20 April 2018
Louangphabang (Lao: ຫລວງ ພະ ບາງ), Luang Phabang, atau Luang Prabang, yang secara harafiah berarti "Gambaran Buddha Sang Raja", adalah sebuah kota di utara tengah Laos yang terdiri dari 58 desa yang berdekatan dan sekaligus merupakan mantan ibukota Laos hingga tahun 1975. Kota ini dianggap sebagai jantung budaya Laos, dan karenanya dinobatkan sebagai UNESCO Heritage Site pada tahun 1995 untuk peninggalan arsitektur, agama, dan budaya yang unik dan "sangat terjaga", perpaduan dari perkembangan pedesaan dan perkotaan selama beberapa abad, termasuk pengaruh kolonial Perancis selama abad ke-19 dan ke-20.
Kota ini adalah tempat dari banyak peristiwa selama dan setelah Perang Dunia II dan diduduki oleh beberapa negara asing selama perang (Perancis, Thailand, Jepang, dan China).
Berlokasi di 700 mdpl, Luang Prabang dikelilingi oleh pegunungan di sekitarnya. Pusat kota Luang Prabang terdiri atas empat jalan utama dan terletak di semenanjung di pertemuan Sungai Nam Khan dan Sungai Mekong. Kota ini terkenal karena di dalamnya terdapat banyak kuil dan biara Buddha. Setiap pagi, ratusan bikkhu dari berbagai vihara akan berjalan untuk mengumpulkan dana makanan (alms giving ceremony). Salah satu landmark utama kota ini adalah Gunung Phousi, sebuah bukit curam besar yang tingginya 150 meter. Ratusan tangga curam di bukit ini mengarah ke kuil Wat Chom Si dan pemandangan kota dan sungai di puncaknya. Tempat ini cukup populer untuk menyaksikan sunset di Mekong River.
Luang Prabang berjarak sekitar 300 KM dari Vientiane, ibukota Laos. Kota ini merupakan bagian dari Distrik Luang Prabang, Provinsi Luang Prabang, dan merupakan ibukota dan pusat administrasi provinsi. Saat ini populasi kota secara keseluruhan diperkirakan sekitar 56.000 jiwa, dan 24.000 jiwa di antaranya menempati situs-situs yang dilindungi oleh UNESCO.
Bekas ibukota Kerajaan ini masih tetap menjadi pusat utama pembelajaran Buddha di Laos dan merupakan lokasi yang sempurna untuk meditasi spiritual. Baru pada tahun 1989 Laos membuka diri untuk pariwisata, dan negara yang sebelumnya terputus dari kawasan Asia Tenggara lainnya ini mengembangkan ekonomi yang kecil namun stabil, berbasis pariwisata dan perdagangan regional. Luang Prabang, kota kecil di mana sebagian besar penduduknya tertidur pada pukul 22:00 ini, sekarang merupakan salah satu provinsi terkaya dan paling banyak dikunjungi di Laos.
Luang Prabang memiliki banyak situs alam dan bersejarah. Di antaranya yang paling populer adalah Kuang Si Waterfalls, Tat Sae Waterfalls, dan Gua Pak Ou. Di Sisavangvong Road terdapat night market yang didedikasikan untuk turis dengan banyak kios yang menjual pakaian, aksesoris, dan berbagai macam souvenir lainnya. Museum Istana Kerajaan Haw Kham dan kuil Wat Xieng Thong adalah beberapa situs bersejarah yang paling terkenal. Kota ini, khususnya di jalan utama, dipenuhi banyak kuil kecil seperti Wat Hosian Voravihane. Luang Prabang menerima penghargaan sebagai 'Kota Terbaik' di Wanderlust Travel Awards 2015.
Pagi hari, aku terbangun jam 5.30 pagi, dan setelah melakukan rutinitas pagi aku turun ke dapur terbuka di bawah untuk masak nasi. Pagi ini hujan turun walaupun tidak terlalu deras. Rasanya senang sekali bisa masak nasi untuk suami hari ini. Waktu menunjukkan jam 6.30 pagi dan suasana masih tampak sepi, sepertinya belum ada orang lain yang bangun. Aku memperhatikan suasana di dapur, yang walaupun tampak sangat sederhana dengan peralatan seadanya, namun sangat berguna bagi kami, terutama untuk kegiatan masak-memasak.
Ada sebuah meja kayu dengan beberapa macam bumbu di atasnya, dan sebuah meja kayu lain yang lebih kecil dengan beberapa peralatan makan yang diletakkan di dalam dua buah keranjang kecil. Kompor gas dua mata berfungsi dengan baik, dengan tabung elpiji 15kg di sebelahnya. Selain itu ada sebuah rak aluminium yang berfungsi sebagai alas kitchen sink sekaligus untuk meletakkan barang-barang yang baru selesai dicuci. Di sebelahnya terdapat sebuah tempat sampah tertutup berukuran besar, sebuah mesin cuci , dan beberapa buah ember besar.
Secara umum kondisinya tidak bersih-bersih amat, tapi juga tidak sampai jorok. Hanya saja slang pembuangan dari kitchen sink langsung menuju ke tanah di halaman, tidak ada saluran pembuangan ke got atau semacamnya.
Saat aku sedang masak nasi inilah kemudian ada salah satu laki-laki separuh baya yang bangun dan kemudian menuju ke dapur. Tadinya aku sungkan karena pagi-pagi sudah masak. Di luar duagaan, dia malah memuji-mujiku, katanya rajin sekali pagi-pagi sudah bangun dan masak hehehehe... Sebetulnya dia berbicara dengan bahasa China campur bahasa isyarat, tapi sedikit banyak aku mengerti maksudnya ^_^
Usai masak nasi, aku menyimpannya terlebih dahulu di dalam kamar, kemudian jalan-jalan sebentar keluar untuk melihat-lihat keadaan. Jalanan tampak basah akibat hujan, dan suasana di jalan besar masih tampak sangat sepi, berbeda sekali dengan suasana pagi di Vietnam yang biasanya sudah ramai. Aku sempat memotret-motret sebentar sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam kamar.
Setelah suami bangun dan selesai dengan rutinitas pagi, kami bergantian mandi, kemudian jam 9 pagi kami sudah siap untuk menjelajah sekitar. Hari ini kami akan ke Mount Phousi yang pintu masuknya berada di Kingkitsarath Road dan hanya berjarak sekitar 1 KM dari penginapan. Suasana masih agak mendung, jadi berjalan kaki terasa sangat menyenangkan pagi ini.
Sampai di pintu masuknya, kami mendaki anak-anak tangga dan tanjakan yang terbentang di hadapan kami.
Kami melewati banyak ornamen dan patung Buddha yang semuanya indah. Ada pula "jejak kaki" Sang Buddha di tempat ini. Ada viewpoint di mana kita bisa melihat Nam Khan River, dan setelah menaiki tangga yang ada, kami sampai di sebuah pelataran dengan banyak patung dan tempat-tempat bersembahyang. Di tempat ini terdengar suara musik pop kekinian yang diputar dengan sebuah music box. Tampak ada dua orang biksu yang sedang bekerja. Sepertinya tempat ini sedang direnovasi atau diperbaiki.
Melewati pelataran dan deretan patung-patung indah berwarna keemasan, sekitar jam 9.35 pagi kami sampai di pos pembelian tiket.Harga tiket masuk per orang adalah LAK 20K. Penjaganya adalah dua orang laki-laki yang tampaknya sudah cukup berumur. Di sini juga terdapat berbagai macam souvenir yang bisa dibeli, seperti kartu pos, foto, gantungan kunci, magnet kulkas, dan masih banyak lagi. Selain kami berdua ada beberapa orang pengunjung lokal yang juga baru tiba.
Setelah membeli dua buah tiket, kami melanjutkan berjalan di jalan setapak yang ada. Aku sempat ke toilet yang ada di dekat pos tiket, dan di sekitar toilet aku melihat ada beberapa biksu muda yang sedang sibuk bekerja dengan bahan-bahan bangunan.
Menyusuri jalan setapak yang ada, kami melewati lagi banyak patung berwarna keemasan yang indah-indah, dari yang seukuran manusia hingga yang berukuran raksasa.
Setelah berjalan perlahan-lahan (karena banyak memotret) sambil terus menaiki tangga, akhirnya kami tiba di puncak gunung kecil ini.
Di puncak Mount Phousi ini terdapat sebuah kuil (Wat Chom Si), dan tampak ada beberapa orang yang sedang berdoa. Kami tidak berani masuk ke dalamnya karena takut tidak diperbolehkan apabila tidak hendak berdoa. Di sisi kuil terdapat sebuah tembok yang di puncaknya terpasang sebuah pagoda besar berwarna keemasan.
Selain itu ada sebuah viewpoint di mana kita bisa melihat kota Luang Prabang beserta Nam Khan River yang membelahnya, sementara di lain sisi kita bisa melihat Mekong River dan sisi lain kota. Kami meluangkan waktu untuk berfoto-foto dan mengambil gambar di tempat ini. Pemandangan yang indah di pagi yang indah ^_^
Sekitar jam 10.05 pagi, kami hendak berjalan turun melalui jalan lain, karena memang ada dua jalan masuk menuju ke puncak. Di dekat tangga turun, kami melihat ada beberapa orang yang berjualan. Yang disayangkan, ada satu pedagang yang menjual anak-anak ayam yang masing-masing diletakkan di dalam kurungan kecil-kecil :(
Kami berjalan menuruni anak-anak tangga yang ada, yang terasa lebih landai dari waktu berangkat tadi. Rasanya hanya berjalan sebentar saja, kami sudah sampai di sebuah taman dengan banyak pepohonan besar di areanya, dan ada sebuah pohon yang diberi pot/pagar batu di mana banyak sesajen yang diletakkan di atasnya.
Setelah itu, kami menuruni satu set tangga terakhir yang agak panjang dan agak curam. Ternyata kami langsung keluar di Sisavangvong Road, tepat di seberang Royal Palace Museum berada. Suasana tampak ramai dengan penduduk lokal.
Tadinya kami ragu-ragu hendak memasuki area Royal Palace ini, karena tidak tahu harus membayar atau tidak, dan mahal atau tidak. Sepertinya sedang ada acara di tempat ini, karena tampak banyak sekali orang yang mengenakan pakaian tradisional yang indah-indah. Banyak di antara mereka yang sedang berfoto bersama juga.
Di luar pintu masuknya banyak pedagang kaki lima yang menjual makanan dan minuman. Ada yang menjual buah manggis dan jeruk, ada yang menjual es krim, dan beberapa makanan lokal lainnya. Akhirnya kami berjalan masuk saja, karena sepertinya tidak ada orang lain yang membeli tiket saat masuk.
Di area paling luar ada sebuah bangunan yang bernama Haw Pha Bang, salah satu monumen paling menarik di Luang Prabang karena hiasan-hiasannya. Haw Pha Bang sendiri berarti Kuil Kerajaan, dikenal juga sebagai Wat Ho Pha Bang. Kuil ini dibangun untuk menyimpan gambar Buddha yang paling suci, yakni Phra Bang Buddha.
Walaupun tampak tua, bangunan ini sebenarnya cukup baru, dan baru selesai dibangun tahun 2006. Pembangunan awalnya di tahun 1963 sempat terhenti akibat berkuasanya rezim komunis Pathet Lao, dan baru dilanjutkan kembali pada tahun 1990-an.
Royal Palace Museum sendiri tadinya merupakan istana kerajaan. Berlokasi di tepian Mekong River dan menghadap ke Mount Phousi yang dianggap sakral, istana ini dibangun pada tahun 1904 hingga tahun 1909 untuk menggantikan bangunan istana yang lama. Istana ini dibangun pada jaman penjajahan Perancis, dan setelah Raja Sisavang Vong wafat, Putra Mahkota Savang Vatthana dan keluarganya adalah orang-orang terakhir yang menempati tanah tersebut. Pada tahun 1975, saat kerajaan digulingkan oleh komunis dan keluarga kerajaan dibawa ke kamp, istana tersebut diubah menjadi museum nasional.
Sebetulnya untuk masuk ke dalam museum dan kuil di area ini, pengunjung seharusnya membeli tiket seharga LAK 30K, namun mungkin kami memang sedang beruntung. Entah karena memang sedang ada acara di tempat ini atau memang belum jamnya, belakangan kami melihat ada loket tiket dan memang tutup hehehehe... Pintu kuil dan museumnya pun tertutup.
Kami menjelajahi area ini sambil bersantai dan banyak memotret orang-orang di sekitar kami yang rata-rata memakai pakaian tradisional. Di area kebunnya yang sangat luas, kami berjumpa dengan beberapa orang biksu yang sedang berjalan terburu-buru. Hanya tampak sedikit sekali turis asing/westerner di dalam area museum ini.
Keluar dari area Royal Palace Museum, kami membeli sebuah es krim seharga LAK 10K. Sebenarnya kami membeli hanya lebih karena kasihan kepada pedagangnya yang tampak sudah tua dan kurus. Di luar di sekitar area museum ini juga banyak pedagang yang menjual berbagai macam souvenir dan memajang dagangannya di trotoar.
Berjalan kaki menyusuri Sisavangvong Road, kami masih melewati beberapa kuil lagi, lalu melanjutkan perjalanan kembali menuju ke penginapan karena waktu sudah menunjukkan hampir jam 11 siang.
Sesampai di Beauty Season, aku segera menyiapkan makan siang. Karena sudah ada nasi matang dan masih ada sayuran, aku memutuskan untuk masak nasi goreng saja. Aku membuatkan nasi goreng vegetarian untuk Flo & Jasmine, dan untuk suami tinggal ditambahkan daging saja.
Kami berempat makan bersama di lantai balkon kamar, dan setelah itu kami masih mengobrol sejenak, baru kemudian kami berdua berpamitan untuk mandi dan tidur siang. Kami tidur dari jam 1.30 siang hingga jam 3 siang.
Bangun dari tidur, kami cuci muka dan bersiap untuk jalan-jalan lagi di sekitar kota. Kami menyempatkan membayar kamar kami untuk 4 malam sebesar US$12/malam (kebetulan kami membawa sedikit mata uang US$). Aku juga mengatakan kepada resepsionisnya bahwa aku akan melakukan booking kamar lewat booking.com, agar setelahnya aku bisa memberi review untuk tempat ini. Tapi di lain pihak, aku memiliki kode booking dari Lucho, jadi aku akan mendapatkan diskon lagi sebesar US$15 setelah check out nanti hehehehe...
Kami kembali menyusuri jalanan di Luang Prabang, dan sempat mengunjungi sebuah kuil sekaligus biara. Di kota ini memang banyak sekali kuil Buddha dan biara, tidak heran kalau dijadikan pusat belajar agama Buddha.
Kami menyusuri tepian Nam Khan River, hingga akhirnya menyatu di Mekong River di jalan Khem Khong. Melalui jalanan di tepian Mekong River ini, suasana terlihat sepi. Jarang kendaraan dan orang yang melintas. Cafe-cafe dan rumah-rumah makan pun tampak sepi pengunjung. Ada sebuah rumah makan yang namanya Bon Cafe, sama seperti nama rumah makan steak di Surabaya ^_^
Kalau diperhatikan, bangunan-bangunan di sini memang terasa kental sekali gaya Perancisnya. Suasana kotanya sendiri terasa menyenangkan sekali dengan tidak berjubelnya turis di mana-mana dan tidak ada pedagang yang memaksa-maksa kita untuk membeli barangnya.
Kami berbelok masuk ke Kitsalat Road yang sudah dipalang karena kendaraan dilarang masuk, dan mulai tampak beberapa penjual kue-kue dan makanan yang sudah berjualan. Mulai onde-onde, donat, roti-roti goreng, sandwich isi berbagai macam selai, lumpia, aneka macam barbeque, hingga berbagai macam lauk pauk atau kue basah yang diberi wadah styrofoam. Ada juga pedagang buah-buahan yang menjual apel, anggur, mangga, manggis, rambutan, pear, buah naga, hingga durian! Rasanya benar-benar seperti di Indonesia saja melihat jenis-jenis makanan dan buah-buahannya. Kami juga sempat mencari tempat makan all you can eat yang diceritakan oleh Yuniago dan Dian kemarin, karena rencananya malam ini kami akan makan di sana bersama Flo & Jasmine. Setelah puas melihat-lihat barulah kami berjalan pulang ke penginapan.
Kami baru sampai sekitar jam 5.40 petang, dan suasana masih terang sekali. Kami naik ke kamar dan menjumpai Flo & Jasmine, lalu kami ngopi dan mengobrol di balkon. Baru sekitar jam 6.30 petang kami beranjak untuk pergi ke night market. Saat berada di bawah, kami bertemu dengan laki-laki dari China yang bekerja di sini. Kami sempat mengobrol sejenak dengan bahasa tarzan dengannya sementara menunggu Jasmine mengisi botol airnya. Beliau mengundang kami semua untuk makan bersama, namun karena malam ini kami tidak bisa, katanya besok siang saja. Kami akan dimasakkan olehnya.
Jadilah kami berempat berjalan kaki langsung menuju ke night market, dan langsung ke tempat makan all you can eat yang kami tuju. Ternyata jenis masakannya banyaaak sekali! Dari berbagai macam tumis sayuran, kentang, mie dan bihun, telur dadar dan ceplok, roti, kerupuk, bahkan berbagai macam gorengan! Pastinya ada lebih dari 30 macam makanan di lapak ini. Syaratnya hanya boleh mengambil 1 kali saja dengan satu buah mangkuk yang mereka berikan setelah kita membayar terlebih dahulu. Ada juga beberapa macam menu daging yang bisa diambil, namun dibayar terpisah. Minum juga tidak termasuk, namun tidak masalah karena kami selalu membawa air ke mana-mana. Pengunjung tempat ini cukup ramai walaupun sebenarnya di samping kanan kirinya banyak pedagang lain yang menjual berbagai macam makanan.
Walaupun gelap mata tapi tetap penuh pertimbangan agar tidak ada makanan terbuang nantinya, aku mengambil sebanyak yang aku bisa dengan mangkuk yang ada. Kebanyakan sebetulnya sayur-mayur, sedikit kentang, dan banyak gorengan serta kerupuk. Aku sudah merencanakan bahwa semua sayuran akan aku habiskan, sementara kalau sudah tidak kenyang gorengannya akan kubawa pulang dengan tissue hehehehe.... Soalnya ada pisang goreng, salah satu makanan kesukaan suami, sementara dia lebih banyak mengambil mie dengan sedikit sayuran dan kerupuk.
Karena diisi semaksimal mungkin, mangkuk yang kupegang isinya sampai benar-benar menggunung, bahkan milik suami hanya tampak separuhnya. Beberapa orang sampai memperhatikan aku dengan keheranan, bahkan ada yang sampai melotot hahahaha.... Flo & Jasmine juga sampai heran melihat banyaknya makanan yang kuambil :))
Gorengan-gorengan kuletakkan di atas tissue (Flo juga mengambil cukup banyak gorengan), lalu kami berempat mulai makan dengan lahapnya, dan tidak lama kemudian ada dua orang gadis asal Spanyol yang kemudian bergabung di meja kami karena meja lainnya juga kebanyakan terisi. Sepertinya mereka memilih duduk di meja kami karena ada Flo & Jasmine yang "sama-sama bule". Kami berdua secara pribadi juga kurang cocok dengan kedua gadis ini.
Aku menghabiskan sampai bersih semua yang ada di mangkuk. Perutku rasanya sampai kekenyangan hingga sulit bernafas hahahaha... Akhirnya aku memasukkan gorengan yang tidak termakan ke dalam ransel kecil yang selalu kubawa.
Usai makan, karena suasana masih agak ramai, kami beranjak dari tempat ini untuk mencari tempat mengobrol. Karena masih sama-sama kekenyangan hingga susah berjalan, kami berempat akhirnya duduk-duduk di trotoar di jalanan night market ini. Entah hanya perasaanku atau bagaimana, kadang orang (terutama Westerner) agak memandang kami berdua dengan tatapan yang agak aneh atau berkernyit. Mungkin orang-orang tersebut menyangka kami orang lokal yang sedang berusaha menjual sesuatu atau sok akrab kepada kedua teman kami ini. Tapi biarlah hehehehe...
Kami mengobrol tiada habisnya hingga tidak terasa waktu berlalu, dan perut sudah tidak kekenyangan lagi. Akhirnya gorengan yang tadi kusimpan kukeluarkan dan kami makan bersama ^_^
Aku memperhatikan, kebanyakan pedagang yang berjualan pada umumnya tidak banyak pembeli. Di atas jam 9 malam, semakin lama suasana juga tampak lebih sepi. Baru sekitar jam 9.30 malam kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar night market ini. Barang-barang yang dijual di sini sangat bervariasi, mulai dari kaos-kaos dan aneka macam pakaian, berbagai macam souvenir dan aksesoris, kain, lampion, lukisan, speaker dari bambu untuk HP, kerajinan dari kayu, payung aneka warna, tas, hingga aneka macam snack dan minuman.
Saat sedang berjalan melihat-lihat inilah kami bertemu dengan laki-laki yang mengundang kami makan siang besok. Beliau sepertinya sedang berjalan-jalan bersama istri dan anaknya yang masih bayi (mereka tinggal di dalam penginapan juga). Kalau tidak salah tangkap, sepertinya besok lusa mereka akan pulang ke China. Beliau kembali mengingatkan kami agar tidak lupa makan siang bersama mereka besok.
Karena aku mulai mengoleksi gelang, aku memutuskan membeli sebuah gelang tali untuk kenang-kenangan seharga LAK 5K. Hanya sebuah gelang sederhana bertuliskan LAOS dengan ornamen gambar gajah, tapi aku suka ^_^
Waktu menunjukkan jam 10 malam, dan beberapa pedagang sudah mulai menutup dan membereskan lapaknya. Karena sudah cukup malam, kami berempat berjalan kaki pulang ke penginapan dan baru sampai jam 10.20 malam. Masuk ke kamar masing-masing, kami berdua bergantian mandi, dan setelah menggosok gigi, kami pun tidur.
Hari ini kami berjalan kaki sejauh 13 KM dan rasanya cukup lelah, apalagi ditambah perut yang sangat kekenyangan, namun pengalaman hari ini sangat menyenangkan. Mudah-mudahan esok pun kami akan mendapatkan pengalaman-pengalaman seru lainnya ^_^
To be continued.......
Kota ini adalah tempat dari banyak peristiwa selama dan setelah Perang Dunia II dan diduduki oleh beberapa negara asing selama perang (Perancis, Thailand, Jepang, dan China).
Berlokasi di 700 mdpl, Luang Prabang dikelilingi oleh pegunungan di sekitarnya. Pusat kota Luang Prabang terdiri atas empat jalan utama dan terletak di semenanjung di pertemuan Sungai Nam Khan dan Sungai Mekong. Kota ini terkenal karena di dalamnya terdapat banyak kuil dan biara Buddha. Setiap pagi, ratusan bikkhu dari berbagai vihara akan berjalan untuk mengumpulkan dana makanan (alms giving ceremony). Salah satu landmark utama kota ini adalah Gunung Phousi, sebuah bukit curam besar yang tingginya 150 meter. Ratusan tangga curam di bukit ini mengarah ke kuil Wat Chom Si dan pemandangan kota dan sungai di puncaknya. Tempat ini cukup populer untuk menyaksikan sunset di Mekong River.
Luang Prabang berjarak sekitar 300 KM dari Vientiane, ibukota Laos. Kota ini merupakan bagian dari Distrik Luang Prabang, Provinsi Luang Prabang, dan merupakan ibukota dan pusat administrasi provinsi. Saat ini populasi kota secara keseluruhan diperkirakan sekitar 56.000 jiwa, dan 24.000 jiwa di antaranya menempati situs-situs yang dilindungi oleh UNESCO.
Bekas ibukota Kerajaan ini masih tetap menjadi pusat utama pembelajaran Buddha di Laos dan merupakan lokasi yang sempurna untuk meditasi spiritual. Baru pada tahun 1989 Laos membuka diri untuk pariwisata, dan negara yang sebelumnya terputus dari kawasan Asia Tenggara lainnya ini mengembangkan ekonomi yang kecil namun stabil, berbasis pariwisata dan perdagangan regional. Luang Prabang, kota kecil di mana sebagian besar penduduknya tertidur pada pukul 22:00 ini, sekarang merupakan salah satu provinsi terkaya dan paling banyak dikunjungi di Laos.
Luang Prabang memiliki banyak situs alam dan bersejarah. Di antaranya yang paling populer adalah Kuang Si Waterfalls, Tat Sae Waterfalls, dan Gua Pak Ou. Di Sisavangvong Road terdapat night market yang didedikasikan untuk turis dengan banyak kios yang menjual pakaian, aksesoris, dan berbagai macam souvenir lainnya. Museum Istana Kerajaan Haw Kham dan kuil Wat Xieng Thong adalah beberapa situs bersejarah yang paling terkenal. Kota ini, khususnya di jalan utama, dipenuhi banyak kuil kecil seperti Wat Hosian Voravihane. Luang Prabang menerima penghargaan sebagai 'Kota Terbaik' di Wanderlust Travel Awards 2015.
Pagi hari, aku terbangun jam 5.30 pagi, dan setelah melakukan rutinitas pagi aku turun ke dapur terbuka di bawah untuk masak nasi. Pagi ini hujan turun walaupun tidak terlalu deras. Rasanya senang sekali bisa masak nasi untuk suami hari ini. Waktu menunjukkan jam 6.30 pagi dan suasana masih tampak sepi, sepertinya belum ada orang lain yang bangun. Aku memperhatikan suasana di dapur, yang walaupun tampak sangat sederhana dengan peralatan seadanya, namun sangat berguna bagi kami, terutama untuk kegiatan masak-memasak.
Ada sebuah meja kayu dengan beberapa macam bumbu di atasnya, dan sebuah meja kayu lain yang lebih kecil dengan beberapa peralatan makan yang diletakkan di dalam dua buah keranjang kecil. Kompor gas dua mata berfungsi dengan baik, dengan tabung elpiji 15kg di sebelahnya. Selain itu ada sebuah rak aluminium yang berfungsi sebagai alas kitchen sink sekaligus untuk meletakkan barang-barang yang baru selesai dicuci. Di sebelahnya terdapat sebuah tempat sampah tertutup berukuran besar, sebuah mesin cuci , dan beberapa buah ember besar.
Secara umum kondisinya tidak bersih-bersih amat, tapi juga tidak sampai jorok. Hanya saja slang pembuangan dari kitchen sink langsung menuju ke tanah di halaman, tidak ada saluran pembuangan ke got atau semacamnya.
Saat aku sedang masak nasi inilah kemudian ada salah satu laki-laki separuh baya yang bangun dan kemudian menuju ke dapur. Tadinya aku sungkan karena pagi-pagi sudah masak. Di luar duagaan, dia malah memuji-mujiku, katanya rajin sekali pagi-pagi sudah bangun dan masak hehehehe... Sebetulnya dia berbicara dengan bahasa China campur bahasa isyarat, tapi sedikit banyak aku mengerti maksudnya ^_^
Usai masak nasi, aku menyimpannya terlebih dahulu di dalam kamar, kemudian jalan-jalan sebentar keluar untuk melihat-lihat keadaan. Jalanan tampak basah akibat hujan, dan suasana di jalan besar masih tampak sangat sepi, berbeda sekali dengan suasana pagi di Vietnam yang biasanya sudah ramai. Aku sempat memotret-motret sebentar sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam kamar.
Setelah suami bangun dan selesai dengan rutinitas pagi, kami bergantian mandi, kemudian jam 9 pagi kami sudah siap untuk menjelajah sekitar. Hari ini kami akan ke Mount Phousi yang pintu masuknya berada di Kingkitsarath Road dan hanya berjarak sekitar 1 KM dari penginapan. Suasana masih agak mendung, jadi berjalan kaki terasa sangat menyenangkan pagi ini.
Sampai di pintu masuknya, kami mendaki anak-anak tangga dan tanjakan yang terbentang di hadapan kami.
Kami melewati banyak ornamen dan patung Buddha yang semuanya indah. Ada pula "jejak kaki" Sang Buddha di tempat ini. Ada viewpoint di mana kita bisa melihat Nam Khan River, dan setelah menaiki tangga yang ada, kami sampai di sebuah pelataran dengan banyak patung dan tempat-tempat bersembahyang. Di tempat ini terdengar suara musik pop kekinian yang diputar dengan sebuah music box. Tampak ada dua orang biksu yang sedang bekerja. Sepertinya tempat ini sedang direnovasi atau diperbaiki.
Melewati pelataran dan deretan patung-patung indah berwarna keemasan, sekitar jam 9.35 pagi kami sampai di pos pembelian tiket.Harga tiket masuk per orang adalah LAK 20K. Penjaganya adalah dua orang laki-laki yang tampaknya sudah cukup berumur. Di sini juga terdapat berbagai macam souvenir yang bisa dibeli, seperti kartu pos, foto, gantungan kunci, magnet kulkas, dan masih banyak lagi. Selain kami berdua ada beberapa orang pengunjung lokal yang juga baru tiba.
Setelah membeli dua buah tiket, kami melanjutkan berjalan di jalan setapak yang ada. Aku sempat ke toilet yang ada di dekat pos tiket, dan di sekitar toilet aku melihat ada beberapa biksu muda yang sedang sibuk bekerja dengan bahan-bahan bangunan.
Menyusuri jalan setapak yang ada, kami melewati lagi banyak patung berwarna keemasan yang indah-indah, dari yang seukuran manusia hingga yang berukuran raksasa.
Setelah berjalan perlahan-lahan (karena banyak memotret) sambil terus menaiki tangga, akhirnya kami tiba di puncak gunung kecil ini.
Di puncak Mount Phousi ini terdapat sebuah kuil (Wat Chom Si), dan tampak ada beberapa orang yang sedang berdoa. Kami tidak berani masuk ke dalamnya karena takut tidak diperbolehkan apabila tidak hendak berdoa. Di sisi kuil terdapat sebuah tembok yang di puncaknya terpasang sebuah pagoda besar berwarna keemasan.
Selain itu ada sebuah viewpoint di mana kita bisa melihat kota Luang Prabang beserta Nam Khan River yang membelahnya, sementara di lain sisi kita bisa melihat Mekong River dan sisi lain kota. Kami meluangkan waktu untuk berfoto-foto dan mengambil gambar di tempat ini. Pemandangan yang indah di pagi yang indah ^_^
Sekitar jam 10.05 pagi, kami hendak berjalan turun melalui jalan lain, karena memang ada dua jalan masuk menuju ke puncak. Di dekat tangga turun, kami melihat ada beberapa orang yang berjualan. Yang disayangkan, ada satu pedagang yang menjual anak-anak ayam yang masing-masing diletakkan di dalam kurungan kecil-kecil :(
Kami berjalan menuruni anak-anak tangga yang ada, yang terasa lebih landai dari waktu berangkat tadi. Rasanya hanya berjalan sebentar saja, kami sudah sampai di sebuah taman dengan banyak pepohonan besar di areanya, dan ada sebuah pohon yang diberi pot/pagar batu di mana banyak sesajen yang diletakkan di atasnya.
Setelah itu, kami menuruni satu set tangga terakhir yang agak panjang dan agak curam. Ternyata kami langsung keluar di Sisavangvong Road, tepat di seberang Royal Palace Museum berada. Suasana tampak ramai dengan penduduk lokal.
Tadinya kami ragu-ragu hendak memasuki area Royal Palace ini, karena tidak tahu harus membayar atau tidak, dan mahal atau tidak. Sepertinya sedang ada acara di tempat ini, karena tampak banyak sekali orang yang mengenakan pakaian tradisional yang indah-indah. Banyak di antara mereka yang sedang berfoto bersama juga.
Di luar pintu masuknya banyak pedagang kaki lima yang menjual makanan dan minuman. Ada yang menjual buah manggis dan jeruk, ada yang menjual es krim, dan beberapa makanan lokal lainnya. Akhirnya kami berjalan masuk saja, karena sepertinya tidak ada orang lain yang membeli tiket saat masuk.
Di area paling luar ada sebuah bangunan yang bernama Haw Pha Bang, salah satu monumen paling menarik di Luang Prabang karena hiasan-hiasannya. Haw Pha Bang sendiri berarti Kuil Kerajaan, dikenal juga sebagai Wat Ho Pha Bang. Kuil ini dibangun untuk menyimpan gambar Buddha yang paling suci, yakni Phra Bang Buddha.
Walaupun tampak tua, bangunan ini sebenarnya cukup baru, dan baru selesai dibangun tahun 2006. Pembangunan awalnya di tahun 1963 sempat terhenti akibat berkuasanya rezim komunis Pathet Lao, dan baru dilanjutkan kembali pada tahun 1990-an.
Royal Palace Museum sendiri tadinya merupakan istana kerajaan. Berlokasi di tepian Mekong River dan menghadap ke Mount Phousi yang dianggap sakral, istana ini dibangun pada tahun 1904 hingga tahun 1909 untuk menggantikan bangunan istana yang lama. Istana ini dibangun pada jaman penjajahan Perancis, dan setelah Raja Sisavang Vong wafat, Putra Mahkota Savang Vatthana dan keluarganya adalah orang-orang terakhir yang menempati tanah tersebut. Pada tahun 1975, saat kerajaan digulingkan oleh komunis dan keluarga kerajaan dibawa ke kamp, istana tersebut diubah menjadi museum nasional.
Sebetulnya untuk masuk ke dalam museum dan kuil di area ini, pengunjung seharusnya membeli tiket seharga LAK 30K, namun mungkin kami memang sedang beruntung. Entah karena memang sedang ada acara di tempat ini atau memang belum jamnya, belakangan kami melihat ada loket tiket dan memang tutup hehehehe... Pintu kuil dan museumnya pun tertutup.
Kami menjelajahi area ini sambil bersantai dan banyak memotret orang-orang di sekitar kami yang rata-rata memakai pakaian tradisional. Di area kebunnya yang sangat luas, kami berjumpa dengan beberapa orang biksu yang sedang berjalan terburu-buru. Hanya tampak sedikit sekali turis asing/westerner di dalam area museum ini.
Keluar dari area Royal Palace Museum, kami membeli sebuah es krim seharga LAK 10K. Sebenarnya kami membeli hanya lebih karena kasihan kepada pedagangnya yang tampak sudah tua dan kurus. Di luar di sekitar area museum ini juga banyak pedagang yang menjual berbagai macam souvenir dan memajang dagangannya di trotoar.
Berjalan kaki menyusuri Sisavangvong Road, kami masih melewati beberapa kuil lagi, lalu melanjutkan perjalanan kembali menuju ke penginapan karena waktu sudah menunjukkan hampir jam 11 siang.
Sesampai di Beauty Season, aku segera menyiapkan makan siang. Karena sudah ada nasi matang dan masih ada sayuran, aku memutuskan untuk masak nasi goreng saja. Aku membuatkan nasi goreng vegetarian untuk Flo & Jasmine, dan untuk suami tinggal ditambahkan daging saja.
Kami berempat makan bersama di lantai balkon kamar, dan setelah itu kami masih mengobrol sejenak, baru kemudian kami berdua berpamitan untuk mandi dan tidur siang. Kami tidur dari jam 1.30 siang hingga jam 3 siang.
Bangun dari tidur, kami cuci muka dan bersiap untuk jalan-jalan lagi di sekitar kota. Kami menyempatkan membayar kamar kami untuk 4 malam sebesar US$12/malam (kebetulan kami membawa sedikit mata uang US$). Aku juga mengatakan kepada resepsionisnya bahwa aku akan melakukan booking kamar lewat booking.com, agar setelahnya aku bisa memberi review untuk tempat ini. Tapi di lain pihak, aku memiliki kode booking dari Lucho, jadi aku akan mendapatkan diskon lagi sebesar US$15 setelah check out nanti hehehehe...
Kami kembali menyusuri jalanan di Luang Prabang, dan sempat mengunjungi sebuah kuil sekaligus biara. Di kota ini memang banyak sekali kuil Buddha dan biara, tidak heran kalau dijadikan pusat belajar agama Buddha.
Kami menyusuri tepian Nam Khan River, hingga akhirnya menyatu di Mekong River di jalan Khem Khong. Melalui jalanan di tepian Mekong River ini, suasana terlihat sepi. Jarang kendaraan dan orang yang melintas. Cafe-cafe dan rumah-rumah makan pun tampak sepi pengunjung. Ada sebuah rumah makan yang namanya Bon Cafe, sama seperti nama rumah makan steak di Surabaya ^_^
Kalau diperhatikan, bangunan-bangunan di sini memang terasa kental sekali gaya Perancisnya. Suasana kotanya sendiri terasa menyenangkan sekali dengan tidak berjubelnya turis di mana-mana dan tidak ada pedagang yang memaksa-maksa kita untuk membeli barangnya.
Kami berbelok masuk ke Kitsalat Road yang sudah dipalang karena kendaraan dilarang masuk, dan mulai tampak beberapa penjual kue-kue dan makanan yang sudah berjualan. Mulai onde-onde, donat, roti-roti goreng, sandwich isi berbagai macam selai, lumpia, aneka macam barbeque, hingga berbagai macam lauk pauk atau kue basah yang diberi wadah styrofoam. Ada juga pedagang buah-buahan yang menjual apel, anggur, mangga, manggis, rambutan, pear, buah naga, hingga durian! Rasanya benar-benar seperti di Indonesia saja melihat jenis-jenis makanan dan buah-buahannya. Kami juga sempat mencari tempat makan all you can eat yang diceritakan oleh Yuniago dan Dian kemarin, karena rencananya malam ini kami akan makan di sana bersama Flo & Jasmine. Setelah puas melihat-lihat barulah kami berjalan pulang ke penginapan.
Kami baru sampai sekitar jam 5.40 petang, dan suasana masih terang sekali. Kami naik ke kamar dan menjumpai Flo & Jasmine, lalu kami ngopi dan mengobrol di balkon. Baru sekitar jam 6.30 petang kami beranjak untuk pergi ke night market. Saat berada di bawah, kami bertemu dengan laki-laki dari China yang bekerja di sini. Kami sempat mengobrol sejenak dengan bahasa tarzan dengannya sementara menunggu Jasmine mengisi botol airnya. Beliau mengundang kami semua untuk makan bersama, namun karena malam ini kami tidak bisa, katanya besok siang saja. Kami akan dimasakkan olehnya.
Jadilah kami berempat berjalan kaki langsung menuju ke night market, dan langsung ke tempat makan all you can eat yang kami tuju. Ternyata jenis masakannya banyaaak sekali! Dari berbagai macam tumis sayuran, kentang, mie dan bihun, telur dadar dan ceplok, roti, kerupuk, bahkan berbagai macam gorengan! Pastinya ada lebih dari 30 macam makanan di lapak ini. Syaratnya hanya boleh mengambil 1 kali saja dengan satu buah mangkuk yang mereka berikan setelah kita membayar terlebih dahulu. Ada juga beberapa macam menu daging yang bisa diambil, namun dibayar terpisah. Minum juga tidak termasuk, namun tidak masalah karena kami selalu membawa air ke mana-mana. Pengunjung tempat ini cukup ramai walaupun sebenarnya di samping kanan kirinya banyak pedagang lain yang menjual berbagai macam makanan.
Walaupun gelap mata tapi tetap penuh pertimbangan agar tidak ada makanan terbuang nantinya, aku mengambil sebanyak yang aku bisa dengan mangkuk yang ada. Kebanyakan sebetulnya sayur-mayur, sedikit kentang, dan banyak gorengan serta kerupuk. Aku sudah merencanakan bahwa semua sayuran akan aku habiskan, sementara kalau sudah tidak kenyang gorengannya akan kubawa pulang dengan tissue hehehehe.... Soalnya ada pisang goreng, salah satu makanan kesukaan suami, sementara dia lebih banyak mengambil mie dengan sedikit sayuran dan kerupuk.
Karena diisi semaksimal mungkin, mangkuk yang kupegang isinya sampai benar-benar menggunung, bahkan milik suami hanya tampak separuhnya. Beberapa orang sampai memperhatikan aku dengan keheranan, bahkan ada yang sampai melotot hahahaha.... Flo & Jasmine juga sampai heran melihat banyaknya makanan yang kuambil :))
Gorengan-gorengan kuletakkan di atas tissue (Flo juga mengambil cukup banyak gorengan), lalu kami berempat mulai makan dengan lahapnya, dan tidak lama kemudian ada dua orang gadis asal Spanyol yang kemudian bergabung di meja kami karena meja lainnya juga kebanyakan terisi. Sepertinya mereka memilih duduk di meja kami karena ada Flo & Jasmine yang "sama-sama bule". Kami berdua secara pribadi juga kurang cocok dengan kedua gadis ini.
Aku menghabiskan sampai bersih semua yang ada di mangkuk. Perutku rasanya sampai kekenyangan hingga sulit bernafas hahahaha... Akhirnya aku memasukkan gorengan yang tidak termakan ke dalam ransel kecil yang selalu kubawa.
Usai makan, karena suasana masih agak ramai, kami beranjak dari tempat ini untuk mencari tempat mengobrol. Karena masih sama-sama kekenyangan hingga susah berjalan, kami berempat akhirnya duduk-duduk di trotoar di jalanan night market ini. Entah hanya perasaanku atau bagaimana, kadang orang (terutama Westerner) agak memandang kami berdua dengan tatapan yang agak aneh atau berkernyit. Mungkin orang-orang tersebut menyangka kami orang lokal yang sedang berusaha menjual sesuatu atau sok akrab kepada kedua teman kami ini. Tapi biarlah hehehehe...
Kami mengobrol tiada habisnya hingga tidak terasa waktu berlalu, dan perut sudah tidak kekenyangan lagi. Akhirnya gorengan yang tadi kusimpan kukeluarkan dan kami makan bersama ^_^
Aku memperhatikan, kebanyakan pedagang yang berjualan pada umumnya tidak banyak pembeli. Di atas jam 9 malam, semakin lama suasana juga tampak lebih sepi. Baru sekitar jam 9.30 malam kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar night market ini. Barang-barang yang dijual di sini sangat bervariasi, mulai dari kaos-kaos dan aneka macam pakaian, berbagai macam souvenir dan aksesoris, kain, lampion, lukisan, speaker dari bambu untuk HP, kerajinan dari kayu, payung aneka warna, tas, hingga aneka macam snack dan minuman.
Saat sedang berjalan melihat-lihat inilah kami bertemu dengan laki-laki yang mengundang kami makan siang besok. Beliau sepertinya sedang berjalan-jalan bersama istri dan anaknya yang masih bayi (mereka tinggal di dalam penginapan juga). Kalau tidak salah tangkap, sepertinya besok lusa mereka akan pulang ke China. Beliau kembali mengingatkan kami agar tidak lupa makan siang bersama mereka besok.
Karena aku mulai mengoleksi gelang, aku memutuskan membeli sebuah gelang tali untuk kenang-kenangan seharga LAK 5K. Hanya sebuah gelang sederhana bertuliskan LAOS dengan ornamen gambar gajah, tapi aku suka ^_^
Waktu menunjukkan jam 10 malam, dan beberapa pedagang sudah mulai menutup dan membereskan lapaknya. Karena sudah cukup malam, kami berempat berjalan kaki pulang ke penginapan dan baru sampai jam 10.20 malam. Masuk ke kamar masing-masing, kami berdua bergantian mandi, dan setelah menggosok gigi, kami pun tidur.
Hari ini kami berjalan kaki sejauh 13 KM dan rasanya cukup lelah, apalagi ditambah perut yang sangat kekenyangan, namun pengalaman hari ini sangat menyenangkan. Mudah-mudahan esok pun kami akan mendapatkan pengalaman-pengalaman seru lainnya ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment