22 April 2018
Sebenarnya kalau kita travelling, apalagi dalam jangka waktu yang cukup lama, tidak terasa kita akan melupakan hari dan tanggal. Demikian pula denganku, pada umumnya aku tidak terlalu mengingat hari dan tanggal kalau tidak membuat catatan dan menyalin pembukuan setiap hari. Untungnya aku mengingat-ingat bahwa hari ini adalah hari Minggu, dan aku membaca bahwa tiap hari Minggu ada upacara alms giving ceremony di jalan-jalan utama Luang Prabang. Walaupun upacara ini mungkin berlangsung setiap hari, namun pada hari Minggu biasanya lebih banyak biksu yang berjalan berkeliling dan lebih banyak pula orang awam yang menanti di tepi-tepi jalan. Biasanya upacara ini akan berpusat di jalan utama Sisavangvong Road.
Dengan alasan di atas itulah aku bangun lebih pagi dari biasanya, begitu pun suami. Aku bangun jam 4.30 pagi agar bisa melakukan rutinitas pagiku terlebih dahulu, dan suami terbangun sekitar jam 5 pagi.
Jam 5.30 pagi, suasana masih tampak gelap dan kami sudah berjalan kaki menuju ke perempatan Sisavangvong Road. Ternyata suasana di sini sudah cukup ramai dengan orang-orang awam yang hendak memberi kepada para biksu, ditambah banyak turis yang sudah mangkal dengan kamera-kamera mereka. Tampak pula banyak penjual sesembahan yang bisa dibeli apabila kita juga ingin memberi sesuatu kepada para biksu tersebut, pada umumnya berupa makanan atau nasi ketan.
Tidak berapa lama menunggu, tampak serombongan biksu yang berbaris membawa keranjang untuk diisi pemberian dari masyarakat. Dari arah yang berbeda juga ada serombongan biksu lain dengan keranjang-keranjang serupa. Pada umumnya masyarakat yang akan memberi sesuatu akan berlutut di tepi trotoar, dan saat biksu-biksu tersebut lewat, mereka akan memasukkannya ke dalam keranjang para biksu tersebut.
Di lain pihak, ada pula beberapa anak kecil yang bertampang dan berpakaian lusuh, dan mereka duduk di trotoar atau di bangku-bangku pendek yang tertata di sana, dengan keranjang atau ember di depannya.
Kami baru menyadari bahwa biksu-biksu ini kemudian akan berbagi juga kepada anak-anak kecil tersebut. Ada satu dua anak kecil yang langsung makan pemberian dari sang biksu yang lewat. Sejujurnya miris sekali aku melihat pemandangan ini. Anak-anak kecil yang lusuh dan dekil, bisa dibilang mengemis di tepi jalan demi makanan. Herannya ada juga anak kecil yang walaupun pakaiannya dekil namun rambutnya disemir coklat hahahaha...
Sementara itu kami juga melihat semakin banyak turis asing (Asia maupun Westerner) yang beraksi dengan kamera maupun smartphone-nya. Yang jadi masalah adalah, kadang mereka memotret dari jarak yang sangat dekat dengan para biksu atau para pemberi. Kebetulan yang paling membuat kesal adalah dua orang perempuan asal Malaysia (terlihat dari cara berpakaian dan bahasanya saat berbicara). Sepertinya mereka melihat ini hanya sebagai atraksi atau tontonan saja, tanpa ada rasa menghargai apalagi menghormati. Mereka juga banyak melakukan selfie selama berada di sini. Aduh, iya selfie boleh-boleh saja kok, tapi nggak segitunya juga kali yeeeeee......
Ada juga beberapa "fotografer" yang memotret dari jarak dekat sampai jongkok-jongkok di tengah jalan dan tidak mempedulikan adanya kendaraan yang akan lewat. Yang ini sepertinya orang dari Jepang atau Korea, melihat dari raut wajahnya.
Kami sendiri berusaha memotret dari agak kejauhan, entah di seberang jalan atau menjaga jarak dari anak-anak kecil yang berada di sekitar kami. Bukan apa-apa, kami tahu bahwa bagi mereka hal ini adalah sesuatu yang sakral, karenanya sebisa mungkin kami tidak sampai mengganggu.
Ada kalanya jalanan sepi setelah serombongan biksu lewat. Sembari menunggu biasanya kami berjalan-jalan dan melihat-lihat suasana di sekitar, dan ada saja hal-hal kocak yang membuat kami tertawa. Kami sempat melihat seorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor dengan bendera di dekat kaca spionnya, dan kertas bertuliskan TAXI tertempel di bagian depan motornya. Duh ada-ada saja ya kelakuan orang ^_^
Kami berada di sekitar perempatan jalan ini hingga jam 6.15 pagi, dan kemudian berjalan pulang kembali ke penginapan. Karena masih memiliki roti tawar, aku membuat roti bakar di dapur untuk sarapan suami, Flo, dan Jasmine. Mungkin rasanya lebih mirip toasted bread, karena aku tidak menggunakan minyak di wajan. Sementara persediaan selai Nutella masih cukup banyak, jadi tinggal mengoleskannya saja ke atas roti ^_^
Pada umumnya Flo & Jasmine bangun agak siang, antara jam 8-9 pagi. Setelah membuat dan mengantarkan sarapan ke atas, aku membuatkan kopi untuk mereka bertiga, dan kembali melanjutkan pekerjaan di dapur untuk membuat bekal makan siang kami berempat. Memanfaatkan nasi yang tersisa, mie instan dan sayuran, aku membuat nasi mawut (semacam nasi goreng + mie, salah satu makanan khas di Banyuwangi) dan sayur-mayur untukku.
Setelah semuanya siap, kami berdua mandi, dan dengan bantuan sang resepsionis, kami diteleponkan ke driver tuktuk yang kami jumpai sebelumnya. Jam 8.55 pagi, sang driver sudah datang menjemput kami di tepi jalan raya.
Jam 9 pagi, kami berangkat, dan baru beberapa menit, kami dipindahkan ke tuktuk lain yang agak sedikit lebih kecil. Kalau tidak salah mengartikan, driver kami yang baru ini adalah ayah dari driver pertama tadi. Akhirnya tuktuk yang berkapasitas 10 orang penumpang ini mengangkut kami berempat menuju ke Kuang Si Waterfalls. Ini adalah pengalaman pertama kami berdua naik tuktuk. Kebetulan yang digunakan adalah mobil pickup, jadi cukup nyaman, karena banyak tuktuk yang menggunakan kendaraan seperti Tossa (sepeda motor roda 3), jadi agak sempit.
Menuju ke arah Barat Daya sejauh 30 KM, melewati jalan-jalan kecil yang cukup berliku-liku dan cenderung naik, akhirnya kami tiba di area parkir Kuang Si Waterfalls 1 jam kemudian. Sang driver berkata akan menunggu kami hingga jam 1 siang, namun Flo mencoba menawar hingga jam 2 siang agar kami tidak terburu-buru. Flo juga memberikan snack dan sebuah mangga untuk sang driver, dan akhirnya sang driver menyetujui hehehehe...
Menurut legenda setempat, Kuang Si Falls dulunya terbentuk saat ada seorang laki-laki tua menemukan air dari Nam Si dengan menggali cukup dalam ke bumi. Setelah air keluar ke Kuang Si, seekor rusa emas membuat sarangnya di bawah sebuah batu besar yang terlindung dari air terjun. Suara air yang jatuh mengenai batu menciptakan echo yang membuai hingga menarik orang berdatangan, bahkan sampai sejauh China.
Nama Tat Kuang Si diperoleh dari legenda "tat" yang berarti air terjun, "kuang" yang berarti rusa, san "si" yang berarti menggali. Namun saat ini batu besar yang diceritakan di dalam legenda ini sudah tidak ada lagi karena batunya terlempar pada bulan Desember 2001 akibat adanya sebuah gempa bumi.
Suasana di tempat parkir belum terlalu ramai, mungkin karena masih relatif pagi. Banyak penjual makanan dan minuman serta pakaian dan aksesorisnya di tempat ini. Kami menuju ke loket tempat membeli tiket, dan sudah tertera tarif yang berlaku, yakni LAK 20K, baik untuk wisatawan domestik maupun asing. Usai membeli tiket, kami berempat sempat ke toilet dulu yang ada di dekat pintu masuknya, dan setelah itu kami masuk ke area tempat wisatanya.
Setelah berjalan kaki sejenak di jalan setapak, kita akan melihat Tat Kuang Si Bear Rescue Center, yakni tempat perlindungan atau suaka bagi beberapa Asiatic Black Bear yang hidup di sini. Setiap beruang memiliki nama, ada yang bernama Damm, Kham, Keo, Deng, dan lain-lain, yang masing-masing memiliki papan yang berisi penjelasan mengenai karakteristik mereka. Ada beberapa ekor beruang yang sedang bermalas-malasan, sementara beberapa lainnya sedang asyik bermain. Lucu juga melihat kelakuan mereka ^_^
Setelah melewati tempat penangkaran beruang ini, kami berjalan lagi selama beberapa menit, dan sudah mulai terlihat air-air terjun kecil dan kolam-kolam kecil yang dialiri air tersebut. Airnya memang berwarna hijau kebiruan (tosca). Baru di bagian bawah sini saja sudah mulai tampak indah. Dari sini ada dua pilihan, yakni "jalan mudah" dan jalan yang lebih memutar via trekking. Tidak perlu ditanya, kami berempat kompak memilih lewat jalan trekking. Selain mengharapkan medan yang lebih hijau, tentunya berharap tidak banyak orang yang melewati jalur ini. Benar saja, hanya kami berempat yang berada di jalur ini.
Setelah berjalan di jalan setapak melewati hutan, kami tiba di sebuah spot yang tampaknya mengasyikkan. Sayangnya saat hendak selfie di sini, bagian penjepit HP di tongsisku patah, jadi tidak bisa digunakan lagi huhuhuhu.... :((
Flo memutuskan untuk mencoba berenang di sini. Di seberang kolam kecil ini ada kolam lain yang lebih tinggi. Kata Flo tidak seram, jadi aku pun mencoba untuk berenang hingga ke seberang, ke kolam yang lebih tinggi tersebut. Suami juga akhirnya menyusul. Saat di tempat yang lebih tinggi inilah tampak di bawah sana ada cukup banyak orang, di kolam-kolam lain yang agak jauh di bawah. Flo sempat mengambil foto kami berdua saat berada di kolam yang tinggi tersebut.
Setelah puas berendam dan sedikit berenang, kami berdua kembali ke tepian. Sambil duduk-duduk untuk mengeringkan badan, kami mengobrol panjang lebar hingga tidak terasa waktu berlalu. Sekitar jam 11.30 siang, kami memutuskan untuk makan siang bersama di tempat ini. Flo & Jasmine senang sekali kami membawakan bekal makan siang untuk mereka.
Usai makan, tidak terasa sudah 2 jam kami habiskan di sini. Akhirnya kami beranjak dari tempat ini, dan berjalan mengikuti jalan setapak, hingga akhirnya tibalah kami di tempat air terjun utama yang memang indah dan banyak sekali bertebaran fotonya. Kami berempat mengambil foto di tempat ini, dan sempat berfoto bersama juga saat di jembatan.
Setelah sekitar 15 menit menghabiskan waktu untuk mengagumi air terjun Kuang Si, kami memutuskan untuk berjalan lagi. Di sebuah area yang luas, baru tampak ternyata masih ada lagi tempat yang bisa dijelajahi. Jalurnya bisa dibilang cukup berbahaya, menanjak agak curam, diawali dengan anak tangga dari tanah, dan kemudian anak tangga dari kayu yang banyak dialiri air. Ternyata di sudut menjelang puncak ada air terjun lagi yang juga indah. Dari sini masih naik dan naik terus hingga kami tiba di sebuah area hutan yang datar dan luas.
Nah, dari tempat ini kemudian tampak beberapa kolam yang bisa diseberangi dengan jembatan kayu seadanya. Kami berempat menyusuri dan menjelajahi semua tempat di sini. Suasananya terasa sangat nyaman, dan ada beberapa tempat duduk bagi pengunjung. Ada sungai yang bisa dijelajahi dengan perahu kalau mau, dengan seorang biksu sebagai pendayungnya. Boleh juga berenang di tempat tersebut. Aku jelas tidak berani, selain karena takut air yang dalam (apalagi tidak terlihat dasarnya karena airnya yang agak keruh), suasana di sekeliling sungai ini masih hutan belantara dan agak creepy. Hanya Flo yang berani berenang di sungai ini. Katanya kalau naik perahu, di ujungnya ada biara juga. Ada juga ayunan di atas sebuah kolam kalau ada yang berani mencoba. Sepertinya air ada di mana-mana di tempat ini. Benar-benar menakjubkan!
Setelah nongkrong, menikmati suasana, tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1.45 siang, saatnya kami kembali ke tempat parkir. Kami berempat berjalan menyusuri hutan yang berbeda dengan waktu berangkat tadi,dan menuruni beberapa tanjakan curam dari tanah liat yang agak licin. Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya kami sampai di area luas tempat awal kami trekking tadi, dan kali ini kami langsung berjalan kaki menuju ke arah keluar melalui jalan yang berbeda dengan waktu berangkat di awal tadi. Ternyata suasananya di sini sudah ramai sekali, baik oleh turis domestik maupun asing. Banyak anak kecil yang sedang berendam di kolam-kolam kecil yang di bawah (kalau di kolam air terjun utamanya tidak boleh untuk berendam atau berenang).
Kami sampai di tempat parkir jam 2.05 siang, dan sang driver sudah menunggu dan tampaknya tidak jengkel walaupun menunggu hingga lebih dari 4 jam. Tampak semakin banyak pengunjung yang memadati tempat ini, karena memang sangat terkenal dan touristy.
Karena lelah, selama perjalanan pulang kami berempat lebih banyak diam sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan. Perjalanan pulang terasa sangat panas, bahkan angin yang berhembus pun tidak terasa menyejukkan. Dan akhirnya kami sampai kembali di penginapan sekitar jam 3 sore. Sesuai dengan kesepakatan di awal, kami membayar LAK 160K (sebetulnya bisa dibagi hingga 10 orang, namun LAK 40K/orang kurasa masih murah karena jadi seperti tuktuk sewaan pribadi hehehe). Aku dan suami memutuskan untuk memberi tip sebesar LAK 10K karena pelayanan sang driver yang sangat baik dan ramah (walaupun tidak lancar berbahasa Inggris).
Sesampai di atas, aku membuatkan kopi untuk semuanya, dan kami ngopi sambil mengobrol di balkon. Setelah itu aku dan suami bergantian mandi, dan aku mencuci semua pakaian kotor yang ada, karena kurasa cuaca di sini sangat baik untuk menjemur pakaian hahahaha... Hari ini pun benar-benar luar biasa panasnya, suhu udara mencapai 44 derajat Celcius bahkan di sore hari.
Jam 4.30 sore, kami berdua berjalan kaki ke terminal bus utara untuk membeli atau mencari keterangan mengenai tiket bus kembali ke Dien Bien Phu. Di Google Map tertera jaraknya hanya 2,5 KM, karenanya kami memutuskan untuk jalan kaki walaupun matahari masih bersinar dengan terik dan panasnya sungguh menyengat di kulit.
Ternyata jaraknya lebih dari 3 KM, jadi kami harus berjalan lagi dan lagi sambil mengeluh kepanasan. Setelah berjalan kaki yang serasa tiada akhir, akhirnya kami sampai di terminal yang dituju. Dengan penuh harap karena sudah lelah akibat terlalu panas, kami menuju ke loket dan menanyakan tiket yang kami cari, dan ternyata tiket menuju ke Dien Bien Phu hanya dijual di terminal selatan yang lebih jauh lagi! Duh, sakitnya tuh di sini hahahaha...
Akhirnya kami putar balik dan jalan kaki lagi menuju ke arah kembali. Melewati supermarket yang kami kunjungi saat baru sampai di kota ini, kami mampir untuk ngadem sejenak dan hanya membeli minuman dingin, snack, dan sebungkus rokok. Di supermarket ini juga dijual banyak sekali macam manisan dan asinan yang sudah dipacking rapi.
Setelah agak segar, kami kembali berjalan dan langsung menuju ke pasar untuk membeli 8 butir telur (@LAK 1K), daun bawang (LAK 1K), kerupuk rambak (LAK 5K), laolao (LAK 5K), dan roti sobek (LAK 5K).
Saat berangkat tadi, kami melihat seorang pedagang kaki lima yang menjual ayam goreng crispy, dan rencananya akan membeli di perjalanan pulang. Ternyata pada saat kami lewat lagi, penjualnya sudah tidak ada alias sudah tutup. Kasihan suami yang sudah berharap bakal makan ayam crispy malam ini hehehehe...
Kami sampai kembali di penginapan jam 6.30 petang, dan aku langsung menyiapkan makanan untuk makan malam. Kali ini aku membuat pho goreng sayuran dari pho kering yang kubeli sebelumnya. Cara memasaknya sama dengan mie kering biasa sih... ditambah dengan tomat dan sawi putih. Untuk suami, tinggal ditambahkan daging babi rebus yang tersisa. Kemudian aku juga membuat telur dadar isi daun bawang, dan ditambah irisan timun dan cabe untukku ^_^
Tepat jam 7 malam, makanan sudah siap dan kami berempat makan bersama. Suasananya menyenangkan sekali walaupun cuacanya masih tetap sangat panas dan lembab. Tidak terasa kami mengobrol hingga jam 10.45 malam, dan setelah itu kami pun kembali ke kamar masing-masing, mandi, lalu istirahat...
Hari ini kami "hanya" berjalan kaki total sejauh 14 KM, namun rasanya sangat melelahkan. Mungkin terutama karena panas yang luar biasa sepanjang hari. Kemarin-kemarin juga panas, tapi hari ini rasanya lebih panas lagi.
Hari ini paket data internet dari SIM Card yang kubeli di Laos ini habis masa berlakunya, jadi mulai besok kalau tidak ada wifi, kami berdua akan "menghilang" dari dunia maya hingga sampai kembali ke Vietnam...
To be continued.......
Dengan alasan di atas itulah aku bangun lebih pagi dari biasanya, begitu pun suami. Aku bangun jam 4.30 pagi agar bisa melakukan rutinitas pagiku terlebih dahulu, dan suami terbangun sekitar jam 5 pagi.
Jam 5.30 pagi, suasana masih tampak gelap dan kami sudah berjalan kaki menuju ke perempatan Sisavangvong Road. Ternyata suasana di sini sudah cukup ramai dengan orang-orang awam yang hendak memberi kepada para biksu, ditambah banyak turis yang sudah mangkal dengan kamera-kamera mereka. Tampak pula banyak penjual sesembahan yang bisa dibeli apabila kita juga ingin memberi sesuatu kepada para biksu tersebut, pada umumnya berupa makanan atau nasi ketan.
Tidak berapa lama menunggu, tampak serombongan biksu yang berbaris membawa keranjang untuk diisi pemberian dari masyarakat. Dari arah yang berbeda juga ada serombongan biksu lain dengan keranjang-keranjang serupa. Pada umumnya masyarakat yang akan memberi sesuatu akan berlutut di tepi trotoar, dan saat biksu-biksu tersebut lewat, mereka akan memasukkannya ke dalam keranjang para biksu tersebut.
Di lain pihak, ada pula beberapa anak kecil yang bertampang dan berpakaian lusuh, dan mereka duduk di trotoar atau di bangku-bangku pendek yang tertata di sana, dengan keranjang atau ember di depannya.
Kami baru menyadari bahwa biksu-biksu ini kemudian akan berbagi juga kepada anak-anak kecil tersebut. Ada satu dua anak kecil yang langsung makan pemberian dari sang biksu yang lewat. Sejujurnya miris sekali aku melihat pemandangan ini. Anak-anak kecil yang lusuh dan dekil, bisa dibilang mengemis di tepi jalan demi makanan. Herannya ada juga anak kecil yang walaupun pakaiannya dekil namun rambutnya disemir coklat hahahaha...
Sementara itu kami juga melihat semakin banyak turis asing (Asia maupun Westerner) yang beraksi dengan kamera maupun smartphone-nya. Yang jadi masalah adalah, kadang mereka memotret dari jarak yang sangat dekat dengan para biksu atau para pemberi. Kebetulan yang paling membuat kesal adalah dua orang perempuan asal Malaysia (terlihat dari cara berpakaian dan bahasanya saat berbicara). Sepertinya mereka melihat ini hanya sebagai atraksi atau tontonan saja, tanpa ada rasa menghargai apalagi menghormati. Mereka juga banyak melakukan selfie selama berada di sini. Aduh, iya selfie boleh-boleh saja kok, tapi nggak segitunya juga kali yeeeeee......
Ada juga beberapa "fotografer" yang memotret dari jarak dekat sampai jongkok-jongkok di tengah jalan dan tidak mempedulikan adanya kendaraan yang akan lewat. Yang ini sepertinya orang dari Jepang atau Korea, melihat dari raut wajahnya.
Kami sendiri berusaha memotret dari agak kejauhan, entah di seberang jalan atau menjaga jarak dari anak-anak kecil yang berada di sekitar kami. Bukan apa-apa, kami tahu bahwa bagi mereka hal ini adalah sesuatu yang sakral, karenanya sebisa mungkin kami tidak sampai mengganggu.
Ada kalanya jalanan sepi setelah serombongan biksu lewat. Sembari menunggu biasanya kami berjalan-jalan dan melihat-lihat suasana di sekitar, dan ada saja hal-hal kocak yang membuat kami tertawa. Kami sempat melihat seorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor dengan bendera di dekat kaca spionnya, dan kertas bertuliskan TAXI tertempel di bagian depan motornya. Duh ada-ada saja ya kelakuan orang ^_^
Kami berada di sekitar perempatan jalan ini hingga jam 6.15 pagi, dan kemudian berjalan pulang kembali ke penginapan. Karena masih memiliki roti tawar, aku membuat roti bakar di dapur untuk sarapan suami, Flo, dan Jasmine. Mungkin rasanya lebih mirip toasted bread, karena aku tidak menggunakan minyak di wajan. Sementara persediaan selai Nutella masih cukup banyak, jadi tinggal mengoleskannya saja ke atas roti ^_^
Pada umumnya Flo & Jasmine bangun agak siang, antara jam 8-9 pagi. Setelah membuat dan mengantarkan sarapan ke atas, aku membuatkan kopi untuk mereka bertiga, dan kembali melanjutkan pekerjaan di dapur untuk membuat bekal makan siang kami berempat. Memanfaatkan nasi yang tersisa, mie instan dan sayuran, aku membuat nasi mawut (semacam nasi goreng + mie, salah satu makanan khas di Banyuwangi) dan sayur-mayur untukku.
Setelah semuanya siap, kami berdua mandi, dan dengan bantuan sang resepsionis, kami diteleponkan ke driver tuktuk yang kami jumpai sebelumnya. Jam 8.55 pagi, sang driver sudah datang menjemput kami di tepi jalan raya.
Jam 9 pagi, kami berangkat, dan baru beberapa menit, kami dipindahkan ke tuktuk lain yang agak sedikit lebih kecil. Kalau tidak salah mengartikan, driver kami yang baru ini adalah ayah dari driver pertama tadi. Akhirnya tuktuk yang berkapasitas 10 orang penumpang ini mengangkut kami berempat menuju ke Kuang Si Waterfalls. Ini adalah pengalaman pertama kami berdua naik tuktuk. Kebetulan yang digunakan adalah mobil pickup, jadi cukup nyaman, karena banyak tuktuk yang menggunakan kendaraan seperti Tossa (sepeda motor roda 3), jadi agak sempit.
Menuju ke arah Barat Daya sejauh 30 KM, melewati jalan-jalan kecil yang cukup berliku-liku dan cenderung naik, akhirnya kami tiba di area parkir Kuang Si Waterfalls 1 jam kemudian. Sang driver berkata akan menunggu kami hingga jam 1 siang, namun Flo mencoba menawar hingga jam 2 siang agar kami tidak terburu-buru. Flo juga memberikan snack dan sebuah mangga untuk sang driver, dan akhirnya sang driver menyetujui hehehehe...
Menurut legenda setempat, Kuang Si Falls dulunya terbentuk saat ada seorang laki-laki tua menemukan air dari Nam Si dengan menggali cukup dalam ke bumi. Setelah air keluar ke Kuang Si, seekor rusa emas membuat sarangnya di bawah sebuah batu besar yang terlindung dari air terjun. Suara air yang jatuh mengenai batu menciptakan echo yang membuai hingga menarik orang berdatangan, bahkan sampai sejauh China.
Nama Tat Kuang Si diperoleh dari legenda "tat" yang berarti air terjun, "kuang" yang berarti rusa, san "si" yang berarti menggali. Namun saat ini batu besar yang diceritakan di dalam legenda ini sudah tidak ada lagi karena batunya terlempar pada bulan Desember 2001 akibat adanya sebuah gempa bumi.
Suasana di tempat parkir belum terlalu ramai, mungkin karena masih relatif pagi. Banyak penjual makanan dan minuman serta pakaian dan aksesorisnya di tempat ini. Kami menuju ke loket tempat membeli tiket, dan sudah tertera tarif yang berlaku, yakni LAK 20K, baik untuk wisatawan domestik maupun asing. Usai membeli tiket, kami berempat sempat ke toilet dulu yang ada di dekat pintu masuknya, dan setelah itu kami masuk ke area tempat wisatanya.
Setelah berjalan kaki sejenak di jalan setapak, kita akan melihat Tat Kuang Si Bear Rescue Center, yakni tempat perlindungan atau suaka bagi beberapa Asiatic Black Bear yang hidup di sini. Setiap beruang memiliki nama, ada yang bernama Damm, Kham, Keo, Deng, dan lain-lain, yang masing-masing memiliki papan yang berisi penjelasan mengenai karakteristik mereka. Ada beberapa ekor beruang yang sedang bermalas-malasan, sementara beberapa lainnya sedang asyik bermain. Lucu juga melihat kelakuan mereka ^_^
Setelah melewati tempat penangkaran beruang ini, kami berjalan lagi selama beberapa menit, dan sudah mulai terlihat air-air terjun kecil dan kolam-kolam kecil yang dialiri air tersebut. Airnya memang berwarna hijau kebiruan (tosca). Baru di bagian bawah sini saja sudah mulai tampak indah. Dari sini ada dua pilihan, yakni "jalan mudah" dan jalan yang lebih memutar via trekking. Tidak perlu ditanya, kami berempat kompak memilih lewat jalan trekking. Selain mengharapkan medan yang lebih hijau, tentunya berharap tidak banyak orang yang melewati jalur ini. Benar saja, hanya kami berempat yang berada di jalur ini.
Setelah berjalan di jalan setapak melewati hutan, kami tiba di sebuah spot yang tampaknya mengasyikkan. Sayangnya saat hendak selfie di sini, bagian penjepit HP di tongsisku patah, jadi tidak bisa digunakan lagi huhuhuhu.... :((
Flo memutuskan untuk mencoba berenang di sini. Di seberang kolam kecil ini ada kolam lain yang lebih tinggi. Kata Flo tidak seram, jadi aku pun mencoba untuk berenang hingga ke seberang, ke kolam yang lebih tinggi tersebut. Suami juga akhirnya menyusul. Saat di tempat yang lebih tinggi inilah tampak di bawah sana ada cukup banyak orang, di kolam-kolam lain yang agak jauh di bawah. Flo sempat mengambil foto kami berdua saat berada di kolam yang tinggi tersebut.
Setelah puas berendam dan sedikit berenang, kami berdua kembali ke tepian. Sambil duduk-duduk untuk mengeringkan badan, kami mengobrol panjang lebar hingga tidak terasa waktu berlalu. Sekitar jam 11.30 siang, kami memutuskan untuk makan siang bersama di tempat ini. Flo & Jasmine senang sekali kami membawakan bekal makan siang untuk mereka.
Usai makan, tidak terasa sudah 2 jam kami habiskan di sini. Akhirnya kami beranjak dari tempat ini, dan berjalan mengikuti jalan setapak, hingga akhirnya tibalah kami di tempat air terjun utama yang memang indah dan banyak sekali bertebaran fotonya. Kami berempat mengambil foto di tempat ini, dan sempat berfoto bersama juga saat di jembatan.
Setelah sekitar 15 menit menghabiskan waktu untuk mengagumi air terjun Kuang Si, kami memutuskan untuk berjalan lagi. Di sebuah area yang luas, baru tampak ternyata masih ada lagi tempat yang bisa dijelajahi. Jalurnya bisa dibilang cukup berbahaya, menanjak agak curam, diawali dengan anak tangga dari tanah, dan kemudian anak tangga dari kayu yang banyak dialiri air. Ternyata di sudut menjelang puncak ada air terjun lagi yang juga indah. Dari sini masih naik dan naik terus hingga kami tiba di sebuah area hutan yang datar dan luas.
Nah, dari tempat ini kemudian tampak beberapa kolam yang bisa diseberangi dengan jembatan kayu seadanya. Kami berempat menyusuri dan menjelajahi semua tempat di sini. Suasananya terasa sangat nyaman, dan ada beberapa tempat duduk bagi pengunjung. Ada sungai yang bisa dijelajahi dengan perahu kalau mau, dengan seorang biksu sebagai pendayungnya. Boleh juga berenang di tempat tersebut. Aku jelas tidak berani, selain karena takut air yang dalam (apalagi tidak terlihat dasarnya karena airnya yang agak keruh), suasana di sekeliling sungai ini masih hutan belantara dan agak creepy. Hanya Flo yang berani berenang di sungai ini. Katanya kalau naik perahu, di ujungnya ada biara juga. Ada juga ayunan di atas sebuah kolam kalau ada yang berani mencoba. Sepertinya air ada di mana-mana di tempat ini. Benar-benar menakjubkan!
Setelah nongkrong, menikmati suasana, tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1.45 siang, saatnya kami kembali ke tempat parkir. Kami berempat berjalan menyusuri hutan yang berbeda dengan waktu berangkat tadi,dan menuruni beberapa tanjakan curam dari tanah liat yang agak licin. Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya kami sampai di area luas tempat awal kami trekking tadi, dan kali ini kami langsung berjalan kaki menuju ke arah keluar melalui jalan yang berbeda dengan waktu berangkat di awal tadi. Ternyata suasananya di sini sudah ramai sekali, baik oleh turis domestik maupun asing. Banyak anak kecil yang sedang berendam di kolam-kolam kecil yang di bawah (kalau di kolam air terjun utamanya tidak boleh untuk berendam atau berenang).
Kami sampai di tempat parkir jam 2.05 siang, dan sang driver sudah menunggu dan tampaknya tidak jengkel walaupun menunggu hingga lebih dari 4 jam. Tampak semakin banyak pengunjung yang memadati tempat ini, karena memang sangat terkenal dan touristy.
Karena lelah, selama perjalanan pulang kami berempat lebih banyak diam sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan. Perjalanan pulang terasa sangat panas, bahkan angin yang berhembus pun tidak terasa menyejukkan. Dan akhirnya kami sampai kembali di penginapan sekitar jam 3 sore. Sesuai dengan kesepakatan di awal, kami membayar LAK 160K (sebetulnya bisa dibagi hingga 10 orang, namun LAK 40K/orang kurasa masih murah karena jadi seperti tuktuk sewaan pribadi hehehe). Aku dan suami memutuskan untuk memberi tip sebesar LAK 10K karena pelayanan sang driver yang sangat baik dan ramah (walaupun tidak lancar berbahasa Inggris).
Sesampai di atas, aku membuatkan kopi untuk semuanya, dan kami ngopi sambil mengobrol di balkon. Setelah itu aku dan suami bergantian mandi, dan aku mencuci semua pakaian kotor yang ada, karena kurasa cuaca di sini sangat baik untuk menjemur pakaian hahahaha... Hari ini pun benar-benar luar biasa panasnya, suhu udara mencapai 44 derajat Celcius bahkan di sore hari.
Jam 4.30 sore, kami berdua berjalan kaki ke terminal bus utara untuk membeli atau mencari keterangan mengenai tiket bus kembali ke Dien Bien Phu. Di Google Map tertera jaraknya hanya 2,5 KM, karenanya kami memutuskan untuk jalan kaki walaupun matahari masih bersinar dengan terik dan panasnya sungguh menyengat di kulit.
Ternyata jaraknya lebih dari 3 KM, jadi kami harus berjalan lagi dan lagi sambil mengeluh kepanasan. Setelah berjalan kaki yang serasa tiada akhir, akhirnya kami sampai di terminal yang dituju. Dengan penuh harap karena sudah lelah akibat terlalu panas, kami menuju ke loket dan menanyakan tiket yang kami cari, dan ternyata tiket menuju ke Dien Bien Phu hanya dijual di terminal selatan yang lebih jauh lagi! Duh, sakitnya tuh di sini hahahaha...
Akhirnya kami putar balik dan jalan kaki lagi menuju ke arah kembali. Melewati supermarket yang kami kunjungi saat baru sampai di kota ini, kami mampir untuk ngadem sejenak dan hanya membeli minuman dingin, snack, dan sebungkus rokok. Di supermarket ini juga dijual banyak sekali macam manisan dan asinan yang sudah dipacking rapi.
Setelah agak segar, kami kembali berjalan dan langsung menuju ke pasar untuk membeli 8 butir telur (@LAK 1K), daun bawang (LAK 1K), kerupuk rambak (LAK 5K), laolao (LAK 5K), dan roti sobek (LAK 5K).
Saat berangkat tadi, kami melihat seorang pedagang kaki lima yang menjual ayam goreng crispy, dan rencananya akan membeli di perjalanan pulang. Ternyata pada saat kami lewat lagi, penjualnya sudah tidak ada alias sudah tutup. Kasihan suami yang sudah berharap bakal makan ayam crispy malam ini hehehehe...
Kami sampai kembali di penginapan jam 6.30 petang, dan aku langsung menyiapkan makanan untuk makan malam. Kali ini aku membuat pho goreng sayuran dari pho kering yang kubeli sebelumnya. Cara memasaknya sama dengan mie kering biasa sih... ditambah dengan tomat dan sawi putih. Untuk suami, tinggal ditambahkan daging babi rebus yang tersisa. Kemudian aku juga membuat telur dadar isi daun bawang, dan ditambah irisan timun dan cabe untukku ^_^
Tepat jam 7 malam, makanan sudah siap dan kami berempat makan bersama. Suasananya menyenangkan sekali walaupun cuacanya masih tetap sangat panas dan lembab. Tidak terasa kami mengobrol hingga jam 10.45 malam, dan setelah itu kami pun kembali ke kamar masing-masing, mandi, lalu istirahat...
Hari ini kami "hanya" berjalan kaki total sejauh 14 KM, namun rasanya sangat melelahkan. Mungkin terutama karena panas yang luar biasa sepanjang hari. Kemarin-kemarin juga panas, tapi hari ini rasanya lebih panas lagi.
Hari ini paket data internet dari SIM Card yang kubeli di Laos ini habis masa berlakunya, jadi mulai besok kalau tidak ada wifi, kami berdua akan "menghilang" dari dunia maya hingga sampai kembali ke Vietnam...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment