22 Maret 2018
Pagi ini aku terbangun jam 4.20 pagi. Badan terasa segar setelah tidur lebih dari 6 jam. Setelah melakukan rutinitas pagi dan yoga, aku mencoba mencari beberapa informasi di netbook selagi masih ada wifi yang cukup kencang.
Suamiku baru terbangun dari tidurnya jam 6.30 pagi, dan sekitar jam 7 pagi kami turun ke lantai 1 untuk sarapan. Walaupun jenis lauknya tidak banyak, namun sarapannya termasuk OK. Ada nasi, ayam lada hitam, tempe goreng, mie goreng, dan kerupuk. Selain itu masih ada roti tawar dengan beberapa macam selai/saus, dan tentunya kopi dan teh. Karena aku tidak biasa makan pagi, aku memasukkan jatah sarapanku ke dalam rantang plastik dan kusisihkan untuk makan siang suami nanti.
Usai sarapan, kami mandi, dan mengemasi semua barang bawaan kami. Walaupun beberapa barang sudah dipindahkan ke dalam jaket, tetap saja karena jaketnya digantungkan pada backpack, jadinya berat juga. Beban bawaanku sekitar 12kg, sedangkan suamiku sekitar 8,5kg.
Jam 8.35 pagi, kami berdua check-out dari Gowin Hotel. Proses check-out lancar dan hanya makan waktu 1-2 menit saja, dan setelah itu kami berjalan kaki menuju ke Ngurah Rai International Airport.
Matahari sudah mulai terik, membuatku berkeringat menyusuri jalan raya Dewi Sartika. Kami melewati jalur untuk pejalan kaki yang jauh lebih dekat daripada jalur mobil, dan sekitar jam 8.45 pagi kami sudah tiba di International Departure.
Jadwal penerbangan kami adalah sebagai berikut:
10.45 AM - 1.25 PM dari Denpasar ke Singapore (durasi penerbangan 2 jam 40 menit), transit kurang lebih sekitar 6 jam di Bandara Changi, dan kemudian dilanjut 7.20 PM - 8.30 PM dari Singapore ke Ho Chi Minh City, Vietnam (durasi penerbangan 2 jam 10 menit).
Sebetulnya ada penerbangan yang waktu transitnya lebih singkat, tapi kami memilih yang ini dengan pertimbangan agar tidak terburu-buru saat transit, dan tentunya agar kami memiliki waktu untuk menjelajah bandara Changi yang katanya terbaik di dunia ^_^
Setelah melewati security tahap pertama, kami segera menuju ke area check-in. Counter check-in Jetstar tampak sudah dibuka, dan tampak tidak terlalu banyak orang. Setelah security memeriksa sekilas backpack kami, kebetulan langsung ada counter yang kosong, sehingga kami bisa langsung melakukan proses check-in. Semuanya lancar, dan setelah itu kami menuju ke bagian imigrasi, lalu security lagi, dan masuklah kami ke dalam Departure Hall.
Ngurah Rai International Airport (IATA: DPS) merupakan bandara utama di Bali, berlokasi 13 KM di selatan kota Denpasar, ibukota Provinsi Bali. Bandara ini dinamai menurut seorang pahlawan asal Bali yang tewas dalam perang puputan pada tanggal 20 November 1946 melawan Belanda di Tabanan. Berada di daerah Tuban di antara Kuta dan Jimbaran, bandara ini merupakan bandara kedua teramai setelah Soekarno-Hatta International Airport. Dalam semester pertama tahun 2017 saja, bandara ini telah melayani 10.156.686 penumpang, dan tiap tahunnya jumlah penumpangnya mengalami kenaikan sekitar 12-15%
Bandara Ngurah Rai termasuk dalam kategori IX, yang bisa dijadikan tempat mendarat pesawat-pesawat besar seperti Airbus A380. Pada tahun 2016, Ngurah Rai dinobatkan sebagai bandara terbaik ketiga dari segi pelayanan. Terminal Internasional di bandara ini memiliki arsitektur Bali, dan memiliki bangsal kedatangan dan keberangkatan yang berbeda. Area keberangkatan memiliki 62 counter untuk check-in yang dilengkapi dengan timbangan elektronik dan luggage conveyor. Terminal-terminal di bandara ini juga memiliki ruang doa, smoking area, shower, dan layanan pijat. Beberapa lounge juga memiliki fasilitas tempat bermain anak, bioskop, dan broadcast acara berita, hiburan, dan olahraga.
Untuk mengetahui lebih banyak mengenai semua fasilitas dan hal-hal lain yang ada di Ngurah Rai International Airport, silakan klik di sini atau di sini.
Untuk mengetahui lebih banyak mengenai semua fasilitas dan hal-hal lain yang ada di Ngurah Rai International Airport, silakan klik di sini atau di sini.
Karena sudah beberapa kali masuk di dalam Ngurah Rai International Airport ini, kami tidak terlalu banyak melihat-lihat dan hanya duduk-duduk di area dekat smoking room, hingga sekitar jam 10.15 kami menuju ke Gate 8, tempat kami akan boarding. Tampak seorang security yang memeriksa barang bawaan masing-masing penumpang, namun anehnya kami berdua malah tidak diperiksa dan disuruh langsung lewat hehehe... Untuk penerbangan dari Denpasar ke Ho Chi Minh ini, botol berisi air minum boleh dibawa.
Sepanjang menyusuri departure hall, tampak ada beberapa hal baru yang tahun lalu belum ada, seperti adanya tambahan hiasan beberapa patung khas Bali yang besar-besar, tambahan signpost yang menunjukkan arah dan jarak ke kota-kota lain di seluruh dunia, dan ada pula music corner (saat itu ditutup, mungkin hanya untuk weekend saja). Yang pasti, kini ada kran-kran air minum di depan toilet sepanjang departure hall ini.
Sebetulnya sejak awal yang paling aku kuatirkan adalah kalau sampai backpack kami ditimbang, karena sudah pasti akan kena denda. Untung saja tidak ditimbang. Secara volume memang sebetulnya backpack 60-65 liter sudah banyak yang tidak diijinkan untuk naik sebagai carry-on baggage, namun mungkin karena penataannya sedemikian rupa sehingga tidak melebihi dimensi maksimal yang ditentukan, kedua backpack kami sejauh ini belum pernah dilarang masuk cabin.
Tidak lama kami menunggu di gate ini, jam 10.25 pagi mulai terdengar panggilan untuk boarding. Entah mengapa, sejak masuk dan duduk di dalam pesawat, aku merasa mengantuk sekali sampai berkali-kali menguap.
Setelah selesai proses boarding dan persiapan, jam 10.58 pagi pesawat Jetstar Airbus A320 yang kami tumpangi pun lepas landas, meninggalkan negeri tercinta ini.
Saat sinyal aman sudah menyala, aku pun menurunkan meja dan mencoba tidur berbantalkan tangan di atas meja. Walaupun beberapa kali terbangun karena posisi kepala yang tidak nyaman atau mendengar bunyi pengumuman oleh sang pilot, bisa dibilang sepanjang perjalanan selama 2 jam ini aku tidur. Baru sekitar 15 menit terakhir aku bangun karena posisi meja harus dikembalikan seperti semula. Salah satu pengumuman yang kudengar saat masih tidur adalah anjuran untuk mengenakan sabuk pengaman karena pesawat mengalami turbulensi. Memang setelah itu terasa guncangan-guncangan yang agak keras, namun aku tidak terlalu memikirkannya dan memilih tidur lagi hehehehe...
Jam 1 siang, pesawat mendarat dengan mulus di Changi International Airport, Singapore. Setelah sampai di pangkalan pesawat Jetstar, kami menunggu dengan sabar hingga pintu pesawat dibuka. Baru sekitar jam 1.30 siang kami memasuki Terminal 1 Changi.
Changi International Airport (IATA: SIN) merupakan bandara utama di Singapura, dan merupakan salah satu pusat transportasi di Asia Tenggara. Skytrax telah menobatkan bandara ini sebagai bandara terbaik di dunia selama 5 tahun berturut-turut semenjak tahun 2013. Berlokasi di Changi, ujung timur Singapore, Changi International Airport merupakan salah satu bandara teramai di dunia dari jumlah penumpang internasional sekaligus lalu lintas kargo. Bandara ini melayani lebih dari 100 maskapai yang terbang ke 400 kota di 90 negara di seluruh dunia, dan setiap minggunya ada 7.200 penerbangan yang lepas landas atau mendarat di sini, atau sekitar 1 penerbangan tiap 80 detik. Luas areanya mencakup 13 kilometer persegi, dan dioperasikan oleh Changi Airport Group.
Untuk tahun 2017 saja, Changi International Airport sudah menangani 62.219.573 penumpang (naik 6% dari tahun sebelumnya), dan ini merupakan rekor terbanyak semenjak berdirinya di tahun 1981, menjadikannya bandara urutan ke-6 tersibuk di dunia, dan ke-2 di Asia. Sementara itu kargo yang ditangani selama tahun 2017 berjumlah 2.125 juta ton.
Sejak pertama kali didirikan, bandara ini sudah memenangkan lebih dari 557 penghargaan, termasuk di antaranya 26 penghargaan "Best Airport" di tahun 2017 saja. Hebat sekali ya? Bandara ini selalu melakukan upgrade pada terminal-terminalnya yang sudah ada dan membangun fasilitas-fasilitas baru untuk menjaga standar kualitas pelayanannya yang tinggi.
Changi Airport memiliki 4 terminal utama bagi para penumpang, yang membentuk huruf U. Baru-baru ini, bandara ini didesain untuk bisa menangangi 85 juta penumpang per tahunnya. Terminal-terminal yang ada di Changi Airport adalah:
Terminal 1, dibuka pada tahun 1981, dan berlokasi di sisi utara.
Terminal 2, dibuka pada tahun 1990, dan berlokasi di sisi timur.
Terminal 3, dibuka pada tahun 2008, dan berlokasi di sisi barat.
Terminal 4, baru saja dibuka pada bulan Oktober 2017, berlokasi di sisi selatan.
Selain itu ada pula terminal mewah yang dioperasikan secara swasta yang disebut JetQuay CIP Terminal. Terminal ini sebetulnya terbuka untuk semua penumpang yang akan bepergian dengan kelas apa pun dan maskapai apa pun, namun untuk masuk harus membayar. Pernah ada juga Budget Terminal yang dibuka 26 Maret 2006 dan ditutup pada tanggal 25 September 2012 karena akan digunakan untuk membangun Terminal 4.
Katanya Terminal 5 akan selesai dibangun pada akhir tahun 2020, dan diharapkan bisa menampung 50 juta penumpang per tahun. Lokasi pembangunannya berada di sebuah lahan di sisi timur terminal-terminal yang ada sekarang, dan katanya akan lebih besar daripada gabungan semua terminal yang ada sekarang ini.
Untuk transportasi, ada beberapa jenis transportasi yang disediakan, yaitu:
- The Changi Airport Skytrain, yang beroperasi di Terminal 1, 2, dan 3, dengan total 7 stasiun.
- Mass Rapid Transit (MRT), yang stasiunnya berlokasi di bawah tanah antara Terminal 2 dan Terminal 3. Kereta ini akan mengantar penumpang langsung ke pusat kota dan ke bagian barat kota Singapore.
- Bus, yang dulunya merupakan transportasi utama yang paling banyak digunakan baik oleh penumpang maupun staff. Ada juga free shuttle bus antara Terminal 3 dan Changi Business Park, yang rutenya berhenti di 9 tempat, dan hanya beroperasi di hari Senin sampai Jumat saja, dan libur pada hari-hari libur nasional.
- Taxi, yang berada di luar bangsal kedatangan tiap terminal. Ada juga layanan limousine.
- Private Transport, yang berada di titik-titik penjemputan bangsal kedatangan tiap terminal.
Untuk lebih detilnya mengenai fasilitas-fasilitas dan hal-hal lainnya yang bisa kita temukan dan jelajahi di Changi Airport, silakan langsung klik di sini atau di sini.
Pertama-tama kami butuh wifi, jadi kami berdua mencoba menghubungkan smartphone kami dengan free wifi yang ada di sini. Entah mengapa, tiba-tiba HP Asus suamiku malah error dan restart sampai berkali-kali, sama sekali tidak bisa menyala normal seperti biasanya.
Untungnya HPku bisa terhubung ke wifinya dan masih bisa dipakai untuk mengurus pekerjaan. Karena sudah hampir jam 2 siang, suami makan siang dengan bekal yang tadi pagi dibawa.Selain itu ada pula terminal mewah yang dioperasikan secara swasta yang disebut JetQuay CIP Terminal. Terminal ini sebetulnya terbuka untuk semua penumpang yang akan bepergian dengan kelas apa pun dan maskapai apa pun, namun untuk masuk harus membayar. Pernah ada juga Budget Terminal yang dibuka 26 Maret 2006 dan ditutup pada tanggal 25 September 2012 karena akan digunakan untuk membangun Terminal 4.
Katanya Terminal 5 akan selesai dibangun pada akhir tahun 2020, dan diharapkan bisa menampung 50 juta penumpang per tahun. Lokasi pembangunannya berada di sebuah lahan di sisi timur terminal-terminal yang ada sekarang, dan katanya akan lebih besar daripada gabungan semua terminal yang ada sekarang ini.
Untuk transportasi, ada beberapa jenis transportasi yang disediakan, yaitu:
- The Changi Airport Skytrain, yang beroperasi di Terminal 1, 2, dan 3, dengan total 7 stasiun.
- Mass Rapid Transit (MRT), yang stasiunnya berlokasi di bawah tanah antara Terminal 2 dan Terminal 3. Kereta ini akan mengantar penumpang langsung ke pusat kota dan ke bagian barat kota Singapore.
- Bus, yang dulunya merupakan transportasi utama yang paling banyak digunakan baik oleh penumpang maupun staff. Ada juga free shuttle bus antara Terminal 3 dan Changi Business Park, yang rutenya berhenti di 9 tempat, dan hanya beroperasi di hari Senin sampai Jumat saja, dan libur pada hari-hari libur nasional.
- Taxi, yang berada di luar bangsal kedatangan tiap terminal. Ada juga layanan limousine.
- Private Transport, yang berada di titik-titik penjemputan bangsal kedatangan tiap terminal.
Untuk lebih detilnya mengenai fasilitas-fasilitas dan hal-hal lainnya yang bisa kita temukan dan jelajahi di Changi Airport, silakan langsung klik di sini atau di sini.
Pertama-tama kami butuh wifi, jadi kami berdua mencoba menghubungkan smartphone kami dengan free wifi yang ada di sini. Entah mengapa, tiba-tiba HP Asus suamiku malah error dan restart sampai berkali-kali, sama sekali tidak bisa menyala normal seperti biasanya.
Pada akhirnya HP suamiku jadi kembali ke keadaan awal (factory reset), karenanya aku menunggunya sampai selesai dan beres kembali.
Setelah itu barulah kami berjalan-jalan menjelajahi Terminal 1 ini. Ada taman-taman bunga kecil yang indah dengan social hub di sebelahnya. Tampak beberapa orang pekerja yang sedang menanam bunga-bunga baru dan ada beberapa orang lain yang sedang memasang ornamen berbentuk telur Paskah di pepohonan di taman-taman mini ini. Kami juga sempat menyusuri jalan setapak di Outdoor Garden yang unik bentuknya dan terbuat dari logam.
Ada juga taman kaktus di lantai atas, namun udara di taman ini terasa amat sangat panas, jadi kami hanya sebentar di sini. Aku sempat membaca bahwa di Terminal 1 ada kinetic rain, karenanya kami bertanya pada petugas di bagian informasi, dan ternyata kinetic rain yang dimaksud ada di luar, dan harus melewati imigrasi. Tapi petugasnya berkata bahwa masih banyak yang bisa dilihat di Terminal 2 dan Terminal 3, dan katanya dengan sisa waktu transit kami yang 3 jam, kami masih memiliki waktu lebih dari cukup untuk menjelajah ke sana.
Maka kami berjalan menuju ke ujung Terminal 1, lalu naik skytrain ke Terminal 2. Akhirnya merasakan juga naik skytrain hehehehe... Dan tidak sampai 5 menit kemudian, tibalah kami di Terminal 2.
Suasana di Terminal 2 terasa berbeda. Agak lebih remang-remang, namun lebih modern. Di sini kami melihat Enchanted Garden, Orchid Garden, dan Sunflower Garden. Ada pula game rooms dan bioskop di salah satu sudut.
Sunflower garden yang kami kunjungi tampak biasa saja, mungkin karena jenis bunga matahari tidak banyak, jadi tampak hanya begitu-begitu saja. Namun kalau malam hari sepertinya tempat ini akan tampak lebih indah, karena banyak lampu-lampu taman dengan bentuk yang unik di taman ini.
Untuk Enchanted Garden dan Orchid Garden, keduanya tampak indah dan menyenangkan untuk dilihat. Karena hari raya Paskah akan segera tiba, banyak dipasang ornamen dan hiasan untuk menyambut Paskah, terutama telur di Enchanted Garden.
Sedangkan di Orchid Garden kami melihat banyak jenis bunga anggrek yang dipamerkan di sini, banyak di antaranya yang bunganya besar-besar dan indah sekali. Ada kolam koi juga di tengah Orchid Garden ini, dengan banyak ikan koi yang berukuran besar-besar sekali.
Di Terminal 2 inilah kami membeli 2 botol booze untuk dibawa ke Vietnam. Saat berjalan-jalan di Terminal 2 inilah backpackku mulai terasa berat, tapi masih sangguplah untuk sekedar berjalan-jalan, apalagi di ruangan yang teduh dan ber-AC.
Usai menjelajah di Terminal 2, kami kembali ke Terminal 1 naik skytrain yang sama, kemudian kami membeli 1 cup kopi di Tip Top seharga SGD 1.8.
Kami bersantai sembari menikmati secangkir kopi ini dan kemudian mencari beberapa informasi untuk digunakan setibanya kami di Vietnam. Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan jam 6.40 petang, maka kami berjalan menuju Gate D44 tempat kami akan boarding. Letaknya cukup jauh dari tempat kami nongkrong, mungkin sekitar 10-15 menit berjalan.
Setelah melewati sekali lagi security yang cukup ketat, kami menunggu sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam pesawat jam 7 malam. Kali ini proses boardingnya agak berbeda, di mana penumpang dipanggil berdasarkan baris tempat duduknya di dalam pesawat. Hal ini membuat antrian jadi lebih teratur, dan proses boarding pun lebih lancar tanpa berebutan. Walaupun sepertinya sudah agak malam, namun ternyata langit di luar masih terang.
Sekitar jam 7.30 malam, pesawat mulai berjalan menyusuri runway, dan akhirnya pesawat Jetstar Airbus A320 yang kami naiki ini pun lepas landas jam 7.40 malam seiring dengan matahari yang terbenam di ufuk barat.
Dua kali penerbangan menuju ke Vietnam ini, kami ditempatkan di kursi baris 11. Tidak enaknya adalah karena posisinya yang berada di depan exit row, kursinya sama sekali tidak bisa disetel, tidak bisa dimundurkan sandarannya, jadi sepanjang perjalanan posisinya selalu tegak. Pelajaran agar lain kali tidak duduk di kursi deretan ini, karena cukup melelahkan juga ternyata...
Penerbangan kedua berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan, dan pesawat mendarat dengan selamat di Tan Son Nhat International Airport di Ho Chi Minh City, Vietnam jam 8.13 malam waktu setempat. Perlu diingat bahwa zona waktu di Singapore sama dengan di Bali (WITA), sedangkan zona waktu di Vietnam justru sama dengan di Jawa (WIB).
Dua kali terbang hari ini, keduanya mendarat dengan mulus dan sama sekali tidak bumpy, namun saat mengerem terasa cukup menegangkan karena bunyinya sampai keras sekali. Tapi secara keseluruhan aku puas, karena tidak ada delay dan perjalananannya pun tanpa hambatan.
Tân Sơn Nhất International Airport (IATA: SGN) (Vietnamese: Sân bay quốc tế Tân Sơn Nhất, Vietnamese: Cảng hàng không quốc tế Tân Sơn Nhất) merupakan bandara tersibuk di Vietnam, dengan 32,5 juta penumpang pada tahun 2016. Bandara ini melayani para penumpang dari Ho Chi Minh City sekaligus seluruh area Vietnam Selatan. Sampai dengan Januari 2017, kapasitas penumpangnya mencapai 25 juta orang.
Saat ini Tan Son Nhat memiliki 2 terminal utama yang terpisah antara penerbangan domestik dan penerbangan internasional. Rencananya akan dibangun Terminal 3 yang bisa menampung 10 juta orang dan Terminal 4 yang bisa menampung 15 juta orang, sehingga meningkatkan kapasitas keseluruhan bandara ini menjadi 53 juta orang.
Transportasi yang tersedia:
- Bus dan shuttle, yang berlokasi di depan terminal internasional. Terhubung ke pusat kota oleh bus 109, 152, dan 49.
- Taxi, dengan taxi tradisional (Vinasun dan Mai Linh) dan online taxi (Grab).
Untuk ke depannya, sedang direncanakan pembangunan Long Thanh International Airport seluas 50 kilometer persegi, yang nantinya akan menjadi bandara utama untuk penerbangan internasional. Apabila bandara ini sudah jadi, Tan Son Nhat akan menjadi bandara domestik saja. Namun tentunya ini masih lama, karena bandara yang baru ini belum akan selesai sebelum tahun 2025.
Untuk mengetahui fasilitas-fasilitas dan hal-hal lain yang ada di Tan Son Nhat International Airport, silakan dibuka di sini atau di sini.
Baru sekitar jam 8.20 malam pintu pesawat dibuka, dan setelah mengantri untuk turun dari pesawat, kami memasuki bandara Tan Son Nhat ini. Kami segera menuju ke bagian imigrasi, yang antriannya cukup panjang-panjang. Ada sekitar 15-20 menit kami menunggu barulah satu persatu kami dilayani. Petugasnya jujur saja agak jutek, mungkin memang kebanyakan petugas imigrasi memang seperti ini ya... Tapi walaupun jutek, kami tidak mengalami kendala apa pun. Aku melihat dengan teliti lembaran di pasporku, apa gerangan yang dicap, karena kami mungkin akan agak lama di sini, sementara aku membaca banyak turis yang hanya diberi visa selama 15 hari. Ternyata paspor kami hanya diberi cap tanggal kedatangan saja, berarti kami bebas berada di Vietnam sampai 30 hari ke depan sesuai aturan yang berlaku.
Usai melewati bagian imigrasi, aku melihat ada tulisan NO DECLARE (intinya begitu sih), jadi kami membeli satu slop rokok untuk dibawa masuk ke negeri ini hahahaha... Dan setelah melewati customs yang tidak diperiksa sama sekali, kami sudah berada di dekat pintu keluar bandara! Wah, benar-benar tidak ada pemeriksaan customs sama sekali untuk masuk ke negeri ini.
Secara keseluruhan, bandara Tan Son Nhat di Ho Chi Minh City ini tampak biasa-biasa saja, tidak semewah Ngurah Rai, apalagi Changi. Bangunan dan desainnya masih tampak standar, walaupun tentunya jauh lebih baik daripada bandara Tribhuvan di Kathmandu.
Kami masih mencari-cari ATM dan SIM card lokal di dalam bandara. Hanya ada ATM Citibank dan beberapa penjual SIM card yang kami datangi, semuanya memberikan tarif yang sangat mahal dan tidak sepadan dengan paket data yang diterima. Waktu kami jadi tersita cukup lama gara-gara mencari SIM card dan ATM ini. Akhirnya kami putuskan untuk go-blind sementara waktu dan hanya berbekal itinerary yang sudah kucetak, kami keluar dari bandara. Untuk uang cash, kami memiliki sekitar VND 200K, yang diberi oleh David dan Nadia sewaktu mereka berada di rumah kami. Katanya mereka masih memiliki sisa uang Dong (mata uang Vietnam) yang tidak seberapa, dan sepertinya tidak akan kembali ke Vietnam dalam waktu dekat, sehingga mereka memberikannya kepada kami. Baik sekali ya, dan uang inilah yang menyelamatkan hidup kami untuk sementara waktu hehehehe ^_^
Catatan: nilai kurs VND 1 = IDR 0.62. Nilai ini diperoleh dari jumlah VND yang kami tarik tunai selama berada di Vietnam, dibandingkan dengan saldo yang berkurang di tabungan serta biaya dari BCA.
Huruf "K" di belakang angka artinya "ribu", jadi misalnya 20K maksudnya 20.000 ya... ^_^
Kebetulan bus 109 yang terparkir lebih depan akan segera berangkat, jadi kami berlarian masuk ke dalamnya. Waktu menunjukkan jam 9.20 malam saat kami menaiki bus ini. Hanya tampak 3 orang penumpang selain kami berdua, sepasang couple dari Perancis (terdengar dari bahasanya saat mereka bercakap-cakap), dan seorang lagi dari Jerman, yang sempat aku ajak bicara dan kutanya-tanya. Pada umumnya para backpackers dari negeri-negeri barat ini justru lebih nekat, kata si orang Jerman dia tidak perlu membeli SIM card, karena wifi ada di mana-mana.
Suasana kota Ho Chi Minh identik dengan kota-kota besar di Indonesia. Ramai kendaraan, banyak gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, lampu-lampu yang terang di mana-mana, toko-toko besar dan kecil sepanjang jalan, cafe-cafe dan restoran, dan tentunya banyak kemacetan-kemacetan kecil di sana-sini. Bayangan kami Ho Chi Minh sepintas tampak seperti Surabaya, namun tidak separah Surabaya macetnya.
Sempat ada 1-2 orang lagi penumpang lagi yang naik dan turun sepanjang perjalanan. Kami sendiri turun paling akhir bersama dengan couple dari Perancis tadi, di halte bus Ton That Tung di Pham Ngu Lao Street. Waktu masih di rumah aku sudah mempelajari bagaimana caranya menuju ke hotel yang sudah kami booking, sehingga tidak sampai kebingungan sesampai di sini. Seharusnya jarak dari halte ini ke hotel hanya sekitar 1 KM berjalan kaki, namun karena kami masih mau mengambil uang tunai dari ATM, kami berjalan kaki memutar dulu untuk mencari ATM.
Sebetulnya banyak sekali ATM bertebaran di mana-mana, namun dari hasil risetku mengamati di beberapa grup backpackers Vietnam, ATM yang paling dianjurkan adalah Military Bank atau Agri Bank, dan baru-baru ini ada yang bilang ATM TP Bank juga oke. Untuk nilai tukarnya terhadap mata uang rupiah mungkin sama saja ya, karena yang menentukan adalah bank tempat kita menyimpan uang (dalam kasus ini aku hanya memiliki ATM di BCA saja). Untuk ATM BCA, setiap transaksi penarikan uang tunai di luar negeri akan dikenai biaya sebesar 25 ribu rupiah. Pemilihan bank di luar negeri ini berkenaan dengan charge yang dikenakan oleh pihak bank lokal tersebut untuk setiap transaksi pengambilan uang tunai. Contohnya saat kami berada di Nepal, setiap kali mengambil uang di ATM Nabil Bank, kami dikenai biaya sebesar NRs 300 (sekitar 40 ribu rupiah), dan masih ada pula biaya sebesar 5 ribu rupiah untuk setiap satu kali memasukkan kartu ATM, ada ataupun tidak ada transaksi. Jadi aku sempat memasukkan beberapa kali kartu ATMku karena nominal uang yang ditarik tidak sesuai, maka aku kena biaya beberapa kali yang masing-masing besarnya 5 ribu rupiah tersebut.
Singkat cerita, kami berjalan kaki mendatangi ATM TP Bank yang letaknya paling dekat dengan hotel tempat kami menginap. Setelah beberapa kali mencoba, sepertinya ATM TP Bank ini tidak bisa digunakan untuk menarik uang dengan ATM BCA-ku. Kami berjalan lagi karena seharusnya ada ATM Agri Bank di dekat kami, tapi tidak tampak. Ada beberapa orang laki-laki dan perempuan yang sedang duduk-duduk di trotoar di luar rumah mereka, dan aku menanyakan letak ATM Agri Bank kepada mereka. Ternyata ATM-nya ada di seberang kami, hanya tidak terlalu tampak karena lampunya agak remang-remang hehehehe....
Kami pun menyeberang jalan dan mencoba menarik uang dari ATM ini, pertama mencoba 5 juta dong, tidak bisa, kedua aku coba 3 juta dong, dan ternyata bisa! Ah akhirnya bisa juga... kami punya uang nih hahahaha...
Catatan: transaksi 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.825.686 ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Sebetulnya tidak terlalu masalah tidak langsung mengambil uang tunai, karena kami masih punya hampir 200 ribu dong di dompet. Yang jadi masalah adalah, karena penginapan-penginapan di Vietnam pada umumnya hanya bisa dibayar tunai (tidak menerima credit card), dan akan menyita paspor kita untuk jaminan. Aku mendengar cerita bahwa banyak turis western yang menginap di suatu penginapan tanpa jaminan, dan kabur begitu saja tanpa membayar. Akibatnya yang kena imbasnya jadi backpackers lain yang jujur seperti kami berdua ini nih hahahaha... Nah, dengan membayar tunai di depan, kita bisa tetap menyimpan paspor asli kita, dan memberikan fotokopiannya saja.
Setelah mengambil uang yang cukup, kami pun langusng berjalan kaki menuju ke hotel yang sudah kami pesan, yaitu Miss Loi Guesthouse. Di Google Map tampil sebagai Miss Loi Room for Rent, sedangkan di lokasi namanya adalah Happy Homes hahahaha... Lokasinya benar-benar masuk ke dalam gang kecil. Jujur saja ini adalah penginapan termurah yang bisa kutemukan di District 1 untuk private double room dengan kamar mandi dalam.
Setelah berjalan kaki sekian kilometer dengan beban yang berat sampai berkeringat, akhirnya kami sampai juga jam 10.20 malam, dan ada seorang pemuda yang sedang berjaga di bagian resepsionis. Bahasa Inggris si pemuda benar-benar minim, sampai aku harus memakai Google translate untuk bicara dengannya. Benar saja, tadinya dia meminta paspor, tapi setelah kubilang akan dibayar sekaligus, aku boleh meninggalkan kopian paspor saja.
Pembayarannya pun bisa dengan mata uang US dollar atau VN dong. Aku memilih VN dong, karena US dollar yang kami miliki tidak terlalu banyak, dan rencananya akan digunakan kalau kepepet saja. Tarifnya jadi VND 342K, jadi untuk dua malam menjadi VND 684K.
Catatan: setelah kuhitung-hitung lagi, tarif kamar per malam ini aslinya kan US$ 15, dengan apa yang kubayar dan kurs BCA yang dari ATM tadi, harganya jadi 210 ribu rupiah per malam, padahal sewaktu booking kamar ini tarifnya hanya 173 ribu rupiah saja. Kalau dihitung-hitung mereka mengkonversikan US$ 1 = VND 22.800, dan 1 US$ = Rp 14.000, padahal aslinya kurs rupiah lebih tinggi daripada itu. Sepertinya lebih menguntungkan dibayar dengan mata uang dollar saja kalau begini.
Ke depannya, lebih baik menunjukkan konfirmasi bookingan dari booking.com, agar jumlah yang dibayar sesuai dengan waktu memesan kamar.`Maklum baru pertama kali ke Vietnam dan sudah lelah sekali, jadi cuma iya-iya saja hehehehe...
Aku membayarnya tunai, dan kemudian kami diberi kunci kamar. Kamar kami terletak di bangunan lain di seberang bangunan resepsionis, dan ada di lantai 3. Untungnya ada elevator jadi tidak terlalu repot harus naik tangga lagi.
Wah rasanya lega sekali akhirnya bisa mendapatkan tempat untuk tidur malam ini. Perjalanan panjang seharian ini berakhir di sebuah kamar berukuran sekitar 3 meter X 4 meter, dengan kamar mandi dalam yang sempit namun memadai. Fasilitasnya antara lain AC, LED TV, free wifi, kulkas kecil di dalam sebuah rak yang bisa untuk menaruh barang-barang kecil, kipas angin di tembok untuk mengeluarkan udara, peralatan madi (sabun, shampoo, sikat gigi dan odol super imut), air hangat di shower, lemari, dua buah kursi semi sofa, dan dua buah meja kecil. Kasurnya sendiri berukuran queen bed, dengan dua buah bantal yang nyaman, tapi tanpa sprei. Spring bednya hanya dilapisi sehelai kain putih (yang cukup bersih) dan ada sebuah alas tidur semacam bed cover yang dimaksudkan sebagai selimut. Not bad lah... tapi di Bali dengan harga segini kita bisa dapat kamar yang lebih bagus lagi sih hehehehe...
Sebetulnya banyak kamar yang harganya lebih murah di luar District 1, namun aku memang mencari di daerah ini. District 1 merupakan area yang paling touristy di Ho Chi Minh, dan kita bisa mencari apa saja di sini. Penginapan pun bervariasi dari kelas backpacker sampai yang mewah. Sayangnya kebanyakan penginapan di Vietnam ini (dari hasil memantau di booking.com) berupa bunk bed di dormitory. Kami menghindari menginap di dorm karena 2 alasan. Pertama, suami keberatan harus share kamar mandi/toilet dengan banyak orang. Yang kedua dan lebih penting, banyak pemilik penginapan yang tidak jujur, di mana barang-barang di dalam dormitory, bahkan di locker sekalipun, dicuri oleh orang-orang yang bekerja sama dengan pemilik penginapannya. Kebanyakan yang dicuri adalah gadget, laptop, serta uang tunai hingga paspor dan credit card. Karenanya sebisa mungkin hindari menginap di dormitory kecuali kalau kita yakin barang berharga kita aman.
Aku membongkar barang-barang dari dalam backpack sementara suamiku mandi dulu. Setelah itu baru aku mandi dan mencuci baju yang dipakai seharian ini. Karena tidak ada tempat menjemur di luar kamar, aku menggantungkannya di dalam kamar mandi.
Malam ini kami tidak membeli makan malam, karena tempat-tempat yang kami lewati, rata-rata makanannya cukup mahal bagi kami. Rata-rata di atas VND 55K per porsi. Jadi aku hanya makan wafer cokelat yang kubawa dari rumah, sementara suamiku makan satu buah roti yang tersisa dan segelas kopi.
Karena sudah lelah, tidak lama setelah makan suami tidur dengan pulasnya, sementara aku masih berada di depan netbookku sampai sekitar jam 12 malam. Setelah itu aku pun tidur....
To be continued.......
saya suka dengan perjalanan kaka berdua, awal baca malah perjalanan laos vietnam yg episode ke 59, jadi harus cari cerita dari awal (episode 1) lagi
ReplyDeleteTerima kasih ya sudah berkenan membaca ^_^
DeleteBelakangan kegiatan di rumah cukup merepotkan, jadi tidak sempat update cerita. Mudah-mudahan ke depannya bisa meluangkan waktu untuk melanjutkan cerita-cerita kami berdua ya...