25 Maret 2018
Pagi ini aku terbangun jam 5 pagi, lagi-lagi oleh bunyi alarm. Membuat wedang jeruk nipis dan madu sudah menjadi kebiasaan setiap bangun tidur. Membuat secangkir kopi susu dan menyeruputnya membuatku agak melek di pagi yang masih tampak gelap ini.
Setelah melakukan rutinitas pagi hari, aku menghabiskan waktuku di netbookku. Menyalin pembukuan, dan tentunya menuliskan cerita dan pengalaman kami berdua selagi ada waktu.
Suami baru bangun dari tidur manisnya jam 7.28 pagi. Setelah suami sarapan roti yang dibeli semalam di B's Mart, kami bergantian mandi pagi, dan jam 9 pagi kami sudah berjalan kaki menuju ke arah pasar di Co Bac Street.
Suasana di pasar masih tampak ramai dan menyenangkan seperti kemarin-kemarin. Para penjual sayur, daging, dan segala macam makanan berjejer berusaha menawarkan barang dagangannya kepada orang-orang yang lewat. Sempat tertarik dengan pedagang kaki lima yang menjual bebek panggang, hanya saja harganya yang mencapai VND 250K per ekor membuat kami mundur teratur hahahaha...
Akhirnya suami membeli nasi campur dengan daging babi panggang (com tam) seharga VND 25K, dan aku membeli seporsi banh xeo seharga VND 20K. Banh xeo sering disebut juga Vietnamese Pancake. Adonan kulitnya terbuat dari larutan tepung beras, dan toppingnya biasanya berupa telur dan berbagai macam sayuran. Kadangkala ada yang diberi daging juga.
Kami masih berjalan-jalan sebentar menikmati suasana pasar yang menyenangkan ini, sebelum akhirnya kembali ke penginapan.
Sesampai di Miss Loi Guesthouse sudah hampir jam 11 siang, maka kami segera membereskan seluruh barang bawaan kami, makan siang, lalu mandi dan bersiap-siap. Beban backpack yang kubawa kini menjadi 13 kg.
Jam 11.40 siang kami check-out dari penginapan dan berjalan kaki sejauh sekitar 1 KM menuju ke halte bus terdekat. Tadinya suami ingin naik uber atau grab untuk menuju ke bandara, tapi kemudian berubah pikiran dan mau naik bus saja. Katanya, asal busnya enak nggak apa-apa, biar ngirit ^_^
Sampai di halte bus, baru sebentar menunggu, aku jadi ragu-ragu apakah kami berada di halte yang benar, karena ternyata di seberang jalan ada halte bus juga, dan Bus 152 yang kami tunggu baru saja melewati halte tersebut.
Akhirnya kami memutuskan menyeberang jalan dan menunggu di halte ini. Saat melihat-lihat Google Map, sepertinya kok salah arah ya... harusnya betul halte yang pertama tadi. Sementara masih bingung dan ragu-ragu apa yang harus dilakukan, ada Bus 152 yang mendekati halte pertama di seberang jalan. Aduh! Aku jadi semakin bingung, sampai kemudian tampak sopir busnya melambaikan tangannya ke arah kami, menyuruh kami menyeberang.
Aku sampai berteriak-teriak, "Airport? Airport?", dan sopir beserta kondekturnya menganggukan kepala dan kembali melambaikan tangannya.
Kami pun bergegas menyeberang jalan, sampai melompati pagar pembatas jalan hahahaha... dan akhirnya masuk ke bus yang benar. Aku sampai berterima kasih beberapa kali kepada kondektur dan pak sopirnya. Beberapa kali naik bus selama di Vietnam ini, kondektur yang mengecek tiket atau memungut bayaran semuanya perempuan. Untuk ke bandara, harga tiketnya VND 20K per orang.
Kami pun duduk di dalam bus ini. Busnya nyaman sekali, dan jarak antar tempat duduk pun lebar-lebar, jadi tidak kesulitan walaupun membawa backpack.
Suami duduk di kursi single, sementara aku duduk di belakangnya, sebuah kursi yang bisa diisi 2 orang. Tidak lama kemudian, seorang ibu berusia hampir 50 tahunan masuk dan memilih duduk denganku.
Beliau sempat bertanya sesuatu entah apa. Aku menangkapnya, beliau sepertinya hendak bertanya asalku, jadi kujawab Indonesia. Aku tahu sepertinya beliau ingin berkomunikasi walaupun tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Akhirnya keluarlah jurus mutakhir: Google Translate! Jadi aku memulai dengan menulis di Google Translate, di sini setiap hari panas sekali. Yang kemudian dijawabnya dengan anggukan.
Kemudian sepertinya beliau hendak mengatakan sesuatu, jadi aku coba fasilitas mic di Google Translate dan memintanya bicara di situ. Ternyata fasilitas mic di Google Translate OK banget, tinggal ngomong, nanti diterjemahkan. Sebagian besar betul sih, walaupun kadang ngawur juga hahahaha.... Dari sinilah kemudian percakapan terjalin.
Si ibu berasal dari Da Lat, dan saat ini hendak menjemput suaminya yang orang Perancis di airport. Kemudian mereka berdua akan terbang ke Da Lat naik Viet Jet. Katanya di Da Lat udaranya dingin, tidak panas seperti di sini. Da Lat kota yang indah, banyak bunga dan pohon pinus di mana-mana. Dia juga sempat bertanya usiaku, dan tidak percaya waktu kubilang 41 tahun. Katanya masih seperti 32 tahun hehehehe... Apalagi waktu kutunjukkan foto kami bersama putri kami, dia tambah terkejut hahahaha.... Aku sempat diberi beberapa tips olehnya kalau mau sewa sepeda motor di Da Lat nanti.
Waktu berlalu tidak terasa karena mengobrol, dan tiba-tiba kami sudah sampai di bandara Tan Son Nhat jam 12.30 siang. Kami berpisah, karena dia berhenti di terminal kedatangan internasional, sedangkan kami ke terminal keberangkatan domestik.
Kami berjalan masuk ke dalam terminal domestik, lalu check-in terlebih dulu supaya beban backpack tidak terasa terlalu berat. Setelah itu kami duduk-duduk di lantai bagaikan backpackers kere (emang iya sih hahahaha...) karena penerbangan kami ke Da Lat masih jam 14.55 siang. Memperhatikan orang yang lalu lalang dengan kesibukan dan tingkah lakunya masing-masing. Tampak banyak orang lokal yang bepergian dengan pakaian yang fancy dan sepatu hak tinggi. Lucu juga melihatnya.
Eh BTW foto yang lagi tiduran di atas backpack itu acting ya... hahahaha....
Ternyata di dekat pintu masuk bandara ini juga ada ATM Military Bank. Setelah melihat saldo tabungan masih cukup untuk tarik tunai, aku memutuskan untuk menarik uang tunai sebanyak dua kali di sini, karena kuatirnya di kota-kota yang lebih kecil akan sulit mencari ATM Military Bank, sementara kami masih lama di Vietnam.
Catatan: transaksi masing-masing 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.814.087, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Sekitar jam 14.07, kami memutuskan akan masuk melewati security di lantai dua, dan ternyata OMG antriannya super panjang sekali! Kami tidak menyangka akan seramai ini antriannya. Sementara itu majunya antrian tampak sangat lambat pula!
Tapi baru sebentar kami antri, ada seorang petugas yang berteriak-teriak Jetstar, Jetstar. Aku pun langsung mengangkat tangan dan berkata, Jetstar to Da Lat! Setelah itu kami langsung disuruh memotong antrian melewati tali pembatas dan langsung menuju ke antrian khusus yang hanya beberapa orang saja, dan langsung ke screening machine. Waduh lega sekali rasanya!
Setelah melewati screening machine tanpa kendala, kami diarahkan ke suatu ruangan, lalu dari situ semua penumpang naik bus bandara menuju ke pesawat. Memasuki pesawat, setelah meletakkan backpack di bagian atas kabin, kami pun duduk dan bisa bernafas dengan lega. Waktu sudah menunjukkan jam 14.40 saat ada seorang penumpang yang berkata bahwa seharusnya dia duduk di tempat kami. Setelah dilihat lagi, ternyata kami salah baris! Akhirnya kami pindah ke tempat duduk yang benar di baris depan kami setelah minta maaf kepada penumpang tersebut hahahaha...
Pesawat Jetstar Pacific ini, walaupun tujuan domestik dan sangat singkat waktu penerbangannya, menurutku tempat duduknya lebih nyaman dan sedikit lebih lega daripada pesawat Jetstar yang dari Denpasar sampai ke Ho Chi Minh kemarin.
Jam 14.55, pesawat mulai bergerak di landasan, dan tepat jam 15.05, pesawat Jetstar yang kami naiki pun lepas landas menuju ke Da Lat. Penerbangan berjalan lancar, namun demikian udara terasa sangat panas di dalam pesawat. Aku mencoba tidur agar tidak terlalu lelah saat sampai di Da Lat nanti.
Kami mendarat di Lien Khuong Airport yang berjarak sekitar 35 KM dari pusat kota Da Lat jam 15.35 sore. Setelah para penumpang diijinkan keluar, kami masih harus berjalan untuk masuk ke dalam gedung bandaranya. Lien Khuong Airport merupakan bandara kecil, bahkan lebih kecil daripada Bandara Banyuwangi yang sekarang. Bandaranya sendiri tampak sepi, hanya para penumpang dari penerbangan kami yang ada di sini.
Keluar gedung bandara, tampak banyak driver taxi yang menawarkan jasanya untuk mengantar penumpang ke kota Da Lat. Kalau tidak salah biayanya bisa mencapai VND 200K. Aku sudah membaca sebelumnya bahwa ada shuttle bus di tiap penerbangan yang mendarat di tempat ini, karenanya kami dengan sabar menanti hingga bus tersebut datang. Menjelang jam 4 sore, bus yang kami tunggu pun datang, dan ternyata banyak juga penumpang yang memilih naik bus ini. Harga tiketnya VND 40K per orang.
Perjalanan menuju ke kota Da Lat cukup menyenangkan, pemandangannya cukup indah dan udaranya terasa sejuk. Banyak bunga yang tampak di mana-mana, demikian juga hutan pinus, seperti yang dikatakan oleh ibu tadi. Setelah hampir 30 menit, bus berhenti di Ngoc Phat Hotel, dan seluruh penumpang diturunkan di tempat ini.
Untung aku sudah banyak membaca mengenai hal ini, jadi tidak bingung lagi. Dengan Google Map, ternyata untuk menuju ke penginapan yang sudah kami booking sebelumnya jaraknya hanya sekitar 1,7 KM.
Kami pun berjalan melewati jalan raya, melewati danau, kemudian menyusuri jalan yang lebih sepi, melewati pasar tumpah di tepi jalan, lalu melewati jalan yang naiknya cukup curam (sepertinya jalan pintas). Selama berjalan ini, aku langsung suka sekali dengan kota ini. Suasananya yang sejuk (bahkan sudah mulai dingin), tidak terlalu ramai, banyak bunga di mana-mana, wah menyenangkan sekali rasanya. Sekilas mirip kota Malang, namun lebih sepi, lebih teratur, dan lebih indah. Yang pasti lebih dingin juga ^_^
Kami tiba di Katie Guest House, penginapan yang kami tuju, jam 5 sore. Kami disambut oleh seorang pemuda (belakangan kami tahu namanya Wang) yang bahasa Inggrisnya termasuk bagus dan mudah dimengerti, sepertinya yang terbaik sejauh ini hahahaha... Belakangan baru kuketahui, ternyata Wang pernah sekolah selama 2 tahun di USA, tidak heran bahasa Inggrisnya bagus ^_^
Tadinya Wang meminta paspor kami, tapi aku mengatakan bahwa penginapannya akan kubayar, dan kami akan meninggalkan fotokopi paspor saja. Wang menyetujuinya, dan kemudian kami diberi kunci kamar. Aku membayar sekaligus untuk 2 malam, dan harga per malamnya VND 145K. Ini adalah private room with private bathroom termurah yang bisa kami temukan di Da Lat melalui booking.com.
Masalah paspor ini, aku sudah sering membaca sebelumnya bahwa seringkali pihak penginapan akan menyita paspor kita hingga kita check-out. Yang jadi masalah, kadang kalau pihak penginapannya nakal, mereka akan cari-cari alasan supaya kita membayar lebih atau paspor kita tidak akan dikembalikan, padahal paspor ibaratnya adalah segalanya kalau kita sedang berada di luar negeri.
Nah, masalah pihak penginapan yang minta paspor ini sebetulnya juga diawali oleh kelakuan para tamu yang nakal. Kalau boleh jujur sih, yang dimaksud adalah tamu-tamu bule. Dulu katanya seringkali banyak (maaf) bule kere (atau dasarnya memang tidak jujur) yang sering menginap sampai beberapa hari, lalu tiba-tiba kabur tanpa membayar. Hal ini tentu saja merugikan pihak penginapan, karenanya kemudian mereka pada umumnya akan minta paspor para tamu yang akan bermalam. Mungkin dari pengalaman, mereka lama-lama juga bisa melihat ya, tamu yang tidak jujur seperti apa gerak-geriknya, karenanya saat kami membayar, Wang langsung setuju untuk menyimpan fotokopian paspor kami saja ^_^
Saat memasuki kamar, tampak dua buah kasur, yang satu queen bed dan satunya lagi single bed yang bersebelahan, sebuah meja kecil di sudut ruangan, sebuah TV, dan ada sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi. Kamar mandinya sederhana namun bersih. Kamar dan kamar mandinya sudah tampak usang, namun semua tampak bersih dan cukup menyenangkan. Kami juga diberi dua botol air minum yang dingin.
Kami membongkar barang-barang dari backpack kami, dan menatanya di satu kasur yang lebih kecil. Udara mulai terasa dingin, ternyata suhunya 17 derajat Celcius. Tidak heran dinginnya mulai terasa menggigit.
Usai membereskan barang-barang, kami bergantian mandi air panas. Biasanya saat mandi sore kami sekalian mencuci baju dan pakaian dalam, apalagi kalau besoknya masih menginap di tempat yang sama.
Sekitar jam 6 petang, kami keluar kamar, dan baru saja keluar suami langsung teringat bahwa kunci kamarnya tidak dibawa, masih di dalam kamar. Jadilah kami minta tolong kepada Wang untuk membukakan kamar kami. Setelah mengambil kunci kamar yang tertinggal, barulah kami keluar dari penginapan dan berjalan-jalan ke pusat kota untuk mencari gas dan sekaligus makan malam. Suamiku membeli dua buah donat seharga @ VND 7K di sebuah bakery. Saat melewati sebuah jalan kecil, tampak berderet-deret penjual pho di satu sisi jalan. Setelah menanyakan harganya, suami memesan satu porsi pho co seharga VND 30K. Kali ini pho-nya memakai daging sapi. Aku hanya mencicipi sedikit saja, karena masih kapok dengan makanan berkuah yang banyak vetsinnya.
Selesai menemani suami makan, kami berjalan lagi, dan kali ini melihat sebuah kios banh mi, dan waktu kutanya harganya, ternyata hanya VND 12K, jadi aku beli satu untuk makan malamku. Kebanyakan isinya sayuran, tapi aku justru lebih suka yang seperti ini hehehehe...
Setelah membeli plaster untuk persediaan kalau terluka, dan masih membeli lagi dua buah roti bantal/galundeng seharga @ VND 5K, barulah kami kembali ke penginapan sekitar jam 8 malam.
Kami bertanya kepada Wang berapa harganya kalau sewa sepeda motor, dan katanya harganya VND 110K untuk yang manual, dan VND 120K untuk yang matic, dari jam 7 pagi sampai jam 9 malam. Jadi tidak 24 jam seperti di Bali. Namun kalau sewanya lebih dari sehari, kita boleh pegang kuncinya malam harinya.
Kami berkata akan menyewanya besok pagi mulai jam 6 pagi kalau bisa, dan Wang menyanggupi bahwa sepeda motornya akan ada besok pagi. Aku juga bertanya apakah bisa minta air panas untuk minum di pagi hari, dan Wang malah kemudian meminjamkan electric kettle/teko listriknya kepada kami. Wah, baik sekali ya... aku tidak perlu kuatir kesulitan mendapatkan air panas besok pagi ^_^
Hari ini kami berjalan kurang lebih sejauh 10 KM. Cukup melelahkan juga ternyata, apalagi udaranya semakin dingin. Suhu udara sekitar 17 derajat Celcius, dan kami pun tertidur jam 9 malam ^_^
To be continued.......
Suami baru bangun dari tidur manisnya jam 7.28 pagi. Setelah suami sarapan roti yang dibeli semalam di B's Mart, kami bergantian mandi pagi, dan jam 9 pagi kami sudah berjalan kaki menuju ke arah pasar di Co Bac Street.
Suasana di pasar masih tampak ramai dan menyenangkan seperti kemarin-kemarin. Para penjual sayur, daging, dan segala macam makanan berjejer berusaha menawarkan barang dagangannya kepada orang-orang yang lewat. Sempat tertarik dengan pedagang kaki lima yang menjual bebek panggang, hanya saja harganya yang mencapai VND 250K per ekor membuat kami mundur teratur hahahaha...
Akhirnya suami membeli nasi campur dengan daging babi panggang (com tam) seharga VND 25K, dan aku membeli seporsi banh xeo seharga VND 20K. Banh xeo sering disebut juga Vietnamese Pancake. Adonan kulitnya terbuat dari larutan tepung beras, dan toppingnya biasanya berupa telur dan berbagai macam sayuran. Kadangkala ada yang diberi daging juga.
Kami masih berjalan-jalan sebentar menikmati suasana pasar yang menyenangkan ini, sebelum akhirnya kembali ke penginapan.
Sesampai di Miss Loi Guesthouse sudah hampir jam 11 siang, maka kami segera membereskan seluruh barang bawaan kami, makan siang, lalu mandi dan bersiap-siap. Beban backpack yang kubawa kini menjadi 13 kg.
Jam 11.40 siang kami check-out dari penginapan dan berjalan kaki sejauh sekitar 1 KM menuju ke halte bus terdekat. Tadinya suami ingin naik uber atau grab untuk menuju ke bandara, tapi kemudian berubah pikiran dan mau naik bus saja. Katanya, asal busnya enak nggak apa-apa, biar ngirit ^_^
Sampai di halte bus, baru sebentar menunggu, aku jadi ragu-ragu apakah kami berada di halte yang benar, karena ternyata di seberang jalan ada halte bus juga, dan Bus 152 yang kami tunggu baru saja melewati halte tersebut.
Akhirnya kami memutuskan menyeberang jalan dan menunggu di halte ini. Saat melihat-lihat Google Map, sepertinya kok salah arah ya... harusnya betul halte yang pertama tadi. Sementara masih bingung dan ragu-ragu apa yang harus dilakukan, ada Bus 152 yang mendekati halte pertama di seberang jalan. Aduh! Aku jadi semakin bingung, sampai kemudian tampak sopir busnya melambaikan tangannya ke arah kami, menyuruh kami menyeberang.
Aku sampai berteriak-teriak, "Airport? Airport?", dan sopir beserta kondekturnya menganggukan kepala dan kembali melambaikan tangannya.
Kami pun bergegas menyeberang jalan, sampai melompati pagar pembatas jalan hahahaha... dan akhirnya masuk ke bus yang benar. Aku sampai berterima kasih beberapa kali kepada kondektur dan pak sopirnya. Beberapa kali naik bus selama di Vietnam ini, kondektur yang mengecek tiket atau memungut bayaran semuanya perempuan. Untuk ke bandara, harga tiketnya VND 20K per orang.
Kami pun duduk di dalam bus ini. Busnya nyaman sekali, dan jarak antar tempat duduk pun lebar-lebar, jadi tidak kesulitan walaupun membawa backpack.
Suami duduk di kursi single, sementara aku duduk di belakangnya, sebuah kursi yang bisa diisi 2 orang. Tidak lama kemudian, seorang ibu berusia hampir 50 tahunan masuk dan memilih duduk denganku.
Beliau sempat bertanya sesuatu entah apa. Aku menangkapnya, beliau sepertinya hendak bertanya asalku, jadi kujawab Indonesia. Aku tahu sepertinya beliau ingin berkomunikasi walaupun tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Akhirnya keluarlah jurus mutakhir: Google Translate! Jadi aku memulai dengan menulis di Google Translate, di sini setiap hari panas sekali. Yang kemudian dijawabnya dengan anggukan.
Kemudian sepertinya beliau hendak mengatakan sesuatu, jadi aku coba fasilitas mic di Google Translate dan memintanya bicara di situ. Ternyata fasilitas mic di Google Translate OK banget, tinggal ngomong, nanti diterjemahkan. Sebagian besar betul sih, walaupun kadang ngawur juga hahahaha.... Dari sinilah kemudian percakapan terjalin.
Si ibu berasal dari Da Lat, dan saat ini hendak menjemput suaminya yang orang Perancis di airport. Kemudian mereka berdua akan terbang ke Da Lat naik Viet Jet. Katanya di Da Lat udaranya dingin, tidak panas seperti di sini. Da Lat kota yang indah, banyak bunga dan pohon pinus di mana-mana. Dia juga sempat bertanya usiaku, dan tidak percaya waktu kubilang 41 tahun. Katanya masih seperti 32 tahun hehehehe... Apalagi waktu kutunjukkan foto kami bersama putri kami, dia tambah terkejut hahahaha.... Aku sempat diberi beberapa tips olehnya kalau mau sewa sepeda motor di Da Lat nanti.
Waktu berlalu tidak terasa karena mengobrol, dan tiba-tiba kami sudah sampai di bandara Tan Son Nhat jam 12.30 siang. Kami berpisah, karena dia berhenti di terminal kedatangan internasional, sedangkan kami ke terminal keberangkatan domestik.
Kami berjalan masuk ke dalam terminal domestik, lalu check-in terlebih dulu supaya beban backpack tidak terasa terlalu berat. Setelah itu kami duduk-duduk di lantai bagaikan backpackers kere (emang iya sih hahahaha...) karena penerbangan kami ke Da Lat masih jam 14.55 siang. Memperhatikan orang yang lalu lalang dengan kesibukan dan tingkah lakunya masing-masing. Tampak banyak orang lokal yang bepergian dengan pakaian yang fancy dan sepatu hak tinggi. Lucu juga melihatnya.
Eh BTW foto yang lagi tiduran di atas backpack itu acting ya... hahahaha....
Ternyata di dekat pintu masuk bandara ini juga ada ATM Military Bank. Setelah melihat saldo tabungan masih cukup untuk tarik tunai, aku memutuskan untuk menarik uang tunai sebanyak dua kali di sini, karena kuatirnya di kota-kota yang lebih kecil akan sulit mencari ATM Military Bank, sementara kami masih lama di Vietnam.
Catatan: transaksi masing-masing 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.814.087, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Sekitar jam 14.07, kami memutuskan akan masuk melewati security di lantai dua, dan ternyata OMG antriannya super panjang sekali! Kami tidak menyangka akan seramai ini antriannya. Sementara itu majunya antrian tampak sangat lambat pula!
Tapi baru sebentar kami antri, ada seorang petugas yang berteriak-teriak Jetstar, Jetstar. Aku pun langsung mengangkat tangan dan berkata, Jetstar to Da Lat! Setelah itu kami langsung disuruh memotong antrian melewati tali pembatas dan langsung menuju ke antrian khusus yang hanya beberapa orang saja, dan langsung ke screening machine. Waduh lega sekali rasanya!
Setelah melewati screening machine tanpa kendala, kami diarahkan ke suatu ruangan, lalu dari situ semua penumpang naik bus bandara menuju ke pesawat. Memasuki pesawat, setelah meletakkan backpack di bagian atas kabin, kami pun duduk dan bisa bernafas dengan lega. Waktu sudah menunjukkan jam 14.40 saat ada seorang penumpang yang berkata bahwa seharusnya dia duduk di tempat kami. Setelah dilihat lagi, ternyata kami salah baris! Akhirnya kami pindah ke tempat duduk yang benar di baris depan kami setelah minta maaf kepada penumpang tersebut hahahaha...
Pesawat Jetstar Pacific ini, walaupun tujuan domestik dan sangat singkat waktu penerbangannya, menurutku tempat duduknya lebih nyaman dan sedikit lebih lega daripada pesawat Jetstar yang dari Denpasar sampai ke Ho Chi Minh kemarin.
Jam 14.55, pesawat mulai bergerak di landasan, dan tepat jam 15.05, pesawat Jetstar yang kami naiki pun lepas landas menuju ke Da Lat. Penerbangan berjalan lancar, namun demikian udara terasa sangat panas di dalam pesawat. Aku mencoba tidur agar tidak terlalu lelah saat sampai di Da Lat nanti.
Kami mendarat di Lien Khuong Airport yang berjarak sekitar 35 KM dari pusat kota Da Lat jam 15.35 sore. Setelah para penumpang diijinkan keluar, kami masih harus berjalan untuk masuk ke dalam gedung bandaranya. Lien Khuong Airport merupakan bandara kecil, bahkan lebih kecil daripada Bandara Banyuwangi yang sekarang. Bandaranya sendiri tampak sepi, hanya para penumpang dari penerbangan kami yang ada di sini.
Keluar gedung bandara, tampak banyak driver taxi yang menawarkan jasanya untuk mengantar penumpang ke kota Da Lat. Kalau tidak salah biayanya bisa mencapai VND 200K. Aku sudah membaca sebelumnya bahwa ada shuttle bus di tiap penerbangan yang mendarat di tempat ini, karenanya kami dengan sabar menanti hingga bus tersebut datang. Menjelang jam 4 sore, bus yang kami tunggu pun datang, dan ternyata banyak juga penumpang yang memilih naik bus ini. Harga tiketnya VND 40K per orang.
Perjalanan menuju ke kota Da Lat cukup menyenangkan, pemandangannya cukup indah dan udaranya terasa sejuk. Banyak bunga yang tampak di mana-mana, demikian juga hutan pinus, seperti yang dikatakan oleh ibu tadi. Setelah hampir 30 menit, bus berhenti di Ngoc Phat Hotel, dan seluruh penumpang diturunkan di tempat ini.
Untung aku sudah banyak membaca mengenai hal ini, jadi tidak bingung lagi. Dengan Google Map, ternyata untuk menuju ke penginapan yang sudah kami booking sebelumnya jaraknya hanya sekitar 1,7 KM.
Kami pun berjalan melewati jalan raya, melewati danau, kemudian menyusuri jalan yang lebih sepi, melewati pasar tumpah di tepi jalan, lalu melewati jalan yang naiknya cukup curam (sepertinya jalan pintas). Selama berjalan ini, aku langsung suka sekali dengan kota ini. Suasananya yang sejuk (bahkan sudah mulai dingin), tidak terlalu ramai, banyak bunga di mana-mana, wah menyenangkan sekali rasanya. Sekilas mirip kota Malang, namun lebih sepi, lebih teratur, dan lebih indah. Yang pasti lebih dingin juga ^_^
Kami tiba di Katie Guest House, penginapan yang kami tuju, jam 5 sore. Kami disambut oleh seorang pemuda (belakangan kami tahu namanya Wang) yang bahasa Inggrisnya termasuk bagus dan mudah dimengerti, sepertinya yang terbaik sejauh ini hahahaha... Belakangan baru kuketahui, ternyata Wang pernah sekolah selama 2 tahun di USA, tidak heran bahasa Inggrisnya bagus ^_^
Tadinya Wang meminta paspor kami, tapi aku mengatakan bahwa penginapannya akan kubayar, dan kami akan meninggalkan fotokopi paspor saja. Wang menyetujuinya, dan kemudian kami diberi kunci kamar. Aku membayar sekaligus untuk 2 malam, dan harga per malamnya VND 145K. Ini adalah private room with private bathroom termurah yang bisa kami temukan di Da Lat melalui booking.com.
Nah, masalah pihak penginapan yang minta paspor ini sebetulnya juga diawali oleh kelakuan para tamu yang nakal. Kalau boleh jujur sih, yang dimaksud adalah tamu-tamu bule. Dulu katanya seringkali banyak (maaf) bule kere (atau dasarnya memang tidak jujur) yang sering menginap sampai beberapa hari, lalu tiba-tiba kabur tanpa membayar. Hal ini tentu saja merugikan pihak penginapan, karenanya kemudian mereka pada umumnya akan minta paspor para tamu yang akan bermalam. Mungkin dari pengalaman, mereka lama-lama juga bisa melihat ya, tamu yang tidak jujur seperti apa gerak-geriknya, karenanya saat kami membayar, Wang langsung setuju untuk menyimpan fotokopian paspor kami saja ^_^
Saat memasuki kamar, tampak dua buah kasur, yang satu queen bed dan satunya lagi single bed yang bersebelahan, sebuah meja kecil di sudut ruangan, sebuah TV, dan ada sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi. Kamar mandinya sederhana namun bersih. Kamar dan kamar mandinya sudah tampak usang, namun semua tampak bersih dan cukup menyenangkan. Kami juga diberi dua botol air minum yang dingin.
Kami membongkar barang-barang dari backpack kami, dan menatanya di satu kasur yang lebih kecil. Udara mulai terasa dingin, ternyata suhunya 17 derajat Celcius. Tidak heran dinginnya mulai terasa menggigit.
Usai membereskan barang-barang, kami bergantian mandi air panas. Biasanya saat mandi sore kami sekalian mencuci baju dan pakaian dalam, apalagi kalau besoknya masih menginap di tempat yang sama.
Sekitar jam 6 petang, kami keluar kamar, dan baru saja keluar suami langsung teringat bahwa kunci kamarnya tidak dibawa, masih di dalam kamar. Jadilah kami minta tolong kepada Wang untuk membukakan kamar kami. Setelah mengambil kunci kamar yang tertinggal, barulah kami keluar dari penginapan dan berjalan-jalan ke pusat kota untuk mencari gas dan sekaligus makan malam. Suamiku membeli dua buah donat seharga @ VND 7K di sebuah bakery. Saat melewati sebuah jalan kecil, tampak berderet-deret penjual pho di satu sisi jalan. Setelah menanyakan harganya, suami memesan satu porsi pho co seharga VND 30K. Kali ini pho-nya memakai daging sapi. Aku hanya mencicipi sedikit saja, karena masih kapok dengan makanan berkuah yang banyak vetsinnya.
Selesai menemani suami makan, kami berjalan lagi, dan kali ini melihat sebuah kios banh mi, dan waktu kutanya harganya, ternyata hanya VND 12K, jadi aku beli satu untuk makan malamku. Kebanyakan isinya sayuran, tapi aku justru lebih suka yang seperti ini hehehehe...
Setelah membeli plaster untuk persediaan kalau terluka, dan masih membeli lagi dua buah roti bantal/galundeng seharga @ VND 5K, barulah kami kembali ke penginapan sekitar jam 8 malam.
Kami bertanya kepada Wang berapa harganya kalau sewa sepeda motor, dan katanya harganya VND 110K untuk yang manual, dan VND 120K untuk yang matic, dari jam 7 pagi sampai jam 9 malam. Jadi tidak 24 jam seperti di Bali. Namun kalau sewanya lebih dari sehari, kita boleh pegang kuncinya malam harinya.
Kami berkata akan menyewanya besok pagi mulai jam 6 pagi kalau bisa, dan Wang menyanggupi bahwa sepeda motornya akan ada besok pagi. Aku juga bertanya apakah bisa minta air panas untuk minum di pagi hari, dan Wang malah kemudian meminjamkan electric kettle/teko listriknya kepada kami. Wah, baik sekali ya... aku tidak perlu kuatir kesulitan mendapatkan air panas besok pagi ^_^
Hari ini kami berjalan kurang lebih sejauh 10 KM. Cukup melelahkan juga ternyata, apalagi udaranya semakin dingin. Suhu udara sekitar 17 derajat Celcius, dan kami pun tertidur jam 9 malam ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment