembali ke ruang makan karena sudah mulai kedinginan. Saat itu kami bertemu lagi dengan Thakur, lalu mengobrol sebentar dan foto bersamanya, juga 2 porter lain, Rohit dan seorang temannya. Menurut Thakur, 3 hari terakhir ini cuaca du Annapurna sedang kurang bagus. Mulai siang hingga sore sudah berkabut, sehingga gunung-gunungnya tertutup kabut semua. Katanya kami beruntung sekali cuaca masih cerah di jam segini. Saat kutanya berapa suhu di tempat ini, Thakur menjawab, kalau malam hari dan pagi hari, minimal suhunya -20 sampai -30 derajat Celcius, dan itu dalam kondisi normal, bukan di musim dingin. Jadi karena saat ini memasuki musim dingin, pastinya lebih dingin lagi. Hiiii..... tidak heran kami sampai kedinginan hehehehe...
Setelah itu kami masuk ke ruang makan di Snowland. Udara di luar terasa sangat dingiiin sekali, sedangkan di dalam agak lebih hangat. Setelah memesan segelas black tea seharga NRs 90, kami duduk di bangku dan minum teh hangat sambil mengobrol. Tidak lama kemudian, tampak Lionel dan Marianne masuk ke dalam ruangan ini. Mereka baru saja kembali dari menjelajah pegunungan di sekitar. Kami pun duduk bersama di sebuah meja panjang, sembari menikmati suasana. Kondisi baterai HP dan powerbank-ku sudah kritis, jadi aku bertanya kepada salah seorang staff, apakah kami bisa numpang mengisi baterai di sini, dan ternyata daya di tempat ini menggunakan energi matahari, jadi kalau sudah sore sampai malam tidak bisa. Baru bisa besok pagi. Jadilah aku bertahan menggunakan HP yang diset airplane mode sepanjang beberapa hari terakhir ini. Hanya digunakan untuk memotret saja.
Waktu menunjukkan pukul 4.45 sore, ketika di luar jendela tampak entah kabut atau awan yang bergumpal-gumpal, naik dari arah bawah, makin lama makin ke atas. Tampak seperti arumanis berwarna putih yang sangat besar dan indah, hingga akhirnya hampir sejajar dengan posisi kami saat itu. Aku sempat keluar dan memotretnya, hanya beberapa menit saja di luar, namun sampai membuatku menggigil kedinginan.
Tidak lama kemudian, puncak Machhapuchhre yang terkena sinar matahari jadi berwarna kuning keemasan. Rupanya matahari mulai terbenam. Perlahan-lahan warnanya menjadi semakin oranye, lalu makin meredup dan meredup, hingga suasana menjadi remang-remang. Sekitar jam 5.30 petang, matahari pun menghilang di balik pegunungan. Wah, betul-betul pengalaman yang sangat luar biasa bagiku! Salah satu sunset terindah yang pernah kusaksikan sepanjang hidupku...
Semuanya ini disaksikan hanya dengan duduk di ruang makan lho, karena ada jendela yang besar di sekeliling ruangan ini, dan kebetulan puncak Machhapuchhre tampak dengan jelas dari jendela-jendela ini. Setelah matahari terbenam, suasana makin gelap, dan suhu udara makin dingin. Kalau kita mau keluar dari dining room, tidak ada penerangan di lorong menuju ke kamar maupun ke toilet, jadi harus menyiapkan headlamp untuk berjalan keluar.
Sementara itu, sejak kami masuk ke dining room ini, sudah ada satu grup dari Korea Selatan yang duduk di meja panjang ini. Jumlahnya sekitar 14 orang, laki-laki dan petrmpuan. Sejak awal mereka tampak ramai dan cukup berisik, menghabiskan waktu dengan bermain game ala mereka. Tampaknya mereka juga tidak peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Waktu di perjalanan pun, beberapa kali kami berpapasan dengan grup yang satu ini, dan kata suamiku, mereka tipe orang-orang yang kurang sopan. Mereka pernah menyuruh suamiku memotret mereka, seperti menyuruh pembantunya saja, dan satu kali saat berjalan dari MBC ke ABC, suamiku sedang berhenti dan bersandar pada trekking polenya karena pusing dan mual, orang-orang Korea ini menyuruhnya minggir karena mereka mau foto-foto. Menyebalkan ya?
Sekitar jam 5.30 petang, makanan bagi rombongan Korea ini sudah mulai datang satu-persatu. Sepertinya mereka menggunakan jasa tour dari negaranya sendiri, di mana semua sudah diatur sejak awal, mulai dari tiket pesawat, rute perjalanan, sampai makanan. Mereka membawa koki sendiri, karenanya yang dihidangkan adalah makanan-makanan khas Korea. Beberapa bahan makanan yang tidak ada di Nepal pun sepertinya dibawa langsung dari Korea, seperti beras dan kimchi.
Kami sering sekali melihat orang-orang yang membawa keranjang dari bambu, yang dikaitkan dengan kain di kepala mereka. Isi keranjangnya bervariasi, mulai dari beras, sayur mayur, dan berbagai macam perabotan dapur seperti panci, wajan, bahkan tabung elpiji. Tadinya kupikir orang-orang ini mengangkut semua barang dan bahan makanan tersebut untuk penginapan dan restoran-restoran yang ada di sepanjang. Ternyata mereka inilah koki dan tukang bersih-bersih yang membawakan segala macam kebutuhan bagi rombongan-rombongan semacam ini.
Kami banyak menjumpai rombongan-rombongan seperti ini dari beberapa negara, misalnya Perancis, tapi yang paling banyak memang rombongan dari Korea Selatan. Kentara sekali anggota-anggota rombongan ini kebanyakan bahkan tidak bisa berbahasa Inggris. Biasanya sudah disediakan guide yang menguasai bahasa mereka. Karena semua sudah dipersiapkan dan diatur untuk mereka, terkadang mereka jadi tampak tidak peduli dengan sekitarnya. Hanya mengobrol dengan anggota rombongannya sendiri, dengan bahasa mereka sendiri. Dan kadang jadi menyebalkan kalau mereka tidak tahu diri.
Ada satu hal yang lucu dari rombongan-rombongan Korea yang banyak jumlahnya ini. Mereka hanya mau mengobrol dengan anggota rombongannya sendiri, tetapi tidak mau mengobrol dengan orang Korea lain yang tidak serombongan. Aneh sekali kan?
Kemarin sewaktu di Deurali, pasangan suami istri yang bersama Pasang mengobrol bersama kami. Di saat yang bersamaan, di seberang meja kami ada 2 pria Korea kliennya Symon, dan mereka juga mengajak kami mengobrol dengan sok akrab, karena memang sering bertemu dan kadang menyapa sepanjang trek, walau tidak seheboh kliennya Pasang. Tapi di antara mereka sendiri tidak mau saling mengobrol, sedangkan mereka berempat ini bahasa Inggrisnya juga tidak terlalu fasih. Aku dan suamiku sempat menertawakan hal ini karena memang aneh rasanya hahahaha...
Dari beberapa orang, aku diberi tahu bahwa orang Korea Selatan sangat suka, atau bisa dibilang, memuja Perancis. Setelah mengetahui bahwa Lionel dan MariAnne berasal dari Perancis, saat malam untuk rombongan ini datang, salah seorang dari mereka mengambil sebuah piring yang diisi sedikit-sedikit dengan tiap jenis makanan yang tersaji, dan diberikan kepada Lionel dan MariAnne. Padahal jelas-jelas kami berdua juga mengobrol akrab dengan pasangan tersebut, tapi tidak ditawari (bukannya ingin sih, cuma merasa kurang pantas saja). Pada akhirnya, Lionel dan MariAnne malah membagikan kembali makanan yang mereka peroleh ini kepada kami, dan kepada orang lain yang duduk di kasur-kasur di dining room. Aku dan suamiku tidak terlalu banyak mencicipi, karena kami juga sudah memesan makan malam dan akan segera datang.
Jam 6 petang, makanan yang kupesan untuk makan malam pun datang. Aku memesan dal bhat seharga NRs 620 untuk diriku sendiri, dan egg soup seharga NRs 350 untuk suami tercinta, dengan harapan bisa menghangatkan tubuhnya. Selera makannya sampai sore ini masih belum kembali juga. Aku memesan dal bhat dengan harapan bisa tambah berkali-kali karena memang aku lapar sekali. Selain itu, suamiku bisa mengambil nasi putih dari piringku juga, kalau kurang tinggal minta lagi hehehehe....
Ternyata suamiku tidak bisa menghabiskan makanannya, yang ada malah aku menghabiskan sisa sup telurnya. Usai dal bhatku habis, si empunya penginapan mendatangiku dan bertanya kalau-kalau aku mau tambah lagi. Aku menjawab, wah aku sudah kenyang sekali, sudah tidak muat diisi lagi. Lalu dia berkata lagi, iya, kamu makannya banyak sekali. Hahahaha... ternyata dia memperhatikan aku selama makan. Tapi memang di sini seperti itu. Orang yang memesan menu dal bhat, tidak perlu sampai minta kalau ingin tambah, biasanya begitu habis atau baru mau habis langsung ditawari lagi kalau-kalau mau tambah nasi atau sayur atau kuahnya, karena yang menyajikan biasanya menunggui atau memperhatikan yang sedang makan.
Semenjak mulai trekking, kalau pagi dan siang aku tidak bisa makan banyak, biasanya hanya ngemil cokelat, kacang, atau makan dari sisa makan pagi. Tapi kalau malam hari, aku merasa sangat lapar, dan biasanya bisa makan dengan porsi besar sekaligus. Berbeda dengan suamiku, yang semenjak sampai di Nepal, nafsu makannya menurun, dan terutama semenjak trekking, makannya bukan bertambah banyak, tapi justru semakin sedikit. Kadang bahkan dia merasa mual dan makan sedikit sekali. Kalau menurutku, sebetulnya suamiku ini kena AMS, hanya mungkin tidak sampai parah, karenanya dia sering pusing, mual, dan tidak nafsu makan.
Selesai makan, kami masih berada di dining room sebentar, baru kemudian kembali ke kamar. Selain hendak beristirahat, kami juga sadar diri untuk memberikan tempat kepada mereka-mereka yang duduk menunggu di atas kasur di sekitar meja makan, para guide, porter, dan beberapa trekker yang sepertinya bakal menginap di dining room. Thakur berinisiatif untuk meminjamkan selimut bagi kami berempat, dan langsung meletakannya di dalam kamar kami.
Kami masih sempat ke toilet dulu, di mana toiletnya sudah mulai kotor dan agak bau (sebelumnya masih cukup bersih dan banyak air), baru kemudian masuk ke kamar, menata barang, dan membersihkan diri dengan tissue basah. Setelah itu aku masuk ke dalam sleeping bag. Biasanya tidak lama setelah masuk ke dalamnya, badan menjadi hangat, namun kali ini butuh waktu agak lama sampai badanku menjadi hangat, padahal fleece dan down jacket masih kukenakan. Untung saja di setiap teahouse tempat kami tidur, pada umumnya pemiliknya bersedia meminjamkan selimut, jadi suamiku masih terselamatkan bisa tidur di dalam selimut yang hangat. Aku sendiri, semenjak tidur di dalam sleeping bag di Bhanuwa, jadi lebih senang memakai sleeping bag. Karena malam ini mendapatkan selimut, aku pakai selimutnya untuk melapisi di luar sleeping bag. Yang pasti, dengan mengenakan sleeping bag, aku bisa melepaskan kaus kakiku, dan kakiku bisa merasakan udara. Setelah seharian mengenakan kaus kaki dan sepatu, rasanya jari-jari dan telapak kakiku membutuhkan udara segar.
Malam itu, entah mengapa aku merasa sangat susah untuk tidur. Mungkin terlalu excited, mungkin juga terlalu dingin. Sedikiiiiit saja ada udara masuk di sleeping bag, terasa begitu dingin yang menggigit. Sedangkan apabila selimut dan sleeping bag ditutup rapat, udara terasa sesak untuk bernafas. Ternyata memang sangat terasa di tempat ini, untuk bernafas saja rasanya beraaaat dan butuh perjuangan, beda dengan hari-hari sebelumnya. Sementara itu, aku memanfaatkan powerbank untuk mengisi ulang baterai hpku, yang ternyata bisa terisi sampai 94%, lumayan banget!!
Aku mendengar Lionel dan Marianne masuk ke kamar jam 8 malam. Sepertinya mereka bersiap-siap untuk tidur dan mengenakan sleeping bag mereka juga, lalu tidur. Terdengar beberapa kali mereka bercakap dengan berbisik-bisik, sebelum akhirnya tidur. Sementara itu dengkur suamiku sudah terdengar, pertanda dia tertidur dengan nyenyak.... ^_^
Aku sendiri merasa tidak bisa tidur sama sekali sampai lewat jam 1 pagi, tapi mungkin sesungguhnya aku mengalami fase beberapa kali tidur dan bangun tanpa kusadari...
Hari ini kami berjalan sejauh 7 KM dengan elevasi hampir 1.000 meter dari Deurali (3.200 mdpl) sampai di Annapurna Base Camp (4.130 mdpl), dan benar-benar merupakan salah satu hari yang sangat luar biasa bagi kami berdua. Sewaktu masih di Indonesia, cita-cita dan harapan kami sangat tinggi untuk bisa mencapai Annapurna Base Camp, namun baru 2 hari trekking, aku benar-benar merasa ragu akan kemampuan kami, terutama suamiku yang kepayahan untuk jalan yang naik. Dan di hari keempat, setelah mengalami keseleo di pergelangan kaki, aku sangat pesimis bahwa kami akan sampai di sini. Namun Tuhan sungguh baik, kami diberiNya kekuatan yang melebihi kemampuan kami untuk bertahan, kami diberiNya tenaga entah dari mana, dan yang pasti kami diberiNya semangat dan bantuan melalui orang-orang lain di sekitar kami selama perjalanan, hingga pada akhirnya kami bisa berada di sini malam ini: Annapurna Base Camp!!!
To be continued.......
No comments:
Post a Comment