8 Mei 2018
Gara-gara semalam tidur terlalu awal, aku terbangun jam 1 pagi, dan susah untuk tidur lagi walaupun sudah berusaha merilekskan diri dan bolak-balik di kasur. Faktor kasur yang sangat keras juga salah satu yang membuat agak kurang nyaman. Andai kelambu tidak ditutup, aku yakin segala macam serangga akan berdatangan dan menggigiti kami saat tidur. Karena letak desa Du Gia yang berada di dasar lembah, suhunya juga sama sekali tidak dingin, jadi kipas angin menyala sepanjang malam. Akhirnya daripada tidak produktif, aku mengambil HP dan mulai menulis dan kadang membaca-baca Facebook. Tidak terasa waktu berlalu, dan baru sekitar jam 4 pagi aku tertidur lagi.
Aku baru bangun lagi jam 7.15 pagi, dan melakukan rutinitas pagiku seperti biasa. Suami juga bangun agak siang, jadi aku banyak waktu untuk bersantai dan melanjutkan menulis di HP dan sedikit merapikan meja di kamar yang agak berantakan. Satu hal yang kuperhatikan selama kami berada di Vietnam, semenjak berada di Ho Chi Minh City hingga ke Ha Giang, hampir setiap penginapan umumnya menyediakan sandal kamar, dan bentuk sandalnya kurang lebih sama, seperti yang di foto ini. Hanya warnanya kadang ada yang biru atau hitam, namun bentuknya sama. Bahkan untuk beberapa sleeper bus yang kami naiki, pihak bus juga menyediakan sandal seperti ini untuk penumpang yang akan turun dari bus tanpa harus memakai sandal atau sepatu masing-masing. Nah lucunya, karena kadang sandalnya banyak dan warnanya sama, kadang kami mendapatkan sandal yang ukurannya berbeda antara kanan dan kiri seperti di bawah ini hahahaha...
Kemudian aku melihat Freyja juga sudah bangun, dan kami janjian untuk sarapan bersama jam 9 pagi. Baru sekitar jam 8.45 pagi kami bergantian mandi, dan jam 9.25 pagi kami sudah keluar dari kamar dan berjalan kaki menuju ke bangunan utama untuk sarapan di sana.
Di kanan kiri jalan utama menuju ke hostel tampak banyak penjual sayur-mayur dan buah-buahan, mirip pasar tumpah. Ada sebuah bangunan sekolah juga, sepertinya SD, karena tampak banyak anak kecil yang sedang berkeliaran di dalamnya. Sesampai di hostel, di terasnya disediakan beberapa buah bangku dengan dua buah meja panjang, dan di sinilah biasanya sarapan dihidangkan. Di atas meja terdapat peralatan makan, gelas, teh, saus sambal botolan, kecap, garam, gula pasir, susu kental manis, madu, jeruk nipis, dan beberapa buah pisang yang kondisinya sudah mulai membusuk karena terlalu matang.
Sepertinya kami berdua yang pertama datang untuk sarapan, dan suasana masih sangat sepi. Kami memesan dua pancake dan dua kopi untuk sarapan, sementara Freyja memesan pancake saja.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, pancake pesanan kami datang, dan ternyata walaupun didadar tipis-tipis, mungkin jumlahnya ada sekitar 5-6 lembar, jadi cukup banyak. Kami juga diberi sepiring kecil buah apel yang sudah dikupas dan dipotong-potong. Kopi yang disajikan juga kental dan enak. Wah, cukup mewah juga sarapan pagi ini, dan kami bertiga makan dengan santai sambil mengobrol.
Kata Freyja, suasananya tadi malam saat ikut acara makan malam bersama cukup menyenangkan dan ramai, dan makanannya juga cukup enak.
Kami bertiga makan sampai kekenyangan sekali karena porsinya yang besar. Usai makan, kami berjalan kembali ke kamar, dan suami kembali beristirahat. Karena aku tidak bisa hanya berdiam diri saja, aku mencari kesibukan sendiri. Kebetulan si gadis yang menyambut kedatangan kami kemarin datang lagi bersama temannya, jadi aku mengobrol dengan mereka berdua. Si gadis bernama Maldine alias Mars, berasal dari Jerman, dan temannya bernama Orin, berasal dari Israel. Keduanya bekerja di Du Gia Backpacker's Hostel, bahkan Orin sebetulnya baru mulai bekerja kemarin, karenanya dia juga masih sangat baru di Du Gia. Belakangan Freyja juga memberikan sebuah selebaran dari pihak hostel, yang isinya membutuhkan tenaga kerja. Sistem seperti ini biasanya disebut volunteering (menjadi sukarelawan) walaupun tidak benar-benar volunteer juga. Dari yang aku tahu, banyak sekali backpackers bule yang travelling dengan budget sangat rendah, dan kadang mereka modal nekat saja tidak punya tabungan. Nantinya mereka akan mencari pekerjaan yang setidaknya bisa "membayar" mereka dengan akomodasi dan makan gratis. Kadang ada juga yang memberi bayaran uang walaupun tidak seberapa. Pekerjaannya mulai menyambut tamu, melayani, membersihkan kamar para tamu, dan lain sebagainya.
Aku masih bisa menerima para backpackers yang travelling dengan budget rendah dan mau bekerja seperti ini. Yang aku sangat tidak suka bahkan menentang adalah keberadaan para begpackers (beg = mengemis) terutama di negara-negara Asia Tenggara, dan utamanya memang dilakukan oleh para Westerners alias bule. Mereka pada umumnya mengemis atau mengamen di jalanan, menjual foto-foto perjalanan mereka atau barang-barang lain demi mendapatkan uang, dan biasanya disertai adanya papan bertuliskan "Tolong bantu kami membiayai perjalanan kami keliling dunia". WTF! 😡
Travelling, apalagi ke luar negeri, bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh dengan mudah dan termasuk sebuah privilege (kemewahan), apalagi untuk penduduk Asia Tenggara. Banyak orang kulit putih merasa diri mereka lebih superior dibanding orang Asia yang berkulit kuning atau coklat, dan tahu banyak orang Asia pada umumnya, dan Asia Tenggara khususnya, yang menganggap orang kulit putih biasanya lebih mampu dan lebih hebat, karenanya mereka memanfaatkan situasi tersebut untuk memperoleh simpati dar penduduk lokal. Nyatanya selama beberapa kali keliling bersama suami di New Zealand kami tidak pernah menemukan adanya begpackers, karena tentunya aturan-aturan yang lebih ketat di negara-negara yang lebih maju tersebut. Bayangkan saja kalau ada traveller dari Asia Tenggara yang mengemis uang di jalanan di negara-negara Eropa sana untuk melanjutkan travellingnya, sudah pasti bakal dideportasi kalau tidak masuk penjara.
Bagiku, travelling dengan low budget itu sah-sah saja, bahkan kami berdua pun demikian, namun kalau sampai mengemis di negeri orang sepertinya sudah keterlaluan.
Kembali ke cerita ya... Saat itu Mars dan Orin serta dua bocah laki-laki yang kemarin hendak menyiram halaman di depan semua kamar dengan air, karena matahari memang sangat terik dan udaranya kering sehingga berdebu. Karena menganggur, aku membantu mereka menyiram air di depan beberapa kamar. Di luar kamar terlihat banyak sekali sandal kamar yang sedang dijemur, kebanyakan warnanya sama, dengan berbagai ukuran. Menurut Mars, kamar-kamar di deretan ini baru saja dibeli dan direnovasi oleh pemiliknya, karenanya sebetulnya masih tampak cukup baru.
Sementara itu Mars bercerita bahwa di toko-toko ada yang menjual popsicle (es lilin) yang enak dan menyegarkan sekali dengan harga VND 1K saja. Karenanya aku menitipkan uang VND 5K untuk dibelikan popsicle semuanya, dan VND 25K lagi untuk dibelikan corn wine (arak lokal Du Gia). Mars juga mengatakan ada sebuah air terjun yang asyik di dekat sini, dan kemudian memberikan petunjuk arah agar kami bisa ke sana.
Aku sempat memotret beberapa orang perempuan, dari yang masih anak-anak hingga separuh baya, yang lewat di gang di samping kamar-kamar penginapan. Mereka membawa rumput, kayu, atau tumbuh-tumbuhan lain di punggung mereka, dan tampaknya sangat berat. Melihat para perempuan tersebut aku merasa iba. Dari yang kubaca, sebagian besar perempuan di Vietnam Utara bekerja keras sedari kecil hingga tua, dan selalu menyunggi beban yang berat di punggung mereka, hingga saat mereka menjadi tua akhirnya punggung mereka sudah bongkok dan tidak bisa lagi diperbaiki. Menyedihkan ya... 😢
Tidak berapa lama kemudian Mars dan Orin membawakan popsicle dan corn wine-nya, dan aku memberikan 2 buah popsicle untuk mereka berdua, dan 2 lagi untuk suami dan Freyja. Yah sebetulnya sama seperti es lilin pada umumnya kok, tapi karena dimakan di suasana yang panas sekali, rasanya memang jadi agak sedikit adem di badan hehehehe... 😋
Sekitar jam 1 siang Mars dan Orin berpamitan dan pergi menuju ke air terjun bersama dua bocah yang sedari tadi membantu di sini, katanya mereka mau berenang untuk menyejukkan badan.
Setelah itu aku lebih banyak mengobrol dengan Freyja. Dia mengatakan kepadaku ingin ikut volunteer di desa Du Gia ini. Rencananya, setelah kami bertiga kembali ke Ha Giang, mungkin dia akan istirahat beberapa hari dan kemudian memulai lagi Ha Giang Loop sendirian, dan mungkin lebih jauh hingga ke Cao Bang dan Ban Gioc Waterfalls seperti yang kami rencanakan di awal. Dia memiliki visa selama 3 bulan di Vietnam, karena itu waktu tidak menjadi masalah untuknya, sementara waktuku dan suami sudah tidak banyak lagi. Kami juga mengobrol mengenai banyak hal, kebanyakan mengenai keluarga kami masing-masing.
Sekitar jam 3.15 siang, suasana sudah tidak sepanas sebelumnya dan matahari sepertinya agak meredup, jadi kami bertiga memutuskan untuk mencoba pergi ke air terjun.
Mengendarai sepeda motor, kami turun ke jalan utama, lalu masuk ke jalan kecil seperti yang dikatakan Mars. Jalannya masih berupa tanah liat dan melalui ladang-ladang jagung di kanan kiri. Pemandangannya pun sangat indah, banyak pegunungan hijau di kejauhan, sejauh mata memandang. Mengikuti arahan Google Map, lama-kelamaan jalan yang dilalui semakin rusak parah, dan banyak batu kerikil yang menutupi jalan. Tidak lama kemudian kami berjumpa dua orang turis lain yang hendak ke air terjun juga naik motor, jadi kami jalan beriringan. Mereka adalah couple dari Canada. Setelah itu bukannya mendekat, lama-lama kami justru semakin menjauh dari titik air terjun yang tertera di Google Map, jadi kami berhenti di satu titik. Kebetulan tempatnya sangat indah jadi kami menyempatkan mengambil gambar di tempat ini, dan setelah berdiskusi kami semua sepakat untuk putar balik dan mencari jalan lain.
Setelah mencoba-coba sambil memperkirakan arah jalan yang benar dan kemudian bertanya kepada penduduk yang kebetulan berjumpa, akhirnya kami menemukan jalan yang benar menuju ke air terjun. Jalannya memang dari tanah liat dan rusak parah juga di beberapa bagian, namun setidaknya arahnya benar. Setelah beberapa menit lagi berkendara, menjelang jam 4 sore kami sampai di sebuah tempat di mana ada beberapa sepeda motor terparkir, dan jalannya memang mengecil dan rusak. Sepertinya memang dari sini kami harus berjalan kaki, jadi kami semua turun dari motor dan mengikuti jalan setapak yang ada.
Menyusuri jalan setapak yang berbatu-batu, lama-kelamaan mulai tampak sungai yang berbatu-batu. Setelah melintasi ladang jagung, akhirnya kami sampai di tepian sungai. Tampak beberapa anak kecil sedang bermain dan berenang di air. Kami terus berjalan menyusuri tepian sungai, dan akhirnya sampai juga di air terjun yang kami cari, Du Gia Waterfall 😃
Saat itu waktu menunjukkan jam 4.05 sore, dan suasana tampak cukup ramai, sebagian besar pengunjungnya turis bule yang rata-rata mengenakan pakaian renang, dan ada beberapa penduduk dan anak-anak lokal. Ada yang sedang duduk santai di bebatuan, ada yang sedang berendam atau berenang di air, dan beberapa lainnya tampak mengantri di tebing di sebelah air terjun untuk lompat ke dalam air. Karena dikelilingi pegunungan, suasana di sekitar air terjun menjadi teduh dan tidak panas. Air sungainya juga terasa segar namun tidak terlalu dingin.
Freyja langsung berenang dan ikut melompat dari tebing yang tampaknya cukup tinggi bagiku. Suami juga mencoba melompat dari tebing tersebut, dan waktu kutanya katanya memang agak menyeramkan hehehehe... Aku sendiri hanya berani naik ke tebing yang lebih rendah, tampak sangat rendah di foto, dan melompat dari sana dengan bantuan suami. Itu pun rasanya sudah cukup mengerikan buatku, karena dari segi keamanan sepertinya kurang memadai terutama pada saat memanjat tebingnya yang agak licin, dan aku sendiri memang takut dengan air yang dalam. Padahal orang-orang yang ada di sana banyak yang memberi semangat agar aku berani, tapi tetap saja takut hehehehe 😓
Setelah itu aku lebih banyak berenang atau berendam di air, dan kemudian duduk-duduk di tepian sungainya. Sempat juga berkenalan dengan couple dari Perancis, Matthew & Caroline, dan mengobrol dengan mereka, hingga sekitar jam 5 sore kami memutuskan untuk pulang. Karena tidak membawa handuk dan pakaian ganti, kami pulang dengan pakaian basah yang menempel di badan.
Menyusuri jalan pulang, pemandangannya sungguh indah di sekitar kami. Sempat juga salah jalan sampai harus putar balik. Jalan ke air terjun ini memang tidak ada di Google Map maupun Maps.me. Kami melalui sebuah dusun dengan beberapa rumah yang sangat sederhana, sawah dan ladang jagung di kanan kiri, dan pegunungan hijau sebagai latar belakangnya. Wow, indah sekali, apalagi saat itu matahari mulai tenggelam di balik pegunungan. Beberapa anak kecil tampak sedang bermain di sana-sini.
Sementara itu, aku berusaha menyapa setiap kali berpapasan dengan penduduk lokal. Banyak anak kecil yang kami lewati yang melambaikan tangan dan berteriak "Hello! Hello!" kepada kami. Pada umumnya mereka juga suka diajak foto bersama.
Oya soal memotret penduduk, aku membaca semacam "aturan" yang tempel di luar hostel, di mana salah satunya menjelaskan bahwa Du Gia merupakan desa yang alami, dan baru-baru ini saja mulai dikunjungi turis. Penduduknya suka difoto, namun alangkah baiknya apabila setelah momotret kita menunjukkan hasil fotonya kepada mereka, karena mereka akan senang sekali. Aku mencoba melakukan hal tersebut, dan memang biasanya setelah ditunjukkan fotonya, mereka akan terlihat senang dan tertawa-tawa.
Kami melanjutkan naik motor hingga akhirnya sampai ke jalan utama dan mampir sebentar di sebuah toko untuk membeli susu kental manis untuk teman minum kopi. Satu kaleng susu kental manis harganya VND 25K. Setelah itu baru kami pulang ke penginapan.
Sesampai di penginapan, waktu sudah menunjukkan jam 6.10 petang. Kami lama di jalan karena beberapa kali berhenti, memotret, dan berusaha berinteraksi dengan penduduk lokal yang kami temui. Pengalaman yang sungguh menyenangkan 😍
Sesampai di penginapan, aku melihat ada beberapa tamu baru yang sebelumnya tidak ada. Sepertinya kamar-kamar dan dorm di sini akan cukup penuh malam ini, terutama dormitory. Aku pamit untuk jalan kaki sebentar ke jalan utama untuk membeli cabe. Dari beberapa artikel yang kubaca, setiap Jumat merupakan "hari pasar" di Du Gia, di mana orang-orang akan mengenakan pakaian terbaik mereka untuk "festival" di pasar ini. Dimulai sejak subuh hingga siang hari, pasar mingguan di Du Gia menjual berbagai macam makanan dan produk kerajinan penduduk setempat. Sementara itu untuk kebutuhan sehari-hari sepertinya hanya ada pasar tumpah di sepanjang tepi jalannya.
Kalau sore hari begini biasanya sudah tidak terlalu banyak penjual seperti di pagi hari. Untung saja aku menemukan penjual cabe di antara para pedagang sayur yang masih buka. Saat aku berkata akan membeli cabe seharga VND 5K, sang penjualnya malah tertawa-tawa dan memberikan aku tujuh buah cabe, dan tidak mau dibayar. Mungkin dipikirnya aku hanya butuh beberapa butir cabe saja. Akhirnya kuterima saja cabenya dan mengucapkan terima kasih, setidaknya ada cabe untuk teman makan malam ini.
Karena dalam perjalanan pulang tadi kami melihat ada penjual daging barbeque, kami bertiga berjalan kaki ke warung makan tersebut dan menanyakan harga daging yang ada. Seperti sebelum-sebelumnya, babi panggang adalah yang termurah, sementara bebek panggang selalu yang termahal. Karena hendak dimakan bertiga, kami membeli babi panggang sebanyak 250 gram, dengan harga VND 17K/100 gram.
Aku juga sekalian menanyakan nasi putih, dan katanya ada, dengan harga VND 30K/porsi. Wah, cukup mahal juga ya pikirku, tapi kami sepakat membeli dulu satu porsi, dan kalau sekiranya kurang baru pesan lagi.
Nah sementara menunggu inilah aku memperhatikan suasana di dalam warung ini. Ada sebuah papan bertuliskan daftar menu yang ada (tanpa harga). Yang lucu adalah versi bahasa Inggris dari makanan-makanan yang ada, sepertinya diterjemahkan asal-asalan dari bahasa Vietnam 😂
Sementara itu Freyja memperhatikan ada sebuah kandang di salah satu sudut ruangan, di mana ada beberapa anak kucing yang masih sangat kecil-kecil di dalamnya. Sang induk kucing berada di luar kandang, berusaha untuk masuk namun tidak bisa. Melihat hal ini, katanya Freyja merasa sangat marah dan tidak mau melihatnya, sehingga dia meninggalkan kami dan kembali lebih dulu ke penginapan.
Hampir 30 menit rasanya (atau mungkin malah lebih) kami menunggu nasi yang dijanjikan, sampai beberapa kali kutanyakan kepada penjualnya. Agak dongkol juga, karena kalau memang tidak siap seharusnya jangan mengatakan ada, sementara kami sudah lapar. Akhirnya aku melihat sebuah kukusan nasi yang baru diangkat dari kompor. Sepertinya nasinya memang baru dimasak atau dikukus saat kami memesan. Yang sedikit mengobati kedongkolanku adalah, ternyata semua nasi yang ada di dalam kukusan tersebut dipindahkan ke dalam satu wadah styrofoam yang besar, jadi porsinya banyak sekali, cukup untuk kami bertiga.
Setelah semuanya siap dan kami selesai membayar, kami segera berjalan pulang ke penginapan. Freyja sudah menunggu, dan kami makan malam bersama di meja panjang di luar kamar. Untuk sayurnya aku menambahkan irisan timun dan tomat.
Tamu-tamu yang baru check-in hari ini rata-rata pergi ke bangunan utama hostel untuk ikut jamuan makan malam di sana.
Usai makan, kami berdua bergantian mandi dan kemudian bersantai. Suami dan Freyja main bilyar sementara aku hanya menonton dan melihat-lihat saja di sekitar penginapan. Banyak serangga kecil-kecil beterbangan, sampai aku melihat seekor ngengat yang sangat besar. Kata suami, itu adalah jenis ngengat terbesar di dunia, dan memang Vietnam Utara merupakan salah satu habitat ngengat tersebut. Namanya Atlas Moth, dan panjang kepakan sayapnya bisa mencapai 25-30 cm lho. Yang kulihat ini besarnya memang sepertinya lebih dari ukuran telapak tanganku. Beruntung juga bisa melihatnya secara langsung ya 😎
Sekitar jam 8 malam, Freyja berpamitan kepada kami. Katanya dia akan ke bangunan utama hostel, bukan untuk makan lagi (karena menurut Freyja harganya cukup mahal walaupun makanannya oke) namun untuk menanyakan lebih lanjut kepada Mars dan Orin mengenai kerja volunteer di sini.
Tidak lama setelah Freyja pergi, di luar dugaan hujan turun dengan sangat deras. Suara hujan yang menimpa atap seng terdengar keras. Untung tidak ada bagian kamar yang bocor. Jemuran yang masih belum kering terpaksa digantung di dalam kamar agar tidak basah lagi.
Baru sekitar jam 9 malam kami berdua hendak pergi tidur. Tidak berapa lama kemudian kami mendengar suara orang mengobrol yang cukup ramai di tempat bermain bilyar, sepertinya ada beberapa orang yang sudah kembali. Mudah-mudahan saja mereka tidak sampai mengganggu istirahat kami malam ini.
Hari ini merupakan hari yang cukup rileks, sayangnya panas luar biasa. Kondisi suami sudah membaik, jadi mungkin besok kami akan mencoba menjelajah di sekitar sini saja kalau tidak terlalu panas.
To be continued......
Aku baru bangun lagi jam 7.15 pagi, dan melakukan rutinitas pagiku seperti biasa. Suami juga bangun agak siang, jadi aku banyak waktu untuk bersantai dan melanjutkan menulis di HP dan sedikit merapikan meja di kamar yang agak berantakan. Satu hal yang kuperhatikan selama kami berada di Vietnam, semenjak berada di Ho Chi Minh City hingga ke Ha Giang, hampir setiap penginapan umumnya menyediakan sandal kamar, dan bentuk sandalnya kurang lebih sama, seperti yang di foto ini. Hanya warnanya kadang ada yang biru atau hitam, namun bentuknya sama. Bahkan untuk beberapa sleeper bus yang kami naiki, pihak bus juga menyediakan sandal seperti ini untuk penumpang yang akan turun dari bus tanpa harus memakai sandal atau sepatu masing-masing. Nah lucunya, karena kadang sandalnya banyak dan warnanya sama, kadang kami mendapatkan sandal yang ukurannya berbeda antara kanan dan kiri seperti di bawah ini hahahaha...
Kemudian aku melihat Freyja juga sudah bangun, dan kami janjian untuk sarapan bersama jam 9 pagi. Baru sekitar jam 8.45 pagi kami bergantian mandi, dan jam 9.25 pagi kami sudah keluar dari kamar dan berjalan kaki menuju ke bangunan utama untuk sarapan di sana.
Di kanan kiri jalan utama menuju ke hostel tampak banyak penjual sayur-mayur dan buah-buahan, mirip pasar tumpah. Ada sebuah bangunan sekolah juga, sepertinya SD, karena tampak banyak anak kecil yang sedang berkeliaran di dalamnya. Sesampai di hostel, di terasnya disediakan beberapa buah bangku dengan dua buah meja panjang, dan di sinilah biasanya sarapan dihidangkan. Di atas meja terdapat peralatan makan, gelas, teh, saus sambal botolan, kecap, garam, gula pasir, susu kental manis, madu, jeruk nipis, dan beberapa buah pisang yang kondisinya sudah mulai membusuk karena terlalu matang.
Sepertinya kami berdua yang pertama datang untuk sarapan, dan suasana masih sangat sepi. Kami memesan dua pancake dan dua kopi untuk sarapan, sementara Freyja memesan pancake saja.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, pancake pesanan kami datang, dan ternyata walaupun didadar tipis-tipis, mungkin jumlahnya ada sekitar 5-6 lembar, jadi cukup banyak. Kami juga diberi sepiring kecil buah apel yang sudah dikupas dan dipotong-potong. Kopi yang disajikan juga kental dan enak. Wah, cukup mewah juga sarapan pagi ini, dan kami bertiga makan dengan santai sambil mengobrol.
Kata Freyja, suasananya tadi malam saat ikut acara makan malam bersama cukup menyenangkan dan ramai, dan makanannya juga cukup enak.
Kami bertiga makan sampai kekenyangan sekali karena porsinya yang besar. Usai makan, kami berjalan kembali ke kamar, dan suami kembali beristirahat. Karena aku tidak bisa hanya berdiam diri saja, aku mencari kesibukan sendiri. Kebetulan si gadis yang menyambut kedatangan kami kemarin datang lagi bersama temannya, jadi aku mengobrol dengan mereka berdua. Si gadis bernama Maldine alias Mars, berasal dari Jerman, dan temannya bernama Orin, berasal dari Israel. Keduanya bekerja di Du Gia Backpacker's Hostel, bahkan Orin sebetulnya baru mulai bekerja kemarin, karenanya dia juga masih sangat baru di Du Gia. Belakangan Freyja juga memberikan sebuah selebaran dari pihak hostel, yang isinya membutuhkan tenaga kerja. Sistem seperti ini biasanya disebut volunteering (menjadi sukarelawan) walaupun tidak benar-benar volunteer juga. Dari yang aku tahu, banyak sekali backpackers bule yang travelling dengan budget sangat rendah, dan kadang mereka modal nekat saja tidak punya tabungan. Nantinya mereka akan mencari pekerjaan yang setidaknya bisa "membayar" mereka dengan akomodasi dan makan gratis. Kadang ada juga yang memberi bayaran uang walaupun tidak seberapa. Pekerjaannya mulai menyambut tamu, melayani, membersihkan kamar para tamu, dan lain sebagainya.
Aku masih bisa menerima para backpackers yang travelling dengan budget rendah dan mau bekerja seperti ini. Yang aku sangat tidak suka bahkan menentang adalah keberadaan para begpackers (beg = mengemis) terutama di negara-negara Asia Tenggara, dan utamanya memang dilakukan oleh para Westerners alias bule. Mereka pada umumnya mengemis atau mengamen di jalanan, menjual foto-foto perjalanan mereka atau barang-barang lain demi mendapatkan uang, dan biasanya disertai adanya papan bertuliskan "Tolong bantu kami membiayai perjalanan kami keliling dunia". WTF! 😡
Travelling, apalagi ke luar negeri, bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh dengan mudah dan termasuk sebuah privilege (kemewahan), apalagi untuk penduduk Asia Tenggara. Banyak orang kulit putih merasa diri mereka lebih superior dibanding orang Asia yang berkulit kuning atau coklat, dan tahu banyak orang Asia pada umumnya, dan Asia Tenggara khususnya, yang menganggap orang kulit putih biasanya lebih mampu dan lebih hebat, karenanya mereka memanfaatkan situasi tersebut untuk memperoleh simpati dar penduduk lokal. Nyatanya selama beberapa kali keliling bersama suami di New Zealand kami tidak pernah menemukan adanya begpackers, karena tentunya aturan-aturan yang lebih ketat di negara-negara yang lebih maju tersebut. Bayangkan saja kalau ada traveller dari Asia Tenggara yang mengemis uang di jalanan di negara-negara Eropa sana untuk melanjutkan travellingnya, sudah pasti bakal dideportasi kalau tidak masuk penjara.
Bagiku, travelling dengan low budget itu sah-sah saja, bahkan kami berdua pun demikian, namun kalau sampai mengemis di negeri orang sepertinya sudah keterlaluan.
Kembali ke cerita ya... Saat itu Mars dan Orin serta dua bocah laki-laki yang kemarin hendak menyiram halaman di depan semua kamar dengan air, karena matahari memang sangat terik dan udaranya kering sehingga berdebu. Karena menganggur, aku membantu mereka menyiram air di depan beberapa kamar. Di luar kamar terlihat banyak sekali sandal kamar yang sedang dijemur, kebanyakan warnanya sama, dengan berbagai ukuran. Menurut Mars, kamar-kamar di deretan ini baru saja dibeli dan direnovasi oleh pemiliknya, karenanya sebetulnya masih tampak cukup baru.
Sementara itu Mars bercerita bahwa di toko-toko ada yang menjual popsicle (es lilin) yang enak dan menyegarkan sekali dengan harga VND 1K saja. Karenanya aku menitipkan uang VND 5K untuk dibelikan popsicle semuanya, dan VND 25K lagi untuk dibelikan corn wine (arak lokal Du Gia). Mars juga mengatakan ada sebuah air terjun yang asyik di dekat sini, dan kemudian memberikan petunjuk arah agar kami bisa ke sana.
Aku sempat memotret beberapa orang perempuan, dari yang masih anak-anak hingga separuh baya, yang lewat di gang di samping kamar-kamar penginapan. Mereka membawa rumput, kayu, atau tumbuh-tumbuhan lain di punggung mereka, dan tampaknya sangat berat. Melihat para perempuan tersebut aku merasa iba. Dari yang kubaca, sebagian besar perempuan di Vietnam Utara bekerja keras sedari kecil hingga tua, dan selalu menyunggi beban yang berat di punggung mereka, hingga saat mereka menjadi tua akhirnya punggung mereka sudah bongkok dan tidak bisa lagi diperbaiki. Menyedihkan ya... 😢
Tidak berapa lama kemudian Mars dan Orin membawakan popsicle dan corn wine-nya, dan aku memberikan 2 buah popsicle untuk mereka berdua, dan 2 lagi untuk suami dan Freyja. Yah sebetulnya sama seperti es lilin pada umumnya kok, tapi karena dimakan di suasana yang panas sekali, rasanya memang jadi agak sedikit adem di badan hehehehe... 😋
Sekitar jam 1 siang Mars dan Orin berpamitan dan pergi menuju ke air terjun bersama dua bocah yang sedari tadi membantu di sini, katanya mereka mau berenang untuk menyejukkan badan.
Setelah itu aku lebih banyak mengobrol dengan Freyja. Dia mengatakan kepadaku ingin ikut volunteer di desa Du Gia ini. Rencananya, setelah kami bertiga kembali ke Ha Giang, mungkin dia akan istirahat beberapa hari dan kemudian memulai lagi Ha Giang Loop sendirian, dan mungkin lebih jauh hingga ke Cao Bang dan Ban Gioc Waterfalls seperti yang kami rencanakan di awal. Dia memiliki visa selama 3 bulan di Vietnam, karena itu waktu tidak menjadi masalah untuknya, sementara waktuku dan suami sudah tidak banyak lagi. Kami juga mengobrol mengenai banyak hal, kebanyakan mengenai keluarga kami masing-masing.
Sekitar jam 3.15 siang, suasana sudah tidak sepanas sebelumnya dan matahari sepertinya agak meredup, jadi kami bertiga memutuskan untuk mencoba pergi ke air terjun.
Mengendarai sepeda motor, kami turun ke jalan utama, lalu masuk ke jalan kecil seperti yang dikatakan Mars. Jalannya masih berupa tanah liat dan melalui ladang-ladang jagung di kanan kiri. Pemandangannya pun sangat indah, banyak pegunungan hijau di kejauhan, sejauh mata memandang. Mengikuti arahan Google Map, lama-kelamaan jalan yang dilalui semakin rusak parah, dan banyak batu kerikil yang menutupi jalan. Tidak lama kemudian kami berjumpa dua orang turis lain yang hendak ke air terjun juga naik motor, jadi kami jalan beriringan. Mereka adalah couple dari Canada. Setelah itu bukannya mendekat, lama-lama kami justru semakin menjauh dari titik air terjun yang tertera di Google Map, jadi kami berhenti di satu titik. Kebetulan tempatnya sangat indah jadi kami menyempatkan mengambil gambar di tempat ini, dan setelah berdiskusi kami semua sepakat untuk putar balik dan mencari jalan lain.
Setelah mencoba-coba sambil memperkirakan arah jalan yang benar dan kemudian bertanya kepada penduduk yang kebetulan berjumpa, akhirnya kami menemukan jalan yang benar menuju ke air terjun. Jalannya memang dari tanah liat dan rusak parah juga di beberapa bagian, namun setidaknya arahnya benar. Setelah beberapa menit lagi berkendara, menjelang jam 4 sore kami sampai di sebuah tempat di mana ada beberapa sepeda motor terparkir, dan jalannya memang mengecil dan rusak. Sepertinya memang dari sini kami harus berjalan kaki, jadi kami semua turun dari motor dan mengikuti jalan setapak yang ada.
Menyusuri jalan setapak yang berbatu-batu, lama-kelamaan mulai tampak sungai yang berbatu-batu. Setelah melintasi ladang jagung, akhirnya kami sampai di tepian sungai. Tampak beberapa anak kecil sedang bermain dan berenang di air. Kami terus berjalan menyusuri tepian sungai, dan akhirnya sampai juga di air terjun yang kami cari, Du Gia Waterfall 😃
Saat itu waktu menunjukkan jam 4.05 sore, dan suasana tampak cukup ramai, sebagian besar pengunjungnya turis bule yang rata-rata mengenakan pakaian renang, dan ada beberapa penduduk dan anak-anak lokal. Ada yang sedang duduk santai di bebatuan, ada yang sedang berendam atau berenang di air, dan beberapa lainnya tampak mengantri di tebing di sebelah air terjun untuk lompat ke dalam air. Karena dikelilingi pegunungan, suasana di sekitar air terjun menjadi teduh dan tidak panas. Air sungainya juga terasa segar namun tidak terlalu dingin.
Freyja langsung berenang dan ikut melompat dari tebing yang tampaknya cukup tinggi bagiku. Suami juga mencoba melompat dari tebing tersebut, dan waktu kutanya katanya memang agak menyeramkan hehehehe... Aku sendiri hanya berani naik ke tebing yang lebih rendah, tampak sangat rendah di foto, dan melompat dari sana dengan bantuan suami. Itu pun rasanya sudah cukup mengerikan buatku, karena dari segi keamanan sepertinya kurang memadai terutama pada saat memanjat tebingnya yang agak licin, dan aku sendiri memang takut dengan air yang dalam. Padahal orang-orang yang ada di sana banyak yang memberi semangat agar aku berani, tapi tetap saja takut hehehehe 😓
Setelah itu aku lebih banyak berenang atau berendam di air, dan kemudian duduk-duduk di tepian sungainya. Sempat juga berkenalan dengan couple dari Perancis, Matthew & Caroline, dan mengobrol dengan mereka, hingga sekitar jam 5 sore kami memutuskan untuk pulang. Karena tidak membawa handuk dan pakaian ganti, kami pulang dengan pakaian basah yang menempel di badan.
Menyusuri jalan pulang, pemandangannya sungguh indah di sekitar kami. Sempat juga salah jalan sampai harus putar balik. Jalan ke air terjun ini memang tidak ada di Google Map maupun Maps.me. Kami melalui sebuah dusun dengan beberapa rumah yang sangat sederhana, sawah dan ladang jagung di kanan kiri, dan pegunungan hijau sebagai latar belakangnya. Wow, indah sekali, apalagi saat itu matahari mulai tenggelam di balik pegunungan. Beberapa anak kecil tampak sedang bermain di sana-sini.
Sementara itu, aku berusaha menyapa setiap kali berpapasan dengan penduduk lokal. Banyak anak kecil yang kami lewati yang melambaikan tangan dan berteriak "Hello! Hello!" kepada kami. Pada umumnya mereka juga suka diajak foto bersama.
Oya soal memotret penduduk, aku membaca semacam "aturan" yang tempel di luar hostel, di mana salah satunya menjelaskan bahwa Du Gia merupakan desa yang alami, dan baru-baru ini saja mulai dikunjungi turis. Penduduknya suka difoto, namun alangkah baiknya apabila setelah momotret kita menunjukkan hasil fotonya kepada mereka, karena mereka akan senang sekali. Aku mencoba melakukan hal tersebut, dan memang biasanya setelah ditunjukkan fotonya, mereka akan terlihat senang dan tertawa-tawa.
Kami melanjutkan naik motor hingga akhirnya sampai ke jalan utama dan mampir sebentar di sebuah toko untuk membeli susu kental manis untuk teman minum kopi. Satu kaleng susu kental manis harganya VND 25K. Setelah itu baru kami pulang ke penginapan.
Sesampai di penginapan, waktu sudah menunjukkan jam 6.10 petang. Kami lama di jalan karena beberapa kali berhenti, memotret, dan berusaha berinteraksi dengan penduduk lokal yang kami temui. Pengalaman yang sungguh menyenangkan 😍
Sesampai di penginapan, aku melihat ada beberapa tamu baru yang sebelumnya tidak ada. Sepertinya kamar-kamar dan dorm di sini akan cukup penuh malam ini, terutama dormitory. Aku pamit untuk jalan kaki sebentar ke jalan utama untuk membeli cabe. Dari beberapa artikel yang kubaca, setiap Jumat merupakan "hari pasar" di Du Gia, di mana orang-orang akan mengenakan pakaian terbaik mereka untuk "festival" di pasar ini. Dimulai sejak subuh hingga siang hari, pasar mingguan di Du Gia menjual berbagai macam makanan dan produk kerajinan penduduk setempat. Sementara itu untuk kebutuhan sehari-hari sepertinya hanya ada pasar tumpah di sepanjang tepi jalannya.
Kalau sore hari begini biasanya sudah tidak terlalu banyak penjual seperti di pagi hari. Untung saja aku menemukan penjual cabe di antara para pedagang sayur yang masih buka. Saat aku berkata akan membeli cabe seharga VND 5K, sang penjualnya malah tertawa-tawa dan memberikan aku tujuh buah cabe, dan tidak mau dibayar. Mungkin dipikirnya aku hanya butuh beberapa butir cabe saja. Akhirnya kuterima saja cabenya dan mengucapkan terima kasih, setidaknya ada cabe untuk teman makan malam ini.
Karena dalam perjalanan pulang tadi kami melihat ada penjual daging barbeque, kami bertiga berjalan kaki ke warung makan tersebut dan menanyakan harga daging yang ada. Seperti sebelum-sebelumnya, babi panggang adalah yang termurah, sementara bebek panggang selalu yang termahal. Karena hendak dimakan bertiga, kami membeli babi panggang sebanyak 250 gram, dengan harga VND 17K/100 gram.
Aku juga sekalian menanyakan nasi putih, dan katanya ada, dengan harga VND 30K/porsi. Wah, cukup mahal juga ya pikirku, tapi kami sepakat membeli dulu satu porsi, dan kalau sekiranya kurang baru pesan lagi.
Nah sementara menunggu inilah aku memperhatikan suasana di dalam warung ini. Ada sebuah papan bertuliskan daftar menu yang ada (tanpa harga). Yang lucu adalah versi bahasa Inggris dari makanan-makanan yang ada, sepertinya diterjemahkan asal-asalan dari bahasa Vietnam 😂
Sementara itu Freyja memperhatikan ada sebuah kandang di salah satu sudut ruangan, di mana ada beberapa anak kucing yang masih sangat kecil-kecil di dalamnya. Sang induk kucing berada di luar kandang, berusaha untuk masuk namun tidak bisa. Melihat hal ini, katanya Freyja merasa sangat marah dan tidak mau melihatnya, sehingga dia meninggalkan kami dan kembali lebih dulu ke penginapan.
Hampir 30 menit rasanya (atau mungkin malah lebih) kami menunggu nasi yang dijanjikan, sampai beberapa kali kutanyakan kepada penjualnya. Agak dongkol juga, karena kalau memang tidak siap seharusnya jangan mengatakan ada, sementara kami sudah lapar. Akhirnya aku melihat sebuah kukusan nasi yang baru diangkat dari kompor. Sepertinya nasinya memang baru dimasak atau dikukus saat kami memesan. Yang sedikit mengobati kedongkolanku adalah, ternyata semua nasi yang ada di dalam kukusan tersebut dipindahkan ke dalam satu wadah styrofoam yang besar, jadi porsinya banyak sekali, cukup untuk kami bertiga.
Setelah semuanya siap dan kami selesai membayar, kami segera berjalan pulang ke penginapan. Freyja sudah menunggu, dan kami makan malam bersama di meja panjang di luar kamar. Untuk sayurnya aku menambahkan irisan timun dan tomat.
Tamu-tamu yang baru check-in hari ini rata-rata pergi ke bangunan utama hostel untuk ikut jamuan makan malam di sana.
Usai makan, kami berdua bergantian mandi dan kemudian bersantai. Suami dan Freyja main bilyar sementara aku hanya menonton dan melihat-lihat saja di sekitar penginapan. Banyak serangga kecil-kecil beterbangan, sampai aku melihat seekor ngengat yang sangat besar. Kata suami, itu adalah jenis ngengat terbesar di dunia, dan memang Vietnam Utara merupakan salah satu habitat ngengat tersebut. Namanya Atlas Moth, dan panjang kepakan sayapnya bisa mencapai 25-30 cm lho. Yang kulihat ini besarnya memang sepertinya lebih dari ukuran telapak tanganku. Beruntung juga bisa melihatnya secara langsung ya 😎
Sekitar jam 8 malam, Freyja berpamitan kepada kami. Katanya dia akan ke bangunan utama hostel, bukan untuk makan lagi (karena menurut Freyja harganya cukup mahal walaupun makanannya oke) namun untuk menanyakan lebih lanjut kepada Mars dan Orin mengenai kerja volunteer di sini.
Tidak lama setelah Freyja pergi, di luar dugaan hujan turun dengan sangat deras. Suara hujan yang menimpa atap seng terdengar keras. Untung tidak ada bagian kamar yang bocor. Jemuran yang masih belum kering terpaksa digantung di dalam kamar agar tidak basah lagi.
Baru sekitar jam 9 malam kami berdua hendak pergi tidur. Tidak berapa lama kemudian kami mendengar suara orang mengobrol yang cukup ramai di tempat bermain bilyar, sepertinya ada beberapa orang yang sudah kembali. Mudah-mudahan saja mereka tidak sampai mengganggu istirahat kami malam ini.
Hari ini merupakan hari yang cukup rileks, sayangnya panas luar biasa. Kondisi suami sudah membaik, jadi mungkin besok kami akan mencoba menjelajah di sekitar sini saja kalau tidak terlalu panas.
To be continued......
No comments:
Post a Comment