Day 24: Friday, March 24th, 2017
Tidurku semalam kurang nyenyak karena dinginnya udara. Beberapa kali aku terbangun dan merasakan udara dingin menyelinap masuk ke dalam mobil. Pagi ini pun aku terbangun jam 5.30 pagi dalam suhu yang sangat dingin, entah berapa suhunya karena tidak bisa mengecek dengan aplikasi HP tanpa koneksi internet. Suasana di luar terlihat gelap gulita dan kabut tebal rmenyelimuti udara di sekitarku.
Saat hendak ke toilet pagi ini, aku sudah bersiap-siap dengan semprotan antiserangga, kalau-kalau banyak nyamuk atau sandfly di dalam toilet. Untungnya tidak banyak serangga yang beterbangan pagi ini, jadi aman. π Karena suasana masih gelap, belum ada orang lain yang bangun. Aku sendiri berkeliaran dengan mengenakan headlamp. Karena kami dikelilingi oleh pepohonan dan semak-semak, ada kalanya sesekali terbersit rasa takut di hatiku, siapa tahu tiba-tiba ada hewan yang keluar dari dalam semak belukar atau dari balik pepohonan. Mungkin bukan hewan buas atau predator, namun tetap saja akan mengejutkanku kalau sampai terjadi. Untung saja sejauh ini hal itu tidak pernah terjadi hehehehe... π
Aku menyiapkan kopi dan sarapan untuk suami yang baru saja bangun, lalu masak dan menyiapkan bekal makan siang di dalam mobil dengan menggunakan lampu di dalam mobil, karena sampai jam 7 pagi suasananya juga masih gelap gulita. Setelah mencuci perabotan, kami membereskan mobil dan bersiap-siap. Biasanya kalau kaca mobil berembun di pagi hari, suami akan meluangkan waktu untuk mengelap kaca, terutama kaca depan, kaca belakang, dan kedua spion agar pandangan tidak terganggu saat menyetir. Setelah semuanya selesai, jam 8 pagi kami sudah berangkat memulai perjalanan hari ini saat suasana masih remang-remang dan masih banyak orang yang tertidur di dalam kendaraan mereka masing-masing.
Tempat-tempat yang kami datangi sepanjang hari ini adalah:
Kami melewati kembali kota Hokitika yang pagi ini masih tampak sangat sepi. Setelah melewati Lake Mahinapua Hotel, kami berbelok ke kiri masuk ke Shanghai Road yang tampak seperti jalan di dalam hutan untuk menuju ke Lake Mahinapua.
Lake Mahinapua adalah sebuah danau yang tenang, berjarak 10 KM di selatan Hokitika. Cagar alam yang indah ini dikelilingi oleh tanaman-tanaman asli New Zealand dengan pemandangan pegunungan dan airnya relatif hangat. Danaunya dangkal, dan dulunya sebetulnya merupakan genangan air dari laut, yang kemudian karena adanya penumpukan bukit pasir kini menjadi danau yang berjarak sekitar 500 meter dari garis pantai Tasman Sea.
Pada tahun 1907, Lake Mahinapua Scenic Reserve didirikan untuk melindungi area di sekitar danau, dan sejumlah track pendek dibuka melewati danau ini. Pada tahun 2012, jalur West Coast Treetop Walk dibuka, menawarkan pemandangan ke arah danau. Kegiatan lain yang bisa dilakukan di sekitar danau antara lain piknik, camping, dan berbagai kegiatan lain berbasis air. Beberapa spesies burung seperti angsa hitam, bebek abu-abu dan bebek mallard hidup di sekitarnya, sementara semak-semak di sekitar danau menjadi habitat bagi spesies burung parkit dan tui.
Karena suasana masih remang-remang apalagi backlight, danaunya tampak biasa saja. Airnya tampak tenang dengan latar belakang pegunungan jauh di belakangnya. Ada beberapa buah kayak di salah satu sisi danau. Selain menjadi tempat wisata, area ini juga merupakan camping area yang dikelola oleh DOC, karenanya disediakan toilet di tempat ini.
Dari Lake Mahinapua, kami berkendara lagi, dan kemudian berhenti di Lake Ianthe di Harihari. Danau Ianthe/Matahi adalah sebuah danau yang airnya berasal dari beberapa sungai kecil dan bermuara di Wanganui River. Danau ini cukup populer untuk aktivitas boating, berenang, dan memancing ikan trout. Letaknya dekat dengan pantai dan berada di antara dua pemukiman kecil yaitu Pukekura dan Harihari, area ini juga menjadi camping ground yang dikelola oleh DOC. Walaupun kecil, camping ground ini bisa muat 12 mobil atau sekitar 8 motorhome. Yang pasti, tidak diperkenankan membuat api unggun di area ini.
Lake Ianthe ini tampak agak lebih besar dibandingkan dengan Lake Mahinapua. Masih ada beberapa orang di sini yang tampaknya menginap sejak kemarinnya, dan sepertinya baru bangun dari tidur mereka. Ada bangku-meja taman serta toilet yang menjadi fasilitas camping ground ini, dan ada semacam dermaga juga di salah satu sisi danau.
Di sinilah kami bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Chris Lucas. Usianya sudah 65 tahun, namun beliau melakukan solo travelling dengan naik sepeda. Katanya dia melakukan perjalanannya dengan santai, tidak diburu waktu, jadi kalau sudah merasa cukup lelah akan bermalam, entah di penginapan atau camping ground. Hebat sekali ya staminanya, apalagi dibandingkan dengan usianya yang sudah manula. Aku membayangkan diriku atau suami bersepeda keliling New Zealand, apalagi dengan medan yang naik turun, mungkin bisa remuk redam sekujur tubuh kami hahahaha... πππ
Setelah cukup banyak memotret di Lake Ianthe kami kembali berkendara, melewati ladang-ladang berlatarbelakangkan pegunungan yang indah. Kami sempat berhenti di tepi jalan hanya untuk mengambil gel dari pohon harakeke untuk mengurangi gatal-gatal bekas gigitan sandfly di kakiku. Setelah melewati Whataroa, kami kembali berhenti di tepi sebuah danau, yaitu Lake Mapourika. Danau ini lebih besar lagi dari kedua danau sebelumnya.
Lake Mapourika merupakan salah satu danau yang paling tenang di South Island. Airnya bermuara di Okarito River menuju ke Okarito Lagoon. Danau ini merupakan danau terbesar di West Coast yang terbentuk dari glacier dari jaman es terakhir. Karena glacier tidak lagi mengalir ke danau ini dan sudah terisi air hujan dari permukaan tanah di sekitarnya, warna airnya tidak biru terang seperti kebanyakan danau lain di New Zealand., namun cenderung gelap. Tempat yang kami datangi ini sekaligus merupakan salah satu camping area yang dikelola oleh DOC.
Setelah singgah sejenak di Lake Mapourika, kami melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan jam 11.20 siang saat kami memasuki kota Franz-Josef, dan karena tujuan utama kami adalah melihat glaciernya yang ternama, kami langsung menuju ke Franz Josef Glacier Car Park.
Franz Josef/Waiau adalah sebuah kota kecil yang masuk di dalam area Westland Tai Poutini National Park di West Coast dengan populasi 444 jiwa (2013). Paparan akhir glacier yang berjarak 5 KM dari kota menjadi obyek wisata utama dan menjadi alasan banyaknya turis yang berkunjung ke tempat ini. Antara kota dan lokasi glacier terhubung oleh sebuah jalan beraspal dan beberapa jalan setapak yang mengarah ke lembah, yang berada di selatan kota. Untuk berinteraksi langsung dengan glaciernya, pengunjung harus menyewa tour guide untuk berjalan bersama, atau naik helikkopter. Pilihan lain adalah menyaksikan glacier dari udara naik helikopter.
Walaupun kotanya kecil, berbagai pilihan akomodasi di sini bisa menampung hingga 2.000 orang, mulai dari hotel, motel, holiday house, akomodasi backpacker, hingga camping site. Selain itu ada sebuah pombensin, lapangan helikopter yang kecil namun ramai, dan sejumlah tempat makan dan toko untuk mengakomodasi para pengunjung yang datang.
Franz Josef juga menjadi basis West Coast Wildlife Centre, yang dikembangkan pada tahun 2010 dan didedikasikan untuk menetaskan dan membesarkan dua spesies kiwi paling langka di dunia, yaitu rowi dan Haast tokoeka. Ada tour khusus yang bisa dibook di pusat kota untuk menyaksikan fasilitas-fasilitas ini. Mount Gunn di area Franz Josef Glacier area merupakan lokasi Ered Nimrais dalam trilogi The Lord of The Rings.
Waiho Valley merupakan lingkungan yang dinamis dan berpotensi menimbulkan bahaya. Tingkat ketinggian air sungai dan saluran-saluran air lainnya bisa berubah dengan sangat cepat, terutama selama dan setelah hujan lebat, karenanya apabila kondisinya dianggap tidak aman akan dipasang rambu-rambu yang menunjukkan batas-batas aman.
Berpakaianlah yang sesuai, kenakan alas kaki yang kokoh, dan lakukan tindakan pencegahan yang sesuai jika terjadi perubahan cuaca yang mendadak. Hembusan angin dingin dari glacier sudah biasa terjadi di lembah, dan hujan badai bisa turun mendadak. Longsor es dan bebatuan yang jatuh bisa terjadi kapan pun di depan glacier, karenanya dilarang melangkah melewati tali pengaman, dan dilarang memindahkan tanda pengaman apa pun yang ada di sepanjang lembah. Jangan sok tahu dan mengakibatkan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain.
Karena tidak ada tempat sampah yang disediakan di sepanjang lembah, bawa pulang sampahmu dan jangan membuang sampah apa pun sembarang. Tidak ada toilet yang disediakan di sepanjang track kecuali di tempat parkir. Dilarang pula memberi makan kepada hewan-hewan liar yang ada di sana, terutama kea, karena akan mengubah tingkah laku alami mereka dan bisa mengakibatkan kematian. Penggunaan drone juga harus dengan persetujuan DOC.
Di Franz Josef sendiri ada beberapa aktivitas yang bisa dilakukan, antara lain jalan/tramping, bersepeda gunung, camping, atau menginap di pondok.
Bagi yang suka trekking, ada beberapa jalur yang bisa ditempuh, antara lain:
Kami hanya memilih satu saja yakni Franz Josef Glacier (KΔ Roimata Ε Hine Hukatere). Setelah memarkirkan mobil di area parkirnya yang sudah ramai dengan kendaraan-kendaraan lain, kami mulai berjalan kaki mengikuti jalan setapak.
Lima belas menit pertama merupakan jalan hutan yang mudah dengan view tepi sungai glacier. Setelahnya, tinggal mengikuti tanda di dasar sungai melewati Trident Falls yang menuju ke satu titik di dekat glacier. Di sini rutenya berupa kerikil dan bebatuan, karenanya disarankan mengenakan sepatu yang layak. Bagian terakhir track hingga sampai ke pagar pengaman melibatkan sedikit mendaki. Tempat ini sangat indah namun tidak stabil, jadi jangan biarkan ketenangan yang ada menurunkan kewaspadaan kita, karena glaciernya sebetulnya selalu bergerak.
Menurut kami berdua, dari awal hingga sampai di batas pengaman, pemandangannya semakin bertambah indah. Dari awal glaciernya sudah tampak, dengan gunung-gunung mengelilingi kami. Sungai Waiho mengalir dengan debit air yang kecil, namun berkelak-kelok. Setelah itu ada 3 buah air terjun kecil di kanan jalan (Trident Waterfalls) yang tampak indah di mana airnya mengalir jatuh dari tebing-tebing karang yang tinggi.
Melalui jalan berkerikil dan berbatu-batu kasar, kami dikelilingi oleh dinding-dinding gunung yang menjulang dengan megah dan sangat indah. Setelah itu jalannya menanjak, semakin mendekat ke arah glacier. Bukit-bukit pasir dan bebatuan berada di kanan kiri jalan setapak, hingga akhirnya kami tiba di ujung, yaitu batas akhir yang bisa diakses untuk melihat glacier. Sesungguhnya pemandangan di sepanjang track dan pemandangan glacier itu sendiri merupakan salah satu pemandangan terindah yang pernah kulihat sepanjang hidupku dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. So amazing! πππ Lelahnya berjalan tidak lagi terasa setelah tiba di sini, bahkan kami menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk memotret dan menikmati indahnya pemandangan dan ketenangan di dalam udara yang sangat dingin. ππ
Baru sekitar jam 1 siang kami mulai menuruni kembali jalan setapak, dan sudah sampai kembali di tempat parkir jam 1.30 siang dengan agak ngos-ngosan karena berjalan cepat-cepat akibat kelaparan hahahaha... Kami langsung makan bekal yang sudah disiapkan pagi tadi di dalam mobil. Wah nikmat sekali rasanya, dingin-dingin dan kondisi lapar berat, makan siang sambil menghangatkan diri di dalam mobil. πππ
Oya, di awal trekking kami bertemu dengan 4 orang turis Indonesia. Kami mendengar mereka mengobrol dengan bahasa ala kota Jakarta, jadi kami menyapa mereka dan sempat berbasa-basi sejenak. Sepertinya mereka orang-orang yang berada, dilihat dari pakaian dan bahan obrolan mereka. Sampai kami naik ke ujung dan kembali lagi ke parkiran, kami tidak bertemu atau melihat mereka lagi. Sepertinya mereka hanya berjalan kaki di bagian awal jalan setapak saja dan tidak mau repot-repot mengotori sepatu dan pakaian mahal mereka atau dandanan mewah mereka dengan debu dari jalan setapak di sini hehehehe... π
Usai makan siang, kami melanjutkan berkendara lagi menuju ke arah Fox Glacier. Melewati kotanya yang kecil, suasananya saat itu tampak lebih ramai dan touristy dibandingkan dengan Franz Josef, dan karenanya kami memutuskan untuk tidak mengunjungi glaciernya. Kata suami, setidaknya kami sudah melihat satu glacier hari ini, dan untuk sementara sudah cukup.
Ternyata keputusan ini tidak perlu kami sesali, karena dari informasi yang kubaca, walaupun memang tidak dikatakan mana yang lebih indah atau pantas dikunjungi, namun Fox Glacier memiliki tanjakan yang lebih landai, sementara Franz Josef Glacier memiliki tanjakan yang curam, dari Southern Alps hingga ketinggian hampir setara dengan laut. Dengan demikian Franz Josef Glacier selalu bergerak dan berubah, sehingga menciptakan formasi yang menakjubkan seperti celah, terowongan, ceruk, dan gua-gua es yang setiap hari selalu berubah, sehingga tidak ada formasi yang sama keesokan harinya. Selain itu Franz Josef Glacier lebih menonjolkan kesan pengalaman "blue ice(es berwarna biru)" yang terkenal bagi yang melihat.
Fox Glacier/Te Moeka o Tuawe merupakan glacier terpanjang di West Coast, yakni sepanjang 13 KM, dan terletak di selatan kota Fox Glacier yang memiliki populasi 306 jiwa (2013). Bagi yang hendak meluangkan waktu di kota ini, kegiatan outdoor yang bisa dilakukan kurang lebih sama dengan Franz Josef, yaitu tramping dan bersepeda gunung.
Beberapa track yang ada di area Fox Glacier:
Fox Glacier memiliki makna tersendiri bagi suku MΔori setempat karena merupakan moeka (tempat peristirahatan terakhir) bagi leluhur mereka, Tuawe.
Karena tidak jadi ke Fox Glacier, kami mencari alternatif lain, dan aku melihat ada sebuah danau 5 KM di utara pusat kota Fox Glacier, yaitu Lake Matheson, jadi kami berkendara ke sana.
Sesampai di area parkir, ternyata untuk ke danaunya masih harus berjalan kaki lagi selama 1 jam 30 menit, sementara kami sudah mulai lelah. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak ke danau, dan sebagai gantinya karena ada sebuah cafe di sini, kami masuk ke cafe tersebut. Karena cafenya tampak fancy dan mewah, kami hanya memesan secangkir flat white seharga NZ$ 4.5.
Saat masuk ke dalam cafe inilah kami berjumpa lagi dengan 4 turis Indonesia tadi. Mereka sedang menikmati makan siang di sini (yang pastinya tidak murah buat ukuran kantong kami). Kami meluangkan waktu untuk mengobrol sejenak dengan mereka dan memberikan informasi mengenai beberapa tempat yang harus dikunjungi selama di New Zealand ini, dan setelahnya kami duduk di bangku-meja di luar ruangan cafe. Kami bersantai sembari mengobrol di udara yang dingin ini. Sempat juga menumpang di toilet umum di cafe ini, dan kondisinya bersih dan sangat terawat.
Sekitar jam 3.30 sore kami meninggalkan Matheson Cafe dan berkendara untuk mencari akomodasi yang sesuai dengan arah tujuan kami selanjutnya, yaitu ke selatan. Penginapan yang terlihat di Camper Mate hanya Pine Grove Motel, dan karena review yang baik dari orang-orang dan sepertinya harganya tidak terlalu mahal, kami memutuskan untuk mencoba menanyakan dulu harganya setiba di sana.
Kami sampai di Pine Grove Motel jam 4.10 sore dan disambut oleh seorang perempuan tua yang sangat ramah. Harga cabin untuk 2 orang NZ$ 55/malam, dan kami langsung sepakat untuk bermalam di tempat ini, karena memang relatif agak murah.
Kami diberi kamar yang bisa diisi 3 orang karena kasurnya ada dua, sudah lengkap dengan beddings. Sebuah bangku diletakkan di antara kedua kasurnya, dan ada pemanas ruangan yang bentuknya seperti lampu. Sebuah jendela di dekat kasur yang lebih besar langsung menghadap ke kebun. Memang sangat sederhana, namun bersih dan menyenangkan. ππ
Dapurnya relatif kecil, namun dilengkapi dengan alat-alat memasak dan perabotan makan. Sebuah meja dan 4 buah kursi makan serta rak buku menghiasi salah satu sudut dapur ini. Kamar mandi dan toiletnya juga bersih sekali walaupun hanya satu, sayang tidak sempat memotretnya.
Setelah menurunkan barang-barang dan bahan makanan yang diperlukan dari dalam mobil, aku berbenah di kamar, dan setelah semuanya beres kami jalan-jalan untuk melihat suasana di dalam area penginapan. Kebun di area motel juga sangat asri. Banyak tanaman bunga yang indah di tempat ini, termasuk bunga aggrek berwarna jingga berbintik hitam yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di balik deretan kamar-kamar ada sebuah pagar kawat, dan di baliknya ada semacam ladang luas dengan seekor rusa yang sedang merumput di dalamnya. Bisa dibilang tempat ini berada di tempat yang sepi, in the middle of nowhere, namun sangat nyaman, asri, dan menyenangkan sekali. Apalagi pemiliknya juga sangat baik dan ramah. Senang sekali rasanya berada di tempat ini. ππ
Sekitar jam 6.30 petang kami ke dapur dan aku masak untuk makan malam. Menu malam ini untuk suami adalah kentang rebus dengan telur dadar, dan masih telur dan tomat untukku. ππ Kami makan di meja makan yang disediakan di dapur yang kebetulan sepi. Setelah mencuci semua perabotan dan membersihkan area dapur yang barusan dipakai, kami kembali ke kamar dan bergantian mandi di shower room yang hanya ada satu. Baru setelah itu aku mengerjakan tugas pembukuan di laptop.
Malam ini kami merasa lelah akibat perjalanan panjang seharian ini dan cukup banyak berjalan kaki, karenanya sekitar jam 8 malam kami sudah naik ke kasur dan tidur... π€π€π€
To be continued.......
Saat hendak ke toilet pagi ini, aku sudah bersiap-siap dengan semprotan antiserangga, kalau-kalau banyak nyamuk atau sandfly di dalam toilet. Untungnya tidak banyak serangga yang beterbangan pagi ini, jadi aman. π Karena suasana masih gelap, belum ada orang lain yang bangun. Aku sendiri berkeliaran dengan mengenakan headlamp. Karena kami dikelilingi oleh pepohonan dan semak-semak, ada kalanya sesekali terbersit rasa takut di hatiku, siapa tahu tiba-tiba ada hewan yang keluar dari dalam semak belukar atau dari balik pepohonan. Mungkin bukan hewan buas atau predator, namun tetap saja akan mengejutkanku kalau sampai terjadi. Untung saja sejauh ini hal itu tidak pernah terjadi hehehehe... π
Aku menyiapkan kopi dan sarapan untuk suami yang baru saja bangun, lalu masak dan menyiapkan bekal makan siang di dalam mobil dengan menggunakan lampu di dalam mobil, karena sampai jam 7 pagi suasananya juga masih gelap gulita. Setelah mencuci perabotan, kami membereskan mobil dan bersiap-siap. Biasanya kalau kaca mobil berembun di pagi hari, suami akan meluangkan waktu untuk mengelap kaca, terutama kaca depan, kaca belakang, dan kedua spion agar pandangan tidak terganggu saat menyetir. Setelah semuanya selesai, jam 8 pagi kami sudah berangkat memulai perjalanan hari ini saat suasana masih remang-remang dan masih banyak orang yang tertidur di dalam kendaraan mereka masing-masing.
Tempat-tempat yang kami datangi sepanjang hari ini adalah:
- Lake Mahinapua
- Lake Ianthe
- Lake Mapourika
- Franz Josef Glacier
- Matheson CafΓ©
- Pine Grove Motel, Fox Glacier
Lake Mahinapua adalah sebuah danau yang tenang, berjarak 10 KM di selatan Hokitika. Cagar alam yang indah ini dikelilingi oleh tanaman-tanaman asli New Zealand dengan pemandangan pegunungan dan airnya relatif hangat. Danaunya dangkal, dan dulunya sebetulnya merupakan genangan air dari laut, yang kemudian karena adanya penumpukan bukit pasir kini menjadi danau yang berjarak sekitar 500 meter dari garis pantai Tasman Sea.
Pada tahun 1907, Lake Mahinapua Scenic Reserve didirikan untuk melindungi area di sekitar danau, dan sejumlah track pendek dibuka melewati danau ini. Pada tahun 2012, jalur West Coast Treetop Walk dibuka, menawarkan pemandangan ke arah danau. Kegiatan lain yang bisa dilakukan di sekitar danau antara lain piknik, camping, dan berbagai kegiatan lain berbasis air. Beberapa spesies burung seperti angsa hitam, bebek abu-abu dan bebek mallard hidup di sekitarnya, sementara semak-semak di sekitar danau menjadi habitat bagi spesies burung parkit dan tui.
Karena suasana masih remang-remang apalagi backlight, danaunya tampak biasa saja. Airnya tampak tenang dengan latar belakang pegunungan jauh di belakangnya. Ada beberapa buah kayak di salah satu sisi danau. Selain menjadi tempat wisata, area ini juga merupakan camping area yang dikelola oleh DOC, karenanya disediakan toilet di tempat ini.
Dari Lake Mahinapua, kami berkendara lagi, dan kemudian berhenti di Lake Ianthe di Harihari. Danau Ianthe/Matahi adalah sebuah danau yang airnya berasal dari beberapa sungai kecil dan bermuara di Wanganui River. Danau ini cukup populer untuk aktivitas boating, berenang, dan memancing ikan trout. Letaknya dekat dengan pantai dan berada di antara dua pemukiman kecil yaitu Pukekura dan Harihari, area ini juga menjadi camping ground yang dikelola oleh DOC. Walaupun kecil, camping ground ini bisa muat 12 mobil atau sekitar 8 motorhome. Yang pasti, tidak diperkenankan membuat api unggun di area ini.
Lake Ianthe ini tampak agak lebih besar dibandingkan dengan Lake Mahinapua. Masih ada beberapa orang di sini yang tampaknya menginap sejak kemarinnya, dan sepertinya baru bangun dari tidur mereka. Ada bangku-meja taman serta toilet yang menjadi fasilitas camping ground ini, dan ada semacam dermaga juga di salah satu sisi danau.
Di sinilah kami bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Chris Lucas. Usianya sudah 65 tahun, namun beliau melakukan solo travelling dengan naik sepeda. Katanya dia melakukan perjalanannya dengan santai, tidak diburu waktu, jadi kalau sudah merasa cukup lelah akan bermalam, entah di penginapan atau camping ground. Hebat sekali ya staminanya, apalagi dibandingkan dengan usianya yang sudah manula. Aku membayangkan diriku atau suami bersepeda keliling New Zealand, apalagi dengan medan yang naik turun, mungkin bisa remuk redam sekujur tubuh kami hahahaha... πππ
Setelah cukup banyak memotret di Lake Ianthe kami kembali berkendara, melewati ladang-ladang berlatarbelakangkan pegunungan yang indah. Kami sempat berhenti di tepi jalan hanya untuk mengambil gel dari pohon harakeke untuk mengurangi gatal-gatal bekas gigitan sandfly di kakiku. Setelah melewati Whataroa, kami kembali berhenti di tepi sebuah danau, yaitu Lake Mapourika. Danau ini lebih besar lagi dari kedua danau sebelumnya.
Lake Mapourika merupakan salah satu danau yang paling tenang di South Island. Airnya bermuara di Okarito River menuju ke Okarito Lagoon. Danau ini merupakan danau terbesar di West Coast yang terbentuk dari glacier dari jaman es terakhir. Karena glacier tidak lagi mengalir ke danau ini dan sudah terisi air hujan dari permukaan tanah di sekitarnya, warna airnya tidak biru terang seperti kebanyakan danau lain di New Zealand., namun cenderung gelap. Tempat yang kami datangi ini sekaligus merupakan salah satu camping area yang dikelola oleh DOC.
Setelah singgah sejenak di Lake Mapourika, kami melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan jam 11.20 siang saat kami memasuki kota Franz-Josef, dan karena tujuan utama kami adalah melihat glaciernya yang ternama, kami langsung menuju ke Franz Josef Glacier Car Park.
Franz Josef/Waiau adalah sebuah kota kecil yang masuk di dalam area Westland Tai Poutini National Park di West Coast dengan populasi 444 jiwa (2013). Paparan akhir glacier yang berjarak 5 KM dari kota menjadi obyek wisata utama dan menjadi alasan banyaknya turis yang berkunjung ke tempat ini. Antara kota dan lokasi glacier terhubung oleh sebuah jalan beraspal dan beberapa jalan setapak yang mengarah ke lembah, yang berada di selatan kota. Untuk berinteraksi langsung dengan glaciernya, pengunjung harus menyewa tour guide untuk berjalan bersama, atau naik helikkopter. Pilihan lain adalah menyaksikan glacier dari udara naik helikopter.
Walaupun kotanya kecil, berbagai pilihan akomodasi di sini bisa menampung hingga 2.000 orang, mulai dari hotel, motel, holiday house, akomodasi backpacker, hingga camping site. Selain itu ada sebuah pombensin, lapangan helikopter yang kecil namun ramai, dan sejumlah tempat makan dan toko untuk mengakomodasi para pengunjung yang datang.
Franz Josef juga menjadi basis West Coast Wildlife Centre, yang dikembangkan pada tahun 2010 dan didedikasikan untuk menetaskan dan membesarkan dua spesies kiwi paling langka di dunia, yaitu rowi dan Haast tokoeka. Ada tour khusus yang bisa dibook di pusat kota untuk menyaksikan fasilitas-fasilitas ini. Mount Gunn di area Franz Josef Glacier area merupakan lokasi Ered Nimrais dalam trilogi The Lord of The Rings.
Waiho Valley merupakan lingkungan yang dinamis dan berpotensi menimbulkan bahaya. Tingkat ketinggian air sungai dan saluran-saluran air lainnya bisa berubah dengan sangat cepat, terutama selama dan setelah hujan lebat, karenanya apabila kondisinya dianggap tidak aman akan dipasang rambu-rambu yang menunjukkan batas-batas aman.
Berpakaianlah yang sesuai, kenakan alas kaki yang kokoh, dan lakukan tindakan pencegahan yang sesuai jika terjadi perubahan cuaca yang mendadak. Hembusan angin dingin dari glacier sudah biasa terjadi di lembah, dan hujan badai bisa turun mendadak. Longsor es dan bebatuan yang jatuh bisa terjadi kapan pun di depan glacier, karenanya dilarang melangkah melewati tali pengaman, dan dilarang memindahkan tanda pengaman apa pun yang ada di sepanjang lembah. Jangan sok tahu dan mengakibatkan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain.
Karena tidak ada tempat sampah yang disediakan di sepanjang lembah, bawa pulang sampahmu dan jangan membuang sampah apa pun sembarang. Tidak ada toilet yang disediakan di sepanjang track kecuali di tempat parkir. Dilarang pula memberi makan kepada hewan-hewan liar yang ada di sana, terutama kea, karena akan mengubah tingkah laku alami mereka dan bisa mengakibatkan kematian. Penggunaan drone juga harus dengan persetujuan DOC.
Di Franz Josef sendiri ada beberapa aktivitas yang bisa dilakukan, antara lain jalan/tramping, bersepeda gunung, camping, atau menginap di pondok.
Bagi yang suka trekking, ada beberapa jalur yang bisa ditempuh, antara lain:
- Alex Knob Track (8 jam) - tingkat kesulitan: advanced
- Callery Gorge Walk (1 jam 20 menit) - tingkat kesulitan: mudah
- Canavans Knob Walk (1 jam - 1 jam 40 menit) - tingkat kesulitan: paling mudah
- Douglas Walk (1 jam) - tingkat kesulitan: mudah
- Franz Josef Glacier/KΔ Roimata o Hine Hukatere Walk (1 jam 30 menit) - tingkat kesulitan: mudah
- Lake Wombat Walk (1 jam 30 menit) - tingkat kesulitan: mudah
- Peters Pool Walk (25 menit bolak-balik) - tingkat kesulitan: paling mudah
- Roberts Point Track (5 jam 20 menit) - tingkat kesulitan: advanced
- Sentinel Rock Walk (20 menit) - tingkat kesulitan: paling mudah
- Tatare Tunnels Walk (1 jam 20 menit) - tingkat kesulitan: mudah
- Te Ara a Waiau Walkway/Cycleway (2 jam) - tingkat kesulitan: mudah
- Terrace Walk (30 menit) - tingkat kesulitan: paling mudah
Kami hanya memilih satu saja yakni Franz Josef Glacier (KΔ Roimata Ε Hine Hukatere). Setelah memarkirkan mobil di area parkirnya yang sudah ramai dengan kendaraan-kendaraan lain, kami mulai berjalan kaki mengikuti jalan setapak.
Lima belas menit pertama merupakan jalan hutan yang mudah dengan view tepi sungai glacier. Setelahnya, tinggal mengikuti tanda di dasar sungai melewati Trident Falls yang menuju ke satu titik di dekat glacier. Di sini rutenya berupa kerikil dan bebatuan, karenanya disarankan mengenakan sepatu yang layak. Bagian terakhir track hingga sampai ke pagar pengaman melibatkan sedikit mendaki. Tempat ini sangat indah namun tidak stabil, jadi jangan biarkan ketenangan yang ada menurunkan kewaspadaan kita, karena glaciernya sebetulnya selalu bergerak.
Menurut kami berdua, dari awal hingga sampai di batas pengaman, pemandangannya semakin bertambah indah. Dari awal glaciernya sudah tampak, dengan gunung-gunung mengelilingi kami. Sungai Waiho mengalir dengan debit air yang kecil, namun berkelak-kelok. Setelah itu ada 3 buah air terjun kecil di kanan jalan (Trident Waterfalls) yang tampak indah di mana airnya mengalir jatuh dari tebing-tebing karang yang tinggi.
Melalui jalan berkerikil dan berbatu-batu kasar, kami dikelilingi oleh dinding-dinding gunung yang menjulang dengan megah dan sangat indah. Setelah itu jalannya menanjak, semakin mendekat ke arah glacier. Bukit-bukit pasir dan bebatuan berada di kanan kiri jalan setapak, hingga akhirnya kami tiba di ujung, yaitu batas akhir yang bisa diakses untuk melihat glacier. Sesungguhnya pemandangan di sepanjang track dan pemandangan glacier itu sendiri merupakan salah satu pemandangan terindah yang pernah kulihat sepanjang hidupku dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. So amazing! πππ Lelahnya berjalan tidak lagi terasa setelah tiba di sini, bahkan kami menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk memotret dan menikmati indahnya pemandangan dan ketenangan di dalam udara yang sangat dingin. ππ
Baru sekitar jam 1 siang kami mulai menuruni kembali jalan setapak, dan sudah sampai kembali di tempat parkir jam 1.30 siang dengan agak ngos-ngosan karena berjalan cepat-cepat akibat kelaparan hahahaha... Kami langsung makan bekal yang sudah disiapkan pagi tadi di dalam mobil. Wah nikmat sekali rasanya, dingin-dingin dan kondisi lapar berat, makan siang sambil menghangatkan diri di dalam mobil. πππ
Oya, di awal trekking kami bertemu dengan 4 orang turis Indonesia. Kami mendengar mereka mengobrol dengan bahasa ala kota Jakarta, jadi kami menyapa mereka dan sempat berbasa-basi sejenak. Sepertinya mereka orang-orang yang berada, dilihat dari pakaian dan bahan obrolan mereka. Sampai kami naik ke ujung dan kembali lagi ke parkiran, kami tidak bertemu atau melihat mereka lagi. Sepertinya mereka hanya berjalan kaki di bagian awal jalan setapak saja dan tidak mau repot-repot mengotori sepatu dan pakaian mahal mereka atau dandanan mewah mereka dengan debu dari jalan setapak di sini hehehehe... π
Usai makan siang, kami melanjutkan berkendara lagi menuju ke arah Fox Glacier. Melewati kotanya yang kecil, suasananya saat itu tampak lebih ramai dan touristy dibandingkan dengan Franz Josef, dan karenanya kami memutuskan untuk tidak mengunjungi glaciernya. Kata suami, setidaknya kami sudah melihat satu glacier hari ini, dan untuk sementara sudah cukup.
Ternyata keputusan ini tidak perlu kami sesali, karena dari informasi yang kubaca, walaupun memang tidak dikatakan mana yang lebih indah atau pantas dikunjungi, namun Fox Glacier memiliki tanjakan yang lebih landai, sementara Franz Josef Glacier memiliki tanjakan yang curam, dari Southern Alps hingga ketinggian hampir setara dengan laut. Dengan demikian Franz Josef Glacier selalu bergerak dan berubah, sehingga menciptakan formasi yang menakjubkan seperti celah, terowongan, ceruk, dan gua-gua es yang setiap hari selalu berubah, sehingga tidak ada formasi yang sama keesokan harinya. Selain itu Franz Josef Glacier lebih menonjolkan kesan pengalaman "blue ice(es berwarna biru)" yang terkenal bagi yang melihat.
Fox Glacier/Te Moeka o Tuawe merupakan glacier terpanjang di West Coast, yakni sepanjang 13 KM, dan terletak di selatan kota Fox Glacier yang memiliki populasi 306 jiwa (2013). Bagi yang hendak meluangkan waktu di kota ini, kegiatan outdoor yang bisa dilakukan kurang lebih sama dengan Franz Josef, yaitu tramping dan bersepeda gunung.
Beberapa track yang ada di area Fox Glacier:
- Fox Glacier/Te Ara o Tuawe Valley Walk (1 jam pulang pergi) - tingkat kesulitan: paling mudah
- Lake Gault Track (3-5 jam pulang pergi) - tingkat kesulitan: sedang
- Lake Matheson/Te Ara Kairaumati Walk (1 jam 30 menit) - tingkat kesulitan: paling mudah
- Minnehaha Walk (20 menit) - tingkat kesulitan: paling mudah
- Moraine Walk (30 menit) - tingkat kesulitan: paling mudah
- River Walk (40 menit) - tingkat kesulitan: mudah
- River Walk Lookout Track (20 menit) - tingkat kesulitan: paling mudah
- Te Weheka Walkway/Cycleway (2 jam 20 menit) - tingkat kesulitan: mudah
Fox Glacier memiliki makna tersendiri bagi suku MΔori setempat karena merupakan moeka (tempat peristirahatan terakhir) bagi leluhur mereka, Tuawe.
Karena tidak jadi ke Fox Glacier, kami mencari alternatif lain, dan aku melihat ada sebuah danau 5 KM di utara pusat kota Fox Glacier, yaitu Lake Matheson, jadi kami berkendara ke sana.
Sesampai di area parkir, ternyata untuk ke danaunya masih harus berjalan kaki lagi selama 1 jam 30 menit, sementara kami sudah mulai lelah. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak ke danau, dan sebagai gantinya karena ada sebuah cafe di sini, kami masuk ke cafe tersebut. Karena cafenya tampak fancy dan mewah, kami hanya memesan secangkir flat white seharga NZ$ 4.5.
Saat masuk ke dalam cafe inilah kami berjumpa lagi dengan 4 turis Indonesia tadi. Mereka sedang menikmati makan siang di sini (yang pastinya tidak murah buat ukuran kantong kami). Kami meluangkan waktu untuk mengobrol sejenak dengan mereka dan memberikan informasi mengenai beberapa tempat yang harus dikunjungi selama di New Zealand ini, dan setelahnya kami duduk di bangku-meja di luar ruangan cafe. Kami bersantai sembari mengobrol di udara yang dingin ini. Sempat juga menumpang di toilet umum di cafe ini, dan kondisinya bersih dan sangat terawat.
Sekitar jam 3.30 sore kami meninggalkan Matheson Cafe dan berkendara untuk mencari akomodasi yang sesuai dengan arah tujuan kami selanjutnya, yaitu ke selatan. Penginapan yang terlihat di Camper Mate hanya Pine Grove Motel, dan karena review yang baik dari orang-orang dan sepertinya harganya tidak terlalu mahal, kami memutuskan untuk mencoba menanyakan dulu harganya setiba di sana.
Kami sampai di Pine Grove Motel jam 4.10 sore dan disambut oleh seorang perempuan tua yang sangat ramah. Harga cabin untuk 2 orang NZ$ 55/malam, dan kami langsung sepakat untuk bermalam di tempat ini, karena memang relatif agak murah.
Kami diberi kamar yang bisa diisi 3 orang karena kasurnya ada dua, sudah lengkap dengan beddings. Sebuah bangku diletakkan di antara kedua kasurnya, dan ada pemanas ruangan yang bentuknya seperti lampu. Sebuah jendela di dekat kasur yang lebih besar langsung menghadap ke kebun. Memang sangat sederhana, namun bersih dan menyenangkan. ππ
Dapurnya relatif kecil, namun dilengkapi dengan alat-alat memasak dan perabotan makan. Sebuah meja dan 4 buah kursi makan serta rak buku menghiasi salah satu sudut dapur ini. Kamar mandi dan toiletnya juga bersih sekali walaupun hanya satu, sayang tidak sempat memotretnya.
Setelah menurunkan barang-barang dan bahan makanan yang diperlukan dari dalam mobil, aku berbenah di kamar, dan setelah semuanya beres kami jalan-jalan untuk melihat suasana di dalam area penginapan. Kebun di area motel juga sangat asri. Banyak tanaman bunga yang indah di tempat ini, termasuk bunga aggrek berwarna jingga berbintik hitam yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di balik deretan kamar-kamar ada sebuah pagar kawat, dan di baliknya ada semacam ladang luas dengan seekor rusa yang sedang merumput di dalamnya. Bisa dibilang tempat ini berada di tempat yang sepi, in the middle of nowhere, namun sangat nyaman, asri, dan menyenangkan sekali. Apalagi pemiliknya juga sangat baik dan ramah. Senang sekali rasanya berada di tempat ini. ππ
Sekitar jam 6.30 petang kami ke dapur dan aku masak untuk makan malam. Menu malam ini untuk suami adalah kentang rebus dengan telur dadar, dan masih telur dan tomat untukku. ππ Kami makan di meja makan yang disediakan di dapur yang kebetulan sepi. Setelah mencuci semua perabotan dan membersihkan area dapur yang barusan dipakai, kami kembali ke kamar dan bergantian mandi di shower room yang hanya ada satu. Baru setelah itu aku mengerjakan tugas pembukuan di laptop.
Malam ini kami merasa lelah akibat perjalanan panjang seharian ini dan cukup banyak berjalan kaki, karenanya sekitar jam 8 malam kami sudah naik ke kasur dan tidur... π€π€π€
To be continued.......
No comments:
Post a Comment