7 November 2017
Sejauh yang kuingat, hari ini adalah salah satu hari yang paling melelahkan dalam hidupku.
Malam kemarin kami bisa tidur awal, mungkin sekitar jam 7 malam, tapi aku sempat terbangun sekitar jam 10 malam, dan cukup lama terjaga sebelum akhirnya bisa tidur lagi. Terbangun jam 3 dini hari oleh bunyi alarm, karena pagi ini kami akan mendaki untuk melihat sunrise di Poon Hill. Aku melakukan aktivitas pagi seperti biasa, dan minum ginger tea yang dipanasi dengan kompor yang kami bawa untuk menghangatkan badan. Pagi ini terasa dingin sekali. Tetangga sebelah kamar kami yang berasal dari RRC (terdengar dari bahasanya saat mengobrol, karena kalau bicara volumenya cukup keras) juga sudah bangun jam 3.15 pagi.
Suamiku bangun jam 4 pagi, dan pada saat itu sudah mulai banyak orang yang berangkat ke Poon Hill. Terdengar suara-suara yang agak ramai di lorong-lorong kamar. Biasanya yang ramai ini yang rombongan. Selama di perjalanan 2 hari kemarin, kami bertemu dengan beberapa kelompok/rombongan dari Korea Selatan. Satu rombongan bisa terdiri dari 10-15 orang.
Setelah selesai cuci muka dan bersiap-siap, jam 4.45 pagi kami mulai jalan kaki. Kami mengenakan fleece, windproof jacket, dan beanie, serta membawa down jacket dan gloves di dalam backpack untuk berjaga-jaga jika dingin sekali.
Jalan menuju ke Poon Hill merupakan rangkaian anak tangga yang tiada habisnya. Kalau cepat, Poon Hill bisa dicapai dalam waktu 45-60 menit, dan semuanya benar-benar anak tangga dari batu. Aku seringkali harus menunggu suamiku, karena dia agak lemah dalam urusan mendaki. Dan karena kali ini hanya aku yang membawa air minum, dari waktu ke waktu aku menunggunya supaya dia bisa minum juga.
Setelah sekitar 10 menit menaiki anak tangga, ada sebuah pos di mana kita diwajibkan membayar NRs 50/orang untuk melanjutkan memasuki area Poon Hill. Rombongan remaja anak-anak sekolah yang kemarin juga banyak kulewati dalam pendakian ini. Banyak di antara mereka yang tampak ngos-ngosan dan berhenti untuk istirahat di tepi anak tangga yang agak lebar.
Setelah beberapa waktu, suamiku mengatakan tidak perlu menunggunya, sayang kalau sampai kesiangan dan kami berdua tidak bisa menyaksikan sunrise sama sekali. Akhirnya aku berjalan lebih dulu agar cepat sampai. Aku sampai di puncak Poon Hill sekitar jam 5.45 pagi, dan suamiku menyusul 15-20 menit kemudian, tepat saat matahari mulai terbit. Saat aku tiba, suasana masih gelap gulita, namun tampak betapa ramainya tempat ini. Poon Hill memang termasuk tempat yang touristy, karena dianggap sebagai salah satu trek yang mudah dan singkat. Selain itu, dikatakan bahwa sunrise di Poon Hill adalah salah satu sunrise yang terindah di dunia. Area di puncak ini berbentuk seperti lapangan yang luas dan datar. Sedikitnya mungkin ada sekitar 300-400 orang yang tampak saat itu. Poon Hill sendiri berada di ketinggian 3.210 mdpl.
Ghorepani Poon Hill Trekking, yang juga dikenal sebagai Annapurna Sunrise Trekking, atau Annapurna Panorama Trekking, merupakan salah satu tempat yang sangat populer dengan trek yang mudah di Annapurna Region. Tempat ini terkenal sebagai surganya para fotografer, di mana kita bisa menyaksikan area Annapurna dan Dhaulagiri sekaligus. Dari Poon Hill, kita bisa melihat gunung-gunung raksasa di Himalayas, termasuk di antaranya adalah Annapurna South, Annapurna I, Annapurna II, III dan IV, Dhaulagiri, Lamjung Himal, Gangapurna, dan Manaslu.
Di tempat ini ada menara di mana kita bisa naik, dan sepertinya di sanalah view terbaik untuk melihat ke sekitar. Pertama sampai, aku langsung menaiki tangga ke puncak menara, namun ternyata sudah penuh dengan anak-anak sekolah tadi, dan tidak ada tempat sama sekali untuk berdiri. Baru saja aku hendak memotret, sepertinya ada yang kentut dan baunya luar biasa. Wah mana tahan rasanya :((
Akhirnya aku memilih untuk turun lagi dan berdiri di tengah anak tangga di menara ini, ada tempat yang cukup bagus untuk memotret dari situ. Sekitar 15-20 menit aku berada di tempat ini untuk memotret, dan anginnya cukup kencang hingga aku merasa kedinginan. Lama-lama tempat ini pun mulai dipenuhi orang, jadi aku memutuskan untuk turun dan menemui suamiku yang sudah berada di bawah.
Malam kemarin kami bisa tidur awal, mungkin sekitar jam 7 malam, tapi aku sempat terbangun sekitar jam 10 malam, dan cukup lama terjaga sebelum akhirnya bisa tidur lagi. Terbangun jam 3 dini hari oleh bunyi alarm, karena pagi ini kami akan mendaki untuk melihat sunrise di Poon Hill. Aku melakukan aktivitas pagi seperti biasa, dan minum ginger tea yang dipanasi dengan kompor yang kami bawa untuk menghangatkan badan. Pagi ini terasa dingin sekali. Tetangga sebelah kamar kami yang berasal dari RRC (terdengar dari bahasanya saat mengobrol, karena kalau bicara volumenya cukup keras) juga sudah bangun jam 3.15 pagi.
Suamiku bangun jam 4 pagi, dan pada saat itu sudah mulai banyak orang yang berangkat ke Poon Hill. Terdengar suara-suara yang agak ramai di lorong-lorong kamar. Biasanya yang ramai ini yang rombongan. Selama di perjalanan 2 hari kemarin, kami bertemu dengan beberapa kelompok/rombongan dari Korea Selatan. Satu rombongan bisa terdiri dari 10-15 orang.
Setelah selesai cuci muka dan bersiap-siap, jam 4.45 pagi kami mulai jalan kaki. Kami mengenakan fleece, windproof jacket, dan beanie, serta membawa down jacket dan gloves di dalam backpack untuk berjaga-jaga jika dingin sekali.
Jalan menuju ke Poon Hill merupakan rangkaian anak tangga yang tiada habisnya. Kalau cepat, Poon Hill bisa dicapai dalam waktu 45-60 menit, dan semuanya benar-benar anak tangga dari batu. Aku seringkali harus menunggu suamiku, karena dia agak lemah dalam urusan mendaki. Dan karena kali ini hanya aku yang membawa air minum, dari waktu ke waktu aku menunggunya supaya dia bisa minum juga.
Setelah sekitar 10 menit menaiki anak tangga, ada sebuah pos di mana kita diwajibkan membayar NRs 50/orang untuk melanjutkan memasuki area Poon Hill. Rombongan remaja anak-anak sekolah yang kemarin juga banyak kulewati dalam pendakian ini. Banyak di antara mereka yang tampak ngos-ngosan dan berhenti untuk istirahat di tepi anak tangga yang agak lebar.
Setelah beberapa waktu, suamiku mengatakan tidak perlu menunggunya, sayang kalau sampai kesiangan dan kami berdua tidak bisa menyaksikan sunrise sama sekali. Akhirnya aku berjalan lebih dulu agar cepat sampai. Aku sampai di puncak Poon Hill sekitar jam 5.45 pagi, dan suamiku menyusul 15-20 menit kemudian, tepat saat matahari mulai terbit. Saat aku tiba, suasana masih gelap gulita, namun tampak betapa ramainya tempat ini. Poon Hill memang termasuk tempat yang touristy, karena dianggap sebagai salah satu trek yang mudah dan singkat. Selain itu, dikatakan bahwa sunrise di Poon Hill adalah salah satu sunrise yang terindah di dunia. Area di puncak ini berbentuk seperti lapangan yang luas dan datar. Sedikitnya mungkin ada sekitar 300-400 orang yang tampak saat itu. Poon Hill sendiri berada di ketinggian 3.210 mdpl.
Ghorepani Poon Hill Trekking, yang juga dikenal sebagai Annapurna Sunrise Trekking, atau Annapurna Panorama Trekking, merupakan salah satu tempat yang sangat populer dengan trek yang mudah di Annapurna Region. Tempat ini terkenal sebagai surganya para fotografer, di mana kita bisa menyaksikan area Annapurna dan Dhaulagiri sekaligus. Dari Poon Hill, kita bisa melihat gunung-gunung raksasa di Himalayas, termasuk di antaranya adalah Annapurna South, Annapurna I, Annapurna II, III dan IV, Dhaulagiri, Lamjung Himal, Gangapurna, dan Manaslu.
Di tempat ini ada menara di mana kita bisa naik, dan sepertinya di sanalah view terbaik untuk melihat ke sekitar. Pertama sampai, aku langsung menaiki tangga ke puncak menara, namun ternyata sudah penuh dengan anak-anak sekolah tadi, dan tidak ada tempat sama sekali untuk berdiri. Baru saja aku hendak memotret, sepertinya ada yang kentut dan baunya luar biasa. Wah mana tahan rasanya :((
Akhirnya aku memilih untuk turun lagi dan berdiri di tengah anak tangga di menara ini, ada tempat yang cukup bagus untuk memotret dari situ. Sekitar 15-20 menit aku berada di tempat ini untuk memotret, dan anginnya cukup kencang hingga aku merasa kedinginan. Lama-lama tempat ini pun mulai dipenuhi orang, jadi aku memutuskan untuk turun dan menemui suamiku yang sudah berada di bawah.
Pada umumnya, orang-orang berdiri di dua sisi. Di sisi timur, adalah tempat terbaik untuk menyaksikan sunrise, namun sudah penuh dengan manusia, kebanyakan anak-anak sekolah tadi. Jadi aku dan suamiku memilih berdiri di sisi barat, yang ternyata pemandangannya tidak kalah memukau, bahkan menurut kami lebih indah.
Dengan suasana yang mulai sedikit terang, tampak puncak gunung Dhaulagiri yang ditutupi salju mulai kelihatan. Indah sekali!
Kami bertemu lagi dengan Lionel, MariAnne, Thakur, dan Phrobin di tempat ini. Semakin sering bertemu dengan mereka, suasana pun makin akrab. Thakur mengatakan bahwa hari ini mereka akan menempuh perjalanan sampai ke sebuah desa kecil yang bernama Chuile. Umumnya para trekker akan berhenti dan menginap di Tadapani, tapi menurut Thakur di sana terlalu ramai, dan dikuatirkan tidak akan dapat penginapan, karenanya mereka berempat akan ke Chuile yang jaraknya sekitar 1 jam dari Tadapani.
Sementara itu, matahari semakin naik, suasana semakin terang, dan semakin banyak pula puncak gunung bersalju yang tampak. Dan ketika cahaya matahari mulai menyinari puncak-puncak gunung tersebut dan awan mulai menghilang, pemandangannya sungguh luar biasa! Begitu indah, tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Puncak-puncak gunung bersalju yang berjejer, berwarna keemasan diterpa cahaya matahari. Salah satu pemandangan yang tak terlupakan bagiku! Gunung Annapurna, Dhaulagiri, dan Fish Tail, tampak berdiri dengan megahya.
Banyak sekali orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk berfoto dan selfie. Agak susah untuk stay di satu titik yang bagus, karena kita harus sadar diri tempatnya akan digunakan oleh orang lain untuk mengambil foto juga. Ada satu momen yang cukup menjengkelkan, saat aku baru saja berdiri di suatu titik untuk memotret gunung-gunung ini, ada seorang perempuan muda dari RRC yang menyuruhku pindah, katanya dia mau foto di situ (pasangannya yang akan memotretnya). Kujawab saja, sama, aku juga mau memotret di sini. Sepertinya dia kesal, tapi tidak berani bilang apa-apa, lalu pindah posisi memotretnya. Orang-orang seperti ini menurutku tidak tahu aturan dan mau enaknya sendiri. Kami sendiri tidak pernah sampai menyuruh orang lain pindah kalau mau foto atau selfie. Kuncinya adalah sabar atau pandai-pandai mengambil sudut.
Sekitar jam 7 pagi, matahari sudah bersinar terik, dan kami merasa sudah cukup banyak mengambil foto di tempat ini. Maka kami pun turun untuk kembali ke hotel, karena perjalanan kami hari ini masih akan sangat panjang. Dari puncak Poon Hill, perjalanan menuruni anak tangga hanya makan waktu 20-25 menit saja, dan sesampai di hotel, kami segera memesan sarapan, lalu naik dulu ke kamar untuk packing, membereskan semua barang kami, dan merapikan kamar. Setelah beres 20 menit kemudian, kami turun lagi untuk menunggu sarapan siap.
Sekitar jam 7 pagi, matahari sudah bersinar terik, dan kami merasa sudah cukup banyak mengambil foto di tempat ini. Maka kami pun turun untuk kembali ke hotel, karena perjalanan kami hari ini masih akan sangat panjang. Dari puncak Poon Hill, perjalanan menuruni anak tangga hanya makan waktu 20-25 menit saja, dan sesampai di hotel, kami segera memesan sarapan, lalu naik dulu ke kamar untuk packing, membereskan semua barang kami, dan merapikan kamar. Setelah beres 20 menit kemudian, kami turun lagi untuk menunggu sarapan siap.
Jam 7.45 pagi, kami sarapan di halaman hotel. Pagi ini kami memesan vegetable egg noodle soup seharga NRs 260, vegetable fried rice seharga NRs 350, dan satu teko ginger tea seharga NRs 260. Suamiku makan mienya, dan aku minum kuahnya hahahaha... Sedangkan nasi gorengnya kami bawa untuk bekal makan siang. Ginger teanya juga kami minum 2 cangkir, dan sisanya dimasukkan ke botol untuk diminum di perjalanan nanti.
Sarapannya boleh sederhana, namun pemandangan perbukitan dan gunung bersalju yang berada di depan mata kami luar biasa indahnya. Benar-benar tiada duanya. Matahari juga mulai memancarkan sinarnya di tempat ini, sehingga kami tidak terlalu kedinginan.
Aku bertanya kepada suamiku, apakah kami akan terus sampai Annapurna Base Camp, ataukah akan kembali saja? Aku tidak ingin kondisinya bertambah buruk nantinya apabila dipaksakan terus mendaki. Apalagi dari yang kutahu, makin ke atas akan makin berat akibat udara yang tipis. Suamiku berkata bahwa kami akan terus lanjut sampai Annapurna Base Camp. Jadi, keputusan sudah diambil. Annapurna Base Camp, it is!
Sarapannya boleh sederhana, namun pemandangan perbukitan dan gunung bersalju yang berada di depan mata kami luar biasa indahnya. Benar-benar tiada duanya. Matahari juga mulai memancarkan sinarnya di tempat ini, sehingga kami tidak terlalu kedinginan.
Aku bertanya kepada suamiku, apakah kami akan terus sampai Annapurna Base Camp, ataukah akan kembali saja? Aku tidak ingin kondisinya bertambah buruk nantinya apabila dipaksakan terus mendaki. Apalagi dari yang kutahu, makin ke atas akan makin berat akibat udara yang tipis. Suamiku berkata bahwa kami akan terus lanjut sampai Annapurna Base Camp. Jadi, keputusan sudah diambil. Annapurna Base Camp, it is!
Usai sarapan, kami kembali naik ke kamar untuk mengambil backpack kami, lalu ke resepsionis untuk membayar. Total pengeluaran untuk makan malam dan sarapan adalah NRs 1,950. Selesai membayar, waktu sudah menunjukkan pukul 8.20 pagi, dan kami pun bergegas pergi.
Karena lokasi Hotel Hilltop berada di tempat yang paling tinggi di Ghore Pani, kami harus menuruni ratusan anak tangga untuk sampai ke Lower Ghorepani, dan ratusan lagi sampai mencapai pertigaan jalan menuju Tadapani.
Mulai memasuki jalan setapak inilah, lagi-lagi kami harus menaiki anak tangga. Setelah itu, medannya berupa jalan setapak di hutan yang cukup menanjak, dan dilanjut deretan anak tangga lagi yang kali ini agak curam. Seperti sebelumnya, suamiku sangat lambat dalam mendaki, sehingga aku harus banyak menunggunya.
Lama-kelamaan tampaklah Ghore Pani di kejauhan, sejajar dengan tempat kami berada, namun terpisah oleh lembah yang dalam, jadi kami sudah turun sampai ke dasar lembah dan naik lagi ke bukit lain untuk sampai di sini. Sudah ratusan anak tangga yang kami naiki, dan ini baru awalnya saja.
Karena lokasi Hotel Hilltop berada di tempat yang paling tinggi di Ghore Pani, kami harus menuruni ratusan anak tangga untuk sampai ke Lower Ghorepani, dan ratusan lagi sampai mencapai pertigaan jalan menuju Tadapani.
Mulai memasuki jalan setapak inilah, lagi-lagi kami harus menaiki anak tangga. Setelah itu, medannya berupa jalan setapak di hutan yang cukup menanjak, dan dilanjut deretan anak tangga lagi yang kali ini agak curam. Seperti sebelumnya, suamiku sangat lambat dalam mendaki, sehingga aku harus banyak menunggunya.
Lama-kelamaan tampaklah Ghore Pani di kejauhan, sejajar dengan tempat kami berada, namun terpisah oleh lembah yang dalam, jadi kami sudah turun sampai ke dasar lembah dan naik lagi ke bukit lain untuk sampai di sini. Sudah ratusan anak tangga yang kami naiki, dan ini baru awalnya saja.
Sekitar pukul 9.30 pagi, sampailah kami di sebuah area terbuka di puncak bukit di mana kita bisa memandang perbukitan lain yang mengelilingi kita dan puncak gunung bersalju tampak di kejauhan. Sebetulnya indah sekali, tapi aku mulai kuatir karena pagi ini suamiku tampak sangat kepayahan berjalan di tempat yang selalu menanjak ini. Sepertinya sakit kepalanya kambuh lagi. Kami dilewati oleh banyak sekali trekker lain.
Setelah perlahan-lahan menyusuri puncak bukit yang terus menanjak ini, sekitar 30 menit kemudian kami kembali memasuki area hutan yang indah, namun jalan setapak terus menanjak. Keluar dari hutan, kembali menanjak agak curam di area yang terbuka, dan sekitar jam 10.45 siang, sampailah kami di puncak bukit yang dinamai Deurali Pass. Banyak orang yang sedang istirahat dan berkumpul di area ini. Tadinya aku tidak tahu, tapi ternyata ada sebuah restoran/warung di sini kalau-kalau kita hendak membeli makanan atau minuman. Pemandangan di Deurali Pass ini luar biasa, perbukitan yang luas membentang di satu sisi, dan di sisi lain tampak puncak Annapurna yang berdiri dengan megahnya.
Kami beristirahat sekitar 15 menit di sini, sambil kadang mengobrol dengan trekker lain atau guide yang sedang istirahat juga. Wajah suamiku tampak pucat. Sebenarnya aku iba dan kuatir sekali, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Andai aku sekuat para porter yang sanggup membawa beban berat, pasti sudah kubawakan backpacknya. Backpackku sendiri terasa sangat membebani pundakku, dan sebenarnya makin sering berhenti justru semakin terasa beratnya. Dua hari kemarin kurasakan, 3-4 jam pertama merupakan saat-saat backpackku ini terasa paling berat, dan di atas 4 jam barulah terbiasa.
Beberapa orang juga menanyakan suamiku kenapa? Apakah dia sakit? Seorang guide yang mengobrol denganku mengatakan bahwa dia juga sedang sakit kepala, tapi dia harus tetap berjalan karena sudah kewajibannya.
Perjalanan kami dari pagi sampai saat ini di Deurali Pass, baru sepertiga dari total rute yang kami rencanakan hari ini, yaitu sampai di Tadapani. Maka setelah pucat di wajah suamiku berkurang, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Selama beberapa ratus meter berikutnya, jalurnya benar-benar membuatku merinding. Kami berjalan di jalan setapak yang hanya sekitar 40-50cm lebarnya, tepat di tepi jurang bukit yang sangat tinggi ini, tanpa pengaman apa pun. Di sini aku berkenalan dan sempat mengobrol dengan serombongan anak muda dari Malaysia saat berjalan. Beberapa dari mereka masih sempat selfie dan memfilmkan diri dengan Go Pro-nya di tempat yang menyeramkan ini. Untungnya setelah itu kami kembali memasuki hutan lagi. Hutannya benar-benar indah dengan banyak pepohonan yang tampaknya sudah sangat tua usianya. Jalan setapaknya sendiri ada beberapa yang cukup datar, tapi masih banyak yang menanjak, bahkan agak curam, padahal kami masih berada di wilayah puncak perbukitan. Beberapa kali tampak akar pohon yang sangat besar-besar yang harus dilewati. Di hutan ini aku bertemu lagi dengan Faruk, pemuda Nepal yang kemarin sama-sama mencari penginapan. Katanya dia sedang buru-buru, jadi jalan duluan.
Pada saat menanjak inilah, suamiku sangat lambat jalannya, kadangkala sampai berhenti di tanjakan. Sekali, setelah melalui tanjakan yang agak curam, wajahnya tampak pucat pasi, dan suamiku duduk beristirahat sambil menyandarkan kepalanya ke belakang, sampai orang-orang yang melewatinya memperhatikan dan bertanya kepadaku apakah dia baik-baik saja. Salah satu bapak separuh baya dari sebuah rombongan Korea bahkan sampai menghampiriku, lalu memberikan beberapa buah permen kepadaku. Katanya, "ini buat pacarmu" hahahaha... yang tentu saja kuterima dengan senang hati ^_^
Setelah berjalan perlahan sekitar 1 jam di dalam hutan ini, tepat jam 12 siang, sampailah kami di Deurali, sebuah desa kecil dengan beberapa penginapan, restoran, dan pedagang cindera mata. Kulihat kebanyakan trekker lain beristirahat dan makan siang di desa ini. Kami pun mencari tempat duduk dan beristirahat di sini. Ada beberapa peta juga yang terpampang di sini, jadi aku melihat dan mempelajarinya sementara suamiku beristirahat memulihkan kondisinya.
Sewaktu berada di tempat ini, rombongan dari Korea Selatan tadi pun sedang beristirahat di sebuah halaman restoran, sepertinya sedang menanti makan siang dihidangkan. Salah seorang di antara mereka memberikan snack potato chips yang kemasan kaleng kertas kepada salah seorang porternya, dan menyuruh si porter untuk membagi-baginya, termasuk dengan kami juga. Lumayan ada snack tambahan hehehehe...
Kami beristirahat sekitar 15 menit di sini, sambil kadang mengobrol dengan trekker lain atau guide yang sedang istirahat juga. Wajah suamiku tampak pucat. Sebenarnya aku iba dan kuatir sekali, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Andai aku sekuat para porter yang sanggup membawa beban berat, pasti sudah kubawakan backpacknya. Backpackku sendiri terasa sangat membebani pundakku, dan sebenarnya makin sering berhenti justru semakin terasa beratnya. Dua hari kemarin kurasakan, 3-4 jam pertama merupakan saat-saat backpackku ini terasa paling berat, dan di atas 4 jam barulah terbiasa.
Beberapa orang juga menanyakan suamiku kenapa? Apakah dia sakit? Seorang guide yang mengobrol denganku mengatakan bahwa dia juga sedang sakit kepala, tapi dia harus tetap berjalan karena sudah kewajibannya.
Perjalanan kami dari pagi sampai saat ini di Deurali Pass, baru sepertiga dari total rute yang kami rencanakan hari ini, yaitu sampai di Tadapani. Maka setelah pucat di wajah suamiku berkurang, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Selama beberapa ratus meter berikutnya, jalurnya benar-benar membuatku merinding. Kami berjalan di jalan setapak yang hanya sekitar 40-50cm lebarnya, tepat di tepi jurang bukit yang sangat tinggi ini, tanpa pengaman apa pun. Di sini aku berkenalan dan sempat mengobrol dengan serombongan anak muda dari Malaysia saat berjalan. Beberapa dari mereka masih sempat selfie dan memfilmkan diri dengan Go Pro-nya di tempat yang menyeramkan ini. Untungnya setelah itu kami kembali memasuki hutan lagi. Hutannya benar-benar indah dengan banyak pepohonan yang tampaknya sudah sangat tua usianya. Jalan setapaknya sendiri ada beberapa yang cukup datar, tapi masih banyak yang menanjak, bahkan agak curam, padahal kami masih berada di wilayah puncak perbukitan. Beberapa kali tampak akar pohon yang sangat besar-besar yang harus dilewati. Di hutan ini aku bertemu lagi dengan Faruk, pemuda Nepal yang kemarin sama-sama mencari penginapan. Katanya dia sedang buru-buru, jadi jalan duluan.
Pada saat menanjak inilah, suamiku sangat lambat jalannya, kadangkala sampai berhenti di tanjakan. Sekali, setelah melalui tanjakan yang agak curam, wajahnya tampak pucat pasi, dan suamiku duduk beristirahat sambil menyandarkan kepalanya ke belakang, sampai orang-orang yang melewatinya memperhatikan dan bertanya kepadaku apakah dia baik-baik saja. Salah satu bapak separuh baya dari sebuah rombongan Korea bahkan sampai menghampiriku, lalu memberikan beberapa buah permen kepadaku. Katanya, "ini buat pacarmu" hahahaha... yang tentu saja kuterima dengan senang hati ^_^
Setelah berjalan perlahan sekitar 1 jam di dalam hutan ini, tepat jam 12 siang, sampailah kami di Deurali, sebuah desa kecil dengan beberapa penginapan, restoran, dan pedagang cindera mata. Kulihat kebanyakan trekker lain beristirahat dan makan siang di desa ini. Kami pun mencari tempat duduk dan beristirahat di sini. Ada beberapa peta juga yang terpampang di sini, jadi aku melihat dan mempelajarinya sementara suamiku beristirahat memulihkan kondisinya.
Sewaktu berada di tempat ini, rombongan dari Korea Selatan tadi pun sedang beristirahat di sebuah halaman restoran, sepertinya sedang menanti makan siang dihidangkan. Salah seorang di antara mereka memberikan snack potato chips yang kemasan kaleng kertas kepada salah seorang porternya, dan menyuruh si porter untuk membagi-baginya, termasuk dengan kami juga. Lumayan ada snack tambahan hehehehe...
Kemudian kami mengobrol dengan seorang porter yang masih muda. Darinyalah kami kemudian mendapat banyak informasi mengenai jalur trek setelah ini menuju ke Tadapani. Katanya, kalau kami bisa cepat, Tadapani bisa ditempuh dalam waktu 4 jam, atau maksimal 5 jam. Treknya sendiri cenderung turun. Sang porter yang baik hati dan tidak pernah kami temui lagi ini menyemangati bahwa kami pasti bisa sampai ke sana hari ini. Yes!!! Semangat!!!
Maka sekitar jam 12.20 siang, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Keluar dari desa, langsung menemui tangga yang menurun, lalu jalan setapak pun turun. Diwarnai dengan adegan trekking pole-ku yang ketinggalan di tempat duduk-duduk tadi, jadi aku harus sedikit berlarian mengambilnya kembali. Untung belum jauh berjalan. Tanpa kedua trekking pole ini, aku bisa kesulitan berjalan nih...
Baru berjalan sekitar 5 menit, ada sebuah restoran, yang tampaknya adalah ujung dari desa Deurali ini. Setelah itu, kami kembali memasuki area hutan, dan ternyata treknya menanjak lagi! Suamiku tampak mulai kehabisan nafas lagi di sini, padahal hanya beberapa menit saja menanjaknya. Untungnya setelah itu treknya turun, dan turun, dan turun, dan turun lagi... hehehehe.... Suamiku mulai berjalan dengan mantap dan cepat. Sebaliknya, aku justru mulai banyak di belakangnya. Aku adalah tipe orang yang entah kenapa mudah sekali terpeleset, tersandung, dan jatuh di jalan turun, terutama apabila jalannya berpasir atau tidak rata, karenanya harus hati-hati dan agak pelan-pelan.
Baru sekitar 10 menit menuruni jalan setapak dan anak tangga, aku dibuat terpana oleh apa yang kulihat di depan mataku. Kami relatif masih berada di puncak bukit, dan hutan yang penuh warna membentang di hadapanku. Pepohonan yang daunnya berwana hijau, kuning, merah, oranye, coklat, dan kadang pink, berpadu dengan tebing batu yang sangat tinggi dan megah. Wow! So amazing!
Kamera yang selama ini lebih banyak berada di dalam kantong backpack selama trekking, langsung kukalungkan di leher. Tak kusia-siakan sedikit pun pemandangan yang menakjubkan dan luar biasa indahnya ini. Tempat ini pada akhirnya menjadi salah satu tempat favoritku di saat trekking karena pemandangannya yang betul-betul indah tiada tara. Sayang sekali hasil jepretan kamera maupun HP tidak ada satu pun yang bisa merepresentasikan keindahannya. Apa yang dilihat mata ini, tidak bisa dicopy oleh lensa.
Kami terus menuruni tangga, beberapa cukup curam dan berbahaya karena basah, licin, dan tanpa pagar pengaman sama sekali. Tampak air mengalir dari mata air di berbagai tempat. Semakin lama semakin turun, sampai rasanya ribuan anak tangga sudah kami lalui, sampai ke dasar bukit ini.
Pemandangan di seluruh tempat ini tidak pernah berhenti membuatku terkagum-kagum. Pepohonan yang tampaknya sudah ratusan tahun usianya, berdiri dengan dahan-dahannya yang indah. Dedaunan berwarna kuning yang berguguran dan menyelimuti permukaan tanah. Tebing batu raksasa yang semakin dekat semakin tampak anggun dan menawan. Sungai yang mengalir deras. Air terjun yang walaupun kecil namun mempesona.
Baru berjalan sekitar 5 menit, ada sebuah restoran, yang tampaknya adalah ujung dari desa Deurali ini. Setelah itu, kami kembali memasuki area hutan, dan ternyata treknya menanjak lagi! Suamiku tampak mulai kehabisan nafas lagi di sini, padahal hanya beberapa menit saja menanjaknya. Untungnya setelah itu treknya turun, dan turun, dan turun, dan turun lagi... hehehehe.... Suamiku mulai berjalan dengan mantap dan cepat. Sebaliknya, aku justru mulai banyak di belakangnya. Aku adalah tipe orang yang entah kenapa mudah sekali terpeleset, tersandung, dan jatuh di jalan turun, terutama apabila jalannya berpasir atau tidak rata, karenanya harus hati-hati dan agak pelan-pelan.
Baru sekitar 10 menit menuruni jalan setapak dan anak tangga, aku dibuat terpana oleh apa yang kulihat di depan mataku. Kami relatif masih berada di puncak bukit, dan hutan yang penuh warna membentang di hadapanku. Pepohonan yang daunnya berwana hijau, kuning, merah, oranye, coklat, dan kadang pink, berpadu dengan tebing batu yang sangat tinggi dan megah. Wow! So amazing!
Kamera yang selama ini lebih banyak berada di dalam kantong backpack selama trekking, langsung kukalungkan di leher. Tak kusia-siakan sedikit pun pemandangan yang menakjubkan dan luar biasa indahnya ini. Tempat ini pada akhirnya menjadi salah satu tempat favoritku di saat trekking karena pemandangannya yang betul-betul indah tiada tara. Sayang sekali hasil jepretan kamera maupun HP tidak ada satu pun yang bisa merepresentasikan keindahannya. Apa yang dilihat mata ini, tidak bisa dicopy oleh lensa.
Kami terus menuruni tangga, beberapa cukup curam dan berbahaya karena basah, licin, dan tanpa pagar pengaman sama sekali. Tampak air mengalir dari mata air di berbagai tempat. Semakin lama semakin turun, sampai rasanya ribuan anak tangga sudah kami lalui, sampai ke dasar bukit ini.
Pemandangan di seluruh tempat ini tidak pernah berhenti membuatku terkagum-kagum. Pepohonan yang tampaknya sudah ratusan tahun usianya, berdiri dengan dahan-dahannya yang indah. Dedaunan berwarna kuning yang berguguran dan menyelimuti permukaan tanah. Tebing batu raksasa yang semakin dekat semakin tampak anggun dan menawan. Sungai yang mengalir deras. Air terjun yang walaupun kecil namun mempesona.
Semuanya berpadu di satu tempat, dan tampak luar biasa bagiku. Aku sampai terwow-wow dibuatnya. Walaupun aku tidak tahu surga itu seperti apa, tapi menurutku hutan ini adalah tempat yang sangat cocok menggambarkan keadaan surga. Sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata! Too amazing! This is literally heaven on earth!
Saat berada di sebuah tempat datar yang indah, kami berhenti untuk makan siang sambil menikmati pemandangan di sekitar kami. Selesai makan siang, kami kembali melanjutkan berjalan lagi. Rutenya masih cenderung turun atau datar. Kami sempat melewati sebuah tempat di tepi sungai yang dipenuhi dengan cairns, batu-batu yang ditumpuk-tumpuk itu lho... menyenangkan sekali melihatnya.
Entah karena keindahan tempat ini atau karena jalannya yang tidak lagi menanjak, suamiku tampak bersemangat. Wajahnya yang sedari pagi pucat, tampak sudah memerah dan jalannya pun jadi lebih cepat daripada aku hehehehe... Aku tahu kedua lututku memang lemah, karenanya aku memakai knee support sejak awal hari pertama. Memang sangat membantu untuk jalan turun, terutama menuruni tangga, namun kadangkala masih tetap agak sakit juga.
Selama di dalam hutan ini, kami banyak berpapasan dengan trekker lain yang berlawanan arah dengan kami. Ada yang dari Gandhruk, desa yang kutahu jauuuuh sekali dari situ. Aku membayangkan betapa menderitanya harus menaiki tangga di hutan ini, karena aku yakin jumlahnya ribuan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebetulnya kami juga mengalami hal yang sama selama 2 hari pertama kemarin hahahaha....
Saat berada di sebuah tempat datar yang indah, kami berhenti untuk makan siang sambil menikmati pemandangan di sekitar kami. Selesai makan siang, kami kembali melanjutkan berjalan lagi. Rutenya masih cenderung turun atau datar. Kami sempat melewati sebuah tempat di tepi sungai yang dipenuhi dengan cairns, batu-batu yang ditumpuk-tumpuk itu lho... menyenangkan sekali melihatnya.
Selama di dalam hutan ini, kami banyak berpapasan dengan trekker lain yang berlawanan arah dengan kami. Ada yang dari Gandhruk, desa yang kutahu jauuuuh sekali dari situ. Aku membayangkan betapa menderitanya harus menaiki tangga di hutan ini, karena aku yakin jumlahnya ribuan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebetulnya kami juga mengalami hal yang sama selama 2 hari pertama kemarin hahahaha....
Sekitar 90 menit dari waktu kami pertama memasuki area hutan ini, setelah menyeberangi sebuah jembatan pendek, kami pun keluar dari hutan yang luar biasa ini, dan memasuki desa kecil Ban Thanti. Hanya ada beberapa penginapan sekaligus restoran di desa ini.
Setelah melewati desa kecil ini, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri sisi luar bukit, dan sama seperti sebelumnya, ada tempat-tempat yang membuatku merinding ketakutan karena jalurnya sempit, hanya cukup untuk 1 orang lewat, dan di sisi kanannya jurang membentang. Untungnya jalur seperti ini tidak terlalu panjang, dan setelah itu kembali memasuki hutan. Sepanjang hutan ini, treknya berupa anak tangga dari tanah yang turun dan turun terus sampai ke dasar. Di sini aku berjalan turun agak ngebut, sehingga lebih cepat dari suamiku karena ingin cepat sampai. Saat itu waktu sudah menunjukkan hampir jam 3 sore. Aku agak lama menunggu suamiku di dasar, ternyata dia sempat terpeleset, karenanya berjalan lebih pelan.
Keluar dari hutan, sampai di dasar bukit, sampailah kami di sebuah tempat untuk istirahat. Aku bertemu lagi dengan Faruk di sini. Ternyata Faruk sudah sampai di Tadapani jam 1.30 siang, katanya dia ngebut banget, bahkan sampai berlari-lari pada saat turun. Tidak heran dia sudah duluan sampai dan sudah kembali lagi. Dari dialah aku mendapat informasi bahwa semua hotel di Tadapani sudah penuh. Benar-benar penuh! Dia beruntung mendapatkan kamar dari seorang guide yang sepertinya batal menginap di sana. Tapi berarti kami tidak bisa menginap di Tadapani, sedangkan Tadapani seharusnya merupakan tujuan akhir kami hari ini.
Keluar dari hutan, sampai di dasar bukit, sampailah kami di sebuah tempat untuk istirahat. Aku bertemu lagi dengan Faruk di sini. Ternyata Faruk sudah sampai di Tadapani jam 1.30 siang, katanya dia ngebut banget, bahkan sampai berlari-lari pada saat turun. Tidak heran dia sudah duluan sampai dan sudah kembali lagi. Dari dialah aku mendapat informasi bahwa semua hotel di Tadapani sudah penuh. Benar-benar penuh! Dia beruntung mendapatkan kamar dari seorang guide yang sepertinya batal menginap di sana. Tapi berarti kami tidak bisa menginap di Tadapani, sedangkan Tadapani seharusnya merupakan tujuan akhir kami hari ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 3.45 sore, dan kami sebetulnya sudah lelah. Begitu suamiku sampai dan kuberi tahu mengenai penginapan yang penuh ini, kami pun berasumsi harus jalan sampai di Chuile, namun masih tetap berharap mendapat penginapan di Tadapani.
Suamiku mengajakku untuk bergegas jalan lagi agar tidak terlalu sore sampai di tujuan. Karena Faruk memberi tahu bahwa rute berikutnya adalah naik bukit selama 1 jam yang notabene adalah menanjak, aku minta dia jalan duluan, dan aku masih mengobrol dengan Faruk. Aku bertanya kepada Faruk sebagai seorang Nepali, kira-kira berapa budget per hari untuk trekking di sini. Menurut Faruk, minimal NRs 2,000 per hari. Aku bertanya, apakah itu untuk 2 orang? Faruk menjawan itu adalah biaya per orang. Jadi untuk 2 orang, budgetnya adalah NRs 4,000 per hari. Wah, banyak juga ya... sedangkan sejauh ini kami belum pernah sampai habis NRs 2,000 dalam sehari. Setelah berterima kasih atas semua informasi yang diberikannya, aku pun berpamitan kepada Faruk dan bergegas menyusul suamiku.
Tanjakan menuju Tadapani ini ternyata cukup berat. Medannya agak curam, dan sebagian besar berupa tanah atau anak tangga dari batu. Mungkin karena keadaan terjepit, kali ini suamiku berjalan dengan penuh semangat, tidak seperti pagi harinya. Hanya sedikit sekali waktu yang kami gunakan untuk berhenti atau beristirahat. Akhirnya setelah melalui sederetan panjang anak tangga yang sudah menjadi ciri khas masuk ke sebuah desa, kami mencapai desa Tadapani dalam waktu sekitar 50 menit. Saat bertemu dengan seorang bapak tua penduduk lokal, beliau mengatakan bahwa semua kamar di Tadapani sudah penuh. Wah, ternyata beneran nih! Kami jadi lebih kuatir lagi, padahal badan sudah lelaaaaaaah sekali. Kaki sudah sakit semua rasanya, dan beban backpack mulai terasa menyakitkan di pundak.
Akhirnya mau tidak mau kami pun melanjutkan berjalan menuju ke Chuile, dengan harapan masih ada penginapan yang kosong di sana (karena ada yang bilang mungkin di Chuile juga sudah penuh). Jalannya melewati hutan dan sebetulnya cenderung turun, tapi lebih banyak pasir dan bebatuan. Kami berdua benar-benar sudah amat sangat terlalu lelah, baik secara fisik maupun mental. Bayangkan saja, dari subuh sudah dihajar naik tangga, setelah itu seharian jalaaaaaan terus, naik turun naik turun. Akhirnya karena kurang konsentrasi, aku sempat terpeselet di tengah perjalanan menuju Chuile ini hingga engkel kiriku terkilir. Untung saja masih bisa dipakai berjalan, jadi kuenyahkan rasa sakit dari pikiranku, dan terus bergerak mengikuti jalan setapak.
Tanjakan menuju Tadapani ini ternyata cukup berat. Medannya agak curam, dan sebagian besar berupa tanah atau anak tangga dari batu. Mungkin karena keadaan terjepit, kali ini suamiku berjalan dengan penuh semangat, tidak seperti pagi harinya. Hanya sedikit sekali waktu yang kami gunakan untuk berhenti atau beristirahat. Akhirnya setelah melalui sederetan panjang anak tangga yang sudah menjadi ciri khas masuk ke sebuah desa, kami mencapai desa Tadapani dalam waktu sekitar 50 menit. Saat bertemu dengan seorang bapak tua penduduk lokal, beliau mengatakan bahwa semua kamar di Tadapani sudah penuh. Wah, ternyata beneran nih! Kami jadi lebih kuatir lagi, padahal badan sudah lelaaaaaaah sekali. Kaki sudah sakit semua rasanya, dan beban backpack mulai terasa menyakitkan di pundak.
Akhirnya mau tidak mau kami pun melanjutkan berjalan menuju ke Chuile, dengan harapan masih ada penginapan yang kosong di sana (karena ada yang bilang mungkin di Chuile juga sudah penuh). Jalannya melewati hutan dan sebetulnya cenderung turun, tapi lebih banyak pasir dan bebatuan. Kami berdua benar-benar sudah amat sangat terlalu lelah, baik secara fisik maupun mental. Bayangkan saja, dari subuh sudah dihajar naik tangga, setelah itu seharian jalaaaaaan terus, naik turun naik turun. Akhirnya karena kurang konsentrasi, aku sempat terpeselet di tengah perjalanan menuju Chuile ini hingga engkel kiriku terkilir. Untung saja masih bisa dipakai berjalan, jadi kuenyahkan rasa sakit dari pikiranku, dan terus bergerak mengikuti jalan setapak.
Mendekati Chuile, kami sampai di sebuah pertigaan. Ada jalan yang ke kiri, dan ada yang ke kanan. Di awal kedua jalan ini ada tanda papan nama hotelnya. Sementara itu, ada 2 orang porter yang sedang bergegas jalan memasuki jalan yang ke arah kiri. Karena bimbang, aku membuka peta di HP. Diajari oleh suamiku, aku menggunakan aplikasi maps.me yang bisa offline, sehingga bisa tetap memantau perjalanan kami.
Ternyata kami akan menuju ke kanan esok hari, yaitu melewati desa Chhomrong. Jadi kami pilih berbelok ke kanan saja agar esok hari tidak perlu lagi memutar. Tepat jam 5.05 sore, kami melihat sebuah rumah dan restoran di sebelahnya. Aku mendatangi tempat ini, dan tampak seorang pemuda Nepal yang menyambut kami. Aku bertanya kepadanya, apakah masih ada kamar untuk malam ini?
Sang pemuda menjawab, sebenarnya tempat ini bukan penginapan, tapi kalau kalian mau, aku bisa menyiapkan sebuah kamar untuk kalian berdua. Tunggu 5 menit sembari beristirahat, lalu lihatlah dulu, dan setelah itu kalian bisa mengambil keputusan.
Oke, jadi kami menunggu di luar sambil duduk. Dari wajahnya, aku tahu suamiku sebetulnya tidak ingin menginap di tempat yang tampak usang dan agak kumuh ini. Aku hanya bisa berkata, tolong dilihat dulu, kalau memang tidak sreg, kita lanjut cari hotel.
Dan karena aku ingin tahu seperti apa di dalam restorannya, aku pun hendak masuk, ketika dua orang pemuda tiba-tiba keluar dari sana. Ah! Mereka adalah 2 dari 3 pemuda Spanyol yang sudah sering sekali berpapasan dengan kami, denganku terutama, semenjak hari pertama. Kami sudah cukup sering saling menyemangati satu sama lain walaupun tidak saling kenal. Awalnya mereka menyebutku sebagai "strong woman" karena waktu itu aku selalu mendaki lebih cepat daripada suamiku. Setelah itu kami jadi cukup akrab dan saling menyapa apabila bertemu di perjalanan.
Aku bertanya kepada mereka, apakah mereka menginap di sini atau tidak, dan katanya iya. Mereka mendapatkan 3 buah single bed di ruang makan. Waktu kutanya berapa biaya menginapnya, mereka bilang belum bertanya kepada si pemuda tadi. Sepertinya mereka juga belum lama sampai.
Sementara itu, pemuda tadi muncul lagi dari dalam dan menawarkan kepada kami untuk melihat kamarnya. Aku minta suamiku saja yang melihat, agar dia yang mengambil keputusan jadi atau tidaknya. Setelah keluar dari kamar, suamiku berkata, kamarnya biasa banget sih, tapi lumayanlah. Aku pun bertanya kepada si pemuda, berapa tarifnya, yang kemudian dijawabnya dengan kata-kata terserah kalian. Lalu aku berusaha negosiasi, siapa tahu boleh menginap gratis apabila kami makan malam dan sarapan di sini juga. Ternyata si pemuda langsung mengiyakan. Oke deh, kami sudah mendapat tempat untuk tidur malam ini. Lalu aku bertanya di mana toiletnya, dan si pemuda yang bernama Nishan ini menunjuk sebuah bangunan kecil sekitar 50 meter dari rumah. Akhirnya kami pun memutuskan untuk menginap di sini.
Suamiku langsung masuk ke dalam kamar, melepaskan backpack dan sepatunya, mengeluarkan beberapa barang dari backpack, lalu langsung menyelimuti dirinya dan tidur. Aku sendiri masih hendak cuci muka dan membasuh badan. Ada sebuah pipa air di tengah-tengah antara rumah dengan toilet. Nishan yang menunjukkan kepadaku tempat ini. Katanya kalau mau membasuh diri tapi tidak sampai telanjang, boleh di sini, tapi kalau mau sampai telanjang, nanti dibantu mengambil air dengan baskom dan dibawakan ke toilet. Hahahahaha.... ya iyalah, masa di tempat terbuka begini mau sampai buka baju?
Akhirnya aku sikat gigi, cuci muka dan membasuh badan seadanya dengan air yang mengalir dari pipa ini. Kalau sudah selesai, pipanya disambung kembali, mungkin airnya dialirkan ke tempat lain.
Pada saat ke toilet, ternyata toiletnya cukup jorok. Bau pesing, dan ada tempat sampah dari ember yang penuh berisi kertas tisu yang kekuningan. Hiiii.... sebetulnya agak jijik juga, tapi terpaksa karena kebelet pipis. Masih ada air seember penuh beserta gayungnya di dalam toilet ini, jadi selesai buang air kecil, kusiramkan seluruh sisa air di ember dengan harapan tidak bau pesing lagi. Setelah itu baru kuisi lagi embernya dengan air bersih dari pipa. Nishan juga kuberi tahu untuk membuang sampah tisu yang ada di dalam toilet, yang sepertinya langsung dilakukannya. Aku juga sempat bertemu dengan pamannya Nishan, orangnya baik dan suka mengajak ngobrol tamu-tamu, walaupun bahasa Inggrisnya kurang lancar.
Sementara itu, tampak 2 orang yang baru saja datang dan sedang akan memasang tenda di lapangan di dekat toilet ini. Yang satu sepertinya orang lokal, orangnya pendek dan lucu, satunya lagi orang Western yang sudah berusia lanjut dengan perawakan tinggi. Sepertinya sudah tidak ada kamar atau kasur lagi di dalam rumah, karenanya mereka numpang camping di halaman. Terdengar mereka mengucapkan terima kasih sudah diijinkan camping di tempat ini.
Aku masuk ke dalam kamar, melepaskan sepatu, lalu merapikan barang-barang kami yang berserakan. Suamiku tampak begitu loyo dan tertidur, sepertinya cukup nyenyak dengan mengenakan fleece dan berguling di dalam selimut.
Di tempat ini tidak ada sinyal HP sama sekali, dan baterai HP-ku juga sudah tinggal sedikit, jadi kucharge dulu di colokan listrik yang tersedia di dalam kamar. Selesai berbenah, aku pun keluar dan memesan makan malam untuk kami berdua. Tiga orang pemuda Spanyol dan dua tamu terakhir yang baru datang, sedang berkumpul di ruang makan. Mereka sepertinya sedang asyik ngobrol. Tiga pemuda Spanyol ini bernama Ruben, Deivid, dan Miguel, sedangkan yang kusangka orang lokal tadi bernama Dawa (dibaca Tawa). Dia aslinya keturunan Tibet, dulu orang tuanya mengungsi ke Nepal, jadi dia dilahirkan sudah di Nepal. Sedangkan bapak tua yang bersamanya berasal dari Jerman, dan tidak pernah kutanya namanya, karena entah kenapa aku ada perasaan kurang suka kepadanya.
Mereka berlima ternyata sedang asyik merencanakan perjalanan untuk esoknya. Semuanya juga baru pertama kali trekking ke Annapurna Base Camp. Tadinya mereka merencanakan akan ke Dovan, lalu ke Bamboo, dan terakhir mereka memutuskan bahwa besok akan ke Deurali, desa terakhir sebelum Machhapuchhre Base Camp dan Annapurna Base Camp. Mereka akan berusaha booking penginapan dari sekarang, karena jumlah penginapan semakin ke atas semakin sedikit, dan mereka kuatir tidak akan mendapat tempat menginap. Aku hanya menjadi pendengar setia, karena aku sendiri tidak yakin kami akan bisa sampai sejauh tujuan mereka. Bahkan sesungguhnya aku tidak yakin lagi bahwa kami akan melanjutkan perjalanan ke Annapurna Base Camp, melihat kondisi suamiku yang sore ini sangat drop dan kondisi kakiku yang ternyata jadi bengkak dan terasa sakit untuk berjalan.
Sebetulnya mereka menawarkan kepadaku, apakah kami mau dibookingkan juga, tapi aku menolak, dengan alasan belum tentu kami akan sampai di sana besok. Setelah itu mereka tampak sibuk mencari sinyal HP agar bisa menelepon ke penginapan yang diinginkan.
Chuile berada di ketinggian 2.475 mdpl, tidak heran kalau udaranya sangat dingin. Ketiga pemuda Spanyol tadi meminta kepada Nishan untuk menyalakan tungku pemanas. Ibu atau nenek Nishan (aku bingung mana yang ibunya, mana yang neneknya), datang dan menyalakan api dengan kayu bakar di dalam perapian di tengah ruang makan yang tidak terlalu besar ini.
Restoran ini memang tidak terlalu besar, dan semua yang ada di dalamnya sangat sederhana dan tampak sudah dimakan usia. Setelah apinya menyala, ruangan jadi terasa hangat, dan kalau duduk di depan perapian rasanya bahkan panas sekali. Secara tidak langsung, aku sebetulnya senang bisa menginap di sini, karena kami jadi bisa lebih dekat mengenal penduduk lokal. Dari Dawa aku mengetahui bahwa semua hotel di Chuile pun ternyata sudah penuh, karenanya mereka mendatangi tempat ini untuk camping. Kalau dipikir-pikir lagi, beruntung sekali kami tidak jadi jalan terus sampai ke pusat desa Chuile. Sudah jalan capek-capek, ternyata penuh semua, mungkin kami malah akan kebingungan di sana. Aku yakin semua ini sudah diaturkan olehNya, sehingga kami "nyasar" ke rumah Nishan. Nishan juga duduk dan ikut mengobrol dengan kami berenam yang ada di ruangan ini. Dia berkata bahwa trekking itu tidak mudah, dan kadang kita akan menemui keadaan yang menyulitkan seperti ini, di mana badan sudah lelah, dan harus tidur di tempat yang tidak sesuai dengan harapan kita. Tapi dengan begitu, kita justru akan lebih memaknai perjalanan kita, dan terkadang hal-hal seperti inilah yang akan lebih berkesan dan membekas dalam meori kita. Wah, untuk ukuran anak muda yang usianya masih 21 tahun, kata-katanya bijaksana juga ya, yang mana aku sangat setuju. Nishan juga sempat memberi tahu beberapa tempat trekking lain. Menurutnya masih banyak jalur trekking yang tidak banyak diketahui orang. Dia sendiri pernah diajak trekking di tempat yang masih baru, di mana guidenya juga baru pertama kali melalui rute tersebut. Ada juga cerita mengenai turis-turis yang menghilang saat trekking dan tidak tidak pernah ditemukan. Mereka ini biasanya mencoba medan yang cukup bahaya, dan tidak mau menggunakan guide. Hiiii, serem juga ya... Nishan berkata, kalau kami datang lagi kemari, dia mau trekking bersama dengan kami ke tempat yang belum pernah kami datangi hehehehe...
Sekitar jam 7 malam, aku berusaha membangunkan suamiku untuk makan malam dulu, karena pesananku sudah siap. Aku hanya memesan noodle soup untuk kami berdua seharga @NRs 300, dan secangkir ginger tea seharga NRs 120. Susah sekali membangunkan suamiku dari tidurnya, aku sampai kesal dan setengah mengomel kepadanya. Setelah itu barulah dia bangun, lalu kupaksa untuk makan. Setelah makan, kuajak cuci muka dan sikat gigi dulu di luar. Kami sempat ke toilet lagi, dan ternyata sudah lebih bersih dan tidak bau lagi.
Setelah itu barulah kondisi suamiku tampak jauh lebih baik, dan kami berkumpul bersama yang lain, mengobrol di depan perapian sambil menghangatkan diri. Firasatku ternyata tidak salah, pak tua dari Jerman yang bersama Dawa, orangnya suka memamerkan diri. Yang diceritakannya adalah pengalamannya saat kesana kemari, tapi lebih ke arah sombong, bukannya sharing. Aku sendiri tidak tertarik mendengarkan cerita-ceritanya. Bahkan kemampuan bahasa Inggrisnya pun masih kalah denganku (wah maaf aku jadi agak pamer nih hahahaha....).
Baru sekitar jam 8.30 malam, kami pamit untuk tidur.
Entah karena di ruang makan masih ada suara orang mengobrol yang terdengar dengan jelas (karena sekatnya sangat tipis), entah karena lelah yang luar biasa, aku jadi susah tidur malam itu. Badanku terasa sakit semua, dan udara yang sangat dingin tidak membantu. Tapi aku tetap sangat-sangat bersyukur, kami masih mendapatkan tempat untuk tidur dan selimut hangat untuk menutupi tubuh malam ini. Baru di atas jam 10 malam aku bisa tidur. Sebelum itu aku hanya bisa bolak-balik di dalam selimut saja, karena ingin menulis di HP, sedang dicharge dan kabelnya tidak cukup panjang untuk sampai ke kasur (bahkan waktu dicek esok paginya ternyata baterainya tidak mengisi sama sekali karena kabelnya longgar hiks hiks....). Sedangkan untuk berada di luar selimut udaranya terlalu dingin.
Hari ini kami menempuh jarak lebih dari 15 KM berjalan kaki dan melalui berbagai macam medan yang tidak terbayangkan sebelumnya, tidak heran kalau lelahnya tak terkira. Namun di luar semua itu, aku masih tetap mensyukuri hari ini. Kami bukan saja sudah keluar dari zona nyaman, tapi sudah masuk zona menderita. And at the end of the day, we survived anyway! Thank you oh dear Lord Jesus!
Ternyata kami akan menuju ke kanan esok hari, yaitu melewati desa Chhomrong. Jadi kami pilih berbelok ke kanan saja agar esok hari tidak perlu lagi memutar. Tepat jam 5.05 sore, kami melihat sebuah rumah dan restoran di sebelahnya. Aku mendatangi tempat ini, dan tampak seorang pemuda Nepal yang menyambut kami. Aku bertanya kepadanya, apakah masih ada kamar untuk malam ini?
Sang pemuda menjawab, sebenarnya tempat ini bukan penginapan, tapi kalau kalian mau, aku bisa menyiapkan sebuah kamar untuk kalian berdua. Tunggu 5 menit sembari beristirahat, lalu lihatlah dulu, dan setelah itu kalian bisa mengambil keputusan.
Oke, jadi kami menunggu di luar sambil duduk. Dari wajahnya, aku tahu suamiku sebetulnya tidak ingin menginap di tempat yang tampak usang dan agak kumuh ini. Aku hanya bisa berkata, tolong dilihat dulu, kalau memang tidak sreg, kita lanjut cari hotel.
Dan karena aku ingin tahu seperti apa di dalam restorannya, aku pun hendak masuk, ketika dua orang pemuda tiba-tiba keluar dari sana. Ah! Mereka adalah 2 dari 3 pemuda Spanyol yang sudah sering sekali berpapasan dengan kami, denganku terutama, semenjak hari pertama. Kami sudah cukup sering saling menyemangati satu sama lain walaupun tidak saling kenal. Awalnya mereka menyebutku sebagai "strong woman" karena waktu itu aku selalu mendaki lebih cepat daripada suamiku. Setelah itu kami jadi cukup akrab dan saling menyapa apabila bertemu di perjalanan.
Aku bertanya kepada mereka, apakah mereka menginap di sini atau tidak, dan katanya iya. Mereka mendapatkan 3 buah single bed di ruang makan. Waktu kutanya berapa biaya menginapnya, mereka bilang belum bertanya kepada si pemuda tadi. Sepertinya mereka juga belum lama sampai.
Sementara itu, pemuda tadi muncul lagi dari dalam dan menawarkan kepada kami untuk melihat kamarnya. Aku minta suamiku saja yang melihat, agar dia yang mengambil keputusan jadi atau tidaknya. Setelah keluar dari kamar, suamiku berkata, kamarnya biasa banget sih, tapi lumayanlah. Aku pun bertanya kepada si pemuda, berapa tarifnya, yang kemudian dijawabnya dengan kata-kata terserah kalian. Lalu aku berusaha negosiasi, siapa tahu boleh menginap gratis apabila kami makan malam dan sarapan di sini juga. Ternyata si pemuda langsung mengiyakan. Oke deh, kami sudah mendapat tempat untuk tidur malam ini. Lalu aku bertanya di mana toiletnya, dan si pemuda yang bernama Nishan ini menunjuk sebuah bangunan kecil sekitar 50 meter dari rumah. Akhirnya kami pun memutuskan untuk menginap di sini.
Suamiku langsung masuk ke dalam kamar, melepaskan backpack dan sepatunya, mengeluarkan beberapa barang dari backpack, lalu langsung menyelimuti dirinya dan tidur. Aku sendiri masih hendak cuci muka dan membasuh badan. Ada sebuah pipa air di tengah-tengah antara rumah dengan toilet. Nishan yang menunjukkan kepadaku tempat ini. Katanya kalau mau membasuh diri tapi tidak sampai telanjang, boleh di sini, tapi kalau mau sampai telanjang, nanti dibantu mengambil air dengan baskom dan dibawakan ke toilet. Hahahahaha.... ya iyalah, masa di tempat terbuka begini mau sampai buka baju?
Akhirnya aku sikat gigi, cuci muka dan membasuh badan seadanya dengan air yang mengalir dari pipa ini. Kalau sudah selesai, pipanya disambung kembali, mungkin airnya dialirkan ke tempat lain.
Pada saat ke toilet, ternyata toiletnya cukup jorok. Bau pesing, dan ada tempat sampah dari ember yang penuh berisi kertas tisu yang kekuningan. Hiiii.... sebetulnya agak jijik juga, tapi terpaksa karena kebelet pipis. Masih ada air seember penuh beserta gayungnya di dalam toilet ini, jadi selesai buang air kecil, kusiramkan seluruh sisa air di ember dengan harapan tidak bau pesing lagi. Setelah itu baru kuisi lagi embernya dengan air bersih dari pipa. Nishan juga kuberi tahu untuk membuang sampah tisu yang ada di dalam toilet, yang sepertinya langsung dilakukannya. Aku juga sempat bertemu dengan pamannya Nishan, orangnya baik dan suka mengajak ngobrol tamu-tamu, walaupun bahasa Inggrisnya kurang lancar.
Sementara itu, tampak 2 orang yang baru saja datang dan sedang akan memasang tenda di lapangan di dekat toilet ini. Yang satu sepertinya orang lokal, orangnya pendek dan lucu, satunya lagi orang Western yang sudah berusia lanjut dengan perawakan tinggi. Sepertinya sudah tidak ada kamar atau kasur lagi di dalam rumah, karenanya mereka numpang camping di halaman. Terdengar mereka mengucapkan terima kasih sudah diijinkan camping di tempat ini.
Aku masuk ke dalam kamar, melepaskan sepatu, lalu merapikan barang-barang kami yang berserakan. Suamiku tampak begitu loyo dan tertidur, sepertinya cukup nyenyak dengan mengenakan fleece dan berguling di dalam selimut.
Di tempat ini tidak ada sinyal HP sama sekali, dan baterai HP-ku juga sudah tinggal sedikit, jadi kucharge dulu di colokan listrik yang tersedia di dalam kamar. Selesai berbenah, aku pun keluar dan memesan makan malam untuk kami berdua. Tiga orang pemuda Spanyol dan dua tamu terakhir yang baru datang, sedang berkumpul di ruang makan. Mereka sepertinya sedang asyik ngobrol. Tiga pemuda Spanyol ini bernama Ruben, Deivid, dan Miguel, sedangkan yang kusangka orang lokal tadi bernama Dawa (dibaca Tawa). Dia aslinya keturunan Tibet, dulu orang tuanya mengungsi ke Nepal, jadi dia dilahirkan sudah di Nepal. Sedangkan bapak tua yang bersamanya berasal dari Jerman, dan tidak pernah kutanya namanya, karena entah kenapa aku ada perasaan kurang suka kepadanya.
Mereka berlima ternyata sedang asyik merencanakan perjalanan untuk esoknya. Semuanya juga baru pertama kali trekking ke Annapurna Base Camp. Tadinya mereka merencanakan akan ke Dovan, lalu ke Bamboo, dan terakhir mereka memutuskan bahwa besok akan ke Deurali, desa terakhir sebelum Machhapuchhre Base Camp dan Annapurna Base Camp. Mereka akan berusaha booking penginapan dari sekarang, karena jumlah penginapan semakin ke atas semakin sedikit, dan mereka kuatir tidak akan mendapat tempat menginap. Aku hanya menjadi pendengar setia, karena aku sendiri tidak yakin kami akan bisa sampai sejauh tujuan mereka. Bahkan sesungguhnya aku tidak yakin lagi bahwa kami akan melanjutkan perjalanan ke Annapurna Base Camp, melihat kondisi suamiku yang sore ini sangat drop dan kondisi kakiku yang ternyata jadi bengkak dan terasa sakit untuk berjalan.
Sebetulnya mereka menawarkan kepadaku, apakah kami mau dibookingkan juga, tapi aku menolak, dengan alasan belum tentu kami akan sampai di sana besok. Setelah itu mereka tampak sibuk mencari sinyal HP agar bisa menelepon ke penginapan yang diinginkan.
Chuile berada di ketinggian 2.475 mdpl, tidak heran kalau udaranya sangat dingin. Ketiga pemuda Spanyol tadi meminta kepada Nishan untuk menyalakan tungku pemanas. Ibu atau nenek Nishan (aku bingung mana yang ibunya, mana yang neneknya), datang dan menyalakan api dengan kayu bakar di dalam perapian di tengah ruang makan yang tidak terlalu besar ini.
Restoran ini memang tidak terlalu besar, dan semua yang ada di dalamnya sangat sederhana dan tampak sudah dimakan usia. Setelah apinya menyala, ruangan jadi terasa hangat, dan kalau duduk di depan perapian rasanya bahkan panas sekali. Secara tidak langsung, aku sebetulnya senang bisa menginap di sini, karena kami jadi bisa lebih dekat mengenal penduduk lokal. Dari Dawa aku mengetahui bahwa semua hotel di Chuile pun ternyata sudah penuh, karenanya mereka mendatangi tempat ini untuk camping. Kalau dipikir-pikir lagi, beruntung sekali kami tidak jadi jalan terus sampai ke pusat desa Chuile. Sudah jalan capek-capek, ternyata penuh semua, mungkin kami malah akan kebingungan di sana. Aku yakin semua ini sudah diaturkan olehNya, sehingga kami "nyasar" ke rumah Nishan. Nishan juga duduk dan ikut mengobrol dengan kami berenam yang ada di ruangan ini. Dia berkata bahwa trekking itu tidak mudah, dan kadang kita akan menemui keadaan yang menyulitkan seperti ini, di mana badan sudah lelah, dan harus tidur di tempat yang tidak sesuai dengan harapan kita. Tapi dengan begitu, kita justru akan lebih memaknai perjalanan kita, dan terkadang hal-hal seperti inilah yang akan lebih berkesan dan membekas dalam meori kita. Wah, untuk ukuran anak muda yang usianya masih 21 tahun, kata-katanya bijaksana juga ya, yang mana aku sangat setuju. Nishan juga sempat memberi tahu beberapa tempat trekking lain. Menurutnya masih banyak jalur trekking yang tidak banyak diketahui orang. Dia sendiri pernah diajak trekking di tempat yang masih baru, di mana guidenya juga baru pertama kali melalui rute tersebut. Ada juga cerita mengenai turis-turis yang menghilang saat trekking dan tidak tidak pernah ditemukan. Mereka ini biasanya mencoba medan yang cukup bahaya, dan tidak mau menggunakan guide. Hiiii, serem juga ya... Nishan berkata, kalau kami datang lagi kemari, dia mau trekking bersama dengan kami ke tempat yang belum pernah kami datangi hehehehe...
Sekitar jam 7 malam, aku berusaha membangunkan suamiku untuk makan malam dulu, karena pesananku sudah siap. Aku hanya memesan noodle soup untuk kami berdua seharga @NRs 300, dan secangkir ginger tea seharga NRs 120. Susah sekali membangunkan suamiku dari tidurnya, aku sampai kesal dan setengah mengomel kepadanya. Setelah itu barulah dia bangun, lalu kupaksa untuk makan. Setelah makan, kuajak cuci muka dan sikat gigi dulu di luar. Kami sempat ke toilet lagi, dan ternyata sudah lebih bersih dan tidak bau lagi.
Setelah itu barulah kondisi suamiku tampak jauh lebih baik, dan kami berkumpul bersama yang lain, mengobrol di depan perapian sambil menghangatkan diri. Firasatku ternyata tidak salah, pak tua dari Jerman yang bersama Dawa, orangnya suka memamerkan diri. Yang diceritakannya adalah pengalamannya saat kesana kemari, tapi lebih ke arah sombong, bukannya sharing. Aku sendiri tidak tertarik mendengarkan cerita-ceritanya. Bahkan kemampuan bahasa Inggrisnya pun masih kalah denganku (wah maaf aku jadi agak pamer nih hahahaha....).
Baru sekitar jam 8.30 malam, kami pamit untuk tidur.
Entah karena di ruang makan masih ada suara orang mengobrol yang terdengar dengan jelas (karena sekatnya sangat tipis), entah karena lelah yang luar biasa, aku jadi susah tidur malam itu. Badanku terasa sakit semua, dan udara yang sangat dingin tidak membantu. Tapi aku tetap sangat-sangat bersyukur, kami masih mendapatkan tempat untuk tidur dan selimut hangat untuk menutupi tubuh malam ini. Baru di atas jam 10 malam aku bisa tidur. Sebelum itu aku hanya bisa bolak-balik di dalam selimut saja, karena ingin menulis di HP, sedang dicharge dan kabelnya tidak cukup panjang untuk sampai ke kasur (bahkan waktu dicek esok paginya ternyata baterainya tidak mengisi sama sekali karena kabelnya longgar hiks hiks....). Sedangkan untuk berada di luar selimut udaranya terlalu dingin.
Hari ini kami menempuh jarak lebih dari 15 KM berjalan kaki dan melalui berbagai macam medan yang tidak terbayangkan sebelumnya, tidak heran kalau lelahnya tak terkira. Namun di luar semua itu, aku masih tetap mensyukuri hari ini. Kami bukan saja sudah keluar dari zona nyaman, tapi sudah masuk zona menderita. And at the end of the day, we survived anyway! Thank you oh dear Lord Jesus!
To be continued.......
No comments:
Post a Comment