29-30 November 2017
Hari ini adalah hari terakhir kunjungan kami berdua di Nepal. Visa kami akan berakhir tanggal 30 besok. Satu bulan berlalu tanpa terasa. Setengahnya aku merasa sedih dan agak berat hati untuk meninggalkan negeri yang luar biasa ini, namun setengahnya lagi aku juga merasa senang karena aku sudah cukup kangen dengan suasana rumah.
Rencananya hari ini aku ingin berjalan-jalan sekitar Thamel sekali lagi. Entah mengapa, rasanya tiada bosannya kami berdua (terutama aku) menikmati suasana di Thamel.
Udara masih tetap dingin setiap hari, terutama pagi hari. Setelah melakukan kegiatan pagi seperti biasanya, kami mengepak barang-barang yang tidak akan masuk ke kabin. Kedua kantung plastik hitam yang kubawa dari rumah jadi penuh sekali dengan barang-barang. Itu pun masih ketambahan sebuah kantung kresek lagi, yang diisolasi ke salah satu kantung hitam ini, baru kemudian diikat dengan tali, dan kemudian diisolasi keseluruhan permukaannya. Hasil akhirnya jadi mirip diwrap menggunakan jasa di bandara hehehehe...
Agak siang baru kami mandi, lalu sekitar jam 11.20 siang baru kami keluar dari penginapan untuk mencari makan siang dulu. Inginnya sih beli ayam goreng di Shama Hlal Food, tapi ternyata masih tutup saat kami lewat, jadi kami terus berjalan untuk mencari tempat makan lain. Tidak lama kemudian, kami pun singgah di sebuah restoran bernama Brother's Cafe & Kitchen, yang menyediakan berbagai macam pilihan menu, mulai hidangan khas Nepal, India, sampai Western dan Chinese Food.
Suamiku hendak memesan fish finger, tapi sang pelayan berkata ikannya tidak ada, jadi diganti dengan BBQ chicken wings (NRs 165) dan black tea (NRs 25), sementara aku memesan khana set (NRs 150).
Kami menunggu hidangan disiapkan sembari mengamati tempat ini. Ruangannya biasa saja dan tidak terlalu besar. Di dalamnya agak sedikit gelap karena hanya mengandalkan cahaya matahari dari luar yang masuk melalui jendela kaca, sementara pintu keluar ditutup. Setelah kami datang juga ada beberapa tamu lain yang datang, dan entah kenapa, hidangan mereka lebih dulu siap. Sepertinya mereka memesan khaja set. Mungkin makanan yang dipesan suamiku yang agak lama disiapkan.
Baru setelah 40 menitan makanan kami dihidangkan. Lama sekali ya... Kami diberi sebotol air mineral yang masih bersegel beserta dua buah gelas, hal yang jarang terjadi selama kami makan di tempat-tempat yang sederhana di Nepal ini. BBQ chicken wings pesanan suamiku hanya berisi dua buah sayap ayam, yang sepertinya dimasak menggunakan kecap (selama di Nepal aku jarang sekali melihat masakan yang menggunakan kecap). Aku tidak tahu apa bedanya khana set dan khaja set, namun keduanya mirip dengan dal bhat. Kalau dari foto di menunya, lauk pauk pada khaja set diletakkan di samping nasi langsung, sedangkan lauk pauk dan kuah pada khana set dipisah di dalam mangkuk-mangkuk kecil yang diletakkan di samping nasi putih. Lauknya pun sederhana sekali, hanya tarkhari buncis dan kentang, tumisan sayuran hijau, kuah, beberapa iris timun, dan semacam bumbu kari yang kental.
Yang pasti, dengan memesan menu seperti ini, aku boleh menambah nasi putih atau kuahnya. Aku tidak berani minta tambah sayuran karena takut tidak boleh hehehehe... Jadi suamiku makan sayap ayamnya dengan nasi putih dari piringku, dan aku makan nasi dengan sayuran yang ada. Aku sampai minta tambah nasi dua kali dan kuah satu kali. Tamu-tamu lain yang makan pun kulihat berkali-kali menambah nasi atau kuah.
Setidaknya dengan NRs 340 kami bisa makan kenyang sekali deh hehehehe...
Setelah membayar, kami pun beranjak pergi, dan saat berjalan melewati Shama Hlal Food, tampak si bapak penjualnya sedang bersiap-siap di dalam warungnya. Aku menyempatkan diri mampir dan bertanya apakah nanti sore ayam gorengnya akan ada? Bapak tersebut menjawab yes yes. Tapi entahlah, aku tidak tahu apakah beliau benar-benar paham yang kutanyakan atau tidak hehehehe...
Setelah itu kami berjalan kaki berkeliling Thamel, dari ujung ke ujung. Aku berusaha mengambil foto sebanyak-banyaknya, karena aku ingin tetap mengingat wajah dan suasana di Thamel walaupun sudah tidak di sini lagi. Jalanan di Thamel siang hari ini cukup ramai dan matahari bersinar cerah.
Baru sekitar jam 1 siang kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Saat itulah putri kami yang berada di Invercargill, New Zealand, melakukan video call. Tujuan utamanya sih memberikan kabar gembira bahwa dia sudah mempunyai SIM resmi New Zealand, dan full license pula (ada learner license dan restricted license di mana pengemudinya masih harus diawasi). Memang kami berdua memintanya untuk ikut test membuat SIM di sana, karena SIM A Indonesia hanya bisa dipakai selama maksimal 1 tahun dari hari kedatangan di NZ. Untuk bisa mendapatkan SIM di New Zealand, ada tes teori dan tes praktek (di bawah pengawasan si penguji) yang harus lulus dengan nilai minimal, dan tidak ada istilah suap-menyuap. Sebelumnya putriku sempat tidak lulus tes teori, dan ternyata kali ini dia berhasil lulus kedua tes tersebut. Setelah itu kami bercerita-cerita mengenai banyak hal, dari A sampai Z, hingga tak terasa video call berlangsung selama hampir 2 jam hehehehe...
Karena hari sudah menjelang sore, kami mandi terlebih dahulu selagi air yang keluar dari shower masih panas. Tadinya kami mau membeli ayam goreng sekitar jam 5 sore, tapi karena takut kehabisan, usai mandi kami akhirnya langsung pergi menuju ke Shama Hlal Food, dan dari kejauhan tampak ayam gorengnya dipajang di dalam etalase. Wah, akhirnya kami bisa makan ayam goreng ini lagi ^_^
Karena ada yang seekor utuh, aku menanyakan harganya. Waktu pertama makan di sini, aku pernah bertanya harga ayam goreng ini, dan waktu itu dijawab NRs 300. Seingatku waktu itu yang kutanya adalah harga untuk seekor utuh. Kali ini saat kutanya lagi, sang bapak penjualnya mnejawab NRs 500 untuk yang utuh. Aku jawab, katanya waktu itu NRs 300, lalu beliau berkata, NRs 400 saja deh. Akhirnya aku setuju dan memesan 1 ekor ayam utuh dan 1 porsi nasi putih. Sudah kutegaskan bahwa aku minta nasi putih. White rice, no fried rice. Beliau manggut-manggut dan segera mengerjakan pesanan kami.
Setelah menunggu sekitar 10-15 menit, ayam yang sudah digoreng ulang pun dipotong-potong, sedangkan nasinya sudah dibungkus dalam kotak aluminium dari dalam dapur. Kami juga diberi irisan timun dan (sepertinya) lobak. Aku pun membayar sebesar NRs 500 untuk semuanya (nasinya NRs 100). Belakangan setelah usai makan aku baru menyadari bahwa dulu waktu si bapak mengatakan harga ayam yang NRs 300, sepertinya itu harga untuk 1/2 ekor ayam, bukan yang utuh. Dalam hati aku sedikit menyesal dan merasa iba, seharusnya tidak aku tawar harga ayamnya, karena mungkin aku yang salah mengerti waktu itu.
Di persimpangan JP Marg, kami mampir di sebuah toko yang menjual berbagai macam bumbu dan teh lokal. Kami pun mampir karena aku ingin membeli garam masala. Ternyata jenis bumbu masala di sini ada banyak sekali macamnya. Akhirnya aku membeli soup masala, meat masala, dan garam masala, yang masing-masing harganya NRs 130.
Setelah itu kami pun berjalan kembali ke penginapan. Saat itu waktu menunjukkan jam 4.45 sore. Sebetulnya kami hendak makan menjelang akan berangkat ke bandara, tapi apa daya mencium bau ayam goreng yang harum ini, akhirnya sampai di kamar kami memutuskan untuk langsung makan malam sekalian.
Saat membuka kemasan nasinya, ternyata oh ternyata... nasi yang diberikan adalah nasi goreng tapi tanpa saus-saus, sehingga warnanya tetap cenderung agak putih, tidak coklat seperti sebelumnya. Si bapak salah mengerti rupanya, dikiranya nasi putih adalah nasi goreng yang warnanya putih hahahaha.... Tapi nasi gorengnya enak kok, hanya saja tadinya kami berpikir kalau nasi putih biasa bisa dapat lebih banyak porsinya. Ternyata nasi goreng ini pun porsinya sangat banyak. Benar-benar makan malam terakhir yang mewah buat kami. Selesai makan kami berdua benar-benar merasa amat sangat kekenyangan, sampai untuk berdiri saja rasanya susah hehehehe....
Baru saja kami selesai makan, suamiku mendapat pesan chat dari Dawa, katanya dia pun sedang berada di Kathmandu, dan mau mengunjungi kami di penginapan sebelum kami pulang. Wah baiknya ya...
Benar saja, jam 5.30 petang, Dawa mengirim pesan bahwa dia sudah sampai di lobby penginapan, jadi kujemput dia dan kuajak naik ke kamar. Kami banyak mengobrol, menceritakan pengalaman kami masing-masing.
Ternyata Dawa masih ditugasi untuk mendampingi si pak tua Jerman yang bersamanya semenjak trekking. Dari ceritanya, terungkap bahwa pak tua tersebut adalah teman dari kakak Dawa, jadi selama ini Dawa mengantar pak tua tersebut kesana-kemari, membawakan barang-barangnya, tidak pernah dibayar. Upahnya hanya berupa makan dan akomodasi selama bepergian saja. Namun demikian Dawa tidak mengeluh, katanya dia cukup senang karena bisa mendapatkan pengalaman dan berkunjung ke tempat-tempat yang belum pernah didatanginya selama ini. Ternyata masih ada ya orang-orang lugu seperti ini.
Jam 6.15 petang, Dawa menawarkan diri untuk ikut mengantar kami ke bandara, yang tentu saja kami setujui. Dia membawakan barang-barang bagasi kami, lalu turun dan mencarikan taxi. Ada sebuah mobil taxi yang kemudian berhenti dan minta NRs 700 untuk mengantar kami ke bandara. Kami setuju, karena memang segitu tarif yang wajar.
Yang aneh adalah karena ada seorang laki-laki yang duduk di samping drivernya, dan laki-laki ini tidak turun saat kami masuk ke dalam taxi. Alhasil, kami bertiga duduk di belakang dengan dua backpack besar yang kami pangku. Kondisinya benar-benar sangat berdesakan, sampai menggerakkan tangan saja aku tidak bisa. Melihat kondisi di depan pun tidak bisa karena pandanganku tertutup backpack. Bernafas pun agak sulit jadinya. Tidak nyaman sekali sebetulnya, tapi aku juga tidak berani bertanya-tanya kepada Dawa, karena takutnya driver dan laki-laki di sebelahnya tersinggung (karena takutnya mereka mengerti bahasa Inggris dengan baik). Dari wajah mereka, driver dan temannya ini sepertinya kurang ramah. Sepanjang jalan pun mereka sama sekali tidak mengajak penumpangnya mengobrol.
Jalanan yang kami lewati rata-rata macet, beberapa bahkan sampai macet total. Jarak dari Thamel ke Tribhuvan International Airport hanya sekitar 6 KM, dan seharusnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar 25 menit, namun faktanya taxi yang mengantar kami ini membutuhkan waktu hampir 1 jam untuk sampai ke bandara. Untungnya karena waktu kami longgar, jadi kami tidak terlalu kuatir.
Karena selama di Kathmandu kami tidak pernah bepergian jauh dari Thamel, kami sama sekali tidak mengetahui bagaimana keadaan Kathmandu sesungguhnya. Ternyata cukup banyak bangunan-bangunan tinggi bertingkat yang modern, franchise fast food, dan mall-mall yang mewah di sepanjang perjalanan. Bisa dibilang bagian kota yang kami lewati ini sudah termasuk modern, tidak seperti bayanganku bahwa semuanya serbakuno.
Menjelang sampai di Tribhuvan International Airport, tampak banyak polisi yang sedang berdiri di tengah jalan dan menghentikan mobil-mobil yang lewat. Aku sudah berdebar-debar, kuatir ada masalah atau hal lain yang tidak diinginkan. Mobil kami pun dihentikan, dan sang polisi bercakap-cakap dengan driver taxi kami, dan Dawa pun sempat berkomentar. Aku sempat agak takut karena pak polisinya berkata dengan nada agak keras. Setelah itu mobil yang kami naiki diijinkan lewat, dan sesaat kemudian berhenti. Laki-laki yang duduk di sebelah driver turun, dan Dawa pindah ke bangku di sebelah driver.
Saat itu bandara sudah tampak berada di depan kami, dan hanya beberapa menit kemudian, kami sampai dan diturunkan di terminal keberangkatan internasional. Setelah membayar, kami pun turun dari taxi, dan setelah taxinya pergi, aku bertanya kepada Dawa, apa yang terjadi. Menurut Dawa, para polisi tadi merazia orang-orang yang tidak berkepentingan ikut ke bandara. Jadi ditanya berapa orang yang akan ke bandara, dan Dawa mengatakan kepada polisinya bahwa hanya kami bertiga yang benar-benar hendak ke bandara, karena itu laki-laki yang menumpang sedari awal tadi disuruh turun. Aku sebetulnya tidak mengerti untuk apa laki-laki tersebut ikut, tapi kalau dipikir-pikir lagi sekarang, mungkin dia mau mencari-cari para penumpang yang baru sampai, mungkin untuk menawarkan jasa guide atau apa pun itu. Kasarnya calo deh...
Setelah itu, karena waktu keberangkatan masih cukup lama dan pengantar tidak boleh masuk ke dalam terminal, kami berdua mengajak Dawa untuk membeli minuman dulu di sebuah cafe di pinggiran bandara ini. Suamiku memesan milk coffee (NRs 200) sementara Dawa memesan masala tea (NRs 100). Mahal sekali ya harga-harga di bandara ini, tiga kali lipat dari harga normal. Karena tidak ada tempat duduk, kami pun duduk di semacam pipa di depan cafe ini. Ternyata duduk di sini tidak nyaman, jadi kami sekalian berjalan keluar sambil mencari smoking area, yang letaknya ada di salah satu sudut luar bandara ini.
Saat di smoking area inilah kami menyaksikan sebuah terminal yang dipadati oleh penduduk lokal. Kami tidak tahu pasti mereka ini hendak ke mana, tapi kemungkinan mereka ini akan pergi ke luar negeri untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Terlihat ratusan orang yang semuanya laki-laki, mengantre dan berbondong-bondong di tempat ini.
Dari beberapa orang Nepal yang bercerita kepada kami selama kami berada di negeri ini, mereka berkata bahwa mencari pekerjaan di Nepal sangat susah, karenanya banyak yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Yang cukup menyedihkan adalah bahwa para pekerja dari Nepal ini seringkali mendapatkan upah lebih rendah daripada pekerja dari negara lain. Banyak pula orang Nepal yang bekerja di Arab Saudi, dan katanya mereka menerima perlakuan yang sangat buruk, seolah mereka hanya manusia kelas dua. Hal ini karena pada umumnya mereka dianggap bodoh atau lugu. Kasihan sekali ya. Karena itu banyak pula mereka yang sudah beberapa waktu bekerja di luar negeri, akhirnya memilih untuk pulang lagi, karena hasil yang mereka dapatkan tidak sepadan.
Usai menghabiskan sebatang rokok dan kopi susu yang dibeli, Dawa pun berpamitan hendak pulang, karena kami pun akan segera check-in. Katanya rumahnya dekat dengan Boudanath Temple, dan dia akan pulang naik bus. Itu pun dia masih membawakan bagasi kami sampai di pintu di mana dia tidak boleh ikut lagi. Benar-benar seorang manusia yang tulus dan baik hatinya. Semoga suatu saat kami masih bisa bertemu dengannya lagi...
Setelah paspor dan tiket kami diperiksa oleh seorang polisi perempuan, kami pun bergegas menuju ke loket check-in maskapai Malindo. Saat itu jam 7.20 malam, dan ternyata antreannya sudah panjang sekali. Kami pun berdiri dan ikut mengantre dengan sabar. Pelayanan check-in ini terkesan lambat menurutku, apalagi kadang yang dilayani adalah rombongan-rombongan yang kadang makan waktu lama. Di bagian depan tampak serombongan biksu perempuan yang tampaknya masih sangat muda-muda sekali usianya, mungkin baru sekitar 20 tahunan, beserta seorang pembimbing mereka, seorang biksu laki-laki yang sudah berusia lanjut.
Dengan penuh kesabaran sembari menahan beban backpack di punggung, aku mengantre sementara aku menyuruh suamiku duduk saja dulu di sebuah sudut agar tidak terlalu lelah berdiri terus-menerus. Akhirnya kami berdua dilayani dan mendapatkan boarding pass untuk kedua penerbangan kami. Prosesnya lancar dan tidak ada kendala sama sekali. Masing-masing bagasi kami beratnya hanya sekitar 10 kg saja dari total jatah 30 kg yang diberikan kepada masing-masing penumpang.
Setelah itu kami masih mengisi kartu untuk meninggalkan negara ini. Aku juga sempat ke toilet dan ternyata toiletnya relatif bersih dan modern. Setelah kami merasa siap, kami berjalan melewati security bandara dan seterusnya tanpa ada hambatan. Ketika antre ini ada kejadian lucu. Aku mengantre di barisan yang panjang sekali bersama suamiku, dan beberapa saat kemudian, seorang laki-laki yang datang di belakang kami berusaha memberitahuku untuk pindah antrean ke sebelah kiri. Ternyata tempatku antre ini adalah khusus laki-laki, dan aku benar-benar tidak menyadarinya hahahaha...
Akhirnya aku pindah ke antrean khusus perempuan yang jauh lebih pendek dan memang petugas di sini semuanya perempuan. Setelah melewatkan semua barang melalui mesin X-ray, aku lewat tanpa hambatan. Di sinilah paspor kami dicap lagi.
Aku masih menunggu cukup lama sampai suamiku selesai melewati security, karena memang antreannya panjang. Setelah itu kami berdua melewati petugas lagi yang mengecek paspor kami. Ada turis lain yang paspornya belum dicap, sehingga disuruh kembali ke petugas security sebelumnya untuk mendapatkan cap tersebut. Setelah berjalan lagi, akhirnya jam 8.30 malam kami sampai dan masuk ke ruang tunggu di Gate 3 tempat kami akan berangkat.
Kami mencari tempat duduk di sudut belakang agar tidak banyak orang yang lalu lalang. Ruangan tunggu di sini tidak terlalu besar dan semakin malam semakin banyak orang yang datang dan duduk di ruangan tunggu ini. Kami berdua duduk dan bersantai sembari menunggu waktu, mengamati orang-orang di sekitar kami. Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah galon air beserta tumpukan gelas plastik yang sepertinya baru, dan siapa pun boleh mengambil air minum tersebut.
Aku sempat masuk ke dalam toilet yang letaknya cukup dekat dengan tempat kami duduk. Duh, kali ini toiletnya kotor! Ada 2 toilet duduk dan 2 toilet jongkok. Semuanya kotor, bau, dan sepertinya air pun tidak mengalir keluar dari kran. Mengenaskan sekali. Ini bandara internasional lho... aku tidak sampai hati memotretnya :(
Menjelang jam keberangkatan, belum ada tanda-tanda para penumpang dipanggil. Menit demi menit berlalu, dan ada pengumuman bahwa penerbangan kami ditunda 2 jam. Duh! Rasanya badan sudah cukup lelah dan tidak nyaman, sementara kami masih harus menunggu dan menunggu lagi. Kami pindah ke tempat duduk yang lebih nyaman, dengan colokan listrik untuk mengecharge HP. Aku juga sempat berusaha tidur, namun tetap terjaga walau mata terpejam. Setelah 2 jam berlalu, masih belum ada panggilan untuk boarding. Kami berdua hanya bisa pasrah. Sementara penumpang-penumpang lain dengan berbagai tujuan penerbangan sudah banyak yang dipanggil untuk boarding, kami dan banyak penumpang lain yang akan menuju ke Kuala Lumpur harus tetap menanti dengan sabar.
Saat aku ingin ke toilet lagi, suamiku memberi tahu untuk ke toilet di gate lain saja, katanya di sana relatif bersih dan sepi. Aku pun menuju ke toilet di Gate 5 tersebut. Toilet di sini ruangannya jauh lebih besar, dengan lebih dari 10 toilet di dalamnya. Suasana di dalam toilet sepi, tidak ada orang lain. Kalau boleh jujur, suasananya agak creepy, apalagi ditambah lampunya remang-remang. Entah mengapa, yang terbayang di benakku saat itu seperti berada di lorong rumah sakit yang seram. Aku berusaha cuek dan memberanikan diri untuk masuk ke dalam salah satu toiletnya, yang memang bersih. Hanya suasananya saja yang memang menyeramkan hehehehe...
Waktu terus berlalu dengan membosankan, dan baru sekitar jam 00.30 pagi, para penumpang Malindo Air tujuan Kuala Lumpur disuruh pindah ke Gate 5. Sudah tidak ada lagi barisan atau antrean. Semua orang saling berdesakan, hendak maju lebih dulu.
Entah apa saja yang dilakukan oleh petugasnya, proses boarding ini pun lama sekali. Para penumpang dibiarkan berdiri dan berdesakan begitu saja di depan pintu keluar. Ada beberapa pemuda Nepal (berwajah India semua) yang entah kenapa, mendapatkan pemeriksaan lebih intensif, sementara yang berwajah turis seperti kami tidak ada perlakuan yang ketat.
Akhirnya sekitar jam 1 dini hari kami baru bisa duduk di dalam pesawat. Aku hanya bisa berdoa dan berharap kami masih bisa mengejar penerbangan kami yang berikutnya dari Kuala Lumpur menuju ke Jakarta jam 7.30 pagi waktu setempat, karena harusnya transit hanya 3 jam, namun delaynya sendiri hampir 4 jam dari Kathmandu.
Baru pertama kali ini pula, begitu pesawat lepas landas aku langsung merasakan gejolak di perutku. Tiba-tiba saja aku merasa mual, dan lama-kelamaan semakin mual. Aku menyandarkan kepala di bahu suamiku dan berusaha memejamkan mata agar rasa mual ini tidak semakin menjadi. Sedikit demi sedikit akhirnya rasa mual itu berkurang dan mereda.
Setelah pesawat terbang dalam keadaan stabil, pramugari membagikan makanan untuk semua penumpang. Aku melihat isinya, nasi kuning dengan lauk masakan sayur dan masakan ayam, yang bau bumbu masalanya kuat sekali. Tidak mirip rendang, opor, atau dal bhat. Saat itu waktu menunjukkan jam 1.45 dini hari, dan mungkin karena kondisiku yang sudah lelah sekali, ditambah mual yang sebelumnya kualami, rasanya aku kehilangan selera makan, walaupun sebetulnya perutku mulai lapar. Aku mencoba makan sayur-mayur yang ada, dan suamiku makan ayamnya dengan sedikit nasi. Kuah dan bumbunya terasa asin sekali di lidahku. Biasanya aku suka masakan dengan bau rempah, namun kali ini sepertinya bumbu masalanya agak terlalu banyak, bahkan dari nasinya pun tercium aroma masala yang kuat. Kami berdua pada akhirnya tidak sanggup menghabiskan makanan ini, lebih karena rasa dan aroma yang tidak cocok daripada besar porsinya :(
Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidur dengan menyandarkan kepalaku di meja lipat, atau "mlungker" dan menyandarkan diri ke jendela. Perjalanan selama hampir 5 jam menempuh jarak sekitar 4.500 KM ini terasa cukup lama dan melelahkan.
Menjelang jam 5 pagi, fajar mulai menyingsing. Matahari mulai memancarkan cahayanya yang kuning oranye di balik awan-awan kelabu. Indah sekali...
Kami mendarat dengan selamat di Kuala Lumpur International Airport sekitar jam 7.50 pagi waktu setempat. Sudah pasti tidak akan bisa mengejar penerbangan selanjutnya. Namun saat masih di dalam pesawat, ada pemberitahuan bahwa bagi para penumpang yang memiliki penerbangan lanjutan bisa menghubungi petugas Malindo Air di pintu keluar, jadi kami agak lega. Setelah menunggu cukup lama akhirnya para penumpang mulai keluar dari dalam pesawat, dan begitu sampai di dalam terminal, sudah ada beberapa petugas yang menanti sambil menanyakan apabila kami ada penerbangan lanjutan. Ternyata banyak sekali penumpang yang hanya transit sementara di bandara ini, ada yang tujuan akhirnya ke Jakarta seperti kami, dan banyak pula yang ke Singapura atau Australia.
Kami berdiri menunggu bersama beberapa penumpang lainnya hingga semua penumpang sudah turun dari pesawat, lalu oleh kru Malindo Air kami diajak menuju ke salah satu counternya. Rata-rata semuanya dialihkan ke penerbangan berikutnya, demikian juga kami. Proses menunggu sampai mendapatkan boarding pass yang baru inilah yang makan waktu sangat lama, dan kami mendapatkan jatah penerbangan berikutnya yang akan berangkat jam 11.30 siang, dengan waktu kedatangan jam 12.30 siang di Jakarta. Yang jadi masalah kemudian adalah bahwa kami masih harus terbang lagi dari Jakarta menuju ke Banyuwangi. Tadinya penerbangan ini dijadwalkan akan berangkat jam 2.10 siang, namun kemarin kami mendapatkan SMS bahwa penerbangan ditunda menjadi jam 4 sore. Ya sudahlah, kami hanya bisa pasrah dan berharap tidak ketinggalan pesawat, karena kami masih belum tahu nantinya di bandara Jakarta akan butuh waktu berapa lama untuk pindah terminal. Dari yang aku dengar, terminal untuk penerbangan internasional jaraknya jauh ke terminal domestik.
Setelah lebih dari satu jam menunggu dan setengah memaksa kepada petugasnya agar kami semua segera dilayani, akhirnya boarding pass untuk penerbangan berikutnya keluar juga. Selain itu kami juga diberi voucher untuk sarapan di sebuah restoran di dalam bandara ini.
Maka setelah kami memegang boarding pass, kami menuju ke Old Town White Coffee, cafe yang ditunjuk oleh Malindo, untuk makan terlebih dahulu. Nilai vouchernya kalau tidak salah ingat RM 20 (sekitar 70 ribu rupiah) per orang. Antriannya cukup panjang, dan lagi-lagi kami harus antre. Setelah tiba giliran kami dilayani, kulihat menu yang tersedia. Harga makanannya saja yang paling murah sekitar RM 17 per porsi, jadi kami memesan dua porsi nasi lemak dan secangkir kopi agar total nilainya tidak melebihi voucher yang diberikan. Kebanyakan orang-orang masih harus menambah uang karena memesan makanan dan minuman melebihi voucher.
Akhirnya kami bisa duduk dengan agak santai di dalam cafe ini, sambil memperhatikan pesawat-pesawat Malaysia Airlines yang tampak terparkir di luar jendela kaca yang besar. Suasana di cafe ini juga ramai, sepertinya penuh dengan para penumpang Malindo Air yang penerbangannya tertunda seperti kami.
Setelah menunggu sekitar 10 menit, akhirnya makanan kami siap dihidangkan. Baru sekali ini kami mencicipi nasi lemak ala Malaysia. Nasinya agak gurih, dengan lauk ayam goreng tepung, teri goreng asin, kacang goreng, kulit pangsit, acar, dan sambal. Menurutku pribadi, masih lebih enak nasi uduk Indonesia sih. Sambalnya tidak pedas, bahkan asin sekali. Teri gorengnya juga agak keasinan. Tapi secara keseluruhan lumayanlah, aku masih bisa menghabiskan seporsi makanan ini. Mungkin lama tidak makan makanan ala Indonesia, jadi senang sekali bisa makan sesuatu yang mirip dengan masakan Indonesia hehehehe...
Usai makan, kami berjalan-jalan dan membeli sebotol Johnnie Walker Island Green. Di Eraman KLIA ini minuman beralkohol memang murah sekali. Setelah membayar dan melihat-lihat, kami berjalan menuju ke gate keberangkatan kami yang ternyata jauh sekali letaknya. Setelah sampai, kami berdua duduk di bangku-bangku yang disediakan. Di dalam ruangan ini sudah banyak yang berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, tapi selain karena kondisi fisik yang lelah, kami agak malas untuk basa-basi atau mengobrol dengan orang lain di ruangan ini karena sepertinya mereka juga sibuk dengan urusannya masing-masing dan kurang friendly.
Kami bersyukur penerbangan kali ini tidak sampai delay lagi. Yah ada sedikit terlambat sih, tapi hanya beberapa menit saja, masih bisa dimaklumi. Di dalam perjalanan selama hampir 2 jam menuju tanah air ini, semua penumpang diberi snack dan air minum. Aku berusaha untuk istirahat selama perjalanan pendek ini. Suamiku pun tertidur, karena saat penerbangan dari Kathmandu menuju Kuala Lumpur, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Akhirnya sampailah kami di Soekarno Hatta International Airport. Senangnya bisa menginjakkan kaki di bumi pertiwi!
Keluar dari pesawat, kami melewati bagian imigrasi dengan lancar. Kemudian menunggu bagasi keluar inilah yang makan waktu lama. Sepertinya hampir satu jam kami menunggu, karena bagasi kami keluar belakangan. Setelah itu melewati bagian customs, semuanya berjalan dengan sangat lancar. Tidak ada barang-barang kami yang diperiksa atau dicurigai oleh petugas saat melewati mesin X-ray. Padahal sebelum pergi ke Nepal sedang heboh-hebohnya kasus di mana banyak orang yang harus membayar pajak untuk barang-barang yang mereka beli di luar negeri. Mungkin karena wajah-wajah kere dan kumal kami ya... hahahaha....
Akhirnya sekitar jam 1.40 siang, kami keluar dari terminal 2E. Beruntung sekali kami memesan penerbangan pulang ke Banyuwangi dengan NAM Air, karena lokasinya di terminal 2F, jadi sepertinya tidak terlalu jauh berjalan kaki ke sana. Suasana di luar bandara ramai sekali, penuh dengan manusia. Hujan turun dengan derasnya membasahi tanah Jakarta, sehingga bisa sedikit mendinginkan cuaca yang panas sekali.
Kami masih ke smoking area dulu, baru kemudian menuju ke terminal 2F dan check-in di counter Sriwijaya Air. Tadinya proses check-in ini pun lama karena banyak sekali yang hendak check-in, untungnya beberapa petugas kemudian membuka beberapa counter lain, sehingga antrean yang panjang bisa terurai.
Usai proses check-in, kami langsung berjalan melewati security dan menuju ke gate yang ditentukan. Waktu sudah menunjukkan jam 2.15 siang, dan kami sudah cukup lelah semenjak tadi malam, sehingga kami berharap bisa segera pulang.
Nasib oh nasib... setelah menunggu sekian lama, ternyata pesawat kami yang sudah direschedule pun harus ditunda lagi. Aku tidak mau berprasangka buruk atau sampai emosi gara-gara delay, karena cuaca di luar memang tampak buruk. Hujan deras disertai angin kencang sampai pohon-pohon besar pun tampak bergoyang-goyang. Aku lebih baik menunggu asalkan bisa pulang dengan selamat. Parahnya, delay ini terjadi sampai dua kali. Beberapa penumpang lain sampai marah-marah dan protes di counter petugas. Sementara para penumpang dengan tujuan penerbangan ke kota lain sudah berkali-kali dipanggil untuk boarding, hanya tersisa para penumpang tujuan Banyuwangi saja yang masih menanti dan menanti.
Setelah menunggu lebih dari 3 jam di ruangan ini, akhirnya menjelang jam 6 petang kami dipanggil untuk boarding. Pesawat NAM Air ini berisi 6 tempat duduk per barisnya dengan layout 3-3, namun demikian masih lebih nyaman pesawat Garuda yang lebih kecil, di mana layout tempat duduknya hanya 2-2. Setiap penumpang juga memperoleh jatah bagasi 20 kg, sama seperti Garuda, karena keduanya termasuk full service airlines. Untuk snack yang diberikan, menurutku pribadi masih lebih enak snack yang dari Garuda.
Setelah terbang selama sekitar satu jam menempuh jarak sekitar 1.100 KM, sampailah kami di Bandara Banyuwangi tepat jam 7 malam. Setelah turun dari pesawat, kami masih harus berjalan kaki di dalam kegelapan untuk menuju bangunan terdekat dan menantikan bagasi di tempat ini. Setelah itu barulah kami naik bus yang disediakan oleh pihak bandara, menuju bangunan yang menuju ke pintu keluar. Aku agak heran karena sepertinya waktu berangkat kami tidak melewati bangunan yang besar ini, dan terakhir kami naik pesawat dari Surabaya ke Banyuwangi pun tidak seperti ini.
Sesampainya di pintu keluar bandara, teman kami Tri sudah menunggu kedatangan kami. Dia menjemput kami dengan mobil yang kami titipkan kepadanya selama 1 bulan terakhir ini. Menurut Tri, penggunaan gedung bandara yang baru ini baru saja dimulai kemarinnya. Hmmm tidak heran kami sampai tidak mengenali bandara Banyuwangi ini karena waktu berangkat gedung ini belum mulai dioperasikan hehehehe...
Ah, senang sekali rasanya melakukan perjalanan pulang tahap terakhir dengan naik mobil kami sendiri. Bisa duduk dengan lega dan nyaman di kursi penumpang, tanpa harus berdesakan lagi. Kami sampai dengan selamat di rumah tercinta sekitar jam 8 malam. Begitu memasuki gerbang garasi, Tyson langsung menyambut kami dengan gembira. Aku yakin dia kangen sekali dengan kami berdua hahahaha....
Malam hari pun kami habiskan dengan membereskan barang-barang di backpack dan masak sederhana untuk makan malam. Akhirnya aku bisa kembali makan tempe hehehehe... Dan yang paling penting, bisa kembali merasakan tidur di kasur sendiri dengan bantal dan guling!!!
Aku membawa pulang oleh-oleh kaki yang terkilir dan lutut yang semakin parah kondisinya dibandingkan sebelum pergi, ditambah batuk pilek. Anehnya, setelah 2 hari berada di rumah tanpa minum obat apa pun, batuk dan pilekku sembuh begitu saja. Sepertinya efek dari berhenti makan nasi dan beralih kepada sayur-mayur dan buah-buahan seperti kebiasaanku sebelumnya. Selama di Nepal memang aku setiap hari makan nasi dengan porsi kuli, dan kurang banyak makan sayur dan buah hahahaha...
Kakiku yang sakit pun tidak membuatku jera untuk trekking lagi. Lututku memang sudah selalu sakit semenjak operasi Februari 2016 lalu. Hanya perlu lebih banyak olahraga dan latihan agar kondisinya bisa lebih kuat. Engkelku yang keseleo, relatif sudah sembuh saat tulisan ini dibuat, hanya sepertinya tidak akan bisa sempurna seperti dulu.
Nah untuk pengeluaran, tanpa memperhitungkan belanja oleh-oleh (karena oleh-oleh sifatnya relatif dan subyektif, bisa membeli sesuai selera dan kemampuan masing-masing), rinciannya kurang lebih demikian:
- Tiket pesawat PP terhitung dari Banyuwangi : 6,5 jutaan/orang
- Visa On Arrival (30 hari) : 530 ribuan/orang
- Ijin trekking (TIMS & ACAP) : 1.070 ribuan/orang
- Alat-alat trekking (bisa dipakai di kemudian hari untuk travelling ke mana pun) : 2,9 jutaan/orang (meliputi sleeping bag (katanya bisa sampai -20, tapi tulisan di barangnya sampai -10), down jacket (walaupun fake brand tapi kualitas OK dan waktu itu hangat di suhu kurang dari -20), windproof jacket, double layered zip fleece, double layered gloves, socks, camping stove, trekking poles-yang akhirnya malah hilang, gaiter, knee support, beanie, dan syal)
- Biaya hidup selama 1 bulan: 5,5 jutaan/orang (sudah termasuk biaya trekking selama 9 hari, akomodasi/hotel, makan, snack, alkohol, transportasi, pokoknya semuanya deh).
- Kalau dipisahkan dari 5,5 juta di atas, biaya selama trekkingnya sendiri selama 9 hari adalah sekitar 1,25 juta/orang (all-in sudah termasuk transport dari dan ke Pokhara, makan, snack, akomodasi)
Jadi kalau dipikir-pikir yang paling mahal tetaplah harga tiket pesawatnya. Untuk biaya hidup sehari-hari bisa ditekan karena kami berusaha mencari akomodasi maupun makanan yang ekonomis tarifnya.
Aku tahu, seringkali orang menyangka kami berdua ini banyak harta (persisnya: uang), karena belakangan kami sering bepergian dalam jangka waktu yang lama (bisa ke NZ selama 3 bulan, ditambah ke Nepal 1 bulan hanya dalam tahun 2017 saja). Namun lebih sering orang lain hanya melihat dari luarnya saja.
Waktu kami tinggal selama 3 bulan di NZ, kami pun lebih banyak hidup irit dan hampir tidak pernah membeli makan di luar. Untuk akomodasi pun lebih banyak menumpang di flat putriku. Karenanya pengeluaran selama di sana bisa dibilang tidak terlalu banyak.
Apalagi waktu ke Nepal ini, aku sudah menceritakan apa adanya keadaan kami selama tinggal di sana. Jujur saja, aku tidak yakin semua orang mau atau bisa hidup seperti kami berdua selama di sana. Dengan berbagai alasan, orang akan memilih tidur di hotel atau minimal penginapan yang layak. Dan berapa banyak orang yang mau bangun subuh setiap hari atau repot-repot masak selama bepergian?
Namun orang hanya beranggapan dan berasumsi hanya dari apa yang mereka lihat dari luarnya saja. Kalau dulu aku masih merasa sungkan atau takut dianggap sombong atau sok kaya dengan travelling ke luar negeri, tapi belakangan aku tidak mau terlalu ambil pusing lagi dengan apa kata orang. Kalau ada orang yang berkata, wah duitmu banyak ya jalan-jalan terus, aku akan menjawabnya dengan sebuah kata dan senyuman Amiiiiin hehehehe...
Faktanya adalah kami memang dari keluarga biasa-biasa saja. Tabungan memang ada, tapi tidak bisa dibandingkan jumlahnya dengan para pengusaha sukses lainnya, apalagi sebagian besar sudah habis untuk biaya sekolah putriku di NZ sana. Kami berdua selalu berusaha hidup irit setiap hari di rumah, dan berusaha menyisihkan sesedikit apa pun untuk ditabung. Bahkan saat masih tinggal di Pokhara, kami sempat kehabisan uang dan rekening tabungan masih kosong. Untungnya hari itu karyawan di toko melakukan setor uang, jadi terselamatkanlah hidup kami hahahaha....
Prinsipku, pengalaman hidup lebih berharga daripada harta duniawi, apalagi barang-barang bermerk. Dan selagi kaki ini masih kuat melangkah, bahu ini masih kuat menyandang backpack, aku akan berusaha menjelajah ke mana pun aku bisa. Yang penting tidak sampai membebani orang lain, apalagi ngutang hahahaha...
Sebetulnya travelling tidak harus ke luar negeri sih, hanya saja kadang ingin menjelajah ke luar pulau biayanya malah lebih mahal. Belum lagi anggapan orang Indonesia pada umumnya bahwa orang keturunan Tionghoa pasti kaya, jadi malah dipalak sana-sini.
Aku bersyukur suamiku mau mendukung keinginanku ini, walaupun kadang masih ngomel atau mengeluh kalau sedang mengalami masa-masa tidak nyaman hehehehe... Aku bisa memaklumi karena dulunya dia terbiasa hidup nyaman dan bukan tipe orang spontan seperti aku. Karenanya kadang aku masih berkompromi dengan keinginannya supaya dia juga menikmati perjalanan kami berdua.
Secara keseluruhan, perjalanan selama satu bulan penuh ke Nepal ini sangat berkesan bagiku. Dibandingkan dengan New Zealand, mungkin alam di New Zealand jauh lebih indah dan fotogenic, segala sesuatu lebih nyaman dan teratur, dan fasilitas umum pastinya jauh lebih baik, namun demikian perjalanan kami ke Nepal ini adalah perjalanan yang paling berkesan dalam hidupku. Backpacking kami ke Nepal ini menjadi pengalaman pertama kami melakukan travelling dalam arti sesungguhnya. Bukan hanya sekedar mengunjungi tempat-tempat wisata yang populer atau menginap di hotel-hotel yang fancy, namun benar-benar merasakan pengalaman untuk tinggal bersama penduduk setempat dan mempelajari perbedaan budaya dan cara hidup sehari-hari.
Nepal... negeri yang tak pernah kubayangkan akan kukunjungi. Tak kusangka, hanya dalam waktu sebulan berada di negeri ini, begitu banyak yang kuperoleh. Kebaikan dari orang-orang setempat, ketulusan dan persaudaraan yang mereka tawarkan kepada kami. Kami jadi memiliki saudara-saudara baru di negeri ini, bahkan sampai saat ini, aku masih sering bertegur sapa dengan mereka yang ada di sana. Mereka semua berharap kami bisa segera kembali ke negeri ini. Mudah-mudahan demikian.... ^_^
Aku tidak akan melupakan kalian semua, sahabat dan saudara-saudara baruku! And hopefully we will be able to travel to Nepal again to meet you all!!!
In my humblest opinion, this is the true meaning of travelling: to explore the culture, to know the people, and to live like locals. And I will keep doing this style of travelling, because I'd prefer being called a traveller rather than just a tourist ^_^
Akhir kata, kuucapkan terima kasih kepada para pembaca setia blog ini. Aku minta maaf apabila kadang ceritaku mungkin membosankan atau tidak menarik. Belum lagi kalau ada jeda yang lama dalam satu cerita yang bersambung, karena ada saatnya aku merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk menulis, dan ada saatnya juga tidak mood menulis, sehingga butuh waktu lebih lama untuk bercerita.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan menginspirasi bagi yang membacanya untuk travelling ke Nepal ^_^
Rencana kami berdua, apabila tidak ada halangan, kami akan kembali jadi backpackers untuk menjelajah Vietnam dan Laos selama 2 bulan mulai akhir bulan Maret mendatang. Mudah-mudahan semua bisa berjalan dengan lancar, karena tentunya akan kutulis juga kisah kami berdua nantinya ^_^
---- END OF NEPAL BACKPACKING SERIES ---
Rencananya hari ini aku ingin berjalan-jalan sekitar Thamel sekali lagi. Entah mengapa, rasanya tiada bosannya kami berdua (terutama aku) menikmati suasana di Thamel.
Udara masih tetap dingin setiap hari, terutama pagi hari. Setelah melakukan kegiatan pagi seperti biasanya, kami mengepak barang-barang yang tidak akan masuk ke kabin. Kedua kantung plastik hitam yang kubawa dari rumah jadi penuh sekali dengan barang-barang. Itu pun masih ketambahan sebuah kantung kresek lagi, yang diisolasi ke salah satu kantung hitam ini, baru kemudian diikat dengan tali, dan kemudian diisolasi keseluruhan permukaannya. Hasil akhirnya jadi mirip diwrap menggunakan jasa di bandara hehehehe...
Agak siang baru kami mandi, lalu sekitar jam 11.20 siang baru kami keluar dari penginapan untuk mencari makan siang dulu. Inginnya sih beli ayam goreng di Shama Hlal Food, tapi ternyata masih tutup saat kami lewat, jadi kami terus berjalan untuk mencari tempat makan lain. Tidak lama kemudian, kami pun singgah di sebuah restoran bernama Brother's Cafe & Kitchen, yang menyediakan berbagai macam pilihan menu, mulai hidangan khas Nepal, India, sampai Western dan Chinese Food.
Suamiku hendak memesan fish finger, tapi sang pelayan berkata ikannya tidak ada, jadi diganti dengan BBQ chicken wings (NRs 165) dan black tea (NRs 25), sementara aku memesan khana set (NRs 150).
Kami menunggu hidangan disiapkan sembari mengamati tempat ini. Ruangannya biasa saja dan tidak terlalu besar. Di dalamnya agak sedikit gelap karena hanya mengandalkan cahaya matahari dari luar yang masuk melalui jendela kaca, sementara pintu keluar ditutup. Setelah kami datang juga ada beberapa tamu lain yang datang, dan entah kenapa, hidangan mereka lebih dulu siap. Sepertinya mereka memesan khaja set. Mungkin makanan yang dipesan suamiku yang agak lama disiapkan.
Baru setelah 40 menitan makanan kami dihidangkan. Lama sekali ya... Kami diberi sebotol air mineral yang masih bersegel beserta dua buah gelas, hal yang jarang terjadi selama kami makan di tempat-tempat yang sederhana di Nepal ini. BBQ chicken wings pesanan suamiku hanya berisi dua buah sayap ayam, yang sepertinya dimasak menggunakan kecap (selama di Nepal aku jarang sekali melihat masakan yang menggunakan kecap). Aku tidak tahu apa bedanya khana set dan khaja set, namun keduanya mirip dengan dal bhat. Kalau dari foto di menunya, lauk pauk pada khaja set diletakkan di samping nasi langsung, sedangkan lauk pauk dan kuah pada khana set dipisah di dalam mangkuk-mangkuk kecil yang diletakkan di samping nasi putih. Lauknya pun sederhana sekali, hanya tarkhari buncis dan kentang, tumisan sayuran hijau, kuah, beberapa iris timun, dan semacam bumbu kari yang kental.
Yang pasti, dengan memesan menu seperti ini, aku boleh menambah nasi putih atau kuahnya. Aku tidak berani minta tambah sayuran karena takut tidak boleh hehehehe... Jadi suamiku makan sayap ayamnya dengan nasi putih dari piringku, dan aku makan nasi dengan sayuran yang ada. Aku sampai minta tambah nasi dua kali dan kuah satu kali. Tamu-tamu lain yang makan pun kulihat berkali-kali menambah nasi atau kuah.
Setidaknya dengan NRs 340 kami bisa makan kenyang sekali deh hehehehe...
Setelah membayar, kami pun beranjak pergi, dan saat berjalan melewati Shama Hlal Food, tampak si bapak penjualnya sedang bersiap-siap di dalam warungnya. Aku menyempatkan diri mampir dan bertanya apakah nanti sore ayam gorengnya akan ada? Bapak tersebut menjawab yes yes. Tapi entahlah, aku tidak tahu apakah beliau benar-benar paham yang kutanyakan atau tidak hehehehe...
Setelah itu kami berjalan kaki berkeliling Thamel, dari ujung ke ujung. Aku berusaha mengambil foto sebanyak-banyaknya, karena aku ingin tetap mengingat wajah dan suasana di Thamel walaupun sudah tidak di sini lagi. Jalanan di Thamel siang hari ini cukup ramai dan matahari bersinar cerah.
Baru sekitar jam 1 siang kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Saat itulah putri kami yang berada di Invercargill, New Zealand, melakukan video call. Tujuan utamanya sih memberikan kabar gembira bahwa dia sudah mempunyai SIM resmi New Zealand, dan full license pula (ada learner license dan restricted license di mana pengemudinya masih harus diawasi). Memang kami berdua memintanya untuk ikut test membuat SIM di sana, karena SIM A Indonesia hanya bisa dipakai selama maksimal 1 tahun dari hari kedatangan di NZ. Untuk bisa mendapatkan SIM di New Zealand, ada tes teori dan tes praktek (di bawah pengawasan si penguji) yang harus lulus dengan nilai minimal, dan tidak ada istilah suap-menyuap. Sebelumnya putriku sempat tidak lulus tes teori, dan ternyata kali ini dia berhasil lulus kedua tes tersebut. Setelah itu kami bercerita-cerita mengenai banyak hal, dari A sampai Z, hingga tak terasa video call berlangsung selama hampir 2 jam hehehehe...
Karena hari sudah menjelang sore, kami mandi terlebih dahulu selagi air yang keluar dari shower masih panas. Tadinya kami mau membeli ayam goreng sekitar jam 5 sore, tapi karena takut kehabisan, usai mandi kami akhirnya langsung pergi menuju ke Shama Hlal Food, dan dari kejauhan tampak ayam gorengnya dipajang di dalam etalase. Wah, akhirnya kami bisa makan ayam goreng ini lagi ^_^
Karena ada yang seekor utuh, aku menanyakan harganya. Waktu pertama makan di sini, aku pernah bertanya harga ayam goreng ini, dan waktu itu dijawab NRs 300. Seingatku waktu itu yang kutanya adalah harga untuk seekor utuh. Kali ini saat kutanya lagi, sang bapak penjualnya mnejawab NRs 500 untuk yang utuh. Aku jawab, katanya waktu itu NRs 300, lalu beliau berkata, NRs 400 saja deh. Akhirnya aku setuju dan memesan 1 ekor ayam utuh dan 1 porsi nasi putih. Sudah kutegaskan bahwa aku minta nasi putih. White rice, no fried rice. Beliau manggut-manggut dan segera mengerjakan pesanan kami.
Setelah menunggu sekitar 10-15 menit, ayam yang sudah digoreng ulang pun dipotong-potong, sedangkan nasinya sudah dibungkus dalam kotak aluminium dari dalam dapur. Kami juga diberi irisan timun dan (sepertinya) lobak. Aku pun membayar sebesar NRs 500 untuk semuanya (nasinya NRs 100). Belakangan setelah usai makan aku baru menyadari bahwa dulu waktu si bapak mengatakan harga ayam yang NRs 300, sepertinya itu harga untuk 1/2 ekor ayam, bukan yang utuh. Dalam hati aku sedikit menyesal dan merasa iba, seharusnya tidak aku tawar harga ayamnya, karena mungkin aku yang salah mengerti waktu itu.
Di persimpangan JP Marg, kami mampir di sebuah toko yang menjual berbagai macam bumbu dan teh lokal. Kami pun mampir karena aku ingin membeli garam masala. Ternyata jenis bumbu masala di sini ada banyak sekali macamnya. Akhirnya aku membeli soup masala, meat masala, dan garam masala, yang masing-masing harganya NRs 130.
Setelah itu kami pun berjalan kembali ke penginapan. Saat itu waktu menunjukkan jam 4.45 sore. Sebetulnya kami hendak makan menjelang akan berangkat ke bandara, tapi apa daya mencium bau ayam goreng yang harum ini, akhirnya sampai di kamar kami memutuskan untuk langsung makan malam sekalian.
Saat membuka kemasan nasinya, ternyata oh ternyata... nasi yang diberikan adalah nasi goreng tapi tanpa saus-saus, sehingga warnanya tetap cenderung agak putih, tidak coklat seperti sebelumnya. Si bapak salah mengerti rupanya, dikiranya nasi putih adalah nasi goreng yang warnanya putih hahahaha.... Tapi nasi gorengnya enak kok, hanya saja tadinya kami berpikir kalau nasi putih biasa bisa dapat lebih banyak porsinya. Ternyata nasi goreng ini pun porsinya sangat banyak. Benar-benar makan malam terakhir yang mewah buat kami. Selesai makan kami berdua benar-benar merasa amat sangat kekenyangan, sampai untuk berdiri saja rasanya susah hehehehe....
Baru saja kami selesai makan, suamiku mendapat pesan chat dari Dawa, katanya dia pun sedang berada di Kathmandu, dan mau mengunjungi kami di penginapan sebelum kami pulang. Wah baiknya ya...
Benar saja, jam 5.30 petang, Dawa mengirim pesan bahwa dia sudah sampai di lobby penginapan, jadi kujemput dia dan kuajak naik ke kamar. Kami banyak mengobrol, menceritakan pengalaman kami masing-masing.
Ternyata Dawa masih ditugasi untuk mendampingi si pak tua Jerman yang bersamanya semenjak trekking. Dari ceritanya, terungkap bahwa pak tua tersebut adalah teman dari kakak Dawa, jadi selama ini Dawa mengantar pak tua tersebut kesana-kemari, membawakan barang-barangnya, tidak pernah dibayar. Upahnya hanya berupa makan dan akomodasi selama bepergian saja. Namun demikian Dawa tidak mengeluh, katanya dia cukup senang karena bisa mendapatkan pengalaman dan berkunjung ke tempat-tempat yang belum pernah didatanginya selama ini. Ternyata masih ada ya orang-orang lugu seperti ini.
Jam 6.15 petang, Dawa menawarkan diri untuk ikut mengantar kami ke bandara, yang tentu saja kami setujui. Dia membawakan barang-barang bagasi kami, lalu turun dan mencarikan taxi. Ada sebuah mobil taxi yang kemudian berhenti dan minta NRs 700 untuk mengantar kami ke bandara. Kami setuju, karena memang segitu tarif yang wajar.
Yang aneh adalah karena ada seorang laki-laki yang duduk di samping drivernya, dan laki-laki ini tidak turun saat kami masuk ke dalam taxi. Alhasil, kami bertiga duduk di belakang dengan dua backpack besar yang kami pangku. Kondisinya benar-benar sangat berdesakan, sampai menggerakkan tangan saja aku tidak bisa. Melihat kondisi di depan pun tidak bisa karena pandanganku tertutup backpack. Bernafas pun agak sulit jadinya. Tidak nyaman sekali sebetulnya, tapi aku juga tidak berani bertanya-tanya kepada Dawa, karena takutnya driver dan laki-laki di sebelahnya tersinggung (karena takutnya mereka mengerti bahasa Inggris dengan baik). Dari wajah mereka, driver dan temannya ini sepertinya kurang ramah. Sepanjang jalan pun mereka sama sekali tidak mengajak penumpangnya mengobrol.
Jalanan yang kami lewati rata-rata macet, beberapa bahkan sampai macet total. Jarak dari Thamel ke Tribhuvan International Airport hanya sekitar 6 KM, dan seharusnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar 25 menit, namun faktanya taxi yang mengantar kami ini membutuhkan waktu hampir 1 jam untuk sampai ke bandara. Untungnya karena waktu kami longgar, jadi kami tidak terlalu kuatir.
Karena selama di Kathmandu kami tidak pernah bepergian jauh dari Thamel, kami sama sekali tidak mengetahui bagaimana keadaan Kathmandu sesungguhnya. Ternyata cukup banyak bangunan-bangunan tinggi bertingkat yang modern, franchise fast food, dan mall-mall yang mewah di sepanjang perjalanan. Bisa dibilang bagian kota yang kami lewati ini sudah termasuk modern, tidak seperti bayanganku bahwa semuanya serbakuno.
Menjelang sampai di Tribhuvan International Airport, tampak banyak polisi yang sedang berdiri di tengah jalan dan menghentikan mobil-mobil yang lewat. Aku sudah berdebar-debar, kuatir ada masalah atau hal lain yang tidak diinginkan. Mobil kami pun dihentikan, dan sang polisi bercakap-cakap dengan driver taxi kami, dan Dawa pun sempat berkomentar. Aku sempat agak takut karena pak polisinya berkata dengan nada agak keras. Setelah itu mobil yang kami naiki diijinkan lewat, dan sesaat kemudian berhenti. Laki-laki yang duduk di sebelah driver turun, dan Dawa pindah ke bangku di sebelah driver.
Saat itu bandara sudah tampak berada di depan kami, dan hanya beberapa menit kemudian, kami sampai dan diturunkan di terminal keberangkatan internasional. Setelah membayar, kami pun turun dari taxi, dan setelah taxinya pergi, aku bertanya kepada Dawa, apa yang terjadi. Menurut Dawa, para polisi tadi merazia orang-orang yang tidak berkepentingan ikut ke bandara. Jadi ditanya berapa orang yang akan ke bandara, dan Dawa mengatakan kepada polisinya bahwa hanya kami bertiga yang benar-benar hendak ke bandara, karena itu laki-laki yang menumpang sedari awal tadi disuruh turun. Aku sebetulnya tidak mengerti untuk apa laki-laki tersebut ikut, tapi kalau dipikir-pikir lagi sekarang, mungkin dia mau mencari-cari para penumpang yang baru sampai, mungkin untuk menawarkan jasa guide atau apa pun itu. Kasarnya calo deh...
Setelah itu, karena waktu keberangkatan masih cukup lama dan pengantar tidak boleh masuk ke dalam terminal, kami berdua mengajak Dawa untuk membeli minuman dulu di sebuah cafe di pinggiran bandara ini. Suamiku memesan milk coffee (NRs 200) sementara Dawa memesan masala tea (NRs 100). Mahal sekali ya harga-harga di bandara ini, tiga kali lipat dari harga normal. Karena tidak ada tempat duduk, kami pun duduk di semacam pipa di depan cafe ini. Ternyata duduk di sini tidak nyaman, jadi kami sekalian berjalan keluar sambil mencari smoking area, yang letaknya ada di salah satu sudut luar bandara ini.
Saat di smoking area inilah kami menyaksikan sebuah terminal yang dipadati oleh penduduk lokal. Kami tidak tahu pasti mereka ini hendak ke mana, tapi kemungkinan mereka ini akan pergi ke luar negeri untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Terlihat ratusan orang yang semuanya laki-laki, mengantre dan berbondong-bondong di tempat ini.
Dari beberapa orang Nepal yang bercerita kepada kami selama kami berada di negeri ini, mereka berkata bahwa mencari pekerjaan di Nepal sangat susah, karenanya banyak yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Yang cukup menyedihkan adalah bahwa para pekerja dari Nepal ini seringkali mendapatkan upah lebih rendah daripada pekerja dari negara lain. Banyak pula orang Nepal yang bekerja di Arab Saudi, dan katanya mereka menerima perlakuan yang sangat buruk, seolah mereka hanya manusia kelas dua. Hal ini karena pada umumnya mereka dianggap bodoh atau lugu. Kasihan sekali ya. Karena itu banyak pula mereka yang sudah beberapa waktu bekerja di luar negeri, akhirnya memilih untuk pulang lagi, karena hasil yang mereka dapatkan tidak sepadan.
Usai menghabiskan sebatang rokok dan kopi susu yang dibeli, Dawa pun berpamitan hendak pulang, karena kami pun akan segera check-in. Katanya rumahnya dekat dengan Boudanath Temple, dan dia akan pulang naik bus. Itu pun dia masih membawakan bagasi kami sampai di pintu di mana dia tidak boleh ikut lagi. Benar-benar seorang manusia yang tulus dan baik hatinya. Semoga suatu saat kami masih bisa bertemu dengannya lagi...
Setelah paspor dan tiket kami diperiksa oleh seorang polisi perempuan, kami pun bergegas menuju ke loket check-in maskapai Malindo. Saat itu jam 7.20 malam, dan ternyata antreannya sudah panjang sekali. Kami pun berdiri dan ikut mengantre dengan sabar. Pelayanan check-in ini terkesan lambat menurutku, apalagi kadang yang dilayani adalah rombongan-rombongan yang kadang makan waktu lama. Di bagian depan tampak serombongan biksu perempuan yang tampaknya masih sangat muda-muda sekali usianya, mungkin baru sekitar 20 tahunan, beserta seorang pembimbing mereka, seorang biksu laki-laki yang sudah berusia lanjut.
Dengan penuh kesabaran sembari menahan beban backpack di punggung, aku mengantre sementara aku menyuruh suamiku duduk saja dulu di sebuah sudut agar tidak terlalu lelah berdiri terus-menerus. Akhirnya kami berdua dilayani dan mendapatkan boarding pass untuk kedua penerbangan kami. Prosesnya lancar dan tidak ada kendala sama sekali. Masing-masing bagasi kami beratnya hanya sekitar 10 kg saja dari total jatah 30 kg yang diberikan kepada masing-masing penumpang.
Setelah itu kami masih mengisi kartu untuk meninggalkan negara ini. Aku juga sempat ke toilet dan ternyata toiletnya relatif bersih dan modern. Setelah kami merasa siap, kami berjalan melewati security bandara dan seterusnya tanpa ada hambatan. Ketika antre ini ada kejadian lucu. Aku mengantre di barisan yang panjang sekali bersama suamiku, dan beberapa saat kemudian, seorang laki-laki yang datang di belakang kami berusaha memberitahuku untuk pindah antrean ke sebelah kiri. Ternyata tempatku antre ini adalah khusus laki-laki, dan aku benar-benar tidak menyadarinya hahahaha...
Akhirnya aku pindah ke antrean khusus perempuan yang jauh lebih pendek dan memang petugas di sini semuanya perempuan. Setelah melewatkan semua barang melalui mesin X-ray, aku lewat tanpa hambatan. Di sinilah paspor kami dicap lagi.
Aku masih menunggu cukup lama sampai suamiku selesai melewati security, karena memang antreannya panjang. Setelah itu kami berdua melewati petugas lagi yang mengecek paspor kami. Ada turis lain yang paspornya belum dicap, sehingga disuruh kembali ke petugas security sebelumnya untuk mendapatkan cap tersebut. Setelah berjalan lagi, akhirnya jam 8.30 malam kami sampai dan masuk ke ruang tunggu di Gate 3 tempat kami akan berangkat.
Kami mencari tempat duduk di sudut belakang agar tidak banyak orang yang lalu lalang. Ruangan tunggu di sini tidak terlalu besar dan semakin malam semakin banyak orang yang datang dan duduk di ruangan tunggu ini. Kami berdua duduk dan bersantai sembari menunggu waktu, mengamati orang-orang di sekitar kami. Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah galon air beserta tumpukan gelas plastik yang sepertinya baru, dan siapa pun boleh mengambil air minum tersebut.
Aku sempat masuk ke dalam toilet yang letaknya cukup dekat dengan tempat kami duduk. Duh, kali ini toiletnya kotor! Ada 2 toilet duduk dan 2 toilet jongkok. Semuanya kotor, bau, dan sepertinya air pun tidak mengalir keluar dari kran. Mengenaskan sekali. Ini bandara internasional lho... aku tidak sampai hati memotretnya :(
Menjelang jam keberangkatan, belum ada tanda-tanda para penumpang dipanggil. Menit demi menit berlalu, dan ada pengumuman bahwa penerbangan kami ditunda 2 jam. Duh! Rasanya badan sudah cukup lelah dan tidak nyaman, sementara kami masih harus menunggu dan menunggu lagi. Kami pindah ke tempat duduk yang lebih nyaman, dengan colokan listrik untuk mengecharge HP. Aku juga sempat berusaha tidur, namun tetap terjaga walau mata terpejam. Setelah 2 jam berlalu, masih belum ada panggilan untuk boarding. Kami berdua hanya bisa pasrah. Sementara penumpang-penumpang lain dengan berbagai tujuan penerbangan sudah banyak yang dipanggil untuk boarding, kami dan banyak penumpang lain yang akan menuju ke Kuala Lumpur harus tetap menanti dengan sabar.
Saat aku ingin ke toilet lagi, suamiku memberi tahu untuk ke toilet di gate lain saja, katanya di sana relatif bersih dan sepi. Aku pun menuju ke toilet di Gate 5 tersebut. Toilet di sini ruangannya jauh lebih besar, dengan lebih dari 10 toilet di dalamnya. Suasana di dalam toilet sepi, tidak ada orang lain. Kalau boleh jujur, suasananya agak creepy, apalagi ditambah lampunya remang-remang. Entah mengapa, yang terbayang di benakku saat itu seperti berada di lorong rumah sakit yang seram. Aku berusaha cuek dan memberanikan diri untuk masuk ke dalam salah satu toiletnya, yang memang bersih. Hanya suasananya saja yang memang menyeramkan hehehehe...
Waktu terus berlalu dengan membosankan, dan baru sekitar jam 00.30 pagi, para penumpang Malindo Air tujuan Kuala Lumpur disuruh pindah ke Gate 5. Sudah tidak ada lagi barisan atau antrean. Semua orang saling berdesakan, hendak maju lebih dulu.
Entah apa saja yang dilakukan oleh petugasnya, proses boarding ini pun lama sekali. Para penumpang dibiarkan berdiri dan berdesakan begitu saja di depan pintu keluar. Ada beberapa pemuda Nepal (berwajah India semua) yang entah kenapa, mendapatkan pemeriksaan lebih intensif, sementara yang berwajah turis seperti kami tidak ada perlakuan yang ketat.
Akhirnya sekitar jam 1 dini hari kami baru bisa duduk di dalam pesawat. Aku hanya bisa berdoa dan berharap kami masih bisa mengejar penerbangan kami yang berikutnya dari Kuala Lumpur menuju ke Jakarta jam 7.30 pagi waktu setempat, karena harusnya transit hanya 3 jam, namun delaynya sendiri hampir 4 jam dari Kathmandu.
Baru pertama kali ini pula, begitu pesawat lepas landas aku langsung merasakan gejolak di perutku. Tiba-tiba saja aku merasa mual, dan lama-kelamaan semakin mual. Aku menyandarkan kepala di bahu suamiku dan berusaha memejamkan mata agar rasa mual ini tidak semakin menjadi. Sedikit demi sedikit akhirnya rasa mual itu berkurang dan mereda.
Setelah pesawat terbang dalam keadaan stabil, pramugari membagikan makanan untuk semua penumpang. Aku melihat isinya, nasi kuning dengan lauk masakan sayur dan masakan ayam, yang bau bumbu masalanya kuat sekali. Tidak mirip rendang, opor, atau dal bhat. Saat itu waktu menunjukkan jam 1.45 dini hari, dan mungkin karena kondisiku yang sudah lelah sekali, ditambah mual yang sebelumnya kualami, rasanya aku kehilangan selera makan, walaupun sebetulnya perutku mulai lapar. Aku mencoba makan sayur-mayur yang ada, dan suamiku makan ayamnya dengan sedikit nasi. Kuah dan bumbunya terasa asin sekali di lidahku. Biasanya aku suka masakan dengan bau rempah, namun kali ini sepertinya bumbu masalanya agak terlalu banyak, bahkan dari nasinya pun tercium aroma masala yang kuat. Kami berdua pada akhirnya tidak sanggup menghabiskan makanan ini, lebih karena rasa dan aroma yang tidak cocok daripada besar porsinya :(
Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidur dengan menyandarkan kepalaku di meja lipat, atau "mlungker" dan menyandarkan diri ke jendela. Perjalanan selama hampir 5 jam menempuh jarak sekitar 4.500 KM ini terasa cukup lama dan melelahkan.
Menjelang jam 5 pagi, fajar mulai menyingsing. Matahari mulai memancarkan cahayanya yang kuning oranye di balik awan-awan kelabu. Indah sekali...
Kami mendarat dengan selamat di Kuala Lumpur International Airport sekitar jam 7.50 pagi waktu setempat. Sudah pasti tidak akan bisa mengejar penerbangan selanjutnya. Namun saat masih di dalam pesawat, ada pemberitahuan bahwa bagi para penumpang yang memiliki penerbangan lanjutan bisa menghubungi petugas Malindo Air di pintu keluar, jadi kami agak lega. Setelah menunggu cukup lama akhirnya para penumpang mulai keluar dari dalam pesawat, dan begitu sampai di dalam terminal, sudah ada beberapa petugas yang menanti sambil menanyakan apabila kami ada penerbangan lanjutan. Ternyata banyak sekali penumpang yang hanya transit sementara di bandara ini, ada yang tujuan akhirnya ke Jakarta seperti kami, dan banyak pula yang ke Singapura atau Australia.
Kami berdiri menunggu bersama beberapa penumpang lainnya hingga semua penumpang sudah turun dari pesawat, lalu oleh kru Malindo Air kami diajak menuju ke salah satu counternya. Rata-rata semuanya dialihkan ke penerbangan berikutnya, demikian juga kami. Proses menunggu sampai mendapatkan boarding pass yang baru inilah yang makan waktu sangat lama, dan kami mendapatkan jatah penerbangan berikutnya yang akan berangkat jam 11.30 siang, dengan waktu kedatangan jam 12.30 siang di Jakarta. Yang jadi masalah kemudian adalah bahwa kami masih harus terbang lagi dari Jakarta menuju ke Banyuwangi. Tadinya penerbangan ini dijadwalkan akan berangkat jam 2.10 siang, namun kemarin kami mendapatkan SMS bahwa penerbangan ditunda menjadi jam 4 sore. Ya sudahlah, kami hanya bisa pasrah dan berharap tidak ketinggalan pesawat, karena kami masih belum tahu nantinya di bandara Jakarta akan butuh waktu berapa lama untuk pindah terminal. Dari yang aku dengar, terminal untuk penerbangan internasional jaraknya jauh ke terminal domestik.
Setelah lebih dari satu jam menunggu dan setengah memaksa kepada petugasnya agar kami semua segera dilayani, akhirnya boarding pass untuk penerbangan berikutnya keluar juga. Selain itu kami juga diberi voucher untuk sarapan di sebuah restoran di dalam bandara ini.
Maka setelah kami memegang boarding pass, kami menuju ke Old Town White Coffee, cafe yang ditunjuk oleh Malindo, untuk makan terlebih dahulu. Nilai vouchernya kalau tidak salah ingat RM 20 (sekitar 70 ribu rupiah) per orang. Antriannya cukup panjang, dan lagi-lagi kami harus antre. Setelah tiba giliran kami dilayani, kulihat menu yang tersedia. Harga makanannya saja yang paling murah sekitar RM 17 per porsi, jadi kami memesan dua porsi nasi lemak dan secangkir kopi agar total nilainya tidak melebihi voucher yang diberikan. Kebanyakan orang-orang masih harus menambah uang karena memesan makanan dan minuman melebihi voucher.
Akhirnya kami bisa duduk dengan agak santai di dalam cafe ini, sambil memperhatikan pesawat-pesawat Malaysia Airlines yang tampak terparkir di luar jendela kaca yang besar. Suasana di cafe ini juga ramai, sepertinya penuh dengan para penumpang Malindo Air yang penerbangannya tertunda seperti kami.
Setelah menunggu sekitar 10 menit, akhirnya makanan kami siap dihidangkan. Baru sekali ini kami mencicipi nasi lemak ala Malaysia. Nasinya agak gurih, dengan lauk ayam goreng tepung, teri goreng asin, kacang goreng, kulit pangsit, acar, dan sambal. Menurutku pribadi, masih lebih enak nasi uduk Indonesia sih. Sambalnya tidak pedas, bahkan asin sekali. Teri gorengnya juga agak keasinan. Tapi secara keseluruhan lumayanlah, aku masih bisa menghabiskan seporsi makanan ini. Mungkin lama tidak makan makanan ala Indonesia, jadi senang sekali bisa makan sesuatu yang mirip dengan masakan Indonesia hehehehe...
Usai makan, kami berjalan-jalan dan membeli sebotol Johnnie Walker Island Green. Di Eraman KLIA ini minuman beralkohol memang murah sekali. Setelah membayar dan melihat-lihat, kami berjalan menuju ke gate keberangkatan kami yang ternyata jauh sekali letaknya. Setelah sampai, kami berdua duduk di bangku-bangku yang disediakan. Di dalam ruangan ini sudah banyak yang berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, tapi selain karena kondisi fisik yang lelah, kami agak malas untuk basa-basi atau mengobrol dengan orang lain di ruangan ini karena sepertinya mereka juga sibuk dengan urusannya masing-masing dan kurang friendly.
Kami bersyukur penerbangan kali ini tidak sampai delay lagi. Yah ada sedikit terlambat sih, tapi hanya beberapa menit saja, masih bisa dimaklumi. Di dalam perjalanan selama hampir 2 jam menuju tanah air ini, semua penumpang diberi snack dan air minum. Aku berusaha untuk istirahat selama perjalanan pendek ini. Suamiku pun tertidur, karena saat penerbangan dari Kathmandu menuju Kuala Lumpur, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Akhirnya sampailah kami di Soekarno Hatta International Airport. Senangnya bisa menginjakkan kaki di bumi pertiwi!
Keluar dari pesawat, kami melewati bagian imigrasi dengan lancar. Kemudian menunggu bagasi keluar inilah yang makan waktu lama. Sepertinya hampir satu jam kami menunggu, karena bagasi kami keluar belakangan. Setelah itu melewati bagian customs, semuanya berjalan dengan sangat lancar. Tidak ada barang-barang kami yang diperiksa atau dicurigai oleh petugas saat melewati mesin X-ray. Padahal sebelum pergi ke Nepal sedang heboh-hebohnya kasus di mana banyak orang yang harus membayar pajak untuk barang-barang yang mereka beli di luar negeri. Mungkin karena wajah-wajah kere dan kumal kami ya... hahahaha....
Akhirnya sekitar jam 1.40 siang, kami keluar dari terminal 2E. Beruntung sekali kami memesan penerbangan pulang ke Banyuwangi dengan NAM Air, karena lokasinya di terminal 2F, jadi sepertinya tidak terlalu jauh berjalan kaki ke sana. Suasana di luar bandara ramai sekali, penuh dengan manusia. Hujan turun dengan derasnya membasahi tanah Jakarta, sehingga bisa sedikit mendinginkan cuaca yang panas sekali.
Kami masih ke smoking area dulu, baru kemudian menuju ke terminal 2F dan check-in di counter Sriwijaya Air. Tadinya proses check-in ini pun lama karena banyak sekali yang hendak check-in, untungnya beberapa petugas kemudian membuka beberapa counter lain, sehingga antrean yang panjang bisa terurai.
Usai proses check-in, kami langsung berjalan melewati security dan menuju ke gate yang ditentukan. Waktu sudah menunjukkan jam 2.15 siang, dan kami sudah cukup lelah semenjak tadi malam, sehingga kami berharap bisa segera pulang.
Nasib oh nasib... setelah menunggu sekian lama, ternyata pesawat kami yang sudah direschedule pun harus ditunda lagi. Aku tidak mau berprasangka buruk atau sampai emosi gara-gara delay, karena cuaca di luar memang tampak buruk. Hujan deras disertai angin kencang sampai pohon-pohon besar pun tampak bergoyang-goyang. Aku lebih baik menunggu asalkan bisa pulang dengan selamat. Parahnya, delay ini terjadi sampai dua kali. Beberapa penumpang lain sampai marah-marah dan protes di counter petugas. Sementara para penumpang dengan tujuan penerbangan ke kota lain sudah berkali-kali dipanggil untuk boarding, hanya tersisa para penumpang tujuan Banyuwangi saja yang masih menanti dan menanti.
Setelah menunggu lebih dari 3 jam di ruangan ini, akhirnya menjelang jam 6 petang kami dipanggil untuk boarding. Pesawat NAM Air ini berisi 6 tempat duduk per barisnya dengan layout 3-3, namun demikian masih lebih nyaman pesawat Garuda yang lebih kecil, di mana layout tempat duduknya hanya 2-2. Setiap penumpang juga memperoleh jatah bagasi 20 kg, sama seperti Garuda, karena keduanya termasuk full service airlines. Untuk snack yang diberikan, menurutku pribadi masih lebih enak snack yang dari Garuda.
Setelah terbang selama sekitar satu jam menempuh jarak sekitar 1.100 KM, sampailah kami di Bandara Banyuwangi tepat jam 7 malam. Setelah turun dari pesawat, kami masih harus berjalan kaki di dalam kegelapan untuk menuju bangunan terdekat dan menantikan bagasi di tempat ini. Setelah itu barulah kami naik bus yang disediakan oleh pihak bandara, menuju bangunan yang menuju ke pintu keluar. Aku agak heran karena sepertinya waktu berangkat kami tidak melewati bangunan yang besar ini, dan terakhir kami naik pesawat dari Surabaya ke Banyuwangi pun tidak seperti ini.
Sesampainya di pintu keluar bandara, teman kami Tri sudah menunggu kedatangan kami. Dia menjemput kami dengan mobil yang kami titipkan kepadanya selama 1 bulan terakhir ini. Menurut Tri, penggunaan gedung bandara yang baru ini baru saja dimulai kemarinnya. Hmmm tidak heran kami sampai tidak mengenali bandara Banyuwangi ini karena waktu berangkat gedung ini belum mulai dioperasikan hehehehe...
Ah, senang sekali rasanya melakukan perjalanan pulang tahap terakhir dengan naik mobil kami sendiri. Bisa duduk dengan lega dan nyaman di kursi penumpang, tanpa harus berdesakan lagi. Kami sampai dengan selamat di rumah tercinta sekitar jam 8 malam. Begitu memasuki gerbang garasi, Tyson langsung menyambut kami dengan gembira. Aku yakin dia kangen sekali dengan kami berdua hahahaha....
Malam hari pun kami habiskan dengan membereskan barang-barang di backpack dan masak sederhana untuk makan malam. Akhirnya aku bisa kembali makan tempe hehehehe... Dan yang paling penting, bisa kembali merasakan tidur di kasur sendiri dengan bantal dan guling!!!
Aku membawa pulang oleh-oleh kaki yang terkilir dan lutut yang semakin parah kondisinya dibandingkan sebelum pergi, ditambah batuk pilek. Anehnya, setelah 2 hari berada di rumah tanpa minum obat apa pun, batuk dan pilekku sembuh begitu saja. Sepertinya efek dari berhenti makan nasi dan beralih kepada sayur-mayur dan buah-buahan seperti kebiasaanku sebelumnya. Selama di Nepal memang aku setiap hari makan nasi dengan porsi kuli, dan kurang banyak makan sayur dan buah hahahaha...
Kakiku yang sakit pun tidak membuatku jera untuk trekking lagi. Lututku memang sudah selalu sakit semenjak operasi Februari 2016 lalu. Hanya perlu lebih banyak olahraga dan latihan agar kondisinya bisa lebih kuat. Engkelku yang keseleo, relatif sudah sembuh saat tulisan ini dibuat, hanya sepertinya tidak akan bisa sempurna seperti dulu.
Nah untuk pengeluaran, tanpa memperhitungkan belanja oleh-oleh (karena oleh-oleh sifatnya relatif dan subyektif, bisa membeli sesuai selera dan kemampuan masing-masing), rinciannya kurang lebih demikian:
- Tiket pesawat PP terhitung dari Banyuwangi : 6,5 jutaan/orang
- Visa On Arrival (30 hari) : 530 ribuan/orang
- Ijin trekking (TIMS & ACAP) : 1.070 ribuan/orang
- Alat-alat trekking (bisa dipakai di kemudian hari untuk travelling ke mana pun) : 2,9 jutaan/orang (meliputi sleeping bag (katanya bisa sampai -20, tapi tulisan di barangnya sampai -10), down jacket (walaupun fake brand tapi kualitas OK dan waktu itu hangat di suhu kurang dari -20), windproof jacket, double layered zip fleece, double layered gloves, socks, camping stove, trekking poles-yang akhirnya malah hilang, gaiter, knee support, beanie, dan syal)
- Biaya hidup selama 1 bulan: 5,5 jutaan/orang (sudah termasuk biaya trekking selama 9 hari, akomodasi/hotel, makan, snack, alkohol, transportasi, pokoknya semuanya deh).
- Kalau dipisahkan dari 5,5 juta di atas, biaya selama trekkingnya sendiri selama 9 hari adalah sekitar 1,25 juta/orang (all-in sudah termasuk transport dari dan ke Pokhara, makan, snack, akomodasi)
Jadi kalau dipikir-pikir yang paling mahal tetaplah harga tiket pesawatnya. Untuk biaya hidup sehari-hari bisa ditekan karena kami berusaha mencari akomodasi maupun makanan yang ekonomis tarifnya.
Aku tahu, seringkali orang menyangka kami berdua ini banyak harta (persisnya: uang), karena belakangan kami sering bepergian dalam jangka waktu yang lama (bisa ke NZ selama 3 bulan, ditambah ke Nepal 1 bulan hanya dalam tahun 2017 saja). Namun lebih sering orang lain hanya melihat dari luarnya saja.
Waktu kami tinggal selama 3 bulan di NZ, kami pun lebih banyak hidup irit dan hampir tidak pernah membeli makan di luar. Untuk akomodasi pun lebih banyak menumpang di flat putriku. Karenanya pengeluaran selama di sana bisa dibilang tidak terlalu banyak.
Apalagi waktu ke Nepal ini, aku sudah menceritakan apa adanya keadaan kami selama tinggal di sana. Jujur saja, aku tidak yakin semua orang mau atau bisa hidup seperti kami berdua selama di sana. Dengan berbagai alasan, orang akan memilih tidur di hotel atau minimal penginapan yang layak. Dan berapa banyak orang yang mau bangun subuh setiap hari atau repot-repot masak selama bepergian?
Namun orang hanya beranggapan dan berasumsi hanya dari apa yang mereka lihat dari luarnya saja. Kalau dulu aku masih merasa sungkan atau takut dianggap sombong atau sok kaya dengan travelling ke luar negeri, tapi belakangan aku tidak mau terlalu ambil pusing lagi dengan apa kata orang. Kalau ada orang yang berkata, wah duitmu banyak ya jalan-jalan terus, aku akan menjawabnya dengan sebuah kata dan senyuman Amiiiiin hehehehe...
Faktanya adalah kami memang dari keluarga biasa-biasa saja. Tabungan memang ada, tapi tidak bisa dibandingkan jumlahnya dengan para pengusaha sukses lainnya, apalagi sebagian besar sudah habis untuk biaya sekolah putriku di NZ sana. Kami berdua selalu berusaha hidup irit setiap hari di rumah, dan berusaha menyisihkan sesedikit apa pun untuk ditabung. Bahkan saat masih tinggal di Pokhara, kami sempat kehabisan uang dan rekening tabungan masih kosong. Untungnya hari itu karyawan di toko melakukan setor uang, jadi terselamatkanlah hidup kami hahahaha....
Prinsipku, pengalaman hidup lebih berharga daripada harta duniawi, apalagi barang-barang bermerk. Dan selagi kaki ini masih kuat melangkah, bahu ini masih kuat menyandang backpack, aku akan berusaha menjelajah ke mana pun aku bisa. Yang penting tidak sampai membebani orang lain, apalagi ngutang hahahaha...
Sebetulnya travelling tidak harus ke luar negeri sih, hanya saja kadang ingin menjelajah ke luar pulau biayanya malah lebih mahal. Belum lagi anggapan orang Indonesia pada umumnya bahwa orang keturunan Tionghoa pasti kaya, jadi malah dipalak sana-sini.
Aku bersyukur suamiku mau mendukung keinginanku ini, walaupun kadang masih ngomel atau mengeluh kalau sedang mengalami masa-masa tidak nyaman hehehehe... Aku bisa memaklumi karena dulunya dia terbiasa hidup nyaman dan bukan tipe orang spontan seperti aku. Karenanya kadang aku masih berkompromi dengan keinginannya supaya dia juga menikmati perjalanan kami berdua.
Secara keseluruhan, perjalanan selama satu bulan penuh ke Nepal ini sangat berkesan bagiku. Dibandingkan dengan New Zealand, mungkin alam di New Zealand jauh lebih indah dan fotogenic, segala sesuatu lebih nyaman dan teratur, dan fasilitas umum pastinya jauh lebih baik, namun demikian perjalanan kami ke Nepal ini adalah perjalanan yang paling berkesan dalam hidupku. Backpacking kami ke Nepal ini menjadi pengalaman pertama kami melakukan travelling dalam arti sesungguhnya. Bukan hanya sekedar mengunjungi tempat-tempat wisata yang populer atau menginap di hotel-hotel yang fancy, namun benar-benar merasakan pengalaman untuk tinggal bersama penduduk setempat dan mempelajari perbedaan budaya dan cara hidup sehari-hari.
Nepal... negeri yang tak pernah kubayangkan akan kukunjungi. Tak kusangka, hanya dalam waktu sebulan berada di negeri ini, begitu banyak yang kuperoleh. Kebaikan dari orang-orang setempat, ketulusan dan persaudaraan yang mereka tawarkan kepada kami. Kami jadi memiliki saudara-saudara baru di negeri ini, bahkan sampai saat ini, aku masih sering bertegur sapa dengan mereka yang ada di sana. Mereka semua berharap kami bisa segera kembali ke negeri ini. Mudah-mudahan demikian.... ^_^
Aku tidak akan melupakan kalian semua, sahabat dan saudara-saudara baruku! And hopefully we will be able to travel to Nepal again to meet you all!!!
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan menginspirasi bagi yang membacanya untuk travelling ke Nepal ^_^
Rencana kami berdua, apabila tidak ada halangan, kami akan kembali jadi backpackers untuk menjelajah Vietnam dan Laos selama 2 bulan mulai akhir bulan Maret mendatang. Mudah-mudahan semua bisa berjalan dengan lancar, karena tentunya akan kutulis juga kisah kami berdua nantinya ^_^
---- END OF NEPAL BACKPACKING SERIES ---
No comments:
Post a Comment