29 April 2018
Walaupun tertidur cukup nyenyak, aku masih sempat mendengar hujan turun dengan derasnya jam 3.30 pagi, dan sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Sempat terpikir olehku, bagaimana dengan rencana trekking kami nanti kalau masih saja hujan. Aku tertidur lagi dan baru terbangun kembali jam 5 dini hari. Sepertinya aku orang yang pertama bangun pagi ini, bahkan Mama Sa dan keluarganya belum ada yang bangun. Kadang aku mendengar suara dari kamar di sebelah, sepertinya suara Su. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar.
Udara di luar cukup dingin, dan aku bingung karena aku membutuhkan air panas untuk membuat kopi pagi ini. Tidak lama kemudian Mama Sa bangun dan dia malah menyuruhku tidur lagi karena di luar masih hujan. Aku berkata bahwa aku sudah terbiasa bangun pagi, jadi tidak mungkin tidur lagi. Aku bertanya apakah aku bisa minta air panas, dan kemudian Su sepertinya masak air di dapur, sementara Mama Sa menyalakan lampu untuk penerangan di luar karena hari masih cukup gelap.
Aku duduk-duduk di luar sambil menikmati hujan dan pemandangan pegunungan yang indah di depan mata. Lama sekali rasanya Su masak air, sampai suami bangun jam 6 pagi masih juga air panas belum siap. Baru setelah itu Su keluar dari dapur dan membawakan setermos besar air panas. Ah, ternyata dia masak air banyak sekali, tidak heran kalau butuh waktu lama. Aku dan suami duduk-duduk dan mengobrol sambil menikmati kopi yang kami buat sendiri dari kopi instan yang kami bawa.
Setelah itu aku dan suami berjalan-jalan di area rumah Mama Sa, menikmati pemandangan, dan kemudian menemukan kandang babi agak jauh dari rumah. Ada dua buah kandang babi, yang satu berisi seekor induk babi dengan 3 anaknya, yang satunya lagi berisi seekor induk babi dengan 4 ekor anaknya. Sebetulnya kasihan juga melihat babi-babi tersebut berada di dalam kandang, tapi mungkin saja mereka akan kabur kalau tidak dimasukkan ke dalam kandang ya...
Setelah itu aku memutuskan untuk mandi dulu agar nanti tidak harus antri. Jadi aku menyalakan dulu saklar air panasnya, dan 10 menit kemudian aku mandi dengan air hangat. Wah, segar sekali rasanya.
Suami mandi setelah aku selesai mandi, sementara sekitar jam 7 pagi Clemente sudah keluar dari kamar. Katanya, dia sudah terbiasa bangun pagi karena biasanya dia harus bekerja. Jarang sekali aku melihat orang bule yang biasa bangun pagi seperti ini hehehehe...
Setelah itu suami mengobrol dengan Clemente, dan aku berpamitan untuk jalan-jalan sejenak di sekitar area ini. Aku menyusuri jalan setapak, keluar dari lingkungan rumah Mama Sa, melewati jalan belakang sebuah sekolah, menyusuri jalan, dan tiba di sebuah jalan kecil beraspal. Ternyata ada beberapa warung yang menjual sayur-mayur dan barang-barang kebutuhan sehari-hari di sepanjang jalan ini. Sayang aku tidak membawa HP, jadi tidak bisa memotret, namun kusempatkan membeli sebongkah roti seharga VND 7K untuk sarapan suami. Aku juga melihat ada sungai yang indah nun di bawah sana, namun karena sendirian aku tidak berani menjelajah terlalu lama. Setelah cukup jauh berjalan, aku berjalan pulang kembali ke rumah Mama Sa.
Baru sekitar jam 9 pagi sarapan dihidangkan. Menunya antara lain omelette, pancake, dan buah-buahan (nanas, pisang, apel, dan semangka). Kami juga boleh memesan teh atau kopi. Walaupun sederhana, namun sarapannya cukup berlimpah hingga kami semua merasa sangat kenyang. Sementara itu hujan masih turun walaupun sudah tidak terlalu deras.
Sekitar jam 10 pagi saat cuaca sudah membaik walaupun masih agak gerimis, Su bertanya apabila kami mau berangkat trekking sekarang, dan kami semua mengiyakan. Seperti kata Mama Sa kemarin, Su mengatakan bahwa kami akan diajak ke air terjun "di dekat sini".
Aku hanya membawa barang-barang yang diperlukan saja, seperti air minum, pashmina, dan jaket. Setelah semuanya siap, kami berenam berangkat dengan Su dan Pang sebagai guide kami. Karena ukuran backpackku yang terlalu besar, Su meminjamkan miliknya yang lebih kecil kepadaku.
Kami berjalan turun menyusuri jalan setapak yang sudah kulewati pagi tadi, namun agak sedikit berbeda karena lebih memutar. Sampai di jalan beraspal, kami terus menyusuri jalan. Su dan Pang mengajak mampir di sebuah toko yang menjual berbagai macam makanan, sayuran, dan bermacam barang kebutuhan sehari-hari, sepertinya hendak belanja sesuatu. Setelah melihat-lihat, suami membeli permen Xylitol seharga VND 5K.
Dari sini kami terus berjalan menuruni bukit lewat jalan tanah beraspal yang basah dan agak becek di beberapa tempat. Pemandangan sekitar terlihat indah walaupun masih berkabut cukup tebal karena dingin. Sawah-sawah terasering menghiasi seluruh perbukitan sejauh mata memandang.
Setelah itu jalan mulai mendaki, masih menyusuri jalan aspal kecil di antara sawah-sawah, Kami sempat berhenti di sebuah viewpoint untuk memotret, dan setelah itu kembali berjalan. Kami sempat melihat sebuah air terjun kecil tepat di tepi jalan, hingga air genangannya meluber ke tengah jalan. Setelah terus berjalan dan kemudian menyeberangi sebuah jembatan gantung, sekitar jam 11.25 siang kami tiba di sebuah desa yang cukup ramai, yaitu desa Ta Van. Sebelum ini aku sering mendengar nama desa ini disebut-sebut karena menjadi salah satu desa pusat trekking, namun sekaligus juga ramai dan touristy.
Banyak toko yang menjual souvenir hasil kerajinan masyarakat setempat, tempat-tempat makan, namun yang paling banyak dijumpai adalah homestay Suasananya terasa jauh lebih ramai daripada desa tempat rumah Mama Sa berada. Banyak turis western yang sedang berjalan kesana-kemari, kebanyakan sepertinya hendak trekking juga. Setelah itu aku memperhatikan bahwa ada dua perempuan suku Hmong yang selalu mengikuti kami, dengan harapan bisa menjajakan souvenir kepada kami.
Gerimis turun, dan rute jalan menanjak dan terus menanjak. Karena aku berjalan paling cepat, aku bisa berhenti untuk memotret di spot-spot yang bagus sembari menunggu yang lain. Suami juga menyusul setelahku, dan sampai di sebuah persimpangan jalan, kami menunggu karena tidak tahu akan menuju ke mana. Setelah agak lama menunggu Su dan yang lainnya, ternyata kami diarahkan menuju ke sebuah jalan setapak dari tanah liat berbatu-batu yang sempit dan sepertinya licin karena basah.
Karena jalannya memang agak licin, suami membimbingku agar tidak terpeleset hingga jalannya sudah tidak terlalu curam turunnya. Setelah itu jalannya kadang naik dan kadang turun, melalui beberapa rumah penduduk yang bisa dibilang terpencil.
Sekitar jam 1 siang, kami tiba di sebuah jalan setapak dari tanah liat yang walaupun cukup lebar namun menanjak curam dan licin karena basah. Di beberapa tempat tanjakannya sangat curam sehingga sebetulnya agak berbahaya karena tidak ada pengaman sama sekali di kanan maupun kiri jalan. Kami semua menapakkan kaki dengan hati-hati agar tidak sampai terpeleset, hingga akhirnya mencapai ujung jalan setapak tersebut dan tiba di sebuah dusun dengan beberapa buah rumah sederhana.
Setelah berjalan lagi sedikit, sampailah kami di sebuah viewpoint yang sangat indah dengan pemandangan sawah terasering yang sangat unik berlatar belakang pegunungan dan awan putih. Di tempat ini juga ada semacam gubuk kecil tempat istirahat. Aku memanfaatkan kesempatan istirahat ini untuk memotret suasana sekitar yang sangat indah. Kami juga beberapa kali berfoto bersama dengan Su dan yang lainnya.
Belum lagi selesai berfoto, kabut turun dan menutupi pandangan di sekitar, dan tidak lama kemudian hujan juga turun, jadi Su menyarankan kami untuk duduk sebentar sembari menunggu hujan reda.
Ternyata di awal perjalanan tadi Su dan Pang membeli roti dan susu kental manis kemasan sachet, dan sekarang roti dan susu kental manis tersebut dibagi-bagikannya kepada kami berenam. Selain kami berenam, ada dua orang gadis bule yang tidak termasuk dalam kelompok kami. Mereka berjalan sendiri tanpa guide. Karena aku tidak makan roti, jatah rotiku dibagikan juga untuk mereka yang sebenarnya tidak bersama kami itu.
Setelah hujan agak mereda, keempat gadis tersebut lebih dulu berjalan, dan tidak lama kemudian kelompok kami juga mulai berjalan lagi. Baru berjalan sebentar, lagi-lagi kami harus melewati jalan setapak tanah liat, yang kali ini benar-benar curam dan sangat licin. Tanah liatnya sangat lembek, dan tampak lumut di beberapa tempat, hingga saat mendekati puncaknya Su harus menunjukkan di mana kaki kami harus menapak karena memang sekali salah langkah bisa terpeleset. Aku saja sampai harus dibantu oleh Su menapakkan beberapa langkah terakhir yang sangat curam dan licin.
Sampai di puncaknya, kami masih harus turun dengan medan yang sama, licin dan curam. Kedua tanganku benar-benar kumanfaatkan untuk mengendalikan trekking poles yang kubawa agar tidak sampai terpeleset. Bisa dibilang medan ini cukup menegangkan bagi kami semua. Setelah sampai di tanah berumput dan agak datar barulah terpikir olehku untuk memotret rute yang baru saja kami lalui hehehehe...
Kami beristirahat sejenak sambil memotret suasana sekitar, dan beberapa menit kemudian kembali berjalan. Sepertinya kami sudah melewati puncak bukit, karenanya kali ini jalan setapaknya agak menurun. Su dan Pang beberapa kali menerobos semak-semak dan mengambil semacam buah beri liar dari pepohonan. Rasa buahnya manis agak asam. Jalan setapaknya sangat kecil, agak licin, dan di sisi kanan kami adalah jurang. Aku sedikit merinding saat melaluinya hingga harus berpegangan pada suami.
Setelah berjalan selama sekitar 10 menit di medan yang cukup menyeramkan ini, kami tiba di sebuah padang rumput yang datar dan luas. Ternyata kami berada di sebuah viewpoint lain, dan di kejauhan rumah Mama Sa bisa terlihat dari tempat ini. Pemandangannya indah, sayangnya seringkali kabut menutupi pandangan. Kami semua beristirahat di tempat ini sembari memotret. Aku berpikir bahwa kami tinggal berjalan turun saja setelah ini, jadi harapanku medan yang akan kami tempuh selanjutnya akan lebih ringan.
Ternyata aku salah...
Keluar dari padang rumput ini, kami langsung menuju ke jalan setapak yang (lagi-lagi) licin, agak curam, dan sempit, dengan jurang di satu sisi, sementara jalan setapaknya sendiri miring ke arah jurang. Suami memegang satu trekking poleku dan satu tangan yang lain menggandengku, karena aku sadar bahwa aku sangat lemah di medan seperti ini. Walaupun sudah digandeng pun, kadang aku masih terpeleset walaupun tidak sampai jatuh. Peluh membasahi wajah dan tubuhku, bukan karena panas namun lebih karena perasaan tegang. Bahkan Clemente dan Freyja pun berjalan dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati dengan masing-masing membawa dua buah trekking poles. Aku menyaksikan beberapa kali Clemente juga terpeleset, dan akhirnya dia menerima bantuan dari salah satu perempuan Hmong yang semenjak tadi mengikuti kami. Perempuan tersebut kemudian menggandeng Clemente dan membimbingnya untuk melangkah setapak demi setapak.
Aku yakin tanpa bantuan suami, aku sudah berkali-kali terpeleset dan terjatuh. Di beberapa tempat medannya sangat curam dan licin, dan akhirnya aku terpeleset dan jatuh. Saat Su melihatku jatuh, dia segera berlari kembali menghampiriku, minta maaf, dan kemudian setelah itu aku digandeng oleh Su.
Saat digandeng suami, karena aku kuatir terpeleset dan sekaligus mengkuatirkan suami juga mungkin terpeleset karena harus menggandengku, langkahku jadi semakin ragu-ragu, namun saat Su menggandengku, aku percaya bahwa dia sudah hapal medan dan yakin dia akan baik-baik saja, jadi aku bisa melangkah lebih ringan. Selain itu suami juga jadi lebih leluasa karena bisa menggunakan kedua tangannya untuk keseimbangan.
Kalau aku boleh berkomentar, medan trekking yang kami lalui kali ini adalah medan terberat dan paling bahaya yang pernah aku lewati seumur hidupku!
Andai saja hujan tidak turun sebelumnya, mungkin tidak akan terlalu berbahaya seperti sekarang, namun kondisi yang basah benar-benar membuat segalanya jadi berbeda. Di beberapa tempat, aku membayangkan akan terpaku karena tidak berani melangkah akibat terlalu curam dan sangat licin. Sudut kemiringannya bisa mencapai 50-60 derajat. Su benar-benar sangat membantuku dalam melalui jalan setapak yang gila-gilaan ini. Dia juga mengajariku, kalau ada bekas-bekas kotoran kerbau, sebaiknya itu yang diinjak, karena lebih tidak licin.
Medan yang kami lewati serasa tiada habisnya. Turun lagi dan lagi dan lagi. Ternyata baru hampir satu jam saja kami melewati medan yang berbahaya ini, namun rasanya sudah berjam-jam karena suasananya yang sangat menegangkan. Akhirnya kami semua tiba di sebuah air terjun, yang ternyata juga tidak bisa langsung diakses begitu saja, karena untuk mendekatinya harus menyeberang batu-batuang besar (yang mungkin licin) dengan jurang di sisi kirinya. Hanya beberapa yang berani saja yang menuju ke air terjun dan bermain air.
Kami semua sudah sangat lapar, haus, dan stress, terutama Clemente. Sepertinya dia lebih menderita daripada aku, karena selain kelelahan dia juga kelaparan. Setengahnya Clemente agak marah kepada Su, karena sudah jam 3 siang namun belum ada makan siang. Sekerat roti tidaklah cukup untuk perjalanan ini, dan itu bukan makan siang, katanya. Seperti telah kuceritakan sebelumnya, Clemente pernah mengalami kecelakaan saat bermain ski, karenanya dia memiliki masalah dengan kaki (terutama lutut) dan punggungnya. Aku bisa melihat kondisi Clemente benar-benar sudah drop secara fisik dan mental.
Karena mengejar waktu, kami tidak berlama-lama di area air terjun, dan kembali melanjutkan berjalan, yang ternyata rutenya masih sama, bahkan lebih berbahaya lagi dibandingkan sebelumnya. Duh!
Sama seperti sebelumnya, Su menggandengku di area-area yang sulit atau licin. Kali ini kami berjalan hanya sekitar 10-15 menit saja, namun benar-benar menguras energi, pikiran, dan emosi. Di titik terakhir sebelum tiba di tempat yang datar, kami harus turun sangat curam, dan kalau jatuh bisa runyam karena sekelilingnya tidak ada pagar dan langsung ke ngarai. Untung kami semua bisa melewatinya, walaupun kebanyakan dibantu oleh Su.
Setelah itu barulah kami berjalan di lintasan yang lebih manusiawi, dan rasanya legaaaaaa sekali sudah melewati medan yang berbahaya tadi. Kata Su, kami akan makan di sebuah desa di dekat sini. Kami semua sudah berharap akan segera makan, namun walaupun banyak rumah-rumah makan yang dilewati, Su mengatakan masih jalan lagi.
Setelah menyeberangi jembatan, kami berjalan lagi dan lagi dan lagi, kali ini medannya naik dan kadang agak curam, namun jalan setapaknya bukan lagi tanah liat, namun beton dan tidak licin. Bagiku, Freyja dan Clemente, medan seperti ini jauh lebih menyenangkan daripada sebelumnya. Hanya suami yang kembali terengah-engah karena harus kembali menanjak.
Setelah berulang kali mengomel dan menanyakan di mana tempat makannya, baru sekitar jam 3.30 sore kami tiba di sebuah rumah makan yang cukup ramai. Kami semua memesan menu sesuai selera masing-masing. Menunya kurang lebih sama, antara nasi goreng, mie goreng, atau mie kuah. Kebanyakan memesan mie goreng dan nasi goreng, karena mie kuah di sini memang biasanya hanya mie instan. Lama sekali rasanya menunggu makanan siap dihidangkan, baru lewat jam 4 sore semuanya siap dihidangkan.
Sembari menunggu, aku memperhatikan dua orang gadis yang tadi sempat berhenti bersama kami sebelumnya. Mereka memesan nasi goreng, namun setelah dimakan 1-2 sendok, mereka meninggalkannya begitu saja. Aku tidak suka dengan orang-orang yang tidak menghargai makanan seperti mereka ini. Kalau memang tidak kuat makan banyak setidaknya bisa memesan satu porsi untuk berdua agar tidak banyak yang disia-siakan.
Sementara itu Clemente akhirnya membeli sebuah dompet khas buatan suku Hmong dari perempuan yang membantunya tadi, karena merasa berhutang budi. Kalau tidak salah, sebuah dompet dihargai VND 100K. Walaupun sebetulnya mahal, namun aku mengingatkan bahwa jasa perempuan tadi melebihi nilai uang VND 100K tersebut, dan Clemente sependapat denganku. Sementara Barbora si gadis Czech mengatakan bahwa sebelumnya dia sudah membeli dompet semacam itu seharga VND 200K hahahaha...
Kami juga didatangi oleh anak-anak perempuan kecil yang menjual berbagai macam aksesoris. Mereka menawarkan gelang seperti yang sudah pernah kami beli di kota Sa Pa seharga VND 5K untuk dua buah. Karena kasihan, akhirnya kami membeli dua buah gelang.
Setelah makanan datang, kami makan dengan lahap. Untuk minuman, suami mengambil sebotol minuman jeruk dari lemari pendingin, dan saat membayar dia titip kepada Su untuk membayarkan. Ternyata harganya jadi lebih murah kalau Su yang membayar. Minuman yang seharusnya VND 20K untuk turis, menjadi VND 10K saja untuk penduduk lokal hehehehe...
Setelah kenyang dan kembali bersemangat, sekitar jam 4.30 sore kami melanjutkan sesi terakhir perjalanan untuk kembali ke rumah Mama Sa. Ternyata rumah makan ini sudah sangat dekat dengan rumah Mama Sa, hanya sekitar 15 menit berjalan dan kami sudah sampai. Senang sekali rasanya bisa benar-benar beristirahat.
Yang kurang menyenangkan, ternyata sudah banyak tamu baru lagi di rumah Mama Sa, dan kebanyakan (sepertinya) mereka kurang ramah. Kami hanya bertegur sapa seadanya, kemudian aku dibantu oleh Freyja mengisi kantung-kantung air dan botol-botol minum kami dengan memfilter air dari kran. Saat itulah ada dua orang pemuda tamu baru Mama Sa yang mendekati kami dan bertanya-tanya mengenai sistem kerja filter air yang kubawa tersebut, dan sepertinya mereka tertarik.
Usai memenuhi semua tempat air, aku mandi dengan air hangat, dan kemudian duduk-duduk di teras rumah Mama Sa untuk mengobrol. Dari tamu-tamu baru Mama Sa yang berjumlah 7 orang, ada pasangan muda dari USA, dan sisanya dari Perancis, walaupun kedua pemuda yang mendatangiku tadi baru mulai bekerja di Hanoi dan sekarang sedang liburan. Ternyata pada umumnya mereka cukup menyenangkan, terutama kedua pemuda tadi, sementara sepasang anak muda dari USA tadi kurang mau membaur dan lebih banyak menyendiri dan sibuk dengan HP mereka.
Baru sekitar jam 7.30 malam makan malam siap dihidangkan. Mama Sa dan keluarganya juga turut makan bersama kami. Karena jumlah orangnya banyak, kami dibagi menjadi dua meja dan makan di ruangan besar di depan kamar-kamar kami. Makan malam kali ini pun tidak kalah mewah dengan kemarinnya. Menunya antara lain: tumis kangkung, tumis kecambah, tumis buncis, lumpia goreng, kentang goreng, kentang masak kecap, babi panggang, dan ayam masak nanas. Tidak ketinggalan nasi putih sebaskom besar yang tidak muat diletakkan di atas meja. Khusus untukku, Su membawakan sebotol sambal yang katanya pedas sekali (namun ternyata tidak cukup pedas untuk ukuran lidahku hahahaha).
Kami semua makan dengan lahap hingga kekenyangan, dan setelah itu masih mengobrol hingga sekitar jam 8.30 malam. Karena sudah sangat lelah, kami berdua ingin mencoba langsung tidur agar besok tidak terlalu lelah apabila harus berjalan kaki lagi.
Kami berdua berpamitan sementara yang lain masih ramai mengobrol di luar kamar. Sejujurnya aku dan suami sangat terganggu, tapi tidak berani menegur karena memang belum terlalu malam. Aku memutuskan untuk minum antimo, namun hingga sekitar jam 10 malam masih tetap terjaga. Sempat ke toilet untuk buang air kecil, dan aku minta kepada tamu-tamu lainnya agar tidak terlalu keras mengobrolnya. Kebanyakan di antara mereka memang agak mabuk karena minum happy water, karenanya tidak sadar apabila suaranya terlalu keras, sementara sekat pemisah antar ruangan hanyalah berupa kayu tipis, jadi bisa dibayangkan betapa jelasnya suara mereka terdengar.
Hari ini kami hanya berjalan sekitar 11-12 KM saja, namun dengan rute yang kami lalui hari ini, rasanya badan terasa jauh lebih lelah daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena terlalu lelah itulah kami malah jadi susah tidur walaupun awalnya sudah merasa mengantuk. Ditambah lagi sepanjang malam badanku terasa gatal-gatal. Aku sampai berpikir sepertinya banyak bed bugs di kasurnya, dan akibatnya jadi semakin tidak bisa tidur karena gelisah. Baru sebentar mengenakan selimut, rasanya kepanasan, sementara kalau selimut dilepas sebentar kemudian jadi kedinginan. Benar-benar salah satu malam yang paling tidak menyenangkan :(
To be continued.......
Udara di luar cukup dingin, dan aku bingung karena aku membutuhkan air panas untuk membuat kopi pagi ini. Tidak lama kemudian Mama Sa bangun dan dia malah menyuruhku tidur lagi karena di luar masih hujan. Aku berkata bahwa aku sudah terbiasa bangun pagi, jadi tidak mungkin tidur lagi. Aku bertanya apakah aku bisa minta air panas, dan kemudian Su sepertinya masak air di dapur, sementara Mama Sa menyalakan lampu untuk penerangan di luar karena hari masih cukup gelap.
Aku duduk-duduk di luar sambil menikmati hujan dan pemandangan pegunungan yang indah di depan mata. Lama sekali rasanya Su masak air, sampai suami bangun jam 6 pagi masih juga air panas belum siap. Baru setelah itu Su keluar dari dapur dan membawakan setermos besar air panas. Ah, ternyata dia masak air banyak sekali, tidak heran kalau butuh waktu lama. Aku dan suami duduk-duduk dan mengobrol sambil menikmati kopi yang kami buat sendiri dari kopi instan yang kami bawa.
Setelah itu aku dan suami berjalan-jalan di area rumah Mama Sa, menikmati pemandangan, dan kemudian menemukan kandang babi agak jauh dari rumah. Ada dua buah kandang babi, yang satu berisi seekor induk babi dengan 3 anaknya, yang satunya lagi berisi seekor induk babi dengan 4 ekor anaknya. Sebetulnya kasihan juga melihat babi-babi tersebut berada di dalam kandang, tapi mungkin saja mereka akan kabur kalau tidak dimasukkan ke dalam kandang ya...
Setelah itu aku memutuskan untuk mandi dulu agar nanti tidak harus antri. Jadi aku menyalakan dulu saklar air panasnya, dan 10 menit kemudian aku mandi dengan air hangat. Wah, segar sekali rasanya.
Suami mandi setelah aku selesai mandi, sementara sekitar jam 7 pagi Clemente sudah keluar dari kamar. Katanya, dia sudah terbiasa bangun pagi karena biasanya dia harus bekerja. Jarang sekali aku melihat orang bule yang biasa bangun pagi seperti ini hehehehe...
Setelah itu suami mengobrol dengan Clemente, dan aku berpamitan untuk jalan-jalan sejenak di sekitar area ini. Aku menyusuri jalan setapak, keluar dari lingkungan rumah Mama Sa, melewati jalan belakang sebuah sekolah, menyusuri jalan, dan tiba di sebuah jalan kecil beraspal. Ternyata ada beberapa warung yang menjual sayur-mayur dan barang-barang kebutuhan sehari-hari di sepanjang jalan ini. Sayang aku tidak membawa HP, jadi tidak bisa memotret, namun kusempatkan membeli sebongkah roti seharga VND 7K untuk sarapan suami. Aku juga melihat ada sungai yang indah nun di bawah sana, namun karena sendirian aku tidak berani menjelajah terlalu lama. Setelah cukup jauh berjalan, aku berjalan pulang kembali ke rumah Mama Sa.
Baru sekitar jam 9 pagi sarapan dihidangkan. Menunya antara lain omelette, pancake, dan buah-buahan (nanas, pisang, apel, dan semangka). Kami juga boleh memesan teh atau kopi. Walaupun sederhana, namun sarapannya cukup berlimpah hingga kami semua merasa sangat kenyang. Sementara itu hujan masih turun walaupun sudah tidak terlalu deras.
Sekitar jam 10 pagi saat cuaca sudah membaik walaupun masih agak gerimis, Su bertanya apabila kami mau berangkat trekking sekarang, dan kami semua mengiyakan. Seperti kata Mama Sa kemarin, Su mengatakan bahwa kami akan diajak ke air terjun "di dekat sini".
Aku hanya membawa barang-barang yang diperlukan saja, seperti air minum, pashmina, dan jaket. Setelah semuanya siap, kami berenam berangkat dengan Su dan Pang sebagai guide kami. Karena ukuran backpackku yang terlalu besar, Su meminjamkan miliknya yang lebih kecil kepadaku.
Kami berjalan turun menyusuri jalan setapak yang sudah kulewati pagi tadi, namun agak sedikit berbeda karena lebih memutar. Sampai di jalan beraspal, kami terus menyusuri jalan. Su dan Pang mengajak mampir di sebuah toko yang menjual berbagai macam makanan, sayuran, dan bermacam barang kebutuhan sehari-hari, sepertinya hendak belanja sesuatu. Setelah melihat-lihat, suami membeli permen Xylitol seharga VND 5K.
Dari sini kami terus berjalan menuruni bukit lewat jalan tanah beraspal yang basah dan agak becek di beberapa tempat. Pemandangan sekitar terlihat indah walaupun masih berkabut cukup tebal karena dingin. Sawah-sawah terasering menghiasi seluruh perbukitan sejauh mata memandang.
Setelah itu jalan mulai mendaki, masih menyusuri jalan aspal kecil di antara sawah-sawah, Kami sempat berhenti di sebuah viewpoint untuk memotret, dan setelah itu kembali berjalan. Kami sempat melihat sebuah air terjun kecil tepat di tepi jalan, hingga air genangannya meluber ke tengah jalan. Setelah terus berjalan dan kemudian menyeberangi sebuah jembatan gantung, sekitar jam 11.25 siang kami tiba di sebuah desa yang cukup ramai, yaitu desa Ta Van. Sebelum ini aku sering mendengar nama desa ini disebut-sebut karena menjadi salah satu desa pusat trekking, namun sekaligus juga ramai dan touristy.
Banyak toko yang menjual souvenir hasil kerajinan masyarakat setempat, tempat-tempat makan, namun yang paling banyak dijumpai adalah homestay Suasananya terasa jauh lebih ramai daripada desa tempat rumah Mama Sa berada. Banyak turis western yang sedang berjalan kesana-kemari, kebanyakan sepertinya hendak trekking juga. Setelah itu aku memperhatikan bahwa ada dua perempuan suku Hmong yang selalu mengikuti kami, dengan harapan bisa menjajakan souvenir kepada kami.
Gerimis turun, dan rute jalan menanjak dan terus menanjak. Karena aku berjalan paling cepat, aku bisa berhenti untuk memotret di spot-spot yang bagus sembari menunggu yang lain. Suami juga menyusul setelahku, dan sampai di sebuah persimpangan jalan, kami menunggu karena tidak tahu akan menuju ke mana. Setelah agak lama menunggu Su dan yang lainnya, ternyata kami diarahkan menuju ke sebuah jalan setapak dari tanah liat berbatu-batu yang sempit dan sepertinya licin karena basah.
Karena jalannya memang agak licin, suami membimbingku agar tidak terpeleset hingga jalannya sudah tidak terlalu curam turunnya. Setelah itu jalannya kadang naik dan kadang turun, melalui beberapa rumah penduduk yang bisa dibilang terpencil.
Sekitar jam 1 siang, kami tiba di sebuah jalan setapak dari tanah liat yang walaupun cukup lebar namun menanjak curam dan licin karena basah. Di beberapa tempat tanjakannya sangat curam sehingga sebetulnya agak berbahaya karena tidak ada pengaman sama sekali di kanan maupun kiri jalan. Kami semua menapakkan kaki dengan hati-hati agar tidak sampai terpeleset, hingga akhirnya mencapai ujung jalan setapak tersebut dan tiba di sebuah dusun dengan beberapa buah rumah sederhana.
Setelah berjalan lagi sedikit, sampailah kami di sebuah viewpoint yang sangat indah dengan pemandangan sawah terasering yang sangat unik berlatar belakang pegunungan dan awan putih. Di tempat ini juga ada semacam gubuk kecil tempat istirahat. Aku memanfaatkan kesempatan istirahat ini untuk memotret suasana sekitar yang sangat indah. Kami juga beberapa kali berfoto bersama dengan Su dan yang lainnya.
Belum lagi selesai berfoto, kabut turun dan menutupi pandangan di sekitar, dan tidak lama kemudian hujan juga turun, jadi Su menyarankan kami untuk duduk sebentar sembari menunggu hujan reda.
Ternyata di awal perjalanan tadi Su dan Pang membeli roti dan susu kental manis kemasan sachet, dan sekarang roti dan susu kental manis tersebut dibagi-bagikannya kepada kami berenam. Selain kami berenam, ada dua orang gadis bule yang tidak termasuk dalam kelompok kami. Mereka berjalan sendiri tanpa guide. Karena aku tidak makan roti, jatah rotiku dibagikan juga untuk mereka yang sebenarnya tidak bersama kami itu.
Setelah hujan agak mereda, keempat gadis tersebut lebih dulu berjalan, dan tidak lama kemudian kelompok kami juga mulai berjalan lagi. Baru berjalan sebentar, lagi-lagi kami harus melewati jalan setapak tanah liat, yang kali ini benar-benar curam dan sangat licin. Tanah liatnya sangat lembek, dan tampak lumut di beberapa tempat, hingga saat mendekati puncaknya Su harus menunjukkan di mana kaki kami harus menapak karena memang sekali salah langkah bisa terpeleset. Aku saja sampai harus dibantu oleh Su menapakkan beberapa langkah terakhir yang sangat curam dan licin.
Sampai di puncaknya, kami masih harus turun dengan medan yang sama, licin dan curam. Kedua tanganku benar-benar kumanfaatkan untuk mengendalikan trekking poles yang kubawa agar tidak sampai terpeleset. Bisa dibilang medan ini cukup menegangkan bagi kami semua. Setelah sampai di tanah berumput dan agak datar barulah terpikir olehku untuk memotret rute yang baru saja kami lalui hehehehe...
Kami beristirahat sejenak sambil memotret suasana sekitar, dan beberapa menit kemudian kembali berjalan. Sepertinya kami sudah melewati puncak bukit, karenanya kali ini jalan setapaknya agak menurun. Su dan Pang beberapa kali menerobos semak-semak dan mengambil semacam buah beri liar dari pepohonan. Rasa buahnya manis agak asam. Jalan setapaknya sangat kecil, agak licin, dan di sisi kanan kami adalah jurang. Aku sedikit merinding saat melaluinya hingga harus berpegangan pada suami.
Setelah berjalan selama sekitar 10 menit di medan yang cukup menyeramkan ini, kami tiba di sebuah padang rumput yang datar dan luas. Ternyata kami berada di sebuah viewpoint lain, dan di kejauhan rumah Mama Sa bisa terlihat dari tempat ini. Pemandangannya indah, sayangnya seringkali kabut menutupi pandangan. Kami semua beristirahat di tempat ini sembari memotret. Aku berpikir bahwa kami tinggal berjalan turun saja setelah ini, jadi harapanku medan yang akan kami tempuh selanjutnya akan lebih ringan.
Ternyata aku salah...
Keluar dari padang rumput ini, kami langsung menuju ke jalan setapak yang (lagi-lagi) licin, agak curam, dan sempit, dengan jurang di satu sisi, sementara jalan setapaknya sendiri miring ke arah jurang. Suami memegang satu trekking poleku dan satu tangan yang lain menggandengku, karena aku sadar bahwa aku sangat lemah di medan seperti ini. Walaupun sudah digandeng pun, kadang aku masih terpeleset walaupun tidak sampai jatuh. Peluh membasahi wajah dan tubuhku, bukan karena panas namun lebih karena perasaan tegang. Bahkan Clemente dan Freyja pun berjalan dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati dengan masing-masing membawa dua buah trekking poles. Aku menyaksikan beberapa kali Clemente juga terpeleset, dan akhirnya dia menerima bantuan dari salah satu perempuan Hmong yang semenjak tadi mengikuti kami. Perempuan tersebut kemudian menggandeng Clemente dan membimbingnya untuk melangkah setapak demi setapak.
Aku yakin tanpa bantuan suami, aku sudah berkali-kali terpeleset dan terjatuh. Di beberapa tempat medannya sangat curam dan licin, dan akhirnya aku terpeleset dan jatuh. Saat Su melihatku jatuh, dia segera berlari kembali menghampiriku, minta maaf, dan kemudian setelah itu aku digandeng oleh Su.
Saat digandeng suami, karena aku kuatir terpeleset dan sekaligus mengkuatirkan suami juga mungkin terpeleset karena harus menggandengku, langkahku jadi semakin ragu-ragu, namun saat Su menggandengku, aku percaya bahwa dia sudah hapal medan dan yakin dia akan baik-baik saja, jadi aku bisa melangkah lebih ringan. Selain itu suami juga jadi lebih leluasa karena bisa menggunakan kedua tangannya untuk keseimbangan.
Kalau aku boleh berkomentar, medan trekking yang kami lalui kali ini adalah medan terberat dan paling bahaya yang pernah aku lewati seumur hidupku!
Andai saja hujan tidak turun sebelumnya, mungkin tidak akan terlalu berbahaya seperti sekarang, namun kondisi yang basah benar-benar membuat segalanya jadi berbeda. Di beberapa tempat, aku membayangkan akan terpaku karena tidak berani melangkah akibat terlalu curam dan sangat licin. Sudut kemiringannya bisa mencapai 50-60 derajat. Su benar-benar sangat membantuku dalam melalui jalan setapak yang gila-gilaan ini. Dia juga mengajariku, kalau ada bekas-bekas kotoran kerbau, sebaiknya itu yang diinjak, karena lebih tidak licin.
Medan yang kami lewati serasa tiada habisnya. Turun lagi dan lagi dan lagi. Ternyata baru hampir satu jam saja kami melewati medan yang berbahaya ini, namun rasanya sudah berjam-jam karena suasananya yang sangat menegangkan. Akhirnya kami semua tiba di sebuah air terjun, yang ternyata juga tidak bisa langsung diakses begitu saja, karena untuk mendekatinya harus menyeberang batu-batuang besar (yang mungkin licin) dengan jurang di sisi kirinya. Hanya beberapa yang berani saja yang menuju ke air terjun dan bermain air.
Kami semua sudah sangat lapar, haus, dan stress, terutama Clemente. Sepertinya dia lebih menderita daripada aku, karena selain kelelahan dia juga kelaparan. Setengahnya Clemente agak marah kepada Su, karena sudah jam 3 siang namun belum ada makan siang. Sekerat roti tidaklah cukup untuk perjalanan ini, dan itu bukan makan siang, katanya. Seperti telah kuceritakan sebelumnya, Clemente pernah mengalami kecelakaan saat bermain ski, karenanya dia memiliki masalah dengan kaki (terutama lutut) dan punggungnya. Aku bisa melihat kondisi Clemente benar-benar sudah drop secara fisik dan mental.
Karena mengejar waktu, kami tidak berlama-lama di area air terjun, dan kembali melanjutkan berjalan, yang ternyata rutenya masih sama, bahkan lebih berbahaya lagi dibandingkan sebelumnya. Duh!
Sama seperti sebelumnya, Su menggandengku di area-area yang sulit atau licin. Kali ini kami berjalan hanya sekitar 10-15 menit saja, namun benar-benar menguras energi, pikiran, dan emosi. Di titik terakhir sebelum tiba di tempat yang datar, kami harus turun sangat curam, dan kalau jatuh bisa runyam karena sekelilingnya tidak ada pagar dan langsung ke ngarai. Untung kami semua bisa melewatinya, walaupun kebanyakan dibantu oleh Su.
Setelah itu barulah kami berjalan di lintasan yang lebih manusiawi, dan rasanya legaaaaaa sekali sudah melewati medan yang berbahaya tadi. Kata Su, kami akan makan di sebuah desa di dekat sini. Kami semua sudah berharap akan segera makan, namun walaupun banyak rumah-rumah makan yang dilewati, Su mengatakan masih jalan lagi.
Setelah menyeberangi jembatan, kami berjalan lagi dan lagi dan lagi, kali ini medannya naik dan kadang agak curam, namun jalan setapaknya bukan lagi tanah liat, namun beton dan tidak licin. Bagiku, Freyja dan Clemente, medan seperti ini jauh lebih menyenangkan daripada sebelumnya. Hanya suami yang kembali terengah-engah karena harus kembali menanjak.
Setelah berulang kali mengomel dan menanyakan di mana tempat makannya, baru sekitar jam 3.30 sore kami tiba di sebuah rumah makan yang cukup ramai. Kami semua memesan menu sesuai selera masing-masing. Menunya kurang lebih sama, antara nasi goreng, mie goreng, atau mie kuah. Kebanyakan memesan mie goreng dan nasi goreng, karena mie kuah di sini memang biasanya hanya mie instan. Lama sekali rasanya menunggu makanan siap dihidangkan, baru lewat jam 4 sore semuanya siap dihidangkan.
Sembari menunggu, aku memperhatikan dua orang gadis yang tadi sempat berhenti bersama kami sebelumnya. Mereka memesan nasi goreng, namun setelah dimakan 1-2 sendok, mereka meninggalkannya begitu saja. Aku tidak suka dengan orang-orang yang tidak menghargai makanan seperti mereka ini. Kalau memang tidak kuat makan banyak setidaknya bisa memesan satu porsi untuk berdua agar tidak banyak yang disia-siakan.
Sementara itu Clemente akhirnya membeli sebuah dompet khas buatan suku Hmong dari perempuan yang membantunya tadi, karena merasa berhutang budi. Kalau tidak salah, sebuah dompet dihargai VND 100K. Walaupun sebetulnya mahal, namun aku mengingatkan bahwa jasa perempuan tadi melebihi nilai uang VND 100K tersebut, dan Clemente sependapat denganku. Sementara Barbora si gadis Czech mengatakan bahwa sebelumnya dia sudah membeli dompet semacam itu seharga VND 200K hahahaha...
Kami juga didatangi oleh anak-anak perempuan kecil yang menjual berbagai macam aksesoris. Mereka menawarkan gelang seperti yang sudah pernah kami beli di kota Sa Pa seharga VND 5K untuk dua buah. Karena kasihan, akhirnya kami membeli dua buah gelang.
Setelah makanan datang, kami makan dengan lahap. Untuk minuman, suami mengambil sebotol minuman jeruk dari lemari pendingin, dan saat membayar dia titip kepada Su untuk membayarkan. Ternyata harganya jadi lebih murah kalau Su yang membayar. Minuman yang seharusnya VND 20K untuk turis, menjadi VND 10K saja untuk penduduk lokal hehehehe...
Setelah kenyang dan kembali bersemangat, sekitar jam 4.30 sore kami melanjutkan sesi terakhir perjalanan untuk kembali ke rumah Mama Sa. Ternyata rumah makan ini sudah sangat dekat dengan rumah Mama Sa, hanya sekitar 15 menit berjalan dan kami sudah sampai. Senang sekali rasanya bisa benar-benar beristirahat.
Yang kurang menyenangkan, ternyata sudah banyak tamu baru lagi di rumah Mama Sa, dan kebanyakan (sepertinya) mereka kurang ramah. Kami hanya bertegur sapa seadanya, kemudian aku dibantu oleh Freyja mengisi kantung-kantung air dan botol-botol minum kami dengan memfilter air dari kran. Saat itulah ada dua orang pemuda tamu baru Mama Sa yang mendekati kami dan bertanya-tanya mengenai sistem kerja filter air yang kubawa tersebut, dan sepertinya mereka tertarik.
Usai memenuhi semua tempat air, aku mandi dengan air hangat, dan kemudian duduk-duduk di teras rumah Mama Sa untuk mengobrol. Dari tamu-tamu baru Mama Sa yang berjumlah 7 orang, ada pasangan muda dari USA, dan sisanya dari Perancis, walaupun kedua pemuda yang mendatangiku tadi baru mulai bekerja di Hanoi dan sekarang sedang liburan. Ternyata pada umumnya mereka cukup menyenangkan, terutama kedua pemuda tadi, sementara sepasang anak muda dari USA tadi kurang mau membaur dan lebih banyak menyendiri dan sibuk dengan HP mereka.
Baru sekitar jam 7.30 malam makan malam siap dihidangkan. Mama Sa dan keluarganya juga turut makan bersama kami. Karena jumlah orangnya banyak, kami dibagi menjadi dua meja dan makan di ruangan besar di depan kamar-kamar kami. Makan malam kali ini pun tidak kalah mewah dengan kemarinnya. Menunya antara lain: tumis kangkung, tumis kecambah, tumis buncis, lumpia goreng, kentang goreng, kentang masak kecap, babi panggang, dan ayam masak nanas. Tidak ketinggalan nasi putih sebaskom besar yang tidak muat diletakkan di atas meja. Khusus untukku, Su membawakan sebotol sambal yang katanya pedas sekali (namun ternyata tidak cukup pedas untuk ukuran lidahku hahahaha).
Kami semua makan dengan lahap hingga kekenyangan, dan setelah itu masih mengobrol hingga sekitar jam 8.30 malam. Karena sudah sangat lelah, kami berdua ingin mencoba langsung tidur agar besok tidak terlalu lelah apabila harus berjalan kaki lagi.
Kami berdua berpamitan sementara yang lain masih ramai mengobrol di luar kamar. Sejujurnya aku dan suami sangat terganggu, tapi tidak berani menegur karena memang belum terlalu malam. Aku memutuskan untuk minum antimo, namun hingga sekitar jam 10 malam masih tetap terjaga. Sempat ke toilet untuk buang air kecil, dan aku minta kepada tamu-tamu lainnya agar tidak terlalu keras mengobrolnya. Kebanyakan di antara mereka memang agak mabuk karena minum happy water, karenanya tidak sadar apabila suaranya terlalu keras, sementara sekat pemisah antar ruangan hanyalah berupa kayu tipis, jadi bisa dibayangkan betapa jelasnya suara mereka terdengar.
Hari ini kami hanya berjalan sekitar 11-12 KM saja, namun dengan rute yang kami lalui hari ini, rasanya badan terasa jauh lebih lelah daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena terlalu lelah itulah kami malah jadi susah tidur walaupun awalnya sudah merasa mengantuk. Ditambah lagi sepanjang malam badanku terasa gatal-gatal. Aku sampai berpikir sepertinya banyak bed bugs di kasurnya, dan akibatnya jadi semakin tidak bisa tidur karena gelisah. Baru sebentar mengenakan selimut, rasanya kepanasan, sementara kalau selimut dilepas sebentar kemudian jadi kedinginan. Benar-benar salah satu malam yang paling tidak menyenangkan :(
To be continued.......
No comments:
Post a Comment