24 Maret 2018
ALERT :
Maaf kalau untuk postingan ini mungkin akan ada gambar-gambar yang kurang enak dilihat karena mengacu pada kekejaman perang puluhan tahun silam. Foto-foto tersebut diambil di War Remnant Museum. Bagi yang tidak mau melihatnya, diskip saja ya.... Terima kasih.
Setelah tidur malam yang nyenyak dan cukup, pagi ini aku terbangun jam 5 pagi oleh bunyi alarm. Kalau di rumah biasanya pasang alarm jam 3.30 atau jam 4 pagi, bangunnya sebelum alarm berbunyi. Tapi beberapa hari terakhir ini sepertinya harus memaksakan diri bangun kalau alarm berteriak-teriak hehehehe...
Secangkir kopi susu ala Vietnam (aslinya Nescafe Viet Cafe sih hahahaha) menemani pagiku. Mau jalan-jalan ke pasar dan yoga, otak sedang mood untuk menulis, jadi lebih baik menulis dulu di netbook ^_^
Suami terbangun jam 7 pagi oleh bunyi alarmnya. Usai sarapan roti dan selai kacang, menghabiskan secangkir kopi susu, kami pun mandi pagi. Selama berada di Ho Chi Minh ini, aku hampir tidak pernah mandi air hangat karena udaranya yang relatif panas dari pagi sampai malam hari. Sepertinya selain berada di dalam kamar penginapan yang ber-AC ini, tubuh kami selalu berkeringat akibat suhu udara yang cukup tinggi. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Banyuwangi, bahkan Bali masih terasa lebih menyengat panasnya, namun karena di sini kami selalu berjalan kaki ke mana-mana, akibatnya selalu berkeringat.
Setelah mandi pagi, jam 9.15 pagi kami pun keluar dari kamar dan memperpanjang semalam lagi menginap di Miss Loi Guesthouse. Kali ini kami membayar dengan uang US Dollar yang kami miliki, yaitu sebesar US$ 15. Setelah itu kami berangkat lewat pasar yang kemarin menuju ke area Dan Sinh Market, hendak mencari gas untuk kompor camping kami. Jaraknya sekitar 1 KM saja dari penginapan. Kebanyakan toko-toko di daerah ini menjual peralatan berat untuk industri, alat-alat pertukangan, namun setelah bertanya ke beberapa toko, tidak ada satu pun yang menjual tabung gas kecil ini. Kami juga sempat mendatangi Fanfan Trekking Store di area ini, tapi hasilnya nihil.
Setelah pencarian yang tanpa hasil ini, kami pun berjalan kaki ke War Remnant Museum di Le Quoy Don, jaraknya sekitar 2,7 KM dari tempat kami berada. Panasnya matahari sangat menyengat dan membakar kulit. Kaos dan pashmina yang kupakai sampai terasa lembab.
Sempat beristirahat di sebuah taman yang teduh dan melihat orang-orang yang sedang berolahraga di salah satu sisi taman. Di jalan raya juga terlihat ada tukang tambal ban seperti di Indonesia ^_^
Saat mendekati museum, ada seorang bapak penjual kelapa muda yang sedang memikul dagangannya dan mengajak berkomunikasi. Kami sempat pula mencoba memikul dagangannya yang cukup berat itu hehehehe...
Kami sampai di War Remnant Museum sekitar jam 10.30 pagi, dan suasana tampak cukup ramai dengan pengunjung. Sepertinya tempat ini juga cukup populer dikunjungi turis. Banyak turis yang sepertinya menggunakan jasa tour dengan mobil-mobil mini van.
Awalnya suami membaca bahwa harga tiket masuk ke tempat ini adalah VND 15K, tapi ternyata di loketnya tertulis VND 40K. Tadinya aku sempat ragu karena sebetulnya aku bukan penyuka museum dan kuatir harga tiketnya tidak sepadan, tapi suami meyakinkan bahwa tempat ini akan sepadan dengan apa yang kita bayarkan, jadilah kami membeli dua buah tiket. Pengunjung diberi sebuah sticker kecil sebagai penanda sudah membeli tiket. Mirip-mirp seperti kalau mau belanja di pusat oleh-oleh di Bali hehehehehe...
Di halaman museum ada cafe Highlands Coffee, dan tampak ramai oleh pengunjung. Sepertinya cafe ini cukup menjamur keberadaannya, karena sewaktu di Turtle Lake kemarin cafe ini juga ada di salah satu sisi jalan.
Memasuki museum, kami mulai dari lantai dasar dan membaca-baca dokumentasi yang dipajang. Pada umumnya sebagian besar museum ini memang berisi dokumentasi, baik itu berupa foto, lukisan, berita dari surat kabar, dan ada beberapa barang peninggalan dari masa perang dulu.
Untuk fasilitasnya, ada lift yang disediakan bagi para penyandang cacat, ibu hamil, dan orang-orang lanjut usia, tapi nyatanya siapa saja boleh memakai kok. Ada toilet-toilet yang cukup bersih di setiap lantai. Aku hanya masuk ke toilet di lantai dasar saja sih...
Awal-awal membaca dokumentasi ini, lebih banyak menceritakan tentang Ho Chi Minh, pejuang kemerdekaan dulu. Bagaimana usahanya untuk menggandeng negara-negara lain untuk mendukung kemerdekaan Vietnam, dan bagaimana dukungan yang diberikan oleh negara-negara lain untuk kemerdekaan Vietnam ini.
Kemudian ada sebuah ruangan yang berisi dokumentasi mengenai tentara-tentara USA yang ternyata TIDAK mendukung tindakan USA berada di Vietnam. Ada 3 pemuda USA yang sampai membakar diri sebagai aksi protes terhadap pemerintahnya. Di sinilah aku mulai menjadi sangat tertarik dan ingin tahu lebih lanjut mengenai perjuangan rakyat Vietnam di masa lalu. Masa-masa Amerika ikut serta dalam perang di Vietnam inilah merupakan masa puncak terjadinya AWOL (Ábsent Without Official Leave). Banyak sekali prajurit Amerika yang kasarnya sih, minggat, meninggalkan tugasnya. Hal ini dikarenakan mereka merasa apa yang diperintahkan tidak sesuai dengan hati nurani. Para prajurit Amerika yang tidak mematuhi perintah dari atasannya bisa diadili dan dipenjara sampai belasan tahun. Hal ini mengakibatkan Canada membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang hendak minta perlindungan di negara ini. Ada seorang tentara Amerika yang sampai meninggalkan anak istrinya dan segala sesuatu yang dia miliki di Amerika, untuk pindah ke Canada. Di sinilah air mataku mulai jatuh bercucuran, membayangkan betapa beratnya hidup dan perjuangan mereka saat itu, hingga harus meninggalkan keluarganya. Banyak pula prajurit Amerika yang dipenjara hingga belasan tahun apabila ketahuan AWOL dan tertangkap.
Kami sempat beristirahat sejenak di deretan anak tangga menuju ke pintu belakang, di mana tampak ada beberapa toko yang menjual souvenir khas Vietnam maupun yang berhubungan dengan kisah-kisah jaman perang ini.
Naik ke lantai dua, temanya adalah Kejahatan Perang dan Korban Agent Orange. Di sini segala sesuatu menjadi semakin menyedihkan. Foto-foto yang menunjukkan begitu banyak rakyat Vietnam Utara saat itu yang menjadi korban perang, dibunuh, dibakar rumah atau desanya. Banyak protes yang dilayangkan kepada perlakuan para tentara USA ini, termasuk dari negeri mereka sendiri.
Agent Orange atau dioxin adalah zat kimia beracun yang banyak digunakan oleh pemerintah USA saat itu. Mereka menyemprotkannya dengan pesawat ke daerah-daerah hijau maupun ke wilayah-wilayah yang berpenghuni, mengakibatkan matinya pepohonan dan manusia. Banyak sekali rakyat Vietnam dan tentara USA sendiri yang menderita akibat racun dioxin ini, dari mulai cacat fisik, cacat mental, hingga kematian. Sangat mengenaskan sekali membaca cerita dan melihat foto-foto mereka semua. Efek dari Agent Orange ini masih dirasakan hingga saat ini hingga generasi penerusnya, di mana masih banyak keturunan yang hidup tidak normal akibat orang tuanya pernah terekspos oleh zat beracun tersebut.
Ada pula sebuah ruangan yang menjual bermacam-macam souvenir dan memajang karya-karya lukisan anak-anak kecil yang mengisahkan betapa jahatnya zat beracun ini.
Selain foto-foto dan dokumentasi, di lantai ini mulai banyak dipajang barang-barang peninggalan perang, terutama peluru-peluru yang dulu pernah digunakan semasa perang.
Usai menjelajah lantai dua ini, kakiku sudah mulai terasa lelah dan pegal-pegal, hingga akhirnya kami duduk beristirahat sebentar setelah naik ke lantai tiga.
Di lantai paling atas ini kebanyakan isinya merupakan dokumentasi perang yang diambil oleh banyak kontributor, dan banyak di antara mereka yang sudah tewas, hingga foto-foto tersebut dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa mereka sebagai kontributor dokumentasi perang.
Lantai ini juga memajang lebih banyak lagi sisa-sisa perang, terutama senjata yang digunakan pada masa itu. Banyak sekali jenisnya. Aku tidak terlalu lama di sini karena memang tidak terlalu suka melihat senjata api.
