13 November 2017
Setelah semalam susah tidur, pagi ini aku terbangun jam 4 pagi oleh suara alarm dalam keadaan masih cukup mengantuk. Setelah semalam bersin-bersin, pagi ini aku positif terkena pilek dan radang tenggorokan. Sepertinya gara-gara berendam air hangat kemarin, dan pulang berjalan kaki dalam keadaan setengah basah sehingga cukup kedinginan terkena angin sepanjang perjalanan. Kalau dipikir-pikir aneh juga, 8 hari melalui medan yang berat, bahkan sempat mandi air dingin, malah sehat-sehat saja. Ini medannya relatif tidak terlalu berat, habis berendam air hangat, malah jadi sakit. Tapi aku bersyukur sakitnya bukan di awal trekking, bisa makin menyusahkan jadinya.
Saat aku sedang menikmati kopi panasku, aku mendengar para pemuda di kamar sebelah juga sudah bangun jam 4.15 pagi. Sepertinya mereka hendak trekking juga, karena pagi sekali mereka bangun. Memang ada beberapa rute yang bisa ditempuh untuk Annapurna Base Camp Trek ini, salah satunya masuk dari arah Ghandruk, lalu ke arah New Bridge, Jhinnu, Chhomrong, dan seterusnya. Sedangkan rute yang kami tempuh dari hari pertama kemarin, kata Thakur, merupakan rute terpanjang.
Waktu masih menunjukkan sekitar jam 4.30 pagi saat aku hendak ke toilet, dan ternyata toiletnya sedang dipakai (sepertinya oleh tetangga kamarku). Saat sedang mengarahkan pandangan ke sekitar yang masih gelap, aku melihat sebuah tempat yang agak jauh di sudut seberang sana diterangi oleh lampu, di deretean kamar-kamar yang lebih bagus, ada sebuah wastafel. Terpikir olehku, kalau ada wastafel biasanya ada kamar mandi dan toilet. Jadi aku berjalan kaki ke tempat tersebut, dan ternyata benar, ada beberapa toilet yang berjejer di tempat ini. Jadi aku menggunakan toilet di sini, yang ternyata jauh lebih bersih. Padahal tadinya aku sudah ilfil harus menggunakan toilet yang bau seperti semalam.
Sekembalinya dari toilet, suamiku terbangun. Aku pun membuatkannya segelas kopi panas. Sementara itu, terdengar kesibukan dan suara-suara orang bercakap-cakap di kamar sebelah. Sekitar jam 5 pagi, mereka semua sudah pergi. Pagi sekali ya berangkatnya, padahal suasana di luar kamar masih gelap gulita.
Sekitar jam 5.30 pagi, kami cuci muka dan sikat gigi di kran, mengisi persediaan air minum, dan setelah itu membereskan semua barang kami dan memasukkannya ke dalam backpack. Menjelang jam 6 pagi, kami pun meninggalkan kamar dengan membawa semua barang kami, lalu menuju ke ruang makan outdoor. Pemiliknya kulihat sudah mulai mondar-mandir semenjak jam 5 pagi tadi, dan saat itu sepertinya dia sedang sibuk dengan seorang guide yang sedang membayar. Suamiku pun sekalian antri untuk membayar, dan menagih sarapan yang janjinya akan siap jam 6 pagi. Total pengeluaran kami di penginapan ini adalah NRs 1.400.
Kami masih harus menunggu sekitar 10 menit sampai kopi susu yang dipesan dihidangkan, dan kentangnya sekitar 5 menit kemudian. Kali ini kentang gorengnya sudah terbungkus rapi dalam kemasan aluminium foil. Kami masih duduk-duduk sebentar di pagi yang dingin ini sembari menghabiskan segelas kopi susu dan memperhatikan suasana di sekitar ruang makan ini. Kami juga sempat bertemu dengan Rohit yang tampaknya baru bangun tidur, dan sudah akan mulai membantu melayani rombongannya. Kata Rohit, rombongan Korea yang dilayaninya tadi malam mencari kami, hendak mengajak kami ikut merayakan dan berpesta bersama mereka hehehehe...
Sang bapak tua yang berjualan souvenir juga sudah datang dan sudah mulai mempersiapkan dagangannya. Ternyata pagi sekali jam bukanya. Andai kami tidak dibatasi budget yang ketat, mungkin sudah kubeli beberapa barang darinya.
Jam 6.20 pagi, kami sudah mulai jalan keluar dari desa Jhinnu. Suasana masih sedikit remang-remang, tapi jalannya sudah tampak dengan jelas. Semalam aku bertanya kepada Rohit, seperti apa gerangan medan menuju ke Siwai ini. Kalau menurut Rohit medannya tidak sulit. Pertama-tama turun, lalu naik, dan setelah itu datar. Hmmm... aku sudah mulai tahu bahwa kalau orang Nepal mengatakan "datar" artinya masih naik turun juga walaupun tidak curam. Kalau istilah bagi para trekker, Nepali's flat.
Keluar dari area penginapan, medannya langsung berupa anak tangga turun, dan terus turun. Kakiku sudah langsung terasa sakit di sini. Baru beberapa menit berjalan, ada perasaan sedih di hatiku, mengetahui bahwa ini adalah hari terakhir kami trekking. Aku membayangkan bahwa aku akan kangen dengan suasana trekking, kangen dengan orang-orang baik yang sudah kami temui sepanjang 8 hari kemarin.
Setelah sekitar 25 menit menuruni tangga tanpa henti, sampailah kami di sebuah jembatan gantung. Tidak terlalu panjang, namun cukup tinggi, dengan aliran air sungai yang deras di bawahnya. Aku sempat takut dan ragu-ragu untuk melangkah, karena kawat jaring yang dijadikan pembatas samping tidak full seperti biasanya. Akhirnya dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, kulewati juga jembatan ini hehehehe...
Setelah melewati jembatan, seperti sudah kuduga, medannya naik. Selama 25 menit berikutnya, ratusan anak tangga kami daki, hingga kami melewati sebuah desa di sebuah tempat terbuka di kaki bukit. Di seberang bukit, tampak ada beberapa rumah yang berdiri tepat di ujung jurang. Kami sampai terheran-heran, bagaimana caranya mendirikan rumah di tempat seperti itu, dan mengapa memilih tempat di tepian jurang seperti itu. Setelah itu medannya berupa jalan setapak dan masih naik. Ternyata di sisi bukit yang kami lewati ini juga ada rumah yang letaknya tepat di tepi jurang. Aku sampai tidak habis pikir melihatnya, apakah tidak takut jika keluar dari rumah lalu terpeleset masuk ke dalam jurang, belum lagi jika ada tanah longsor....
Saat itu ada seorang anak laki-laki yang sedang berada di depan rumahnya, mungkin berusia sekitar 8-9 tahun, dan waktu kami sapa malah malu dan kabur. Anak kecil ini membawa sebuah keranjang kosong di punggungnya, keranjang yang sudah biasa kami lihat dipakai untuk membawa berbagai macam barang oleh penduduk lokal. Entah apa gerangan yang akan dibawa oleh anak tersebut nantinya. Membayangkannya saja sudah cukup miris.
Kami melewati beberapa rumah penduduk yang kelihatan sangat sederhana. Ada yang menumpuk kayu bakar di halaman rumahnya, mungkin untuk persediaan kayu bakar di musim dingin ini.
Setelah melewati desa kecil dengan hanya beberapa rumah ini, bisa dibilang medannya selalu naik turun naik turun dan naik turun. Tidak ada yang benar-benar datar. Jalan setapaknya dari tanah, kadang berbatu-batu, dan sempit. Rata-rata lebarnya hanya sekitar 30-80 cm, dan jurang berada di sisi kiri. Kadangkala saat jalannya sempit, trekking pole yang kutancapkan di semak-semak di sisi kiri sampai menembus udara kosong. Inilah yang disebut Nepali's flat, datarnya orang Nepal.
Kami berjalan membelakangi puncak-puncak gunung bersalju yang kini tampak kecil dan begitu jauh, padahal 2 hari yang lalu kami masih berada di antara mereka. Beberapa koki mulai mendahului kami dengan beban bawaan mereka.
Kami masih harus menuruni anak tangga sekitar 10 menit lamanya, sebelum akhirnya tiba di desa New Bridge jam 7.35 pagi. Desa ini kecil, dengan hanya beberapa teahouse yang ada. Suasananya pun masih tampak sepi, hanya tampak 1-2 orang saja, Aku sempat bertanya arah kepada seorang ibu muda yang sedang menyapu karena arah jalannya yang membingungkan.
Keluar dari New Bridge, kami kembali menyusuri jalan setapak dari tanah yang sempit, kadang berbatu-batu, dan ada beberapa yang cukup curam turunnya. Beberapa mata air tampak mengalir dari balik bebatuan. Jam 7.55 pagi, kami sampai di sebuah pertigaan jalan. Kalau terus akan menuju ke Siwai, sedangkan kalau belok kiri akan menuju ke Landruk. Andai saja kondisi kakiku masih fit dan secara keseluruhan kami tidak terlalu lelah, seharusnya kami berbelok ke kiri, ke arah Landruk, karena inilah jalan masuk untuk menuju Mardi Himal Trek. Saat itu terbersit sedikit perasaan sedih dan menyayangkan kami tidak jadi ke sana, karena aku memang ingin sekali ke Mardi Himal, apalagi sudah sampai di tempat ini.
Sebelum memulai trek ini, kami memang ingin mencoba Mardi Himal Trek setelah selesai dari Annapurna Base Camp Trek apabila secara fisik memungkinkan. Katanya medannya memang agak sulit, tapi tidak banyak orang yang ke sana, karena trek ini relatif masih baru. Maklumlah, waktu itu kami belum tahu seperti apa medan yang akan kami hadapi, jadi masih merasa sok kuat hahahaha.... Tapi walaupun kami tidak jadi ke Mardi Himal, di kemudian hari kami justru bersyukur, karena ternyata medannya jauh lebih berat lagi dari yang kami bayangkan sebelumnya.
Kembali berjalan, kami tiba di desa Upphu Danda jam 8.05 pagi. Desanya juga kecil dan sepi sekali, tidak tampak ada pengunjung satu pun, padahal view di tempat ini indah. Kami sempat duduk selama 5 menit untuk beristirahat di sini, ketika ada seorang laki-laki usia 30-an tahun yang lewat. Dia membawa sebuah keranjang yang penuh berisi buah jeruk. Dia beberapa kali mencoba menawarkan dagangannya kepada kami, yang kami tolak dengan halus. Sebetulnya kami kasihan kepadanya, tetapi pada saat itu beban backpack kami sudah terasa sangat berat, dan perjalanan selanjutnya masih jauh.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, kali ini banyak menuruni anak tangga. Pemandangan perbukitan hijau dengan sungai Modi Khola di dasar lembahnya membentang di hadapan kami, indah sekali, tapi aku sudah tidak terlalu menikmati lagi, akibat kakiku yang terasa sakit sekali untuk berjalan turun. Kami bertemu dengan beberapa orang Nepal yang membawa beban dengan keranjang atau diikat dengan tali dan dikaitkan dengan kain di kepala mereka. Tampaknya sangat berat, apalagi mereka berjalan berlawanan arah dengan kami, yang lebih banyak menanjaknya.
Setelah turun terus sampai ke dasar lembah, kami melewati sungai Modi Khola yang indah, yang sebelumnya tampak dari atas. Tidak berapa lama, Rohit dan Hare menyusul kami (di foto di bawah, mereka berdua yang membawa beban berwarna merah). Mereka berjalan cepat sekali. Jam 8.45 pagi, kami sampai di sebuah desa kecil, kalau bisa dibilang sebuah desa. Kami sama-sama istirahat di desa ini, dan sejauh yang kuingat, ini adalah perjumpaan kami yang terakhir dengan Rohit dan Hare saat trekking. Hanya ada 1-2 rumah saja di tempat ini, dan rumah yang hanya sedikit jumlahnya ini pun tampak sangat lusuh, usang, dan sebetulnya kurang manusiawi. Kami sempat duduk dan beristirahat di sini selama beberapa menit, sebelum melanjutkan kembali berjalan.
Setelah lebih dari 2 jam berjalan, aku sudah merasa sangat lelah secara fisik dan mental. Kedua lututku terasa cukup menyiksa sakitnya, dan jalan setapak yang dilalui masih lebih banyak turun, bahkan kadang masih ada yang curam. Hingga akhirnya sampailah kami di suatu medan sepanjang sekitar 5 meter yang tampaknya berbahaya. Suamiku melihat 4 orang yang berjalan di depan kami melewati tempat ini, dan semuanya terpeleset walaupun tidak sampai jatuh dan bisa langsung mengendalikan langkah mereka. Suamiku langsung memperingatkan aku untuk hati-hati melewati tempat ini. Tidak ada satu pun dari kami yang sempat memotret tempat ini karena saat itu suasana benar-benar menegangkan bagiku.
Medannya berupa tanah liat dan agak berpasir, dengan beberapa batu besar yang tak beraturan, dan yang pasti turun cukup curam, baik ke depan maupun ke samping kiri. Yang jadi masalah adalah karena di sisi kirinya berupa jurang, tanpa pagar atau pengaman apa pun. Dalam kondisi ini, kita harus menapakkan kaki dengan percaya diri dan pasti agar tidak sampai terpeleset. Sedangkan dengan kondisi kakiku yang sakit sekali, ditambah beban di punggung yang sudah terasa sangat berat, aku merasa yakin tidak akan mampu melewati tempat ini. Bahkan baru menuruni batu di awal saja rasanya sudah hampir jatuh karena posisi badan yang terlalu condong ke depan dan keberatan backpack, jadi tidak seimbang. Suamiku menyuruhku untuk menunggu dulu, dia berjalan dengan perlahan dan hati-hati, berusaha mencarikan jalan teraman untukku. Sepertinya suamiku sendiri merasa sangat was was ketika berusaha melalui tempat ini. Tadinya dia sudah mau menggandengku, tapi aku terlalu takut untuk turun lagi.
Aku yang secara mental sudah drop, hampir saja menangis karena merasa tidak akan mungkin bisa lewat tanpa terpeleset. Dan seperti hari-hari kemarin saudara-saudara, tiba-tiba dari arah belakangku muncullah dua orang Nepali, yang akan melewati tempat ini. Mereka mempersilakan aku lewat terlebih dahulu, dan kujawab aku takut. Lalu laki-laki yang pretama pun melewatiku. Laki-laki yang kedua berkata, tidak apa-apa kok. Kujawab lagi bahwa aku terlalu takut untuk lewat, dan kemudian katanya, tidak apa-apa, sini kubantu. Dan laki-laki berbaju biru ini pun menggandengku dengan mantapnya melalui medan yang mengerikan ini. Akhirnya aku bisa dengan selamat sampai kembali di jalan setapak yang lebih "normal". Bahkan suamiku masih berusaha melewati tempat ini saat aku sampai di seberang.
Aku merasa sangat-sangat berterima kasih kepada kepada penolongku ini. Bagiku, titik ini merupakan titik paling berbahaya yang kami lewati sepanjang 9 hari trekking. Aku salut kepada orang-orang lokal, para guide dan porter yang sepertinya akan bisa melewati tempat ini dengan santai.
Kami pun berjalan lagi, dan tidak lama kemudian kami sampai di desa Kyumi, sebuah desa kecil dengan beberapa teahouse. Waktu menunjukkan jam 9.25 pagi. Kami pun istirahat di sini, dan memutuskan untuk makan dulu, menghabiskan sisa kentang yang ada. Pada saat itu rombongan Korea yang bersama Laxman datang, dan mereka duduk di bangku-bangku sebuah teahouse, memesan kopi atau teh.
Setelah 15 menit beristirahat, kami melanjutkan berjalan lagi, dengan medan agak naik turun seperti sebelumnya, dan setelah berjalan selama 45 menit kami sampai di tempat terbuka, dan berlanjut ke jalan yang lebih lebar, yang sepertinya cukup apabila dilalui oleh mobil. Aku sudah senang, karena kukira sudah sampai atau hampir sampai. Ternyata kami masih harus berjalan lagi dalam teriknya matahari, di jalan yang gersang ini. Setelah sekitar 10 menit berjalan agak ngebut, kami sampai di sebuah jembatan gantung yang pendek. Dan setelah 10 menit lagi berjalan yang serasa tiada akhir, sampailah kami di sebuah lapangan kecil dengan banyak mobil jeep yang terparkir. Tampak ada beberapa warung yang menjual makanan dan minuman, dan tampak banyak trekker yang sedang duduk-duduk atau beristirahat.
Dari kejauhan sudah terlihat bahwa tidak ada bus yang diparkir di tempat ini, sedangkan kami sudah sangat lelah dan ingin segera pulang. Sebelumnya, kami sudah sempat berdiskusi mengenai kendaraan apa yang akan kami pilih untuk pulang, bus atau jeep, karena setahuku kalau naik jeep biayanya bisa sampai NRs 1,500/orang. Untuk naiik bus, dari yang kubaca, ke Nayapul sekitar NRs 150/orang, Nayapul ke Pokhara NRs 150/orang, plus taxi dari terminal Pokhara ke Lakeside sekitar NRs 300 berdua. Jadi selisihnya banyak juga, naik bus hanya sekitar NRs 450/orang. Tapi naik bus mungkin bisa sampai 4-5 jam baru sampai, karena pastinya akan banyak berhenti untuk mengambil dan menurunkan penumpang. Kami masih bimbang akan naik yang mana.
Belum lagi sampai di lapangan tempat parkir mobil-mobil jeep tersebut, seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun mendatangi kami, lalu menawari kami untuk bergabung dengan mereka dan menyewa jeep ke Pokhara. Satu jeep tarifnya NRs 5,000 dan bisa muat 6 orang, jadi seorang kira-kira NRs 835. Mereka sudah berempat, dan butuh 2 orang lagi supaya penuh. Aku melihat lagi ke arah parkiran sembari memutar otak, hmmm memang tidak ada bus yang tampak. Selisihnya lebih mahal NRs 400 untuk naik jeep, jadi sekitar 50 ribu sekian rupiah. Maka langsung kuiyakan tawaran laki-laki tersebut.
Kami berjalan mendatangi sebuah jeep yang terparkir di pinggir jalan. Sebelum menaikkan barang, aku bertanya kepada sopirnya, nanti di Pokhara turunnya di mana? Jawab si driver, di mana saja di Pokhara. Hmmm okelah kalau begitu, bisa langsung turun di pinggir jalan dekat Chautari Pokhara. Maka kami pun meletakkan backpack di atas jeep, trekking pole pun kami serahkan pada sang driver untuk disimpankan.
Aku disuruh duduk di deretan jok tengah bersama si laki-laki yang mengajak join dan seorang perempuan muda berwajah Asia, dan suamiku di belakang bersama guide yang dibawa laki-laki tersebut.
Di jalan baru aku mengetahui, laki-laki yang mengajak kami bergabung ini bernama Nishan. Dia bersama pasangannya, Alex, yang duduk di depan. Mereka dari USA, dan guide yang di belakang adalah guide mereka. Sementara yang duduk di sebelahku adalah Emilie, dari Perancis.
Menjelang jam 11 siang, setelah semua penumpang dan barang masuk, sang driver pun melajukan jeep ini di jalan yang ada. Ternyata jalannya masih berupa jalan tanah yang tidak rata, dan di beberapa tempat ada beberapa genangan air seperti danau dari mata air. Katanya beberapa hari lalu daerah ini belum bisa dilewati akibat genangan air yang membanjiri tempat tersebut.
Aku cukup bersyukur kami memilih naik jeep, karena kalau naik bus pasti akan sangat menyeramkan, karena jalannya untuk 2 mobil yang berlawanan arah sangat pas-pasan, dan tepi kiri jalan tentunya jurang. Yang pasti bumpy sekali sepanjang perjalanan sampai memasuki jalan beraspal.
Kami melewati desa Bhirethanti untuk pengecekan TIMS dan ACAP card. Sang driver yang menguruskan semuanya, kami hanya tinggal menunggu di dalam mobil. Nishan sempat turun dari mobil dan membelikan sebuah samosa untuk kami berdua. Banyak trekker yang sepertinya baru memulai perjalanannya di sini. Kami sempat bercanda, mereka ini ibaratnya masih lugu, masih ceria dan bersemangat tinggi di awal perjalanan. Belum tahu penderitaan sesungguhnya selama trekking nanti hehehehe...
Mendekati Nayapul, kami sempat berhenti selama 10-15 menit karena ada truk container yang sedang mogok dan menutupi jalan. Semua kendaraan dari dua arah pun berhenti total selama itu. Setelah itu barulah perjalanan relatif lancar sampai di Pokhara. Kami melihat masih ada beberapa orang yang berjalan sampai di titik ini menuju ke Nayapul. Benar-benar hebat, kuat jalan balik sampai ke Nayapul.
Sepanjang jalan dari Siwai sampai Pokhara, si driver ini tidak pernah sekali pun mengajak para penumpangnya mengobrol, tidak seperti driver-driver wisata pada umumnya. Dan yang pasti sepanjang jalan wajahnya selalu cemberut, membuatku ada perasaan tidak suka kepadanya. Aku sebenarnya tidak terlalu banyak omong selama di perjalanan, kecuali jika ada yang bertanya. Lebih banyak Nishan yang bicara hehehehe... Sepertinya Nishan sudah beberapa kali ke Nepal dan mungkin pernah tinggal cukup lama di negeri ini, karena dia lancar menjelaskan tempat-tempat yang kami lalui sepanjang perjalanan. Dia juga bertanya-tanya mengenai keadaan di Indonesia, dan kami berdua menjawab apa adanya sesuai yang kami tahu.
Emilie sendiri berusia 29 tahun, dan berasal dari Perancis walaupun berwajah Asia banget dengan rambut hitamnya. Model-model wajah Filipina atau Thailand, kalau dugaanku. Dia sempat bertanya usiaku, dan tidak percaya waktu kuberi tahu usiaku yang sesungguhnya. Karenanya kutunjukkan foto-foto bersama putri kami, barulah dia percaya. Katanya masih kelihatan seperti 20 tahun lebih, sedangkan suamiku seperti baru menjelang 30 tahun. Wah, jadi ge-er nih hahahaha.... Emilie kemudian menjadikanku teman Facebooknya.
Kami memasuki Pokhara sekitar jam 1.15 siang, dan Nishan berkata kepadaku bahwa sepertinya si driver hanya akan berhenti di satu tempat saja, dan kemungkinan besar adalah hotel tempat Nishan menginap. Tentu saja Emilie dan kami berdua agak terkejut mendengar hal ini, karena di awal katanya bisa berhenti di mana saja asal di Pokhara, tidak disebutkan berhentinya hanya di satu tempat untuk semuanya.
Dan ternyata hal itu terjadi. Nishan dan Alex turun di hotel mereka, dan sisa penumpang yang ada disuruh turun. Nishan memberikan uang NRs 2,500 kepadaku, alasannya drivernya harusnya mau mengantar kami kalau mau uangnya diserahkan. Sementara Emilie memperjuangkan agar kami bertiga bisa diantar ke tempat masing-masing. Lokasiku dan suamiku adalah yang terjauh, jadi Emilie menyerahkan NRs 1,000 kepadaku, dengan harapan drivernya mau mengantar kami berdua. Setelah berargumen dengan Emilie, si driver pun mengantar Emilie ke depan tempatnya menginap, dan setelah itu kami semua disuruh turun. Emilie berusaha berargumen untuk kami berdua, tapi drivernya malah marah-marah, jadi aku dan suamiku memutuskan untuk turun saja. Kami malas ribut-ribut. Emilie sepertinya juga merasa tidak enak karena kami masih harus berjalan kaki lagi. Yah, setidaknya karena Emilie membayar lebih banyak, kami berdua hanya membayar NRs 750/orang.
Setelah berpisah dengan Emilie, kami berjalan kaki dengan perasaan kesal, apalagi karena badan sudah lelah, backpack terasa jadi lebih berat membebani pundak kami. Sesampai di Lakeside Road, kami sempatkan mampir di German Bakery untuk membeli roti dan kue, yang langsung kami makan. Untuk Dorje, kami membelikan sebuah roti tawar. Lalu kami ke supermarket untuk membeli deterjen, snack, dan whisky. Masih ditambah beli donat dan samosa lagi. Semakin berat saja bawaan kami.
Sampai di pertigaan jalan yang hendak menuju ke Chautari, kami masih mampir membeli sayur mayur dan telur untuk Dorje masak nanti, baru setelah itu berjalan kaki menyusuri jalan berbatu-batu menuju ke Chautari.
Begitu melihat Chautari sudah di depan mata, setengahnya sangat lelah dan setengahnya sudah tidak sabar, aku terburu-buru berjalan di atas pematang sawah, dan begitu hendak menaiki pagar batu, yang ada malah aku trepeleset sampai jatuh di sawah. Aduh, semakin sakit saja kedua lututku, karena jadi tumpuan jatuh. Tomat yang baru saja kubeli sampai berserakan di sawah yang kering ini. Dengan perasaan yang campur aduk, (sakit, lelah, kesal karena jatuh, dan senang karena sudah sampai), aku dibantu suamiku memunguti tomat-tomat tersebut, kemudian kulepaskan backpack di pundakku, dan barulah aku menaiki pagar batunya dibantu suamiku. Finally! Akhirnya kami sampai juga di Chautari Pokhara!
Kami merasa sangat lega, akhirnya sampai juga di sini. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 2.30 siang. Tadinya sudah kubayangkan, begitu sampai ingin segera melepaskan sepatu dan istirahat, mungkin rebahan di kasur, dan bisa mandi air dingin, karena seharian keringat sudah banyak bercucuran akibat perjalanan yang panjang.
Kami meletekkan semua barang di meja makan di halaman. Tidak ada seorang pun yang tampak di tempat ini. Kamar yang sebelumnya kami tempati pun dalam keadaan terkunci. Suamiku yang mengintip ke dalamnya mengatakan, banyak barang-barang di dalamnya. Sepertinya ada yang menempati kamar ini. Kamar di sebelahnya juga sama, sepertinya ada yang mengisi. Duh!
Suamiku sempat melihat 2 kamar lainnya yang letaknya di dekat toilet, yang satu juga ada barang-barangnya, dan yang satunya kosong, namun kata suamiku kamarnya lembab, lantainya yang dari tanah liat terlihat basah.
Kami pun duduk dan menunggu Dorje datang. Beberapa menit kemudian, muncullah laki-laki dan perempuan Western yang berusia sekitar 30 tahun. Aku pun bertanya kepada mereka, di mana gerangan Dorje berada. Mereka berkata, mereka tinggal di sini, tapi yang bersama mereka di sini namanya bukan Dorje. Oh, pasti Suraj, pikirku. Dan muncullah seorang pemuda Nepal yang wajahnya sudah pernah kulihat dari foto di Facebook. Ternyata benar, dia adalah Suraj, pemilik Chautari Pokhara. Baru kali ini aku bertemu langsung dengannya, sebelumnya hanya lewat messenger di Facebook saja. Menurut Suraj, Dorje pulang ke desanya di Langtang karena ada pekerjaaan di sana, dan tidak akan kembali dalam waktu dekat. Kesan sekilas saat bertemu dengan Suraj, sepertinya orangnya cukup baik dan menyenangkan. Aku juga memperhatikan bahwa Suraj mengenakan sepasang sandal jepit berwarna pink yang kekecilan, dan salah satunya sudah putus talinya hehehehe...
Suraj mengatakan bahwa kami bisa istirahat dulu, dan meletakkan barang-barang di bale-bale di depan dapur. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak jelas, bahwa kamarnya bla bla bla, entah apa yang dia katakan aku kurang paham. Kami pun duduk dan diajak mengobrol oleh Suraj dan kedua tamunya ini. Mereka berdua berasal dari Jerman, David berusia 29 tahun, dan Nadia berusia 28 tahun.
Aku sudah ingin sekali memebereskan barang-barang kami dan menyiapkan kamar, jadi suamiku bertanya kepada Suraj, kamar kami yang mana? Ternyata memang yang lantainya tampak basah tadi. Sepertinya suamiku kecewa sekali dan agak kesal. Datang ke tempat ini, Dorje tidak ada. Kamar kami yang lama sudah dipakai orang lain, dan sebagai gantinya, kami mendapatkan kamar yang lebih tidak nyaman karena kasur dan bantalnya semuanya keras sekali. Katanya, andai tahu begini, mending ke hotel saja. Sudah capek, kalau bisa inginnya mandi air hangat, malah dapat kamar seperti ini, dan banyak tamu lain juga.
Aku menyadari kondisinya yang lelah sehabis trekking dan tentunya ingin mendapatkan tempat yang nyaman setelahnya, namun kalau mau pergi lagi juga harus jalan kaki lagi, cari penginapan lagi dan sebagainya. Aku berusaha minta sesuatu yang bisa dijadikan alas di lantai yang tampak basah tadi kepada Suraj, dan dia memberikan lembaran yang kedap air kepadaku. Lalu kuminta juga barang-barang yang kami titipkan kepada Dorje sebelum kami trekking. Kedua kantong plastik hitam yang kami titipkan pun diserahkan kepadaku dalam keadaan sama seperti waktu kami meninggalkannya.
Aku masih membenahi dan menata barang-barang di kamar. Mengeluarkan barang-barang yang sekiranya akan dipakai dan meletakkannya di sebuah meja kecil yang terdapat di sudut kamar. Karena aku tidak mempunyai sandal jepit, selama berkeliaran di tempat ini, aku bertelanjang kaki. Sementara beristirahat, aku melihat suamiku sedang melihat-lihat penginapan di aplikasi booking.com. Aku pun mengatakan kepadanya, tolonglah dicoba untuk satu malam ini saja. Kalau memang tidak suka di sini, besok kita pindah ke hotel yang sesuai dengan keinginanmu.
Siapa yang tahu, mungkin Tuhan menempatkan kita berdua di sini untuk maksud tertentu. Masalah Dorje tidak ada di sini, setidaknya ada Suraj yang menggantikan, dan kita juga belum tahu Suraj orangnya seperti apa. Siapa tahu dia juga sama baiknya dengan Dorje.
Kalau masalah banyak tamu lain, tidak mungkin rasanya memilih penginapan yang kosong tanpa tamu. Lagipula sejauh ini kelihatannya David dan Nadia orangnya baik, mereka mau mengajak ngobrol dan ramah.
Masalah kasur dan bantal yang keras, kamar yang sebelum ini juga kasur dan bantalnya juga sama kerasnya, hanya saja kasurnya ada 2, jadi yang satu bisa untuk tempat barang-barang. Kalau mau, kita bisa tidur pakai sleeping bag dan jaket plus syal sebagai bantalnya. Kamar yang lantainya lembab, setidaknya sudah ada alasnya, jadi bisa meletakkan backpack dan lain-lainnya di sana. Setidaknya kita bisa bersyukur karena ada tempat untuk tidur malam ini.
Akhirnya suamiku setuju untuk mencoba semalam dulu menginap di Chautari, dan besok baru dipikirkan kembali akan bagaimana. Maka sekitar jam 4 sore, kami bergantian mandi di shower room agar badan menjadi segar. Tidak lama setelah itu, datanglah seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun, yang sepertinya penghuni kamar di sebelah kami dan baru saja kembali dari trekking singkat di Sarangkot. Aku tidak tahu apakah hanya perasaanku saja, tapi sepertinya dia tidak terlalu peduli saat aku mengajaknya berkenalan. Dia berasal dari Argentina. Setelah itu aku lebih banyak berada di kamar sampai petang hari sambil makan samosa yang kubeli karena perutku sudah lapar ^_^
Sore hari, ada dua orang Nepali teman Suraj yang datang. Mereka akan tinggal di Chautari selama beberapa hari. Sampai detik ini aku selalu melupakan nama mereka berdua, karena susah diingat hahahaha... Kedua teman Suraj ini orangnya juga baik, dan adik dari salah satunya adalah pacar Suraj ^_^
Sekitar jam 6 sore, ternyata tamu dari Argentina di sebelah kamar kami itu check-out, dan dia minta tolong kepada Suraj untuk mengantarnya ke Lakeside dan membawakan barang-barangnya. Kami berdua duduk-duduk di meja makan dan mengobrol bersama David dan Nadia. Saat itulah Nadia menceritakan beberapa hal tentang Suraj, yang membuat kami agak terkejut.
Menurut Nadia, Chautari Pokhara memang milik Suraj, namun tanah dan bangunan yang berdiri di atas tanah ini bukanlah miliknya. Suraj hanya menyewa tempat di sini, dan kemudian menjadikannya penginapan. Katanya Suraj sempat bercerita bahwa dia kesulitan membayar sewa tempat ini, dan masih berhutang kepada si pemilik tempat. Sebelum ini, Suraj pernah mencoba menanami area tanah yang kosong dengan sayuran organik, tapi saat waktunya panen, tanamannya banyak dicuri orang. Suraj bahkan pernah menanam pohon ganja untuk dijual, tapi sama saja, dicuri oleh orang lain juga, sampai Suraj marah dan semua tanamannya dicabut. Beberapa kali, barang-barang di Chautari pun dicuri saat ditinggal pergi. Mendengar cerita ini, aku dan suamiku sampai heran, tega sekali orang-orang yang mencuri ini ya...
Dari cerita-cerita Nadia ini, akhirnya suamiku malah memutuskan untuk mencoba tinggal lebih lama di Chautari, dengan harapan kami bisa membantu Suraj selama kami ada di sini.
Suraj baru pulang sekitar jam 7.30 malam, dan setelah itu dia mulai menyiapkan bahan makanan untuk masak makan malam bagi kami semua. Malam ini dia akan masak dal bhat dan tarkhari dari kentang. Dia tampak sibuk di dapur, dan kedua temannya pun sibuk membantunya, mengupas kentang, masak nasi, dan memotong sayuran. Aku hendak membantunya, tapi kata Suraj tidak usah, semua sudah bisa ditanganinya. Aku hanya membantu saat hendak menyajikan makanan ke meja makan saja. Kami baru makan menjelang jam 9 malam, karena memang menyiapkan masakannya cukup lama, apalagi jumlah orangnya cukup banyak.
Nasi dari beras basmati, semangkuk kecil kuah dari lentils, sayur kari kentang, dan irisan timun dan wortel yang tersaji di piring malam ini terasa sangat enak. Apalagi ditambah dengan cabe segar. Menurutku, ini adalah dal bhat terenak yang pernah kumakan selama di Nepal. Entah memang makanannya enak sekali atau aku yang terlalu lapar, aku sampai menambah nasi, kuah dan sayur kentangnya. Kami berlima makan sambil mengobrol. Besok jam 6 pagi, Suraj dan yang lainnya akan bersama-sama pergi ke Sarangkot, sebuah dataran tinggi di Pokhara, di mana kita bisa melihat puncak-puncak pegunungan Himalaya, Phewa Lake, dan kota Pokhara sekaligus. Katanya view di tempat ini sangat indah, dan sebetulnya kami diajak kalau mau ikut. Tentu saja kami menolak, karena masih ingin istirahat, bahkan kalau bisa bangun sesiang mungkin hahahaha...
Selesai makan, aku benar-benar merasa sangat kekenyangan sampai susah berdiri hahahaha... Kebiasaan di tempat ini, mungkin karena mencuci piring yang agak gelap, setelah makan semua piring dan perabotan dapur yang selesai dipakai hanya ditumpuk dan diletakkan di dekat tempat mencuci.
TIdak lama setelah selesai makan, aku dan suamiku sudah berpamitan untuk istirahat kepada yang lain, dan sepertinya tidak lama setelah masuk ke dalam sleeping bag yang dibentangkan di atas kasur, kami langsung tertidur saking lelahnya...
Hari ini kami menempuh jarak sekitar 8 KM dari Jhinnu Danda ke Siwai (aku tidak menyangka jaraknya sampai sejauh ini), dan ditambah 3-4 KM lagi dari tempat jeep berhenti sampai ke Chautari. Tidak heran kalau lelah sekali rasanya. Tapi aku lega, pada akhirnya kami bisa sampai di Pokhara dengan selamat dan kembali ke peradaban hahahaha...
Setelah 9 hari trekking, suasana rumahan di tempat ini benar-benar terasa menyenangkan buatku. Tidak perlu kuatir harus sharing kamar, tidak perlu memikirkan target berjalan besoknya, tidak perlu menghitung-hitung tarif yang mahal setiap kali hendak membeli makanan atau minuman, dan tentunya toilet tersedia 24 jam. Walaupun kadang harus sedikit repot membawa air sendiri kalau airnya habis atau tinggal sedikit, setidaknya air mengalir 24 jam di tempat ini. Aku masih belum tahu apakah David dan Nadia termasuk orang yang bersihan atau jorok, tapi sejauh ini toilet di Chautari masih cukup bersih.
Aku benar-benar tidak menyangka kami kembali ke Pokhara secepat ini, karena tadinya kukira akan makan waktu 2 - 3 minggu bagi kami untuk menyelesaikan trekking. Dua minggu jika tanpa ke Mardi Himal, dan tiga minggu jika dilanjut sampai ke Mardi Himal.
Dalam perjalanan turun dari ABC sampai ke Siwai selama 3 hari terakhir, kami berdua sependapat bahwa kebanyakan orang-orang yang kami jumpai sepanjang perjalanan dan berlawanan arah dengan kami, tidak seramah orang-orang yang kami jumpai sepanjang perjalanan naik, terutama para trekker dari negara-negara Western. Para trekker yang berwajah oriental pada umumnya lebih ramah. Entah mengapa bisa begitu. Tampak sekali para Westerner ini enggan menyapa, dan kalau kami menyapa duluan pun, tanggapan mereka seringkali membalas dengan dingin, tanpa senyum dan kehangatan. Berbeda sekali saat kami naik, kebanyakan orang justru ramah dan murah senyum.
Hanya ada sedikit orang yang tidak menyenangkan saat kami menuju ABC, salah satunya adalah rombongan Korea yang agak norak itu, dan satu lagi adalah kelompok 3 orang laki-laki, sepertinya 2 orang Western dengan seorang guidenya yang berwajah kearab-araban. Setiap hari kami berjumpa dengan ketiga orang ini, dan bisa lebih dari satu kali dalam sehari. Seperti kepada orang lain, kami berusaha baik kepada mereka bertiga, dengan menyapa Namaste. Namun setelah beberapa kali menyapa, mereka bertiga ini entah mengapa tidak pernah ramah, senyum pun sepertinya terpaksa sekali. Akhirnya setelah beberapa hari, kami tidak lagi menyapa mereka. Terakhir bertemu adalah kemarin sore sewaktu di hot spring di Jhinnu. Mereka juga sedang berendam di dalam kolam yang sama, tapi karena sikap mereka sebelum-sebelumnya, kami lebih baik pura-pura tidak melihat mereka saja deh... hehehehe...
Kami bukan trekker, hanya orang-orang biasa tanpa pengalaman dengan segala kekurangan fisik kami, dengan usia yang tidak lagi muda, bahkan aku sudah mengalami menopause dini. Namun terbukti dengan niat, kesungguhan, dan semangat yang kuat, keterbatasan fisik bukanlah hambatan. Bagiku, tentunya ditambah dengan niat baik dan doa. Dari pengalaman 9 hari trekking ini, aku bisa dengan bangga mengatakan, "We're not trekkers, we're survivors."
Kami berhasil survive di dalam zona yang sangat tidak nyaman bagi kami. Dan aku yakin kami berhasil melalui semua ini semata-mata hanya karena kebaikan Tuhan, yang telah mengirimkan begitu banyak orang-orang baik di sekeliling kami selama trekking, menyemangati dan membantu di kala kami putus asa, menjadi teman dan sahabat seperjuangan.
Kami tidak menyewa guide atau porter, tapi kami serasa memiliki banyak guide di mana-mana sepanjang perjalanan. Kami hanya jalan berdua, namun serasa menjadi selebriti karena setiap hari (kecuali hari pertama dan hari terakhir tadi) selalu ada yang mengajak foto bersama kami. Banyak guide dan porter yang bisa dijadikan teman ngobrol yang lucu dan menyenangkan.
Melihat kembali foto-foto dan video kami saat trekking masih membuatku heran, bagaimana mungkin kami berdua bisa sanggup melalui medan yang seperti itu, apalagi di dalam suhu dingin yang kita orang Indonesia tidak terbiasa. Apa yang sudah kami jalani dalam 9 hari terakhir ini, sejauh ini merupakan petualangan dan pengalaman hidup yang paling luar biasa dan berkesan dalam hidupku.
Ada pepatah lama yang mengatakan, "A comfort zone is a beautiful place but nothing ever grows there". Artinya kurang lebih, zona nyaman adalah sebuah tempat yang indah, namun tidak ada apa pun yang bisa tumbuh di sana.
Setiap tetes keringat, air mata dan darah; setiap nyeri, perih, ngilu, pegal dan sakit yang terasa; setiap tarikan dan hembusan nafas yang berat dan panjang; setiap rasa tidak nyaman akibat kedinginan, dan memaksakan diri untuk bisa mencapai puncak Annapurna Base Camp, benar-benar menjadi suatu tantangan dan perjuangan yang berat bagi kami, but damn!, semuanya sangatlah sepadan dengan apa yang sudah kami dapatkan!
To be continued.......
Saat aku sedang menikmati kopi panasku, aku mendengar para pemuda di kamar sebelah juga sudah bangun jam 4.15 pagi. Sepertinya mereka hendak trekking juga, karena pagi sekali mereka bangun. Memang ada beberapa rute yang bisa ditempuh untuk Annapurna Base Camp Trek ini, salah satunya masuk dari arah Ghandruk, lalu ke arah New Bridge, Jhinnu, Chhomrong, dan seterusnya. Sedangkan rute yang kami tempuh dari hari pertama kemarin, kata Thakur, merupakan rute terpanjang.
Waktu masih menunjukkan sekitar jam 4.30 pagi saat aku hendak ke toilet, dan ternyata toiletnya sedang dipakai (sepertinya oleh tetangga kamarku). Saat sedang mengarahkan pandangan ke sekitar yang masih gelap, aku melihat sebuah tempat yang agak jauh di sudut seberang sana diterangi oleh lampu, di deretean kamar-kamar yang lebih bagus, ada sebuah wastafel. Terpikir olehku, kalau ada wastafel biasanya ada kamar mandi dan toilet. Jadi aku berjalan kaki ke tempat tersebut, dan ternyata benar, ada beberapa toilet yang berjejer di tempat ini. Jadi aku menggunakan toilet di sini, yang ternyata jauh lebih bersih. Padahal tadinya aku sudah ilfil harus menggunakan toilet yang bau seperti semalam.
Sekembalinya dari toilet, suamiku terbangun. Aku pun membuatkannya segelas kopi panas. Sementara itu, terdengar kesibukan dan suara-suara orang bercakap-cakap di kamar sebelah. Sekitar jam 5 pagi, mereka semua sudah pergi. Pagi sekali ya berangkatnya, padahal suasana di luar kamar masih gelap gulita.
Sekitar jam 5.30 pagi, kami cuci muka dan sikat gigi di kran, mengisi persediaan air minum, dan setelah itu membereskan semua barang kami dan memasukkannya ke dalam backpack. Menjelang jam 6 pagi, kami pun meninggalkan kamar dengan membawa semua barang kami, lalu menuju ke ruang makan outdoor. Pemiliknya kulihat sudah mulai mondar-mandir semenjak jam 5 pagi tadi, dan saat itu sepertinya dia sedang sibuk dengan seorang guide yang sedang membayar. Suamiku pun sekalian antri untuk membayar, dan menagih sarapan yang janjinya akan siap jam 6 pagi. Total pengeluaran kami di penginapan ini adalah NRs 1.400.
Kami masih harus menunggu sekitar 10 menit sampai kopi susu yang dipesan dihidangkan, dan kentangnya sekitar 5 menit kemudian. Kali ini kentang gorengnya sudah terbungkus rapi dalam kemasan aluminium foil. Kami masih duduk-duduk sebentar di pagi yang dingin ini sembari menghabiskan segelas kopi susu dan memperhatikan suasana di sekitar ruang makan ini. Kami juga sempat bertemu dengan Rohit yang tampaknya baru bangun tidur, dan sudah akan mulai membantu melayani rombongannya. Kata Rohit, rombongan Korea yang dilayaninya tadi malam mencari kami, hendak mengajak kami ikut merayakan dan berpesta bersama mereka hehehehe...
Sang bapak tua yang berjualan souvenir juga sudah datang dan sudah mulai mempersiapkan dagangannya. Ternyata pagi sekali jam bukanya. Andai kami tidak dibatasi budget yang ketat, mungkin sudah kubeli beberapa barang darinya.
Jam 6.20 pagi, kami sudah mulai jalan keluar dari desa Jhinnu. Suasana masih sedikit remang-remang, tapi jalannya sudah tampak dengan jelas. Semalam aku bertanya kepada Rohit, seperti apa gerangan medan menuju ke Siwai ini. Kalau menurut Rohit medannya tidak sulit. Pertama-tama turun, lalu naik, dan setelah itu datar. Hmmm... aku sudah mulai tahu bahwa kalau orang Nepal mengatakan "datar" artinya masih naik turun juga walaupun tidak curam. Kalau istilah bagi para trekker, Nepali's flat.
Keluar dari area penginapan, medannya langsung berupa anak tangga turun, dan terus turun. Kakiku sudah langsung terasa sakit di sini. Baru beberapa menit berjalan, ada perasaan sedih di hatiku, mengetahui bahwa ini adalah hari terakhir kami trekking. Aku membayangkan bahwa aku akan kangen dengan suasana trekking, kangen dengan orang-orang baik yang sudah kami temui sepanjang 8 hari kemarin.
Setelah sekitar 25 menit menuruni tangga tanpa henti, sampailah kami di sebuah jembatan gantung. Tidak terlalu panjang, namun cukup tinggi, dengan aliran air sungai yang deras di bawahnya. Aku sempat takut dan ragu-ragu untuk melangkah, karena kawat jaring yang dijadikan pembatas samping tidak full seperti biasanya. Akhirnya dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, kulewati juga jembatan ini hehehehe...
Setelah melewati jembatan, seperti sudah kuduga, medannya naik. Selama 25 menit berikutnya, ratusan anak tangga kami daki, hingga kami melewati sebuah desa di sebuah tempat terbuka di kaki bukit. Di seberang bukit, tampak ada beberapa rumah yang berdiri tepat di ujung jurang. Kami sampai terheran-heran, bagaimana caranya mendirikan rumah di tempat seperti itu, dan mengapa memilih tempat di tepian jurang seperti itu. Setelah itu medannya berupa jalan setapak dan masih naik. Ternyata di sisi bukit yang kami lewati ini juga ada rumah yang letaknya tepat di tepi jurang. Aku sampai tidak habis pikir melihatnya, apakah tidak takut jika keluar dari rumah lalu terpeleset masuk ke dalam jurang, belum lagi jika ada tanah longsor....
Saat itu ada seorang anak laki-laki yang sedang berada di depan rumahnya, mungkin berusia sekitar 8-9 tahun, dan waktu kami sapa malah malu dan kabur. Anak kecil ini membawa sebuah keranjang kosong di punggungnya, keranjang yang sudah biasa kami lihat dipakai untuk membawa berbagai macam barang oleh penduduk lokal. Entah apa gerangan yang akan dibawa oleh anak tersebut nantinya. Membayangkannya saja sudah cukup miris.
Kami melewati beberapa rumah penduduk yang kelihatan sangat sederhana. Ada yang menumpuk kayu bakar di halaman rumahnya, mungkin untuk persediaan kayu bakar di musim dingin ini.
Setelah melewati desa kecil dengan hanya beberapa rumah ini, bisa dibilang medannya selalu naik turun naik turun dan naik turun. Tidak ada yang benar-benar datar. Jalan setapaknya dari tanah, kadang berbatu-batu, dan sempit. Rata-rata lebarnya hanya sekitar 30-80 cm, dan jurang berada di sisi kiri. Kadangkala saat jalannya sempit, trekking pole yang kutancapkan di semak-semak di sisi kiri sampai menembus udara kosong. Inilah yang disebut Nepali's flat, datarnya orang Nepal.
Kami berjalan membelakangi puncak-puncak gunung bersalju yang kini tampak kecil dan begitu jauh, padahal 2 hari yang lalu kami masih berada di antara mereka. Beberapa koki mulai mendahului kami dengan beban bawaan mereka.
Kami masih harus menuruni anak tangga sekitar 10 menit lamanya, sebelum akhirnya tiba di desa New Bridge jam 7.35 pagi. Desa ini kecil, dengan hanya beberapa teahouse yang ada. Suasananya pun masih tampak sepi, hanya tampak 1-2 orang saja, Aku sempat bertanya arah kepada seorang ibu muda yang sedang menyapu karena arah jalannya yang membingungkan.
Keluar dari New Bridge, kami kembali menyusuri jalan setapak dari tanah yang sempit, kadang berbatu-batu, dan ada beberapa yang cukup curam turunnya. Beberapa mata air tampak mengalir dari balik bebatuan. Jam 7.55 pagi, kami sampai di sebuah pertigaan jalan. Kalau terus akan menuju ke Siwai, sedangkan kalau belok kiri akan menuju ke Landruk. Andai saja kondisi kakiku masih fit dan secara keseluruhan kami tidak terlalu lelah, seharusnya kami berbelok ke kiri, ke arah Landruk, karena inilah jalan masuk untuk menuju Mardi Himal Trek. Saat itu terbersit sedikit perasaan sedih dan menyayangkan kami tidak jadi ke sana, karena aku memang ingin sekali ke Mardi Himal, apalagi sudah sampai di tempat ini.
Sebelum memulai trek ini, kami memang ingin mencoba Mardi Himal Trek setelah selesai dari Annapurna Base Camp Trek apabila secara fisik memungkinkan. Katanya medannya memang agak sulit, tapi tidak banyak orang yang ke sana, karena trek ini relatif masih baru. Maklumlah, waktu itu kami belum tahu seperti apa medan yang akan kami hadapi, jadi masih merasa sok kuat hahahaha.... Tapi walaupun kami tidak jadi ke Mardi Himal, di kemudian hari kami justru bersyukur, karena ternyata medannya jauh lebih berat lagi dari yang kami bayangkan sebelumnya.
Kembali berjalan, kami tiba di desa Upphu Danda jam 8.05 pagi. Desanya juga kecil dan sepi sekali, tidak tampak ada pengunjung satu pun, padahal view di tempat ini indah. Kami sempat duduk selama 5 menit untuk beristirahat di sini, ketika ada seorang laki-laki usia 30-an tahun yang lewat. Dia membawa sebuah keranjang yang penuh berisi buah jeruk. Dia beberapa kali mencoba menawarkan dagangannya kepada kami, yang kami tolak dengan halus. Sebetulnya kami kasihan kepadanya, tetapi pada saat itu beban backpack kami sudah terasa sangat berat, dan perjalanan selanjutnya masih jauh.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, kali ini banyak menuruni anak tangga. Pemandangan perbukitan hijau dengan sungai Modi Khola di dasar lembahnya membentang di hadapan kami, indah sekali, tapi aku sudah tidak terlalu menikmati lagi, akibat kakiku yang terasa sakit sekali untuk berjalan turun. Kami bertemu dengan beberapa orang Nepal yang membawa beban dengan keranjang atau diikat dengan tali dan dikaitkan dengan kain di kepala mereka. Tampaknya sangat berat, apalagi mereka berjalan berlawanan arah dengan kami, yang lebih banyak menanjaknya.
Setelah turun terus sampai ke dasar lembah, kami melewati sungai Modi Khola yang indah, yang sebelumnya tampak dari atas. Tidak berapa lama, Rohit dan Hare menyusul kami (di foto di bawah, mereka berdua yang membawa beban berwarna merah). Mereka berjalan cepat sekali. Jam 8.45 pagi, kami sampai di sebuah desa kecil, kalau bisa dibilang sebuah desa. Kami sama-sama istirahat di desa ini, dan sejauh yang kuingat, ini adalah perjumpaan kami yang terakhir dengan Rohit dan Hare saat trekking. Hanya ada 1-2 rumah saja di tempat ini, dan rumah yang hanya sedikit jumlahnya ini pun tampak sangat lusuh, usang, dan sebetulnya kurang manusiawi. Kami sempat duduk dan beristirahat di sini selama beberapa menit, sebelum melanjutkan kembali berjalan.
Setelah lebih dari 2 jam berjalan, aku sudah merasa sangat lelah secara fisik dan mental. Kedua lututku terasa cukup menyiksa sakitnya, dan jalan setapak yang dilalui masih lebih banyak turun, bahkan kadang masih ada yang curam. Hingga akhirnya sampailah kami di suatu medan sepanjang sekitar 5 meter yang tampaknya berbahaya. Suamiku melihat 4 orang yang berjalan di depan kami melewati tempat ini, dan semuanya terpeleset walaupun tidak sampai jatuh dan bisa langsung mengendalikan langkah mereka. Suamiku langsung memperingatkan aku untuk hati-hati melewati tempat ini. Tidak ada satu pun dari kami yang sempat memotret tempat ini karena saat itu suasana benar-benar menegangkan bagiku.
Medannya berupa tanah liat dan agak berpasir, dengan beberapa batu besar yang tak beraturan, dan yang pasti turun cukup curam, baik ke depan maupun ke samping kiri. Yang jadi masalah adalah karena di sisi kirinya berupa jurang, tanpa pagar atau pengaman apa pun. Dalam kondisi ini, kita harus menapakkan kaki dengan percaya diri dan pasti agar tidak sampai terpeleset. Sedangkan dengan kondisi kakiku yang sakit sekali, ditambah beban di punggung yang sudah terasa sangat berat, aku merasa yakin tidak akan mampu melewati tempat ini. Bahkan baru menuruni batu di awal saja rasanya sudah hampir jatuh karena posisi badan yang terlalu condong ke depan dan keberatan backpack, jadi tidak seimbang. Suamiku menyuruhku untuk menunggu dulu, dia berjalan dengan perlahan dan hati-hati, berusaha mencarikan jalan teraman untukku. Sepertinya suamiku sendiri merasa sangat was was ketika berusaha melalui tempat ini. Tadinya dia sudah mau menggandengku, tapi aku terlalu takut untuk turun lagi.
Aku yang secara mental sudah drop, hampir saja menangis karena merasa tidak akan mungkin bisa lewat tanpa terpeleset. Dan seperti hari-hari kemarin saudara-saudara, tiba-tiba dari arah belakangku muncullah dua orang Nepali, yang akan melewati tempat ini. Mereka mempersilakan aku lewat terlebih dahulu, dan kujawab aku takut. Lalu laki-laki yang pretama pun melewatiku. Laki-laki yang kedua berkata, tidak apa-apa kok. Kujawab lagi bahwa aku terlalu takut untuk lewat, dan kemudian katanya, tidak apa-apa, sini kubantu. Dan laki-laki berbaju biru ini pun menggandengku dengan mantapnya melalui medan yang mengerikan ini. Akhirnya aku bisa dengan selamat sampai kembali di jalan setapak yang lebih "normal". Bahkan suamiku masih berusaha melewati tempat ini saat aku sampai di seberang.
Aku merasa sangat-sangat berterima kasih kepada kepada penolongku ini. Bagiku, titik ini merupakan titik paling berbahaya yang kami lewati sepanjang 9 hari trekking. Aku salut kepada orang-orang lokal, para guide dan porter yang sepertinya akan bisa melewati tempat ini dengan santai.
Kami pun berjalan lagi, dan tidak lama kemudian kami sampai di desa Kyumi, sebuah desa kecil dengan beberapa teahouse. Waktu menunjukkan jam 9.25 pagi. Kami pun istirahat di sini, dan memutuskan untuk makan dulu, menghabiskan sisa kentang yang ada. Pada saat itu rombongan Korea yang bersama Laxman datang, dan mereka duduk di bangku-bangku sebuah teahouse, memesan kopi atau teh.
Setelah 15 menit beristirahat, kami melanjutkan berjalan lagi, dengan medan agak naik turun seperti sebelumnya, dan setelah berjalan selama 45 menit kami sampai di tempat terbuka, dan berlanjut ke jalan yang lebih lebar, yang sepertinya cukup apabila dilalui oleh mobil. Aku sudah senang, karena kukira sudah sampai atau hampir sampai. Ternyata kami masih harus berjalan lagi dalam teriknya matahari, di jalan yang gersang ini. Setelah sekitar 10 menit berjalan agak ngebut, kami sampai di sebuah jembatan gantung yang pendek. Dan setelah 10 menit lagi berjalan yang serasa tiada akhir, sampailah kami di sebuah lapangan kecil dengan banyak mobil jeep yang terparkir. Tampak ada beberapa warung yang menjual makanan dan minuman, dan tampak banyak trekker yang sedang duduk-duduk atau beristirahat.
Dari kejauhan sudah terlihat bahwa tidak ada bus yang diparkir di tempat ini, sedangkan kami sudah sangat lelah dan ingin segera pulang. Sebelumnya, kami sudah sempat berdiskusi mengenai kendaraan apa yang akan kami pilih untuk pulang, bus atau jeep, karena setahuku kalau naik jeep biayanya bisa sampai NRs 1,500/orang. Untuk naiik bus, dari yang kubaca, ke Nayapul sekitar NRs 150/orang, Nayapul ke Pokhara NRs 150/orang, plus taxi dari terminal Pokhara ke Lakeside sekitar NRs 300 berdua. Jadi selisihnya banyak juga, naik bus hanya sekitar NRs 450/orang. Tapi naik bus mungkin bisa sampai 4-5 jam baru sampai, karena pastinya akan banyak berhenti untuk mengambil dan menurunkan penumpang. Kami masih bimbang akan naik yang mana.
Belum lagi sampai di lapangan tempat parkir mobil-mobil jeep tersebut, seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun mendatangi kami, lalu menawari kami untuk bergabung dengan mereka dan menyewa jeep ke Pokhara. Satu jeep tarifnya NRs 5,000 dan bisa muat 6 orang, jadi seorang kira-kira NRs 835. Mereka sudah berempat, dan butuh 2 orang lagi supaya penuh. Aku melihat lagi ke arah parkiran sembari memutar otak, hmmm memang tidak ada bus yang tampak. Selisihnya lebih mahal NRs 400 untuk naik jeep, jadi sekitar 50 ribu sekian rupiah. Maka langsung kuiyakan tawaran laki-laki tersebut.
Kami berjalan mendatangi sebuah jeep yang terparkir di pinggir jalan. Sebelum menaikkan barang, aku bertanya kepada sopirnya, nanti di Pokhara turunnya di mana? Jawab si driver, di mana saja di Pokhara. Hmmm okelah kalau begitu, bisa langsung turun di pinggir jalan dekat Chautari Pokhara. Maka kami pun meletakkan backpack di atas jeep, trekking pole pun kami serahkan pada sang driver untuk disimpankan.
Aku disuruh duduk di deretan jok tengah bersama si laki-laki yang mengajak join dan seorang perempuan muda berwajah Asia, dan suamiku di belakang bersama guide yang dibawa laki-laki tersebut.
Di jalan baru aku mengetahui, laki-laki yang mengajak kami bergabung ini bernama Nishan. Dia bersama pasangannya, Alex, yang duduk di depan. Mereka dari USA, dan guide yang di belakang adalah guide mereka. Sementara yang duduk di sebelahku adalah Emilie, dari Perancis.
Menjelang jam 11 siang, setelah semua penumpang dan barang masuk, sang driver pun melajukan jeep ini di jalan yang ada. Ternyata jalannya masih berupa jalan tanah yang tidak rata, dan di beberapa tempat ada beberapa genangan air seperti danau dari mata air. Katanya beberapa hari lalu daerah ini belum bisa dilewati akibat genangan air yang membanjiri tempat tersebut.
Aku cukup bersyukur kami memilih naik jeep, karena kalau naik bus pasti akan sangat menyeramkan, karena jalannya untuk 2 mobil yang berlawanan arah sangat pas-pasan, dan tepi kiri jalan tentunya jurang. Yang pasti bumpy sekali sepanjang perjalanan sampai memasuki jalan beraspal.
Kami melewati desa Bhirethanti untuk pengecekan TIMS dan ACAP card. Sang driver yang menguruskan semuanya, kami hanya tinggal menunggu di dalam mobil. Nishan sempat turun dari mobil dan membelikan sebuah samosa untuk kami berdua. Banyak trekker yang sepertinya baru memulai perjalanannya di sini. Kami sempat bercanda, mereka ini ibaratnya masih lugu, masih ceria dan bersemangat tinggi di awal perjalanan. Belum tahu penderitaan sesungguhnya selama trekking nanti hehehehe...
Mendekati Nayapul, kami sempat berhenti selama 10-15 menit karena ada truk container yang sedang mogok dan menutupi jalan. Semua kendaraan dari dua arah pun berhenti total selama itu. Setelah itu barulah perjalanan relatif lancar sampai di Pokhara. Kami melihat masih ada beberapa orang yang berjalan sampai di titik ini menuju ke Nayapul. Benar-benar hebat, kuat jalan balik sampai ke Nayapul.
Sepanjang jalan dari Siwai sampai Pokhara, si driver ini tidak pernah sekali pun mengajak para penumpangnya mengobrol, tidak seperti driver-driver wisata pada umumnya. Dan yang pasti sepanjang jalan wajahnya selalu cemberut, membuatku ada perasaan tidak suka kepadanya. Aku sebenarnya tidak terlalu banyak omong selama di perjalanan, kecuali jika ada yang bertanya. Lebih banyak Nishan yang bicara hehehehe... Sepertinya Nishan sudah beberapa kali ke Nepal dan mungkin pernah tinggal cukup lama di negeri ini, karena dia lancar menjelaskan tempat-tempat yang kami lalui sepanjang perjalanan. Dia juga bertanya-tanya mengenai keadaan di Indonesia, dan kami berdua menjawab apa adanya sesuai yang kami tahu.
Emilie sendiri berusia 29 tahun, dan berasal dari Perancis walaupun berwajah Asia banget dengan rambut hitamnya. Model-model wajah Filipina atau Thailand, kalau dugaanku. Dia sempat bertanya usiaku, dan tidak percaya waktu kuberi tahu usiaku yang sesungguhnya. Karenanya kutunjukkan foto-foto bersama putri kami, barulah dia percaya. Katanya masih kelihatan seperti 20 tahun lebih, sedangkan suamiku seperti baru menjelang 30 tahun. Wah, jadi ge-er nih hahahaha.... Emilie kemudian menjadikanku teman Facebooknya.
Kami memasuki Pokhara sekitar jam 1.15 siang, dan Nishan berkata kepadaku bahwa sepertinya si driver hanya akan berhenti di satu tempat saja, dan kemungkinan besar adalah hotel tempat Nishan menginap. Tentu saja Emilie dan kami berdua agak terkejut mendengar hal ini, karena di awal katanya bisa berhenti di mana saja asal di Pokhara, tidak disebutkan berhentinya hanya di satu tempat untuk semuanya.
Dan ternyata hal itu terjadi. Nishan dan Alex turun di hotel mereka, dan sisa penumpang yang ada disuruh turun. Nishan memberikan uang NRs 2,500 kepadaku, alasannya drivernya harusnya mau mengantar kami kalau mau uangnya diserahkan. Sementara Emilie memperjuangkan agar kami bertiga bisa diantar ke tempat masing-masing. Lokasiku dan suamiku adalah yang terjauh, jadi Emilie menyerahkan NRs 1,000 kepadaku, dengan harapan drivernya mau mengantar kami berdua. Setelah berargumen dengan Emilie, si driver pun mengantar Emilie ke depan tempatnya menginap, dan setelah itu kami semua disuruh turun. Emilie berusaha berargumen untuk kami berdua, tapi drivernya malah marah-marah, jadi aku dan suamiku memutuskan untuk turun saja. Kami malas ribut-ribut. Emilie sepertinya juga merasa tidak enak karena kami masih harus berjalan kaki lagi. Yah, setidaknya karena Emilie membayar lebih banyak, kami berdua hanya membayar NRs 750/orang.
Setelah berpisah dengan Emilie, kami berjalan kaki dengan perasaan kesal, apalagi karena badan sudah lelah, backpack terasa jadi lebih berat membebani pundak kami. Sesampai di Lakeside Road, kami sempatkan mampir di German Bakery untuk membeli roti dan kue, yang langsung kami makan. Untuk Dorje, kami membelikan sebuah roti tawar. Lalu kami ke supermarket untuk membeli deterjen, snack, dan whisky. Masih ditambah beli donat dan samosa lagi. Semakin berat saja bawaan kami.
Sampai di pertigaan jalan yang hendak menuju ke Chautari, kami masih mampir membeli sayur mayur dan telur untuk Dorje masak nanti, baru setelah itu berjalan kaki menyusuri jalan berbatu-batu menuju ke Chautari.
Begitu melihat Chautari sudah di depan mata, setengahnya sangat lelah dan setengahnya sudah tidak sabar, aku terburu-buru berjalan di atas pematang sawah, dan begitu hendak menaiki pagar batu, yang ada malah aku trepeleset sampai jatuh di sawah. Aduh, semakin sakit saja kedua lututku, karena jadi tumpuan jatuh. Tomat yang baru saja kubeli sampai berserakan di sawah yang kering ini. Dengan perasaan yang campur aduk, (sakit, lelah, kesal karena jatuh, dan senang karena sudah sampai), aku dibantu suamiku memunguti tomat-tomat tersebut, kemudian kulepaskan backpack di pundakku, dan barulah aku menaiki pagar batunya dibantu suamiku. Finally! Akhirnya kami sampai juga di Chautari Pokhara!
Kami merasa sangat lega, akhirnya sampai juga di sini. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 2.30 siang. Tadinya sudah kubayangkan, begitu sampai ingin segera melepaskan sepatu dan istirahat, mungkin rebahan di kasur, dan bisa mandi air dingin, karena seharian keringat sudah banyak bercucuran akibat perjalanan yang panjang.
Kami meletekkan semua barang di meja makan di halaman. Tidak ada seorang pun yang tampak di tempat ini. Kamar yang sebelumnya kami tempati pun dalam keadaan terkunci. Suamiku yang mengintip ke dalamnya mengatakan, banyak barang-barang di dalamnya. Sepertinya ada yang menempati kamar ini. Kamar di sebelahnya juga sama, sepertinya ada yang mengisi. Duh!
Suamiku sempat melihat 2 kamar lainnya yang letaknya di dekat toilet, yang satu juga ada barang-barangnya, dan yang satunya kosong, namun kata suamiku kamarnya lembab, lantainya yang dari tanah liat terlihat basah.
Kami pun duduk dan menunggu Dorje datang. Beberapa menit kemudian, muncullah laki-laki dan perempuan Western yang berusia sekitar 30 tahun. Aku pun bertanya kepada mereka, di mana gerangan Dorje berada. Mereka berkata, mereka tinggal di sini, tapi yang bersama mereka di sini namanya bukan Dorje. Oh, pasti Suraj, pikirku. Dan muncullah seorang pemuda Nepal yang wajahnya sudah pernah kulihat dari foto di Facebook. Ternyata benar, dia adalah Suraj, pemilik Chautari Pokhara. Baru kali ini aku bertemu langsung dengannya, sebelumnya hanya lewat messenger di Facebook saja. Menurut Suraj, Dorje pulang ke desanya di Langtang karena ada pekerjaaan di sana, dan tidak akan kembali dalam waktu dekat. Kesan sekilas saat bertemu dengan Suraj, sepertinya orangnya cukup baik dan menyenangkan. Aku juga memperhatikan bahwa Suraj mengenakan sepasang sandal jepit berwarna pink yang kekecilan, dan salah satunya sudah putus talinya hehehehe...
Suraj mengatakan bahwa kami bisa istirahat dulu, dan meletakkan barang-barang di bale-bale di depan dapur. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak jelas, bahwa kamarnya bla bla bla, entah apa yang dia katakan aku kurang paham. Kami pun duduk dan diajak mengobrol oleh Suraj dan kedua tamunya ini. Mereka berdua berasal dari Jerman, David berusia 29 tahun, dan Nadia berusia 28 tahun.
Aku sudah ingin sekali memebereskan barang-barang kami dan menyiapkan kamar, jadi suamiku bertanya kepada Suraj, kamar kami yang mana? Ternyata memang yang lantainya tampak basah tadi. Sepertinya suamiku kecewa sekali dan agak kesal. Datang ke tempat ini, Dorje tidak ada. Kamar kami yang lama sudah dipakai orang lain, dan sebagai gantinya, kami mendapatkan kamar yang lebih tidak nyaman karena kasur dan bantalnya semuanya keras sekali. Katanya, andai tahu begini, mending ke hotel saja. Sudah capek, kalau bisa inginnya mandi air hangat, malah dapat kamar seperti ini, dan banyak tamu lain juga.
Aku menyadari kondisinya yang lelah sehabis trekking dan tentunya ingin mendapatkan tempat yang nyaman setelahnya, namun kalau mau pergi lagi juga harus jalan kaki lagi, cari penginapan lagi dan sebagainya. Aku berusaha minta sesuatu yang bisa dijadikan alas di lantai yang tampak basah tadi kepada Suraj, dan dia memberikan lembaran yang kedap air kepadaku. Lalu kuminta juga barang-barang yang kami titipkan kepada Dorje sebelum kami trekking. Kedua kantong plastik hitam yang kami titipkan pun diserahkan kepadaku dalam keadaan sama seperti waktu kami meninggalkannya.
Aku masih membenahi dan menata barang-barang di kamar. Mengeluarkan barang-barang yang sekiranya akan dipakai dan meletakkannya di sebuah meja kecil yang terdapat di sudut kamar. Karena aku tidak mempunyai sandal jepit, selama berkeliaran di tempat ini, aku bertelanjang kaki. Sementara beristirahat, aku melihat suamiku sedang melihat-lihat penginapan di aplikasi booking.com. Aku pun mengatakan kepadanya, tolonglah dicoba untuk satu malam ini saja. Kalau memang tidak suka di sini, besok kita pindah ke hotel yang sesuai dengan keinginanmu.
Siapa yang tahu, mungkin Tuhan menempatkan kita berdua di sini untuk maksud tertentu. Masalah Dorje tidak ada di sini, setidaknya ada Suraj yang menggantikan, dan kita juga belum tahu Suraj orangnya seperti apa. Siapa tahu dia juga sama baiknya dengan Dorje.
Kalau masalah banyak tamu lain, tidak mungkin rasanya memilih penginapan yang kosong tanpa tamu. Lagipula sejauh ini kelihatannya David dan Nadia orangnya baik, mereka mau mengajak ngobrol dan ramah.
Masalah kasur dan bantal yang keras, kamar yang sebelum ini juga kasur dan bantalnya juga sama kerasnya, hanya saja kasurnya ada 2, jadi yang satu bisa untuk tempat barang-barang. Kalau mau, kita bisa tidur pakai sleeping bag dan jaket plus syal sebagai bantalnya. Kamar yang lantainya lembab, setidaknya sudah ada alasnya, jadi bisa meletakkan backpack dan lain-lainnya di sana. Setidaknya kita bisa bersyukur karena ada tempat untuk tidur malam ini.
Akhirnya suamiku setuju untuk mencoba semalam dulu menginap di Chautari, dan besok baru dipikirkan kembali akan bagaimana. Maka sekitar jam 4 sore, kami bergantian mandi di shower room agar badan menjadi segar. Tidak lama setelah itu, datanglah seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun, yang sepertinya penghuni kamar di sebelah kami dan baru saja kembali dari trekking singkat di Sarangkot. Aku tidak tahu apakah hanya perasaanku saja, tapi sepertinya dia tidak terlalu peduli saat aku mengajaknya berkenalan. Dia berasal dari Argentina. Setelah itu aku lebih banyak berada di kamar sampai petang hari sambil makan samosa yang kubeli karena perutku sudah lapar ^_^
Sore hari, ada dua orang Nepali teman Suraj yang datang. Mereka akan tinggal di Chautari selama beberapa hari. Sampai detik ini aku selalu melupakan nama mereka berdua, karena susah diingat hahahaha... Kedua teman Suraj ini orangnya juga baik, dan adik dari salah satunya adalah pacar Suraj ^_^
Sekitar jam 6 sore, ternyata tamu dari Argentina di sebelah kamar kami itu check-out, dan dia minta tolong kepada Suraj untuk mengantarnya ke Lakeside dan membawakan barang-barangnya. Kami berdua duduk-duduk di meja makan dan mengobrol bersama David dan Nadia. Saat itulah Nadia menceritakan beberapa hal tentang Suraj, yang membuat kami agak terkejut.
Menurut Nadia, Chautari Pokhara memang milik Suraj, namun tanah dan bangunan yang berdiri di atas tanah ini bukanlah miliknya. Suraj hanya menyewa tempat di sini, dan kemudian menjadikannya penginapan. Katanya Suraj sempat bercerita bahwa dia kesulitan membayar sewa tempat ini, dan masih berhutang kepada si pemilik tempat. Sebelum ini, Suraj pernah mencoba menanami area tanah yang kosong dengan sayuran organik, tapi saat waktunya panen, tanamannya banyak dicuri orang. Suraj bahkan pernah menanam pohon ganja untuk dijual, tapi sama saja, dicuri oleh orang lain juga, sampai Suraj marah dan semua tanamannya dicabut. Beberapa kali, barang-barang di Chautari pun dicuri saat ditinggal pergi. Mendengar cerita ini, aku dan suamiku sampai heran, tega sekali orang-orang yang mencuri ini ya...
Dari cerita-cerita Nadia ini, akhirnya suamiku malah memutuskan untuk mencoba tinggal lebih lama di Chautari, dengan harapan kami bisa membantu Suraj selama kami ada di sini.
Suraj baru pulang sekitar jam 7.30 malam, dan setelah itu dia mulai menyiapkan bahan makanan untuk masak makan malam bagi kami semua. Malam ini dia akan masak dal bhat dan tarkhari dari kentang. Dia tampak sibuk di dapur, dan kedua temannya pun sibuk membantunya, mengupas kentang, masak nasi, dan memotong sayuran. Aku hendak membantunya, tapi kata Suraj tidak usah, semua sudah bisa ditanganinya. Aku hanya membantu saat hendak menyajikan makanan ke meja makan saja. Kami baru makan menjelang jam 9 malam, karena memang menyiapkan masakannya cukup lama, apalagi jumlah orangnya cukup banyak.
Nasi dari beras basmati, semangkuk kecil kuah dari lentils, sayur kari kentang, dan irisan timun dan wortel yang tersaji di piring malam ini terasa sangat enak. Apalagi ditambah dengan cabe segar. Menurutku, ini adalah dal bhat terenak yang pernah kumakan selama di Nepal. Entah memang makanannya enak sekali atau aku yang terlalu lapar, aku sampai menambah nasi, kuah dan sayur kentangnya. Kami berlima makan sambil mengobrol. Besok jam 6 pagi, Suraj dan yang lainnya akan bersama-sama pergi ke Sarangkot, sebuah dataran tinggi di Pokhara, di mana kita bisa melihat puncak-puncak pegunungan Himalaya, Phewa Lake, dan kota Pokhara sekaligus. Katanya view di tempat ini sangat indah, dan sebetulnya kami diajak kalau mau ikut. Tentu saja kami menolak, karena masih ingin istirahat, bahkan kalau bisa bangun sesiang mungkin hahahaha...
Selesai makan, aku benar-benar merasa sangat kekenyangan sampai susah berdiri hahahaha... Kebiasaan di tempat ini, mungkin karena mencuci piring yang agak gelap, setelah makan semua piring dan perabotan dapur yang selesai dipakai hanya ditumpuk dan diletakkan di dekat tempat mencuci.
TIdak lama setelah selesai makan, aku dan suamiku sudah berpamitan untuk istirahat kepada yang lain, dan sepertinya tidak lama setelah masuk ke dalam sleeping bag yang dibentangkan di atas kasur, kami langsung tertidur saking lelahnya...
Hari ini kami menempuh jarak sekitar 8 KM dari Jhinnu Danda ke Siwai (aku tidak menyangka jaraknya sampai sejauh ini), dan ditambah 3-4 KM lagi dari tempat jeep berhenti sampai ke Chautari. Tidak heran kalau lelah sekali rasanya. Tapi aku lega, pada akhirnya kami bisa sampai di Pokhara dengan selamat dan kembali ke peradaban hahahaha...
Setelah 9 hari trekking, suasana rumahan di tempat ini benar-benar terasa menyenangkan buatku. Tidak perlu kuatir harus sharing kamar, tidak perlu memikirkan target berjalan besoknya, tidak perlu menghitung-hitung tarif yang mahal setiap kali hendak membeli makanan atau minuman, dan tentunya toilet tersedia 24 jam. Walaupun kadang harus sedikit repot membawa air sendiri kalau airnya habis atau tinggal sedikit, setidaknya air mengalir 24 jam di tempat ini. Aku masih belum tahu apakah David dan Nadia termasuk orang yang bersihan atau jorok, tapi sejauh ini toilet di Chautari masih cukup bersih.
Aku benar-benar tidak menyangka kami kembali ke Pokhara secepat ini, karena tadinya kukira akan makan waktu 2 - 3 minggu bagi kami untuk menyelesaikan trekking. Dua minggu jika tanpa ke Mardi Himal, dan tiga minggu jika dilanjut sampai ke Mardi Himal.
Dalam perjalanan turun dari ABC sampai ke Siwai selama 3 hari terakhir, kami berdua sependapat bahwa kebanyakan orang-orang yang kami jumpai sepanjang perjalanan dan berlawanan arah dengan kami, tidak seramah orang-orang yang kami jumpai sepanjang perjalanan naik, terutama para trekker dari negara-negara Western. Para trekker yang berwajah oriental pada umumnya lebih ramah. Entah mengapa bisa begitu. Tampak sekali para Westerner ini enggan menyapa, dan kalau kami menyapa duluan pun, tanggapan mereka seringkali membalas dengan dingin, tanpa senyum dan kehangatan. Berbeda sekali saat kami naik, kebanyakan orang justru ramah dan murah senyum.
Hanya ada sedikit orang yang tidak menyenangkan saat kami menuju ABC, salah satunya adalah rombongan Korea yang agak norak itu, dan satu lagi adalah kelompok 3 orang laki-laki, sepertinya 2 orang Western dengan seorang guidenya yang berwajah kearab-araban. Setiap hari kami berjumpa dengan ketiga orang ini, dan bisa lebih dari satu kali dalam sehari. Seperti kepada orang lain, kami berusaha baik kepada mereka bertiga, dengan menyapa Namaste. Namun setelah beberapa kali menyapa, mereka bertiga ini entah mengapa tidak pernah ramah, senyum pun sepertinya terpaksa sekali. Akhirnya setelah beberapa hari, kami tidak lagi menyapa mereka. Terakhir bertemu adalah kemarin sore sewaktu di hot spring di Jhinnu. Mereka juga sedang berendam di dalam kolam yang sama, tapi karena sikap mereka sebelum-sebelumnya, kami lebih baik pura-pura tidak melihat mereka saja deh... hehehehe...
Kami bukan trekker, hanya orang-orang biasa tanpa pengalaman dengan segala kekurangan fisik kami, dengan usia yang tidak lagi muda, bahkan aku sudah mengalami menopause dini. Namun terbukti dengan niat, kesungguhan, dan semangat yang kuat, keterbatasan fisik bukanlah hambatan. Bagiku, tentunya ditambah dengan niat baik dan doa. Dari pengalaman 9 hari trekking ini, aku bisa dengan bangga mengatakan, "We're not trekkers, we're survivors."
Kami berhasil survive di dalam zona yang sangat tidak nyaman bagi kami. Dan aku yakin kami berhasil melalui semua ini semata-mata hanya karena kebaikan Tuhan, yang telah mengirimkan begitu banyak orang-orang baik di sekeliling kami selama trekking, menyemangati dan membantu di kala kami putus asa, menjadi teman dan sahabat seperjuangan.
Kami tidak menyewa guide atau porter, tapi kami serasa memiliki banyak guide di mana-mana sepanjang perjalanan. Kami hanya jalan berdua, namun serasa menjadi selebriti karena setiap hari (kecuali hari pertama dan hari terakhir tadi) selalu ada yang mengajak foto bersama kami. Banyak guide dan porter yang bisa dijadikan teman ngobrol yang lucu dan menyenangkan.
Melihat kembali foto-foto dan video kami saat trekking masih membuatku heran, bagaimana mungkin kami berdua bisa sanggup melalui medan yang seperti itu, apalagi di dalam suhu dingin yang kita orang Indonesia tidak terbiasa. Apa yang sudah kami jalani dalam 9 hari terakhir ini, sejauh ini merupakan petualangan dan pengalaman hidup yang paling luar biasa dan berkesan dalam hidupku.
Ada pepatah lama yang mengatakan, "A comfort zone is a beautiful place but nothing ever grows there". Artinya kurang lebih, zona nyaman adalah sebuah tempat yang indah, namun tidak ada apa pun yang bisa tumbuh di sana.
Setiap tetes keringat, air mata dan darah; setiap nyeri, perih, ngilu, pegal dan sakit yang terasa; setiap tarikan dan hembusan nafas yang berat dan panjang; setiap rasa tidak nyaman akibat kedinginan, dan memaksakan diri untuk bisa mencapai puncak Annapurna Base Camp, benar-benar menjadi suatu tantangan dan perjuangan yang berat bagi kami, but damn!, semuanya sangatlah sepadan dengan apa yang sudah kami dapatkan!
To be continued.......