Persiapan & Budget
Di awal tahun 2017 yang sudah berlalu, aku memiliki sebuah resolusi, yaitu "More travelling and more adventures". Tidak disangka, setelah kuhitung-hitung, total 6 bulan dari 1 tahun kami berdua habiskan untuk travelling. Tidak hanya di luar negeri lho, namun juga domestik, bahkan lokal seputaran Banyuwangi juga termasuk di dalamnya hehehehe.... Resolusi tahun baru 2018 ini pun masih kurang lebih sama, tapi mengingat kondisi keuangan yang lebih terbatas bahkan sedikit mengenaskan (hahahaha), aku berusaha untuk lebih realistis dan menyederhanakan resolusiku jadi seperti ini:
Rencana kami untuk backpacking ke Vietnam dan Laos ini muncul setelah pulang dari Nepal. Aku jadi merasa selalu ingin travelling, mencari pengalaman baru, ke mana pun itu, tidak harus ke negara-negara yang mahal, atau ke Eropa.
Pastinya benua Eropa masuk ke dalam wishlist-ku, tapi aku juga sadar diri bahwa kondisi keuangan kami belum memungkinkan kami berdua untuk travelling sampai ke sana, karena negara-negara yang paling ingin kami kunjungi di Eropa, selain tentu saja tiketnya mahal, justru yang termasuk paling mahal biaya hidupnya. Beberapa yang ingin kukunjungi antara lain Finland, Sweden, Iceland, Greenland, Switzerland, Ireland, Scotland, wah pokoknya banyak deh! Aku hanya bisa berharap dan berdoa semoga suatu saat nanti bisa jadi kenyataan ^_^
Sebetulnya kami juga ingin menjelajah negeri tercinta Indonesia ini, namun baru masuk rencana dulu, karena beberapa juga butuh biaya yang cukup besar. Sementara itu, untuk tujuan luar negeri agar bisa menekan pengeluaran tentunya kami cari yang bebas visa dan biaya hidupnya cukup terjangkau. Kami berpikir, South East Asia sendiri sebetulnya jadi tujuan favorit banyak turis mancanegara, dan banyak yang mengatakan negara-negara ini pun sangat indah. Jadi akhirnya kami memutuskan akan ke Vietnam dan Laos dulu selama 2 bulan, di kisaran Maret - Mei.
Mengapa Maret sampai Mei?
Karena masih masuk di semester pertama 2018, jadi siapa tahu ada rejeki lebih setelah itu, kami masih bisa pergi lagi di semester kedua hehehehe... Selain itu, tiketnya juga pas ada harga murah. Aku ingin travelling kami berkesan seperti waktu di Nepal kemarin, dan sepertinya itu akan sulit terjadi kalau kami hanya bepergian dalam waktu yang singkat. Interaksi dengan orang lain baik penduduk maupun traveler lain akan lebih terbatas karena terlalu sibuk "mengejar" tempat-tempat yang harus dituju selanjutnya.
Tiket sudah terbeli pada tanggal 27 Desember 2017 lalu, saat ada promo akhir tahun dari Jetstar. Untuk berangkatnya, dari Denpasar ke Ho Chi Minh dengan harga 850 ribuan rupiah/orang, dan pulangnya dari Ho Chi Minh ke Denpasar seharga 950 ribuan rupiah/orang. Sebetulnya tiket dari dan ke Jakarta lebih murah lagi (selisih 200-300 ribuan), tapi belajar dari pengalaman backpacking ke Nepal kemarin, makin banyak penerbangan, makin banyak pula resiko delay, dan tentunya makin mahal. Belum lagi tiket Banyuwangi - Jakarta yang tidak murah. Dengan posisi kami di Banyuwangi, rasanya penerbangan dari Denpasar akan lebih efektif secara keseluruhan, baik dari segi waktu maupun dana. Untuk tiket pulang, kami membeli bagasi 20 kg, siapa tahu bawaannya jadi nambah setelah lama di sana hehehehe... Total pengeluaran untuk tiket adalah Rp 4.248.398,- pulang pergi untuk 2 orang.
Karena waktu berangkat dan pulang sudah ditentukan (22 Maret 2018 - 19 Mei 2018), maka aku mulai sedikit mengintip ke Google Map mengenai lokasi negara-negara yang ingin kami kunjungi ini, dan tentunya join di beberapa group FB yang berkaitan dengan backpacking di South East Asia. Suamiku sempat mengatakan bahwa di Laos tidak terlalu banyak yang bisa dieksplorasi, maksimal 2 minggu saja sudah cukup katanya. Karenanya kami berdua sempat galau, akan ke Vietnam dan Laos saja, atau Vietnam dan Cambodia, atau ketiga-tiganya sekalian?
Menurut para backpackers, menjelajah Vietnam selama 3 bulan saja sebenarnya masih kurang karena luasnya wilayah negara ini. Di Laos sendiri ternyata banyak sekali tempat-tempat indah yang bisa dikunjungi, namun untuk alam lebih banyak di Laos Utara. Dan karena biaya hidup yang lebih mahal, kami memutuskan akan menjelajah Vietnam dulu sekitar 3-4 minggu, lalu ke Laos selama 2-3 minggu, dan sisanya hanya menjelajah North Vietnam yang terkenal indah, baru kemudian kembali ke Ho Chi Minh naik pesawat dari Hanoi.
Aku mulai bertanya kepada beberapa orang teman couchsurfing yang pernah ke dua negara tersebut, kira-kira daerah mana saja yang wajib kami kunjungi. Aku juga mulai membaca-baca dan mencari informasi di internet, hal-hal yang perlu diketahui, tempat-tempat yang layak dikunjungi, dan transportasi pada umumnya.
Sebelumnya kami juga sempat ingin membeli sepeda motor bekas setiba di Ho Chi Minh, lalu rencananya kami akan keliling Vietnam dan Laos naik sepeda motor. Namun setelah melihat jauhnya jarak yang harus ditempuh dibandingkan dengan waktu yang ada (sekitar 4.000 KM dalam waktu sebulan), sepertinya pinggangku sudah protes duluan hahahaha... Maka untuk sementara waktu kami urungkan niat membeli sepeda motor dan mungkin akan sewa saja beberapa kali di beberapa tempat.
Untuk diketahui saja, harga sepeda motor bekas di Vietnam/Laos relatif murah, sekitar US$ 200-300, dan biasanya kondisinya masih lumayan. Kadang sudah disertai dengan helm dan rak di bagian belakang untuk membawa backpack. Sedangkan untuk sewa sepeda motor harganya berkisar US$ 4-10/hari (tergantung lokasi dan jenis sepeda motornya).
Semenjak pulang dari Nepal, bagi yang mengikuti kisahku sebelum-sebelumnya, tentunya tahu bahwa keadaan kakiku sangat tidak baik. Bahkan setelah mencoba dua kali pijat urat, engkel kiriku yang keseleo masih sakit dan kedua lututku juga sepertinya sudah sakit permanen. Ada sedikit rasa kuatir bahwa aku akan kepayahan dalam perjalanan berikutnya, apalagi kalau harus hiking atau trekking.
Semenjak awal Januari 2018 lalu, aku mencoba berlatih yoga dengan sebuah aplikasi di smartphone, yaitu Down Dog.
Sebelum ke Nepal aku juga sudah pernah memakai aplikasi ini untuk latihan yoga sendiri di rumah, namun semenjak pulang dari Nepal aku berhenti total karena merasa tidak mampu. Baru Januari lalu saat kulihat-lihat aplikasinya, ada pilihan "Restorative Yoga". Biasanya dulu aku memilih yang "Full Practice".
Akhirnya kucoba menekuni setiap hari praktek Restorative Yoga ini, dari 30 menit per latihan, menjadi maksimal 45 menit. Dari Level Beginner 1 sampai Intermediate 2. Dan kadang aku melakukannya dua kali sehari, pagi dan sore hari. Lama-kelamaan karena sudah hafal semua gerakannya, aku melakukannya sendiri dengan iringan musik selama sekitar 50-60 menit per sesi. Buatku, latihan yoga ini sangat berguna untuk kelenturan otot dan pernafasan.
Sementara itu, demi melatih kekuatan otot, semenjak awal Februari aku dan suamiku menjadi member di fitness center di kompleks perumahan kami. Karena warga perumahan, harganya jadi diskon 50%, per tahunnya hanya IDR 275K, relatif murah kalau rutin latihannya. Kami ke fitness center ini biasanya di pagi hari, saat orang lain belum ada yang datang, antara jam 5-6 pagi. Untuk nge-gym, aku hanya melakukan latihan dengan beberapa alat yang tidak terlalu berat dan dengan beban yang relatif ringan, karena tujuanku hanya untuk melatih kekuatan, bukan membesarkan otot hehehehe... Pada umumnya nge-gym kami lakukan 4-5 kali seminggu selama sekitar 45-60 menit.
Biasanya kalau sedang tidak malas, kami berdua ke fitness center ini setelah jalan/lari pagi keliling kompleks. Jadi kegiatan lari pagiku tetap jalan terus karena sangat bermanfaat bagi stamina, biasanya sekitar 2,5 - 3 KM, dan kulakukan 3-4 kali seminggu.
Nah, aku pernah membaca bahwa bagi orang yang lututnya lemah olahraga yang baik selain berenang adalah bersepeda. Jadi mulai Februari aku juga mencoba untuk bersepeda, biasanya sekitar jam 6-7 malam, dengan menempuh jarak 6-9 KM dan kulakukan 3-4 kali seminggu (kalau tidak sedang malas hehehehe).
Aku tidak tahu faktor mana yang lebih dominan, tapi menjelang akhir Februari lalu aku baru menyadari bahwa lututku tidak lagi sakit. Aku bisa berdiri dari posisi jongkok tanpa harus berpegangan. Engkel yang keseleo pun sudah tidak lagi terasa sakit.
Aku sangat bersyukur karena setidaknya kondisi kakiku sudah jauh lebih baik dan mudah-mudahan bisa kuat berjalan jauh atau mendaki dan menuruni sebuah tempat.
Mulai awal Maret, aku mulai serius menyusun itinerary walaupun hanya secara garis besar, karena memang kami akan fleksibel dan melihat situasi bagaimana nanti di sana.
Sempat pula kami kedatangan David dan Nadia, couple dari Jerman yang berada di Chautari Pokhara selama kami menginap di sana. Mereka juga baru selesai menjelajah South East Asia dan sedang berada di Indonesia. Dulu mereka berkata akan mengunjungi kami di Banyuwangi, jadi tentu saja kami terima dengan senang hati.
Kebetulan pada tanggal 3-4 Maret lalu kami berdua akan camping di Pulau Tabuhan bersama para karyawan dan anak-anak yang sedang dan pernah kerja praktek di toko kami, jadi kami mengajak David dan Nadia untuk ikut camping bersama kami.
Mereka singgah di Banyuwangi selama 3 hari 3 malam, dan kami banyak bertukar pengalaman. Mereka berdua juga banyak memberi masukan mengenai keadaan di Vietnam dan Laos.
Packing baru dilakukan kira-kira 2 minggu menjelang keberangkatan. Kali ini kami berusaha light packing dengan bawaan yang seadanya.
Berikut ini daftar barang yang kubawa untuk travelling selama 2 bulan ini:
- 1 sleeping bag
- 1 down jacket (dipakai)
- 1 windproof jacket
- 1 convertible pants (dipakai)
- 3 leggings (1 tipis, 1 heattech, 1 tebal dipakai)
- 1 shorts
- 2 buah kaos (1 dipakai)
- 3 buah tanktop (1 dipakai)
- 4 kaos kaki (1 dipakai)
- 1 pasang yak socks
- 1 pasang yak gloves
- 1 beanie (dipakai)
- 1 topi
- 1 pashmina, 1 yak shawl (dipakai)
- sepatu trekking (dipakai)
- water filter
- botol air mineral kosong (for multipurpose use)
- water bladder / camelback
- perlengkapan mandi seminimal mungkin (sikat gigi, odol, obat kumur, sabun, shampoo, conditioner, sabun muka, semua dalam kemasan di bawah 100ml)
- perawatan tubuh seminimal mungkin (petroleum jelly, sunscreen, pelembab muka)
- obat-obatan (band aid, essential oil, obat luka, dan yang terpenting belajar dari pengalaman terdahulu: pain killer)
- tissue
- tissue basah
- microfibre towel
- serbet tipis
- perasan jeruk
- sendok + garpu plastik
- 2 gelas plastik
- 2 rantang plastik (untuk tempat bekal makanan)
- 1 camping stove
- 1 camping pan
- kamera + spare battery + charger
- HP + charger
- 1 power bank
- 1 universal electric plug + USB charger
- 1 netbook + charger + wireless mouse (biar bisa tetap kerja kalau nganggur)
- makanan: Indomie (hanya bawa masing-masing 2 bungkus), selai kacang, cokelat, roti
- money belt (isi: paspor, uang cash, credit card, ATM)
Dengan semua bawaan ini, total berat backpackku menjadi sekitar 12 kg, dan suamiku sekitar 9 kg. Backpackku sendiri tanpa isi sudah 1,65 kg beratnya. Yang berbeda dan membuat lebih berat tentunya netbook dan perlengkapannya, yang beratnya sekitar 1,5 kg sendiri, dan sleeping bag yang beratnya sekitar 1,25 kg.
Kami baru booking sebuah kamar di Ho Chi Minh akhir Februari lalu. Lewat booking.com, kami mendapatkan kamar di Miss Loi Guesthouse selama 2 malam pertama di Vietnam seharga US$ 15 per malam di District 1 Ho Chi Minh, yang katanya merupakan pusat kota, pusat turis, dan pusat backpackers' life. Kamar yang kami pesan ini memiliki fasilitas AC, electric kettle, queen bed, kamar mandi dalam, dan tentunya wifi. Kami booking kamar ini dengan fasilitas diskon US$ 15 yang akan dikembalikan ke kartu kredit dengan link yang kuperoleh, jadi dengan masing-masing diskon US$ 15, akhirnya bisa dibilang kami mendapatkan kamar gratis selama 2 malam pertama di Ho Chi Minh hehehehe...
Awal bulan Maret lalu, aku mendapatkan email dari Google. Sebagai kontributor (local guide) di Google Map, aku memperoleh voucher diskon sebesar Rp 200.000,- apabila booking kamar melalui aplikasi Airy sampai tenggat waktu tertentu. Iseng kucoba, dan ternyata benar, aku berhasil booking sebuah kamar Airy di Surya Inn dekat Ngurah Rai International Airport. Harga kamar yang mestinya Rp 192.522,- akhirnya kudapatkan secara gratis hehehehe...
Tapi beberapa hari sebelum kami berangkat, suamiku malah mendapat voucher untuk menginap di hotel Gowin yang berlokasi lebih dekat lagi dari bandara, masing-masing transit 1 malam untuk keberangkatan dan kepulangan kami. Tentunya voucher ini kami dapatkan dari Andi.
Sampai sekitar seminggu sebelum tanggal keberangkatan, sejujurnya aku masih ragu-ragu apakah sebaiknya berangkat atau tidak, karena jujur kondisi keuangan sedang amat sangat kritis. Aku tidak mau kami berdua sampai jadi begpackers di negara orang hahahaha...
Belum lagi suami mengalami mimpi buruk, katanya kalau kami berdua tetap pergi, akan terjadi sesuatu yang buruk.
Dengan mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya kami berdua memutuskan untuk tetap jadi berangkat, dan aku sudah wanti-wanti kepada suami bahwa mungkin kami berdua harus amat sangat hemat untuk makan sehari-hari. Suami pun menyanggupi hal tersebut.
Seminggu sebelum keberangkatan, kebetulan aku sedang iseng melihat harga tiket pesawat domestik dari Ho Cho Minh ke Da Lat. Saat itu aku melihat harganya hanya 210 ribu rupiah dengan waktu perjalanan 50 menit, sementara tiket bus harganya lebih dari 100 ribu rupiah dan waktu tempuhnya sekitar 8 jam. Jadi kami memutuskan membeli tiket pesawat tersebut selagi terjangkau. Bisa menghemat energi dan waktu perjalanan.
Sebetulnya cukup banyak hal negatif yang kudengar, terutama mengenai Vietnam. Begitu banyak scam yang terjadi dengan berbagai modus. Tingkat keamanan bagi turis pun agak mengkuatirkan. Banyak kejadian pencopetan atau perampasan barang berharga di jalan umum, "perampokan" uang di dalam bus, tarif bus yang dinaikkan bagi turis, kru bus yang sangat jahat terhadap para penumpang, hingga penyitaan paspor pada saat sewa motor dan penipuan jasa tour.
Sejujurnya ada rasa kuatir di hatiku, apalagi kali ini kami pergi benar-benar dengan budget yang sangat ketat. Namun aku berharap dengan niat dan tujuan baik, mudah-mudahan kami berdua bisa survive selama berada di sana nantinya.
21 Maret 2018
Kami berangkat dari rumah jam 4.30 pagi menuju ke pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Setelah melewati pemeriksaan SIM dan STNK, pendataan penumpang dan membeli tiket seharga IDR 159K, kami diarahkan ke dermaga paling selatan, dan setelah menunggu tidak sampai 5 menit, kami sudah diarahkan masuk ke dalam sebuah kapal ferry. Kondisi pelabuhan tampak sepi, tidak terlalu banyak kendaraan maupun penumpang.
Jam 5.10 pagi, mobil sudah terparkir di baris paling depan di dalam ferry. Begitu kami naik ke tempat yang disediakan untuk penumpang, kami disambut oleh pemandangan langit yang memerah oleh matahari yang akan terbit. Indah sekali!
Baru sekitar jam 5.30 pagi, ferry membuang sauhnya dan membawa kami menuju ke pulau dewata, Bali.
Ferry berlayar perlahan-lahan menyusuri pesisir utara Banyuwangi, baru kemudian menyongsong ke arah matahari di timur. Matahari sudah mulai meninggi namun masih tertutup awan tipis. Seperti biasa, apabila kami menyeberangi Selat Bali, kami selalu nyekar untuk orang tua suami yang sudah tiada beberapa tahun silam.
Setelah hampir 1 jam berlayar (sebetulnya bermotor bukan berlayar, karena ferrynya tidak ada layarnya), ferry yang kami tumpangi tiba di pelabuhan Gilimanuk, Bali, jam 7.20 pagi WITA. Keluar dari ferry, melewati pos polisi untuk pemeriksaan SIM dan STNK lagi, dan setelah itu kami langsung menuju ke Denpasar.
Perjalanan awal relatif lancar, jalanan tidak terlalu padat, mungkin karena masih pagi. Setelah itu aku lebih banyak tidur karena mual (mungkin memang karena kurang tidur), dan terbangun saat sudah dekat ke Denpasar. Kata suamiku jalannya ramai dan macet mendekati daerah Tabanan, penuh dengan truk-truk besar.
Karena cuaca yang amat sangat panas, kami memutuskan untuk mampir dan nongkrong di Starbucks di jalan Bypass Tanah Lot. Setelah itu barulah kami langsung ke Gowin Hotel Kuta di jalan Dewi Sartika. Waktu masih menunjukkan jam 12 siang lewat, tapi resepsionisnya memperbolehkan kami check-in lebih awal. Kalau tidak salah tarifnya sekitar IDR 325K/malam untuk kamar deluxe.
Kamarnya luas sekali, dengan kamar mandi yang luas pula. Fasilitasnya antara lain AC, LED TV, teko listrik, jemuran baju, gantungan baju, dan dua buah nakas (meja dengan laci-laci). Kamarnya terletak di lantai 2, dan ada balkon dengan teras kecil di depan kamar. Selain itu ternyata kami dapat fasilitas sarapan juga. Menurutku dengan lokasi dan semua fasilitas ini, harganya sangat sepadan.
Setelah beristirahat, sore harinya kami mengunjungi Andre, kawan kami semasa sekolah, karena hendak menitipkan mobil kami selama kami pergi. Masih ditraktir makan malam pula oleh keluarganya. Thanks a lot ya, Andre & Ilen ^_^
Malam hari kami habiskan di kamar hotel. Karena backpack kami sebetulnya overweight untuk carry-on baggage, beberapa barang kecil yang berat kami distribusikan ke dalam kantong-kantong jaket dan celana yang akan dipakai hehehehe... Setelah itu barulah kami beristirahat.
To be continued.......
CATATAN:
Untuk yang tidak suka membaca cerita yang detil dan panjang, bisa baca rangkumannya di FB-ku, karena khusus album Vietnam & Laos Backpacking sudah diset public.
Tapi tentunya banyak informasi yang tidak tercantum di dalamnya ya... ^_^
Rencana kami untuk backpacking ke Vietnam dan Laos ini muncul setelah pulang dari Nepal. Aku jadi merasa selalu ingin travelling, mencari pengalaman baru, ke mana pun itu, tidak harus ke negara-negara yang mahal, atau ke Eropa.
Pastinya benua Eropa masuk ke dalam wishlist-ku, tapi aku juga sadar diri bahwa kondisi keuangan kami belum memungkinkan kami berdua untuk travelling sampai ke sana, karena negara-negara yang paling ingin kami kunjungi di Eropa, selain tentu saja tiketnya mahal, justru yang termasuk paling mahal biaya hidupnya. Beberapa yang ingin kukunjungi antara lain Finland, Sweden, Iceland, Greenland, Switzerland, Ireland, Scotland, wah pokoknya banyak deh! Aku hanya bisa berharap dan berdoa semoga suatu saat nanti bisa jadi kenyataan ^_^
Sebetulnya kami juga ingin menjelajah negeri tercinta Indonesia ini, namun baru masuk rencana dulu, karena beberapa juga butuh biaya yang cukup besar. Sementara itu, untuk tujuan luar negeri agar bisa menekan pengeluaran tentunya kami cari yang bebas visa dan biaya hidupnya cukup terjangkau. Kami berpikir, South East Asia sendiri sebetulnya jadi tujuan favorit banyak turis mancanegara, dan banyak yang mengatakan negara-negara ini pun sangat indah. Jadi akhirnya kami memutuskan akan ke Vietnam dan Laos dulu selama 2 bulan, di kisaran Maret - Mei.
Mengapa Maret sampai Mei?
Karena masih masuk di semester pertama 2018, jadi siapa tahu ada rejeki lebih setelah itu, kami masih bisa pergi lagi di semester kedua hehehehe... Selain itu, tiketnya juga pas ada harga murah. Aku ingin travelling kami berkesan seperti waktu di Nepal kemarin, dan sepertinya itu akan sulit terjadi kalau kami hanya bepergian dalam waktu yang singkat. Interaksi dengan orang lain baik penduduk maupun traveler lain akan lebih terbatas karena terlalu sibuk "mengejar" tempat-tempat yang harus dituju selanjutnya.
Tiket sudah terbeli pada tanggal 27 Desember 2017 lalu, saat ada promo akhir tahun dari Jetstar. Untuk berangkatnya, dari Denpasar ke Ho Chi Minh dengan harga 850 ribuan rupiah/orang, dan pulangnya dari Ho Chi Minh ke Denpasar seharga 950 ribuan rupiah/orang. Sebetulnya tiket dari dan ke Jakarta lebih murah lagi (selisih 200-300 ribuan), tapi belajar dari pengalaman backpacking ke Nepal kemarin, makin banyak penerbangan, makin banyak pula resiko delay, dan tentunya makin mahal. Belum lagi tiket Banyuwangi - Jakarta yang tidak murah. Dengan posisi kami di Banyuwangi, rasanya penerbangan dari Denpasar akan lebih efektif secara keseluruhan, baik dari segi waktu maupun dana. Untuk tiket pulang, kami membeli bagasi 20 kg, siapa tahu bawaannya jadi nambah setelah lama di sana hehehehe... Total pengeluaran untuk tiket adalah Rp 4.248.398,- pulang pergi untuk 2 orang.
Karena waktu berangkat dan pulang sudah ditentukan (22 Maret 2018 - 19 Mei 2018), maka aku mulai sedikit mengintip ke Google Map mengenai lokasi negara-negara yang ingin kami kunjungi ini, dan tentunya join di beberapa group FB yang berkaitan dengan backpacking di South East Asia. Suamiku sempat mengatakan bahwa di Laos tidak terlalu banyak yang bisa dieksplorasi, maksimal 2 minggu saja sudah cukup katanya. Karenanya kami berdua sempat galau, akan ke Vietnam dan Laos saja, atau Vietnam dan Cambodia, atau ketiga-tiganya sekalian?
Menurut para backpackers, menjelajah Vietnam selama 3 bulan saja sebenarnya masih kurang karena luasnya wilayah negara ini. Di Laos sendiri ternyata banyak sekali tempat-tempat indah yang bisa dikunjungi, namun untuk alam lebih banyak di Laos Utara. Dan karena biaya hidup yang lebih mahal, kami memutuskan akan menjelajah Vietnam dulu sekitar 3-4 minggu, lalu ke Laos selama 2-3 minggu, dan sisanya hanya menjelajah North Vietnam yang terkenal indah, baru kemudian kembali ke Ho Chi Minh naik pesawat dari Hanoi.
Aku mulai bertanya kepada beberapa orang teman couchsurfing yang pernah ke dua negara tersebut, kira-kira daerah mana saja yang wajib kami kunjungi. Aku juga mulai membaca-baca dan mencari informasi di internet, hal-hal yang perlu diketahui, tempat-tempat yang layak dikunjungi, dan transportasi pada umumnya.
Sebelumnya kami juga sempat ingin membeli sepeda motor bekas setiba di Ho Chi Minh, lalu rencananya kami akan keliling Vietnam dan Laos naik sepeda motor. Namun setelah melihat jauhnya jarak yang harus ditempuh dibandingkan dengan waktu yang ada (sekitar 4.000 KM dalam waktu sebulan), sepertinya pinggangku sudah protes duluan hahahaha... Maka untuk sementara waktu kami urungkan niat membeli sepeda motor dan mungkin akan sewa saja beberapa kali di beberapa tempat.
Untuk diketahui saja, harga sepeda motor bekas di Vietnam/Laos relatif murah, sekitar US$ 200-300, dan biasanya kondisinya masih lumayan. Kadang sudah disertai dengan helm dan rak di bagian belakang untuk membawa backpack. Sedangkan untuk sewa sepeda motor harganya berkisar US$ 4-10/hari (tergantung lokasi dan jenis sepeda motornya).
Semenjak pulang dari Nepal, bagi yang mengikuti kisahku sebelum-sebelumnya, tentunya tahu bahwa keadaan kakiku sangat tidak baik. Bahkan setelah mencoba dua kali pijat urat, engkel kiriku yang keseleo masih sakit dan kedua lututku juga sepertinya sudah sakit permanen. Ada sedikit rasa kuatir bahwa aku akan kepayahan dalam perjalanan berikutnya, apalagi kalau harus hiking atau trekking.
Semenjak awal Januari 2018 lalu, aku mencoba berlatih yoga dengan sebuah aplikasi di smartphone, yaitu Down Dog.
Sebelum ke Nepal aku juga sudah pernah memakai aplikasi ini untuk latihan yoga sendiri di rumah, namun semenjak pulang dari Nepal aku berhenti total karena merasa tidak mampu. Baru Januari lalu saat kulihat-lihat aplikasinya, ada pilihan "Restorative Yoga". Biasanya dulu aku memilih yang "Full Practice".
Akhirnya kucoba menekuni setiap hari praktek Restorative Yoga ini, dari 30 menit per latihan, menjadi maksimal 45 menit. Dari Level Beginner 1 sampai Intermediate 2. Dan kadang aku melakukannya dua kali sehari, pagi dan sore hari. Lama-kelamaan karena sudah hafal semua gerakannya, aku melakukannya sendiri dengan iringan musik selama sekitar 50-60 menit per sesi. Buatku, latihan yoga ini sangat berguna untuk kelenturan otot dan pernafasan.
Sementara itu, demi melatih kekuatan otot, semenjak awal Februari aku dan suamiku menjadi member di fitness center di kompleks perumahan kami. Karena warga perumahan, harganya jadi diskon 50%, per tahunnya hanya IDR 275K, relatif murah kalau rutin latihannya. Kami ke fitness center ini biasanya di pagi hari, saat orang lain belum ada yang datang, antara jam 5-6 pagi. Untuk nge-gym, aku hanya melakukan latihan dengan beberapa alat yang tidak terlalu berat dan dengan beban yang relatif ringan, karena tujuanku hanya untuk melatih kekuatan, bukan membesarkan otot hehehehe... Pada umumnya nge-gym kami lakukan 4-5 kali seminggu selama sekitar 45-60 menit.
Biasanya kalau sedang tidak malas, kami berdua ke fitness center ini setelah jalan/lari pagi keliling kompleks. Jadi kegiatan lari pagiku tetap jalan terus karena sangat bermanfaat bagi stamina, biasanya sekitar 2,5 - 3 KM, dan kulakukan 3-4 kali seminggu.
Nah, aku pernah membaca bahwa bagi orang yang lututnya lemah olahraga yang baik selain berenang adalah bersepeda. Jadi mulai Februari aku juga mencoba untuk bersepeda, biasanya sekitar jam 6-7 malam, dengan menempuh jarak 6-9 KM dan kulakukan 3-4 kali seminggu (kalau tidak sedang malas hehehehe).
Aku tidak tahu faktor mana yang lebih dominan, tapi menjelang akhir Februari lalu aku baru menyadari bahwa lututku tidak lagi sakit. Aku bisa berdiri dari posisi jongkok tanpa harus berpegangan. Engkel yang keseleo pun sudah tidak lagi terasa sakit.
Aku sangat bersyukur karena setidaknya kondisi kakiku sudah jauh lebih baik dan mudah-mudahan bisa kuat berjalan jauh atau mendaki dan menuruni sebuah tempat.
Mulai awal Maret, aku mulai serius menyusun itinerary walaupun hanya secara garis besar, karena memang kami akan fleksibel dan melihat situasi bagaimana nanti di sana.
Sempat pula kami kedatangan David dan Nadia, couple dari Jerman yang berada di Chautari Pokhara selama kami menginap di sana. Mereka juga baru selesai menjelajah South East Asia dan sedang berada di Indonesia. Dulu mereka berkata akan mengunjungi kami di Banyuwangi, jadi tentu saja kami terima dengan senang hati.
Kebetulan pada tanggal 3-4 Maret lalu kami berdua akan camping di Pulau Tabuhan bersama para karyawan dan anak-anak yang sedang dan pernah kerja praktek di toko kami, jadi kami mengajak David dan Nadia untuk ikut camping bersama kami.
Mereka singgah di Banyuwangi selama 3 hari 3 malam, dan kami banyak bertukar pengalaman. Mereka berdua juga banyak memberi masukan mengenai keadaan di Vietnam dan Laos.
Packing baru dilakukan kira-kira 2 minggu menjelang keberangkatan. Kali ini kami berusaha light packing dengan bawaan yang seadanya.
Berikut ini daftar barang yang kubawa untuk travelling selama 2 bulan ini:
- 1 sleeping bag
- 1 down jacket (dipakai)
- 1 windproof jacket
- 1 convertible pants (dipakai)
- 3 leggings (1 tipis, 1 heattech, 1 tebal dipakai)
- 1 shorts
- 2 buah kaos (1 dipakai)
- 3 buah tanktop (1 dipakai)
- 4 kaos kaki (1 dipakai)
- 1 pasang yak socks
- 1 pasang yak gloves
- 1 beanie (dipakai)
- 1 topi
- 1 pashmina, 1 yak shawl (dipakai)
- sepatu trekking (dipakai)
- water filter
- botol air mineral kosong (for multipurpose use)
- water bladder / camelback
- perlengkapan mandi seminimal mungkin (sikat gigi, odol, obat kumur, sabun, shampoo, conditioner, sabun muka, semua dalam kemasan di bawah 100ml)
- perawatan tubuh seminimal mungkin (petroleum jelly, sunscreen, pelembab muka)
- obat-obatan (band aid, essential oil, obat luka, dan yang terpenting belajar dari pengalaman terdahulu: pain killer)
- tissue
- tissue basah
- microfibre towel
- serbet tipis
- perasan jeruk
- sendok + garpu plastik
- 2 gelas plastik
- 2 rantang plastik (untuk tempat bekal makanan)
- 1 camping stove
- 1 camping pan
- kamera + spare battery + charger
- HP + charger
- 1 power bank
- 1 universal electric plug + USB charger
- 1 netbook + charger + wireless mouse (biar bisa tetap kerja kalau nganggur)
- makanan: Indomie (hanya bawa masing-masing 2 bungkus), selai kacang, cokelat, roti
- money belt (isi: paspor, uang cash, credit card, ATM)
Dengan semua bawaan ini, total berat backpackku menjadi sekitar 12 kg, dan suamiku sekitar 9 kg. Backpackku sendiri tanpa isi sudah 1,65 kg beratnya. Yang berbeda dan membuat lebih berat tentunya netbook dan perlengkapannya, yang beratnya sekitar 1,5 kg sendiri, dan sleeping bag yang beratnya sekitar 1,25 kg.
Kami baru booking sebuah kamar di Ho Chi Minh akhir Februari lalu. Lewat booking.com, kami mendapatkan kamar di Miss Loi Guesthouse selama 2 malam pertama di Vietnam seharga US$ 15 per malam di District 1 Ho Chi Minh, yang katanya merupakan pusat kota, pusat turis, dan pusat backpackers' life. Kamar yang kami pesan ini memiliki fasilitas AC, electric kettle, queen bed, kamar mandi dalam, dan tentunya wifi. Kami booking kamar ini dengan fasilitas diskon US$ 15 yang akan dikembalikan ke kartu kredit dengan link yang kuperoleh, jadi dengan masing-masing diskon US$ 15, akhirnya bisa dibilang kami mendapatkan kamar gratis selama 2 malam pertama di Ho Chi Minh hehehehe...
Awal bulan Maret lalu, aku mendapatkan email dari Google. Sebagai kontributor (local guide) di Google Map, aku memperoleh voucher diskon sebesar Rp 200.000,- apabila booking kamar melalui aplikasi Airy sampai tenggat waktu tertentu. Iseng kucoba, dan ternyata benar, aku berhasil booking sebuah kamar Airy di Surya Inn dekat Ngurah Rai International Airport. Harga kamar yang mestinya Rp 192.522,- akhirnya kudapatkan secara gratis hehehehe...
Tapi beberapa hari sebelum kami berangkat, suamiku malah mendapat voucher untuk menginap di hotel Gowin yang berlokasi lebih dekat lagi dari bandara, masing-masing transit 1 malam untuk keberangkatan dan kepulangan kami. Tentunya voucher ini kami dapatkan dari Andi.
Sampai sekitar seminggu sebelum tanggal keberangkatan, sejujurnya aku masih ragu-ragu apakah sebaiknya berangkat atau tidak, karena jujur kondisi keuangan sedang amat sangat kritis. Aku tidak mau kami berdua sampai jadi begpackers di negara orang hahahaha...
Belum lagi suami mengalami mimpi buruk, katanya kalau kami berdua tetap pergi, akan terjadi sesuatu yang buruk.
Dengan mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya kami berdua memutuskan untuk tetap jadi berangkat, dan aku sudah wanti-wanti kepada suami bahwa mungkin kami berdua harus amat sangat hemat untuk makan sehari-hari. Suami pun menyanggupi hal tersebut.
Seminggu sebelum keberangkatan, kebetulan aku sedang iseng melihat harga tiket pesawat domestik dari Ho Cho Minh ke Da Lat. Saat itu aku melihat harganya hanya 210 ribu rupiah dengan waktu perjalanan 50 menit, sementara tiket bus harganya lebih dari 100 ribu rupiah dan waktu tempuhnya sekitar 8 jam. Jadi kami memutuskan membeli tiket pesawat tersebut selagi terjangkau. Bisa menghemat energi dan waktu perjalanan.
Sebetulnya cukup banyak hal negatif yang kudengar, terutama mengenai Vietnam. Begitu banyak scam yang terjadi dengan berbagai modus. Tingkat keamanan bagi turis pun agak mengkuatirkan. Banyak kejadian pencopetan atau perampasan barang berharga di jalan umum, "perampokan" uang di dalam bus, tarif bus yang dinaikkan bagi turis, kru bus yang sangat jahat terhadap para penumpang, hingga penyitaan paspor pada saat sewa motor dan penipuan jasa tour.
Sejujurnya ada rasa kuatir di hatiku, apalagi kali ini kami pergi benar-benar dengan budget yang sangat ketat. Namun aku berharap dengan niat dan tujuan baik, mudah-mudahan kami berdua bisa survive selama berada di sana nantinya.
21 Maret 2018
Kami berangkat dari rumah jam 4.30 pagi menuju ke pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Setelah melewati pemeriksaan SIM dan STNK, pendataan penumpang dan membeli tiket seharga IDR 159K, kami diarahkan ke dermaga paling selatan, dan setelah menunggu tidak sampai 5 menit, kami sudah diarahkan masuk ke dalam sebuah kapal ferry. Kondisi pelabuhan tampak sepi, tidak terlalu banyak kendaraan maupun penumpang.
Jam 5.10 pagi, mobil sudah terparkir di baris paling depan di dalam ferry. Begitu kami naik ke tempat yang disediakan untuk penumpang, kami disambut oleh pemandangan langit yang memerah oleh matahari yang akan terbit. Indah sekali!
Baru sekitar jam 5.30 pagi, ferry membuang sauhnya dan membawa kami menuju ke pulau dewata, Bali.
Ferry berlayar perlahan-lahan menyusuri pesisir utara Banyuwangi, baru kemudian menyongsong ke arah matahari di timur. Matahari sudah mulai meninggi namun masih tertutup awan tipis. Seperti biasa, apabila kami menyeberangi Selat Bali, kami selalu nyekar untuk orang tua suami yang sudah tiada beberapa tahun silam.
Setelah hampir 1 jam berlayar (sebetulnya bermotor bukan berlayar, karena ferrynya tidak ada layarnya), ferry yang kami tumpangi tiba di pelabuhan Gilimanuk, Bali, jam 7.20 pagi WITA. Keluar dari ferry, melewati pos polisi untuk pemeriksaan SIM dan STNK lagi, dan setelah itu kami langsung menuju ke Denpasar.
Perjalanan awal relatif lancar, jalanan tidak terlalu padat, mungkin karena masih pagi. Setelah itu aku lebih banyak tidur karena mual (mungkin memang karena kurang tidur), dan terbangun saat sudah dekat ke Denpasar. Kata suamiku jalannya ramai dan macet mendekati daerah Tabanan, penuh dengan truk-truk besar.
Karena cuaca yang amat sangat panas, kami memutuskan untuk mampir dan nongkrong di Starbucks di jalan Bypass Tanah Lot. Setelah itu barulah kami langsung ke Gowin Hotel Kuta di jalan Dewi Sartika. Waktu masih menunjukkan jam 12 siang lewat, tapi resepsionisnya memperbolehkan kami check-in lebih awal. Kalau tidak salah tarifnya sekitar IDR 325K/malam untuk kamar deluxe.
Kamarnya luas sekali, dengan kamar mandi yang luas pula. Fasilitasnya antara lain AC, LED TV, teko listrik, jemuran baju, gantungan baju, dan dua buah nakas (meja dengan laci-laci). Kamarnya terletak di lantai 2, dan ada balkon dengan teras kecil di depan kamar. Selain itu ternyata kami dapat fasilitas sarapan juga. Menurutku dengan lokasi dan semua fasilitas ini, harganya sangat sepadan.
Setelah beristirahat, sore harinya kami mengunjungi Andre, kawan kami semasa sekolah, karena hendak menitipkan mobil kami selama kami pergi. Masih ditraktir makan malam pula oleh keluarganya. Thanks a lot ya, Andre & Ilen ^_^
Malam hari kami habiskan di kamar hotel. Karena backpack kami sebetulnya overweight untuk carry-on baggage, beberapa barang kecil yang berat kami distribusikan ke dalam kantong-kantong jaket dan celana yang akan dipakai hehehehe... Setelah itu barulah kami beristirahat.
To be continued.......
CATATAN:
Untuk yang tidak suka membaca cerita yang detil dan panjang, bisa baca rangkumannya di FB-ku, karena khusus album Vietnam & Laos Backpacking sudah diset public.
Tapi tentunya banyak informasi yang tidak tercantum di dalamnya ya... ^_^
No comments:
Post a Comment