Usai menjelajah lantai 3, kami pun turun menggunakan lift yang tersedia, lalu menuju ke area luar. Di halaman depan dan samping museum ini, dipamerkan kendaraan-kendaraan perang yang dulu dipakai, mulai tank hingga helikopter dan bulldozer.
Udara terasa panas sekali melelehkan peluh tanpa henti. Kaki pun sudah terasa lemas sekali, mungkin karena lebih banyak berdiri dan membaca dibandingkan berjalan kaki. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 2.30 siang, maka kami pun memutuskan untuk pulang. Tadinya sempat hendak naik bus akibat kaki yang terasa sangat lelah, namun setelah dijalani ternyata tidak terlalu melelahkan lagi, jadi kami berjalan kaki saja ke penginapan yang jaraknya hanya sekitar 2,6 KM.
Melihat seorang penjual banh mi di sebuah kios kecil, kami membeli dua buah untuk makan siang. Harganya VND 15K dengan isian crispy pork. Wah cocok sekali. Kami duduk di tepi jalan yang agak teduh, lalu makan sambil nongkrong di tempat tersebut sembari memperhatikan ramainya lalu lintas jalanan di depan kami. Rasa banh minya enak dan bisa mengobati perut kami yang sudah mulai keroncongan ini.
Saat sedang berjalan di trotoar sebuah jalan besar, kami melihat ada seorang ibu yang menjual makanan. Namanya banh cam, bentuknya bulat-bulat sebesar bola pingpong dan ada sedikit wijen di kulitnya. Tampak seperti onde-onde, dan terpasang harganya VND 3K. Jadi kami mencoba membeli satu buah untuk mencicipinya, dan ternyata memang betul seperti onde-onde. Hanya mungkin karena ini versi murah (sebetulnya kalau di Banyuwangi ya mahal, karena harga onde-onde hanya seribu rupiah saja), isi kacang hijaunya sedikit. Tapi rasanya memang enak, dan tekstur kulitnya lebih empuk daripada onde-onde di Indonesia. Apalagi masih hangat sehingga rasanya jadi makin enak deh hehehehe...
Mendekati penginapan, tampak ada penjual gorengan, dan ternyata setelah didekati jualannya adalah roti bantal/galundeng dan cakue. Setelah ditanya, harganya VND 5K per buah. Akhirnya kami membeli dua buah cakue dan sebuah roti bantal untuk dibawa pulang.
Kami sampai di penginapan sekitar jam 3.30 sore, dan pada saat suamiku sedang mengisi ulang botol air minum, sang resepsionis malah memberikan sebotol Sprite. Katanya untuk bonus karena menginap 3 malam. Lumayan juga nih hehehehe...
Kami makan cakue dan galundeng yang baru saja dibeli, dan ternyata rasanya enak juga, lebih crispy daripada yang biasanya dijual di Banyuwangi hehehehe...
Kami baru menyadari bahwa andai saja kami mendapatkan gas untuk kompor yang kami bawa, mungkin malah akan terbuang sia-sia, karena besok kami akan naik pesawat menuju ke Da Lat. Duh, untung saja gasnya tidak dapat ya....
Setelah itu kami masih membuat kopi dulu, dan baru istirahat kemudian. Tak terasa kami tertidur dari jam 5 sampai jam 6 sore.
Terbangun dari tidur, kami bergantian mandi, lalu pergi untuk mencari makan sekaligus sarapan untuk esok. Kami berjalan ke arah pasar dan menemukan sebuah warung yang sepertinya menjual nasi. Suami memutuskan untuk makan com tam di tempat ini. Sepiring nasi putih, dua macam sayuran, daging babi dan semangkuk kuah, harganya hanya VND 20K. Aku sendiri hanya mencicipi sedikit saja karena sudah makan pisang yang masih tersisa.
Usai makan, kami menuju ke ATM Military Bank dengan berbekal Google Map. Ternyata memang benar, ATM Military Bank tidak mengenakan biaya apabila kita menarik uang tunai. Karenanya kami sekalian menarik dua kali.
Catatan: transaksi masing-masing 3 juta dong ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 1.814.776, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Dari ATM, kami melihat ada sebuah mini market di dekatnya, jadi kami mampir dulu. Di B's Mart ini suami membeli roti isi keju seharga VND 10K, dan aku membeli susu lagi seharga VND 7K.
Setelah itu kami pun pulang kembali ke penginapan. Seharian ini kami sudah berjalan sekitar 11 KM. Tidak heran badan terasa agak lelah. Kami mempersiapkan kembali backpack yang kami bawa dan menata barang-barang di dalamnya. Malam hari pun kami lewatkan dengan beristirahat...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment