28 April 2018
Hari ini aku bangun jam 5.15 pagi, karena masih banyak hal yang harus kukerjakan dulu sebelum kami pergi nanti. Laptop tidak akan kubawa trekking, jadi usai rutinitas pagi hari seperti biasanya, aku mengerjakan pembukuan terlebih dahulu agar pekerjaan tidak menumpuk sepulang trekking nanti. Setelah itu aku masih membereskan dan mengecek barang-barang kami agar tidak ada yang tertinggal. Dengan adanya beberapa macam snack dan timun serta tomat yang ada, total berat backpackku menjadi 11 kg, sementara backpack suami 8 kg. Lumayanlah, setidaknya aku berharap beratnya akan berkurang apabila makanannya habis. Dua buah kantung plastik hitam yang akan ditinggal pun tidak kalah berat karena berisi berbagai macam barang yang sepertinya tidak akan diperlukan, mulai dari laptop, sleeping bag, pakaian, hingga peralatan masak dan makan.
Suami sarapan donat yang kemarin dibelinya dengan secangkir kopi seperti biasa. Setelah itu kami bergantian mandi, dan jam 8.30 pagi kami sudah siap. Sekitar jam 8.45 pagi, kami check-out dari Asiana Sapa Hotel, tidak lupa mengambil kembali paspor kami, dan berjalan kaki menuju ke pusat kota.
Sampai di depan Katedral, kami belum melihat Freyja dan Clemente maupun Mama Sa. Suasana di sekitar alun-alun pun masih terlihat agak sepi, hanya di halaman luar Katedral saja yang tampak ramai turis, bahkan ada serombongan turis lokal yang sedang berfoto bersama dengan bangunan Katedral sebagai latar belakangnya.
Baru sekitar jam 9.10 pagi, Freyja, Clemente dan Mama Sa datang di saat yang hampir bersamaan. Mama Sa segera mengajak kami menyeberang jalan, dan kemudian kami disuruh masuk ke sebuah mobil kecil unik, mirip seperti mobil golf atau bajaj. Setelah kami semua masuk ke dalamnya, mobil segera berangkat disopiri oleh seorang laki-laki yang mengenakan masker. Kami berkendara selama beberapa menit, hingga sampai di Anh Nhi Restaurant, Fast Food & Hotel di Lurong Dinh Cua, yang lokasinya sangat dekat dengan terminal bus dan Sa Pa Market.
Tadinya kami bingung untuk apa kami dibawa ke tempat ini, tapi ternyata inilah tempat teman Mama Sa di mana kami bisa menitipkan barang-barang kami. Kami memastikan kantung plastik kami sudah diikat dengan erat, kemudian meletakkannya di tempat yang disediakan. Berhubung ada toilet yang bersih, sekalian saja aku menumpang ke toilet terlebih dahulu. Ternyata Freyja dan Clemente belum membawa bekal air minum, jadi aku membagikan air minum di dalam camelbackku untuk dituangkan ke dalam botol mereka yang kosong.
Mama Sa mengatakan bahwa kami tidak perlu membawa barang apa pun, karena beliau akan membawakan semua backpack kami selama trekking hari pertama ini dengan sepeda motor menuju ke rumahnya. Namun aku bersikeras untuk membawa sendiri backpackku walaupun agak berat, karena di dalamnya ada beberapa barang yang pasti akan kubutuhkan selama di perjalanan, seperti air minum, snack, dan mungkin juga tissue basah, pashmina atau jaket apabila udaranya dingin nanti. Barang-barang kecil dan sepele namun bisa jadi penting dan sangat berguna pada saat dibutuhkan. Justru ransel kecilku yang biasa kubawa untuk perjalanan pendek, kali ini tidak kubawa. Mama Sa akhirnya menyerah dengan kegigihanku mempertahakan membawa sendiri backpackku, dan akhirnya suami juga jadi ikut membawa backpacknya sendiri, tidak dititipkan ke Mama Sa. Kata Mama Sa, aku perempuan yang kuat hehehehe...
Setelah itu kami dikenalkan kepada Pang, seorang gadis berwajah manis yang tampak masih sangat muda. Kata Mama Sa, Pang adalah putrinya. Dalam hati sebetulnya kami bertanya-tanya, karena katanya Mama Sa hanya memiliki 4 orang putra, tapi kok ternyata ada anak perempuan juga. Namun kami belum berani bertanya-tanya kepadanya. Mama Sa hanya berkata bahwa putrinya inilah yang akan menjadi trekking guide kami hari ini, dan beliau berpamitan karena ada janji dengan orang lain juga.
Sekitar jam 9.45 pagi, kami mulai berjalan keluar dari tempat ini, melewati terminal dan pasar, hingga kemudian masuk ke sebuah jalan setapak kecil dari tanah liat dan bebatuan kasar. Jalannya menanjak dan cukup curam. Rasanya baru beberapa menit saja peluh sudah mulai bercucuran dengan cukup deras. Dinginnya udara Sa Pa sampai tidak terasa. Karena suami tertinggal agak jauh di belakang, aku menggunakan kesempatan ini untuk berselfie bersama Freyja dan Clemente sambil menunggu hehehehe...
Setelah sekitar 15 menit mendaki, kami tiba di sebuah tempat yang tidak tertutup pepohonan, dan dari sini bisa terlihat perbukitan di depan mata kami dan sebagian kota Sa Pa. Ternyata posisi kami sudah cukup tinggi juga. Setelah itu jalan setapak masih menanjak terus, bahkan jalannya semakin sempit walaupun masih relatif aman.
Sekitar jam 10.30 pagi, kami sampai di sebuah tempat yang agak terbuka dan seharusnya bisa melihat view kota dengan lebih jelas, namun saat itu kabut tebal meliputi udara di sekeliling kami hingga nyaris tidak tampak apa pun. Bagi kami berempat, kabut tebal tidak mengurangi indahnya pemandangan, bahkan kami sibuk mengambil foto dan video di spot ini hahahaha... Kami juga memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat selama beberapa menit, dan setelah itu kembali melanjutkan berjalan menyusuri jalan setapak dari tanah liat yang masih saja sempit dan menanjak.
Beberapa menit kemudian kami melewati beberapa rumah penduduk. Jalan setapak menjadi relatif tidak terlalu menanjak, lebih lebar, namun sangat becek di beberapa bagian. Kami juga bertemu dengan anak-anak lokal dan menyapa mereka dengan bahasa daerah setempat, yang ternyata berbeda dengan bahasa Vietnam yang kami ketahui.
Dari sini, trek yang kami lalui bisa dibilang naik turun, terkadang berupa bebatuan, namun lebih sering tanah liat yang padat. Pemandangan benar-benar indah. Ada tebing batu yang menjulang tinggi dengan motif warna hitam putih, ada beberapa ekor anak babi dan seekor anak anjing yang sedang berkeliaran dengan bebas, dan jalan setapak tidak lagi berupa tanah liat.
Sekitar jam 11.10 siang, kami memutuskan untuk berhenti sejenak untuk istirahat. Ternyata makanan yang kubawa di dalam backpack menjadi sangat bermanfaat. Freyja dan Clemente sudah merasa agak lapar, dan mereka senang sekali ketika mengetahui aku memiliki potongan-potongan tomat dan timun. Pang yang sejak awal membawa tas plastik, juga membagikan isi tasnya yang ternyata adalah tebu. Freyja dan Clemente baru sekali ini makan tebu. Suami juga sempat makan tebu untuk menambah energi, sementara aku memilih makan timun saja karena tidak terlalu suka makanan yang manis.
Setelah beristirahat sekitar 20 menit, kami kembali melanjutkan berjalan kaki dengan rute yang kembali naik turun, melintasi perbukitan dan melewati beberapa rumah penduduk yang tinggal di daerah ini. Pemandangannya sangat alami dan menyejukkan, apalagi ditambah kabut yang masih menyelimuti beberapa tempat. Jalannya pun relatif sudah modern karena sudah diaspal walaupun masih kasar.
Sekitar jam 12 siang, kami tiba di Nha Hang Manh Dien Restaurant, dan ternyata di sinilah kami akan makan siang. Pada jam makan begini, suasananya sangat ramai, penuh dengan turis bule yang sedang trekking juga. Aku berusaha mencari meja dan kursi yang kosong, dan saat ada beberapa kursi kosong di sebuah meja, ada seorang gadis bule yang melarang kami duduk di kursi tersebut. Katanya dia sedang menunggu temannya. Sebetulnya tidak masalah sih, namun nada dan cara bicaranya sangat kasar. Sepertinya karena aku berwajah Asia, dia memperlakukan aku seperti itu. Aku merasa kesal sekali, namun masih berusaha bersabar. Bahkan Freyja pun ikut mengomel melihat perlakuan gadis bule tersebut. Aku melihat ada semacam bale-bale yang kosong, dan aku mengajak yang lainnya untuk duduk di situ. Kami meletakkan trekking poles kami dan hendak duduk, ketika ada seorang ibu Hmong yang berkomentar bahwa backpack kami berdua besar sekali. Kami berdua tertawa dan menjawab bahwa kami orang-orang yang kuat hahahaha... Beliau pun tertawa sambil mengacungkan jempolnya.
Baru saja kami duduk, Pang memanggil kami berempat, sepertinya dia sudah mendapatkan meja untuk kami semua. Kami pun duduk bersama Pang, yang kemudian menjelaskan bahwa kami boleh pesan makanan apa saja yang ada di rumah makan ini, dan dia yang akan membayar untuk semuanya, namun untuk minuman kami harus membeli sendiri.
Suami memesan mie goreng babi, aku dan Clemente memesan nasi goreng babi, sementara Freyja memesan nasi goreng sayuran. Suami juga memesan segelas kopi, sementara Clemente membeli Coca Cola karena kehausan.
Aku sempat berjalan-jalan di luar restoran, melihat-lihat suasana sekitar, dan kemudian duduk kembali dan mengobrol bersama yang lain. Cukup lama juga makanan yang dipesan baru siap dihidangkan. Kasihan Freyja, walaupun memesan nasi goreng tanpa daging, tetap saja ada daging di atas nasinya. Namun dia tetap memakannya, karena sebetulnya Freyja mirip denganku, yang bisa makan apa saja, walaupun memlih sayur mayur dan buah-buahan jika memungkinkan.
Kami berlima makan dengan lahap karena sudah cukup lapar akibat energi yang dikeluarkan saat berjalan. Untuk rasa, sebetulnya biasa-biasa saja, namun lumayanlah untuk mengenyangkan perut yang keroncongan ini hehehehe...
Usai makan, tidak terasa kami sudah berada di restoran ini selama 1 jam. Setelah membayar minuman masing-masing (harga segelas kopi adalah VND 20K, dan Coca Cola VND 25K), kami kembali melanjutkan perjalanan. Kata Pang, jalannya akan naik dulu sedikit, dan setelah itu turun. Jalan setapak yang kami lalui relatif lebar dan nyaman, namun menanjaknya agak curam di awal. Melewati banyak rumah dan sawah maupun kebun para penduduk lokal, menyaksikan pemandangan perbukitan, membuat kami tetap semangat berjalan. Kami sempat lewat di sebuah rumah penduduk dengan beberapa ekor anjing Siberian Husky yang dimasukkan ke dalam kandang-kandang yang sangat sempit di luar rumah. Iba sekali melihat mereka, padahal mereka semua tampak jinak dan tidak berbahaya. Sempat juga bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main (lebih tepatnya menarik-narik) dengan seekor ular yang sepertinya baru saja ditangkapnya dan kemudian diikat dengan seutas tali. Kasihan melihat ular tersebut walaupun aku tidak suka ular.
Kami juga melihat beberapa mata air yang mengalir dari sela-sela bebatuan di sisi perbukitan ini.
Sekitar jam 1.45 siang, kami sampai di sebuah viewpoint di mana kita bisa melihat pemandangan sawah terasering di sekitar dan perbukitan di seberang beserta rumah-rumah penduduk di lembahnya. Indah sekali. Di tempat ini juga banyak trekker bule yang sedang istirahat dan foto-foto. Kami sendiri menghabiskan waktu sekitar 10 menit di tempat ini sembari beristirahat dan memotret pemandangan, dan setelah itu kembali melanjutkan perjalanan.
Jalan setapak masih naik turun-naik turun terus menerus. Kadangkala kami melihat beberapa papan petunjuk menuju ke homestay milik penduduk lokal. Ada Mama Su, Mama Susu, Mama Sumi, Mama Zee, Mama Lili, semua menggunakan nama "Mama" karena kebanyakan para guide ini memang mama-mama.
Kami juga melihat seorang anak kecil yang mengenakan sepasang sepatu boots dan membawa sebuah keranjang bambu berisi daun-daunan yang besar-besar, mungkin untuk makanan ternak. Anak laki-laki tersebut mungkin baru berusia sekitar 7-8 tahun. Kasihan sekali melihatnya. Aku sempat mengajaknya berfoto bersama walaupun tampaknya dia malu-malu.
Setelah itu jalan setapak masih agak naik turun, dengan pemandangan indah sejauh mata memandang. Tidak lama kemudian, sepertinya kami sudah berada di puncak, dengan pemandangan yang sangat indah. Setelah itu jalan setapak mulai turun, dan turun, dan turun, dan turun. Di beberapa spot turunannya cukup terjal, mungkin kemiringannya bisa mencapai 45-50 derajat. Walaupun aku bisa berjalan dengan cukup cepat dengan cara zig-zag agar tidak mudah terpeleset, namun jalan turun seperti ini membuat lututku cepat lelah. Freyja dan Clemente seringkali tertinggal agak jauh di belakang karena mereka harus sangat berhati-hati dalam melangkah.
Sepertinya selama sekitar 1 jam kami terus berjalan turun, namun di akhir-akhir sudah tidak terlalu curam lagi. Kadangkala di tempat-tempat yang indah kami berhenti sejenak untuk memotret sekaligus beristirahat 1-2 menit. Kami sempat melalui sebuah air terjun kecil yang indah. Sempat pula menyaksikan seekor induk babi yang sedang menyusui anak-anaknya, lucu sekali. Sekitar jam 3.05 siang, kami sudah mulai melewati banyak rumah. Pang sempat bertanya apakah kami mau jalan memutar ke rumahnya atau yang terdekat namun lebih terjal. Kami memilih yang terdekat, dan ternyata kami harus melewati pematang-pematang sawah yang licin, menyeberangi parit, dan melewati jalan setapak yang sangat kecil, hingga akhirnya kami bisa melihat rumah Mama Sa dari kejauhan.
Tepat jam 3.15 siang kami sampai di rumah Mama Sa. Kami disambut oleh seorang pemuda berwajah lucu dan ramah, dua ekor anjing, dan beberapa anak anjing. Sang pemuda bernama Su, dan dia adalah putra kedua Mama Sa. Su mempersilakan kami untuk duduk dan beristirahat di teras rumah di mana terdapat meja dan beberapa buah kursi panjang. Kami berempat duduk mengelilingi meja, sementara Su sepertinya sibuk mempersiapkan kamar. Lega sekali rasanya bisa duduk dan mengistirahatkan lutut yang sudah kelelahan ini.
Rumah Mama Sa terletak di lereng pegunungan, karenanya bisa melihat dengan jelas pegunungan di seberangnya. Tempat ini benar-benar indah. Rumahnya sendiri sangat sederhana, temboknya tidak diplester apalagi dicat. Kamar mandinya pun sederhana walaupun sudah menggunakan toilet duduk. Bisa dibilang kamar mandinya tidak terlalu bersih, namun masih bisa ditoleransi.
Karena badan kami berkeringat akibat berjalan kaki selama 6 jam terakhir, aku memutuskan untuk mandi dulu, karena katanya masih akan ada tamu-tamu lain lagi nanti, dan kamar mandinya hanya satu. Daripada harus mengantri, lebih baik mandi duluan, lagipula kalau terlalu malam udara pasti akan jadi lebih dingin, sementara aku mengira air di kamar mandi hanya ada air dingin (ternyata belakangan kami baru tahu bahwa air panasnya bisa diaktifkan, namun butuh waktu sekitar 10 menitan untuk memanaskan air di dalam water heater).
Usai mandi dan setelah kamar-kamar siap, Su meminta kami memilih kamar dari beberapa kamar yang ada. Setiap kamar bisa diisi dua orang saja, jadi aku dan suami beserta Freyja dan Clemente memilih dua buah kamar yang berada di lantai dasar. Sepertinya masih ada dua atau tiga kamar lagi di lantai atas, namun kami tidak naik untuk melihatnya.
Kamar yang kami tempati ini agak gelap, relatif sempit karena tidak ada ruang gerak yang cukup, dan kasurnya sangat keras. Kalau boleh jujur, sebetulnya sprei dan selimutnya bisa dibilang agak kotor dan sedikit bau apek hehehehe... tapi ya sudahlah.
Setelah meletakkan barang-barang sebisanya di dalam kamar dan melepaskan sepatu yang setengah harian ini dikenakan, kami berempat bersantai di bangku teras sambil mengobrol. Kebetulan sore ini sinar matahari muncul dari sela-sela awan dan menciptakan ROL (ray of light) yang indah difoto. Aku dan suami juga bermain-main dengan anak-anak anjing yang berkeliaran di sekitar kami.
Saat sedang melihat-lihat di sekitar rumah, suami menemukan adanya pohon ganja yang tumbuh liar di antara rerumputan samping rumah. Su mengklarifikasi bahwa itu adalah tanaman ganja, bahkan kemudian kami ditawari untuk merokok ganja yang sudah dikeringkan dengan bamboo bong yang dimilikinya. Bamboo bong ini sudah sering kami lihat selama berada di Vietnam, biasanya diletakkan di tempat-tempat umum seperti di rumah makan atau di taman, dan siapa saja boleh menggunakan bong tersebut, beserta tembakau yang biasanya sudah disediakan di dekatnya.
Hanya karena rasa ingin tahu, kami mencobanya. Dalam hati aku berpikir, mungkin dengan beberapa kali hisap bisa "high", namun ternyata rasanya tidak enak, tidak berefek, bahkan aku sempat terbatuk-batuk saat menghisap asapnya hahahaha... Menurut Clemente, ganja kering yang disediakan oleh Su ini tidak murni karena dicampur dengan batang pohonnya, tidak hanya dari daunnya saja seperti seharusnya. Yah, setidaknya jadi pengalaman hehehehe...
Karena tidak bisa berdiam diri saja, aku dan suami berjalan-jalan di sekitar rumah Mama Sa. Jaraknya dari rumah yang terdekat cukup jauh, jadi kami bisa jalan-jalan tanpa harus masuk ke area rumah orang lain. Kami melihat-lihat dan memotret suasana sekitar yang sangat indah sore ini.
Sekitar jam 5 sore, kami kembali duduk-duduk dan mengobrol bersama Freyja dan Clemente. Melihat ada peti-peti beer, Clemente menanyakan harganya. Kata Su, satu botol beer harganya VND 25K. Cukup mahal, namun bisa dimaklumi mengingat untuk pergi ke warung atau toko terdekat mungkin harus berjalan beberapa menit dan lokasi desa ini memang cukup terpencil. Clemente mengajak kami berdua untuk sharing satu botol beer dengan gelas-gelas yang ada, karena Freyja tidak minum alkohol sama sekali. Kami setuju, dan Clemente membuka tutup botolnya hanya dengan sebuah korek api.
Waktu menunjukkan jam 5.50 petang saat suasana mulai meredup dan matahari mulai terbenam. Udara juga mulai terasa dingin sampai aku harus mengenakan jaket tipisku. Kami sedang jalan-jalan saat Mama Sa datang bersama dua perempuan Western.
Berjalan kembali ke teras, kami berkenalan dengan kedua gadis tersebut, yang ternyata berasal dari Jerman (lupa namanya) dan Czech Republic (namanya Barbora). Baru sebentar mengobrol saja kami berdua sudah merasa tidak cocok dengan keduanya. Terasa sekali mereka tipe orang-orang yang arogan dan tidak menghargai orang lain. Tapi kami berdua tidak terlalu ambil pusing dan tidak terlalu banyak mengobrol dengan mereka.
Mulai sore hari, Su sudah terlihat sibuk di dapur bersama Pang. Ternyata mereka sedang menyiapkan makan malam untuk kami semua. Setelah Mama Sa datang, beliau kemudian turut membantu di dapur. Makan malam baru siap tersaji sekitar jam 7.15 malam, saat perutku sudah meronta-ronta minta diisi.
Makanan yang disajikan relatif mewah dan berlimpah ruah. Ada delapan macam menu yang disajikan satu-persatu di meja, mulai dari kentang goreng, tumis kecambah, sayur mentah untuk lalapan (ini sayur khas Vietnam yang suami kurang suka baunya), tumis buncis, tumis sayuran semacam kangkung, tumis rebung, ayam masak sayuran, dan daging babi goreng. Wow, sepertinya enak-enak semua! Tidak ketinggalan nasi putih satu baskom besar yang tidak muat diletakkan di atas meja.
Mama Sa, Su dan Pang bergabung dan turut makan bersama dengan semua tamunya. Aku sampai beberapa kali tambah, karena selain kelaparan, aku juga suka dengan segala macam sayuran.
Sempat terjadi peristiwa di mana aku memberikan secuil makanan kepada anjing Mama Sa yang duduk di sebelahku, dan Barbora mengatakan bahwa dia tidak suka ada anjing menunggui orang makan. Entah mengapa, emosiku langsung naik dan aku berkata dengan ketus bahwa aku suka sekali dengan anjing dan hal itu tidak masalah bagiku. Sepertinya semua yang sedang makan jadi agak terdiam, mungkin kaget melihatku sampai marah begitu. Jujur saja aku sudah menahan emosi dari sebelum-sebelumnya, mendengarkan omong besarnya. Namun setelah itu aku berusaha meredam emosi dan berusaha untuk bersikap normal kembali.
Mama Sa bercerita bahwa sebetulnya dia buta huruf. Kalau ada orang yang mengirimkan pesan baik lewat Facebook maupun WhatsApp, biasanya dia akan minta tolong kepada siapa pun yang ada di dekatnya (paling sering tamu-tamunya) untuk membacakan dan membalas pesan tersebut, atau langsung dibalas dengan voice message.
Dari Mama Sa juga kami jadi tahu bahwa ternyata Pang adalah istri Su. Mereka baru saja menikah. Usia Su baru 19 tahun, sementara Pang baru 14 tahun. Mirip dengan adat orang Indonesia jaman dulu atau yang masih hidup di pedesaan, yang menikahkan anak-anaknya di usia yang sangat muda.
Mama Sa juga sempat menjelaskan bahwa besok kami berenam akan trekking bersama dengan Su dan Pang sebagai guide kami, karena Mama Sa ada keperluan lain. Katanya kami akan dibawa melihat air terjun di dekat sini. Rencananya kami akan berangkat jam 9 pagi setelah sarapan.
Usai makan, kami semua merasa sangat kekenyangan. Kemudian Mama Sa membawakan semacam baskom berisi "happy water", yaitu arak beras homemade buatan mereka sendiri. Baru minum beberapa gelas kecil saja rasanya sudah cukup teler, hingga akhirnya sekitar jam 9 malam aku dan suami berpamitan lebih dahulu karena lelah, mengantuk, dan kekenyangan.
Hari ini kami menempuh 14 KM berjalan kaki dari kota Sa Pa menuju ke rumah Mama Sa. Beruntung seharian ini cuaca relatif mendung, sehingga kami tidak kepanasan saat berjalan kaki tadi siang. Hanya saja kalau mendung memang cenderung lebih banyak kabut, jadi kadang menutupi pemandangan yang indah. Namun rute yang cukup berat tetap membuat kaki dan badan terasa sangat lelah. Tidak heran jika malam ini badanku lemas dan mengantuk sekali rasanya. Tidak lama setelah berada di kasur, aku pun tertidur dengan lelap... zzzzzzz...
To be continued.......
Suami sarapan donat yang kemarin dibelinya dengan secangkir kopi seperti biasa. Setelah itu kami bergantian mandi, dan jam 8.30 pagi kami sudah siap. Sekitar jam 8.45 pagi, kami check-out dari Asiana Sapa Hotel, tidak lupa mengambil kembali paspor kami, dan berjalan kaki menuju ke pusat kota.
Sampai di depan Katedral, kami belum melihat Freyja dan Clemente maupun Mama Sa. Suasana di sekitar alun-alun pun masih terlihat agak sepi, hanya di halaman luar Katedral saja yang tampak ramai turis, bahkan ada serombongan turis lokal yang sedang berfoto bersama dengan bangunan Katedral sebagai latar belakangnya.
Baru sekitar jam 9.10 pagi, Freyja, Clemente dan Mama Sa datang di saat yang hampir bersamaan. Mama Sa segera mengajak kami menyeberang jalan, dan kemudian kami disuruh masuk ke sebuah mobil kecil unik, mirip seperti mobil golf atau bajaj. Setelah kami semua masuk ke dalamnya, mobil segera berangkat disopiri oleh seorang laki-laki yang mengenakan masker. Kami berkendara selama beberapa menit, hingga sampai di Anh Nhi Restaurant, Fast Food & Hotel di Lurong Dinh Cua, yang lokasinya sangat dekat dengan terminal bus dan Sa Pa Market.
Tadinya kami bingung untuk apa kami dibawa ke tempat ini, tapi ternyata inilah tempat teman Mama Sa di mana kami bisa menitipkan barang-barang kami. Kami memastikan kantung plastik kami sudah diikat dengan erat, kemudian meletakkannya di tempat yang disediakan. Berhubung ada toilet yang bersih, sekalian saja aku menumpang ke toilet terlebih dahulu. Ternyata Freyja dan Clemente belum membawa bekal air minum, jadi aku membagikan air minum di dalam camelbackku untuk dituangkan ke dalam botol mereka yang kosong.
Mama Sa mengatakan bahwa kami tidak perlu membawa barang apa pun, karena beliau akan membawakan semua backpack kami selama trekking hari pertama ini dengan sepeda motor menuju ke rumahnya. Namun aku bersikeras untuk membawa sendiri backpackku walaupun agak berat, karena di dalamnya ada beberapa barang yang pasti akan kubutuhkan selama di perjalanan, seperti air minum, snack, dan mungkin juga tissue basah, pashmina atau jaket apabila udaranya dingin nanti. Barang-barang kecil dan sepele namun bisa jadi penting dan sangat berguna pada saat dibutuhkan. Justru ransel kecilku yang biasa kubawa untuk perjalanan pendek, kali ini tidak kubawa. Mama Sa akhirnya menyerah dengan kegigihanku mempertahakan membawa sendiri backpackku, dan akhirnya suami juga jadi ikut membawa backpacknya sendiri, tidak dititipkan ke Mama Sa. Kata Mama Sa, aku perempuan yang kuat hehehehe...
Setelah itu kami dikenalkan kepada Pang, seorang gadis berwajah manis yang tampak masih sangat muda. Kata Mama Sa, Pang adalah putrinya. Dalam hati sebetulnya kami bertanya-tanya, karena katanya Mama Sa hanya memiliki 4 orang putra, tapi kok ternyata ada anak perempuan juga. Namun kami belum berani bertanya-tanya kepadanya. Mama Sa hanya berkata bahwa putrinya inilah yang akan menjadi trekking guide kami hari ini, dan beliau berpamitan karena ada janji dengan orang lain juga.
Sekitar jam 9.45 pagi, kami mulai berjalan keluar dari tempat ini, melewati terminal dan pasar, hingga kemudian masuk ke sebuah jalan setapak kecil dari tanah liat dan bebatuan kasar. Jalannya menanjak dan cukup curam. Rasanya baru beberapa menit saja peluh sudah mulai bercucuran dengan cukup deras. Dinginnya udara Sa Pa sampai tidak terasa. Karena suami tertinggal agak jauh di belakang, aku menggunakan kesempatan ini untuk berselfie bersama Freyja dan Clemente sambil menunggu hehehehe...
Setelah sekitar 15 menit mendaki, kami tiba di sebuah tempat yang tidak tertutup pepohonan, dan dari sini bisa terlihat perbukitan di depan mata kami dan sebagian kota Sa Pa. Ternyata posisi kami sudah cukup tinggi juga. Setelah itu jalan setapak masih menanjak terus, bahkan jalannya semakin sempit walaupun masih relatif aman.
Sekitar jam 10.30 pagi, kami sampai di sebuah tempat yang agak terbuka dan seharusnya bisa melihat view kota dengan lebih jelas, namun saat itu kabut tebal meliputi udara di sekeliling kami hingga nyaris tidak tampak apa pun. Bagi kami berempat, kabut tebal tidak mengurangi indahnya pemandangan, bahkan kami sibuk mengambil foto dan video di spot ini hahahaha... Kami juga memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat selama beberapa menit, dan setelah itu kembali melanjutkan berjalan menyusuri jalan setapak dari tanah liat yang masih saja sempit dan menanjak.
Beberapa menit kemudian kami melewati beberapa rumah penduduk. Jalan setapak menjadi relatif tidak terlalu menanjak, lebih lebar, namun sangat becek di beberapa bagian. Kami juga bertemu dengan anak-anak lokal dan menyapa mereka dengan bahasa daerah setempat, yang ternyata berbeda dengan bahasa Vietnam yang kami ketahui.
Dari sini, trek yang kami lalui bisa dibilang naik turun, terkadang berupa bebatuan, namun lebih sering tanah liat yang padat. Pemandangan benar-benar indah. Ada tebing batu yang menjulang tinggi dengan motif warna hitam putih, ada beberapa ekor anak babi dan seekor anak anjing yang sedang berkeliaran dengan bebas, dan jalan setapak tidak lagi berupa tanah liat.
Sekitar jam 11.10 siang, kami memutuskan untuk berhenti sejenak untuk istirahat. Ternyata makanan yang kubawa di dalam backpack menjadi sangat bermanfaat. Freyja dan Clemente sudah merasa agak lapar, dan mereka senang sekali ketika mengetahui aku memiliki potongan-potongan tomat dan timun. Pang yang sejak awal membawa tas plastik, juga membagikan isi tasnya yang ternyata adalah tebu. Freyja dan Clemente baru sekali ini makan tebu. Suami juga sempat makan tebu untuk menambah energi, sementara aku memilih makan timun saja karena tidak terlalu suka makanan yang manis.
Setelah beristirahat sekitar 20 menit, kami kembali melanjutkan berjalan kaki dengan rute yang kembali naik turun, melintasi perbukitan dan melewati beberapa rumah penduduk yang tinggal di daerah ini. Pemandangannya sangat alami dan menyejukkan, apalagi ditambah kabut yang masih menyelimuti beberapa tempat. Jalannya pun relatif sudah modern karena sudah diaspal walaupun masih kasar.
Sekitar jam 12 siang, kami tiba di Nha Hang Manh Dien Restaurant, dan ternyata di sinilah kami akan makan siang. Pada jam makan begini, suasananya sangat ramai, penuh dengan turis bule yang sedang trekking juga. Aku berusaha mencari meja dan kursi yang kosong, dan saat ada beberapa kursi kosong di sebuah meja, ada seorang gadis bule yang melarang kami duduk di kursi tersebut. Katanya dia sedang menunggu temannya. Sebetulnya tidak masalah sih, namun nada dan cara bicaranya sangat kasar. Sepertinya karena aku berwajah Asia, dia memperlakukan aku seperti itu. Aku merasa kesal sekali, namun masih berusaha bersabar. Bahkan Freyja pun ikut mengomel melihat perlakuan gadis bule tersebut. Aku melihat ada semacam bale-bale yang kosong, dan aku mengajak yang lainnya untuk duduk di situ. Kami meletakkan trekking poles kami dan hendak duduk, ketika ada seorang ibu Hmong yang berkomentar bahwa backpack kami berdua besar sekali. Kami berdua tertawa dan menjawab bahwa kami orang-orang yang kuat hahahaha... Beliau pun tertawa sambil mengacungkan jempolnya.
Baru saja kami duduk, Pang memanggil kami berempat, sepertinya dia sudah mendapatkan meja untuk kami semua. Kami pun duduk bersama Pang, yang kemudian menjelaskan bahwa kami boleh pesan makanan apa saja yang ada di rumah makan ini, dan dia yang akan membayar untuk semuanya, namun untuk minuman kami harus membeli sendiri.
Suami memesan mie goreng babi, aku dan Clemente memesan nasi goreng babi, sementara Freyja memesan nasi goreng sayuran. Suami juga memesan segelas kopi, sementara Clemente membeli Coca Cola karena kehausan.
Aku sempat berjalan-jalan di luar restoran, melihat-lihat suasana sekitar, dan kemudian duduk kembali dan mengobrol bersama yang lain. Cukup lama juga makanan yang dipesan baru siap dihidangkan. Kasihan Freyja, walaupun memesan nasi goreng tanpa daging, tetap saja ada daging di atas nasinya. Namun dia tetap memakannya, karena sebetulnya Freyja mirip denganku, yang bisa makan apa saja, walaupun memlih sayur mayur dan buah-buahan jika memungkinkan.
Kami berlima makan dengan lahap karena sudah cukup lapar akibat energi yang dikeluarkan saat berjalan. Untuk rasa, sebetulnya biasa-biasa saja, namun lumayanlah untuk mengenyangkan perut yang keroncongan ini hehehehe...
Usai makan, tidak terasa kami sudah berada di restoran ini selama 1 jam. Setelah membayar minuman masing-masing (harga segelas kopi adalah VND 20K, dan Coca Cola VND 25K), kami kembali melanjutkan perjalanan. Kata Pang, jalannya akan naik dulu sedikit, dan setelah itu turun. Jalan setapak yang kami lalui relatif lebar dan nyaman, namun menanjaknya agak curam di awal. Melewati banyak rumah dan sawah maupun kebun para penduduk lokal, menyaksikan pemandangan perbukitan, membuat kami tetap semangat berjalan. Kami sempat lewat di sebuah rumah penduduk dengan beberapa ekor anjing Siberian Husky yang dimasukkan ke dalam kandang-kandang yang sangat sempit di luar rumah. Iba sekali melihat mereka, padahal mereka semua tampak jinak dan tidak berbahaya. Sempat juga bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main (lebih tepatnya menarik-narik) dengan seekor ular yang sepertinya baru saja ditangkapnya dan kemudian diikat dengan seutas tali. Kasihan melihat ular tersebut walaupun aku tidak suka ular.
Kami juga melihat beberapa mata air yang mengalir dari sela-sela bebatuan di sisi perbukitan ini.
Sekitar jam 1.45 siang, kami sampai di sebuah viewpoint di mana kita bisa melihat pemandangan sawah terasering di sekitar dan perbukitan di seberang beserta rumah-rumah penduduk di lembahnya. Indah sekali. Di tempat ini juga banyak trekker bule yang sedang istirahat dan foto-foto. Kami sendiri menghabiskan waktu sekitar 10 menit di tempat ini sembari beristirahat dan memotret pemandangan, dan setelah itu kembali melanjutkan perjalanan.
Jalan setapak masih naik turun-naik turun terus menerus. Kadangkala kami melihat beberapa papan petunjuk menuju ke homestay milik penduduk lokal. Ada Mama Su, Mama Susu, Mama Sumi, Mama Zee, Mama Lili, semua menggunakan nama "Mama" karena kebanyakan para guide ini memang mama-mama.
Kami juga melihat seorang anak kecil yang mengenakan sepasang sepatu boots dan membawa sebuah keranjang bambu berisi daun-daunan yang besar-besar, mungkin untuk makanan ternak. Anak laki-laki tersebut mungkin baru berusia sekitar 7-8 tahun. Kasihan sekali melihatnya. Aku sempat mengajaknya berfoto bersama walaupun tampaknya dia malu-malu.
Setelah itu jalan setapak masih agak naik turun, dengan pemandangan indah sejauh mata memandang. Tidak lama kemudian, sepertinya kami sudah berada di puncak, dengan pemandangan yang sangat indah. Setelah itu jalan setapak mulai turun, dan turun, dan turun, dan turun. Di beberapa spot turunannya cukup terjal, mungkin kemiringannya bisa mencapai 45-50 derajat. Walaupun aku bisa berjalan dengan cukup cepat dengan cara zig-zag agar tidak mudah terpeleset, namun jalan turun seperti ini membuat lututku cepat lelah. Freyja dan Clemente seringkali tertinggal agak jauh di belakang karena mereka harus sangat berhati-hati dalam melangkah.
Sepertinya selama sekitar 1 jam kami terus berjalan turun, namun di akhir-akhir sudah tidak terlalu curam lagi. Kadangkala di tempat-tempat yang indah kami berhenti sejenak untuk memotret sekaligus beristirahat 1-2 menit. Kami sempat melalui sebuah air terjun kecil yang indah. Sempat pula menyaksikan seekor induk babi yang sedang menyusui anak-anaknya, lucu sekali. Sekitar jam 3.05 siang, kami sudah mulai melewati banyak rumah. Pang sempat bertanya apakah kami mau jalan memutar ke rumahnya atau yang terdekat namun lebih terjal. Kami memilih yang terdekat, dan ternyata kami harus melewati pematang-pematang sawah yang licin, menyeberangi parit, dan melewati jalan setapak yang sangat kecil, hingga akhirnya kami bisa melihat rumah Mama Sa dari kejauhan.
Tepat jam 3.15 siang kami sampai di rumah Mama Sa. Kami disambut oleh seorang pemuda berwajah lucu dan ramah, dua ekor anjing, dan beberapa anak anjing. Sang pemuda bernama Su, dan dia adalah putra kedua Mama Sa. Su mempersilakan kami untuk duduk dan beristirahat di teras rumah di mana terdapat meja dan beberapa buah kursi panjang. Kami berempat duduk mengelilingi meja, sementara Su sepertinya sibuk mempersiapkan kamar. Lega sekali rasanya bisa duduk dan mengistirahatkan lutut yang sudah kelelahan ini.
Rumah Mama Sa terletak di lereng pegunungan, karenanya bisa melihat dengan jelas pegunungan di seberangnya. Tempat ini benar-benar indah. Rumahnya sendiri sangat sederhana, temboknya tidak diplester apalagi dicat. Kamar mandinya pun sederhana walaupun sudah menggunakan toilet duduk. Bisa dibilang kamar mandinya tidak terlalu bersih, namun masih bisa ditoleransi.
Karena badan kami berkeringat akibat berjalan kaki selama 6 jam terakhir, aku memutuskan untuk mandi dulu, karena katanya masih akan ada tamu-tamu lain lagi nanti, dan kamar mandinya hanya satu. Daripada harus mengantri, lebih baik mandi duluan, lagipula kalau terlalu malam udara pasti akan jadi lebih dingin, sementara aku mengira air di kamar mandi hanya ada air dingin (ternyata belakangan kami baru tahu bahwa air panasnya bisa diaktifkan, namun butuh waktu sekitar 10 menitan untuk memanaskan air di dalam water heater).
Usai mandi dan setelah kamar-kamar siap, Su meminta kami memilih kamar dari beberapa kamar yang ada. Setiap kamar bisa diisi dua orang saja, jadi aku dan suami beserta Freyja dan Clemente memilih dua buah kamar yang berada di lantai dasar. Sepertinya masih ada dua atau tiga kamar lagi di lantai atas, namun kami tidak naik untuk melihatnya.
Kamar yang kami tempati ini agak gelap, relatif sempit karena tidak ada ruang gerak yang cukup, dan kasurnya sangat keras. Kalau boleh jujur, sebetulnya sprei dan selimutnya bisa dibilang agak kotor dan sedikit bau apek hehehehe... tapi ya sudahlah.
Setelah meletakkan barang-barang sebisanya di dalam kamar dan melepaskan sepatu yang setengah harian ini dikenakan, kami berempat bersantai di bangku teras sambil mengobrol. Kebetulan sore ini sinar matahari muncul dari sela-sela awan dan menciptakan ROL (ray of light) yang indah difoto. Aku dan suami juga bermain-main dengan anak-anak anjing yang berkeliaran di sekitar kami.
Saat sedang melihat-lihat di sekitar rumah, suami menemukan adanya pohon ganja yang tumbuh liar di antara rerumputan samping rumah. Su mengklarifikasi bahwa itu adalah tanaman ganja, bahkan kemudian kami ditawari untuk merokok ganja yang sudah dikeringkan dengan bamboo bong yang dimilikinya. Bamboo bong ini sudah sering kami lihat selama berada di Vietnam, biasanya diletakkan di tempat-tempat umum seperti di rumah makan atau di taman, dan siapa saja boleh menggunakan bong tersebut, beserta tembakau yang biasanya sudah disediakan di dekatnya.
Hanya karena rasa ingin tahu, kami mencobanya. Dalam hati aku berpikir, mungkin dengan beberapa kali hisap bisa "high", namun ternyata rasanya tidak enak, tidak berefek, bahkan aku sempat terbatuk-batuk saat menghisap asapnya hahahaha... Menurut Clemente, ganja kering yang disediakan oleh Su ini tidak murni karena dicampur dengan batang pohonnya, tidak hanya dari daunnya saja seperti seharusnya. Yah, setidaknya jadi pengalaman hehehehe...
Karena tidak bisa berdiam diri saja, aku dan suami berjalan-jalan di sekitar rumah Mama Sa. Jaraknya dari rumah yang terdekat cukup jauh, jadi kami bisa jalan-jalan tanpa harus masuk ke area rumah orang lain. Kami melihat-lihat dan memotret suasana sekitar yang sangat indah sore ini.
Sekitar jam 5 sore, kami kembali duduk-duduk dan mengobrol bersama Freyja dan Clemente. Melihat ada peti-peti beer, Clemente menanyakan harganya. Kata Su, satu botol beer harganya VND 25K. Cukup mahal, namun bisa dimaklumi mengingat untuk pergi ke warung atau toko terdekat mungkin harus berjalan beberapa menit dan lokasi desa ini memang cukup terpencil. Clemente mengajak kami berdua untuk sharing satu botol beer dengan gelas-gelas yang ada, karena Freyja tidak minum alkohol sama sekali. Kami setuju, dan Clemente membuka tutup botolnya hanya dengan sebuah korek api.
Waktu menunjukkan jam 5.50 petang saat suasana mulai meredup dan matahari mulai terbenam. Udara juga mulai terasa dingin sampai aku harus mengenakan jaket tipisku. Kami sedang jalan-jalan saat Mama Sa datang bersama dua perempuan Western.
Berjalan kembali ke teras, kami berkenalan dengan kedua gadis tersebut, yang ternyata berasal dari Jerman (lupa namanya) dan Czech Republic (namanya Barbora). Baru sebentar mengobrol saja kami berdua sudah merasa tidak cocok dengan keduanya. Terasa sekali mereka tipe orang-orang yang arogan dan tidak menghargai orang lain. Tapi kami berdua tidak terlalu ambil pusing dan tidak terlalu banyak mengobrol dengan mereka.
Mulai sore hari, Su sudah terlihat sibuk di dapur bersama Pang. Ternyata mereka sedang menyiapkan makan malam untuk kami semua. Setelah Mama Sa datang, beliau kemudian turut membantu di dapur. Makan malam baru siap tersaji sekitar jam 7.15 malam, saat perutku sudah meronta-ronta minta diisi.
Makanan yang disajikan relatif mewah dan berlimpah ruah. Ada delapan macam menu yang disajikan satu-persatu di meja, mulai dari kentang goreng, tumis kecambah, sayur mentah untuk lalapan (ini sayur khas Vietnam yang suami kurang suka baunya), tumis buncis, tumis sayuran semacam kangkung, tumis rebung, ayam masak sayuran, dan daging babi goreng. Wow, sepertinya enak-enak semua! Tidak ketinggalan nasi putih satu baskom besar yang tidak muat diletakkan di atas meja.
Mama Sa, Su dan Pang bergabung dan turut makan bersama dengan semua tamunya. Aku sampai beberapa kali tambah, karena selain kelaparan, aku juga suka dengan segala macam sayuran.
Sempat terjadi peristiwa di mana aku memberikan secuil makanan kepada anjing Mama Sa yang duduk di sebelahku, dan Barbora mengatakan bahwa dia tidak suka ada anjing menunggui orang makan. Entah mengapa, emosiku langsung naik dan aku berkata dengan ketus bahwa aku suka sekali dengan anjing dan hal itu tidak masalah bagiku. Sepertinya semua yang sedang makan jadi agak terdiam, mungkin kaget melihatku sampai marah begitu. Jujur saja aku sudah menahan emosi dari sebelum-sebelumnya, mendengarkan omong besarnya. Namun setelah itu aku berusaha meredam emosi dan berusaha untuk bersikap normal kembali.
Mama Sa bercerita bahwa sebetulnya dia buta huruf. Kalau ada orang yang mengirimkan pesan baik lewat Facebook maupun WhatsApp, biasanya dia akan minta tolong kepada siapa pun yang ada di dekatnya (paling sering tamu-tamunya) untuk membacakan dan membalas pesan tersebut, atau langsung dibalas dengan voice message.
Dari Mama Sa juga kami jadi tahu bahwa ternyata Pang adalah istri Su. Mereka baru saja menikah. Usia Su baru 19 tahun, sementara Pang baru 14 tahun. Mirip dengan adat orang Indonesia jaman dulu atau yang masih hidup di pedesaan, yang menikahkan anak-anaknya di usia yang sangat muda.
Mama Sa juga sempat menjelaskan bahwa besok kami berenam akan trekking bersama dengan Su dan Pang sebagai guide kami, karena Mama Sa ada keperluan lain. Katanya kami akan dibawa melihat air terjun di dekat sini. Rencananya kami akan berangkat jam 9 pagi setelah sarapan.
Usai makan, kami semua merasa sangat kekenyangan. Kemudian Mama Sa membawakan semacam baskom berisi "happy water", yaitu arak beras homemade buatan mereka sendiri. Baru minum beberapa gelas kecil saja rasanya sudah cukup teler, hingga akhirnya sekitar jam 9 malam aku dan suami berpamitan lebih dahulu karena lelah, mengantuk, dan kekenyangan.
Hari ini kami menempuh 14 KM berjalan kaki dari kota Sa Pa menuju ke rumah Mama Sa. Beruntung seharian ini cuaca relatif mendung, sehingga kami tidak kepanasan saat berjalan kaki tadi siang. Hanya saja kalau mendung memang cenderung lebih banyak kabut, jadi kadang menutupi pemandangan yang indah. Namun rute yang cukup berat tetap membuat kaki dan badan terasa sangat lelah. Tidak heran jika malam ini badanku lemas dan mengantuk sekali rasanya. Tidak lama setelah berada di kasur, aku pun tertidur dengan lelap... zzzzzzz...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment