26 April 2018
Naik sleeper bus, selain lebih nyaman daripada sitting bus, buat kami juga supaya lebih irit biaya penginapan. Karenanya jika memungkinkan biasanya kami memilih sleeper bus. Perjalanan naik sleeper bus dari Sa Pa ke Dien Bien Phu melalui jalanan yang cukup bumpy, sehingga sebetulnya agak kurang nyaman, apalagi duduk di atas lebih terasa guncangannya.
Untuk ke Sa Pa dari Dien Bien Phu sebenarnya ada beberapa pilihan waktu, dari pagi hingga malam. Yang pagi dengan sitting bus, akan makan waktu sekitar 8 jam, sementara sleeper bus akan makan waktu sekitar 10 jam untuk sampai ke tujuan. Kami memilih yang berangkat termalam (jam 6.30 petang, ada juga yang jam 5.30 petang) dengan harapan tidak terlalu pagi tiba di Sa Pa. Perkiraanku kalau 10 jam berarti bus akan tiba di Sa Pa sekitar jam 4.30 dini hari. Ternyata aku salah duga.
Bus yang kami naiki tiba di Sa Pa jam 3.30 dini hari, kurang dari 9 jam perjalanan. Suasana masih gelap gulita. Begitu turun dari bus dan mengambil backpack, beberapa orang menghampiri dan menawarkan jasa taxi dan penginapan. Kami menolak dengan halus dan mengatakan kami sudah booking penginapan, walaupun mereka berusaha meyakinkan kami bahwa semua penginapan masih akan tutup pada saat ini. Beberapa turis lain yang juga turun di Sa Pa rata-rata memanfaatkan jasa taxi tersebut.
Parahnya, baru saja turun dari bus dan kami masih belum tahu arah karena gelap gulita dan dipenuhi kabut hingga tidak tampak apa pun, hujan mulai turun. Kami melihat ada warung kaki lima dan memutuskan untuk berteduh sejenak di sana sembari menunggu waktu. Jalanan benar-benar tidak tampak. Yang terlihat hanya kabut di segala arah.
Suami memesan segelas kopi, dan yang disuguhkan adalah kopi sachet, bukan dripping coffee seperti di warung-warung kopi pada umumnya. Tak mengapalah, yang penting bisa sedikit menghangatkan tubuh. Tidak disangka, ternyata hujan semakin dan semakin deras. Suhu udara berada di 14 derajat Celcius. Cukup dingin memang, tapi aku masih bisa bertahan dan merasa belum perlu mengenakan jaket tebalku. Abang penjualnya sendiri mengenakan jaket dan topi perang ala Vietcong dulu. Orangnya masih muda dan kelihatannya ramah walaupun pendiam.
Lama-kelamaan air hujan menggenangi terpal yang menjadi atap warung kecil ini, dan oleh si abang penjualnya airnya dialirkan dengan memberi ganjal kayu di bawah terpal, jadi air mengalir ke bawah dengan derasnya dari terpal. Ada saatnya pula genangan air sampai hampir membanjiri seluruh lantai warung, sehingga backpack yang tadinya kami letakkan di lantai, harus kami naikkan ke kursi-kursi pendek yang ada. Aku dan suami sampai beberapa kali membantu si abang memperbaiki letak kayu-kayu penyangga terpalnya agar tidak roboh.
Satu hal yang membuatku tidak nyaman adalah perasaan ingin buang air kecil. Aku sempat melihat-lihat ke sekitar, mencari tempat gelap supaya bisa buang air kecil, namun yang ada malah kemudian ada beberapa mobil yang datang :(
Kemudian masuklah beberapa orang laki-laki, ada yang memesan minuman maupun makanan. Makanan yang dihidangkan sepertinya mie instan dengan telur. Sepertinya mereka adalah driver-driver taxi yang menunggu calon penumpang di area ini, karena memang bus-bus dari arah luar kota pada umumnya berhenti di sekitar sini. Suasana benar-benar masih sangat gelap dan tidak tampak apa pun di sekitar kami. Kabut pun masih tebal menggelayut. Sebenarnya kami kasihan melihat abang pemilik warung ini, karena tentunya tidak mudah berjualan di saat orang lain tertidur pulas, apalagi jika cuaca sedang buruk begini. Suami sampai memesan satu gelas kopi lagi, walaupun rasa kopinya biasa-biasa saja.
Lama-kelamaan hujan sedikit mereda, dan setelah menghabiskan dua cangkir kopi, jam 4.45 pagi kami memutuskan untuk berjalan saja ke arah penginapan yang jaraknya sekitar 2 KM dari tempat ini, dengan harapan diperbolehkan check-in awal.
Hujan masih rintik-rintik saat kami mulai berjalan kaki dengan penuh semangat berbekal Google Map. Saat berjalan kaki inilah kami menemukan spot yang gelap dan terlindungi oleh sebuah mobil, jadi aku akhirnya buang air kecil di sana hahahaha... Ternyata suami juga sekalian. Serasa sudah jadi orang Vietnam kalau begini hahahaha... ^_^
Kami melanjutkan berjalan kaki dengan semangat, mengikuti arahan Google Map. Ternyata kami juga melewati Sa Pa Lake. Terlihat lampu-lampu berwarna kehijauan menyala di balik pepohonan. Danaunya sendiri tidak terlalu kelihatan, hanya tampak air berwarna hitam karena suasana masih gelap. Kami juga melewati pusat kota dan alun-alun, namun tidak kelihatan dengan jelas. Kami berjalan terus ke arah barat daya, dan ternyata jalannya menanjak terus. Walaupun sudah agak lelah karena beban backpack yang cukup berat, kami tetap berjalan, dan akhirnya sampai juga di tujuan, yakni Asiana Sapa Hotel.
Seperti sudah diduga, hotelnya masih tutup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, hanya tampak meja resepsionis dan deretan pintu kamar di lorong. Kami mencoba mengetuk pintu depan yang terbuat dari kaca berkali-kali, namun tidak ada yang merespon. Suasana sudah mulai meremang, tidak segelap tadi, jadi kami meletakkan backpack di depan pintu masuknya yang terkunci, dan berjalan melihat-lihat ke sekitar.
Ternyata tempat ini cukup tinggi, dan di spot yang tidak tertutup bangunan atau pepohonan, aku bisa menyaksikan pegunungan hijau di kejauhan. Awan dan kabut menyelimuti pegunungan-pegunungan tersebut. Bahkan di balik gedung-gedung dan pegunungan di kejauhan, tampak awan yang seperti arumanis yang sangat tebal menutupi lembahnya. Wah indah sekali! Rasanya tidak bosan-bosan memandangnya deh...
Sekitar jam 6 pagi, kami mencoba mengetuk lagi pintu Asiana Sapa Hotel ini, namun masih tidak ada jawaban. Masalah baru timbul. Mungkin karena sudah terbiasa, perut kami mulai bergejolak, panggilan alam tiba di saat yang kurang tepat. Kami pun mulai bingung.
Suami mencoba mencari jalan masuk lain, dan saat sedang mencari-cari dia bertemu dengan seorang penduduk yang kemudian memberitahunya untuk terus mengetuk saja sampai dibukakan pintu. Akhirnya setelah cukup lama menunggu, ada seorang gadis Vietnam yang membukakan pintu depan. Ternyata kami tidak boleh check-in lebih awal seperti harapan kami. Maka kami bertanya apakah boleh menumpang ke toilet, dan si gadis mempersilakan kami masuk ke dalam sebuah kamar yang letaknya paling depan.
Uppss.... ternyata gadis penunggu hotel ini tinggal di salah satu kamar ini, dan toilet yang dimaksud adalah toilet di kamarnya, sementara sepertinya dia ingin kembali tidur. Tentu saja kami jadi sungkan menggunakan toiletnya. Akhirnya kami memutuskan akan keluar saja, mencari cafe atau rumah makan, dan menumpang toilet di sana.
Berbekal peralatan membersihkan diri dan barang-barang yang penting saja di ransel kecil, kami menitipkan kedua backpack besar kami kepada si gadis, dan berpamitan. Katanya hotel baru akan buka jam 7 pagi.
Kami berjalan kaki tergesa-gesa menuju ke arah pusat kota, sembari mencari cafe, warung, atau rumah makan yang sudah buka. Kami melewati beberapa cafe dan warung di jalan kecil ini, namun semuanya masih dalam kondisi tutup. Rasanya kami semakin kebingungan saja. Untungnya jalannya turun, jadi kami bisa berjalan dengan cepat.
Sampailah kami di pusat kota, dan di seberang jalan, di depan alun-alun kota, kami melihat sebuah hotel besar, BB Hotel. Di sampingnya kami melihat ada pintu masuk ke dalam cafe atau rumah makan hotel. Dengan asumsi bahwa hotel melayani tamu selama 24 jam, kami memberanikan diri masuk ke dalam restorannya, hendak membeli secangkir kopi yang entah berapa harganya nanti :(
Masuk ke dalam, tampak ada beberapa pelayan yang sedang sibuk hilir mudik, sepertinya karena mendekati waktu sarapan, jadi mereka sedang mempersiapkan makanan untuk pagi ini. Suami memesan satu kopi kepada seorang pelayan yang melintas. Kata pelayannya, oke, tapi nanti jam 6.30 pagi baru siap. Jadi suami langsung menanyakan di sebelah mana toiletnya, dan kami ditunjukkan ke arah toilet.
Aku duduk di salah satu meja, dengan harapan nanti pelayan bisa mengantar kopinya ke meja ini, sementara suami langsung ke toilet di dekat resepsionis.
Setelah menunggu beberapa menit, perutku juga mulai berontak, jadi aku memutuskan meninggalkan jaket suami di bangkunya, dan pergi ke toilet. Ternyata ada toilet khusus untuk laki-laki dan perempuan. Toiletnya besar, sangat bersih, bahkan wangi sekali karena sepertinya baru selesai dibersihkan.
Rasanya legaaaaa sekali setelah mengeluarkan isi perut di pagi hari ini hahahaha... Setelah itu aku sikat gigi, cuci muka dan sekalian membasuh lengan dengan air, mumpung tempatnya bersih dan nyaman.
Usai dari toilet, aku keluar dan suami masih belum kembali ke meja kami tadi, jadi aku mengambil jaketnya dan memutuskan untuk duduk di bangku yang berada di luar restoran agar bisa sambil menikmati udara segar pagi ini.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya suami keluar juga dan menyusulku duduk di luar. Ketika itulah ada seorang anak kecil yang menawarkan dagangannya kepada kami, yakni souvenir buatan suku Hmong. Sebetulnya kami tidak terlalu berminat untuk membeli apa-apa, namun karena kasihan melihat gadis kecil ini, aku menanyakan harga sebuah gelang, yang ternyata hanya VND 5K per buahnya. Akhirnya kami membeli dua buah untuk dipakai di tangan kami masing-masing.
Saat ada seorang pelayan yang keluar, kami masih mencoba memesan kopi lagi, dan pelayan tersebut sepertinya menjawab iya. Kami masih menunggu pesanan kopi kami hingga sekitar 10-15 menitan sembari memotret suasana sekitar. Karena tak kunjung tiba, akhirnya sekitar jam 6.50 pagi kami berdua memutuskan untuk meninggalkan tempat ini saja. Kebetulan di seberang hotel ada ATM Agribank, dan kami hendak mengambil uang tunai hari ini. Maksud kami, kalau sampai pada saat kami masih di ATM dan kopi pesanan kami diantarkan, kami akan kembali lagi.
Sembari menunggu antrian seorang perempuan di ATM, beberapa kali kami melihat ke arah restoran BB Hotel, tapi sepertinya memang tidak ada yang mencari kami atau mengantarkan pesanan kopi kami. Yakinlah kami bahwa sepertinya pelayan hotel tadi menganggap kami adalah tamu di BB Hotel, dan disangkanya kami sudah hendak ngopi dan sarapan, sementara semuanya belum tersedia saat kami datang. Duh, kalau dipikir-pikir sebetulnya beruntung sekali ya... Pagi-pagi luntang-luntung belum dapat kamar, tapi malah bisa menumpang ke toilet yang mewah dan nyaman di hotel bintang 4, dan pastinya GRATIS hahahaha...
Kami menarik uang tunai sebesar 3 juta dong di ATM Agribank. Berbeda dengan ATM Military Bank yang tidak mengenakan biaya, ATM Agribank mengenakan biaya sebesar VND 20K.
Catatan: transaksi sebesar 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.838.202, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Setelah kondisi perut nyaman dan dompet cukup tebal, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan karena saat itu sudah hampir jam 7 pagi. Berjalan kaki lagi, kali ini menanjak, sampailah kami di penginapan. Pintu sudah tidak terkunci, dan gadis penjaganya tadi sudah bangun. Kami bertanya apakah benar-benar tidak bisa check-in awal, dan katanya kamarnya masih penuh jadi tidak bisa. Jam 12 siang baru kami bisa check-in. Entah benar penuh atau tidak, namun kami tidak bisa memaksa juga, jadi kami duduk-duduk sejenak di lantai sambil melihat di Google Map tempat apa saja yang bisa dikunjungi, lalu keluar dan melihat-lihat lagi ke sekitar. Pemandangan pegunungan hijau dengan awan-awan putih di sela-selanya benar-benar indah dan menyenangkan untuk dilihat. Kami mengamati ada semacam rel di belakang gedung-gedung di sini, sepertinya itu adalah rel kereta gantung bagi para turis yang hendak ke Gunung Fansipan.
Di bawah Asiana Sapa Hotel, ada rumah yang di halamannya banyak sepeda motor, jadi kami bertanya kepada si gadis resepsionis apabila kami ingin menyewa sepeda motor. Ternyata bisa, dan tarifnya VND 120K/hari untuk motor manual. Jadilah kami menyewa sebuah sepeda motor. Si gadis sempat mengajarkan cara mengganti gigi sepeda motornya, karena mungkin dia menganggap kami belum pernah naik motor manual hehehehe...
Petualangan hari pertama di Sa Pa pun dimulai ^_^
---
Sa Pa atau Sapa adalah kota perbatasan dan ibukota Distrik Sa Pa di Provinsi Lào Cai di barat laut Vietnam. Sa Pa merupakan sebuah kota pegunungan kecil di Provinsi Lao Cai yang terletak sekitar 380 KM barat laut Hanoi, dekat dengan perbatasan Cina. Dulunya kota ini didirikan oleh Perancis pada tahun 1922 sebagai pos di area barat laut. Di kota ini terdapat rangkaian pegunungan Hoang Lien Son (yang terletak di ujung timur Himalaya) yang mencakup Fan Si Pan, puncak tertinggi di Vietnam (3143 mdpl).
Kota ini berhawa sejuk dengan suhu udara rata-rata harian berkisar 15 - 18 derajat Celcius dan hampir selalu diselimuti kabut. Pada musim dingin, sekitar Bulan Desember - Februari, suhu udara hanya berkisar 8 - 12 derajat Celcius sehingga bisa dipastikan kabut pun selalu menyelimuti kota ini. Karena cuacanya yang sering berubah-ubah, Sa Pa dikenal sebagai kota dengan empat musim dalam sehari, yaitu musim semi di pagi hari, musim panas di siang hari, musim gugur di sore hari dan musim dingin di malam hari.
Kota Sa Pa sendiri berada di ketinggian 1.500 mdpl dengan iklim hujan di musim panas (Mei - Agustus), dan berkabut, dingin, serta kadangkala bersalju di musim dingin. Populasinya yang berkisar 36.000 jiwa didominasi oleh etnis minoritas. Kota yang tenang ini merupakan tempat tinggal berbagai suku. Ada lima kelompok etnis utama di Sapa: Hmong, Dao, Tay, Giay dan Xa Pho. Sa Pa pertama kali ditempati oleh empat kelompok pertama, karena orang Vietnam dari dataran rendah (yang lebih dikenal sebagai Kinh) tidak merambah lembah-lembah tertinggi. Kelima etnis minorotas tersebut tinggal menyebar di berbagai desa di sekitar Sa Pa, dengan gaya hidup yang masih tradisional. Keunikan etnis-etnis tersebut adalah busana dan aksesoris yang biasa mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari. Etnis-etnis tersebut (khususnya kaum wanita), selalu mengenakan busana dan aksesoris yang tampak meriah dan berwarna-warni. Bagi kaum wanita dari Etnis Hmong dan Dao, pakaian selain sebagai penanda identitas juga menjadi simbol penting dalam relasi sosial. Keunikan busana dan aksesoris berbagai etnis minoritas di Sa Pa ini juga salah satu daya tarik turis dan fotografer dari berbagai penjuru dunia untuk mengunjungi Sapa.
Saat ini Sa Pa merupkan kota yang menjadi pusat wisata di Vietnam barat laut yang tertarik oleh suku-suku dataran tinggi, sawah-sawah yang indah, dan kegiatan trekking. Seluruh area Sa Pa memiliki keindahan alam yang menakjubkan.
Pada umumnya turis datang ke Sa Pa bukan untuk menikmati kotanya, namun untuk trekking di alam dan desa-desa sekitarnya. Kota ini merupakan pangkalan trekking utama di Vietnam Utara, di mana para hikers akan menjelajah pedesaan di sekitar kota Sa Pa di mana terdapat sawah-sawah terasering dan desa-desa kecil yang bagaikan berada di dunia lain. Di sinilah pesona asli Sa Pa yang sesungguhnya.
Hiking dan menikmati alam adalah hal utama yang ditawarkan di Sa Pa. Atraksi paling touristy di sini adalah Fan Si Pan. Berjarak 19 KM dari kota, trek menuju ke puncaknya berupa medan yang cukup berat, belum lagi cuaca yang tidak menentu. Namun kini sudah disediakan kereta gantung yang dapat membawa turis menuju ke puncak Fan Si Pan dengan membayar VND 700K.
Di pusat kota Sa Pa sendiri ada sebuah museum dan sebuah katedral. Selain itu, jalanan di kota ini dipenuhi dengan akomodasi dengan berbagai pilihan harga, rumah-rumah makan, cafe, dan pedagang kaki lima. Kota ini tidak memiliki shopping mall, namun di pasar tradisional yang berlokasi di dekat terminal bus, pengunjung bisa mencari apa saja, mulai dari bahan makanan segar, street food, berbagai macam kerajinan tangan lokal dan pakaian maupun souvenir. Banyak pedagang yang menawarkan barang dagangannya dengan harga setinggi mungkin, karena itu usahakan untuk selalu menawar harganya apabila kita berminat membeli sesuatu. Selain itu masih ada Bac Ha Market (hanya ada setiap hari Sabtu) dan Coc Ly Market (hanya ada setiap hari Selasa), di mana situasinya lebih ke jual beli penduduk lokal dan bukan untuk menarik turis.
Pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah bertani, dan karena lokasinya yang berada di pegunungan inilah para petani menggunakan sistem terasering (bertingkat) untuk sawah-sawah mereka. Pada tahun 2014, Sa Pa berada di posisi ke-9 dari 10 tempat teratas untuk tujuan wisata sawah terasering. Lokasi geografisnya membuat Sa Pa menjadi tempat yang unik bagi beberapa spesies hewan dan tumbuhan. Banyak spesies langka yang diduga sudah lama mendiami tempat ini.
Sebelum tahun 90-an, ekonomi daerah bergantung pada pertanian, namun semenjak berkembang pesatnya kehadiran turis, banyak orang yang beralih ke bidang usaha hospitality. Saat ini, trekking & homestay experience menjadi daya tarik utama turis yang hendak berkunjung di sini.
---
Waktu menunjukkan jam 8 pagi dan suasana masih mendung dan berkabut di pegunungan. Setelah ada kendaraan, kami membawa barang-barang yang penting saja, dan sisanya kami titipkan kembali kepada si gadis resepsionis. Pertama-tama, kami mengisi bensin dulu di pombensin terdekat sebanyak VND 20K. Kebetulan letaknya sangat dekat dengan pasar tradisional, jadi sekalian saja kami ke pasar.
Pasar tradisional di Sa Pa ini termasuk besar. Ada pasar basah yang menjual berbagai macam makanan dan bahan makanan segar seperti pada umumnya, dan pasar kering yang menjadi tempat berjualan bagi para pedagang pakaian, aksesoris, souvenir, dan beberapa tempat makan.
Kami berjalan kaki mengelilingi pasar, dan melihat berbagai macam sayur yang tampak segar dan menggiurkan. Kemudian ada lapak-lapak yang menjual berbagai macam jajanan, bumbu dapur, dan buah-buahan. Di bagian yang menjual ikan dan daging juga banyak sekali jenis ikan dari yang kecil hingga besar, kerang, cumi, dan masih banyak lagi. Kami membeli 1 kg daging babi seharga VND 60K. Setelah itu kami keluar dan membeli dua buah donat dan jagung yang digoreng dengan tepung seharga VND 20K untuk ketiganya. Suami langsung makan donatnya dan aku makan kue jagungnya untuk sarapan.
Setelah perut kenyang, kami masih berjalan mengitari pasar kering dan sekitarnya. Banyak pedagang di pinggir trotoar yang menjual trekking poles, payung, jas hujan, syal, aksesoris, dan masih banyak lagi. Dari luar pasar ini kami bisa melihat pegunungan di balik gedung-gedung yang tertutup oleh kabut.
Kami sempat mencari whisky lokal di toko-toko sekitar pasar, tapi sepertinya tidak ada yang menjual, namun kami jadi menemukan beberapa toko yang sepertinya menjual sayuran secara grosiran. Para karyawannya pun tampak sibuk mengepak sayur-mayur yang hendak dikirim. Akhirnya aku membeli 1 kg kentang seharga VND 15K di tempat tersebut.
Dari pasar, kami kembali mengendarai sepeda motor menuju ke Sa Pa Lake, hanya untuk sekedar melihat-lihat, dan setelah itu kami ke pusat kota yang hanya beberapa menit saja naik motor. Suasana kota mulai terasa ramai dan mulai banyak kendaraan yang memadati jalanan. Kami parkir di dekat alun-alun, di seberang Notre Dame Cathedral, dan kemudian berjalan-jalan di sekitar area ini.
Notre Dame Cathedral termasuk tempat yang cukup touristy, dan pagi ini saja sudah banyak turis yang antri untuk berfoto di depan katedral. Kami sendiri hanya melihat dan memotret dari agak kejauhan. Alun-alunnya sendiri cukup luas, dikelilingi oleh tempat-tempat duduk bertingkat seperti di dalam stadion olahraga.
Di sekitar alun-alun inilah kami melihat banyak perempuan, dari yang muda hingga paruh baya, berkeliaran di trotoar alun-alun untuk mencari nafkah. Gadis-gadis kecil kebanyakan menggendong adik-adik mereka yang masih balita untuk mengundang rasa iba dari para turis, dan biasanya mereka menjual berbagai macam souvenir seperti gelang, kalung, dan dompet khas suku mereka.
Kami menikmati satu es krim ini berdua sambil duduk dan beristirahat di sebuah bangku di depan Sa Pa Lake. Padahal udaranya dingin tapi masih saja makan es krim ya hehehehe...
Waktu menunjukkan jam 10 pagi saat kami memutuskan untuk pergi ke sebuah viewpoint di dekat kota. Jalan yang kami lalui cenderung menanjak dan rusak. Setelah sampai di dekat viewpoint tersebut, kami memarkirkan kendaraan dan berjalan kaki melalui jalan setapak yang ada. Dari kejauhan saja sudah tampak bahwa kami tidak akan bisa melihat apa pun karena kabut yang sangat tebal di depan mata, namun kami terus berjalan hingga sampai di sebuah area yang cukup luas. Sekeliling kami hanya berupa kabut putih, tidak tampak pemandangan apa pun, namun aku tetap menikmatinya, karena aku suka kabut hehehehe...
Kami bersantai-santai, duduk-duduk di tempat ini sembari menghabiskan waktu, dan tidak terasa hampir satu jam kami lewatkan di tempat ini.
Sekitar jam 11.05 siang, kami kembali berkendara ke penginapan, dan bahkan di area ini pun kabut menutupi pandangan ke segala arah. Walaupun masih jam 11.25 siang, ternyata kami sudah diperbolehkan untuk check-in. Wah senang sekali rasanya. Kami membayar di awal sebesar VND 170K, namun tetap harus meninggalkan paspor asli :(
Kamar kami kali ini sederhana namun cukup luas dan pastinya bersih, walaupun di tembok kamar terlihat berjamur. Sepertinya karena cuaca yang sangat lembab hampir setiap hari. Kasurnya cukup nyaman walaupun keras, kamar mandinya pun bersih dan tampak terawat. Tidak ada AC (dan memang tidak diperlukan), namun disediakan electric kettle dan dua buah gelas plastik.
Kami ngopi dulu di dalam kamar, dan setelah itu kami berdua berbenah, merapikan barang-barang, dan kemudian bergantian mandi air hangat. Sekitar jam 2 siang, suami sudah tertidur pulas di suhu yang dingin siang ini. Aku sendiri masih masak kentang dan daging babi yang dibeli tadi pagi. Setelah semuanya selesai, barulah aku menyusul tidur sekitar jam 3 sore.
Entah karena terlalu lelah atau karena udara dingin yang nyaman, kami baru bangun jam 6 petang. Suami mengembalikan kunci sepeda motor terlebih dahulu, karena sepeda motor dan kuncinya harus dikembalikan paling lambat jam 7 malam (kecuali kalau sewa lebih dari 1 hari). Aku menyiapkan hidangan sederhana untuk makan malam. Kentang rebus, daging rebus dan sayuran untuk suami, dan menu yang sama untukku minus kentang rebus.
Usai makan malam, karena kondisi tubuh sudah segar dan perut sudah kenyang, sekitar jam 7.45 malam kami memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. Berjalan kaki menembus kegelapan dan kabut, suasananya terasa menyenangkan sekali.
Sampai di alun-alun sekitar jam 8 malam, dan kabut benar-benar menyelimuti seluruh penjuru kota. Kami duduk dan bersantai di alun-alun, menyaksikan kegiatan penduduk lokal. Banyak orang yang sedang main semacam sepak takraw di tempat ini, mungkin mencari keringat di dalam udara yang dingin hehehehe...
Setelah sekitar 15 menit kami beranjak dari alun-alun dan menyusuri jalanan di kota Sa Pa. Banyak penjaja makanan di mana-mana, dan banyak sekali yang menjual jenis makanan barbeque, mulai dari sayuran, daging, dan masih banyak lagi. Pada umumnya suasana kota relatif sepi, mungkin karena cuaca yang dingin. Kami melewati jalan-jalan besar dan kecil, menikmati suasana yang menyenangkan di sini. Sebenarnya aku ingin membeli trekking pole, karena niat kami ke Sa Pa adalah untuk trekking, entah trekking mandiri atau dengan guide orang lokal. Namun rata-rata toko yang kami masuki menjual trekking pole dengan kualitas kurang bagus dengan harga yang sangat mahal, bahkan beberapa di antaranya tampak seperti barang bekas pakai. Aku memang pernah membaca bahwa terkadang trekkers menyumbangkan trekking poles mereka kepada penduduk setempat karena sudah tidak terpakai lagi, jadi mungkin saja yang kami lihat tersebut memang barang bekas.
Suami sempat membeli sebuah roti untuk sarapan esok hari seharga VND 15K. Sempat juga membeli rokok, yang harganya agak lebih mahal daripada di Indonesia. Sebungkus Marlboro Black Menthol dihargai VND 45-50K. Aku sendiri kemudian tertarik untuk membeli Vietnamese Pizza isi telur seharga VND 20K. Kami makan "pizza" ini sembari berjalan, dan kemudian menghabiskannya sembari duduk santai di alun-alun kota.
Waktu menunjukkan jam 9 malam lewat saat kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Jalanan yang kami lalui benar-benar gelap dan berkabut, sampai suami harus menggunakan HP-nya untuk mengaktifkan senter. Udara pun terasa dingin dan sangat lembab. Sesampai di dalam kamar barulah rasanya hangat kembali. Kami masih bersantai-santai, memanfaatkan wifi yang tersedia. Sudah lewat jam 10 malam saat aku kembali merasa lapar (mungkin karena udara yang dingin), dan membuat mie instan yang ternyata adalah bubur instan. Pantas saja harganya murah sekali, kurang dari dua ribu rupiah hahahaha...
Baru sekitar jam 11 malam akhirnya kami berdua tidur....
Kami masih belum punya rencana untuk besok, namun yang pasti kami akan bertemu kembali dengan Freyja ^_^
To be continued.......
Untuk ke Sa Pa dari Dien Bien Phu sebenarnya ada beberapa pilihan waktu, dari pagi hingga malam. Yang pagi dengan sitting bus, akan makan waktu sekitar 8 jam, sementara sleeper bus akan makan waktu sekitar 10 jam untuk sampai ke tujuan. Kami memilih yang berangkat termalam (jam 6.30 petang, ada juga yang jam 5.30 petang) dengan harapan tidak terlalu pagi tiba di Sa Pa. Perkiraanku kalau 10 jam berarti bus akan tiba di Sa Pa sekitar jam 4.30 dini hari. Ternyata aku salah duga.
Bus yang kami naiki tiba di Sa Pa jam 3.30 dini hari, kurang dari 9 jam perjalanan. Suasana masih gelap gulita. Begitu turun dari bus dan mengambil backpack, beberapa orang menghampiri dan menawarkan jasa taxi dan penginapan. Kami menolak dengan halus dan mengatakan kami sudah booking penginapan, walaupun mereka berusaha meyakinkan kami bahwa semua penginapan masih akan tutup pada saat ini. Beberapa turis lain yang juga turun di Sa Pa rata-rata memanfaatkan jasa taxi tersebut.
Parahnya, baru saja turun dari bus dan kami masih belum tahu arah karena gelap gulita dan dipenuhi kabut hingga tidak tampak apa pun, hujan mulai turun. Kami melihat ada warung kaki lima dan memutuskan untuk berteduh sejenak di sana sembari menunggu waktu. Jalanan benar-benar tidak tampak. Yang terlihat hanya kabut di segala arah.
Suami memesan segelas kopi, dan yang disuguhkan adalah kopi sachet, bukan dripping coffee seperti di warung-warung kopi pada umumnya. Tak mengapalah, yang penting bisa sedikit menghangatkan tubuh. Tidak disangka, ternyata hujan semakin dan semakin deras. Suhu udara berada di 14 derajat Celcius. Cukup dingin memang, tapi aku masih bisa bertahan dan merasa belum perlu mengenakan jaket tebalku. Abang penjualnya sendiri mengenakan jaket dan topi perang ala Vietcong dulu. Orangnya masih muda dan kelihatannya ramah walaupun pendiam.
Lama-kelamaan air hujan menggenangi terpal yang menjadi atap warung kecil ini, dan oleh si abang penjualnya airnya dialirkan dengan memberi ganjal kayu di bawah terpal, jadi air mengalir ke bawah dengan derasnya dari terpal. Ada saatnya pula genangan air sampai hampir membanjiri seluruh lantai warung, sehingga backpack yang tadinya kami letakkan di lantai, harus kami naikkan ke kursi-kursi pendek yang ada. Aku dan suami sampai beberapa kali membantu si abang memperbaiki letak kayu-kayu penyangga terpalnya agar tidak roboh.
Satu hal yang membuatku tidak nyaman adalah perasaan ingin buang air kecil. Aku sempat melihat-lihat ke sekitar, mencari tempat gelap supaya bisa buang air kecil, namun yang ada malah kemudian ada beberapa mobil yang datang :(
Kemudian masuklah beberapa orang laki-laki, ada yang memesan minuman maupun makanan. Makanan yang dihidangkan sepertinya mie instan dengan telur. Sepertinya mereka adalah driver-driver taxi yang menunggu calon penumpang di area ini, karena memang bus-bus dari arah luar kota pada umumnya berhenti di sekitar sini. Suasana benar-benar masih sangat gelap dan tidak tampak apa pun di sekitar kami. Kabut pun masih tebal menggelayut. Sebenarnya kami kasihan melihat abang pemilik warung ini, karena tentunya tidak mudah berjualan di saat orang lain tertidur pulas, apalagi jika cuaca sedang buruk begini. Suami sampai memesan satu gelas kopi lagi, walaupun rasa kopinya biasa-biasa saja.
Lama-kelamaan hujan sedikit mereda, dan setelah menghabiskan dua cangkir kopi, jam 4.45 pagi kami memutuskan untuk berjalan saja ke arah penginapan yang jaraknya sekitar 2 KM dari tempat ini, dengan harapan diperbolehkan check-in awal.
Hujan masih rintik-rintik saat kami mulai berjalan kaki dengan penuh semangat berbekal Google Map. Saat berjalan kaki inilah kami menemukan spot yang gelap dan terlindungi oleh sebuah mobil, jadi aku akhirnya buang air kecil di sana hahahaha... Ternyata suami juga sekalian. Serasa sudah jadi orang Vietnam kalau begini hahahaha... ^_^
Kami melanjutkan berjalan kaki dengan semangat, mengikuti arahan Google Map. Ternyata kami juga melewati Sa Pa Lake. Terlihat lampu-lampu berwarna kehijauan menyala di balik pepohonan. Danaunya sendiri tidak terlalu kelihatan, hanya tampak air berwarna hitam karena suasana masih gelap. Kami juga melewati pusat kota dan alun-alun, namun tidak kelihatan dengan jelas. Kami berjalan terus ke arah barat daya, dan ternyata jalannya menanjak terus. Walaupun sudah agak lelah karena beban backpack yang cukup berat, kami tetap berjalan, dan akhirnya sampai juga di tujuan, yakni Asiana Sapa Hotel.
Seperti sudah diduga, hotelnya masih tutup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, hanya tampak meja resepsionis dan deretan pintu kamar di lorong. Kami mencoba mengetuk pintu depan yang terbuat dari kaca berkali-kali, namun tidak ada yang merespon. Suasana sudah mulai meremang, tidak segelap tadi, jadi kami meletakkan backpack di depan pintu masuknya yang terkunci, dan berjalan melihat-lihat ke sekitar.
Ternyata tempat ini cukup tinggi, dan di spot yang tidak tertutup bangunan atau pepohonan, aku bisa menyaksikan pegunungan hijau di kejauhan. Awan dan kabut menyelimuti pegunungan-pegunungan tersebut. Bahkan di balik gedung-gedung dan pegunungan di kejauhan, tampak awan yang seperti arumanis yang sangat tebal menutupi lembahnya. Wah indah sekali! Rasanya tidak bosan-bosan memandangnya deh...
Sekitar jam 6 pagi, kami mencoba mengetuk lagi pintu Asiana Sapa Hotel ini, namun masih tidak ada jawaban. Masalah baru timbul. Mungkin karena sudah terbiasa, perut kami mulai bergejolak, panggilan alam tiba di saat yang kurang tepat. Kami pun mulai bingung.
Suami mencoba mencari jalan masuk lain, dan saat sedang mencari-cari dia bertemu dengan seorang penduduk yang kemudian memberitahunya untuk terus mengetuk saja sampai dibukakan pintu. Akhirnya setelah cukup lama menunggu, ada seorang gadis Vietnam yang membukakan pintu depan. Ternyata kami tidak boleh check-in lebih awal seperti harapan kami. Maka kami bertanya apakah boleh menumpang ke toilet, dan si gadis mempersilakan kami masuk ke dalam sebuah kamar yang letaknya paling depan.
Uppss.... ternyata gadis penunggu hotel ini tinggal di salah satu kamar ini, dan toilet yang dimaksud adalah toilet di kamarnya, sementara sepertinya dia ingin kembali tidur. Tentu saja kami jadi sungkan menggunakan toiletnya. Akhirnya kami memutuskan akan keluar saja, mencari cafe atau rumah makan, dan menumpang toilet di sana.
Berbekal peralatan membersihkan diri dan barang-barang yang penting saja di ransel kecil, kami menitipkan kedua backpack besar kami kepada si gadis, dan berpamitan. Katanya hotel baru akan buka jam 7 pagi.
Kami berjalan kaki tergesa-gesa menuju ke arah pusat kota, sembari mencari cafe, warung, atau rumah makan yang sudah buka. Kami melewati beberapa cafe dan warung di jalan kecil ini, namun semuanya masih dalam kondisi tutup. Rasanya kami semakin kebingungan saja. Untungnya jalannya turun, jadi kami bisa berjalan dengan cepat.
Sampailah kami di pusat kota, dan di seberang jalan, di depan alun-alun kota, kami melihat sebuah hotel besar, BB Hotel. Di sampingnya kami melihat ada pintu masuk ke dalam cafe atau rumah makan hotel. Dengan asumsi bahwa hotel melayani tamu selama 24 jam, kami memberanikan diri masuk ke dalam restorannya, hendak membeli secangkir kopi yang entah berapa harganya nanti :(
Masuk ke dalam, tampak ada beberapa pelayan yang sedang sibuk hilir mudik, sepertinya karena mendekati waktu sarapan, jadi mereka sedang mempersiapkan makanan untuk pagi ini. Suami memesan satu kopi kepada seorang pelayan yang melintas. Kata pelayannya, oke, tapi nanti jam 6.30 pagi baru siap. Jadi suami langsung menanyakan di sebelah mana toiletnya, dan kami ditunjukkan ke arah toilet.
Aku duduk di salah satu meja, dengan harapan nanti pelayan bisa mengantar kopinya ke meja ini, sementara suami langsung ke toilet di dekat resepsionis.
Setelah menunggu beberapa menit, perutku juga mulai berontak, jadi aku memutuskan meninggalkan jaket suami di bangkunya, dan pergi ke toilet. Ternyata ada toilet khusus untuk laki-laki dan perempuan. Toiletnya besar, sangat bersih, bahkan wangi sekali karena sepertinya baru selesai dibersihkan.
Rasanya legaaaaa sekali setelah mengeluarkan isi perut di pagi hari ini hahahaha... Setelah itu aku sikat gigi, cuci muka dan sekalian membasuh lengan dengan air, mumpung tempatnya bersih dan nyaman.
Usai dari toilet, aku keluar dan suami masih belum kembali ke meja kami tadi, jadi aku mengambil jaketnya dan memutuskan untuk duduk di bangku yang berada di luar restoran agar bisa sambil menikmati udara segar pagi ini.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya suami keluar juga dan menyusulku duduk di luar. Ketika itulah ada seorang anak kecil yang menawarkan dagangannya kepada kami, yakni souvenir buatan suku Hmong. Sebetulnya kami tidak terlalu berminat untuk membeli apa-apa, namun karena kasihan melihat gadis kecil ini, aku menanyakan harga sebuah gelang, yang ternyata hanya VND 5K per buahnya. Akhirnya kami membeli dua buah untuk dipakai di tangan kami masing-masing.
Saat ada seorang pelayan yang keluar, kami masih mencoba memesan kopi lagi, dan pelayan tersebut sepertinya menjawab iya. Kami masih menunggu pesanan kopi kami hingga sekitar 10-15 menitan sembari memotret suasana sekitar. Karena tak kunjung tiba, akhirnya sekitar jam 6.50 pagi kami berdua memutuskan untuk meninggalkan tempat ini saja. Kebetulan di seberang hotel ada ATM Agribank, dan kami hendak mengambil uang tunai hari ini. Maksud kami, kalau sampai pada saat kami masih di ATM dan kopi pesanan kami diantarkan, kami akan kembali lagi.
Sembari menunggu antrian seorang perempuan di ATM, beberapa kali kami melihat ke arah restoran BB Hotel, tapi sepertinya memang tidak ada yang mencari kami atau mengantarkan pesanan kopi kami. Yakinlah kami bahwa sepertinya pelayan hotel tadi menganggap kami adalah tamu di BB Hotel, dan disangkanya kami sudah hendak ngopi dan sarapan, sementara semuanya belum tersedia saat kami datang. Duh, kalau dipikir-pikir sebetulnya beruntung sekali ya... Pagi-pagi luntang-luntung belum dapat kamar, tapi malah bisa menumpang ke toilet yang mewah dan nyaman di hotel bintang 4, dan pastinya GRATIS hahahaha...
Kami menarik uang tunai sebesar 3 juta dong di ATM Agribank. Berbeda dengan ATM Military Bank yang tidak mengenakan biaya, ATM Agribank mengenakan biaya sebesar VND 20K.
Catatan: transaksi sebesar 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.838.202, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Setelah kondisi perut nyaman dan dompet cukup tebal, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan karena saat itu sudah hampir jam 7 pagi. Berjalan kaki lagi, kali ini menanjak, sampailah kami di penginapan. Pintu sudah tidak terkunci, dan gadis penjaganya tadi sudah bangun. Kami bertanya apakah benar-benar tidak bisa check-in awal, dan katanya kamarnya masih penuh jadi tidak bisa. Jam 12 siang baru kami bisa check-in. Entah benar penuh atau tidak, namun kami tidak bisa memaksa juga, jadi kami duduk-duduk sejenak di lantai sambil melihat di Google Map tempat apa saja yang bisa dikunjungi, lalu keluar dan melihat-lihat lagi ke sekitar. Pemandangan pegunungan hijau dengan awan-awan putih di sela-selanya benar-benar indah dan menyenangkan untuk dilihat. Kami mengamati ada semacam rel di belakang gedung-gedung di sini, sepertinya itu adalah rel kereta gantung bagi para turis yang hendak ke Gunung Fansipan.
Di bawah Asiana Sapa Hotel, ada rumah yang di halamannya banyak sepeda motor, jadi kami bertanya kepada si gadis resepsionis apabila kami ingin menyewa sepeda motor. Ternyata bisa, dan tarifnya VND 120K/hari untuk motor manual. Jadilah kami menyewa sebuah sepeda motor. Si gadis sempat mengajarkan cara mengganti gigi sepeda motornya, karena mungkin dia menganggap kami belum pernah naik motor manual hehehehe...
Petualangan hari pertama di Sa Pa pun dimulai ^_^
---
Sa Pa atau Sapa adalah kota perbatasan dan ibukota Distrik Sa Pa di Provinsi Lào Cai di barat laut Vietnam. Sa Pa merupakan sebuah kota pegunungan kecil di Provinsi Lao Cai yang terletak sekitar 380 KM barat laut Hanoi, dekat dengan perbatasan Cina. Dulunya kota ini didirikan oleh Perancis pada tahun 1922 sebagai pos di area barat laut. Di kota ini terdapat rangkaian pegunungan Hoang Lien Son (yang terletak di ujung timur Himalaya) yang mencakup Fan Si Pan, puncak tertinggi di Vietnam (3143 mdpl).
Kota ini berhawa sejuk dengan suhu udara rata-rata harian berkisar 15 - 18 derajat Celcius dan hampir selalu diselimuti kabut. Pada musim dingin, sekitar Bulan Desember - Februari, suhu udara hanya berkisar 8 - 12 derajat Celcius sehingga bisa dipastikan kabut pun selalu menyelimuti kota ini. Karena cuacanya yang sering berubah-ubah, Sa Pa dikenal sebagai kota dengan empat musim dalam sehari, yaitu musim semi di pagi hari, musim panas di siang hari, musim gugur di sore hari dan musim dingin di malam hari.
Kota Sa Pa sendiri berada di ketinggian 1.500 mdpl dengan iklim hujan di musim panas (Mei - Agustus), dan berkabut, dingin, serta kadangkala bersalju di musim dingin. Populasinya yang berkisar 36.000 jiwa didominasi oleh etnis minoritas. Kota yang tenang ini merupakan tempat tinggal berbagai suku. Ada lima kelompok etnis utama di Sapa: Hmong, Dao, Tay, Giay dan Xa Pho. Sa Pa pertama kali ditempati oleh empat kelompok pertama, karena orang Vietnam dari dataran rendah (yang lebih dikenal sebagai Kinh) tidak merambah lembah-lembah tertinggi. Kelima etnis minorotas tersebut tinggal menyebar di berbagai desa di sekitar Sa Pa, dengan gaya hidup yang masih tradisional. Keunikan etnis-etnis tersebut adalah busana dan aksesoris yang biasa mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari. Etnis-etnis tersebut (khususnya kaum wanita), selalu mengenakan busana dan aksesoris yang tampak meriah dan berwarna-warni. Bagi kaum wanita dari Etnis Hmong dan Dao, pakaian selain sebagai penanda identitas juga menjadi simbol penting dalam relasi sosial. Keunikan busana dan aksesoris berbagai etnis minoritas di Sa Pa ini juga salah satu daya tarik turis dan fotografer dari berbagai penjuru dunia untuk mengunjungi Sapa.
Saat ini Sa Pa merupkan kota yang menjadi pusat wisata di Vietnam barat laut yang tertarik oleh suku-suku dataran tinggi, sawah-sawah yang indah, dan kegiatan trekking. Seluruh area Sa Pa memiliki keindahan alam yang menakjubkan.
Pada umumnya turis datang ke Sa Pa bukan untuk menikmati kotanya, namun untuk trekking di alam dan desa-desa sekitarnya. Kota ini merupakan pangkalan trekking utama di Vietnam Utara, di mana para hikers akan menjelajah pedesaan di sekitar kota Sa Pa di mana terdapat sawah-sawah terasering dan desa-desa kecil yang bagaikan berada di dunia lain. Di sinilah pesona asli Sa Pa yang sesungguhnya.
Hiking dan menikmati alam adalah hal utama yang ditawarkan di Sa Pa. Atraksi paling touristy di sini adalah Fan Si Pan. Berjarak 19 KM dari kota, trek menuju ke puncaknya berupa medan yang cukup berat, belum lagi cuaca yang tidak menentu. Namun kini sudah disediakan kereta gantung yang dapat membawa turis menuju ke puncak Fan Si Pan dengan membayar VND 700K.
Di pusat kota Sa Pa sendiri ada sebuah museum dan sebuah katedral. Selain itu, jalanan di kota ini dipenuhi dengan akomodasi dengan berbagai pilihan harga, rumah-rumah makan, cafe, dan pedagang kaki lima. Kota ini tidak memiliki shopping mall, namun di pasar tradisional yang berlokasi di dekat terminal bus, pengunjung bisa mencari apa saja, mulai dari bahan makanan segar, street food, berbagai macam kerajinan tangan lokal dan pakaian maupun souvenir. Banyak pedagang yang menawarkan barang dagangannya dengan harga setinggi mungkin, karena itu usahakan untuk selalu menawar harganya apabila kita berminat membeli sesuatu. Selain itu masih ada Bac Ha Market (hanya ada setiap hari Sabtu) dan Coc Ly Market (hanya ada setiap hari Selasa), di mana situasinya lebih ke jual beli penduduk lokal dan bukan untuk menarik turis.
Pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah bertani, dan karena lokasinya yang berada di pegunungan inilah para petani menggunakan sistem terasering (bertingkat) untuk sawah-sawah mereka. Pada tahun 2014, Sa Pa berada di posisi ke-9 dari 10 tempat teratas untuk tujuan wisata sawah terasering. Lokasi geografisnya membuat Sa Pa menjadi tempat yang unik bagi beberapa spesies hewan dan tumbuhan. Banyak spesies langka yang diduga sudah lama mendiami tempat ini.
Sebelum tahun 90-an, ekonomi daerah bergantung pada pertanian, namun semenjak berkembang pesatnya kehadiran turis, banyak orang yang beralih ke bidang usaha hospitality. Saat ini, trekking & homestay experience menjadi daya tarik utama turis yang hendak berkunjung di sini.
---
Waktu menunjukkan jam 8 pagi dan suasana masih mendung dan berkabut di pegunungan. Setelah ada kendaraan, kami membawa barang-barang yang penting saja, dan sisanya kami titipkan kembali kepada si gadis resepsionis. Pertama-tama, kami mengisi bensin dulu di pombensin terdekat sebanyak VND 20K. Kebetulan letaknya sangat dekat dengan pasar tradisional, jadi sekalian saja kami ke pasar.
Pasar tradisional di Sa Pa ini termasuk besar. Ada pasar basah yang menjual berbagai macam makanan dan bahan makanan segar seperti pada umumnya, dan pasar kering yang menjadi tempat berjualan bagi para pedagang pakaian, aksesoris, souvenir, dan beberapa tempat makan.
Kami berjalan kaki mengelilingi pasar, dan melihat berbagai macam sayur yang tampak segar dan menggiurkan. Kemudian ada lapak-lapak yang menjual berbagai macam jajanan, bumbu dapur, dan buah-buahan. Di bagian yang menjual ikan dan daging juga banyak sekali jenis ikan dari yang kecil hingga besar, kerang, cumi, dan masih banyak lagi. Kami membeli 1 kg daging babi seharga VND 60K. Setelah itu kami keluar dan membeli dua buah donat dan jagung yang digoreng dengan tepung seharga VND 20K untuk ketiganya. Suami langsung makan donatnya dan aku makan kue jagungnya untuk sarapan.
Setelah perut kenyang, kami masih berjalan mengitari pasar kering dan sekitarnya. Banyak pedagang di pinggir trotoar yang menjual trekking poles, payung, jas hujan, syal, aksesoris, dan masih banyak lagi. Dari luar pasar ini kami bisa melihat pegunungan di balik gedung-gedung yang tertutup oleh kabut.
Kami sempat mencari whisky lokal di toko-toko sekitar pasar, tapi sepertinya tidak ada yang menjual, namun kami jadi menemukan beberapa toko yang sepertinya menjual sayuran secara grosiran. Para karyawannya pun tampak sibuk mengepak sayur-mayur yang hendak dikirim. Akhirnya aku membeli 1 kg kentang seharga VND 15K di tempat tersebut.
Dari pasar, kami kembali mengendarai sepeda motor menuju ke Sa Pa Lake, hanya untuk sekedar melihat-lihat, dan setelah itu kami ke pusat kota yang hanya beberapa menit saja naik motor. Suasana kota mulai terasa ramai dan mulai banyak kendaraan yang memadati jalanan. Kami parkir di dekat alun-alun, di seberang Notre Dame Cathedral, dan kemudian berjalan-jalan di sekitar area ini.
Notre Dame Cathedral termasuk tempat yang cukup touristy, dan pagi ini saja sudah banyak turis yang antri untuk berfoto di depan katedral. Kami sendiri hanya melihat dan memotret dari agak kejauhan. Alun-alunnya sendiri cukup luas, dikelilingi oleh tempat-tempat duduk bertingkat seperti di dalam stadion olahraga.
Di sekitar alun-alun inilah kami melihat banyak perempuan, dari yang muda hingga paruh baya, berkeliaran di trotoar alun-alun untuk mencari nafkah. Gadis-gadis kecil kebanyakan menggendong adik-adik mereka yang masih balita untuk mengundang rasa iba dari para turis, dan biasanya mereka menjual berbagai macam souvenir seperti gelang, kalung, dan dompet khas suku mereka.
Di sinilah kemudian salah satu perempuan dari suku Black Hmong menawari kami paket trekking dan homestay. Katanya, per orang per hari biayanya hanya VND 350K saja. Kami bisa memilih dua hari satu malam atau tiga hari dua malam, atau bahkan lebih. Aku mengatakan bahwa kami masih menunggu teman yang akan datang esok hari, dan akan kami rundingkan dulu. Kemudian si ibu Hmong tersebut setengah memaksa memakaikan sebuah gelang buatan suku Hmong, katanya untuk hadiah, jadi mau tidak mau aku membiarkannya memasangnya di pergelangan tanganku dan suami juga. Aku juga sempat berfoto bersama mereka untuk kenang-kenangan, dan siapa tahu kami membutuhkan jasa mereka saat Freyja tiba.
Setelah itu kami kembali mengendarai sepeda motor, saat melihat sebuah supermarket yang cukup besar, Xuan Trong Mart. Kami berhenti dan masuk ke dalamnya. Ternyata yang dijual di supermarket ini cukup lengkap, mulai dari bahan makanan segar, segala keperluan dapur hingga peralatan dan bahan keperluan rumah tangga, bahkan ada bakery kecil di salah satu sudutnya yang menjual roti dan kue-kue. Kalau tidak salah, di lantai atasnya juga masih ada produk-produk fashion hingga arena bermain anak. Harga-harganya pun tidak terlalu mahal.
Kami membeli Vodka Hanoi seharga VND 72K dan sebuah kem socola (kem = es krim, sokola = cokelat) seharga VND 15K.Kami menikmati satu es krim ini berdua sambil duduk dan beristirahat di sebuah bangku di depan Sa Pa Lake. Padahal udaranya dingin tapi masih saja makan es krim ya hehehehe...
Waktu menunjukkan jam 10 pagi saat kami memutuskan untuk pergi ke sebuah viewpoint di dekat kota. Jalan yang kami lalui cenderung menanjak dan rusak. Setelah sampai di dekat viewpoint tersebut, kami memarkirkan kendaraan dan berjalan kaki melalui jalan setapak yang ada. Dari kejauhan saja sudah tampak bahwa kami tidak akan bisa melihat apa pun karena kabut yang sangat tebal di depan mata, namun kami terus berjalan hingga sampai di sebuah area yang cukup luas. Sekeliling kami hanya berupa kabut putih, tidak tampak pemandangan apa pun, namun aku tetap menikmatinya, karena aku suka kabut hehehehe...
Kami bersantai-santai, duduk-duduk di tempat ini sembari menghabiskan waktu, dan tidak terasa hampir satu jam kami lewatkan di tempat ini.
Sekitar jam 11.05 siang, kami kembali berkendara ke penginapan, dan bahkan di area ini pun kabut menutupi pandangan ke segala arah. Walaupun masih jam 11.25 siang, ternyata kami sudah diperbolehkan untuk check-in. Wah senang sekali rasanya. Kami membayar di awal sebesar VND 170K, namun tetap harus meninggalkan paspor asli :(
Kamar kami kali ini sederhana namun cukup luas dan pastinya bersih, walaupun di tembok kamar terlihat berjamur. Sepertinya karena cuaca yang sangat lembab hampir setiap hari. Kasurnya cukup nyaman walaupun keras, kamar mandinya pun bersih dan tampak terawat. Tidak ada AC (dan memang tidak diperlukan), namun disediakan electric kettle dan dua buah gelas plastik.
Kami ngopi dulu di dalam kamar, dan setelah itu kami berdua berbenah, merapikan barang-barang, dan kemudian bergantian mandi air hangat. Sekitar jam 2 siang, suami sudah tertidur pulas di suhu yang dingin siang ini. Aku sendiri masih masak kentang dan daging babi yang dibeli tadi pagi. Setelah semuanya selesai, barulah aku menyusul tidur sekitar jam 3 sore.
Entah karena terlalu lelah atau karena udara dingin yang nyaman, kami baru bangun jam 6 petang. Suami mengembalikan kunci sepeda motor terlebih dahulu, karena sepeda motor dan kuncinya harus dikembalikan paling lambat jam 7 malam (kecuali kalau sewa lebih dari 1 hari). Aku menyiapkan hidangan sederhana untuk makan malam. Kentang rebus, daging rebus dan sayuran untuk suami, dan menu yang sama untukku minus kentang rebus.
Usai makan malam, karena kondisi tubuh sudah segar dan perut sudah kenyang, sekitar jam 7.45 malam kami memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. Berjalan kaki menembus kegelapan dan kabut, suasananya terasa menyenangkan sekali.
Sampai di alun-alun sekitar jam 8 malam, dan kabut benar-benar menyelimuti seluruh penjuru kota. Kami duduk dan bersantai di alun-alun, menyaksikan kegiatan penduduk lokal. Banyak orang yang sedang main semacam sepak takraw di tempat ini, mungkin mencari keringat di dalam udara yang dingin hehehehe...
Setelah sekitar 15 menit kami beranjak dari alun-alun dan menyusuri jalanan di kota Sa Pa. Banyak penjaja makanan di mana-mana, dan banyak sekali yang menjual jenis makanan barbeque, mulai dari sayuran, daging, dan masih banyak lagi. Pada umumnya suasana kota relatif sepi, mungkin karena cuaca yang dingin. Kami melewati jalan-jalan besar dan kecil, menikmati suasana yang menyenangkan di sini. Sebenarnya aku ingin membeli trekking pole, karena niat kami ke Sa Pa adalah untuk trekking, entah trekking mandiri atau dengan guide orang lokal. Namun rata-rata toko yang kami masuki menjual trekking pole dengan kualitas kurang bagus dengan harga yang sangat mahal, bahkan beberapa di antaranya tampak seperti barang bekas pakai. Aku memang pernah membaca bahwa terkadang trekkers menyumbangkan trekking poles mereka kepada penduduk setempat karena sudah tidak terpakai lagi, jadi mungkin saja yang kami lihat tersebut memang barang bekas.
Suami sempat membeli sebuah roti untuk sarapan esok hari seharga VND 15K. Sempat juga membeli rokok, yang harganya agak lebih mahal daripada di Indonesia. Sebungkus Marlboro Black Menthol dihargai VND 45-50K. Aku sendiri kemudian tertarik untuk membeli Vietnamese Pizza isi telur seharga VND 20K. Kami makan "pizza" ini sembari berjalan, dan kemudian menghabiskannya sembari duduk santai di alun-alun kota.
Waktu menunjukkan jam 9 malam lewat saat kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Jalanan yang kami lalui benar-benar gelap dan berkabut, sampai suami harus menggunakan HP-nya untuk mengaktifkan senter. Udara pun terasa dingin dan sangat lembab. Sesampai di dalam kamar barulah rasanya hangat kembali. Kami masih bersantai-santai, memanfaatkan wifi yang tersedia. Sudah lewat jam 10 malam saat aku kembali merasa lapar (mungkin karena udara yang dingin), dan membuat mie instan yang ternyata adalah bubur instan. Pantas saja harganya murah sekali, kurang dari dua ribu rupiah hahahaha...
Baru sekitar jam 11 malam akhirnya kami berdua tidur....
Kami masih belum punya rencana untuk besok, namun yang pasti kami akan bertemu kembali dengan Freyja ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment