28 November 2017
Sebenarnya hari ini kami berencana ingin ke Pashupatinath Temple, kuil Hindu tertua di Nepal yang berdiri sejak abad ke-5. Namun akibat pengalaman di Kathmandu Durbar Square kemarin yang tidak sesuai dengan harapan, pagi ini kami browsing terlebih dahulu mengenai tempat ini. Benar saja, ternyata untuk ke Pashupatinath Temple harga tiketnya sama dengan Kathmandu Durbar Square, yaitu NRs 1,000, dan pengunjung bahkan tidak diijinkan masuk ke area utama kuil ini, namun hanya boleh melihatnya dari kejauhan (dari seberang sungai). Memang areanya luas, namun pengunjung hanya bisa melihat kuil-kuil kecil lainnya di luar area inti Pashupatinath Temple. Belum lagi ongkos taxi yang sekitar NRs 500 untuk pulang pergi. Akhirnya kami membatalkan rencana untuk ke tempat ini.
Sebagai gantinya, hari ini kami pergi berjalan kaki mengunjungi Garden of Dreams di Tridevi Sadak, yang jaraknya hanya sekitar 900 meter dari Khangsar Guesthouse.
Setelah selesai sarapan dan mandi, sekitar jam 9.30 pagi kami berjalan menuju ke Garden of Dreams. Pagi ini jalan-jalan di Thamel masih tampak agak sepi, dan toko-toko masih banyak yang tutup juga. Tidak sampai 15 menit berjalan, sampailah kami di Garden of Dreams.
The Garden of Dreams atau dikenal juga dengan sebutan The Garden of Six Seasons, merupakan taman neo-klasik di Kaiser Mahal, Kathmandu, yang dibangun pada tahun 1920. Taman ini didesain oleh Kishore Narshingh, dan luasnya mencakup 6.895 meter persegi dengan 6 buah pavilion, sebuah ampiteater, sebuah museum kecil, cafe, serta beberapa kolam, pergola, dan pasu. Pada masanya dulu, taman ini dianggap sebagai salah satu taman yang paling canggih. Enam pavilion di taman ini, masing-masing didedikasikan untuk tiap musim yang ada di Nepal. Hah, ada 6 musim di Nepal?
Benar, dan tiap musim berlangsung selama 2 bulan lamanya.
Tepatnya keenam musim di Nepal adalah sebagai berikut:
- Basanta Ritu (Spring)
- Grishma Ritu (Early Summer)
- Barkha Ritu (Summer Monsoon season)
- Sharad Ritu (Early Autumn)
- Hemanta Ritu (Late autumn)
- Shishir Ritu (Winter)
Sejak pertengahan tahun 1960-an, setelah wafatnya Kaiser Sumsher Rana (1892 - 1964), taman ini diserahkan kepada pemerintah Nepal, namun ditelantarkan, dan baru-baru ini (tahun 2000 - 2007) direstorasi dengan bantuan pemerintah Austria. Pada tahun 2010, dilakukan renovasi dan kubahnya dilapis ulang dengan emas seberat 20 kg. Kini hanya separuh dari taman ini saja yang masih tersisa.
Berlokasi di persimpangan antara Thamel dan Katipath, The Garden of Dreams dibuka untuk umum. Taman ini menawarkan suasana lingkungan yang asri dan tertutup dari ramainya lalu lintas, kebisingan, polusi, dan kacau balaunya kota Kathmandu. Pengunjung bisa datang untuk duduk-duduk di bangku taman yang disediakan untuk sekedar berekreasi, bersantai, atau membaca buku.
Tiket masuk ke dalam taman ini sebesar NRs 200 untuk orang asing, dan NRs 100 untuk penduduk Nepal. Untuk menggunakan wifi yang ada di sini, pengunjung masih harus membayar lagi sebesar NRs 50/jam.
Kami masuk ke dalam gerbang, dan di dekatnya ada dua orang penjaga yang sekaligus menjual tiket masuk. Sebelum kami datang ke tempat ini, aku sudah sempat membaca beberapa review, namun tidak ada yang mengatakan soal membeli tiket, jadi kupikir tadinya gratis. Tiketnya memang NRs 200 per orang, jadi karena masih cukup terjangkau, kami memutuskan untuk tetap masuk.
Sekilas tampaknya Garden of Dreams ini memang tidak terlalu luas. Terlihat bangunan-bangunan yang membatasi tempat ini di berbagai sisi. Kami berjalan menjelajahi seluruh bagian taman ini, dari ujung ke ujung. Kadangkala memotret di sana-sini. Bunga-bunga yang berwarna-warni sedang bermekaran dan tampak indah sekali. Sempat bertemu dengan seekor bajing, namun dia segera kabur saat melihat kami mendekat.
Kaiser Museum yang ada di dalam taman ini juga bisa dibilang kecil sekali. Bangunan museum ini baru ditambahkan pada tahun 2016, dan berisi denah taman serta foto-foto sejarah berdirinya taman ini, yang rata-rata masih hitam putih.
Ada sederet anak tangga yang menuju ke arah bawah, kupikir tadinya ada lantai bawah tanah lanjutan dari museum ini. Ternyata deretan anak tangga ini menuju ke sebuah toilet. Toiletnya sendiri bersih dan cukup modern, mungkin karena jarang dipakai, atau karena masih pagi.
Pengunjungnya belum terlalu banyak, mungkin karena masih relatif pagi. Ada beberapa turis Western yang sedang membaca buku sambil duduk di bangku taman dan berjemur, ada juga yang duduk di bawah pohon. Ada juga pasangan yang tampaknya sedang piknik dan duduk-duduk di rerumputan di depan sebuah pavilion. Di rerumputan juga disediakan beberapa matras untuk duduk-duduk. Pada saat kami keluar dari museum, tampak serombongan anak kecil usia TK yang sedang bermain dan berfoto. Mereka tampak didampingi oleh beberapa orang dewasa, mungkin para guru dan orang tuanya.
Pemandangan keluar dari museum ini tampak indah dan rapi, menyenangkan untuk dilihat. Di beberapa bagian taman tampak beberapa orang pekerja lokal yang sedang membersihkan dan merawat taman ini. Ada juga seorang bapak yang sepertinya sedang mengerjakan renovasi atau perbaikan di dekat sebuah air mancur. Di sebuah sudut di dekat bangunan yang sepertinya cafe, ada sebuah toilet lagi, tapi aku tidak masuk ke dalamnya.
Hanya butuh waktu 1 jam untuk kami berdua menjelajah seluruh area taman ini, itu pun dengan jalan perlahan dan banyak memotret. Ada beberapa bangunan yang kami lihat di denah, namun kami tidak yakin boleh tidaknya dimasuki oleh pengunjung, jadi kami tidak berani masuk. Selain itu ada beberapa area yang terlarang bagi pengunjung atau sedang direnovasi.
Secara keseluruhan, The Garden of Dreams menurut pendapat pribadiku tidak terlalu wow. Indahnya biasa-biasa saja. Layak dikunjugni atau tidak? Tergantung.
Kalau kita hanya punya waktu singkat selama di Nepal, rasanya tidak perlu deh. Bagi sebagian orang (terutama penduduk lokal), Garden of Dreams hanyalah sebuah taman kecil dengan tiket masuk yang terlalu membebani, dan tidak lebih dari itu.
Tapi kalau kita stay untuk waktu yang lebih lama, terutama di Kathmandu, bolehlah dikunjungi. Garden of Dreams bisa menjadi surga sesaat dari kebisingan dan polusi di kota. Kathmandu memang kekurangan lahan hijau.
Pada akhirnya, Garden of Dreams hanyalah sebuah taman kecil dengan harga tiket dan wifi yang terlalu mahal (dan kadang wifinya tidak bisa dipakai pula!). Memang tamannya cukup unik sih, tapi aku sendiri tidak terkesan. Kalau boleh jujur, taman-taman buatan manusia seperti ini kalau di New Zeland jauh lebih indah, sejuk, dan pastinya gratis hehehehe...
Di Kathmandu, taman ini hanya sekedar tempat pelarian sesaat ke tempat yang cukup sejuk dan tenang. Tapi kalau mau melihat alam yang "sungguhan" mendingan ikut trekking saja deh ke Himalayas hahahaha...
Menjelang jam 11 siang, kami berjalan keluar dari Garden of Dreams dan menyusuri Tri Devi Sadak untuk kembali ke penginapan. Jalanan masih belum tampak terlalu ramai. Tampak beberapa pengemis sedang duduk bersandar di tembok dan menanti belas kasihan orang-orang yang lewat, sementara para pengemudi rickshaw di seberang jalan tampak termenung sembari menanti penumpang.
Setelah 15 menit berjalan kaki menyusuri Thamel, kami tiba di penginapan, namun tidak langsung masuk ke dalam penginapan. Seperti biasa, suamiku mencari kopi susu, dan aku melihat ada sebuah warung kecil di samping pintu masuk penginapan. Ternyata seperti warkop di Indonesia, selain menyediakan teh dan kopi, ada beberapa jajanan khas Nepal. Maka suamiku memesan secangkir kopi susu (NRs 70), dan aku sibuk memilih snack yang ada hehehehe...
Aku mengambil sebuah snack berbentuk segitiga, yang terbuat dari roti tawar yang dipotong diagonal dan diisi dengan sayuran, lalu digoreng dengan adonan tepung. Namanya bread pakhora. Enak juga, dan harganya pun murah, hanya NRs 20. Lalu aku mengambil lagi 2 buah pakhora (bakwan/gimbal sayuran) untukku dan suamiku, yang harga per buahnya hanya NRs 10. Bayangkan saja, hanya dengan NRs 110, kami berdua sudah cukup kenyang untuk sementara waktu.
Selagi di warung ini, aku sempat memperhatikan pemiliknya yang sedang membuat roti pratha, unik sekali cara menggoreng aloo pratha ini.
Kami juga diajak mengobrol oleh seorang bapak tua, yang ternyata adalah seorang guide. Beliau orangnya lucu dan menyenangkan, dan ujung-ujungnya promosi untuk memakai jasanya. Tapi bukan tipe yang memaksa sih, jadi kami tidak merasa sampai terganggu karenanya, justru kami simpan nama dan nomornya, siapa tahu suatu saat bisa menggunakan jasanya.
Usai mengobrol kami pun hendak kembali ke kamar saat mendengar keramaian di tepi jalan. Ternyata ada iring-iringan pengantin yang hendak lewat. Sepertinya yang menikah dari keluarga yang cukup berada, karena barisannya cukup panjang. Yang pertama lewat adalah rombongan pemusik yang memainkan musik, kemudian diikuti oleh rombongan perempuan yang membawa lilin, perlengkapan sembahyang, dan seserahan lainnya. Di belakangnya lagi sepertinya rombongan keluarga inti pengantin, baru kemudian mobil pengantinnya, dan yang terakhir sepertinya rombongan keluarga besar dan tamu-tamu lainnya. Ramai sekali, sampai cukup panjang kendaraan yang mengantri di belakangnya.
Setelah itu, kami kembali ke penginapan dan naik ke kamar yang sudah dibersihkan dan tampak rapi, lalu menyempatkan tidur siang. Bangun tidur kami membuat mie instan, menghabiskan 2 bungkus terakhir yang masih ada. Mie instan ini merknya Rara, dan sepertinya merupakan Indomie-nya Nepal. Tapi tetap saja masih kalah enak dengan Indomie deh ^_^
Setelah kenyang dan badan segar kembali, kami mandi dulu, dan bersiap-siap untuk pergi lagi, kali ini kami mau ke Swayambhunath atau Monkey Temple, yang berjarak sekitar 3 KM dari Khangsar Guesthouse. Kami sudah mencari info terlebih dulu di Google, dan untuk ke sana kita bisa naik taxi dengan tarif NRs 300 sekali jalan. Ada yang menulis lebih murah sih, NRs 150-250, tapi rasanya agak sulit mendapatkan harga tersebut, sementara kebanyakan turis dicharge NRs 400-1,200 lho....
Kami pun turun dan baru sebentar berjalan menyusuri JP Marg, ada taxi yang menawarkan jasanya. Saat kami bertanya tarifnya, sang driver langsung menjawab NRs 300, jadi kami langsung mengiyakan dan naik taxi ini.
Kami melewati jalan-jalan yang ramai dan agak macet, beberapa di antaranya jalannya kecil, hanya cukup untuk 2 mobil berpapasan. Hanya sekitar 10 menit, sampailah kami di Swayambhunath. Kami tiba jam 2.20 siang, dan ternyata kami diturunkan di pintu sisi timur, dan jaraknya sedikit lebih dekat dari perkiraanku.
Swayambhunath, kadang disebut juga Swayambu atau Swoyambu, merupakan arsitektur religius kuno di puncak sebuah bukit yang terletak di Lembah Kathmandu, di sisi barat kota Kathmandu. Bagi umat Budha, kuil ini merupakan tempat ziarah yang dianggap paling keramat di antara-kuil-kuil lainnya. Sedangkan bagi orang Tibet dan penganut Budha aliran Tibetan, Swayambhunath menjadi nomor dua setelah Boudhanath.
Kompleks Swayambhunath terdiri atas sebuah stupa dan beberapa kuil serta candi. Sebuah biara Tibetan, museum dan perpustakaan ditambahkan kemudian. Selain itu juga ada toko-toko, restoran, dan hostel. Tempat ini juga dikenal sebagai Monkey Temple karena banyaknya monyet yang dianggap suci yang tinggal di bagian barat laut candi ini. Swayambhunath merupakan salah satu tempat yang diakui sebagai Unesco World Heritage Site.
Stupa ini pernah direnovasi secara keseluruhan pada bulan Mei 2010, renovasi besar-besaran pertamanya semenjak dibangun hampir 1.500 tahun sebelumnya. Kubahnya dilapis ulang dengan emas seberat 20 kg. Renovasi ini didanai oleh Tibetan Nyingma Meditation Center of California, dan dimulai pada bulan Juni 2008. Saat gempa April 2015 terjadi, beberapa kuil di sekitarnya mengalami kerusakan, namun stupanya sendiri hanya mengalami kerusakan ringan.
Di dalam stupa Swayambhunath tersimpan banyak benda-benda bersejarah. Stupa yang berada di puncak ini dilukisi mata dan alis Budha di keempat sisinya, yang melambangkan kebijaksanaan dan belas kasih. Di atas tiap pasang mata ada mata ketiga, yang melambangkan wawasan Sang Budha yang bisa melihat segalanya. Sementara itu di antara kedua mata Budha terdapat hidung yang bentuknya seperti tanda tanya. Simbol ini adalah simbol di Nepal untuk angka 1, dan melambangkan kesatuan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan sekaligus melambangkan jalan satu-satunya menuju pencerahan melalui ajaran Budha.
Di setiap sisi dari stupa terdapat ukiran Panch Buddhas (lima Budha), dan ada patung Budha di dasar tiap stupa. Lima Budha adalah Budha dalam pengertian metaforis dalam Tantrayana, yakni Vairochana (menempati pusat dan menguasai kuil), Akshobhya (yang menghadap ke timur), Ratna Sambhava (yang menghadap ke selatan), Amitabha (yang menghadap ke barat) dan Amoghsiddhi (menghadap ke utara). Keseluruhan struktur dari stupa ini sendiri memiliki arti simbolis yang dalam.
Tiap pagi sebelum fajar menyingsing, ratusan peziarah Budha dan Hindu menaiki 365 anak tangga dari sisi timur yang menuju ke puncak bukit untuk berziarah dan mengelilingi stupa searah jarum jam. Stupa yang berada di pusat ini dikelilingi oleh "roda-roda doa" yang dihiasi dengan mantra suci "om mani padme hum", yang artinya kurang lebih "salam bagi sang permata di dalam lotus". Dalam pengertian yang lebih luas lagi, artinya bisa sangat dalam, dan bisa dibaca di sini.
Yang pasti, tempat ini merupakan tempat yang sangat indah untuk menyaksikan sunrise dan sunset, dan tujuan kami datang pun untuk menyaksikan sunset di tempat ini, selain tentunya ingin melihat view kota Kathmandu dari puncak bukit ini.
Kami baru akan memasuki gerbang ketika melihat banyak monyet yang sedang bermain atau berlarian kesana-kemari. Ada juga yang sedang duduk santai atau sedang berebut makanan dengan teman-temannya. Untungya kami tidak membawa makanan atau barang yang mudah dicuri, tapi memang sepertinya monyet-monyet ini tidak seganas yang kami jumpai di Bali, apalagi di Taman Nasional Baluran, di mana mereka berusaha mengambil atau merebut barang-barang yang dibawa oleh manusia.
Setelah memasuki gerbang ini, tampak roda-roda doa berukir mantra yang berjejer. Aku senang sekali, karena sejak sebelum berangkat ke Nepal, aku sudah melihat adanya roda-roda doa ini dan ingin memutarnya.
Katanya anak tangganya berjumlah 365 buah dari dasar sampai ke puncak, tapi jujur saja kami berdua tidak merasa jumlahnya sebanyak itu. Memang tidak kuhitung sih, hanya saja rasanya baru saja naik dan tiba-tiba sudah sampai. Bisa jadi ini efek dari trekking selama 9 hari yang setiap harinya naik dan turun ribuan anak tangga, jadi kalau hanya ratusan sepertinya tidak terasa hehehehe... Dari dasar menaiki anak tangga ini, ada beberapa stupa dan patung Budha yang indah. Selain itu ada beberapa penjual makanan dan minuman. Kami tidak membeli apa pun, namun katanya semakin ke atas harganya semakin mahal, mungkin untuk ongkos naik tangganya ya ^_^
Loket penjualan tiket ada di titik menjelang puncak anak tangga, dan dari titik ini sudah bisa terlihat kota Kathmandu di bawah sana. Untuk turis dari negara-negara anggota SAARC, tiket masuknya NRs 50, dan untuk turis dari negara-negara lain tiket masuknya NRs 200.
Setelah membeli tiket dan melanjutkan naik tangga, 1-2 menit kemudian sampailah kami di puncak Swayambhunath.
Swayambhunath Stupa yang berada di puncak ini memang tampak indah dan megah, bisa dilihat dari foto-foto yang kami ambil di sana. Ratusan bendera mantra tampak bergelantungan dari puncak stupa, berwarna-warni dan indah sekali. Pengunjungnya saat itu sedang ramai, jadi agak susah untuk memotret tanpa adanya orang di dalam frame. Seperti sudah kusebutkan sebelumnya, di sekeliling stupa ini terdapat roda-roda doa berisi mantra juga, dan setiap kali kami menemukannya, kami akan memutarnya searah jarum jam. Walaupun kami berdua tidak beragama Budha, namun kami senang sekali memutar roda-roda ini. Pada saat kami sedang duduk-duduk, aku sempat melihat seorang perempuan Western paruh baya yang sedang memutar roda-roda doa ini dengan arah yang terbalik. Setelah kukatakan bahwa seharusnya diputar searah jarum jam, buru-buru dia minta maaf dan berterima kasih karena sudah diberi tahu.
Prayer wheels atau roda-roda doa ini bisa terbuat dari kayu, logam, batu, kulit, atau kain kasar. Pada umumnya, mantra Om Mani Padme Hum terukir atau tertulis di permukaannya dalam bahasa Sansekerta, namun bisa juga terukir mantra lain. Dikatakan, apabila kita memutar roda-roda ini searah jarum jam, sama saja dengan kita melantunkan mantra-mantra tersebut. Menurut ajaran agama Budha, memutar roda-roda ini akan membawa keberuntungan bagi tempat di mana roda-roda tersebut berada, sekaligus keberuntungan bagi kita sendiri.
Roda-roda doa yang berada di Swayambhunath ini terbuat dari logam, dan termasuk static wheel, atau roda statis yang diputar dengan tangan. Selain itu ada juga yang diputar dengan energi air yang mengalir, energi panas dari lilin, energi cahaya listrik, energi angin, bahkan energi motor/listrik.
Kami menjelajah puncak Swayambhunath ini perlahan-lahan, karena kami memiliki cukup banyak waktu. Di beberapa bagian tampak ada bangunan-bangunan yang sepertinya sedang mengalami renovasi (walaupun sebetulnya tidak tampak ada orang yang sedang mengerjakan sih, atau mungkin tidak tampak karena tertutup seng).
Ada sebuah area di mana terdapat banyak sekali candi-candi dan arca-arca kecil yang berdiri berdekatan. Di sekeliling tempat ini terdapat banyak penjual souvenir, restoran, dan penginapan. Souvenir yang dijual di tempat ini sangat bervariasi, serasa semua yang dijual di Thamel ada di sini juga. Saat aku sedang melihat-lihat dan memotret di sebuah toko souvenir, kami berdua sempat diajak mengobrol cukup lama dengan seorang pemuda yang sedang menjaganya. Katanya dia senang mengobrol dengan turis asing untuk melatih bahasa Inggrisnya. Kami juga sempat foto bersama untuk kenang-kenangan.
Ada dua tempat di mana kita bisa melihat pemandangan kota Kathmandu yang tampak di bawah sana. Rumah-rumah tampak salng berhimpitan. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya bangunan-bangunan, kebanyakan di antaranya bertingkat. Dengan bangunan-bangunan yang dicat berwarna-warni, pemandangan kota Kathmandu ini bagiku sangat indah namun sekaligus menyedihkan, membayangkan betapa padat dan semrawutnya kehidupan di ibukota ini. Begitu banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan tinggal di lingkungan-lingkungan yang kumuh :(
Kadangkala ada orang yang memberi makanan kepada monyet-monyet yang banyak terdapat di sini, dan biasanya mereka akan saling berlomba dan berebutan, saling mengejar satu sama lain kesana-kemari. Monyet-monyet ini kadang juga mencuri persembahan yang diletakkan oleh orang-orang di candi-candi kecil di sekeliling stupa. Beberapa ekor anjing juga tampak di tempat ini, kebanyakan sedang tidur sambil berjemur di bawah sinar matahari.
Selain banyak turis asing dan lokal, banyak juga biksu yang mengunjungi tempat ini, bukan hanya untuk berdoa, tapi juga selfie dan berfoto-foto hehehehe... Katanya banyak biksu dari Tibet yang datang ke tempat ini untuk berziarah. Sesekali ada juga turis asing yang datang ke tempat ini bersama seorang guide, padahal tempatnya bisa dibilang relatif kecil. Kalau bukan tipe orang yang bisa menikmati tempat ini, mungkin 10-15 menit berada di puncak juga sudah selesai menjelajahinya.
Kami sempat hendak menuruni anak tangga yang berada di sisi lain dari arah kami datang, tapi baru turun sebentar sepertinya sudah tampak area yang sepertinya adalah tempat parkir mobil sekaligus ada pos tiket juga, karena itu kami batal turun sampai ke bawah. Kami sebenarnya mencari sebuah kolam yang katanya ada di sekitar area ini, tapi malah tidak ketemu.
Kami pun menunggu terbenamnya matahari sambil duduk dan menyaksikan keadaan di sekitar, memotret monyet-monyet yang banyak ulah, atau berjalan lagi mengelilingi stupa dan memutar roda-roda doa. Sayang sekali, saat waktunya matahari mulai tenggelam, awan kelabu justru bergelayut di langit, sehingga tidak tampak warnanya yang oranye atau keemasan. Akhirnya kami berjalan-jalan lagi sebentar, lalu memutuskan untuk turun dan pulang. Saat itu waktu menunjukkan jam 4.25 sore.
Kami pun menuruni anak tangga, dan rasanya hanya dalam beberapa menit saja, kami sudah sampai kembali di dasar Swayambhunath. Baru saat turun inilah, kami melihat sebuah ruangan yang berisi sebuah roda doa namun berukuran raksasa. Tidak mau melewatkan kesempatan, aku pun memutar roda raksasa ini hehehehe...
Baru sampai di dekat gerbang, kami sudah didatangi oleh sopir taxi. Saat ditanya tarifnya menuju Thamel, katanya NRs 750, yang tentu saja kami tolak. Saat ditawar NRs 300, katanya jalanan macet jam segini, tidak mungkin ada yang mau mengantar dengan NRs 300, dan kemudian menawarkan lagi untuk harga NRs 600. Kami tidak bergeming dan terus berjalan, dan bertanya kepada driver taxi lainnya. Bapak yang satu ini pun awalnya minta NRs 600, lalu NRs 500, tapi kami ngotot hanya mau kalau NRs 300, dan akhirnya sang driver bersedia. Kami menyeberang jalan untuk menuju taxi mungil bapak tersebut, dan mobil pun mulai jalan.
Kondisi memang tampak macet total. Untuk keluar dari parkir di pinggir jalan saja butuh waktu, dan setelah itu sampai selang beberapa menit kemudian jalanan masih tampak macet juga. Kami sudah mulai kuatir bahwa perjalanan pulang ke Thamel akan makan waktu cukup lama. Namun ternyata setelah lepas dari kemacetan ini, berangsur-angsur lalu lintas mulai tidak terlalu ramai lagi, bahkan kemudian lancar jaya. Ah, para driver ini memang bisa saja ya membuat calon penumpangnya kuatir, jadi mau tidak mau mereka akan membayar lebih karena percaya bahwa lalu lintas akan macet.
Sama seperti berangkatnya, perjalanan pulang ini makan waktu sekitar 15 menit saja. Kebetulan drivernya kali ini cukup ramah, jadi kami diajak ngobrol sepanjang perjalanan. Sama seperti sebelum-sebelumnya, kami disangkanya turis dari negara Asia lain hehehehe...
Beruntung penginapan kami berada di JP Marg, karena kami diturunkan di persimpangan di ujung jalan JP Marg. Seperti yang pernah kuceritakan kemarin-kemarin, kendaraan seperti taxi tidak boleh memasuki jalan-jalan tertentu di Thamel, hanya saja aku tidak tahu pastinya jalan mana saja yang dilarang.
Turun dari taxi, kami berjalan pulang ke Khangsar Guesthouse. Saat itu suasana sudah mulai meremang, dan lalu lintas di persimpangan ini ramai sekali. Sesampai di kamar, kami bergantian mandi. Untung saja airnya masih cukup hangat, karena biasanya setelah jam 5 sore air sudah tidak bisa hangat sama sekali walaupun tidak sedingin air es juga.
Usai mandi dan setelah badan segar kembali, kami pun bersiap-siap untuk pergi lagi mencari makan malam. Kami ingin makan nasi dan ayam goreng yang seperti kemarin sore kami makan.
Kami berjalan ke Shama Hlal Food, tapi ternyata ayam gorengnya tidak ada, maka kami berjalan terus, dan tidak lama kemudian tampak sebuah restoran kecil di seberang jalan. Kami baca daftar menu yang tampak dipajang di luar, dan tampaknya harga-harga di tempat ini cukup murah. Katanya suamiku mau beli chow mien saja, jadi aku usulkan membeli masakan ayam di resto halal food dan memakannya bersama dengan chow mien di sini. Aku pun bergegas kembali ke Shama Hlal Food dan membeli seporsi chicken tash (NRs 100), lalu ke resto di sebelahnya dan membeli seporsi chicken tash juga (NRs 100) serta 3 buah chapati (NRs 20), lalu kembali ke resto tempat suamiku menunggu.
Kami masih menunggu beberapa saat sampai buff chow mien (NRs 100) dan black tea (NRs 20) yang dipesan datang, baru kemudian kami makan semuanya bersama-sama. Ditambah dengan salad tomat dan timun yang sudah aku siapkan dari penginapan, kami makan sampai kenyang sekali karena porsi chow miennya juga banyak. Dua porsi chicken tash yang kubeli, rasanya berbeda. Yang satunya agak pedas, dan yang satunya cenderung lebih asin, tapi keduanya sama enaknya. Chapatinya walaupun murah sekali rasanya juga enak, membuatku kekenyangan.
Saat kami sedang makan inilah, meja di sebelah kami kedatangan seorang tamu perempuan Western berusia 40-an bersama dengan seorang laki-laki yang sepertinya guide dari perempuan tersebut. Mereka sempat membicarakan Indonesia, tapi karena si perempuan sepertinya agaknya menyebalkan (dari cara pesan makanannya yang bossy banget), kami tidak mengajaknya bicara.
Selesai makan dan membayar, kami masih mampir di toko kecil penjual susu, lalu membeli 2 ons keju sapi (NRs 90/ons). Sebetulnya aku ingin membeli keju yak, tapi katanya malam ini sudah habis. Aku juga membeli 2 snack lainnya di tempat ini, yang satu seperti kulit pangsit goreng (NRs 120), dan satunya lagi kulit puff pastry yang dipanggang garing (NRs 60). Kami juga berputar-putar mencari selai kacang untuk teman makan roti dan puff pastry ini. Setelah bertanya ke beberapa toko, akhirnya dapat juga selai kacang di toples kecil seharga NRs 125.
Setelah itu kami masih berjalan ke pusat Thamel untuk membeli whisky dan minuman kotak untuk bekal besok di bandara sebelum pulang, baru kemudian kami pulang ke penginapan. Barang-barang sudah siap untuk packing akhir, yang akan kami lakukan besok.
Tidak terasa, sudah 4 minggu penuh kami berada di negeri Nepal. Waktu terasa cepat berlalu, dan besok kami sudah harus pulang.
Pesawat kami akan berangkat jam 9.25 malam waktu Nepal, karenanya kami baru akan berangkat ke bandara sekitar jam 6 petang, karena biasanya international check-in baru bisa dilakukan paling cepat 3 jam sebelum keberangkatan. Karenanya kami berencana kalau boleh akan minta sedikit late check-out dari penginapan, dan sore harinya kami akan titip barang sementara kami berkeliling Thamel sampai waktu berangkat ke bandara tiba. Pada umumnya jam check-out adalah jam 12 siang, dan kami hendak minta kelonggaran sampai jam 2 siang saja, sama seperti fasilitas yang diberikan oleh booking.com.
Suamiku pun turun tangga menuju ke resepsionis, dan tidak lama kemudian dia sudah kembali. Katanya, bukan saja diberi kelonggaran untuk late check-out, kami bahkan diberi kelonggaran check-out sampai jam berapa saja sampai kami hendak ke bandara. Hanya saja kami diberi pesan untuk tidak memberitahukan hal ini kepada orang lain, karena dikuatirkan semua orang akan minta late check-out. Baik sekali ya mereka kepada kami hehehehe... jadi yang rencana awalnya hendak nongkrong di luar penginapan untuk mengisi waktu, malah bisa dimanfaatkan untuk istirahat di kamar ^_^
Malam terakhir di Thamel, kami pun bisa tidur dengan perut kenyang dan perasaan tenang....
To be continued.......
Sebagai gantinya, hari ini kami pergi berjalan kaki mengunjungi Garden of Dreams di Tridevi Sadak, yang jaraknya hanya sekitar 900 meter dari Khangsar Guesthouse.
Setelah selesai sarapan dan mandi, sekitar jam 9.30 pagi kami berjalan menuju ke Garden of Dreams. Pagi ini jalan-jalan di Thamel masih tampak agak sepi, dan toko-toko masih banyak yang tutup juga. Tidak sampai 15 menit berjalan, sampailah kami di Garden of Dreams.
The Garden of Dreams atau dikenal juga dengan sebutan The Garden of Six Seasons, merupakan taman neo-klasik di Kaiser Mahal, Kathmandu, yang dibangun pada tahun 1920. Taman ini didesain oleh Kishore Narshingh, dan luasnya mencakup 6.895 meter persegi dengan 6 buah pavilion, sebuah ampiteater, sebuah museum kecil, cafe, serta beberapa kolam, pergola, dan pasu. Pada masanya dulu, taman ini dianggap sebagai salah satu taman yang paling canggih. Enam pavilion di taman ini, masing-masing didedikasikan untuk tiap musim yang ada di Nepal. Hah, ada 6 musim di Nepal?
Benar, dan tiap musim berlangsung selama 2 bulan lamanya.
Tepatnya keenam musim di Nepal adalah sebagai berikut:
- Basanta Ritu (Spring)
- Grishma Ritu (Early Summer)
- Barkha Ritu (Summer Monsoon season)
- Sharad Ritu (Early Autumn)
- Hemanta Ritu (Late autumn)
- Shishir Ritu (Winter)
Sejak pertengahan tahun 1960-an, setelah wafatnya Kaiser Sumsher Rana (1892 - 1964), taman ini diserahkan kepada pemerintah Nepal, namun ditelantarkan, dan baru-baru ini (tahun 2000 - 2007) direstorasi dengan bantuan pemerintah Austria. Pada tahun 2010, dilakukan renovasi dan kubahnya dilapis ulang dengan emas seberat 20 kg. Kini hanya separuh dari taman ini saja yang masih tersisa.
Berlokasi di persimpangan antara Thamel dan Katipath, The Garden of Dreams dibuka untuk umum. Taman ini menawarkan suasana lingkungan yang asri dan tertutup dari ramainya lalu lintas, kebisingan, polusi, dan kacau balaunya kota Kathmandu. Pengunjung bisa datang untuk duduk-duduk di bangku taman yang disediakan untuk sekedar berekreasi, bersantai, atau membaca buku.
Tiket masuk ke dalam taman ini sebesar NRs 200 untuk orang asing, dan NRs 100 untuk penduduk Nepal. Untuk menggunakan wifi yang ada di sini, pengunjung masih harus membayar lagi sebesar NRs 50/jam.
Kami masuk ke dalam gerbang, dan di dekatnya ada dua orang penjaga yang sekaligus menjual tiket masuk. Sebelum kami datang ke tempat ini, aku sudah sempat membaca beberapa review, namun tidak ada yang mengatakan soal membeli tiket, jadi kupikir tadinya gratis. Tiketnya memang NRs 200 per orang, jadi karena masih cukup terjangkau, kami memutuskan untuk tetap masuk.
Sekilas tampaknya Garden of Dreams ini memang tidak terlalu luas. Terlihat bangunan-bangunan yang membatasi tempat ini di berbagai sisi. Kami berjalan menjelajahi seluruh bagian taman ini, dari ujung ke ujung. Kadangkala memotret di sana-sini. Bunga-bunga yang berwarna-warni sedang bermekaran dan tampak indah sekali. Sempat bertemu dengan seekor bajing, namun dia segera kabur saat melihat kami mendekat.
Kaiser Museum yang ada di dalam taman ini juga bisa dibilang kecil sekali. Bangunan museum ini baru ditambahkan pada tahun 2016, dan berisi denah taman serta foto-foto sejarah berdirinya taman ini, yang rata-rata masih hitam putih.
Ada sederet anak tangga yang menuju ke arah bawah, kupikir tadinya ada lantai bawah tanah lanjutan dari museum ini. Ternyata deretan anak tangga ini menuju ke sebuah toilet. Toiletnya sendiri bersih dan cukup modern, mungkin karena jarang dipakai, atau karena masih pagi.
Pengunjungnya belum terlalu banyak, mungkin karena masih relatif pagi. Ada beberapa turis Western yang sedang membaca buku sambil duduk di bangku taman dan berjemur, ada juga yang duduk di bawah pohon. Ada juga pasangan yang tampaknya sedang piknik dan duduk-duduk di rerumputan di depan sebuah pavilion. Di rerumputan juga disediakan beberapa matras untuk duduk-duduk. Pada saat kami keluar dari museum, tampak serombongan anak kecil usia TK yang sedang bermain dan berfoto. Mereka tampak didampingi oleh beberapa orang dewasa, mungkin para guru dan orang tuanya.
Pemandangan keluar dari museum ini tampak indah dan rapi, menyenangkan untuk dilihat. Di beberapa bagian taman tampak beberapa orang pekerja lokal yang sedang membersihkan dan merawat taman ini. Ada juga seorang bapak yang sepertinya sedang mengerjakan renovasi atau perbaikan di dekat sebuah air mancur. Di sebuah sudut di dekat bangunan yang sepertinya cafe, ada sebuah toilet lagi, tapi aku tidak masuk ke dalamnya.
Hanya butuh waktu 1 jam untuk kami berdua menjelajah seluruh area taman ini, itu pun dengan jalan perlahan dan banyak memotret. Ada beberapa bangunan yang kami lihat di denah, namun kami tidak yakin boleh tidaknya dimasuki oleh pengunjung, jadi kami tidak berani masuk. Selain itu ada beberapa area yang terlarang bagi pengunjung atau sedang direnovasi.
Secara keseluruhan, The Garden of Dreams menurut pendapat pribadiku tidak terlalu wow. Indahnya biasa-biasa saja. Layak dikunjugni atau tidak? Tergantung.
Kalau kita hanya punya waktu singkat selama di Nepal, rasanya tidak perlu deh. Bagi sebagian orang (terutama penduduk lokal), Garden of Dreams hanyalah sebuah taman kecil dengan tiket masuk yang terlalu membebani, dan tidak lebih dari itu.
Tapi kalau kita stay untuk waktu yang lebih lama, terutama di Kathmandu, bolehlah dikunjungi. Garden of Dreams bisa menjadi surga sesaat dari kebisingan dan polusi di kota. Kathmandu memang kekurangan lahan hijau.
Pada akhirnya, Garden of Dreams hanyalah sebuah taman kecil dengan harga tiket dan wifi yang terlalu mahal (dan kadang wifinya tidak bisa dipakai pula!). Memang tamannya cukup unik sih, tapi aku sendiri tidak terkesan. Kalau boleh jujur, taman-taman buatan manusia seperti ini kalau di New Zeland jauh lebih indah, sejuk, dan pastinya gratis hehehehe...
Di Kathmandu, taman ini hanya sekedar tempat pelarian sesaat ke tempat yang cukup sejuk dan tenang. Tapi kalau mau melihat alam yang "sungguhan" mendingan ikut trekking saja deh ke Himalayas hahahaha...
Menjelang jam 11 siang, kami berjalan keluar dari Garden of Dreams dan menyusuri Tri Devi Sadak untuk kembali ke penginapan. Jalanan masih belum tampak terlalu ramai. Tampak beberapa pengemis sedang duduk bersandar di tembok dan menanti belas kasihan orang-orang yang lewat, sementara para pengemudi rickshaw di seberang jalan tampak termenung sembari menanti penumpang.
Setelah 15 menit berjalan kaki menyusuri Thamel, kami tiba di penginapan, namun tidak langsung masuk ke dalam penginapan. Seperti biasa, suamiku mencari kopi susu, dan aku melihat ada sebuah warung kecil di samping pintu masuk penginapan. Ternyata seperti warkop di Indonesia, selain menyediakan teh dan kopi, ada beberapa jajanan khas Nepal. Maka suamiku memesan secangkir kopi susu (NRs 70), dan aku sibuk memilih snack yang ada hehehehe...
Aku mengambil sebuah snack berbentuk segitiga, yang terbuat dari roti tawar yang dipotong diagonal dan diisi dengan sayuran, lalu digoreng dengan adonan tepung. Namanya bread pakhora. Enak juga, dan harganya pun murah, hanya NRs 20. Lalu aku mengambil lagi 2 buah pakhora (bakwan/gimbal sayuran) untukku dan suamiku, yang harga per buahnya hanya NRs 10. Bayangkan saja, hanya dengan NRs 110, kami berdua sudah cukup kenyang untuk sementara waktu.
Selagi di warung ini, aku sempat memperhatikan pemiliknya yang sedang membuat roti pratha, unik sekali cara menggoreng aloo pratha ini.
Kami juga diajak mengobrol oleh seorang bapak tua, yang ternyata adalah seorang guide. Beliau orangnya lucu dan menyenangkan, dan ujung-ujungnya promosi untuk memakai jasanya. Tapi bukan tipe yang memaksa sih, jadi kami tidak merasa sampai terganggu karenanya, justru kami simpan nama dan nomornya, siapa tahu suatu saat bisa menggunakan jasanya.
Usai mengobrol kami pun hendak kembali ke kamar saat mendengar keramaian di tepi jalan. Ternyata ada iring-iringan pengantin yang hendak lewat. Sepertinya yang menikah dari keluarga yang cukup berada, karena barisannya cukup panjang. Yang pertama lewat adalah rombongan pemusik yang memainkan musik, kemudian diikuti oleh rombongan perempuan yang membawa lilin, perlengkapan sembahyang, dan seserahan lainnya. Di belakangnya lagi sepertinya rombongan keluarga inti pengantin, baru kemudian mobil pengantinnya, dan yang terakhir sepertinya rombongan keluarga besar dan tamu-tamu lainnya. Ramai sekali, sampai cukup panjang kendaraan yang mengantri di belakangnya.
Setelah itu, kami kembali ke penginapan dan naik ke kamar yang sudah dibersihkan dan tampak rapi, lalu menyempatkan tidur siang. Bangun tidur kami membuat mie instan, menghabiskan 2 bungkus terakhir yang masih ada. Mie instan ini merknya Rara, dan sepertinya merupakan Indomie-nya Nepal. Tapi tetap saja masih kalah enak dengan Indomie deh ^_^
Setelah kenyang dan badan segar kembali, kami mandi dulu, dan bersiap-siap untuk pergi lagi, kali ini kami mau ke Swayambhunath atau Monkey Temple, yang berjarak sekitar 3 KM dari Khangsar Guesthouse. Kami sudah mencari info terlebih dulu di Google, dan untuk ke sana kita bisa naik taxi dengan tarif NRs 300 sekali jalan. Ada yang menulis lebih murah sih, NRs 150-250, tapi rasanya agak sulit mendapatkan harga tersebut, sementara kebanyakan turis dicharge NRs 400-1,200 lho....
Kami pun turun dan baru sebentar berjalan menyusuri JP Marg, ada taxi yang menawarkan jasanya. Saat kami bertanya tarifnya, sang driver langsung menjawab NRs 300, jadi kami langsung mengiyakan dan naik taxi ini.
Kami melewati jalan-jalan yang ramai dan agak macet, beberapa di antaranya jalannya kecil, hanya cukup untuk 2 mobil berpapasan. Hanya sekitar 10 menit, sampailah kami di Swayambhunath. Kami tiba jam 2.20 siang, dan ternyata kami diturunkan di pintu sisi timur, dan jaraknya sedikit lebih dekat dari perkiraanku.
Swayambhunath, kadang disebut juga Swayambu atau Swoyambu, merupakan arsitektur religius kuno di puncak sebuah bukit yang terletak di Lembah Kathmandu, di sisi barat kota Kathmandu. Bagi umat Budha, kuil ini merupakan tempat ziarah yang dianggap paling keramat di antara-kuil-kuil lainnya. Sedangkan bagi orang Tibet dan penganut Budha aliran Tibetan, Swayambhunath menjadi nomor dua setelah Boudhanath.
Kompleks Swayambhunath terdiri atas sebuah stupa dan beberapa kuil serta candi. Sebuah biara Tibetan, museum dan perpustakaan ditambahkan kemudian. Selain itu juga ada toko-toko, restoran, dan hostel. Tempat ini juga dikenal sebagai Monkey Temple karena banyaknya monyet yang dianggap suci yang tinggal di bagian barat laut candi ini. Swayambhunath merupakan salah satu tempat yang diakui sebagai Unesco World Heritage Site.
Stupa ini pernah direnovasi secara keseluruhan pada bulan Mei 2010, renovasi besar-besaran pertamanya semenjak dibangun hampir 1.500 tahun sebelumnya. Kubahnya dilapis ulang dengan emas seberat 20 kg. Renovasi ini didanai oleh Tibetan Nyingma Meditation Center of California, dan dimulai pada bulan Juni 2008. Saat gempa April 2015 terjadi, beberapa kuil di sekitarnya mengalami kerusakan, namun stupanya sendiri hanya mengalami kerusakan ringan.
Di dalam stupa Swayambhunath tersimpan banyak benda-benda bersejarah. Stupa yang berada di puncak ini dilukisi mata dan alis Budha di keempat sisinya, yang melambangkan kebijaksanaan dan belas kasih. Di atas tiap pasang mata ada mata ketiga, yang melambangkan wawasan Sang Budha yang bisa melihat segalanya. Sementara itu di antara kedua mata Budha terdapat hidung yang bentuknya seperti tanda tanya. Simbol ini adalah simbol di Nepal untuk angka 1, dan melambangkan kesatuan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan sekaligus melambangkan jalan satu-satunya menuju pencerahan melalui ajaran Budha.
Di setiap sisi dari stupa terdapat ukiran Panch Buddhas (lima Budha), dan ada patung Budha di dasar tiap stupa. Lima Budha adalah Budha dalam pengertian metaforis dalam Tantrayana, yakni Vairochana (menempati pusat dan menguasai kuil), Akshobhya (yang menghadap ke timur), Ratna Sambhava (yang menghadap ke selatan), Amitabha (yang menghadap ke barat) dan Amoghsiddhi (menghadap ke utara). Keseluruhan struktur dari stupa ini sendiri memiliki arti simbolis yang dalam.
Tiap pagi sebelum fajar menyingsing, ratusan peziarah Budha dan Hindu menaiki 365 anak tangga dari sisi timur yang menuju ke puncak bukit untuk berziarah dan mengelilingi stupa searah jarum jam. Stupa yang berada di pusat ini dikelilingi oleh "roda-roda doa" yang dihiasi dengan mantra suci "om mani padme hum", yang artinya kurang lebih "salam bagi sang permata di dalam lotus". Dalam pengertian yang lebih luas lagi, artinya bisa sangat dalam, dan bisa dibaca di sini.
Yang pasti, tempat ini merupakan tempat yang sangat indah untuk menyaksikan sunrise dan sunset, dan tujuan kami datang pun untuk menyaksikan sunset di tempat ini, selain tentunya ingin melihat view kota Kathmandu dari puncak bukit ini.
Kami baru akan memasuki gerbang ketika melihat banyak monyet yang sedang bermain atau berlarian kesana-kemari. Ada juga yang sedang duduk santai atau sedang berebut makanan dengan teman-temannya. Untungya kami tidak membawa makanan atau barang yang mudah dicuri, tapi memang sepertinya monyet-monyet ini tidak seganas yang kami jumpai di Bali, apalagi di Taman Nasional Baluran, di mana mereka berusaha mengambil atau merebut barang-barang yang dibawa oleh manusia.
Setelah memasuki gerbang ini, tampak roda-roda doa berukir mantra yang berjejer. Aku senang sekali, karena sejak sebelum berangkat ke Nepal, aku sudah melihat adanya roda-roda doa ini dan ingin memutarnya.
Katanya anak tangganya berjumlah 365 buah dari dasar sampai ke puncak, tapi jujur saja kami berdua tidak merasa jumlahnya sebanyak itu. Memang tidak kuhitung sih, hanya saja rasanya baru saja naik dan tiba-tiba sudah sampai. Bisa jadi ini efek dari trekking selama 9 hari yang setiap harinya naik dan turun ribuan anak tangga, jadi kalau hanya ratusan sepertinya tidak terasa hehehehe... Dari dasar menaiki anak tangga ini, ada beberapa stupa dan patung Budha yang indah. Selain itu ada beberapa penjual makanan dan minuman. Kami tidak membeli apa pun, namun katanya semakin ke atas harganya semakin mahal, mungkin untuk ongkos naik tangganya ya ^_^
Loket penjualan tiket ada di titik menjelang puncak anak tangga, dan dari titik ini sudah bisa terlihat kota Kathmandu di bawah sana. Untuk turis dari negara-negara anggota SAARC, tiket masuknya NRs 50, dan untuk turis dari negara-negara lain tiket masuknya NRs 200.
Setelah membeli tiket dan melanjutkan naik tangga, 1-2 menit kemudian sampailah kami di puncak Swayambhunath.
Swayambhunath Stupa yang berada di puncak ini memang tampak indah dan megah, bisa dilihat dari foto-foto yang kami ambil di sana. Ratusan bendera mantra tampak bergelantungan dari puncak stupa, berwarna-warni dan indah sekali. Pengunjungnya saat itu sedang ramai, jadi agak susah untuk memotret tanpa adanya orang di dalam frame. Seperti sudah kusebutkan sebelumnya, di sekeliling stupa ini terdapat roda-roda doa berisi mantra juga, dan setiap kali kami menemukannya, kami akan memutarnya searah jarum jam. Walaupun kami berdua tidak beragama Budha, namun kami senang sekali memutar roda-roda ini. Pada saat kami sedang duduk-duduk, aku sempat melihat seorang perempuan Western paruh baya yang sedang memutar roda-roda doa ini dengan arah yang terbalik. Setelah kukatakan bahwa seharusnya diputar searah jarum jam, buru-buru dia minta maaf dan berterima kasih karena sudah diberi tahu.
Prayer wheels atau roda-roda doa ini bisa terbuat dari kayu, logam, batu, kulit, atau kain kasar. Pada umumnya, mantra Om Mani Padme Hum terukir atau tertulis di permukaannya dalam bahasa Sansekerta, namun bisa juga terukir mantra lain. Dikatakan, apabila kita memutar roda-roda ini searah jarum jam, sama saja dengan kita melantunkan mantra-mantra tersebut. Menurut ajaran agama Budha, memutar roda-roda ini akan membawa keberuntungan bagi tempat di mana roda-roda tersebut berada, sekaligus keberuntungan bagi kita sendiri.
Roda-roda doa yang berada di Swayambhunath ini terbuat dari logam, dan termasuk static wheel, atau roda statis yang diputar dengan tangan. Selain itu ada juga yang diputar dengan energi air yang mengalir, energi panas dari lilin, energi cahaya listrik, energi angin, bahkan energi motor/listrik.
Kami menjelajah puncak Swayambhunath ini perlahan-lahan, karena kami memiliki cukup banyak waktu. Di beberapa bagian tampak ada bangunan-bangunan yang sepertinya sedang mengalami renovasi (walaupun sebetulnya tidak tampak ada orang yang sedang mengerjakan sih, atau mungkin tidak tampak karena tertutup seng).
Ada sebuah area di mana terdapat banyak sekali candi-candi dan arca-arca kecil yang berdiri berdekatan. Di sekeliling tempat ini terdapat banyak penjual souvenir, restoran, dan penginapan. Souvenir yang dijual di tempat ini sangat bervariasi, serasa semua yang dijual di Thamel ada di sini juga. Saat aku sedang melihat-lihat dan memotret di sebuah toko souvenir, kami berdua sempat diajak mengobrol cukup lama dengan seorang pemuda yang sedang menjaganya. Katanya dia senang mengobrol dengan turis asing untuk melatih bahasa Inggrisnya. Kami juga sempat foto bersama untuk kenang-kenangan.
Ada dua tempat di mana kita bisa melihat pemandangan kota Kathmandu yang tampak di bawah sana. Rumah-rumah tampak salng berhimpitan. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya bangunan-bangunan, kebanyakan di antaranya bertingkat. Dengan bangunan-bangunan yang dicat berwarna-warni, pemandangan kota Kathmandu ini bagiku sangat indah namun sekaligus menyedihkan, membayangkan betapa padat dan semrawutnya kehidupan di ibukota ini. Begitu banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan tinggal di lingkungan-lingkungan yang kumuh :(
Kadangkala ada orang yang memberi makanan kepada monyet-monyet yang banyak terdapat di sini, dan biasanya mereka akan saling berlomba dan berebutan, saling mengejar satu sama lain kesana-kemari. Monyet-monyet ini kadang juga mencuri persembahan yang diletakkan oleh orang-orang di candi-candi kecil di sekeliling stupa. Beberapa ekor anjing juga tampak di tempat ini, kebanyakan sedang tidur sambil berjemur di bawah sinar matahari.
Selain banyak turis asing dan lokal, banyak juga biksu yang mengunjungi tempat ini, bukan hanya untuk berdoa, tapi juga selfie dan berfoto-foto hehehehe... Katanya banyak biksu dari Tibet yang datang ke tempat ini untuk berziarah. Sesekali ada juga turis asing yang datang ke tempat ini bersama seorang guide, padahal tempatnya bisa dibilang relatif kecil. Kalau bukan tipe orang yang bisa menikmati tempat ini, mungkin 10-15 menit berada di puncak juga sudah selesai menjelajahinya.
Kami sempat hendak menuruni anak tangga yang berada di sisi lain dari arah kami datang, tapi baru turun sebentar sepertinya sudah tampak area yang sepertinya adalah tempat parkir mobil sekaligus ada pos tiket juga, karena itu kami batal turun sampai ke bawah. Kami sebenarnya mencari sebuah kolam yang katanya ada di sekitar area ini, tapi malah tidak ketemu.
Kami pun menunggu terbenamnya matahari sambil duduk dan menyaksikan keadaan di sekitar, memotret monyet-monyet yang banyak ulah, atau berjalan lagi mengelilingi stupa dan memutar roda-roda doa. Sayang sekali, saat waktunya matahari mulai tenggelam, awan kelabu justru bergelayut di langit, sehingga tidak tampak warnanya yang oranye atau keemasan. Akhirnya kami berjalan-jalan lagi sebentar, lalu memutuskan untuk turun dan pulang. Saat itu waktu menunjukkan jam 4.25 sore.
Kami pun menuruni anak tangga, dan rasanya hanya dalam beberapa menit saja, kami sudah sampai kembali di dasar Swayambhunath. Baru saat turun inilah, kami melihat sebuah ruangan yang berisi sebuah roda doa namun berukuran raksasa. Tidak mau melewatkan kesempatan, aku pun memutar roda raksasa ini hehehehe...
Baru sampai di dekat gerbang, kami sudah didatangi oleh sopir taxi. Saat ditanya tarifnya menuju Thamel, katanya NRs 750, yang tentu saja kami tolak. Saat ditawar NRs 300, katanya jalanan macet jam segini, tidak mungkin ada yang mau mengantar dengan NRs 300, dan kemudian menawarkan lagi untuk harga NRs 600. Kami tidak bergeming dan terus berjalan, dan bertanya kepada driver taxi lainnya. Bapak yang satu ini pun awalnya minta NRs 600, lalu NRs 500, tapi kami ngotot hanya mau kalau NRs 300, dan akhirnya sang driver bersedia. Kami menyeberang jalan untuk menuju taxi mungil bapak tersebut, dan mobil pun mulai jalan.
Kondisi memang tampak macet total. Untuk keluar dari parkir di pinggir jalan saja butuh waktu, dan setelah itu sampai selang beberapa menit kemudian jalanan masih tampak macet juga. Kami sudah mulai kuatir bahwa perjalanan pulang ke Thamel akan makan waktu cukup lama. Namun ternyata setelah lepas dari kemacetan ini, berangsur-angsur lalu lintas mulai tidak terlalu ramai lagi, bahkan kemudian lancar jaya. Ah, para driver ini memang bisa saja ya membuat calon penumpangnya kuatir, jadi mau tidak mau mereka akan membayar lebih karena percaya bahwa lalu lintas akan macet.
Sama seperti berangkatnya, perjalanan pulang ini makan waktu sekitar 15 menit saja. Kebetulan drivernya kali ini cukup ramah, jadi kami diajak ngobrol sepanjang perjalanan. Sama seperti sebelum-sebelumnya, kami disangkanya turis dari negara Asia lain hehehehe...
Beruntung penginapan kami berada di JP Marg, karena kami diturunkan di persimpangan di ujung jalan JP Marg. Seperti yang pernah kuceritakan kemarin-kemarin, kendaraan seperti taxi tidak boleh memasuki jalan-jalan tertentu di Thamel, hanya saja aku tidak tahu pastinya jalan mana saja yang dilarang.
Turun dari taxi, kami berjalan pulang ke Khangsar Guesthouse. Saat itu suasana sudah mulai meremang, dan lalu lintas di persimpangan ini ramai sekali. Sesampai di kamar, kami bergantian mandi. Untung saja airnya masih cukup hangat, karena biasanya setelah jam 5 sore air sudah tidak bisa hangat sama sekali walaupun tidak sedingin air es juga.
Usai mandi dan setelah badan segar kembali, kami pun bersiap-siap untuk pergi lagi mencari makan malam. Kami ingin makan nasi dan ayam goreng yang seperti kemarin sore kami makan.
Kami berjalan ke Shama Hlal Food, tapi ternyata ayam gorengnya tidak ada, maka kami berjalan terus, dan tidak lama kemudian tampak sebuah restoran kecil di seberang jalan. Kami baca daftar menu yang tampak dipajang di luar, dan tampaknya harga-harga di tempat ini cukup murah. Katanya suamiku mau beli chow mien saja, jadi aku usulkan membeli masakan ayam di resto halal food dan memakannya bersama dengan chow mien di sini. Aku pun bergegas kembali ke Shama Hlal Food dan membeli seporsi chicken tash (NRs 100), lalu ke resto di sebelahnya dan membeli seporsi chicken tash juga (NRs 100) serta 3 buah chapati (NRs 20), lalu kembali ke resto tempat suamiku menunggu.
Kami masih menunggu beberapa saat sampai buff chow mien (NRs 100) dan black tea (NRs 20) yang dipesan datang, baru kemudian kami makan semuanya bersama-sama. Ditambah dengan salad tomat dan timun yang sudah aku siapkan dari penginapan, kami makan sampai kenyang sekali karena porsi chow miennya juga banyak. Dua porsi chicken tash yang kubeli, rasanya berbeda. Yang satunya agak pedas, dan yang satunya cenderung lebih asin, tapi keduanya sama enaknya. Chapatinya walaupun murah sekali rasanya juga enak, membuatku kekenyangan.
Saat kami sedang makan inilah, meja di sebelah kami kedatangan seorang tamu perempuan Western berusia 40-an bersama dengan seorang laki-laki yang sepertinya guide dari perempuan tersebut. Mereka sempat membicarakan Indonesia, tapi karena si perempuan sepertinya agaknya menyebalkan (dari cara pesan makanannya yang bossy banget), kami tidak mengajaknya bicara.
Selesai makan dan membayar, kami masih mampir di toko kecil penjual susu, lalu membeli 2 ons keju sapi (NRs 90/ons). Sebetulnya aku ingin membeli keju yak, tapi katanya malam ini sudah habis. Aku juga membeli 2 snack lainnya di tempat ini, yang satu seperti kulit pangsit goreng (NRs 120), dan satunya lagi kulit puff pastry yang dipanggang garing (NRs 60). Kami juga berputar-putar mencari selai kacang untuk teman makan roti dan puff pastry ini. Setelah bertanya ke beberapa toko, akhirnya dapat juga selai kacang di toples kecil seharga NRs 125.
Setelah itu kami masih berjalan ke pusat Thamel untuk membeli whisky dan minuman kotak untuk bekal besok di bandara sebelum pulang, baru kemudian kami pulang ke penginapan. Barang-barang sudah siap untuk packing akhir, yang akan kami lakukan besok.
Tidak terasa, sudah 4 minggu penuh kami berada di negeri Nepal. Waktu terasa cepat berlalu, dan besok kami sudah harus pulang.
Pesawat kami akan berangkat jam 9.25 malam waktu Nepal, karenanya kami baru akan berangkat ke bandara sekitar jam 6 petang, karena biasanya international check-in baru bisa dilakukan paling cepat 3 jam sebelum keberangkatan. Karenanya kami berencana kalau boleh akan minta sedikit late check-out dari penginapan, dan sore harinya kami akan titip barang sementara kami berkeliling Thamel sampai waktu berangkat ke bandara tiba. Pada umumnya jam check-out adalah jam 12 siang, dan kami hendak minta kelonggaran sampai jam 2 siang saja, sama seperti fasilitas yang diberikan oleh booking.com.
Suamiku pun turun tangga menuju ke resepsionis, dan tidak lama kemudian dia sudah kembali. Katanya, bukan saja diberi kelonggaran untuk late check-out, kami bahkan diberi kelonggaran check-out sampai jam berapa saja sampai kami hendak ke bandara. Hanya saja kami diberi pesan untuk tidak memberitahukan hal ini kepada orang lain, karena dikuatirkan semua orang akan minta late check-out. Baik sekali ya mereka kepada kami hehehehe... jadi yang rencana awalnya hendak nongkrong di luar penginapan untuk mengisi waktu, malah bisa dimanfaatkan untuk istirahat di kamar ^_^
Malam terakhir di Thamel, kami pun bisa tidur dengan perut kenyang dan perasaan tenang....
To be continued.......
No comments:
Post a Comment