9 November 2017
Hari ini aku bangun jam 4 pagi, dan melakukan aktivitas pagi seperti biasa, membuat kopi panas. Tidak seperti biasanya, suamiku terbangun tidak lama setelah aku bangun, jadi sekalian kubuatkan segelas kopi juga, dan kami minum kopi bersama. Selama trekking, baru di Chhomrong dan di Bhanuwa ini kami mendapatkan sinyal internet, itu pun kadang sinyalnya bagus dan kadang tidak.
Jam 6.30 pagi kami sudah siap dan masuk ke ruang makan. Setelah menunggu cukup lama, barulah 6.45 pagi sarapan kami siap. Tadi malam kami sudah memesan potato soup seharga NRs 250 dan plain fried potato seharga NRs 360. Potato soupnya kami makan berdua, dan fried potato kujadikan bekal makan siang setelah dimakan sedikit. Tidak lupa minum pain killer yang diberi oleh MariAnne. Selesai sarapan, kami membayar seluruh pengeluaran makan di tempat ini yang berjumlah NRs 1,480 (termasuk harga kamarnya NRs 300).
Seusai makan, kami mengambil backpack kami, dan menitipkan barang-barang yang akan ditinggal yang sudah kami siapkan kemarin sorenya. Jam 7.25 pagi, kami sudah mulai lagi melanjutkan perjalanan. Baru saja mulai, satu jam pertama sudah dihajar dengan mendaki cukup curam, dan utamanya berupa tangga lagi. Setengah jalan menuju ke Sinuwa ini, kami sempat berhenti di suatu tempat yang seperti lapangan yang cukup luas. Tampak beberapa porter yang sudah kami kenal juga sedang beristirahat di tempat ini. Kami memotret view di sekitar, lalu mengajak 4 orang porter tersebut untuk selfie (dua di antara mereka pada akhirnya menjadi teman FB-ku). Lalu seorang dari anggota rombongan Korea Selatan yang selalu baik kepada kami di hari-hari sebelumnya baru saja sampai, dan ikut selfie bersama kami. Setelah itu malah dia mengajakku foto berdua juga hehehehe...
Sebenarnya sejak hari kedua (atau ketiga ya, aku lupa), tiap hari kami selalu diajak foto bersama, selalunya oleh rombongan dari Korea Selatan. Seperti kuceritakan sebelumnya, dalam perjalanan trekking ini kami bertemu dengan beberapa rombongan dari Korea Selatan, dan 2 rombongan serta sepasang suami istri, ada saja yang setiap harinya mengajak foto bersama. Ini terjadi setiap hari sampai hari ke-8 lho... Entah kenapa mereka suka sekali foto dengan kami. Serasa jadi selebriti jadinya hahahaha...
Selesai berfoto, kami melanjutkan perjalanan sampai ke desa Sinuwa, dengan ketinggian 2.360 mdpl. View di tempat ini indah sekali, kami pun memotret sejenak. Hanya ada 3 penginapan di Sinuwa, karena desanya memang kecil. Ada seorang pemilik penginapan yang kemudian memanggil kami dan menunjukkan ada seekor monyet yang kepalanya berbulu putih di pepohonan di bawah sana. Kami pun memotret monyet gunung yang unik tersebut walaupun tidak terlalu jelas hasilnya karena tampak kecil sekali di kejauhan. Dari desa Sinuwa ini, puncak Fish Tail tampak menyembul di balik perbukitan.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke desa selanjutnya, Bamboo. Rute menuju desa Bamboo ini berupa jalan setapak di pinggiran bukit. Di awal-awal masih banyak pohon di kanan kiri, jadi masih sering terlindung dari panasnya sinar matahari, tapi mulai separuh jalan mulai terasa teriknya matahari. Jalannya cukup menanjak dan seringkali anak tangganya agak curam. Beberapa kali pula kami menemui mata air di sepanjang jalan. Setelah menanjak lebih dari 1 jam, barulah jalannya menurun. Ratusan anak tangga berjejer di tepi bukit yang panas ini. Dan beberapa menit menjelang memasuki desa, seperti biasa, tangga naik mengantar kami masuk ke desa kecil yang indah ini.
Di desa Bamboo hanya ada 5 penginapan. Tempatnya indah, diapit pegunungan di sisi-sisinya, dan suara air yang mengalir di sungai Modi Khola selalu terdengar di tempat ini. Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil, kami pun melewati penginapan terakhir di Bamboo, dan keluar dari wilayah desanya. Keluar dari Bamboo, kami memasuki hutan yang terasa dingin karena matahari tidak tembus ke dalamnya. Sesuai dengan namanya, sebagian besar pohon di hutan ini merupakan pohon bambu. Dan walaupun di dalam hutan pun, rutenya masih terus menanjak naik, melewati anak tangga alam dari bebatuan, tanah, dan juga pepohonan.
Satu hal yang belum aku ceritakan adalah begitu banyak kotoran kuda dan kerbau sepanjang awal trekking dari hari pertama. Kotoran-kotoran hewan ini bisa berserakan di mana-mana, baik di pinggir maupun di tengah jalan setapak, kadang bertumpuk-tumpuk di anak tangga, dan kadangkala masih fresh barusan diproduksi hahahaha... Di mana pun dan kapan pun, selalu ada kotoran hewan ini, termasuk di tangga yang jumlahnya ribuan sekalipun. Memang kami banyak berpapasan dengan rombongan kuda selama trekking, kemungkinan mereka membawa bahan baku atau barang-barang kebutuhan penduduk sekitar. Sepertinya mereka inilah yang paling banyak berpartisipasi dalam menyumbangkan kotorannya hahahaha...
Sebetulnya hal ini tidak terlalu menjadi masalah, tinggal kita saja yang lebih berhati-hati berjalan kalau tidak mau menginjaknya. Yang jadi masalah buatku adalah, bahwa untuk jalan yang menanjak, terutama anak tangga naik, aku berusaha untuk mengatur nafas sebaik mungkin, dan menggunakan nafas perut, seperti dalam yoga. Inilah rahasiaku supaya tidak terlalu ngos-ngosan saat jalannya menanjak. Sebetulnya aku sudah berusaha mengajarkan soal cara bernafas ini kepada suamiku, supaya dia tidak terlalu kehabisan nafas, tapi sepertinya sulit baginya untuk mempraktekkannya setiap saat.
Pada saat naik tangga, apalagi yang curam, satu tarikan nafas sinkron dengan satu langkah kaki, dan langkah berikutnya sinkron dengan menghembuskan nafas. Jadi kalau langkahnya perlahan-lahan, menarik nafasnya pun dalam-dalam. Yang sedih adalah kalau sedang menarik nafas dalam-dalam, dan persis di depan mata ada kotoran hewan yang masih fresh. Baunya itu lho hahahaha.... memang sih tidak bau busuk sekali, karena hewan-hewan ini hanya makan rumput, tapi akan lebih menyenangkan kalau tidak ada bau-bauan sama sekali sih hehehehe....
Nah, yang aku suka, sejak desa Bamboo tidak ada lagi kotoran kuda atau kerbau di sepanjang trek. Aku tidak perlu takut menginjak hasil produksi yang masih baru, dan pastinya bisa bernafas lebih lega dan leluasa, karena tidak ada lagi bau-bau kurang sedap, kecuali kalau ada trekker lain yang bau badannya menyengat hehehehe...
Dari Bamboo ke desa selanjutnya, Dovan, medannya kebanyakan menanjak. Pemandangan indah seringkali menyertai langkah kami. Beberapa air terjun kecil dan sungai juga kami jumpai sepanjang perjalanan. Beberapa saat menjelang sampai di Dovan, banyak jalan setapak yang basah tergenang air yang berasal dari mata air yang mengalir dari bebatuan dan tanah di sepanjang trek. Kami memasuki Dovan jam 11.40 siang. Di desa ini hanya ada 3 penginapan, dan kami sempat beristirahat sejenak duduk di tepian desa ini. Di sini kami bertemu lagi dengan Michael dan kedua orang guidenya. Kami hanya bertegur sapa sejenak, karena mereka tampak sedang istirahat dan duduk-duduk di restoran depan penginapan.
Melewati Dovan, jalannya masih berupa jalan setapak di kaki bukit, menanjak, dan 80%-nya basah atau becek akibat begitu banyak mata air sepanjang perjalanan. Kalau sepatu yang kita pakai tidak waterproof, sudah pasti kaki kita akan basah kuyup. Bahkan dengan sepatu yang anti air pun, karena perjalanan yang panjang setiap hari dari pagi sampai sore, kaos kaki yang dipakai akan terasa basah atau minimal lembab sekali. Tidak heran kalau sore hari di penginapan banyak kaos kaki berjejer di tali jemuran di depan kamar, termasuk kami juga hehehehe...
Semenjak jam 12 siang pun, gerimis dan hujan rintik mewarnai perjalanan kami. Buat kami berdua tidak jadi masalah, apalagi aku suka hujan. Namun aku melihat banyak trekker lain, terutama yang Western, baru gerimis sedikiiiit saja sudah pakai jas hujan, dan backpacknya pun ditutup rapat dengan jas hujan, padahal gerimisnya mungkin hanya beberapa saat saja.
Jalan dari Dovan menuju Himalaya ini banyak yang menanjaknya cukup curam dan relatif agak susah. Sekitar jam 1.30 siang, kami melalui jalan setapak di sisi bukit yang tidak terlalu lebar dengan jurang di sisi kanannya, dan di seberang jurang ini tampak puluhan mata air, besar dan kecil, yang sangat indah. Andai tidak dalam kondisi perjalanan panjang yang serasa tiada habisnya ini, aku akan sangat menikmati pemandangan ini. Mengingatkanku akan Milford Sound di New Zealand. Sangat indah! Sekitar 15 menit sebelum sampai di Himalaya, tampak sungai di dasar jurang, mengalirkan airnya yang deras dan tampak kebiruan, sangat indah.
Kami sampai ke desa Himalaya tepat jam 2.30 siang. Desa ini berada di ketinggian 2.900 mdpl. Cuaca masih mendung setelah gerimis tadi. Awalnya kami berniat untuk bermalam di desa ini. Saat itu kami sedang duduk beristirahat di penghujung desa dan sedang mempertimbangkan akan bagaimana selanjutnya, ketika kami diajak foto-foto oleh pasangan dari Korea yang baru sampai (tuh kan diajak foto lagi). Mereka berdua juga sering sekali bertemu dan menyapa kami sepanjang trekking. Mereka memiliki seorang guide dan dua orang porter. Baru keesokan paginya aku tahu nama guide mereka ini, Namanya Pasang Sherpa. Katanya mereka akan lanjut sampai ke Deurali. Setelah berfoto, kami pun berjalan lebih dahulu untuk melihat situasi di desa ini. Kami membaca sebuah papan petunjuk di sebuah tembok, di mana untuk menuju ke desa selanjutnya, Deurali, hanya butuh waktu 2 jam saja. Maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi sampai ke Deurali. Entah mengapa, kami merasa agak kurang sreg bermalam di Himalaya, karena selain desanya tampak kecil sekali, sepertinya orang-orang yang sudah kami kenal kebanyakan menuju ke Deurali. Kata suami, kalau jalan 2 jam lagi masih sanggup deh!
Maka kami pun segera berjalan keluar dari desa Himalaya, dan melanjutkan perjalanan. Kesalahan kami yang utama adalah tidak bertanya terlebih dahulu kepada orang lain, bagaimana gerangan trek menuju Deurali. Dan ternyata ini menjadi kejutan yang tidak menyenangkan sepanjang perjalanan berikutnya: rute trek dari Himalaya ke Deurali merupakan rute terberat bagi kami selama trekking ini.
Jam 6.30 pagi kami sudah siap dan masuk ke ruang makan. Setelah menunggu cukup lama, barulah 6.45 pagi sarapan kami siap. Tadi malam kami sudah memesan potato soup seharga NRs 250 dan plain fried potato seharga NRs 360. Potato soupnya kami makan berdua, dan fried potato kujadikan bekal makan siang setelah dimakan sedikit. Tidak lupa minum pain killer yang diberi oleh MariAnne. Selesai sarapan, kami membayar seluruh pengeluaran makan di tempat ini yang berjumlah NRs 1,480 (termasuk harga kamarnya NRs 300).
Seusai makan, kami mengambil backpack kami, dan menitipkan barang-barang yang akan ditinggal yang sudah kami siapkan kemarin sorenya. Jam 7.25 pagi, kami sudah mulai lagi melanjutkan perjalanan. Baru saja mulai, satu jam pertama sudah dihajar dengan mendaki cukup curam, dan utamanya berupa tangga lagi. Setengah jalan menuju ke Sinuwa ini, kami sempat berhenti di suatu tempat yang seperti lapangan yang cukup luas. Tampak beberapa porter yang sudah kami kenal juga sedang beristirahat di tempat ini. Kami memotret view di sekitar, lalu mengajak 4 orang porter tersebut untuk selfie (dua di antara mereka pada akhirnya menjadi teman FB-ku). Lalu seorang dari anggota rombongan Korea Selatan yang selalu baik kepada kami di hari-hari sebelumnya baru saja sampai, dan ikut selfie bersama kami. Setelah itu malah dia mengajakku foto berdua juga hehehehe...
Sebenarnya sejak hari kedua (atau ketiga ya, aku lupa), tiap hari kami selalu diajak foto bersama, selalunya oleh rombongan dari Korea Selatan. Seperti kuceritakan sebelumnya, dalam perjalanan trekking ini kami bertemu dengan beberapa rombongan dari Korea Selatan, dan 2 rombongan serta sepasang suami istri, ada saja yang setiap harinya mengajak foto bersama. Ini terjadi setiap hari sampai hari ke-8 lho... Entah kenapa mereka suka sekali foto dengan kami. Serasa jadi selebriti jadinya hahahaha...
Selesai berfoto, kami melanjutkan perjalanan sampai ke desa Sinuwa, dengan ketinggian 2.360 mdpl. View di tempat ini indah sekali, kami pun memotret sejenak. Hanya ada 3 penginapan di Sinuwa, karena desanya memang kecil. Ada seorang pemilik penginapan yang kemudian memanggil kami dan menunjukkan ada seekor monyet yang kepalanya berbulu putih di pepohonan di bawah sana. Kami pun memotret monyet gunung yang unik tersebut walaupun tidak terlalu jelas hasilnya karena tampak kecil sekali di kejauhan. Dari desa Sinuwa ini, puncak Fish Tail tampak menyembul di balik perbukitan.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke desa selanjutnya, Bamboo. Rute menuju desa Bamboo ini berupa jalan setapak di pinggiran bukit. Di awal-awal masih banyak pohon di kanan kiri, jadi masih sering terlindung dari panasnya sinar matahari, tapi mulai separuh jalan mulai terasa teriknya matahari. Jalannya cukup menanjak dan seringkali anak tangganya agak curam. Beberapa kali pula kami menemui mata air di sepanjang jalan. Setelah menanjak lebih dari 1 jam, barulah jalannya menurun. Ratusan anak tangga berjejer di tepi bukit yang panas ini. Dan beberapa menit menjelang memasuki desa, seperti biasa, tangga naik mengantar kami masuk ke desa kecil yang indah ini.
Di desa Bamboo hanya ada 5 penginapan. Tempatnya indah, diapit pegunungan di sisi-sisinya, dan suara air yang mengalir di sungai Modi Khola selalu terdengar di tempat ini. Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil, kami pun melewati penginapan terakhir di Bamboo, dan keluar dari wilayah desanya. Keluar dari Bamboo, kami memasuki hutan yang terasa dingin karena matahari tidak tembus ke dalamnya. Sesuai dengan namanya, sebagian besar pohon di hutan ini merupakan pohon bambu. Dan walaupun di dalam hutan pun, rutenya masih terus menanjak naik, melewati anak tangga alam dari bebatuan, tanah, dan juga pepohonan.
Satu hal yang belum aku ceritakan adalah begitu banyak kotoran kuda dan kerbau sepanjang awal trekking dari hari pertama. Kotoran-kotoran hewan ini bisa berserakan di mana-mana, baik di pinggir maupun di tengah jalan setapak, kadang bertumpuk-tumpuk di anak tangga, dan kadangkala masih fresh barusan diproduksi hahahaha... Di mana pun dan kapan pun, selalu ada kotoran hewan ini, termasuk di tangga yang jumlahnya ribuan sekalipun. Memang kami banyak berpapasan dengan rombongan kuda selama trekking, kemungkinan mereka membawa bahan baku atau barang-barang kebutuhan penduduk sekitar. Sepertinya mereka inilah yang paling banyak berpartisipasi dalam menyumbangkan kotorannya hahahaha...
Sebetulnya hal ini tidak terlalu menjadi masalah, tinggal kita saja yang lebih berhati-hati berjalan kalau tidak mau menginjaknya. Yang jadi masalah buatku adalah, bahwa untuk jalan yang menanjak, terutama anak tangga naik, aku berusaha untuk mengatur nafas sebaik mungkin, dan menggunakan nafas perut, seperti dalam yoga. Inilah rahasiaku supaya tidak terlalu ngos-ngosan saat jalannya menanjak. Sebetulnya aku sudah berusaha mengajarkan soal cara bernafas ini kepada suamiku, supaya dia tidak terlalu kehabisan nafas, tapi sepertinya sulit baginya untuk mempraktekkannya setiap saat.
Pada saat naik tangga, apalagi yang curam, satu tarikan nafas sinkron dengan satu langkah kaki, dan langkah berikutnya sinkron dengan menghembuskan nafas. Jadi kalau langkahnya perlahan-lahan, menarik nafasnya pun dalam-dalam. Yang sedih adalah kalau sedang menarik nafas dalam-dalam, dan persis di depan mata ada kotoran hewan yang masih fresh. Baunya itu lho hahahaha.... memang sih tidak bau busuk sekali, karena hewan-hewan ini hanya makan rumput, tapi akan lebih menyenangkan kalau tidak ada bau-bauan sama sekali sih hehehehe....
Nah, yang aku suka, sejak desa Bamboo tidak ada lagi kotoran kuda atau kerbau di sepanjang trek. Aku tidak perlu takut menginjak hasil produksi yang masih baru, dan pastinya bisa bernafas lebih lega dan leluasa, karena tidak ada lagi bau-bau kurang sedap, kecuali kalau ada trekker lain yang bau badannya menyengat hehehehe...
Dari Bamboo ke desa selanjutnya, Dovan, medannya kebanyakan menanjak. Pemandangan indah seringkali menyertai langkah kami. Beberapa air terjun kecil dan sungai juga kami jumpai sepanjang perjalanan. Beberapa saat menjelang sampai di Dovan, banyak jalan setapak yang basah tergenang air yang berasal dari mata air yang mengalir dari bebatuan dan tanah di sepanjang trek. Kami memasuki Dovan jam 11.40 siang. Di desa ini hanya ada 3 penginapan, dan kami sempat beristirahat sejenak duduk di tepian desa ini. Di sini kami bertemu lagi dengan Michael dan kedua orang guidenya. Kami hanya bertegur sapa sejenak, karena mereka tampak sedang istirahat dan duduk-duduk di restoran depan penginapan.
Melewati Dovan, jalannya masih berupa jalan setapak di kaki bukit, menanjak, dan 80%-nya basah atau becek akibat begitu banyak mata air sepanjang perjalanan. Kalau sepatu yang kita pakai tidak waterproof, sudah pasti kaki kita akan basah kuyup. Bahkan dengan sepatu yang anti air pun, karena perjalanan yang panjang setiap hari dari pagi sampai sore, kaos kaki yang dipakai akan terasa basah atau minimal lembab sekali. Tidak heran kalau sore hari di penginapan banyak kaos kaki berjejer di tali jemuran di depan kamar, termasuk kami juga hehehehe...
Semenjak jam 12 siang pun, gerimis dan hujan rintik mewarnai perjalanan kami. Buat kami berdua tidak jadi masalah, apalagi aku suka hujan. Namun aku melihat banyak trekker lain, terutama yang Western, baru gerimis sedikiiiit saja sudah pakai jas hujan, dan backpacknya pun ditutup rapat dengan jas hujan, padahal gerimisnya mungkin hanya beberapa saat saja.
Kami sampai ke desa Himalaya tepat jam 2.30 siang. Desa ini berada di ketinggian 2.900 mdpl. Cuaca masih mendung setelah gerimis tadi. Awalnya kami berniat untuk bermalam di desa ini. Saat itu kami sedang duduk beristirahat di penghujung desa dan sedang mempertimbangkan akan bagaimana selanjutnya, ketika kami diajak foto-foto oleh pasangan dari Korea yang baru sampai (tuh kan diajak foto lagi). Mereka berdua juga sering sekali bertemu dan menyapa kami sepanjang trekking. Mereka memiliki seorang guide dan dua orang porter. Baru keesokan paginya aku tahu nama guide mereka ini, Namanya Pasang Sherpa. Katanya mereka akan lanjut sampai ke Deurali. Setelah berfoto, kami pun berjalan lebih dahulu untuk melihat situasi di desa ini. Kami membaca sebuah papan petunjuk di sebuah tembok, di mana untuk menuju ke desa selanjutnya, Deurali, hanya butuh waktu 2 jam saja. Maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi sampai ke Deurali. Entah mengapa, kami merasa agak kurang sreg bermalam di Himalaya, karena selain desanya tampak kecil sekali, sepertinya orang-orang yang sudah kami kenal kebanyakan menuju ke Deurali. Kata suami, kalau jalan 2 jam lagi masih sanggup deh!
Maka kami pun segera berjalan keluar dari desa Himalaya, dan melanjutkan perjalanan. Kesalahan kami yang utama adalah tidak bertanya terlebih dahulu kepada orang lain, bagaimana gerangan trek menuju Deurali. Dan ternyata ini menjadi kejutan yang tidak menyenangkan sepanjang perjalanan berikutnya: rute trek dari Himalaya ke Deurali merupakan rute terberat bagi kami selama trekking ini.
Baru saja keluar dari desa, tampak rute yang cukup seram terhampar di depan mata. Bongkahan-bongkahan bebatuan yang besar dan tidak beraturan saling bertumpuk-tumpuk. Anak-anak tangga pun hanya tersusun dari batu-batuan yang tidak teratur. Hampir tidak ada jalan setapak yang normal, yang ada hanya batu-batuan, dari yang berukuran raksasa sampai yang terkecil. Tanjakan-tanjakan yang cukup terjal banyak dijumpai, terkadang sampai lebih dari 60 derajat. Kami juga sempat melewati jalan pintas yang sangat curam dan sebetulnya cukup menyeramkan, namun demi efisiensi waktu, kami memilih jalan pintas ini.
Karena tanjakan-tanjakan yang cukup maut ini, sedari awal suamiku sudah tampak kesulitan dan ngos-ngosan. Jadi seringkali aku berjalan terlebih dahulu, lalu menunggunya sampai cukup lama. Beberapa kali kami bertemu dengan trekker lain yang baru turun, sampai kemudian aku melihat seorang laki-laki muda yang wajahnya Indonesia banget, jadi kusapa dia. Ternyata pemuda ini berasal dari Indonesia juga, dari Jakarta. Senang sekali bertemu dengan trekker yang sebangsa setanah air hehehehe... Kami sempat mengobrol sejenak sembari menunggu suamiku tiba. Mereka sendiri berlima, namun terpencar, satu orang sudah di depan, dan yang tiga orang lainnya masih di belakang, dua di antaranya perempuan.
Kemudian, dari beberapa trekker lain yang kujumpai, beberapa mengatakan bahwa kemungkinan di Deurali penginapan akan penuh, karena sudah banyak trekker yang sampai di sana. Aku jadi agak kuatir juga mendengarnya.
Setelah berjalan lagi, terpisah rentang waktu beberapa menit, aku akhirnya bertemu dengan kedua perempuan Indonesia yang termasuk dalam group yang berlima tadi. Salah satu dari gadis muda ini, namanya Rinda, mengatakan kepadaku untuk tidak kuatir, karena penginapan di Deurali cukup banyak. Seharusnya perkataannya ini menenangkanku, tapi entah kenapa aku masih merasa tidak aman, takut tidak mendapatkan penginapan lagi seperti 2 malam yang lalu.
Dari situlah, aku memutuskan untuk tidak menunggu suamiku yang masih tertinggal di belakang. Aku berpikir, kami tidak mungkin kembali lagi ke Himalaya dengan rute seberat ini, dan mengulang lagi keesokan harinya. Sedangkan apabila aku terus-menerus menunggu suami tercinta, kami akan tiba di Deurali sangat sore, dan bisa-bisa tidak ada lagi tempat untuk menginap. Maka kuputuskan untuk berjalan dan mendaki secepat mungkin, sendirian, agar sampai lebih dahulu di Deurali, dan mencari penginapan untuk kami berdua, agar setidaknya kalau suamiku sampai, dia bisa langsung beristirahat.
Aku berusaha secepat mungkin mendaki batu-batuan raksasa ini, bisa dibilang setengah berlarian. Saat itu aku kembali bertemu dengan 2 orang pemuda asal Indonesia, kali ini dari Makassar. Kami sempat berbincang-bincang sejenak. Mereka mengatakan bahwa rute menuju ke Deurali ini memang salah satu medan yang tersulit. Mereka memberi semangat kepadaku bahwa kami pasti akan bisa melaluinya. Aku pun minta tolong kepada kedua pemuda yang baik ini untuk menyampaikan pesan kepada suamiku, bahwa aku akan jalan lebih dulu, dan tidak perlu kuatir dan bingung mencariku, karena aku akan mencari penginapan untuknya di Deurali. Setelah mengucapkan terima kasih dengan setulus hati, aku pun kembali melanjutkan perjalanan.
Karena aku bisa berjalan cukup cepat, akhirnya aku bisa menyusul sebuah rombongan dari Korea Selatan yang sedang berjalan bersama seorang guidenya. Kebetulan aku sedang berjalan persis di belakang guide tersebut, ketika sang guide berbelok ke sebuah rute yang bukan rute utama. Aku mendengarnya berkata bahwa ini adalah jalan pintas. Tampak bahwa jalan pintas ini sangat sempit, curam, dan hanya ada semak-semak sebelum jurang di kanan jalan, sampai aku bertanya, apakah jalannya aman? Guide tersebut menjawab, aman kok. Maka aku pun mengikuti persis di belakangnya, melewati jalan yang hanya sekitar 30-40 cm lebarnya, dengan semak belukar yang tinggi di sekitar, dan jurang di balik semak-semak tersebut. Menjelang keluar dari jalan pintas ini, tanjakannya sangat curam dan baunya pesing hahahaha...
Keluar dari jalan ini, tidak lama kemudian sampailah aku dan rombongan ini di Hinku Cave. Rombongan tersebut beserta guide mereka berhenti dan beristirahat di gua ini, yang merupakan titik separuh jalan menuju Deurali. Aku tidak punya waktu untuk istirahat atau memotret, jadi aku hendak langsung melanjutkan perjalanan, dan jalannya tampak membingungkan untuk keluar dari area gua ini. Kebetulan aku melihat Laxman, pemuda yang bisa berbahasa Melayu yang sering menyapa kami berdua. Dia juga guide dari rombongan Korea yang barusan bersamaku. Aku pun bertanya kepada Laxman arah jalan yang benar. Setelah dia menunjukkan arah, aku pun minta tolong kepadanya untuk menyampaikan kepada suamiku pesan yang sama seperti sebelumnya, bahwa aku akan berjalan lebih dulu untuk mencari penginapan, seandainya suamiku sampai di gua ini saat Laxman masih berada di sini. Laxman malah sempat mengatakan bahwa aku tidak perlu kuatir soal penginapan, karena kami adalah turis, pasti akan diutamakan oleh para pemilik penginapan. Hmmm... tadinya aku sempat bimbang lagi, tapi kuputuskan untuk tetap lanjut saja.
Apa yang kualami setelah itu benar-benar menguji iman dan keberanianku. Aku benar-benar berjalan sendirian, tidak ada orang lain di sekitarku. Sebetulnya tampak ada beberapa orang yang berjalan juga, namun mereka sangat jauh di belakangku. Dari warna pakaian mereka, aku tahu itu adalah pasangan Korea yang tadi foto bersama di Himalaya bersama Pasang, guide mereka.
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Setelah keluar dari gua tadi, jalan setapak masih tampak cukup jelas. Nun jauh di seberang sana, desa Deurali mulai tampak. Atap bangunan yang khas berwarna biru tampak sangat kecil-kecil, dengan lembah yang terbentang di sisi kanan dan sungai di dasarnya. Lama-kelamaan, jalan setapaknya tidak terlihat lagi, yang ada hanya bebatuan tidak beraturan yang besar-besar, menanjak, dan cukup sulit dilalui. Tanpa terasa, air mata pun menetes sembari berdoa, setengahnya mohon kepadaNya agar aku bisa melalui semua ini, karena aku tidak tahu apakah aku akan sanggup, dan setengahnya lagi mohon agar tidak terjadi hal-hal yang buruk kepada belahan jiwaku di belakang sana dan agar dia tetap memiliki energi untuk berjalan melalui semua medan yang sangat sulit ini.
Aku benar-benar hanya mengandalkan insting dan akal sehat di beberapa tempat, karena yang ada di depan mata hanya batu-batu tanpa arah yang jelas. Peluh yang bercucuran sudah tidak lagi kupedulikan, aku hanya ingin sesegera mungkin sampai di Deurali. Air mata pun makin deras mengalir, penuh doa dan harapan. Biasanya kalau ada rute yang ekstrem pasti kusempatkan memotret, namun kali ini benar-benar tidak terpikir untuk memotret.
Aku sampai di suatu titik, di mana ada sebuah jembatan pendek dan sempit tanpa pengaman, yang terbentang di atas aliran air yang sangat deras, di mana air tersebut mengalir ke sebuah jurang. Saat melihat jembatan ini dari kejauhan, aku tidak kuasa menahan air mataku. Aku tahu bahwa aku tidak akan sanggup menyeberanginya seorang diri. Biasanya suamiku yang selalu menggandengku di tempat-tempat yang berbahaya seperti ini. Dan saat ini tidak ada orang lain di sekitarku. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, Bapa, aku tidak akan bisa melewati ini, Engkau tahu itu.
Tiba-tiba saja dari sebuah tikungan dari arah yang berlawanan, muncul 2 orang laki-laki berusia 30-an. Mereka hendak menyeberangi jembatan ini. Aku bahkan terlalu takut untuk minta bantuan mereka, hingga laki-laki kedua yang menyeberang mengulurkan tangannya kepadaku dan membimbingku menyeberangi jembatan ini dengan selamat. OMG! Aku sangat-sangat berterima kasih kepadanya, pertolongannya sangat berarti buatku!! Aku percaya bahwa ini adalah mujizat, dan pertolonganNya tidak pernah datang terlambat, selalu tepat pada waktunya.
Setelah kusempatkan memotret sejenak jembatan yang menyeramkan ini, aku jadi bersemangat lagi dan berjalan secepat mungkin. Masih ada beberapa air terjun dan jembatan kecil yang harus dilewati, namun relatif jauh lebih mudah dari yang sebelumnya. Jalan setapak pun mulai tampak lagi. Aku pun menyadari betapa indahnya tempat ini. Setelah berjalan dengan tergesa-gesa, tampaklah deretan anak tangga di depan sana, dan setelah menaiki lebih dari 100 anak tangga, jam 4.30 sore sampailah aku di Deurali!
Tugasku belum usai. Aku masih harus mencari tempat menginap untuk malam ini, dan aku berniat hendak menjemput suamiku setelah aku bisa meletakkan backpackku. Aku memasuki penginapan kedua, Dream Guest House, yang tampak lebih sreg di hati, dan menanyakan apakah masih ada kamar, yang tentu saja dijawab sudah habis! Pemiliknya mengatakan, kalau mau, masih ada bed di dining room. Dia menunjuk ke arah ruang makan yang cukup besar dengan beberapa kasur di sepanjang pinggirnya. Harganya NRs 100/bed/night. Kami boleh memakai bed 1 dan 2 yang masih kosong, lainnya sudah terisi. Karena masih bingung dan ragu-ragu, berharap masih ada kamar di penginapan lain, aku iyakan dulu saja untuk berjaga-jaga. Aku meletakkan backpackku di tempat ini, lalu berjalan menuju ke penginapan lain.
Di penginapan-penginapan yang lain, semua kamar sudah penuh. Ada satu penginapan, kalau kami mau tidur di ruangan di belakang meja kasir, harganya NRs 150/orang. Hanya sedikiiit lebih private dibanding tidur di ruang makan karena ada temboknya separuh badan. Aku juga masih ragu-ragu, jadi aku bilang nanti akan kembali lagi jika aku jadi mengambilnya.
Keluar dari penginapan ini, aku melihat Ruben, Deivid, dan Miguel. Kami pun saling berjabat tangan, sangat gembira bisa bertemu lagi. Aku menceritakan kepada mereka bahwa semua kamar di tempat ini sudah penuh. Lalu muncul Dawa, si pemuda dari Tibet, yang setelah mendengar ceritaku malah menawarkan kamarnya kalau kami mau. Mereka berlima (bersama pak tua dari Jerman) sudah memesan kamar di tiap desa sampai Annapurna Base Camp sejak 2 hari lalu saat kami di Chuile, karena makin tinggi lokasinya, penginapan hanya ada sedikit. Aku sempat melihat kamar mereka. Kamar sharing bersama beberapa orang lain, dengan jumlah total 9 single bed. Ruangan kamarnya pun tampak sempit. Per malamnya NRs 180/bed. Kalau kupikir-pikir, di dining room justru ruangannya lebih luas, walaupun tentu saja siapa pun bisa keluar masuk. Akhirnya kuputuskan untuk tetap tidur di dining room di Dream Guest House.
Saat itu sudah pukul 5 sore, dan kulihat kabut mulai turun di arah jalan setapak menuju desa ini. Aku benar-benar kuatir apabila jalan setapak tertutup kabut, dan suamiku tersesat, mengingat medannya yang sangat sulit, dan sebelum berangkat ke Nepal pun suamiku pernah bercerita ada orang yang tersesat di hutan gara-gara kabut. Maka aku berpamitan kepada mereka semua dan mengatakan hendak menjemput suamiku dulu. Sebenarnya aku ingin minta tolong kepada Dawa untuk menemaniku menjemput suamiku, tapi aku sungkan. Aku tahu mereka semua pasti juga lelah.
Jadi aku kembali ke Dream Guest House, memastikan kepada pemiliknya bahwa aku akan menginap di dining room. Aku sekalian memesan makan malam, seporsi vegetable fried rice seharga NRs 380, seporsi egg fried rice seharga NRs 410, dan 2 gelas ginger tea seharga @NRs 100. Setelah itu aku mengenakan fleece, dan berbekal head lamp dan trekking pole, aku pun bergegas keluar.
Baru turun beberapa anak tangga, tampak Dawa sedang naik dari bawah. Ternyata dia baru saja turun dan mencariku, tapi tidak tampak, jadi kembali lagi. Dia mau menemaniku menjemput suamiku. Waaaah aku senang sekaligus terharu sekali...
Maka kami berdua pun turun tangga, berjalan cepat, menyeberangi 2 air terjun dan hendak melangkah lebih jauh, ketika kulihat suamiku muncul dari sebuah belokan. Aku berteriak memanggil suamiku, dan dia melambaikan tangannya. Dawa cepat-cepat turun dan menjemputnya, lalu membawakan backpack suamiku agar bebannya tak lagi berat.
Akhirnyaaaaa.... kami bertiga pun sampai dengan selamat di Deurali. Waktu sudah menunjukkan lebih dari jam 5.40 petang dan suasana sudah mulai gelap. Setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Dawa, dia pun meninggalkan kami kembali ke penginapannya. Ini adalah mujizat kedua yang kualami hari ini.
Kami berdua segera masuk ke dining room, dan kujelaskan kepada suami tercinta bagaimana situasinya, dan syukurlah dia bisa menerima bahwa kami harus tidur di ruangan umum ini.
Aku bertanya kepada suamiku, apakah ada yang menyampaikan pesanku saat berjalan menuju Deurali? Kata suamiku, iya, ada dua kali. Yang pertama adalah yang dua pemuda Indonesia dari Makassar tadi. Sedangkan yang kedua adalah Laxman. Aku terharu sekali, mereka benar-benar menyampaikan pesanku, terutama Laxman, karena berarti Laxman menunggu di gua sampai suamiku datang. Padahal seharusnya dia mendampingi rombongannya, dan rombongannya sudah lama sampai di Deurali. Kata suamiku, saat dia baru sampai dan hendak istirahat di Hinku Cave, tiba-tiba Laxman muncul dari arah dalam dan menyampaikan pesan untuknya.
Oya, saat kami sedang berada di luar, kami sempat bertemu dengan Thakur dan Phrobin. Mereka tampak senang sekali kami bisa sampai di Deurali. Namun aku menerima berita buruk. Menurut Thakur, semua kamar di ABC (Annapurna Base Camp) sudah penuh. Tempat di ruang makan pun tidak ada. Benar-benar penuh!
Duh, padahal kami berdua ingin bisa melewatkan satu malam di ABC. Ingin melihat seperti apa sunrise di sana. Lalu Thakur mengatakan kepada kami agar kami memesan kamar saja sesampai di Machhapuchhre Base Camp (MBC), dan kalau dia sudah sampai lebih dulu di ABC, dia akan mengusahakan sebisanya untuk mencarikan kamar untuk kami. Kalau dapat, kami akan diteleponnya di penginapan tersebut di MBC. Nama penginapannya adalah Gurung Co-Operative Guest House. Kami mengiyakan dan berterima kasih kepadanya.
MBC adalah satu-satunya desa di antara Deurali dan ABC dan untuk berjalan dari MBC ke ABC lamanya 2 jam (kalau jalannya cepat).
Sebetulnya aku sudah mempunyai nomor telepon penginapan-penginapan yang ada di ABC, namun semenjak Chuile, sinyal HP benar-benar menghilang sama sekali, jadi aku tidak bisa menggunakannya untuk telepon.
Saat itu udara sudah sangat dingin sekali, entah berapa suhunya, rasanya sudah di bawah nol derajat Celcius. Deurali berada di ketinggian 3.230 mdpl, dengan kabut tebal menutupi pandangan, jadi bisa dibayangkan seperti apa dinginnya. Bahkan di dalam dining room pun tetap terasa begitu dingin walaupun banyak orang di dalamnya. Suasana tampak ramai dengan banyaknya trekker, guide, maupun porter yang berkumpul di ruang makan ini. Sembari mengisi waktu, aku menata backpack dan menyiapkan barang-barang keperluan untuk esok pagi. Untungnya di sisi tiap kasur ada semacam ceruk di dinding yang cukup untuk menata backpack.
Saat itu, pasangan Korea yang baik hati yang siangnya foto bersama kami, juga sedang menanti makan malam di ruang makan bersama Pasang. Saat makan malam inilah terbukti bahwa mereka memang orang-orang yang baik. Karena kasurku berada paling ujung luar, tadinya Pasang menyuruhku untuk duduk agak ke tengah, pindah ke kasur suamiku, supaya kliennya bisa duduk di kasurku. Tapi waktu aku mau pindah, mereka berdua memintaku untuk tidak usah pindah. Mereka memilih duduk sedikit berdesakan di bangku lain yang ada. Mereka bahkan tampak kasihan dan kuatir kepada kami. Sang istri menanyakan apakah kami punya sarung tangan, apakah kami punya jaket tebal. Sewaktu aku bilang kami bawa semuanya, dia tampaknya turut senang dan lega.
Tidak lama setelah itu mereka makan malam, dan kemudian mereka berpamitan untuk kembali ke kamar. Makan malam kami pun siap dihidangkan jam 6.30 malam. Mungkin karena kelelahan, suamiku tidak bisa makan banyak, katanya mual kalau dipaksakan. Sebaliknya, aku justru kelaparan, sampai sisa nasi suamiku pun aku habiskan hahahaha... Seperti biasanya, kalau ada, aku akan minta cabe, dan seperti biasanya juga, orang akan terheran-heran melihatku makan cabe ^_^
Setelah makan malam, kami sudah terlalu malas untuk sikat gigi dan cuci muka di shower room, karena udaranya amat sangat dingin, dan pastinya airnya juga sama dinginnya. Kami hanya kumur-kumur dengan Listerine yang kami bawa. Setelah itu aku berusaha meminjam selimut untuk suamiku kepada pemilik penginapan, dan dia meminjamkan sebuah selimut yang tampaknya sangat tebal dan hangat. Saat kembali ke kasur, tampak ada seorang guide yang tidak kami kenal, sedang duduk di atas kasur suamiku, sedang membicarakan rencana perjalanan esok hari dengan kliennya. Aku pun berkata kepada suamiku, kalau memang sudah lelah dan mau tidur, tidak perlu sungkan menyuruh guide tersebut untuk pindah. Tadinya suamiku masih sungkan, tapi karena sudah terlalu lelah, akhirnya dengan sopan dia berkata kepada guide tersebut bahwa kasurnya akan dipakai untuk tidur. Awalnya si guide ini masih bersikeras mau duduk di sana, hingga suamiku menata kasurnya dan hendak merebahkan diri, barulah guide pindah dan duduk di bangku di seberang meja, walaupun tampaknya kurang senang. Jam 7 malam, suamiku sudah merebahkan diri di kasurnya, memakai earphone dan selimut, dan tidak lama kemudian, sudah kudengar suara mengoroknya yang khas...
Ternyata setelah itu ada beberapa trekker lain yang tadinya sedang duduk-duduk atau membaca, ikut merebahkan diri mereka, mengenakan selimut, dan beristirahat. Sepertinya mereka sungkan mau tidur lebih dulu, dan setelah melihat ada yang mulai tidur, mereka pun ikut tidur hehehehe...
Aku sendiri merasa sangat lelah, namun masih belum mengantuk. Bingung juga mau melakukan apa, karena suamiku sudah tidur, dan tamu-tamu yang masih makan tidak kukenal. Beberapa porter yang kukenal tampak sedang asyik mengobrol di seberang ruangan, sementara udara makin terasa dingin.
Maka aku membuka kantong sleeping bagku, melepaskan kaos kaki, dan masuk ke dalam sleeping bag. Saat Pasang dan seorang temannya melihatku melepas kaos kaki, dia sempat geleng-geleng kepala, mungkin maksudnya menyatakan bahwa bukan ide yang baik untuk melepas kaos kaki. Tapi aku berkata bahwa kakiku butuh udara untuk bernafas, dan ternyata tidak berapa lama setelah berada di sleeping bag, kakiku menjadi hangat. Lalu aku duduk dan berusaha menulis di HP untuk mengisi waktu. Saat itulah Pasang kemudian berkata kepadaku, kalau aku mau, dia akan mencoba membantu untuk memesankan kamar atau tempat tidur di Annapurna Base Camp, karena menurutnya tidak akan ada tempat bermalam jika kami tidak booking terlebih dahulu. Tentu saja aku mau dan sangat berterima kasih kepadanya kalau dia mau melakukan itu untuk kami.
Tidak lama setelah menulis di HP, mataku mulai terasa lelah, jadi aku berusaha untuk tidur dan memasukkan seluruh tubuh dan kepalaku ke dalam sleeping bag agar hangat.
Baru malam ini aku benar-benar memperhatikan bahwa ternyata para guide dan porter melayani para kliennya bagaikan raja, selalu siap setiap saat di dekat kliennya, berusaha memenuhi apa pun yang mereka inginkan, mengambilkan makanan dan minuman dari dapur, sampai mengisikan botol air minum, dan siap berdiri menunggui di dekat mereka selama makan, apabila mereka membutuhkan sesuatu. Setelah itu pun mereka masih harus menunggu semua trekker yang lain selesai makan.
Dari dalam sleeping bag, aku mendengar suara-suara para trekker ini keluar dari ruangan menuju kamar mereka masing-masing. Barulah setelah itu para guide dan porter yang masih berkumpul di ruangan ini makan sambil mengobrol. Suara piring berkelontangan meramaikan suasana. Selesai mereka makan, lampu utama dimatikan, lalu mereka masuk ke dalam selimut atau sleeping bagnya masing-masing, dan tidur.
Dalam hati aku merasa iba kepada orang-orang ini, para guide dan porter. Seringkali selama di perjalanan, aku melihat mereka membawa beban di punggung yang tampaknya sangat berat. Banyak di antara mereka yang tampaknya masih sangat muda usianya. Dan untuk makan pun mereka harus makan belakangan, saat semua orang lain selesai.
Lama setelah semua orang tertidur barulah aku bisa tidur. Beberapa kali aku melihat arloji, terakhir kali sudah jam 11 malam.
Hari ini kami menempuh setidaknya lebih dari 11 KM berjalan kaki, dengan elevasi lebih dari 1.000 meter, karenanya hampir selalu mendaki, dengan beberapa medan yang sangat sulit. Sejauh ini, kami masih bisa mencapai tempat yang sama jauhnya dengan mereka yang sudah lebih berpengalaman, dan kebanyakan di antaranya tentunya memakai jasa guide atau porter. Kadang masih tidak percaya bahwa kami bisa berada di sini, dan sejauh ini, aku bangga dengan apa yang berhasil kami capai, terutama suamiku, karena aku tahu dia sudah berjuang mati-matian untuk sampai di sini....
Sesungguhnya, mungkin suamiku termakan kata-katanya sendiri hari ini. Jadi ceritanya sewaktu kami masih agak di awal-awal trek dari desa Himalaya menuju Deurali, kami menyapa seorang trekker perempuan, dan sempat bertanya-tanya kepadanya mengenai trek selanjutnya. Saat itulah sempat tercetus ucapan dari mulut suamiku, katanya "They say it's like heaven, but this is hell for me."
Setelahnya. aku sempat agak marah dengan perkataan suamiku itu, kubilang padanya bahwa kita tidak sepantasnya berkata seperti itu. Ini adalah alam, dengan segala keindahan dan rintangannya. For me this is not hell, but this is a stairway to heaven. Tidak ada yang namanya jalan mudah menuju ke surga. Aku tidak tahu dia setuju atau tidak saat itu, karena tidak ada jawaban darinya setelah itu. Tapi mungkin karena dia menganggap trek yang sulit ini sebagai neraka, dia pun jadi merasakannya seperti itu.
Aku menceritakan ini bukan untuk menjelekkan suamiku, sama sekali tidak. Aku sangat bisa memaklumi kondisinya yang saat itu pasti sudah sangat lelah, harus melalui medan yang sangat sulit, dan perjalanan yang serasa tiada habisnya dari hari ke hari. Aku hanya ingin ini menjadi pelajaran untuk kita semua, bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang baik dan indah, jalan yang kita tempuh tidak selalu mudah, bahkan bisa dibilang lebih banyak rintangan dan kesulitannya. Namun apabila kita tetap bertujuan baik dan bersabar, di akhir perjalanan nanti kita akan mendapatkan hasil yang sepadan dengan perjuangan kita. Dan dari apa yang kualami sendiri hari ini, DIA selalu berada di dekat kita dan membantu di saat kita benar-benar membutuhkan.
Jujur saja sampai saat ini aku tidak pernah tahu alasannya mengapa Pasang sampai menawarkan untuk membookingkan penginapan bagi kami berdua. Selama berhari-hari trekking, aku memperhatikan bahwa dia termasuk orang yang tidak banyak bicara dan tidak banyak senyum, termasuk kepada kami. Bisa dibilang termasuk salah satu guide yang jutek hahahaha...
Bisa jadi karena kami baik kepada kliennya, dan pasangan ini sering mengajak kami mengobrol dan foto bersama. Tapi aku merasa, mungkin saja dia sedikit banyak merasa kasihan melihat perjuangan kami berdua. Aku tahu banyak orang yang kami jumpai setiap hari, melihat kami berjuang dari hari ke hari tanpa guide atau porter, berjalan kaki naik dan turun medan yang ada, selalu sangat lambat bagaikan siput, selalu tertinggal, namun seperti tak kenal lelah, berjalan dan terus berjalan. Tidak ada istirahat minum teh atau kopi, dan tidak ada istirahat makan siang di restoran. Bukannya sok ge er atau sombong, tapi aku percaya mereka salut dan kagum pada kami, termasuk para guide dan porter yang lain juga. Tetapi aku sendiri yakin, kalau bukan karena mereka-mereka yang selalu menyemangati kami dari hari ke hari, mungkin kami belum atau tidak akan sampai di tempat ini...
To be continued.......
Aku menceritakan ini bukan untuk menjelekkan suamiku, sama sekali tidak. Aku sangat bisa memaklumi kondisinya yang saat itu pasti sudah sangat lelah, harus melalui medan yang sangat sulit, dan perjalanan yang serasa tiada habisnya dari hari ke hari. Aku hanya ingin ini menjadi pelajaran untuk kita semua, bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang baik dan indah, jalan yang kita tempuh tidak selalu mudah, bahkan bisa dibilang lebih banyak rintangan dan kesulitannya. Namun apabila kita tetap bertujuan baik dan bersabar, di akhir perjalanan nanti kita akan mendapatkan hasil yang sepadan dengan perjuangan kita. Dan dari apa yang kualami sendiri hari ini, DIA selalu berada di dekat kita dan membantu di saat kita benar-benar membutuhkan.
Jujur saja sampai saat ini aku tidak pernah tahu alasannya mengapa Pasang sampai menawarkan untuk membookingkan penginapan bagi kami berdua. Selama berhari-hari trekking, aku memperhatikan bahwa dia termasuk orang yang tidak banyak bicara dan tidak banyak senyum, termasuk kepada kami. Bisa dibilang termasuk salah satu guide yang jutek hahahaha...
Bisa jadi karena kami baik kepada kliennya, dan pasangan ini sering mengajak kami mengobrol dan foto bersama. Tapi aku merasa, mungkin saja dia sedikit banyak merasa kasihan melihat perjuangan kami berdua. Aku tahu banyak orang yang kami jumpai setiap hari, melihat kami berjuang dari hari ke hari tanpa guide atau porter, berjalan kaki naik dan turun medan yang ada, selalu sangat lambat bagaikan siput, selalu tertinggal, namun seperti tak kenal lelah, berjalan dan terus berjalan. Tidak ada istirahat minum teh atau kopi, dan tidak ada istirahat makan siang di restoran. Bukannya sok ge er atau sombong, tapi aku percaya mereka salut dan kagum pada kami, termasuk para guide dan porter yang lain juga. Tetapi aku sendiri yakin, kalau bukan karena mereka-mereka yang selalu menyemangati kami dari hari ke hari, mungkin kami belum atau tidak akan sampai di tempat ini...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment