27 November 2017
Semalam aku sulit tertidur karena kadang ada suara berisik dari luar. Bahkan sekitar jam 11 malam, aku mendengar ada suara pintu yang sepertinya dengan sengaja ditutup sambil dibanting berkali-kali, disertai suara tertawa seorang perempuan. Sepertinya ada orang mabuk nih. Kesal juga sebetulnya, tapi aku berusaha untuk tidak emosi dan tetap berusaha untuk bisa tidur. Akhirnya setelah semua keributan itu berhenti, barulah aku bisa tidur.
Pagi ini terbangun sedikit lebih siang daripada biasanya, karena selama di Thamel ini kami memang berencana lebih santai, hanya untuk jalan-jalan saja. Suamiku baru bangun menjelang jam 7 pagi. Setelah itu aku mengeluarkan semua barang yang sudah tidak akan kami pakai lagi selama di sini, seperti sleeping bag dan pakaian-pakaian hangat, dan barang-barang yang kami beli untuk oleh-oleh kemarin juga dijadikan satu, lalu kubagi menjadi dua, dan masing-masing kupacking kembali ke dalam kantong plastik hitam agar berat dan besarnya seimbang.
Sekitar jam 9.30 pagi barulah kami bergantian mandi, dan kami bersiap-siap untuk pergi. Hari ini kami akan menuju ke Kathmandu Durbar Square. Tempat ini banyak direkomendasikan di beberapa artikel dan video yang kulihat di YouTube sebelum berangkat. Setelah menyiapkan Google Map untuk panduan, kami pun turun dan berjalan kaki menuju Kathmandu Durbar Square, yang jaraknya hanya sekitar 1 KM saja dari Khangsar Guesthouse.
Suasana jalan yang kami lewati banyak yang sudah cukup ramai, terutama di sepanjang Gangalal Marg. Banyak sekali bangunan-bangunan yang tampak sudah tua dan kurang terawat, bahkan sebagian di antaranya masih berupa bata saja tanpa diplaster atau dicat. Gedung-gedung bertingkat pun tampak kotor dan agak kumuh. Semakin mendekati area Kathmandu Durbar Square, jalannya semakin ramai dengan orang yang berlalu lalang dan sepeda motor yang berseliweran. Para pedagang pun sudah mulai menjajakan barang-barang dagangannya. Kami sampai di Kathmandu Durbar Square jam 10.05 pagi, jadi kurang dari 15 menit berjalan kaki.
Durbar Square (durbar sendiri berarti istana, dan square berarti alun-alun) adalah nama generik yang digunakan untuk mendeskripsikan plaza dan area-area di seberang istana-istana kerajaan kuno di Nepal, jadi Durbar Square tidak hanya ada di kota Kathmandu saja. Biasanya Durbar Square terdiri atas kuil-kuil, patung-patung dewa, halaman terbuka, air mancur, dan lain-lain.
Sebelum adanya penyatuan Nepal, negara ini terdiri atas banyak kerajaan-kerajaan kecil, dan Durbar Square merupakan sisa-sisa yang paling nyata dari masa itu. Ada tiga buah Durbar Square di Kathmandu Valley yang dulunya dimiliki oleh kerajaan Newar, yang saat ini paling terkenal, yakni Kathmandu Durbar Square, Patan Durbar Square, dan Bhaktapur Durbar Square. Ketiganya termasuk dalam UNESCO World Heritage Sites.
Kathmandu Durbar Square (Basantapur Darbar Kshetra) adalah tempat di mana sang raja dimahkotai, dilegitimasi, sekaligus sebagai tempat memerintah. Karena itu, tempat ini masih menjadi jantung tradisional kota lama dan sekaligus warisan paling spektakuler arsitektur tradisional di Kathmandu. Alun-alun ini sendiri mengalami banyak kerusakan dalam gempa bumi sebesar 7,9 skala Reichter yang terjadi pada 25 April 2015. Enam buah kuil ambruk, demikian pula beberapa menara di kompleks area Hanuman Dhoka. Rekonstruksinya masih akan terus berlangsung selama bertahun-tahun ke depan.
Walaupun sebagian besar bangunan dari alun-alun ini berdiri semenjak abad ke-17 dan abad ke-18 (bahkan banyak bangunan yang lebih tua lagi), telah dilakukan pembangunan ulang besar-besaran pasca gempa bumi pada tahun 1934, dan keseluruhan alun-alun ini telah ditunjuk sebagai Unesco World Heritage Site pada tahun 1979.
Area Kathmandu Durbar Square sebenarnya terdiri atas tiga alun-alun yang agak terpisah-pisah. Di bagian selatan ada area Basantapur Square, yang tadinya merupakan istal gajah kerajaan dan sekarang menjadi tempat kios-kios souvenir. Area utama Durbar Square ini adalah di sisi barat. Di arah timur laut adalah bagian kedua dari Durbar Square, di mana terdapat pintu masuk menuju Hanuman Dhoka dan beberapa kuil lainnya. Dari sini ada area terbuka Makhan Tole, yang pernah menjadi salah satu jalan utama di Kathmandu, dan masih merupakan jalan yang sangat menarik untuk ditelusuri terus ke arah timur laut.
Dari sekian banyak kuil dan bangunan yang ada di Durbar Square, hanya beberapa yang dibuka untuk turis, dan kuil-kuil Taleju hanya dibuka untuk pengunjung yang beragama Hindu atau Budha. Di bagian selatan ada Kumari Ghar, salah satu atraksi utama dan paling menarik di sini. Dikatakan bahwa tempat ini adalah rumah bagi Raj Kumari, seorang gadis muda yang diseleksi melalui proses yang kuno dan mistis untuk menjadi inkarnasi manusia bagi dewi Durga. Sang gadis akan disembah selama diadakannya festival-festival religius dan tampil di muka publik pada waktu-waktu tertentu dengan membayar sejumlah uang kepada penjaganya. Apabila sang gadis menginjak masa puber, ia akan digantikan oleh gadis lainnya melalui proses seleksi yang sama. Cukup menarik ya?
Sayangnya semua informasi ini belum semuanya kami ketahui saat mengunjungi tempat ini hahahaha....
Kami mendekati pos pembelian tiket, dan cukup terkesiap dengan tarif yang tertera di papan yang diletakkan di depan pos. Untuk penduduk dari negara-negara anggota SAARC (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, Sri Lanka) tarifnya NRs 150/orang, sedangkan di luar negara-negara tersebut tarifnya NRs 1,000/orang. Tiket ini berlaku untuk satu hari saja, sesuai dengan tanggal pembelian tiket.
Tadinya kami berdua sempat bimbang karena ternyata tiketnya cukup mahal. Kami memang tidak browsing dulu soal harga tiket dan apa saja yang bisa dilihat di Kathmandu Durbar Square ini. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tiketnya, sebagian karena penasaran akan "isi"-nya, sebagian lagi karena belum ada rencana lain untuk hari ini. Setelah membeli tiket, kami diberi sebuah peta yang berisi denah area ini, yang sepertinya luas sekali. Kami berdua sempat berpikir, ah ternyata areanya luas, mungkin butuh seharian untuk menjelajah, seperti ke Jatim Park 2.
Maka kami berdua melewati pos tiket sampai di sebuah tempat terbuka. Sepertinya inilah aun-alun utamanya. Banyak pedagang yang berjualan di tepi jalan di sini. Para pengemudi rickshaw juga tampak memarkirkan rickshawnya, menantikan penumpang. Begitu sampai di sini, beberapa orang langsung mendekati kami dan menawarkan jasa guide. Karena sudah lelah menolak berkali-kali, suamiku langsung jawab "No English, no English" supaya mereka tidak terlalu ribet lagi hahahaha...
Di sisi utara alun-alun ada Mahadev Parvati Temple, di sisi barat ada Maju Dega, yang bangunannya tampak masih runtuh sebagian. Kalau maju lagi ke selatan ada persimpangan jalan yang tampak membingungkan. Di sisi barat persimpangan jalan ada yang namanya Maru Dabali dengan sebuah kuil Hindu, dan kami berjalan ke kuil ini karena melihat banyak burung merpati di bangunan tersebut. Kami berfoto-foto di kuil ini, lalu kembali melihat peta. Membandingkan antara Google Map dengan peta yang kami dapatkan sebelumnya, tetap saja membingungkan. Akhirnya kami berjalan ke arah selatan, yang ternyata justru menuju ke luar area Durbar Square. Semakin berjalan, yang tampak hanya keramaian seperti pasar. Memang ada beberapa kuil yang namanya tercantum di jalan, namun memang sebagian besar sudah tidak berbentuk, atau "tenggelam" oleh suasana orang-orang yang berjualan di mana-mana.
Karena bingung, kami pun kembali ke alun-alun, dan mulai lagi melihat peta dari sini. Sempat memotret keadaan sekitar, termasuk Kumari Ghar, tempat bersemayamnya sang dewi yang hidup (namun saat itu tidak tahu mengenai fakta ini, dan memang tidak tampak ada tanda-tanda kehidupan dari bangunan tersebut). Saat itu ada banyak turis juga yang sedang berjalan, dan kami memutuskan untuk mengikuti arah mereka berjalan, menuju ke timur laut, ke Hanuman Dhoka Road. Tidak lama kemudian, sampailah kami di sebuah kuil yang penuh dengan burung merpati, mungkin ribuan jumlahnya. Kalau tidak salah nama kuil ini adalah Jagannath Temple. Cukup lama kami di tempat ini, menyaksikan tingkah burung-burung merpati yang riuh rendah dan orang-orang yang memberi makan kumpulan unggas tersebut.
Beberapa langkah berjalan dari Jagannath Temple, tampak sebuah ukiran patung yang menggambarkan Kaal Bhairav. Kami mencoba memotretnya, tapi karena backlight jadi kurang jelas.
Tampak ada beberapa pengemis yang sedang menantikan belas kasihan orang-orang yang melewatinya. Dari sini masih ada beberapa bangunan lagi, seperti Shree Bhuvneshwar Mahadev Temple, Taleju Temple, dan Tana Deval Temple, hingga sampailah kami di tempat yang bisa dibilang seperti pasar, dengan banyak kios yang menjual berbagai macam barang dari kain. Kami berjalan melewati deretan kios ini sampai di gerbang keluar area ini, dan melanjutkan berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil yang sepertinya memang pasar. Sepanjang jalan dipenuhi dengan orang berjualan segala macam kebutuhan hidup, mulai dari pakaian, makanan, sampai perhiasan dan pernak-pernik. Menarik sekali menyusuri tempat-tempat ini, menyaksikan kehidupan masyarakat Nepal yang larut dalam kesehariannya.
Setelah keluar masuk beberapa gang, kami berjalan kembali ke arah kami datang. Ada sebuah toko yang menjual pashmina yang sepertinya menarik, jadi aku mampir, dan ujung-ujungnya membeli sebuah lagi pashmina. Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya kubeli, pashmina ini katanya asli, dan kainnya yang bisa dilewatkan melalui lubang cincin. Memang terasa bahannya lain sekali. Tadinya bapak penjualnya buka harga NRs 1,200, dan mentok di harga NRs 800, tapi akhirnya boleh juga kubeli dengan harga NRs 600 hahahaha....
Kami pun menyusuri kembali jalanan dari arah datang tadi. Saat memasuki area Durbar Square, sempat ada penjaga yang menanyakan tiket kami, dan setelah dijawab kami membeli tiket di pos yang satunya, kami dibiarkan lewat tanpa diperiksa apakah benar kami memiliki tiket. Setelah itu kami berjalan pulang ke Khangsar Guesthouse. Waktu sudah menunjukkan lewat jam 12 siang saat kami tiba di kamar. Karena sudah lapar, kami berdua membuat mie instan yang dibeli sewaktu masih di Pokhara, dan kemudian makan siang. Rasanya lumayan enak sih, tapi tidak ada yang mengalahkan enaknya Indomie deh hehehehe...
Kami berdua berbincang-bincang dan sependapat bahwa biaya masuk NRs 1,000 di Kathmandu Durbar Square tidaklah sepadan dengan apa yang dilihat.
Jujur saja, tadinya kami berharap bahwa Kathmandu Durbar Square adalah tempat khusus untuk pariwisata, di mana pengunjung bisa melihat-lihat berbagai peninggalan kerajaan di masa lalu dan kuil-kuil keagamaan yang indah. Memang sih bangunan-bangunan penginggalan kerajaan itu masih ada, kuil-kuil pun masih banyak, namun semuanya bercampur baur dengan toko-toko, pedagang kaki lima, dan suasananya lebih mirip di pasar daripada tempat pariwisata. Melihat di Google Map ada kuil A, saat didatangi ternyata kuilnya sudah tidak utuh lagi, atau bahkan tidak tampak seperti kuil karena penuh dengan orang-orang berdagang di halamannya. Hmmmm....
Saat ini, Kathmandu Durbar Square sebetulnya tidak lagi merupakan tujuan wisata yang menarik di Nepal. Betul, tempat ini masih termasuk cukup populer dan masih menjadi salah satu pusat perdagangan. Tempat ini dari dulu sampai sekarang juga masih merupakan pusat historis Nepal, baik dalam hal warisan budaya, kedaulatan, ekonomi, agama, dan kebanggaan. Karenanya, setelah terjadinya gempa di tahun 2015, orang mengira bahwa tempat ini akan dibangun kembali secepatnya baik secara fisik maupun spiritual, sebagai simbol kebangkitan kebanggaan nasional di masa lalu dan masa kini. Namun demikian, kenyataannya jauh berbeda dari yang diharapkan. Kathmandu Durbar Square saat ini lebih merupakan kekacauan yang tidak terbantahkan, baik secara fisik maupun birokrasi. Bukannya menjadi pusat kebanggaan Kathmandu, Basantapur mungkin malah menjadi simbol aib nasional.
Mengapa bisa demikian? Singkat cerita, intinya adalah adanya ketidakselarasan dan birokrasi yang berbelit-belit antara Departemen Arkeologi (pemerintah pusat), pemerintah kotamadya Kathmandu, dan Departemen Dinas Warisan Budaya dan Pariwisata. Dengan bahasa yang paling kasar mungkin bisa dikatakan akibat adanya korupsi yang merajalela. Secara umum, bukan hanya masalah Kathmandu Durbar Square saja, beberapa penduduk Nepal yang sempat mengobrol dengan kami menyatakan bahwa tingkat korupsi di pemerintahan sangatlah tinggi.
Sementara itu, tiket masuk bagi turis asing di tahun 2007/2008 tadinya hanya sebesar NRs 200. Perlu diingat bahwa Durbar Square adalah tempat umum, di mana seharusnya tidak terjadi pemungutan biaya untuk memasuki area ini.
Para penguasa berkilah bahwa biaya masuk ini adalah untuk merawat tempat ini, namun banyak orang berkata bahwa karena alun-alun ini merupakan tempat yang menarik bagi turis, maka dipungutlah biaya tersebut. Kedua alasan ini sebenarnya tidak masuk akal, karena biaya perawatan tempat ini sudah disubsidi oleh pemerintah, sementara pemerintah USA saja sudah menyumbang tiap tahunnya, dan hingga tahun 2016 sumbangan yang diberikan sudah mencapai $2,2 juta. Belum lagi sumbangan-sumbangan dari dunia internasional pasca gempa yang jumlahnya sangat fantastis, mencapai $4,2 milyar. Wow!
Kalau kita bukan penduduk Nepal, hanya untuk melewati tempat ini saja dari satu area ke area lain, kita diwajibkan membayar. Karena ini adalah di Nepal, mungkin uang tiket sebesar NRs 200 dianggap pantas sebagai sumbangan bagi pemeliharaan tempat ini.
Tahun 2010, harga tiketnya dinaikkan menjadi NRs 350 selama beberapa bulan, dan kemudian naik lagi menjadi NRs 500. Desas-desus pertengkaran dan perselisihan antara pemerintah kota dan Departemen Arkeologi karena biaya operasional tempat ini semakin merajalela, dan saat itu Durbar Square sudah menjadi tempat pilihan populer bagi para pengemudi taxi untuk mangkal.
Pada tahun 2011, harga tiket masuk kembali naik menjadi NRs 750, dan yang namanya taxi serta sepeda motor semakin merajalela. Puncaknya pada akhir tahun 2015, harga tiket menjadi NRs 1,000, dengan alasan berkurangnya turis yang berkunjung pasca gempa, sehingga harga tiket harus dinaikkan untuk biaya perawatan tempat ini. Namun demikian, sejak harganya naik menjadi NRs 1,000 banyak keluhan dari para turis yang datang berkunjung, termasuk orang Western. Sementara penduduk yang tinggal di negara-negara anggota SAARC membayar NRs 200.
Ironisnya, bukan hanya turis yang menderita. Para penjual souvenir di tempat ini mengeluhkan jumlah pengunjung yang menurun jumlahnya, sehingga mengakibatkan pendapatan mereka juga berkurang. Banyak tunawisma yang hidup dan tinggal di kuil-kuil di area ini. Toilet umum pun sangat kurang. Banyak kuil yang dikunci dan tidak boleh dikunjungi. Bangunan-bangunan ditelantarkan. Bisa dibilang Kathmandu Durbar Square sekarang ini tidaklah sepadan untuk dikunjungi. Setidaknya kami berdua merasa demikian :(
Selesai makan siang dan beristirahat, sekitar jam 1.30 siang kami keluar dan berjalan-jalan lagi memutari area Thamel. Kami hendak membeli beberapa barang lagi sebagai oleh-oleh untuk beberapa orang yang terlupakan sebelumnya. Aku ingin membeli beberapa syal dari bulu yak, sementara suamiku mau menambah kaos dan beberapa makanan untuk temannya. Kadangkala ada toko yang menjual kerajinan tangan dari para penyandang tuna daksa, baik tuna rungu, tuna wicara, bahkan kadang tuna netra.
Karena kami lupa lokasi toko tempat membeli kaos kemarin, kami pun berputar-putar kesana kemari, hingga akhirnya menemukan toko yang kemarin. Setelah dilihat-lihat lagi, desain kaos-kaos yang dipajang di tempat ini ternyata banyak yang lucu-lucu, plesetan dari beberapa nama terkenal. Misalnya saja Tintin di Tibet jadi Tintin di Nepal, kemudian Hard Rock Cafe jadi Hard Yak Cafe, dan pastinya ada desain yang bertuliskan Dal Bhat Power 24 Hour ^_^
Setelah membeli syal dan kaos, kami masuk ke sebuah supermarket untuk membeli whisky dan snack, namanya Annapurna Mart. Usai berbelanja, waktu sudah menunjukkan jam 2.45 siang, dan kami pun kembali ke penginapan. Saat aku sedang mengatur barang-barang untuk dipacking dan membaca struk pembelian di Annapurna Mart, ternyata ada satu macam snack yang salah tulis. Yang dibeli hanya 1 buah, namun tertulis 11 buah. Akhirnya suamiku kembali lagi ke Annapurna Mart untuk mengajukan komplain, dan untungnya sang kasir mengakui kesalahannya dan segera mengembalikan kelebihan uang kami sambil minta maaf. Ah ada-ada saja ya...
Selagi air shower masih hangat, kami pun bergantian mandi, lalu beristirahat sambil melihat-lihat di luar kamar. Suasana di JP Marg tampak ramai dengan hilir mudiknya orang dan kendaraan yang lalu lalang.
Jam 5.20 petang, kami memutuskan untuk keluar membeli makan malam. Kali ini kami langsung menuju ke warung yang kemarin sore, tempat kami membeli chicken tash. Nama tempatnya adalah Shama Hlal Food & Chicken Tash. Papan nama ini ada di dalam ruang makan di dalam warung, karenanya kemarin tidak tampak. Kami memesan seporsi nasi dan seporsi ayam goreng paha. Kami agak heran karena menyiapkan nasi putihnya cukup lama. Ternyata yang keluar adalah nasi goreng hehehehe... Nasi gorengnya enak juga ternyata, dan ayam gorengnya pun crispy di luarnya. Kami makan berdua, karena porsinya memang jumbo, dan aku sudah membawa bekal timun dan tomat yang dipotong-potong untuk kumakan. Harga nasi gorengnya hanya NRs 120, dan ayam gorengnya NRs 150, termasuk murah sekali karena bisa dimakan berdua. Usai makan dan membayar, kami pun berjalan untuk pulang.
Di persimpangan jalan menuju JP Marg, aku melihat ada penjual pani puri kesukaanku, jadi aku beli 2 buah dan langsung kumakan. Pada umumnya harga pani puri yang dijual oleh para pedagang kaki lima ini hanya NRs 10 saja.
Kemudian kami masih mampir ke toko kecil yang menjual susu, dan membeli 1 kantong susu (NRs 35) dan 1 kantong roti manis (NRs 40 isi 4 buah roti). Nama tokonya susah sekali, Chhetrapati Milk Dipd Store. Baru setelah itu kami pulang ke Khangsar Guesthouse dan beristirahat.
Karena aku masih mempunyai sisa selai kacang, rotinya kuisi selai kacang dan kuhangatkan di panci. Ternyata enak sekali makan roti hangat-hangat isi selai kacang. Akhirnya 2 buah roti ludes seketika kami makan berdua hahahaha...'
Hanya duduk-duduk di kamar ternyata bosan juga ya, jadi jam 7.40 malam aku keluar lagi sendirian, jalan-jalan di sekitar JP Marg untuk melihat suasana malam di area ini. Suamiku tidak mau ikut karena lelah. Menurut pendapatku pribadi, walaupun sudah agak malam, berjalan sendirian di area ini aman-aman saja. Tidak ada orang yang mengganggu walaupun aku berjalan sendirian. Ujung-ujungnya aku membeli roti lagi di toko yang tadi untuk sarapan besok, dan saat kembali ke penginapan, aku melihat seorang ibu yang berjualan jagung bakar sambil menggendong anaknya yang masih batita. Anaknya tampak lucu sekali wajahnya. Karena iba, aku membeli sebuah jagung bakar di sini. Sebuah jagung bakar harganya NRs 50. Jagungnya bukan jagung manis, dan agak keras pula, tapi masih bisa kumakan lah...
Baru sekitar jam 9 malam akhirnya kami berdua tidur dengan perut yang cukup kekenyangan ^_^
To be continued.......
Pagi ini terbangun sedikit lebih siang daripada biasanya, karena selama di Thamel ini kami memang berencana lebih santai, hanya untuk jalan-jalan saja. Suamiku baru bangun menjelang jam 7 pagi. Setelah itu aku mengeluarkan semua barang yang sudah tidak akan kami pakai lagi selama di sini, seperti sleeping bag dan pakaian-pakaian hangat, dan barang-barang yang kami beli untuk oleh-oleh kemarin juga dijadikan satu, lalu kubagi menjadi dua, dan masing-masing kupacking kembali ke dalam kantong plastik hitam agar berat dan besarnya seimbang.
Sekitar jam 9.30 pagi barulah kami bergantian mandi, dan kami bersiap-siap untuk pergi. Hari ini kami akan menuju ke Kathmandu Durbar Square. Tempat ini banyak direkomendasikan di beberapa artikel dan video yang kulihat di YouTube sebelum berangkat. Setelah menyiapkan Google Map untuk panduan, kami pun turun dan berjalan kaki menuju Kathmandu Durbar Square, yang jaraknya hanya sekitar 1 KM saja dari Khangsar Guesthouse.
Suasana jalan yang kami lewati banyak yang sudah cukup ramai, terutama di sepanjang Gangalal Marg. Banyak sekali bangunan-bangunan yang tampak sudah tua dan kurang terawat, bahkan sebagian di antaranya masih berupa bata saja tanpa diplaster atau dicat. Gedung-gedung bertingkat pun tampak kotor dan agak kumuh. Semakin mendekati area Kathmandu Durbar Square, jalannya semakin ramai dengan orang yang berlalu lalang dan sepeda motor yang berseliweran. Para pedagang pun sudah mulai menjajakan barang-barang dagangannya. Kami sampai di Kathmandu Durbar Square jam 10.05 pagi, jadi kurang dari 15 menit berjalan kaki.
Durbar Square (durbar sendiri berarti istana, dan square berarti alun-alun) adalah nama generik yang digunakan untuk mendeskripsikan plaza dan area-area di seberang istana-istana kerajaan kuno di Nepal, jadi Durbar Square tidak hanya ada di kota Kathmandu saja. Biasanya Durbar Square terdiri atas kuil-kuil, patung-patung dewa, halaman terbuka, air mancur, dan lain-lain.
Sebelum adanya penyatuan Nepal, negara ini terdiri atas banyak kerajaan-kerajaan kecil, dan Durbar Square merupakan sisa-sisa yang paling nyata dari masa itu. Ada tiga buah Durbar Square di Kathmandu Valley yang dulunya dimiliki oleh kerajaan Newar, yang saat ini paling terkenal, yakni Kathmandu Durbar Square, Patan Durbar Square, dan Bhaktapur Durbar Square. Ketiganya termasuk dalam UNESCO World Heritage Sites.
Kathmandu Durbar Square (Basantapur Darbar Kshetra) adalah tempat di mana sang raja dimahkotai, dilegitimasi, sekaligus sebagai tempat memerintah. Karena itu, tempat ini masih menjadi jantung tradisional kota lama dan sekaligus warisan paling spektakuler arsitektur tradisional di Kathmandu. Alun-alun ini sendiri mengalami banyak kerusakan dalam gempa bumi sebesar 7,9 skala Reichter yang terjadi pada 25 April 2015. Enam buah kuil ambruk, demikian pula beberapa menara di kompleks area Hanuman Dhoka. Rekonstruksinya masih akan terus berlangsung selama bertahun-tahun ke depan.
Walaupun sebagian besar bangunan dari alun-alun ini berdiri semenjak abad ke-17 dan abad ke-18 (bahkan banyak bangunan yang lebih tua lagi), telah dilakukan pembangunan ulang besar-besaran pasca gempa bumi pada tahun 1934, dan keseluruhan alun-alun ini telah ditunjuk sebagai Unesco World Heritage Site pada tahun 1979.
Area Kathmandu Durbar Square sebenarnya terdiri atas tiga alun-alun yang agak terpisah-pisah. Di bagian selatan ada area Basantapur Square, yang tadinya merupakan istal gajah kerajaan dan sekarang menjadi tempat kios-kios souvenir. Area utama Durbar Square ini adalah di sisi barat. Di arah timur laut adalah bagian kedua dari Durbar Square, di mana terdapat pintu masuk menuju Hanuman Dhoka dan beberapa kuil lainnya. Dari sini ada area terbuka Makhan Tole, yang pernah menjadi salah satu jalan utama di Kathmandu, dan masih merupakan jalan yang sangat menarik untuk ditelusuri terus ke arah timur laut.
Dari sekian banyak kuil dan bangunan yang ada di Durbar Square, hanya beberapa yang dibuka untuk turis, dan kuil-kuil Taleju hanya dibuka untuk pengunjung yang beragama Hindu atau Budha. Di bagian selatan ada Kumari Ghar, salah satu atraksi utama dan paling menarik di sini. Dikatakan bahwa tempat ini adalah rumah bagi Raj Kumari, seorang gadis muda yang diseleksi melalui proses yang kuno dan mistis untuk menjadi inkarnasi manusia bagi dewi Durga. Sang gadis akan disembah selama diadakannya festival-festival religius dan tampil di muka publik pada waktu-waktu tertentu dengan membayar sejumlah uang kepada penjaganya. Apabila sang gadis menginjak masa puber, ia akan digantikan oleh gadis lainnya melalui proses seleksi yang sama. Cukup menarik ya?
Sayangnya semua informasi ini belum semuanya kami ketahui saat mengunjungi tempat ini hahahaha....
Kami mendekati pos pembelian tiket, dan cukup terkesiap dengan tarif yang tertera di papan yang diletakkan di depan pos. Untuk penduduk dari negara-negara anggota SAARC (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, Sri Lanka) tarifnya NRs 150/orang, sedangkan di luar negara-negara tersebut tarifnya NRs 1,000/orang. Tiket ini berlaku untuk satu hari saja, sesuai dengan tanggal pembelian tiket.
Tadinya kami berdua sempat bimbang karena ternyata tiketnya cukup mahal. Kami memang tidak browsing dulu soal harga tiket dan apa saja yang bisa dilihat di Kathmandu Durbar Square ini. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tiketnya, sebagian karena penasaran akan "isi"-nya, sebagian lagi karena belum ada rencana lain untuk hari ini. Setelah membeli tiket, kami diberi sebuah peta yang berisi denah area ini, yang sepertinya luas sekali. Kami berdua sempat berpikir, ah ternyata areanya luas, mungkin butuh seharian untuk menjelajah, seperti ke Jatim Park 2.
Maka kami berdua melewati pos tiket sampai di sebuah tempat terbuka. Sepertinya inilah aun-alun utamanya. Banyak pedagang yang berjualan di tepi jalan di sini. Para pengemudi rickshaw juga tampak memarkirkan rickshawnya, menantikan penumpang. Begitu sampai di sini, beberapa orang langsung mendekati kami dan menawarkan jasa guide. Karena sudah lelah menolak berkali-kali, suamiku langsung jawab "No English, no English" supaya mereka tidak terlalu ribet lagi hahahaha...
Di sisi utara alun-alun ada Mahadev Parvati Temple, di sisi barat ada Maju Dega, yang bangunannya tampak masih runtuh sebagian. Kalau maju lagi ke selatan ada persimpangan jalan yang tampak membingungkan. Di sisi barat persimpangan jalan ada yang namanya Maru Dabali dengan sebuah kuil Hindu, dan kami berjalan ke kuil ini karena melihat banyak burung merpati di bangunan tersebut. Kami berfoto-foto di kuil ini, lalu kembali melihat peta. Membandingkan antara Google Map dengan peta yang kami dapatkan sebelumnya, tetap saja membingungkan. Akhirnya kami berjalan ke arah selatan, yang ternyata justru menuju ke luar area Durbar Square. Semakin berjalan, yang tampak hanya keramaian seperti pasar. Memang ada beberapa kuil yang namanya tercantum di jalan, namun memang sebagian besar sudah tidak berbentuk, atau "tenggelam" oleh suasana orang-orang yang berjualan di mana-mana.
Karena bingung, kami pun kembali ke alun-alun, dan mulai lagi melihat peta dari sini. Sempat memotret keadaan sekitar, termasuk Kumari Ghar, tempat bersemayamnya sang dewi yang hidup (namun saat itu tidak tahu mengenai fakta ini, dan memang tidak tampak ada tanda-tanda kehidupan dari bangunan tersebut). Saat itu ada banyak turis juga yang sedang berjalan, dan kami memutuskan untuk mengikuti arah mereka berjalan, menuju ke timur laut, ke Hanuman Dhoka Road. Tidak lama kemudian, sampailah kami di sebuah kuil yang penuh dengan burung merpati, mungkin ribuan jumlahnya. Kalau tidak salah nama kuil ini adalah Jagannath Temple. Cukup lama kami di tempat ini, menyaksikan tingkah burung-burung merpati yang riuh rendah dan orang-orang yang memberi makan kumpulan unggas tersebut.
Beberapa langkah berjalan dari Jagannath Temple, tampak sebuah ukiran patung yang menggambarkan Kaal Bhairav. Kami mencoba memotretnya, tapi karena backlight jadi kurang jelas.
Tampak ada beberapa pengemis yang sedang menantikan belas kasihan orang-orang yang melewatinya. Dari sini masih ada beberapa bangunan lagi, seperti Shree Bhuvneshwar Mahadev Temple, Taleju Temple, dan Tana Deval Temple, hingga sampailah kami di tempat yang bisa dibilang seperti pasar, dengan banyak kios yang menjual berbagai macam barang dari kain. Kami berjalan melewati deretan kios ini sampai di gerbang keluar area ini, dan melanjutkan berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil yang sepertinya memang pasar. Sepanjang jalan dipenuhi dengan orang berjualan segala macam kebutuhan hidup, mulai dari pakaian, makanan, sampai perhiasan dan pernak-pernik. Menarik sekali menyusuri tempat-tempat ini, menyaksikan kehidupan masyarakat Nepal yang larut dalam kesehariannya.
Setelah keluar masuk beberapa gang, kami berjalan kembali ke arah kami datang. Ada sebuah toko yang menjual pashmina yang sepertinya menarik, jadi aku mampir, dan ujung-ujungnya membeli sebuah lagi pashmina. Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya kubeli, pashmina ini katanya asli, dan kainnya yang bisa dilewatkan melalui lubang cincin. Memang terasa bahannya lain sekali. Tadinya bapak penjualnya buka harga NRs 1,200, dan mentok di harga NRs 800, tapi akhirnya boleh juga kubeli dengan harga NRs 600 hahahaha....
Kami pun menyusuri kembali jalanan dari arah datang tadi. Saat memasuki area Durbar Square, sempat ada penjaga yang menanyakan tiket kami, dan setelah dijawab kami membeli tiket di pos yang satunya, kami dibiarkan lewat tanpa diperiksa apakah benar kami memiliki tiket. Setelah itu kami berjalan pulang ke Khangsar Guesthouse. Waktu sudah menunjukkan lewat jam 12 siang saat kami tiba di kamar. Karena sudah lapar, kami berdua membuat mie instan yang dibeli sewaktu masih di Pokhara, dan kemudian makan siang. Rasanya lumayan enak sih, tapi tidak ada yang mengalahkan enaknya Indomie deh hehehehe...
Kami berdua berbincang-bincang dan sependapat bahwa biaya masuk NRs 1,000 di Kathmandu Durbar Square tidaklah sepadan dengan apa yang dilihat.
Jujur saja, tadinya kami berharap bahwa Kathmandu Durbar Square adalah tempat khusus untuk pariwisata, di mana pengunjung bisa melihat-lihat berbagai peninggalan kerajaan di masa lalu dan kuil-kuil keagamaan yang indah. Memang sih bangunan-bangunan penginggalan kerajaan itu masih ada, kuil-kuil pun masih banyak, namun semuanya bercampur baur dengan toko-toko, pedagang kaki lima, dan suasananya lebih mirip di pasar daripada tempat pariwisata. Melihat di Google Map ada kuil A, saat didatangi ternyata kuilnya sudah tidak utuh lagi, atau bahkan tidak tampak seperti kuil karena penuh dengan orang-orang berdagang di halamannya. Hmmmm....
Saat ini, Kathmandu Durbar Square sebetulnya tidak lagi merupakan tujuan wisata yang menarik di Nepal. Betul, tempat ini masih termasuk cukup populer dan masih menjadi salah satu pusat perdagangan. Tempat ini dari dulu sampai sekarang juga masih merupakan pusat historis Nepal, baik dalam hal warisan budaya, kedaulatan, ekonomi, agama, dan kebanggaan. Karenanya, setelah terjadinya gempa di tahun 2015, orang mengira bahwa tempat ini akan dibangun kembali secepatnya baik secara fisik maupun spiritual, sebagai simbol kebangkitan kebanggaan nasional di masa lalu dan masa kini. Namun demikian, kenyataannya jauh berbeda dari yang diharapkan. Kathmandu Durbar Square saat ini lebih merupakan kekacauan yang tidak terbantahkan, baik secara fisik maupun birokrasi. Bukannya menjadi pusat kebanggaan Kathmandu, Basantapur mungkin malah menjadi simbol aib nasional.
Mengapa bisa demikian? Singkat cerita, intinya adalah adanya ketidakselarasan dan birokrasi yang berbelit-belit antara Departemen Arkeologi (pemerintah pusat), pemerintah kotamadya Kathmandu, dan Departemen Dinas Warisan Budaya dan Pariwisata. Dengan bahasa yang paling kasar mungkin bisa dikatakan akibat adanya korupsi yang merajalela. Secara umum, bukan hanya masalah Kathmandu Durbar Square saja, beberapa penduduk Nepal yang sempat mengobrol dengan kami menyatakan bahwa tingkat korupsi di pemerintahan sangatlah tinggi.
Sementara itu, tiket masuk bagi turis asing di tahun 2007/2008 tadinya hanya sebesar NRs 200. Perlu diingat bahwa Durbar Square adalah tempat umum, di mana seharusnya tidak terjadi pemungutan biaya untuk memasuki area ini.
Para penguasa berkilah bahwa biaya masuk ini adalah untuk merawat tempat ini, namun banyak orang berkata bahwa karena alun-alun ini merupakan tempat yang menarik bagi turis, maka dipungutlah biaya tersebut. Kedua alasan ini sebenarnya tidak masuk akal, karena biaya perawatan tempat ini sudah disubsidi oleh pemerintah, sementara pemerintah USA saja sudah menyumbang tiap tahunnya, dan hingga tahun 2016 sumbangan yang diberikan sudah mencapai $2,2 juta. Belum lagi sumbangan-sumbangan dari dunia internasional pasca gempa yang jumlahnya sangat fantastis, mencapai $4,2 milyar. Wow!
Kalau kita bukan penduduk Nepal, hanya untuk melewati tempat ini saja dari satu area ke area lain, kita diwajibkan membayar. Karena ini adalah di Nepal, mungkin uang tiket sebesar NRs 200 dianggap pantas sebagai sumbangan bagi pemeliharaan tempat ini.
Tahun 2010, harga tiketnya dinaikkan menjadi NRs 350 selama beberapa bulan, dan kemudian naik lagi menjadi NRs 500. Desas-desus pertengkaran dan perselisihan antara pemerintah kota dan Departemen Arkeologi karena biaya operasional tempat ini semakin merajalela, dan saat itu Durbar Square sudah menjadi tempat pilihan populer bagi para pengemudi taxi untuk mangkal.
Pada tahun 2011, harga tiket masuk kembali naik menjadi NRs 750, dan yang namanya taxi serta sepeda motor semakin merajalela. Puncaknya pada akhir tahun 2015, harga tiket menjadi NRs 1,000, dengan alasan berkurangnya turis yang berkunjung pasca gempa, sehingga harga tiket harus dinaikkan untuk biaya perawatan tempat ini. Namun demikian, sejak harganya naik menjadi NRs 1,000 banyak keluhan dari para turis yang datang berkunjung, termasuk orang Western. Sementara penduduk yang tinggal di negara-negara anggota SAARC membayar NRs 200.
Ironisnya, bukan hanya turis yang menderita. Para penjual souvenir di tempat ini mengeluhkan jumlah pengunjung yang menurun jumlahnya, sehingga mengakibatkan pendapatan mereka juga berkurang. Banyak tunawisma yang hidup dan tinggal di kuil-kuil di area ini. Toilet umum pun sangat kurang. Banyak kuil yang dikunci dan tidak boleh dikunjungi. Bangunan-bangunan ditelantarkan. Bisa dibilang Kathmandu Durbar Square sekarang ini tidaklah sepadan untuk dikunjungi. Setidaknya kami berdua merasa demikian :(
Selesai makan siang dan beristirahat, sekitar jam 1.30 siang kami keluar dan berjalan-jalan lagi memutari area Thamel. Kami hendak membeli beberapa barang lagi sebagai oleh-oleh untuk beberapa orang yang terlupakan sebelumnya. Aku ingin membeli beberapa syal dari bulu yak, sementara suamiku mau menambah kaos dan beberapa makanan untuk temannya. Kadangkala ada toko yang menjual kerajinan tangan dari para penyandang tuna daksa, baik tuna rungu, tuna wicara, bahkan kadang tuna netra.
Karena kami lupa lokasi toko tempat membeli kaos kemarin, kami pun berputar-putar kesana kemari, hingga akhirnya menemukan toko yang kemarin. Setelah dilihat-lihat lagi, desain kaos-kaos yang dipajang di tempat ini ternyata banyak yang lucu-lucu, plesetan dari beberapa nama terkenal. Misalnya saja Tintin di Tibet jadi Tintin di Nepal, kemudian Hard Rock Cafe jadi Hard Yak Cafe, dan pastinya ada desain yang bertuliskan Dal Bhat Power 24 Hour ^_^
Setelah membeli syal dan kaos, kami masuk ke sebuah supermarket untuk membeli whisky dan snack, namanya Annapurna Mart. Usai berbelanja, waktu sudah menunjukkan jam 2.45 siang, dan kami pun kembali ke penginapan. Saat aku sedang mengatur barang-barang untuk dipacking dan membaca struk pembelian di Annapurna Mart, ternyata ada satu macam snack yang salah tulis. Yang dibeli hanya 1 buah, namun tertulis 11 buah. Akhirnya suamiku kembali lagi ke Annapurna Mart untuk mengajukan komplain, dan untungnya sang kasir mengakui kesalahannya dan segera mengembalikan kelebihan uang kami sambil minta maaf. Ah ada-ada saja ya...
Selagi air shower masih hangat, kami pun bergantian mandi, lalu beristirahat sambil melihat-lihat di luar kamar. Suasana di JP Marg tampak ramai dengan hilir mudiknya orang dan kendaraan yang lalu lalang.
Jam 5.20 petang, kami memutuskan untuk keluar membeli makan malam. Kali ini kami langsung menuju ke warung yang kemarin sore, tempat kami membeli chicken tash. Nama tempatnya adalah Shama Hlal Food & Chicken Tash. Papan nama ini ada di dalam ruang makan di dalam warung, karenanya kemarin tidak tampak. Kami memesan seporsi nasi dan seporsi ayam goreng paha. Kami agak heran karena menyiapkan nasi putihnya cukup lama. Ternyata yang keluar adalah nasi goreng hehehehe... Nasi gorengnya enak juga ternyata, dan ayam gorengnya pun crispy di luarnya. Kami makan berdua, karena porsinya memang jumbo, dan aku sudah membawa bekal timun dan tomat yang dipotong-potong untuk kumakan. Harga nasi gorengnya hanya NRs 120, dan ayam gorengnya NRs 150, termasuk murah sekali karena bisa dimakan berdua. Usai makan dan membayar, kami pun berjalan untuk pulang.
Di persimpangan jalan menuju JP Marg, aku melihat ada penjual pani puri kesukaanku, jadi aku beli 2 buah dan langsung kumakan. Pada umumnya harga pani puri yang dijual oleh para pedagang kaki lima ini hanya NRs 10 saja.
Kemudian kami masih mampir ke toko kecil yang menjual susu, dan membeli 1 kantong susu (NRs 35) dan 1 kantong roti manis (NRs 40 isi 4 buah roti). Nama tokonya susah sekali, Chhetrapati Milk Dipd Store. Baru setelah itu kami pulang ke Khangsar Guesthouse dan beristirahat.
Karena aku masih mempunyai sisa selai kacang, rotinya kuisi selai kacang dan kuhangatkan di panci. Ternyata enak sekali makan roti hangat-hangat isi selai kacang. Akhirnya 2 buah roti ludes seketika kami makan berdua hahahaha...'
Hanya duduk-duduk di kamar ternyata bosan juga ya, jadi jam 7.40 malam aku keluar lagi sendirian, jalan-jalan di sekitar JP Marg untuk melihat suasana malam di area ini. Suamiku tidak mau ikut karena lelah. Menurut pendapatku pribadi, walaupun sudah agak malam, berjalan sendirian di area ini aman-aman saja. Tidak ada orang yang mengganggu walaupun aku berjalan sendirian. Ujung-ujungnya aku membeli roti lagi di toko yang tadi untuk sarapan besok, dan saat kembali ke penginapan, aku melihat seorang ibu yang berjualan jagung bakar sambil menggendong anaknya yang masih batita. Anaknya tampak lucu sekali wajahnya. Karena iba, aku membeli sebuah jagung bakar di sini. Sebuah jagung bakar harganya NRs 50. Jagungnya bukan jagung manis, dan agak keras pula, tapi masih bisa kumakan lah...
Baru sekitar jam 9 malam akhirnya kami berdua tidur dengan perut yang cukup kekenyangan ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment