6 November 2017
Terbangun lagi-lagi di jam 3.30 dini hari dan tidak bisa tidur lagi dalam udara yang sangat dingin. Suhu dini hari ini mencapai 4 derajat Celcius, bahkan jam 6 pagi suhunya 0 derajat Celcius. Telapak tangan dan telapak kaki yang tidak tertutup pakaian terasa sangat dingin. Mulai jam 4 pagi sudah terdengar ada suara-suara dari luar kamar, kemungkinan sudah ada yang bangun juga.
Aku beruntung tiap hari bisa bangun sangat pagi, jadi urusan toilet atau mandi di pagi hari tidak perlu berebutan dengan orang lain karena pada umumnya mereka masih tidur. Pagi ini pun masih sempat mandi walau airnya tidak sederas kemarin (aku menggunakan kamar mandi yang berbeda). Aku dan suamiku sudah siap sebelum jam 6 pagi.
Sunrise baru mulai tampak di atas jam 6 pagi, sebelum itu suasanyanya masih agak gelap. Kami sudah turun ke ruang makan sebelum jam 6 pagi, dan suasana masih sepi sekali, belum ada tamu lain yang masuk. Jam 6 pagi, sarapan kami sudah siap. Untuk sarapan, tadi malam kami sudah memesan egg noodle soup seharga NRs 250, egg fried noodle seharga NRs 350, dan seteko kecil black tea seharga NRs 180. Mie kuah dimakan suamiku, sedangkan karena aku tidak biasa sarapan, mie gorengnya kumasukkan ke dalam rantang plastik yang kami bawa, bekal untuk makan siang suamiku nanti. Black tea yang kami pesan, diminum 2 cangkir dan sisanya dimasukkan ke dalam botol coca cola yang kemarin untuk bekal suami minum manis di perjalanan.
Pukul 6.30 pagi, kami sudah selesai sarapan, lalu membayar dan mengambil semua gadget yang baru dicharge lagi pagi ini. Total pengeluaran di Majestic Hotel & Restaurant ini NRs 1,850 untuk makan malam dan sarapan. Setelah itu kami masuk ke dalam kamar, merapikan kamar, dan bersiap-siap untuk perjalanan hari ini.
Pukul 7.20 pagi, kami pun mulai lagi melanjutkan rute trekking hari ini, dan ternyata cukup banyak rombongan yang sudah mulai mendaki bersama kami. Katanya hari ini akan jauh lebih mudah rutenya, tapi ternyata 1 jam pertama pun masih naik tangga lagi seperti kemarin. Baru sebentar, suamiku sudah mulai ngos-ngosan lagi.
Di awal trekking ini rata-rata orang masih mengenakan jaket, karena memang pagi tadi udaranya sangat dingin. Suhunya masih 2-3 derajat Celcius saat berangkat. Tetapi tidak lama setelah mulai menaiki anak tangga yang tiada habisnya ini, satu-persatu orang mulai berhenti sejenak untuk melepaskan jaket yang dikenakan dan hanya mengenakan kaus biasa. Aku dan suamiku pun melepas fleece yang kami kenakan, karena mulai berkeringat.
Sepanjang jalan yang kami lalui, dari waktu ke waktu di tempat-tempat yang terpisah, tampak ada beberapa penginapan. Kadang hanya ada 1-2 saja di suatu lokasi. Tampak juga beberapa mata air yang mengalir menjadi parit atau sungai kecil.
Setelah sekitar satu jam berjalan, kami mulai banyak memasuki daerah hutan-hutan. Kadang teduh, kadang panas, dan kalau angin bertiup, rasanya cukup dingin. Mulai sekitar jam 11 siang baru terasa teriknya matahari, karena kami kembali melewati daerah yang panas. Sempat beberapa kali kami berpapasan dengan rombongan kuda, dan juga sekawanan kerbau yang hendak lewat.
Pukul 7.20 pagi, kami pun mulai lagi melanjutkan rute trekking hari ini, dan ternyata cukup banyak rombongan yang sudah mulai mendaki bersama kami. Katanya hari ini akan jauh lebih mudah rutenya, tapi ternyata 1 jam pertama pun masih naik tangga lagi seperti kemarin. Baru sebentar, suamiku sudah mulai ngos-ngosan lagi.
Di awal trekking ini rata-rata orang masih mengenakan jaket, karena memang pagi tadi udaranya sangat dingin. Suhunya masih 2-3 derajat Celcius saat berangkat. Tetapi tidak lama setelah mulai menaiki anak tangga yang tiada habisnya ini, satu-persatu orang mulai berhenti sejenak untuk melepaskan jaket yang dikenakan dan hanya mengenakan kaus biasa. Aku dan suamiku pun melepas fleece yang kami kenakan, karena mulai berkeringat.
Sepanjang jalan yang kami lalui, dari waktu ke waktu di tempat-tempat yang terpisah, tampak ada beberapa penginapan. Kadang hanya ada 1-2 saja di suatu lokasi. Tampak juga beberapa mata air yang mengalir menjadi parit atau sungai kecil.
Setelah sekitar satu jam berjalan, kami mulai banyak memasuki daerah hutan-hutan. Kadang teduh, kadang panas, dan kalau angin bertiup, rasanya cukup dingin. Mulai sekitar jam 11 siang baru terasa teriknya matahari, karena kami kembali melewati daerah yang panas. Sempat beberapa kali kami berpapasan dengan rombongan kuda, dan juga sekawanan kerbau yang hendak lewat.
Di hari kedua ini, semenjak awal perjalanan dari Ulleri, kami banyak melihat remaja lokal yang juga trekking ke arah yang sama. Mungkin hampir 100 orang jumlahnya. Rata-rata mereka hanya membawa backpack kecil. Beberapa kali kami disapa oleh mereka, dan ada pula yang mengajak ngobrol sembari jalan. Ternyata mereka memang anak-anak sekolah (mungkin kalau di Indonesia setara dengan anak-anak SMP) yang sedang dalam acara trekking. Katanya, sekolah-sekolah di Nepal banyak yang mengajarkan trekking seperti ini kepada para siswanya agar lebih dekat kepada alam. Bagus juga ya programnya.
Perjalanan hari ini sebetulnya lumayan sulit, karena selain banyak sekali anak tangga yang harus dilalui, banyak jalan setapak yang penuh batu-batu besar. Kadangkala jalannya turun agak curam, tapi tentu saja lebih seringnya menanjak. Bahkan anak-anak muda yang mendaki bersama kami hari ini pun banyak yang tampak kelelahan dan seringkali berhenti dan beristirahat di tepi jalan setapak.
Perjalanan hari ini sebetulnya lumayan sulit, karena selain banyak sekali anak tangga yang harus dilalui, banyak jalan setapak yang penuh batu-batu besar. Kadangkala jalannya turun agak curam, tapi tentu saja lebih seringnya menanjak. Bahkan anak-anak muda yang mendaki bersama kami hari ini pun banyak yang tampak kelelahan dan seringkali berhenti dan beristirahat di tepi jalan setapak.
Sering pula jalannya becek, karena banyak mata air yang dilewati. Jalan setapaknya sendiri lebih sering sempit. Kalau lebar bisa sampai 1,5 - 2 meter, sedangkan saat sempit bisa 0,5 - 1 meter saja, dan seringkali salah satu sisinya berupa jurang tanpa pengaman, jadi memang agak seram sih. Lebih baik melihat ke depan daripada ke samping kalau sudah begini. Yang pasti harus konsentrasi penuh saat berjalan.
Kami juga sempat melewati beberapa sungai dan air terjun yang sangat indah. View pegunungan juga indah sekali, tapi kondisi badan yang butuh harus selalu berjalan dengan dua buah trekking pole di tangan, menyebabkanku jadi jarang memotret. Paling hanya beberapa kali dengan HP yang mudah diraih dari dalam kantong celana. Kamera sebetulnya diletakkan di kantong khusus di backpack yang cukup mudah diraih, tapi rasanya energi benar-benar terkuras walaupun hanya untuk sekedar mengambil dan memasukkan kamera kembali ke dalam kantungnya. Hanya di tempat-tempat yang benar-benar indah saja aku memaksakan diri menggunakan kamera. Rencana awal sebelum berangkat pun aku ingin membuat dokumentasi lengkap mengenai perjalanan kami ini dengan video, tapi entahlah... perjalanannya benar-benar melelahkan, kadang sudah malas sekali mau memvideokan ini dan itu, kadang juga lupa saking lelahnya fisik dan pikiran untuk segera sampai di tujuan berikutnya.
Kami juga sempat melewati beberapa sungai dan air terjun yang sangat indah. View pegunungan juga indah sekali, tapi kondisi badan yang butuh harus selalu berjalan dengan dua buah trekking pole di tangan, menyebabkanku jadi jarang memotret. Paling hanya beberapa kali dengan HP yang mudah diraih dari dalam kantong celana. Kamera sebetulnya diletakkan di kantong khusus di backpack yang cukup mudah diraih, tapi rasanya energi benar-benar terkuras walaupun hanya untuk sekedar mengambil dan memasukkan kamera kembali ke dalam kantungnya. Hanya di tempat-tempat yang benar-benar indah saja aku memaksakan diri menggunakan kamera. Rencana awal sebelum berangkat pun aku ingin membuat dokumentasi lengkap mengenai perjalanan kami ini dengan video, tapi entahlah... perjalanannya benar-benar melelahkan, kadang sudah malas sekali mau memvideokan ini dan itu, kadang juga lupa saking lelahnya fisik dan pikiran untuk segera sampai di tujuan berikutnya.
Hari ini suamiku juga mengalami sakit kepala semenjak menjelang siang hari, sehingga makin payah baginya untuk mendaki jalanan yang menanjak. Saat kutanya pada guide yang melewati kami, katanya kalau sakit kepala di depan atau samping, kemungkinan karena dingin. Kalau karena AMS (Altitude Mountain Sickness) sakit kepalanya di sebelah belakang katanya. Jadi kemungkinan bukan AMS, karena sakit kepala suamiku di depan.
Jujur saja hari ini perjalanan kami sangat lambat sekali, karena hampir tiap beberapa menit aku harus menunggu suamiku, terutama di jalan tanjakan atau tangga naik. Kalau aku jalan cukup jauh, kadang menunggunya bisa sampai 5-10 menit.
Tujuan kami hari ini adalah sampai di Ghorepani, desa terakhir sebelum Poon Hill. Harusnya bisa ditempuh 4-5 jam jalan kaki, kalau lambat maksimal sekitar 6 jam. Setidaknya kami masih bisa sampai dalam waktu 5,5 jam.
Aku sampai lebih dulu di desa Ghorepani ini sekitar jam 12.30 siang, dan ternyata seluruh desa berisi anak tangga. Dari mulai memasuki desa bagian bawah (Lower Ghorepani), harus naik lagi ratusan anak tangga untuk menuju ke desa bagian atas (Upper Ghorepani). Aku sendiri ingin kami menginap di bagian desa yang atas, karena selain kebanyakan trekker lain juga menginap di sisi atas desa, aku ingin besok pagi saat naik ke Poon Hill, kami bisa menyingkat waktu perjalanan.
Ternyata di Lower Ghorepani ini ada pos polisi yang mengecek permit turis yang datang (Tourist Police Check Point). Suamiku masih berjuang menaiki tangga, jadi aku berjalan lebih dulu ke pos tersebut untuk menunjukkan kartu permit kami. Sementara sang petugas masih melayani 2 orang lain dan aku masih menunggu beberapa saat sebelum akhirnya dilayani. Setelah usai, aku pun bergegas menyusul suamiku yang sudah duluan naik tangga.
Setelah menaiki ratusan tangga sampai ke Upper Ghorepani, aku masih menunggu suamiku yang masih belum sampai. Di pusat Ghorepani bagian atas inilah aku bertemu lagi dan akhirnya mengobrol dengan Faruk, yang berkali-kali berpapasan semenjak hari pertama trekking kemarin. Faruk bercerita bahwa dia mendapat rekomendasi 2 buah penginapan dari temannya. Karenanya, aku menunggu suamiku lebih dulu, dan sekitar 15 menit kemudian setelah dia sampai, kami bersama-sama mendatangi penginapan yang disebutkan oleh Faruk tadi.
Penginapan pertama yang kami datangi, Faruk tidak cocok. Bagi dia yang masalah bukanlah budgetnya, namun dia mencari kamar dengan kamar mandi dalam yang ada toilet showernya (istilahnya Faruk adalah hand shower). Maka Faruk pun mencoba ke penginapan yang satunya, yang kelihatan sekali letaknya nun jauh di atas sana. Jadi aku dan suamiku menunggu di dekat penginapan pertama ini sembari beristirahat. Tidak berapa lama, Faruk turun dan mengatakan tidak ada hand shower juga di penginapan yang baru saja didatanginya. Lalu kami bersama-sama naik tangga lagi ke penginapan yang lain, yang tampaknya lebih modern.
Sampailah kami di Hotel Hilltop, yang tampakmya merupakan hotel terakhir sebelum menuju ke Poon Hill. Lokasinya berada di tempat yang paling tinggi. Seperti biasa, suamiku masih tertinggal di belakang, jadi aku dan Faruk yang masuk ke hotel ini dan bertanya kepada resepsionisnya. Karena salah paham, Faruk lebih dulu dilayani dan ditunjukkan kamar. Jadi saat kami berdua datang bersama ke resepsionis dan bertanya kamar, sang gadis resepsionis bertanya, berapa orang? Faruk menjawab 2 orang (karena dia bersama saudara perempuannya). Dikiranya Faruk datang berdua denganku hahahaha... Jadi aku menunggu sampai ada staff lain yang tampak, dan bertanya kamar kepadanya. Lalu tidak lama kemudian, gadis yang pertama tadi datang, dan waktu kujelaskan bahwa kami sama-sama cari kamar, tapi beda orang, dia langsung minta maaf hehehehe... Maka si gadis ini pun mengantarku melihat kamar. Lagi-lagi butuh naik tangga untuk ke kamar, karena kamarnya berada di lantai 3. Secara keseluruhan OK sih, hampir sama dengan malam sebelumnya. Waktu kutanya berapa tarifnya, dijawab per orang NRs 200, jadi kutawar, bolehkan menginap gratis kalau kami makan malam dan sarapan di sini? Si gadis lalu menjawab, OK OK tapi jangan bilang siapa-siapa ya... hehehehe... padahal aku tahu sebetulnya ada beberapa tamu lain yang menginap gratis juga kok, pada umumnya yang tidak memakai guide dan porter. Faruk sendiri masih belum cocok menginap di tempat ini, jadi dia masih melanjutkan mencari penginapan di tempat lain lagi, dan sampai keesokan harinya kami tidak bertemu lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2.30 sore. Ternyata butuh 1 jam sendiri untuk mencari penginapan di tempat ini. Sementara itu suamiku sudah sampai, jadi kami langsung saja naik ke dalam kamar. Sama seperti malam sebelumnya di Ulleri, sekat antarkamar hanya berupa tripleks tipis. Di dalam kamar hanya ada 2 buah kasur single dengan bantal dan selimut, serta sebuah meja kecil di antara kedua kasurnya. Ada satu hal yang jadi bonus di tempat ini: ada colokan listrik di samping kasur! Jadi kami tidak perlu mengecharge gadget di ruang umum seperti kemarin. Belakangan baru kami menyadari bahwa di tempat ini sering mati listrik, terutama saat sore hari, jadi yah harus sabar.
Setelah meletakkan barang-barang, aku mengecek kamar mandinya, yang sudah cukup modern dan masih dalam keadaan bersih juga. Sayangnya tidak ada toilet showernya. Ada kran air di dekatnya, tapi tidak ada ember maupun gayung di sana.
Suamiku langsung merebahkan dirinya dan beristirahat. Aku sendiri masih melihat-lihat suasana dari jendela, lalu memutuskan untuk turun dan berkeliaran di luar. Sebetulnya aku sedang bingung, karena setelah tadi pagi membayar makanan di Ulleri, totalnya lebih banyak dari dugaan kami, padahal kami tidak membeli makan siang dan berhenti minum kopi atau teh di restoran seperti orang-orang lain. Seandainya kami jadi melanjutkan sampai Annapurna Base Camp, yang menurut kami setidaknya akan makan waktu 2 mingguan, maka uang yang kami pegang saat ini tidak akan cukup. Namun demikian, menilik kondisi kesehatan suamiku, aku juga masih belum bisa memastikan apakah kami akan melanjutkan trekking sampai ke Annapurna Base Camp atau dari Poon Hill besok langsung kembali saja. Jadi aku masih mencari-cari, kira-kira siapa ya yang membawa uang rupee lebih dan mau menukarkannya ke dalam US dollar yang kubawa. Kalau ditukar di penginapan sebetulnya bisa, tapi nilainya akan jauh lebih murah.
Kebetulan seharian ini, selain orang-orang yang sering kami jumpai sejak kemarin, kami bertemu beberapa kali dengan seorang perempuan paruh baya berusia 62 tahun yang sedang trekking membawa guide dan porter. Beberapa kali pula kami saling bertegur sapa dan beliau memberi semangat, terutama kepada suamiku, selama mendaki tadi. Jadi sebetulnya aku ingin mencarinya, kalau-kalau bisa menukar uang dengannya. Pilihanku yang terutama sebetulnya adalah Lionel dan MariAnne, tapi hari ini kami hanya bertemu di jalan saja, dan aku tidak melihat mereka semenjak sampai di Ghorepani.
Jadilah aku berkeliaran naik turun tangga menuju ke penginapan-penginapan lain, karena rata-rata memiliki halaman luas di depannya yang diberi tempat-tempat duduk. Biasanya para tamu akan beristirahat di ruang-ruang terbuka seperti ini sambil menikmati pemandangan yang memang indah sekali. Puncak Fish Tail tampak makin jelas dan dekat dari desa ini. Luar biasa indahnya!
Tapi karena aku tidak menjumpai satu pun orang-orang yang sudah kami kenal tadi, aku kembali ke halaman Hotel Hilltop dan duduk-duduk di bangku yang disediakan. Setelah memotret suasana sekitar, aku duduk dan berjemur sambil menulis di HP, ketika ada beberapa orang Korea yang menyapaku. Mereka juga beberapa kali berpapasan dengan kami hari ini selama mendaki. Setelah mengobrol basa-basi, mereka pun pergi, hendak jalan-jalan di sekitar. Sementara itu ada seorang nenek dari rombongan tersebut yang tetap tinggal, dan akhirnya malah beberapa kali minta tolong kepadaku untuk memotretnya dengan berbagai macam gaya yang kekinian hahahaha....
Setelah itu, aku melanjutkan kesendirianku dengan menulis sambil berjemur di bawah sinar matahari yang masih memancar. Udara di sini dingin, pastinya lebih dingin daripada kemarin saat di Ulleri. Ghorepani sendiri berada di ketinggian 2.874 mdpl. Saat berjemur dan terkena sinar matahari, dinginnya tidak terlalu terasa, tapi begitu matahari tertutup awan dan angin berhembus, wow... serasa tertiup angin dari freezer, bahkan lebih dingin hehehehe... Di sekitar tempat ini juga banyak burung gagak yang beterbangan sambil mengeluarkan suara khasnya yang berkaw-kaw.
Setelah menaiki ratusan tangga sampai ke Upper Ghorepani, aku masih menunggu suamiku yang masih belum sampai. Di pusat Ghorepani bagian atas inilah aku bertemu lagi dan akhirnya mengobrol dengan Faruk, yang berkali-kali berpapasan semenjak hari pertama trekking kemarin. Faruk bercerita bahwa dia mendapat rekomendasi 2 buah penginapan dari temannya. Karenanya, aku menunggu suamiku lebih dulu, dan sekitar 15 menit kemudian setelah dia sampai, kami bersama-sama mendatangi penginapan yang disebutkan oleh Faruk tadi.
Penginapan pertama yang kami datangi, Faruk tidak cocok. Bagi dia yang masalah bukanlah budgetnya, namun dia mencari kamar dengan kamar mandi dalam yang ada toilet showernya (istilahnya Faruk adalah hand shower). Maka Faruk pun mencoba ke penginapan yang satunya, yang kelihatan sekali letaknya nun jauh di atas sana. Jadi aku dan suamiku menunggu di dekat penginapan pertama ini sembari beristirahat. Tidak berapa lama, Faruk turun dan mengatakan tidak ada hand shower juga di penginapan yang baru saja didatanginya. Lalu kami bersama-sama naik tangga lagi ke penginapan yang lain, yang tampaknya lebih modern.
Sampailah kami di Hotel Hilltop, yang tampakmya merupakan hotel terakhir sebelum menuju ke Poon Hill. Lokasinya berada di tempat yang paling tinggi. Seperti biasa, suamiku masih tertinggal di belakang, jadi aku dan Faruk yang masuk ke hotel ini dan bertanya kepada resepsionisnya. Karena salah paham, Faruk lebih dulu dilayani dan ditunjukkan kamar. Jadi saat kami berdua datang bersama ke resepsionis dan bertanya kamar, sang gadis resepsionis bertanya, berapa orang? Faruk menjawab 2 orang (karena dia bersama saudara perempuannya). Dikiranya Faruk datang berdua denganku hahahaha... Jadi aku menunggu sampai ada staff lain yang tampak, dan bertanya kamar kepadanya. Lalu tidak lama kemudian, gadis yang pertama tadi datang, dan waktu kujelaskan bahwa kami sama-sama cari kamar, tapi beda orang, dia langsung minta maaf hehehehe... Maka si gadis ini pun mengantarku melihat kamar. Lagi-lagi butuh naik tangga untuk ke kamar, karena kamarnya berada di lantai 3. Secara keseluruhan OK sih, hampir sama dengan malam sebelumnya. Waktu kutanya berapa tarifnya, dijawab per orang NRs 200, jadi kutawar, bolehkan menginap gratis kalau kami makan malam dan sarapan di sini? Si gadis lalu menjawab, OK OK tapi jangan bilang siapa-siapa ya... hehehehe... padahal aku tahu sebetulnya ada beberapa tamu lain yang menginap gratis juga kok, pada umumnya yang tidak memakai guide dan porter. Faruk sendiri masih belum cocok menginap di tempat ini, jadi dia masih melanjutkan mencari penginapan di tempat lain lagi, dan sampai keesokan harinya kami tidak bertemu lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2.30 sore. Ternyata butuh 1 jam sendiri untuk mencari penginapan di tempat ini. Sementara itu suamiku sudah sampai, jadi kami langsung saja naik ke dalam kamar. Sama seperti malam sebelumnya di Ulleri, sekat antarkamar hanya berupa tripleks tipis. Di dalam kamar hanya ada 2 buah kasur single dengan bantal dan selimut, serta sebuah meja kecil di antara kedua kasurnya. Ada satu hal yang jadi bonus di tempat ini: ada colokan listrik di samping kasur! Jadi kami tidak perlu mengecharge gadget di ruang umum seperti kemarin. Belakangan baru kami menyadari bahwa di tempat ini sering mati listrik, terutama saat sore hari, jadi yah harus sabar.
Setelah meletakkan barang-barang, aku mengecek kamar mandinya, yang sudah cukup modern dan masih dalam keadaan bersih juga. Sayangnya tidak ada toilet showernya. Ada kran air di dekatnya, tapi tidak ada ember maupun gayung di sana.
Suamiku langsung merebahkan dirinya dan beristirahat. Aku sendiri masih melihat-lihat suasana dari jendela, lalu memutuskan untuk turun dan berkeliaran di luar. Sebetulnya aku sedang bingung, karena setelah tadi pagi membayar makanan di Ulleri, totalnya lebih banyak dari dugaan kami, padahal kami tidak membeli makan siang dan berhenti minum kopi atau teh di restoran seperti orang-orang lain. Seandainya kami jadi melanjutkan sampai Annapurna Base Camp, yang menurut kami setidaknya akan makan waktu 2 mingguan, maka uang yang kami pegang saat ini tidak akan cukup. Namun demikian, menilik kondisi kesehatan suamiku, aku juga masih belum bisa memastikan apakah kami akan melanjutkan trekking sampai ke Annapurna Base Camp atau dari Poon Hill besok langsung kembali saja. Jadi aku masih mencari-cari, kira-kira siapa ya yang membawa uang rupee lebih dan mau menukarkannya ke dalam US dollar yang kubawa. Kalau ditukar di penginapan sebetulnya bisa, tapi nilainya akan jauh lebih murah.
Kebetulan seharian ini, selain orang-orang yang sering kami jumpai sejak kemarin, kami bertemu beberapa kali dengan seorang perempuan paruh baya berusia 62 tahun yang sedang trekking membawa guide dan porter. Beberapa kali pula kami saling bertegur sapa dan beliau memberi semangat, terutama kepada suamiku, selama mendaki tadi. Jadi sebetulnya aku ingin mencarinya, kalau-kalau bisa menukar uang dengannya. Pilihanku yang terutama sebetulnya adalah Lionel dan MariAnne, tapi hari ini kami hanya bertemu di jalan saja, dan aku tidak melihat mereka semenjak sampai di Ghorepani.
Jadilah aku berkeliaran naik turun tangga menuju ke penginapan-penginapan lain, karena rata-rata memiliki halaman luas di depannya yang diberi tempat-tempat duduk. Biasanya para tamu akan beristirahat di ruang-ruang terbuka seperti ini sambil menikmati pemandangan yang memang indah sekali. Puncak Fish Tail tampak makin jelas dan dekat dari desa ini. Luar biasa indahnya!
Tapi karena aku tidak menjumpai satu pun orang-orang yang sudah kami kenal tadi, aku kembali ke halaman Hotel Hilltop dan duduk-duduk di bangku yang disediakan. Setelah memotret suasana sekitar, aku duduk dan berjemur sambil menulis di HP, ketika ada beberapa orang Korea yang menyapaku. Mereka juga beberapa kali berpapasan dengan kami hari ini selama mendaki. Setelah mengobrol basa-basi, mereka pun pergi, hendak jalan-jalan di sekitar. Sementara itu ada seorang nenek dari rombongan tersebut yang tetap tinggal, dan akhirnya malah beberapa kali minta tolong kepadaku untuk memotretnya dengan berbagai macam gaya yang kekinian hahahaha....
Setelah itu, aku melanjutkan kesendirianku dengan menulis sambil berjemur di bawah sinar matahari yang masih memancar. Udara di sini dingin, pastinya lebih dingin daripada kemarin saat di Ulleri. Ghorepani sendiri berada di ketinggian 2.874 mdpl. Saat berjemur dan terkena sinar matahari, dinginnya tidak terlalu terasa, tapi begitu matahari tertutup awan dan angin berhembus, wow... serasa tertiup angin dari freezer, bahkan lebih dingin hehehehe... Di sekitar tempat ini juga banyak burung gagak yang beterbangan sambil mengeluarkan suara khasnya yang berkaw-kaw.
Aku berada di luar sampai sekitar jam 3.30 sore, saat matahari mulai meredup dan cuaca mulai dingin. Kemudian di resepsionis aku memesan segelas raksi, minuman beralkohol (biasanya hasil fermentasi dari beras) produksi lokal, seharga NRs 100, dan langsung kuminum semuanya sekaligus untuk menghangatkan badan. Baru setelah itu aku naik dan kembali ke kamar. Kondisi suamiku tampaknya sudah membaik setelah beristirahat.
Setelah itu, kami berdua turun lagi ke resepsionis untuk memesan makan malam, sekaligus membeli wifi untuk 1 gadget seharga NRP 100, demi urusan menyelesaikan transfer hutang dagangan di toko yang akan jatuh tempo. Kemudian kami naik lagi dan lebih banyak berada di dalam kamar untuk menghangatkan diri sambil beristirahat. Aku, tentu saja memanfaatkan fasilitas wifi yang sudah dibayar dengan sebaik-baiknya dan sibuk sejenak di HP selagi bisa online. Di tempat ini memang sama sekali tidak ada sinyal HP, apalagi internet.
Setelah semua urusan yang penting diselesaikan, jam 4.45 sore aku mandi di kamar mandi umumnya, dan setelahnya suamiku mandi juga. Setelah merasa agak segar, jam 5.30 petang kami turun ke ruang makan di lantai bawah sembari menunggu waktu makan malam tiba. Ternyata di ruang makan pun tungku pemanas sedang menyala, maka kami pun duduk-duduk di sekitar tungku bersama beberapa orang lain di situ. Kalau kita duduk cukup dekat dengan tungkunya, akan terasa panas sekali di kulit. Biasanya kalau ada tungku seperti ini, ada saja yang menjemur handuk, kaos kaki, atau pakaian agar cepat kering. Suamiku pun ikut menjemur handuk kami di kayu yang berada di dekat tungku ini. Kami sempat mengobrol dengan seorang turis dari Belanda, Michael, dan kedua orang guidenya. Kami sudah bertemu dengan mereka beberapa kali siang harinya selama mendaki.
Setelah itu, kami berdua turun lagi ke resepsionis untuk memesan makan malam, sekaligus membeli wifi untuk 1 gadget seharga NRP 100, demi urusan menyelesaikan transfer hutang dagangan di toko yang akan jatuh tempo. Kemudian kami naik lagi dan lebih banyak berada di dalam kamar untuk menghangatkan diri sambil beristirahat. Aku, tentu saja memanfaatkan fasilitas wifi yang sudah dibayar dengan sebaik-baiknya dan sibuk sejenak di HP selagi bisa online. Di tempat ini memang sama sekali tidak ada sinyal HP, apalagi internet.
Setelah semua urusan yang penting diselesaikan, jam 4.45 sore aku mandi di kamar mandi umumnya, dan setelahnya suamiku mandi juga. Setelah merasa agak segar, jam 5.30 petang kami turun ke ruang makan di lantai bawah sembari menunggu waktu makan malam tiba. Ternyata di ruang makan pun tungku pemanas sedang menyala, maka kami pun duduk-duduk di sekitar tungku bersama beberapa orang lain di situ. Kalau kita duduk cukup dekat dengan tungkunya, akan terasa panas sekali di kulit. Biasanya kalau ada tungku seperti ini, ada saja yang menjemur handuk, kaos kaki, atau pakaian agar cepat kering. Suamiku pun ikut menjemur handuk kami di kayu yang berada di dekat tungku ini. Kami sempat mengobrol dengan seorang turis dari Belanda, Michael, dan kedua orang guidenya. Kami sudah bertemu dengan mereka beberapa kali siang harinya selama mendaki.
Jam 6 petang, hidangan makan malam kami sudah siap dihidangkan, dan kami makan sampai kekenyangan karena porsinya yang jumbo. Untuk makan malam ini, kami memesan satu porsi vegetable fried rice untukku seharga NRs 350, dan vegetable egg fried rice seharga NRs 380 untuk suamiku, serta satu teko kecil ginger tea seharga NRs 260. Aku makan nasi goreng yang dihidangkan dengan tambahan cabe bubuk yang kubeli sewaktu di Pokhara. Sisa ginger tea yang belum habis kumasukkan ke dalam botol coca cola untuk dipanasi dan diminum esok pagi.
Seusai makan malam, kami pun kembali naik dan masuk ke dalam kamar, mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk mendaki ke Poon Hill esok subuh, lalu jam 7 malam kami pun tidur...
Hari ini kami menempuh perjalanan sejauh sekitar 8 KM, dengan rute yang cukup berat. Aku bersyukur kami bisa sampai sejauh ini. Kami masih belum memutuskan apakah akan tetap ke Annapurna Base Camp atau tidak, akan kami putuskan besok sambil melihat keadaan dan situasi. Mudah-mudahan semuanya bisa berjalan dengan baik dan lancar... Amin.
Seusai makan malam, kami pun kembali naik dan masuk ke dalam kamar, mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk mendaki ke Poon Hill esok subuh, lalu jam 7 malam kami pun tidur...
Hari ini kami menempuh perjalanan sejauh sekitar 8 KM, dengan rute yang cukup berat. Aku bersyukur kami bisa sampai sejauh ini. Kami masih belum memutuskan apakah akan tetap ke Annapurna Base Camp atau tidak, akan kami putuskan besok sambil melihat keadaan dan situasi. Mudah-mudahan semuanya bisa berjalan dengan baik dan lancar... Amin.
To be continued.......
No comments:
Post a Comment