DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Friday, August 11, 2017

NZ TRIP 2016 (PROLOGUE)

PROLOG



Sesungguhnya, perjalanan kami ke New Zealand pertama kali pada tahun 2015 lalu, bukan karena ingin jalan-jalan di sana, namun lebih untuk "melihat situasi"  bagaimana kondisi di negara tersebut, yang katanya termasuk salah satu negara paling aman di dunia.

Bahkan, sebelum ke NZ tersebut, aku ini tipe orang yang sudah nyaman dengan keadaan di rumah, malas keluar rumah, apalagi pergi ke luar negeri. Aku merasa "terpaksa"  banget pergi waktu itu. Namun aku dan suami sudah memilih NZ sebagai negara tujuan untuk putri kami melanjutkan sekolahnya setamat SMA, karenanya kami harus memastikan bahwa NZ sebaik apa yang dikatakan orang. Selain itu aku juga tidak mau putriku merasa terpaksa menempuh pendidikan di tempat yang tidak dia sukai atau tidak dia ketahui sebelumnya.

Setelah menyaksikan sendiri bagaimana keadaan pada umumnya di NZ, aku pun jatuh cinta pada negeri yang luar biasa indahnya ini. Bukan hanya pada keindahan alamnya, namun pada keteraturan dan suasana di sana. Dan setelah kunjungan pertama kami, putriku pun setuju untuk melanjutkan pendidikannya di sana.

Maka kami pun sudah mulai mencari sekolah-sekolah di sana. Putriku ingin mengambil bidang cookery alias masak, karenanya kami banyak mencari info mengenai sekolah-sekolah cookery di sana, utamanya di Auckland, kota terbesar dan paling padat penduduknya di NZ.

Banyak sekali sebetulnya sekolah yang membuka program cookery di Auckland dan di kota-kota lain. Akhirnya kami memilih NSIA di Auckland dengan banyak pertimbangan. Lokasi, biaya, transportasi ke kampus, dsb.

Eh nanti dulu, jangan dikira kami ini berkelimpahan harta ya... Untuk bisa melanjutkan pendidikan di NSIA yang notabene jauuuuuh lebih murah dibandingkan sekolah ternama seperti Le Cordon Bleu (tarifnya bisa 10 kali lebih mahal), kami akan harus menghabiskan tabungan seumur hidup kami, plus untuk biaya hidup baru ada untuk sekitar 3-6 bulan hahahaha....

Untungnya putriku juga punya jiwa petualang dan nekat sepertiku hehehehe... jadi di awal sebelum mendaftar, sudah kujelaskan bahwa kami akan mengusahakan untuk biaya hidupnya bisa ditanggung selama 6-12 bulan, tapi setelah itu dia akan harus kerja untuk menghidupi dirinya sendiri di sana (di luar biaya pendidikan). Putriku menyanggupi dengan segera.

Jadilah kami daftar di NSIA, memakai jasa sebuah agen pendidikan di Jakarta dengan satu staff perempuan yang menangani kami. Mulai mengisi form, mengirimkan ijasah yang diterjemahkan dan sebagainya, sampai akhirnya bulan Desember 2015 statusnya diterima sebagai pelajar di sana, dengan syarat lulus test IELTS yang dilakukan oleh pihak NSIA sendiri. Testnya sendiri tidak harus dilakukan di lembaga IELTS, tapi bisa dilakukan di Surabaya, di tempat cabang agen pendidikan tersebut. Untuk listening dan speakingnya dilakukan dengan wawancara online oleh staf dari NSIA langsung. Setelah beberapa waktu, hasil test keluar, hasilnya 6.5 (syarat nilai rata-rata minimal adalah 5.5), jadi dinyatakan resmi diterima.
Seneng banget yah.... lalu kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk biaya. Untuk pendaftaran sampai diterima memang tidak membutuhkan biaya apa pun. Semua berkas pun dikirimkan secara online. Kami pun memesan tiket untuk berangkat ke NZ sekalian pulangnya, dengan rencana stay selama 1 bulan di sana.

Nah, rencananya, bulan Mei kami baru mau apply visa dan melakukan pembayaran (main course baru dimulai September 2015). Tahu sendiri kan, persyaratan membuat visa kadang bisa merepotkan, apalagi ini student visa.

Hmmm singkat cerita saja ya... karena keadaan keuangan kami yang terbatas bla bla bla, sepertinya staff agen pendidikan ini bukannya mempermudah malah menyulitkan kami dan cenderung menakut-nakuti, padahal sejak awal dia sudah tahu kondisi keuangan kami. Aku sudah sempat banyak bercerita tentang keadaan keluarga kami. Menurutnya, total deposito yang nganggur saja harus minimal 600 jutaan. Weits, dari mana dapat duit sebanyak itu???

Banyak "drama" yang terjadi setelah itu, dan kami sampai cukup stress karenanya, kelimpungan mau cari pinjaman dana sana-sini hanya untuk dicetak di buku tabungan. Kebetulan aku pun curhat dengan salah seorang kawan yang tinggal di Taupo, North Island, NZ. Sebut saja namanya SM. Kami berkenalan lewat group FB saat aku share pengalamanku ke NZ tahun 2015 tersebut. Orangnya baik banget, makanya bisa curhat dan minta pendapat. Dia sendiri juga menempuh pendidikan di sana, dan sekarang sudah jadi chef di sana loh! Hebat ya ^_^

Nah, aku dikenalkan oleh SM pada salah seorang temannya lagi, sebut saja namanya C. C adalah orang Indonesia yang jadi agen pendidikan dan tinggal di NZ, jadi lebih tahu situasi dan keadaan. Dia banyak membantu orang-orang Indonesia yang ingin bersekolah di sana.

Setelah mengontak C, timbul harapan baru, karena kata C, persyaratannya tidak sesulit itu. Tapi kan aku dan suami tidak bisa begitu saja memutuskan hubungan dengan agen pertama yang di Jakarta. Jadi aku hanya berusaha memberikan argumen pada agen pertama, yang mana akhirnya justru berujung pada kejengkelan setengah mati, dan akhirnya aku dan suami memutuskan untuk tidak memakainya lagi. Jadi bukan karena C ya, aku dan suami memutuskan hubungan dengan agen pertama, tapi lebih kepada ketidakprofesioanalan si staff itu sendiri.

Jadilah kami ingin memakai jasa C untuk melanjutkan pengurusan pendaftaran di NSIA. Tapi apa yang terjadi? Si agen dari Jakarta menghubungi pihak NSIA dan meminta tidak boleh ada agen lain yang menangani kalau anakku mau masuk ke sana. Wow!!! Belakangan baru aku tahu, agen-agen pendidikan di Indonesia (mungkin di negara-negara lain juga) yang bisa mendapatkan siswa untuk suatu sekolah dengan tarif internasional, komisinya tinggi banget. Ada yang bilang 20%, ada juga yang bilang mencapai 40% dari total biaya pendidikan itu sendiri. Memang perbandingan biaya antara local student dengan international student bisa bagaikan langit dan bumi sih...

Seharian itu aku dan suamiku stress berat, rasanya tidak keruan, berusaha memikirikan jalan keluar lain. Bagaimana tidak, tiket semua sudah dipesan, dibayar, sudah booking apartemen 2 kamar untuk 2 minggu via AirBnB. Lalu kami pun beberapa kali video call dengan C. Awalnya kami menanyakan barangkali dia tahu sekolah lain di Auckland yang ada program cookery sampai Level 5 seperti NSIA. Tapi rata-rata jadwal kuliahnya atau biayanya tidak cocok.

Lalu C mencoba menawarkan kepada kami untuk sekolah di SIT, berlokasi di Invercargill, kota terselatan di South Island. Ide yang agak susah diterima sebetulnya. Lalu C mulai menjelaskan seperti apa kehidupan di Invercargill. Biaya-biaya akomodasi dan kebutuhan hidup yang lebih murah (untuk akomodasi bahkan bisa 1/3 - 1/4 biaya di Auckland), selain itu untuk siswa baru dari Indonesia, diberikan beasiswa berupa potongan harga sebesar 25% dari tuition fee-nya. Plus ada free English course selama 6 bulan, jadi tidak perlu test IELTS dari Indonesia, tapi bisa sambil mengikuti English course, dan test dilakukan di sana.

Main course-nya sebetulnya masih bulan Februari, namun kami bisa tetap berangkat sesuai jadwal tiket (bulan September) dan putri kami bisa mengikuti English course dulu sembari menanti main course dimulai.

Dari sanalah semangat kami pun bangkit. Butuh waktu untuk menjelaskan kepada putriku sampai dia mau menerima dan setuju bahwa ini adalah yang terbaik untuk saat itu, dan mau daftar di SIT.

Dari kejadian ini pula lah, aku dan suamiku jadi paham betul, betapa para agen pendidikan yang ada di Indonesia ini, rata-rata hanya cari keuntungan saja tanpa mempedulikan kepentingan kliennya. Setelah kami memutuskan tidak memakai agen pendidikan itu lagi, si staff marah-marah, pasang status di FB dan setengahnya meneror dan menakut-nakuti kami, sampai akhirnya aku blokir semua kontaknya.
Di lain pihak, aku sangat bersyukur karena proses pendaftaran di SIT ini berjalan lancar. Kami pun tidak harus bayar biaya selama 1 tahun, namun uang muka saja selama English course. Uang jaminan untuk membuat student visa juga jauh lebih ringan (sisa pembayaran untuk tahun pertama + biaya hidup 1 tahun saja, bukan uang sekolah 2 tahun + biaya hidup 2 tahun seperti syarat NSIA).

And you know what? Visaku dan suamiku diuruskan oleh staf C di Jakarta, tanpa biaya tambahan apa pun. Dan mungkin karena diapply bersamaan, aku dan suamiku langsung dapat visitor visa selama 2 tahun! Waaaah senang sekali deh ^_^

Maka sisa waktu 1-2 bulan digunakan untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa oleh putriku nantinya. Persiapannya sudah tidak seheboh tahun sebelumnya, namun barang bawaannya tetap banyak, maklum seperti orang mau pindah rumah hehehehe....

Yang paling lama adalah mempersiapkan itinerary, 3 bulan kuhabiskan untuk mengerjakan itin ini dengan sebaik-baiknya. Kami berencana tetap menjelajah North Island selama 2 minggu dengan campervan (karena belum pernah, dan ingin bertemu beberapa teman yang tinggal di sana), dan 2 minggu akan dihabiskan di Invercargill untuk mempersiapkan segala kebutuhan putriku sebelum ditinggalkan sendirian di sana....


To be continued .......

No comments:

Post a Comment