DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Sunday, December 10, 2017

NEPAL BACKPACKING, NOVEMBER 2017 (6) - THE REAL ADVENTURE BEGINS!! NAYAPUL - BIRETHANTI - MATATHANTI - LAMDAWALI - SUDAME - HILE - TIKHEDHUNGA - ULLERI


5 November 2017


Pagi ini aku kembali terjaga jam 3.30 dini hari, sebelum alarm berbunyi. Perasaanku sebetulnya sangat gelisah, takut, dan cemas karena beban yang akan kami bawa trekking cukup berat, masing-masing dari kami akan membawa beban sekitar 12kg (11kg barang-barang plus air sekitar 1 liter), padahal sudah berusaha diminimalkan yang penting-penting saja yang dibawa. Aku takut kami akan terlalu lelah karena beban yang berat, dan akhirnya tidak kuat mengikuti rute trekking yang sudah kami rencanakan.


Setelah melakukan aktivitas pagi hari dan mempersiapkan detail terakhir untuk trekking, jam 5 pagi aku membuatkan sarapan indomie goreng, lalu kami sarapan berdua di dalam kamar karena di luar masih dingin sekali. Seusai makan, kami cuci muka, sikat gigi, dan bersiap-siap. Dorje baru bangun jam 6 pagi. Setelah siap semuanya, tepat jam 6.05 pagi kami berpamitan kepada Dorje dan menitipkan 2 kantong plastik besar berisi barang-barang kami kepadanya, karena rencananya setelah trekking kami akan kembali ke tempat ini lagi.

Suasana masih remang-remang saat kami keluar dari rumah, menyusuri pematang-pematang sawah, dan setelah sekitar 15-20 menit berjalan kaki, sampailah kami di Lakeside Road, dan kebetulan baru berjalan sebentar menyusuri jalan ini, langsung ada taxi yang datang menghampiri. Sang driver buka harga NRs 400 untuk mengantar kami ke terminal Baglung, tempat bus dengan tujuan Nayapul akan berangkat. Saat kutawar NRs 250 drivernya tidak mau, katanya jauh. Kutawar NRs 300, akhirnya dia mau. Seperti sebelumnya, taxinya berupa mobil kecil, untuk duduk berdua di belakang saja sudah pas-pasan. Belum lagi separuh perjalanan, saat sedang berbelok di sebuah perempatan jalan besar, taxi kami dicegat oleh seorang pria, yang ternyata kernet bus yang sedang ngetem. Katanya busnya menuju Nayapul. Aku bertanya berapa tarifnya dan jam berapa berangkatnya. Katanya NRs 150/orang, dan jam 7 pagi pasti berangkat, jadi kami memutuskan untuk turun di sini saja, tidak perlu sampai ke terminal. Bayar taxinya tetap sih, NRs 300. Setelah meletakkan backpack di dalam bus, kami menunggu sekitar 20 menit di tepi jalan, sambil mengagumi pemandangan di depan mata kami. Gunung-gunung tinggi yang puncaknya diselimuti salju, tampak dengan jelas di jalan ini. Sungguh luar biasa indahnya!



Jam 6.55 pagi, bus berangkat. Sesekali masih berhenti untuk mencari penumpang lain karena isinya baru kami berdua. Di Landruk Petrol Pump, penumpang yang naik cukup banyak, sekitar 10 orang, dan perjalanan dilanjutkan kembali. Kernetnya suka mengoceh dan lucu sekali.
Perjalanan ini terasa lebih menyenangkan dibandingkan naik bus dari Kathmandu ke Pokhara, bukan karena durasinya yang lebih cepat, tapi suasananya. Untuk busnya sendiri, yang ini jauh lebih jelek dan butut, kursinya lebih keras, tanpa AC pula. Selama perjalanan, busnya berkeriut-keriut bunyinya hahahaha... Walaupun busnya sudah tua, tetapi baunya wangi di dalam bus, karena sopirnya menyalakan dupa di depan. Di bus ini kami duduk di deretan yang paling depan di sebelah kiri, jadi pemandangan juga tampak jelas.



Setelah di awal-awal menikmati pemandangan gunung-gunung bersalju, dilanjut dengan pemandangan perbukitan hijau. Waktu berjalan dari Chautari Pokhara menuju Lakeside, aku sampai berkeringat, tapi di dalam bus justru dingin karena pintunya selalu terbuka walaupun matahari sudah mulai terik memancarkan sinarnya. Pada umumnya, pemandangan di sepanjang perjalanan hampir selalu memukau.

Oya, sebelum naik bus, suamiku sempat bertanya kepada sopir dan kernetnya, apakah ada toilet umum di dekat situ, karena aku ingin buang air kecil, dan mereka tidak tahu. Ternyata di tengah perjalanan, busnya berhenti khusus agar aku bisa ke toilet umum. Toiletnya sederhana, tapi bersih dan terawat, bayarnya hanya NRs 5 saja lho...

Setelah 45 menit perjalanan, kami mulai melewati jalan-jalan yang belokannya tajam-tajam, awalnya naik, lalu menuruni perbukitan. Kalau boleh jujur, sebetulnya agak seram karena di tepi jalan rata-rata tidak ada pengamannya. Tapi aku percaya sang sopir yang masih muda ini sudah mengenal medan dan bisa mengantar semua penumpangnya dengan selamat.

Sempat ada suatu tempat yang pemandangannya luar biasa indahnya, sayang menghadap matahari, kalau sunset pasti indah sekali di tempat ini. Mengingatkanku pada Roy's Peak di Wanaka. Keren banget pokoknya!
Beberapa waktu menjelang sampai di Nayapul, jalannya menyempit dan ada bagian-bagian yang belum beraspal. Benar-benar offroad deh! Sopirnya bisa dibilang ngebut pula, karena kami sudah sampai di Nayapul jam 8.15 pagi, hanya 1 jam 20 menit dari Pokhara. Padahal dari yang aku baca, rata-rata biasanya 2 jam baru sampai.

Sewatu di dalam bus, kami diajak berkenalan dengan seorang bapak tua dan temannya dari Tibet, katanya beliau jualan cindera mata di Nayapul. Setiap hari beliau naik bus PP dari Pokhara ke Nayapul. Sesampai di Nayapul beliau juga memberi tahu kami, kalau-kalau masih mau membeli air minum atau yang lain di warung. Akhirnya suamiku ngopi dulu di warung tersebut, dan kami juga membeli dua buah gelang dari benang dari bapak tersebut karena iba. Satu buah gelang harganya NRs 100., sedangkan secangkir kopi susu di warung ini harganya NRs 70.

Selesai ngopi dan setelah merasa siap, kami pun berpamitan kepada bapak tersebut, lalu mulai berjalan ke arah rute trekking. Jam menunjukkan pukul 8.40 pagi, and the real adventure begins!



Melewati pusat desa Nayapul, seperti berada di pedesaan di Indonesia. Sepanjang jalan banyak warung dan toko-toko yang menjual aneka macam barang, termasuk peralatan trekking juga. Sempat ada bus yang berhenti sejenak saat hendak melewati kami, berisi anak-anak muda (cowok semua), dan mereka berteriak-teriak padaku dari jendela untuk tersenyum. Ternyata aku jadi obyek foto mereka hahahaha.... berasa jadi selebriti. Sempat ditanya-tanya dari mana asalnya? Dari Jepang ya? Ah... lagi-lagi disangka turis Jepang!


Tepat pukul 9.05 pagi, kami memasuki Annapurna Conservation Area. Jalan setapak yang kami lewati kadang-kadang sudah mulai menanjak, dan ada kalanya agak becek di beberapa tempat. Pemandangan di sisi kiri kami adalah sungai Modi yang mengalir cukup deras. Beberapa bus dan jeep masih lewat di jalan ini.



Sekitar pukul 9.10 pagi, sampailah kami di titik pengecekan TIMS Card. Semua berjalan lancar. Setelah pengecekan selesai, aku mulai memakai trekking pole.
Tidak lama kemudian, setelah menyeberangi jembatan, kami sampai di desa Bhire Thanti dan sampai di titik pengecekan ACAP Card, dan di sini semua juga lancar. Di tepi jalan ada yang tampak berjualan gorengan seperti pastel, jadi kucoba membelinya sebuah. Namanya samosa, harganya NRP 30 saja. Memang seperti pastel goreng, tetapi dengan isian kentang tumbuk yang dimasak kari. Enak juga sih... lumayan untuk isi perut dan menambah tenaga hehehehe...
Waktu menunjukkan jam 9.50 pagi. Memasuki pusat desa Bhire Thanti ini, mulai ada beberapa anak tangga yang naik. Saat itulah baru aku sadar, topi yang kukeluarkan dari backpack dan hendak kupakai, ketinggalan di TIMS Card check point, dan karena sudah agak jauh untuk kembali, kubiarkan saja. Mudah-mudahan bisa lebih berguna bagi orang lain yang menemukannya ^_^


Kami berjalan terus menyusuri jalan yang ada. Pemandangan sungai yang airnya jernih ini masih sering kami jumpai. Sempat kami bingung saat ada persimpangan jalan, dan tertulis tanda menuju Ghore Pani, berbelok masuk ke jalan yang kecil dan turun agak curam. Kebetulan ada gadis muda penduduk lokal yang baru saja pulang trekking, dan menunjukkan arah yang benar kepada kami.
Kami terus dan terus berjalan mengikuti jalan yang ada. Kadang naik, kadang agak datar, ada juga yang agak menurun, tapi jarang. Jalannya sebagian besar berupa tanah liat atau berpasir. Di beberapa titik medannya mulai cukup curam dan berbatu-batu besar. Kalau curam, berpasir dan panas, rasanya sangat menyiksa. Beban di punggung jadi terasa lebih berat.



Matahari bersinar sangat terik mulai jam 9 pagi, dan panasnya sangat menyiksa. Walaupun suhu hanya berkisar 20 derajat Celcius, terasa seperti lebih dari 30 derajat Celcius. Keringat bercucuran membasahi badan dan semua yang menempel di badan.

Beberapa kali kami berhenti 1-2 menit untuk istirahat, terutama saat ada tempat yang teduh. Semakin naik, pemandangan sebetulnya makin indah, tapi kondisi badan yang lelah dan kepanasan, dan terutama beban yang berat membuat pinggang dan pundak sakit, sehingga malas sekali mau memotret. Banyak kali kami dilewati orang lain, tapi tak mengapalah. Sudah tidak lagi terpikir di benakku bahwa kulitku akan menjadi hitam. Lebih baik hitam tapi cepat sampai.



Dari awal perjalanan, kami beberapa kali bertemu dengan sepasang trekker dari Perancis. Mereka membawa serta seorang guide dan seorang porter. Kami memang berjalan lebih lambat, namun tampak beberapa kali mereka berhenti untuk istirahat agak lama, seperti makan pisang dulu, minum teh di restoran yang banyak terdapat di sepanjang jalan, jadi beberapa kali kami saling susul-menyusul.
Kami juga sempat berpapasan dengan sepasang muda-mudi yang tadinya kami kira adalah sepasang kekasih. Belakangan, aku sering saling susul-menyusul dengan sang pemuda, yang bernama Faruk, penduduk Nepal yang berdomisili di Pokhara, yang ternyata sedang trekking bersama saudara perempuannya.
Baru setelah selesai trekking dan melihat kembali video-video dan foto-foto hasil jepretan kami, ternyata sebetulnya kami sudah pernah bertemu atau berpapasan dengan orang-orang yang pada akhirnya menjadi teman seperjalanan kami, beberapa bahkan sampai hari terakhir.

Mulai sekitar pukul 12 siang, kami mulai menjumpai anak tangga dari bebatuan yang pertama, dan setelah itu makin sering, makin banyak, makin tinggi, dan kadangkala anak tangganya cukup curam. Di sini suamiku kadang mulai kepayahan, bahkan aku sendiri juga ngos-ngosan. Setelah anak tangga pertama ini, kami sampai di desa Hile. Di sini kami berhenti di sebuah restoran untuk membeli minuman dingin bagi suamiku. Dia membeli sebotol coca cola seharga NRs 200. Wah, harganya sudah mulai mahal ya...



Kami berencana makan siang di Tikhedhunga, karenanya berusaha hanya berhenti sebentar-sebentar saja sepanjang jalan sebelum sampai di desa tersebut. Banyak desa-desa kecil yang kami lalui sepanjang jalan, rata-rata membuka restoran atau penginapan, yaitu Matathanti, Lamdawali, Sudame, dan Hile.

Setelah lebih banyak naik turun tangga, akhirnya sampai juga kami di desa Tikhedhunga jam 12 siang. Desa ini berada di ketinggian 1.540 mdpl. Menjelang memasuki desa inilah pertama kalinya kami melihat beberapa ekor kuda yang berjalan melewati kami. Kuda-kuda tersebut membantu penduduk membawakan persediaan barang-barang yang dibutuhkan, terutama bahan makanan. Kami mencari warung yang tidak terlalu ramai, lalu suami memesan vegetable fried noodle di tempat ini. Seporsi mie goreng sayur ini harganya NRs 300. Masaknya cukup lama, sekitar 20-25 menit. Aku hanya mencicipi sedikit saja mie gorengnya, yang menurutku terlalu asin dan asam. Aku memilih tidak banyak makan agar kuat berjalan. Ngemil sedikit kacang panggang sudah cukup bagiku.
Di restoran ini kami juga sempat numpang ke toilet, yang modelnya seperti di foto di bawah. Rata-rata toilet di sini memang modelnya mirip seperti itu. Tinggal bersih atau tidaknya saja yang perlu diwaspadai hehehehe...


Selesai makan siang, kami kembali melanjutkan perjalanan pukul 12.30 siang. Mulai dari Hile sampai TikheDhunga, jalannya lebih banyak berupa anak tangga. Dan ternyata setelah itu, dari Tikhedhunga sampai Ulleri semuanya anak tangga. Sempat juga melewati sebuah jembatan gantung, yang membuatku merinding saat menyeberanginya.
Beribu-ribu anak tangga rasanya, yang harus dilalui. Suamiku tampaknya kepayahan mendaki satu demi satu anak-anak tangga dari batu ini. Memang sangat melelahkan, kaki rasanya susah diajak kompromi. Apalagi sekitar 1 jam terakhir sebelum mencapai Ulleri, persediaan air minum kami habis. Hausnya luar biasa!
Pada saat naik tangga terus-menerus inilah, beberapa kali aku harus menunggu suamiku yang lebih sering ketinggalan. Dan saat menunggu tersebut, aku juga jadi sering berpapasan dengan beberapa orang, yang pada akhirnya secara tidak langsung menjadi teman dan teman seperjalanan kami.



Aku memasuki desa Ulleri sekitar jam 3.20 sore, disusul oleh suamiku beberapa waktu kemudian. Dari saat memasuki desa ini sebetulnya sudah langsung ada penginapan, tapi kami masih mencari yang lain, karena tangga naik masih membentang tinggi di hadapan kami. Kami baru berhenti dan memilih salah satu penginapan sekaligus restoran di desa ini sekitar jam 3.30 sore. Namanya Majestic Guest House & Restaurant. Suamiku bertanya tarif terlebih dahulu kepada sang ibu pemiliknya, lalu diajak melihat kamarnya. Setelah keluar lagi, ternyata asalkan kami membeli makan malam dan sarapan di sini, kami boleh menginap gratis. Hehehehe... aku memang membaca seharusnya begitu di beberapa teahouse sepanjang rute trekking ini. Sedangkan kalau hanya menginap saja tanpa membeli makanan, per kamarnya dihargai NRs 1,000/malam.



Kami pun segera masuk kamar dan meletakkan semua barang bawaan kami. Melepaskan sepatu dan berjalan tanpa alas kaki. Nyaman sekali rasanya!
Kamar yang kami tempati ini nomor 22. Kamarnya sangat sederhana, hanya berisi 2 buah kasur single dengan bantal dan selimutnya, dan sebuah meja kecil di sudut ruangan dekat pintu. Dindingnya hanya terbuat dari tripleks tipis, jadi suara-suara dari kamar-kamar sebelah bisa terdengar dengan jelas. View dari jendela kamar langsung menghadap ke perbukitan hijau di seberang sana. Kamar mandinya pun relatif agak modern dan saat itu masih bersih. Air panas pun tersedia, tampak dari water heater yang terpasang di dalamnya. Dan ternyata kami tidak salah memilih teahouse. Pemiliknya baik, aku dipinjami sandal jepit saat beliau melihatku "nyeker" berjalan di luar kamar hehehehe...



Makin sore, penginapan ini semakin ramai dan semakin banyak yang datang. Aku memutuskan untuk mandi agak awal, agar tidak sampai berebutan kamar mandi. Sekitar jam 4.30 sore, aku hendak mandi dan sedang mengantre di depan kamar mandi, saat ibu pemilik penginapan melihatku, lalu menunjukkan ada kamar mandi lain di bawah, jadi aku tidak perlu antre lagi. Selesai mandi, badan terasa hangat dan sangat segar.

Setelah kami berdua selesai mandi, kami berjalan-jalan keluar, di rooftop, sambil memotret-motret pemandangan di sekitar. Puncak gunung bersalju yang sangat indah dan memukau tampak di kejauhan, membuatku bersemangat lagi untuk semakin mendekatinya. Tampak beberapa tamu juga sedang duduk-duduk di bangku-bangku yang disediakan di rooftop ini. Saat itulah kemudian sang ibu pemilik penginapan datang dan menyerahkan menu kepada kami. Ternyata "aturan" di teahouse memang seperti ini. Kita memesan makan malam sebelum jam 5 sore, sedangkan makan malamnya sendiri bebas, boleh jam berapa saja (tentunya tidak terlalu malam ya). Setelah makan malam, kita akan diminta memesan menu untuk sarapan esoknya. Pada umumnya, di Nepal ini makanan dimasak fresh dari bahan segar, bukannya makanan sudah matang yang dipanaskan ulang. Karena itulah mereka butuh waktu untuk memasaknya. Dengan cara memesan di awal seperti ini, tamu yang datang bisa dilayani dengan efektif dan efisien. Tidak perlu menunggu lama setelah memesan menu.



Maka kami pun memesan makan malam untuk jam 6 petang. Aku memesan egg noodle soup seharga NRs 250, dan suamiku memesan egg chopsi seharga NRs 450. Selain itu kami pesan kopi susu seteko kecil seharga NRs 350 untuk disajikan segera.
Tidak lama kemudian, sang bapak pemiliknya mengantar seteko kopi susu, yang isinya mungkin sekitar 4-5 cangkir penuh. Banyak sekali ya... ^_^

Saat sedang berada di rooftop inilah, kami diajak untuk duduk semeja dengan pasangan dari Perancis yang beberapa kali kami temui sejak awal perjalanan. Nama mereka adalah Lionel dan MariAnne. Lionel berusia 60 tahun, dan MariAnne berusia beberapa tahun di bawahnya. Mereka sudah menikah selama lebih dari 29 tahun.
Selain karena menggunakan jasa porter, yang tentunya memudahkan mereka berdua dalam menempuh perjalanan berat hari ini, mereka sendiri sepertinya masih dalam kondisi yang sangat fit, sehingga tidak tampak terlalu lelah.

Awalnya Lionel dan MariAnne hendak bertanya-tanya mengenai Indonesia, tempat-tempat mana saja yang indah untuk dikunjungi, karena mereka memang berniat untuk mengunjungi negeri kita ini. Untuk trekking ini sendiri, mereka hanya mengambil rute Poon Hill, lalu kembali. Namun setelah mengobrol kesana kemari dan kupanas-panasi, sepertinya mereka mempertimbangkan hendak menambah rute trekking menjadi sama seperti kami, yakni sampai di Annapurna Base Camp. Tapi belum ada keputusan sih...

Sementara itu, sepanjang duduk-duduk, guide dan porter mereka, Thakur dan Phrobin, juga turut duduk semeja bersama kami semua. Thakur, pria Nepal yang berusia 46 tahun ini, tampaknya baik orangnya. Beberapa kali dia memberi kami tips untuk trekking hari-hari ke depannya, karena kami bercerita bahwa ini adalah pertama kalinya kami backpacking ke luar negeri sekaligus pertama kali pula trekking. Thakur menyarankan agar kami meninggalkan barang-barang kami yang tidak terlalu vital apabila sudah semakin ke atas nantinya, karena tidak akan mudah membawa beban berat di udara yang tipis. Demikian juga dia menyarankan agar kami berhenti merokok setelah Chomrong, karena selain akan makin sulit bernafas, juga akan meningkatkan resiko kena AMS (Acute Mountain Sickness).
Phrobin sendiri lebih banyak diam, tapi tampak orangnya lucu dan masih lugu, Usianya mungkin baru 20 tahunan. Kata Thakur, ini pun pengalaman pertama Phrobin menjadi porter.

Semakin sore, udara semakin dingin. Ulleri berada di ketinggian 2.045 mdpl, tidak heran jika dinginnya cukup menggigit di udara terbuka seperti ini. Karenanya, jam 5.50 petang pun kami semua pindah ke bawah, ke ruang makan yang tertutup, di mana perapian dinyalakan oleh sang pemilik penginapan. Langsung terasa hangat saat masuk ke dalamnya. Sementara itu tampak beberapa gadget yang sedang dicharge di meja dekat kasir. Waktu ditanya, ternyata mengecharge HP di sini gratis (kadang ada yang berbayar juga), jadi kami memanfaatkannya dengan mengecharge HP kami berdua di sini.

Jam 6 petang, makanan kami pun tiba. Egg noodle soup ternyata adalah mie kuah yang diberi telur dadar yang dipotong-potong. Sedangkan egg chopsi pesanan suamiku berupa mie yang kering  dan crispy, lalu disiram masakan kentang dan sayuran yang diberi telur. Masakan di tempat ini menurutku relatif enak dan tidak terlalu asin seperti siang harinya. Setelah kenyang, kami masih mengobrol dulu di meja makan. Baru sekitar jam 7 malam, saat makan malam Lionel dan MariAnne datang, kami berpamitan hendak masuk ke dalam kamar.

Naik ke dalam kamar, kami menyiapkan dan merapikan barang-barang untuk perjalanan esok, lalu mengambil air dari kran untuk difilter dengan water filter yang kami bawa. Kali ini water bladder diisi air lebih banyak daripada sebelumnya, karena takut kehabisan air seperti hari ini. Selesai mengisi perbekalan air minum, sebenarnya kami ingin tidur awal, sudah berbaring di kasur, tapi karena sekat antarkamar yang tipis ini, suara-suara tamu lain yang belum tidur terdengar sangat jelas dan cukup mengganggu. Biasanya yang suaranya paling keras adalah orang-orang Perancis, kalau ngomong tidak dijaga volumenya, tidak peduli pada orang lain pula.

Kebanyakan trekker dari negara-negara Western ini memang kuat berjalan kaki, mereka bisa berjalan dengan cepat, tapi banyak juga yang sore hari sudah tidur. Aku sendiri baru bisa tidur di atas jam 11 malam, entah karena terlalu lelah atau apa, tapi menurutku karena kebanyakan minum kopi sore harinya hahahaha...

Hari ini kami berjalan sekitar 11 kilometer, dengan rute naik terus dan beberapa kilometer terakhir berupa anak tangga, total sekitar 7 jam dengan beberapa kali berhenti untuk istirahat. Dan malam ini pun kami tidur di dalam kamar dengan suhu 10 derajat Celcius. Untungnya selimut yang disediakan cepat menghangatkan badan.

Hari ini terasa sangat berat bagiku, dan aku tidak tahu apakah kami bisa menyelesaikan rute yang kami rencanakan, tapi kami akan berusaha sekuat tenaga kami. Harus tetap semangat!!!


To be continued.......

No comments:

Post a Comment