7 Mei 2018
7 Mei
Ha Giang Loop Day 3
Meo Vac - Du Gia
Distance: 79km
Pagi ini aku terbangun jam 5.30 pagi, dan kakiku yang keseleo semakin terasa sakit hingga agak mengganggu. Untung saja aku membawa 3 buah pain killer untuk perjalanan loop ini, sementara sisanya kutinggalkan di Giang Son Hostel di Ha Giang. Setidaknya bisa bertahan dari sakit selama 3 hari deh.
Suami dan Freyja masih tertidur lelap, jadi aku duduk-duduk di balkon sambil merencanakan perjalanan hari ini. Di lantai dan tembok balkon banyak sekali serangga berbagai ukuran, dan kebanyakan belum pernah kulihat sebelumnya. Paling banyak sepertinya dari keluarga besar ngengat, dengan berbagai macam warna dan bentuk.
Aku menyelesaikan kegiatan pagi dan mandi dulu supaya segar. Suhu udara di Meo Vac ini tidak dingin seperti di Dong Van Plateau kemarin. Setelah suami dan Freyja bangun, mereka berdua juga bergantian mandi dan bersiap untuk sarapan di ruang makan di lantai dasar. Suami mengatakan kepadaku bahwa kondisi tubuhnya masih belum fit, masih terasa meriang. Aku menyampaikan kepada Freyja, dan untungnya dia mau mengerti. Sebetulnya kami berencana melakukan loop sampai sekitar 8 hari, termasuk ke Cao Bang dan Ban Gioc Waterfalls yang terletak di perbatasan dengan RRC, dan Du Gia akan menjadi tempat istirahat terakhir sebelum kembali ke Ha Giang, namun akhirnya kami bertiga sepakat bahwa kami akan langsung menuju ke Du Gia yang jaraknya hanya sekitar 80 KM dan mungkin akan singgah selama beberapa hari di sana apabila suasananya menyenangkan. Kami tidak mau memaksakan diri menempuh perjalanan ratusan kilometer per hari apabila ada salah satu di antara kami dalam kondisi kurang sehat.
Menjelang jam 8 pagi, sarapan sudah tersaji di hadapan kami. Seperti biasa, menunya adalah banh mi. Roti yang crispy dan masih hangat dibelah menjadi dua bagian, dengan telur dadar di bawahnya, serta beberapa iris tomat dan timun. Untuk minuman juga bebas memilih antara kopi atau teh. Aku hanya makan sayuran dan sebagian telurnya, sementara rotinya kuberikan kepada suami. Kami menikmati sarapan sambil mengobrol agak santai, karena seharusnya rute hari ini cukup singkat.
Usai sarapan, aku hendak ke pasar, dan Freyja ingin ikut denganku, jadi kami berdua berjalan kaki ke pasar yang jaraknya hanya sekitar 1 KM saja. Cuaca hari ini cukup panas dan matahari sudah mulai bersinar terik. Menyusuri jalanan yang relatif sepi, akhirnya kami sampai di pasar. Kondisi pasar tradisional di Meo Vac ini relatif bersih dan menyenangkan. Melihat berbagai macam sayuran dan buah-buahan, rasanya ingin sekali aku membeli ini dan itu untuk dimasak. Banyak sekali jenis sayuran maupun buah-buahan yang sama dengan di Indonesia. Aku hanya membeli 1 kg tomat (VND 15K) dan seikat sayur hijau (VND 3K). Freyja membeli beberapa buah pisang, timun, wortel, dan nanas. Yang unik adalah saat membeli nanas, dan Freyja baru sekali ini melihat cara mengupas nanas ala Vietnam. Sebetulnya sama saja dengan cara orang Indonesia mengupas nanas, namun di sini "kepala" nanasnya tidak dipotong dulu, namun dijadikan pegangan. Satu buah nanas besar dihargai VND 15K. Freyja juga sempat hendak membeli sebuah jeruk nipis untuk diperas ke dalam botol air minumnya, dan saat bertanya harganya, pedagangnya yang sudah lanjut usia mengisyaratkan untuk tidak usah membayar, dan Freyja tentu saja sangat berterima kasih kepadanya ^_^
Di bagian luar pasar aku melihat seorang penjual daging babi panggang garing (crispy pork) yang sepertinya menarik sekali. Waktu kutanya harganya, ternyata hanya VND 15K/ons, jadi aku membeli 2 ons untuk makan siang nanti. Ini adalah harga babi panggang termurah sepanjang yang aku tahu hehehehe...
Yang lucu, saat beberapa kali aku menanyakan harga kepada seorang pedagang, mereka akan menyerocos dalam bahasa Vietnam. Mungkin mereka berpikir bahwa aku orang lokal yang sedang menjadi guide untuk bule hahahaha...
Usai berbelanja, kami berjalan pulang ke penginapan, dan aku segera memotong-motong sayur-mayur yang ada untuk tambahan makan siang nanti, dan kemudian bersiap-siap. Sekitar jam 10 pagi, kami sudah check-out dan membayar biaya kamar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Du Gia melalui jalan 182 dan 176.
Hari ini sama seperti kemarin, matahari bersinar dengan sangat terik, untungnya pemandangan juga masih sangat indah di sepanjang jalan. Jalanan masih tetap berlika-liku dan tentunya naik turun seperti kemarin-kemarin. Menyusuri lembah dengan gunung-gunung hijau di kanan-kiri, melalui rumah-rumah penduduk di dusun-dusun kecil, melintasi pegunungan, sawah, ladang dan perkebunan, melewati rumah-rumah penduduk yang tampak mungil di dasar lembah, dan melalui jalanan yang meliuk-liuk bagaikan ular, semuanya tampak begitu memukau!
Bagiku pribadi, pemandangan yang terhampar sepanjang jalan hari ini tampak lebih indah daripada hari-hari sebelumnya, serasa seperti di dalam negeri antah-berantah. Selain itu, karena jalur menuju ke Du Gia tidak terlalu populer, tidak tampak banyak turis yang melewati jalan ini seperti dua hari kemarin.
Karena banyak pemandangan indah di sepanjang perjalanan, kami juga banyak berhenti untuk mengabadikannya. Karena panas dan haus, kami sempat berhenti di sebuah toko di sebuah desa kecil yang kami lewati untuk membeli minuman dingin dan beristirahat. Suami membeli minuman jeruk dingin seharga VND 10K dan Freyja membeli Coca Cola dingin. Sang pemilik toko, seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahunan mengajak kami mengobrol dengan bahasa Inggrisnya yang terbatas, menanyakan asal kami dan sebagainya. Dia juga menceritakan mengenai istrinya yang bekerja di Malaysia, keluarganya, dan menyuguhkan teh panas di siang hari yang sangat panas ini hahahaha... Setelah beberapa waktu kami lewatkan mengobrol dengannya, kami berpamitan karena harus melanjutkan perjalanan.
Sempat pada saat kami berhenti di sebuah spot untuk memotret, ada seorang anak kecil yang tampak agak takut-takut mendekati kami dan berdiri tidak jauh dari kami. Usianya mungkin baru sekitar 5-6 tahun. Kulitnya kecoklatan, mengenakan sepatu boots dan pakaiannya tampak lusuh dan dekil. Raut wajah dan tatapan matanya benar-benar memelas, membuatku ingin memberikan sesuatu untuknya. Yang pasti aku tidak mau memberikan uang, dan teringat masih ada beberapa snack yang belum sempat kami makan. Jadilah kuberikan sebuah snack kepadanya. Eh, tidak lama kemudian muncul lagi seorang anak perempuan dengan penampilan yang tidak kalah dekilnya dan bertelanjang kaki, jadi kuberikan juga sebuah snack untuknya. Setelah itu kami bertiga melanjutkan perjalanan sebelum semakin banyak anak kecil yang berdatangan hehehehe...
Baru sekitar jam 12.20 siang kami memutuskan untuk berhenti makan di sebuah restoran di sebuah desa kecil di daerah Mau Due. Karena aku mulai tahu betapa banyaknya porsi nasi yang dihidangkan di daerah Vietnam Utara ini, kami hanya memesan seporsi nasi dengan sayuran (com sau) seharga VND 30K. Setelah menunggu beberapa lama, benar saja, saat hidangan disajikan di meja, yang terhidang adalah sebaskom nasi putih (lengkap dengan 3 buah mangkuk kecil untuk makan), sepiring kecil cah kangkung, sepiring kecil semacam labu yang direbus, dan tak lupa semangkuk kecil kecap asin sebagai pelengkap. Ditambah crispy pork yang tadi dibeli dan sayuran yang sudah kusiapkan, lengkap sudah makan siang kami ^_^
Kami makan dengan lahap sampai merasa sangat kenyang, dan masih ada sisa nasi putih yang kemudian kumasukkan ke dalam kotak makan. Usai makan, kami membayar dan kembali melanjutkan perjalanan di atas sepeda motor. Kami sempat mengisi bensin seharga VND 45K di pombensin yang ada di desa kecil ini.
Pemandangan yang memanjakan mata masih mengiringi sejauh mata memandang di sepanjang jalan. Banyak sekali kami melewati sawah-sawah terasering yang sangat indah, menghampar di sepanjang lereng pegunungan. Hebat sekali para petani yang mengerjakan sawah-sawah tersebut.
Kami masih berkali-kali berhenti karena merasa perlu mengabadikan keindahan alam yang menakjubkan ini. Matahari serasa menyengat dan membakar kulit kami, hingga akhirnya sekitar jam 2.30 siang kami memutuskan untuk berhenti istirahat ketika melihat jalanan yang sepi dan dinaungi oleh sebuah gunung kecil sehingga menjadi sangat teduh. Pemandangan di sini pun tampak luar biasa. Tampak ada beberapa rumah sederhana yang berdiri di tengah-tengah ladang jagung. Hanya ada beberapa penduduk lokal yang lewat, hingga kemudian ada seorang anak laki-laki yang berdiri di kejauhan dan sepertinya memperhatikan kami dari tempatnya berdiri. Aku minta pada suami untuk memberinya sebungkus snack yang masih kami miliki. Sang anak laki-laki tampak malu-malu menerimanya, dan entahlah, mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan snack tersebut hingga suami membantunya membukakan. Tidak lama kemudian si anak berlari ke dalam ladang jagung dan menghilang. Mungkin salah satu dari rumah-rumah tadi adalah rumah anak tersebut.
Setelah rasa lelah kami berkurang, kami melanjutkan perjalanan melalui negeri antah-berantah ini. Menjelang jam 3 siang, kami melewati sebuah desa di dasar lembah yang jalannya lebar, namun keluar dari desa tersebut jalannya kembali mengecil. Setelah terus menyusuri jalan dan beberapa kali berhenti, kami memasuki desa Du Gia yang terletak di dasar lembah sekitar jam 3.45 sore. Hanya ada satu jalan utama yang melalui desa ini, dengan beberapa gang atau jalan kecil di kanan-kiri jalan.
Dari hasil mencari di booking.com sebelumnya, kami mendatangi Du Gia Backpackers Hostel yang terletak di timur jalan. Seorang gadis Western (yang ternyata adalah karyawan di sini) menyambut kami, dan saat bertanya harga kamar dan bed di dorm, gadis tersebut menjelaskan tarifnya kepada kami sambil mengajak kami melihat kamarnya terlebih dahulu.
Ternyata bangunannya ada di lain lokasi, jaraknya sekitar 300-400 meter dari bangunan utama, dan masuk ke sebuah gang kecil yang menanjak. Kami ditunjukkan kamar-kamar yang ada, baik private room maupun dormitory (untuk Freyja). Seharusnya harganya VND 250K/malam untuk private room dan VND 125K/malam untuk dormitory, semuanya termasuk sarapan, namun aku mencoba menawar harganya menjadi VND 100K/malam/orang apabila kami menginap 2-3 malam. Si gadis setuju, jadi kami memutuskan untuk bermalam di sini saja. Beruntung juga kami dilayani oleh si gadis, karena komunikasi jadi lancar.
Kami memasukkan barang-barang ke dalam kamar kami, dan Freyja ke dalam dormitory yang jaraknya hanya melewati satu kamar lain saja. Pada saat kami baru tiba tadi, ada seorang anak kecil yang sedang membersihkan dan mengepel kamar-kamar yang kosong. Aku belum berani bertanya apa pun mengenai hal tersebut. Kamar yang kami masuki adalah salah satu yang baru selesai dipel olehnya.
Kamarnya sendiri cukup luas, dengan sebuah double bed dengan sprei yang cukup bersih, sebuah selimut, dan kelambu nyamuk yang diikat di sudut-sudutnya. Kasurnya sendiri sangat keras, dengan bantal yang sudah kempis. Ada sebuah meja kecil di dekat ranjang, dan di belakang ranjang terletak kamar mandi yang cukup luas dan cukup bersih dengan water heater di salah satu tembok. Di samping kamar mandi terdapat semacam dapur dengan kitchen sink yang kondisinya agak kotor. Secara keseluruhan sebetulnya kamar kami ini sangat sederhana dan tidak terlalu bersih, namun bukan karena temboknya yang usang atau lantai kamar mandi yang berlumut. Faktor kotornya lebih karena debu dan bangkai serangga-serangga kecil. But it's okay lah, kami bisa memaklumi karena situasi dan standar kebersihan atau maintenance kamar di pedesaan seperti ini mungkin berbeda dengan di kota-kota yang lebih besar, apalagi harganya masih relatif murah.
Aku mengeluarkan dan menata barang-barang kami di dalam kamar, lalu kami berdua turun ke jalan utama untuk mencari toko yang menjual madu. Kebetulan hanya beberapa puluh meter dari ujung gang ada toko yang menjual madu. Sebotol madu berukuran 500ml harganya VND 150K, dan kata penjualnya dijamin asli, jadi kami membeli sebotol karena tidak ada kemasan lain yang lebih kecil.
Kembali ke penginapan, suami minum madu yang barusan dibeli lalu istirahat dan merebahkan dirinya di kasur karena kelelahan dan kondisinya masih belum begitu fit. Aku bersantai sembari mengamati suasana sekitar. Di depan kamar kami terdapat sebuah meja panjang dengan beberapa buah bangku untuk bersantai, sementara di ujung satunya terdapat area untuk berkumpul dengan sebuah sofa usang, meja bilyar, dan beberapa buah kursi. Disediakan juga galon air minum yang bebas diakses oleh para tamu. Ruangan ini diberi atap di atasnya dengan tujuan agar terlindung dari matahari, namun sayang atapnya terbuat dari seng, sehingga justru terasa lebih panas apabila kita bernaung di bawahnya.
Dari luar kamar aku bisa melihat pemandangan pegunungan di kejauhan, sayangnya kalau banyak jemuran pemandangannya jadi agak sedikit terganggu hahahaha.... Apabila diperhatikan, di Du Gia ini lebih banyak lagi segala macam serangga yang beterbangan di mana-mana, termasuk di luar dan di dalam kamar.
Pada saat sedang duduk-duduk sendirian di luar, seorang laki-laki berusia sekitar 45 tahun mengajakku mengobrol. Katanya beliau adalah seorang guru sekaligus bekerja di penginapan ini. Ada dua orang anak laki-laki, salah satu di antaranya yang kulihat sebelumnya, adalah anak-anak dari bapak ini. Mereka tinggal di salah satu kamar di sini, dan segala kegiatan termasuk masak juga dilakukan di kamar, karenanya mereka memiliki kompor, panci dan peralatan masak dan makan lainnya di dalam kamar mereka. Setelah beberapa saat mengobrol, aku berpamitan karena sudah cukup sore dan hendak mandi.
Usai mandi, suami menyusul mandi sementara aku menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Suami makan nasi dan daging sisa siang tadi, sementara aku makan mie instan dengan sayuran yang ada. Freyja akan ikut dalam acara makan malam yang diadakan oleh pihak penginapan, tentunya berbayar. Tarifnya VND 100K/orang, yang tentu saja terlalu mahal untuk kami berdua walaupun makanannya prasmanan, jadi kami tidak ikut dan memilih untuk istirahat saja. Sekitar jam 6.30 petang Freyja sudah berangkat ke bangunan utama Du Gia Backpackers Hostel untuk bersosialisasi di sana.
Usai makan, aku merasa sudah sangat lelah dan akhirnya memutuskan untuk langsung tidur saja. Hari ini kami tidak terlalu banyak berjalan kaki, hanya menempuh sekitar 8 KM saja, namun perjalanan di atas sepeda motor selama berjam-jam di bawah teriknya matahari membuatku lelah. Punggung dan pinggang terasa pegal-pegal semua. Entahlah apakah malam ini akan bisa tidur dengan nyenyak atau tidak di atas kasur yang sekeras batu ini, namun setidaknya aku tidak perlu memikirkan perjalanan esok, karena kami tidak punya rencana lain selain bersantai dan menikmati suasana di desa kecil di pelosok Vietnam Utara ini ^_^
To be continued.......
Ha Giang Loop Day 3
Meo Vac - Du Gia
Distance: 79km
Pagi ini aku terbangun jam 5.30 pagi, dan kakiku yang keseleo semakin terasa sakit hingga agak mengganggu. Untung saja aku membawa 3 buah pain killer untuk perjalanan loop ini, sementara sisanya kutinggalkan di Giang Son Hostel di Ha Giang. Setidaknya bisa bertahan dari sakit selama 3 hari deh.
Suami dan Freyja masih tertidur lelap, jadi aku duduk-duduk di balkon sambil merencanakan perjalanan hari ini. Di lantai dan tembok balkon banyak sekali serangga berbagai ukuran, dan kebanyakan belum pernah kulihat sebelumnya. Paling banyak sepertinya dari keluarga besar ngengat, dengan berbagai macam warna dan bentuk.
Aku menyelesaikan kegiatan pagi dan mandi dulu supaya segar. Suhu udara di Meo Vac ini tidak dingin seperti di Dong Van Plateau kemarin. Setelah suami dan Freyja bangun, mereka berdua juga bergantian mandi dan bersiap untuk sarapan di ruang makan di lantai dasar. Suami mengatakan kepadaku bahwa kondisi tubuhnya masih belum fit, masih terasa meriang. Aku menyampaikan kepada Freyja, dan untungnya dia mau mengerti. Sebetulnya kami berencana melakukan loop sampai sekitar 8 hari, termasuk ke Cao Bang dan Ban Gioc Waterfalls yang terletak di perbatasan dengan RRC, dan Du Gia akan menjadi tempat istirahat terakhir sebelum kembali ke Ha Giang, namun akhirnya kami bertiga sepakat bahwa kami akan langsung menuju ke Du Gia yang jaraknya hanya sekitar 80 KM dan mungkin akan singgah selama beberapa hari di sana apabila suasananya menyenangkan. Kami tidak mau memaksakan diri menempuh perjalanan ratusan kilometer per hari apabila ada salah satu di antara kami dalam kondisi kurang sehat.
Menjelang jam 8 pagi, sarapan sudah tersaji di hadapan kami. Seperti biasa, menunya adalah banh mi. Roti yang crispy dan masih hangat dibelah menjadi dua bagian, dengan telur dadar di bawahnya, serta beberapa iris tomat dan timun. Untuk minuman juga bebas memilih antara kopi atau teh. Aku hanya makan sayuran dan sebagian telurnya, sementara rotinya kuberikan kepada suami. Kami menikmati sarapan sambil mengobrol agak santai, karena seharusnya rute hari ini cukup singkat.
Usai sarapan, aku hendak ke pasar, dan Freyja ingin ikut denganku, jadi kami berdua berjalan kaki ke pasar yang jaraknya hanya sekitar 1 KM saja. Cuaca hari ini cukup panas dan matahari sudah mulai bersinar terik. Menyusuri jalanan yang relatif sepi, akhirnya kami sampai di pasar. Kondisi pasar tradisional di Meo Vac ini relatif bersih dan menyenangkan. Melihat berbagai macam sayuran dan buah-buahan, rasanya ingin sekali aku membeli ini dan itu untuk dimasak. Banyak sekali jenis sayuran maupun buah-buahan yang sama dengan di Indonesia. Aku hanya membeli 1 kg tomat (VND 15K) dan seikat sayur hijau (VND 3K). Freyja membeli beberapa buah pisang, timun, wortel, dan nanas. Yang unik adalah saat membeli nanas, dan Freyja baru sekali ini melihat cara mengupas nanas ala Vietnam. Sebetulnya sama saja dengan cara orang Indonesia mengupas nanas, namun di sini "kepala" nanasnya tidak dipotong dulu, namun dijadikan pegangan. Satu buah nanas besar dihargai VND 15K. Freyja juga sempat hendak membeli sebuah jeruk nipis untuk diperas ke dalam botol air minumnya, dan saat bertanya harganya, pedagangnya yang sudah lanjut usia mengisyaratkan untuk tidak usah membayar, dan Freyja tentu saja sangat berterima kasih kepadanya ^_^
Di bagian luar pasar aku melihat seorang penjual daging babi panggang garing (crispy pork) yang sepertinya menarik sekali. Waktu kutanya harganya, ternyata hanya VND 15K/ons, jadi aku membeli 2 ons untuk makan siang nanti. Ini adalah harga babi panggang termurah sepanjang yang aku tahu hehehehe...
Yang lucu, saat beberapa kali aku menanyakan harga kepada seorang pedagang, mereka akan menyerocos dalam bahasa Vietnam. Mungkin mereka berpikir bahwa aku orang lokal yang sedang menjadi guide untuk bule hahahaha...
Usai berbelanja, kami berjalan pulang ke penginapan, dan aku segera memotong-motong sayur-mayur yang ada untuk tambahan makan siang nanti, dan kemudian bersiap-siap. Sekitar jam 10 pagi, kami sudah check-out dan membayar biaya kamar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Du Gia melalui jalan 182 dan 176.
Hari ini sama seperti kemarin, matahari bersinar dengan sangat terik, untungnya pemandangan juga masih sangat indah di sepanjang jalan. Jalanan masih tetap berlika-liku dan tentunya naik turun seperti kemarin-kemarin. Menyusuri lembah dengan gunung-gunung hijau di kanan-kiri, melalui rumah-rumah penduduk di dusun-dusun kecil, melintasi pegunungan, sawah, ladang dan perkebunan, melewati rumah-rumah penduduk yang tampak mungil di dasar lembah, dan melalui jalanan yang meliuk-liuk bagaikan ular, semuanya tampak begitu memukau!
Bagiku pribadi, pemandangan yang terhampar sepanjang jalan hari ini tampak lebih indah daripada hari-hari sebelumnya, serasa seperti di dalam negeri antah-berantah. Selain itu, karena jalur menuju ke Du Gia tidak terlalu populer, tidak tampak banyak turis yang melewati jalan ini seperti dua hari kemarin.
Karena banyak pemandangan indah di sepanjang perjalanan, kami juga banyak berhenti untuk mengabadikannya. Karena panas dan haus, kami sempat berhenti di sebuah toko di sebuah desa kecil yang kami lewati untuk membeli minuman dingin dan beristirahat. Suami membeli minuman jeruk dingin seharga VND 10K dan Freyja membeli Coca Cola dingin. Sang pemilik toko, seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahunan mengajak kami mengobrol dengan bahasa Inggrisnya yang terbatas, menanyakan asal kami dan sebagainya. Dia juga menceritakan mengenai istrinya yang bekerja di Malaysia, keluarganya, dan menyuguhkan teh panas di siang hari yang sangat panas ini hahahaha... Setelah beberapa waktu kami lewatkan mengobrol dengannya, kami berpamitan karena harus melanjutkan perjalanan.
Sempat pada saat kami berhenti di sebuah spot untuk memotret, ada seorang anak kecil yang tampak agak takut-takut mendekati kami dan berdiri tidak jauh dari kami. Usianya mungkin baru sekitar 5-6 tahun. Kulitnya kecoklatan, mengenakan sepatu boots dan pakaiannya tampak lusuh dan dekil. Raut wajah dan tatapan matanya benar-benar memelas, membuatku ingin memberikan sesuatu untuknya. Yang pasti aku tidak mau memberikan uang, dan teringat masih ada beberapa snack yang belum sempat kami makan. Jadilah kuberikan sebuah snack kepadanya. Eh, tidak lama kemudian muncul lagi seorang anak perempuan dengan penampilan yang tidak kalah dekilnya dan bertelanjang kaki, jadi kuberikan juga sebuah snack untuknya. Setelah itu kami bertiga melanjutkan perjalanan sebelum semakin banyak anak kecil yang berdatangan hehehehe...
Baru sekitar jam 12.20 siang kami memutuskan untuk berhenti makan di sebuah restoran di sebuah desa kecil di daerah Mau Due. Karena aku mulai tahu betapa banyaknya porsi nasi yang dihidangkan di daerah Vietnam Utara ini, kami hanya memesan seporsi nasi dengan sayuran (com sau) seharga VND 30K. Setelah menunggu beberapa lama, benar saja, saat hidangan disajikan di meja, yang terhidang adalah sebaskom nasi putih (lengkap dengan 3 buah mangkuk kecil untuk makan), sepiring kecil cah kangkung, sepiring kecil semacam labu yang direbus, dan tak lupa semangkuk kecil kecap asin sebagai pelengkap. Ditambah crispy pork yang tadi dibeli dan sayuran yang sudah kusiapkan, lengkap sudah makan siang kami ^_^
Kami makan dengan lahap sampai merasa sangat kenyang, dan masih ada sisa nasi putih yang kemudian kumasukkan ke dalam kotak makan. Usai makan, kami membayar dan kembali melanjutkan perjalanan di atas sepeda motor. Kami sempat mengisi bensin seharga VND 45K di pombensin yang ada di desa kecil ini.
Pemandangan yang memanjakan mata masih mengiringi sejauh mata memandang di sepanjang jalan. Banyak sekali kami melewati sawah-sawah terasering yang sangat indah, menghampar di sepanjang lereng pegunungan. Hebat sekali para petani yang mengerjakan sawah-sawah tersebut.
Kami masih berkali-kali berhenti karena merasa perlu mengabadikan keindahan alam yang menakjubkan ini. Matahari serasa menyengat dan membakar kulit kami, hingga akhirnya sekitar jam 2.30 siang kami memutuskan untuk berhenti istirahat ketika melihat jalanan yang sepi dan dinaungi oleh sebuah gunung kecil sehingga menjadi sangat teduh. Pemandangan di sini pun tampak luar biasa. Tampak ada beberapa rumah sederhana yang berdiri di tengah-tengah ladang jagung. Hanya ada beberapa penduduk lokal yang lewat, hingga kemudian ada seorang anak laki-laki yang berdiri di kejauhan dan sepertinya memperhatikan kami dari tempatnya berdiri. Aku minta pada suami untuk memberinya sebungkus snack yang masih kami miliki. Sang anak laki-laki tampak malu-malu menerimanya, dan entahlah, mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan snack tersebut hingga suami membantunya membukakan. Tidak lama kemudian si anak berlari ke dalam ladang jagung dan menghilang. Mungkin salah satu dari rumah-rumah tadi adalah rumah anak tersebut.
Setelah rasa lelah kami berkurang, kami melanjutkan perjalanan melalui negeri antah-berantah ini. Menjelang jam 3 siang, kami melewati sebuah desa di dasar lembah yang jalannya lebar, namun keluar dari desa tersebut jalannya kembali mengecil. Setelah terus menyusuri jalan dan beberapa kali berhenti, kami memasuki desa Du Gia yang terletak di dasar lembah sekitar jam 3.45 sore. Hanya ada satu jalan utama yang melalui desa ini, dengan beberapa gang atau jalan kecil di kanan-kiri jalan.
Dari hasil mencari di booking.com sebelumnya, kami mendatangi Du Gia Backpackers Hostel yang terletak di timur jalan. Seorang gadis Western (yang ternyata adalah karyawan di sini) menyambut kami, dan saat bertanya harga kamar dan bed di dorm, gadis tersebut menjelaskan tarifnya kepada kami sambil mengajak kami melihat kamarnya terlebih dahulu.
Ternyata bangunannya ada di lain lokasi, jaraknya sekitar 300-400 meter dari bangunan utama, dan masuk ke sebuah gang kecil yang menanjak. Kami ditunjukkan kamar-kamar yang ada, baik private room maupun dormitory (untuk Freyja). Seharusnya harganya VND 250K/malam untuk private room dan VND 125K/malam untuk dormitory, semuanya termasuk sarapan, namun aku mencoba menawar harganya menjadi VND 100K/malam/orang apabila kami menginap 2-3 malam. Si gadis setuju, jadi kami memutuskan untuk bermalam di sini saja. Beruntung juga kami dilayani oleh si gadis, karena komunikasi jadi lancar.
Kami memasukkan barang-barang ke dalam kamar kami, dan Freyja ke dalam dormitory yang jaraknya hanya melewati satu kamar lain saja. Pada saat kami baru tiba tadi, ada seorang anak kecil yang sedang membersihkan dan mengepel kamar-kamar yang kosong. Aku belum berani bertanya apa pun mengenai hal tersebut. Kamar yang kami masuki adalah salah satu yang baru selesai dipel olehnya.
Kamarnya sendiri cukup luas, dengan sebuah double bed dengan sprei yang cukup bersih, sebuah selimut, dan kelambu nyamuk yang diikat di sudut-sudutnya. Kasurnya sendiri sangat keras, dengan bantal yang sudah kempis. Ada sebuah meja kecil di dekat ranjang, dan di belakang ranjang terletak kamar mandi yang cukup luas dan cukup bersih dengan water heater di salah satu tembok. Di samping kamar mandi terdapat semacam dapur dengan kitchen sink yang kondisinya agak kotor. Secara keseluruhan sebetulnya kamar kami ini sangat sederhana dan tidak terlalu bersih, namun bukan karena temboknya yang usang atau lantai kamar mandi yang berlumut. Faktor kotornya lebih karena debu dan bangkai serangga-serangga kecil. But it's okay lah, kami bisa memaklumi karena situasi dan standar kebersihan atau maintenance kamar di pedesaan seperti ini mungkin berbeda dengan di kota-kota yang lebih besar, apalagi harganya masih relatif murah.
Aku mengeluarkan dan menata barang-barang kami di dalam kamar, lalu kami berdua turun ke jalan utama untuk mencari toko yang menjual madu. Kebetulan hanya beberapa puluh meter dari ujung gang ada toko yang menjual madu. Sebotol madu berukuran 500ml harganya VND 150K, dan kata penjualnya dijamin asli, jadi kami membeli sebotol karena tidak ada kemasan lain yang lebih kecil.
Kembali ke penginapan, suami minum madu yang barusan dibeli lalu istirahat dan merebahkan dirinya di kasur karena kelelahan dan kondisinya masih belum begitu fit. Aku bersantai sembari mengamati suasana sekitar. Di depan kamar kami terdapat sebuah meja panjang dengan beberapa buah bangku untuk bersantai, sementara di ujung satunya terdapat area untuk berkumpul dengan sebuah sofa usang, meja bilyar, dan beberapa buah kursi. Disediakan juga galon air minum yang bebas diakses oleh para tamu. Ruangan ini diberi atap di atasnya dengan tujuan agar terlindung dari matahari, namun sayang atapnya terbuat dari seng, sehingga justru terasa lebih panas apabila kita bernaung di bawahnya.
Dari luar kamar aku bisa melihat pemandangan pegunungan di kejauhan, sayangnya kalau banyak jemuran pemandangannya jadi agak sedikit terganggu hahahaha.... Apabila diperhatikan, di Du Gia ini lebih banyak lagi segala macam serangga yang beterbangan di mana-mana, termasuk di luar dan di dalam kamar.
Pada saat sedang duduk-duduk sendirian di luar, seorang laki-laki berusia sekitar 45 tahun mengajakku mengobrol. Katanya beliau adalah seorang guru sekaligus bekerja di penginapan ini. Ada dua orang anak laki-laki, salah satu di antaranya yang kulihat sebelumnya, adalah anak-anak dari bapak ini. Mereka tinggal di salah satu kamar di sini, dan segala kegiatan termasuk masak juga dilakukan di kamar, karenanya mereka memiliki kompor, panci dan peralatan masak dan makan lainnya di dalam kamar mereka. Setelah beberapa saat mengobrol, aku berpamitan karena sudah cukup sore dan hendak mandi.
Usai mandi, suami menyusul mandi sementara aku menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Suami makan nasi dan daging sisa siang tadi, sementara aku makan mie instan dengan sayuran yang ada. Freyja akan ikut dalam acara makan malam yang diadakan oleh pihak penginapan, tentunya berbayar. Tarifnya VND 100K/orang, yang tentu saja terlalu mahal untuk kami berdua walaupun makanannya prasmanan, jadi kami tidak ikut dan memilih untuk istirahat saja. Sekitar jam 6.30 petang Freyja sudah berangkat ke bangunan utama Du Gia Backpackers Hostel untuk bersosialisasi di sana.
Usai makan, aku merasa sudah sangat lelah dan akhirnya memutuskan untuk langsung tidur saja. Hari ini kami tidak terlalu banyak berjalan kaki, hanya menempuh sekitar 8 KM saja, namun perjalanan di atas sepeda motor selama berjam-jam di bawah teriknya matahari membuatku lelah. Punggung dan pinggang terasa pegal-pegal semua. Entahlah apakah malam ini akan bisa tidur dengan nyenyak atau tidak di atas kasur yang sekeras batu ini, namun setidaknya aku tidak perlu memikirkan perjalanan esok, karena kami tidak punya rencana lain selain bersantai dan menikmati suasana di desa kecil di pelosok Vietnam Utara ini ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment