19 April 2018
Aku terbangun jam 4.30 pagi hari ini, dan karena sudah tidak bisa tidur lagi, aku bangun dan segera melakukan aktivitas pagiku. Aku juga menyempatkan diri untuk mengerjakan pembukuan toko, dan setelah itu aku menyiapkan sarapan roti untuk suami dan masak mie instan dan sayuran ditambah abon ayam yang dibeli di Dien Bien Phu untuk bekal makan siang. Setelah semuanya siap, barulah aku packing. Rasanya packing sudah menjadi hal yang biasa untukku setelah hampir satu bulan kami berpindah-pindah tempat ^_^
Semenjak pagi cuaca sudah tampak mendung dan gerimis. Suami juga bangun agak pagi hari ini, dan setelah melakukan rutinitas pagi, jam 7.30 pagi kami bergantian mandi. Setelah itu kami keluar sejenak berjalan kaki untuk membeli laolao (LAK 15K) dan beberapa bungkus rambak babi (@ LAK 1K). Kembali ke penginapan, kami melunasi dulu pembayaran kamar selama 3 malam seharga LAK 165K, dan baru setelahnya kembali ke kamar. Menjelang jam 9 pagi, kami sempat melihat Flo dan Jasmine yang baru bangun dari tidur, dan kukatakan bahwa kami akan meninggalkan tempat ini jam 9.30 pagi.
Jam 9.25 pagi, kami berdua sudah bersiap untuk check-out dan menggendong backpack kami masing-masing. Suami membungkus backpacknya dengan jas hujan yang diberi oleh ibu-ibu di Tam Coc 2 minggu lalu. Udara tidak terlalu terasa dingin, namun kami kuatir hujan yang agak deras akan membuat basah isi backpack kami. Tepat jam 9.30 pagi, kami keluar dari penginapan, sementara Flo dan Jasmine yang tampaknya juga sudah hampir siap akan segera menyusul kami. Di jembatan, kami menyempatkan diri untuk berfoto terakhir kali. Pemandangannya pagi ini cukup dramatis dengan tebal dan banyaknya kabut yang menyelimuti pegunungan di sekitarnya.
Saat kami masih berada di jembatan, Flo dan Jasmine datang dan akhirnya kami jalan bersama. Mereka berdua sudah pernah berjalan kaki hingga ke terminal, sehingga menyarankan kami untuk berjalan lewat jalan yang lebih kecil. Walaupun sedikit lebih jauh namun jalannya lebih datar, kata mereka. Selain itu lewat jalan ini nantinya akan ada pasar tradisional yang kami lewati.
Sesampai di pasar yang dimaksud, ternyata suasananya sudah sepi, para pedagang sudah tidak tampak berjualan. Mungkin di sini pasarnya hanya buka pagi, tidak sampai siang atau sore hari seperti di Vietnam pada umumnya. Akhirnya kami hanya melewati pasar tersebut dan terus berjalan menuju ke terminal.
Kami sampai di terminal sekitar jam 10 pagi. Terminal busnya sangat kecil, dan hanya tampak beberapa minivan di sini. Kami berempat langsung menuju ke loket tiket, dan ternyata transportasi dengan minivan yang termurah seharga LAK 40K sudah habis terjual tiketnya. Yang ada hanya minivan yang lebih mahal seharga LAK 50K (dengan AC) jadi kami berempat langsung mengiyakan dan membeli 4 buah tiket. Setelah itu kami masih harus menunggu karena transportasi dari terminal ini baru akan berangkat apabila penumpang sudah penuh, jadi bisa lebih cepat atau lebih lambat dari jam yang ditentukan. Hari ini kami akan naik sebuah mobil Hiace yang berkapasitas penumpang 15 orang, namun salah satu kursi penumpang dipenuhi dengan backpack, sehingga hanya 14 penumpang saja yang akan berada di dalam kendaraan ini.
Aku membaca bahwa perjalanan dari Nong Khiaw menuju ke Luang Prabang akan makan waktu sekitar 4 jam, makanya aku menyiapkan bekal makan siang, karena kuatir kelaparan di tengah jalan hahahaha...
Lama juga kami menunggu di terminal kecil ini sembari mengamati suasana di sekitar. Aku sempat ke toiletnya yang harus bayar LAK 2K dan dijaga oleh seorang ibu. Sekitar jam 10.30 pagi kami berempat sudah masuk ke dalam kendaraan karena sepertinya beberapa orang sudah mulai masuk dan duduk di dalamnya. Kami berempat memilih tempat duduk paling belakang, yang sederet bisa diisi oleh 4 orang.
Setelah cukup lama duduk dan menanti di dalam mobil, masih belum ada tanda-tanda bahwa kami akan berangkat, jadi kami keluar lagi dan menunggu di belakang mobil. Kami sempat menyaksikan sebuah keluarga (bule) yang menyewa private van. Kalau tidak salah ingat harganya sekitar LAK 500K/mobil untuk menuju ke Luang Prabang. Cukup mahal juga ya... Kemudian ada dua orang perempuan (bule juga) yang tampak hendak membeli tiket, namun mereka harus puas dengan tiket minivan yang baru akan berangkat jam 2 siang.
Kami kembali lagi masuk dan duduk di dalam mobil, dan baru sekitar jam 11.10 siang minivan berangkat menuju ke Luang Prabang. Semenjak awal sudah terasa sekali perjalanan kami super bumpy. Sebetulnya sangat tidak nyaman. Entah karena posisi kami yang duduk di baris paling belakang atau karena shock breaker minivannya yang tidak baik. Aku jadi lebih banyak merebahkan kepala di pangkuan suami, dan masih tetap susah sekali untuk mencoba tidur.
Sepanjang jalan pemandangan yang terlihat lebih banyak berupa perbukitan hijau di kanan kiri. Jalanan yang dilalui juga terlihat banyak yang rusak. Baru sekitar jam 1.15 siang kami berhenti di sebuah rest area. Untuk mencari toilet pun harus sedikit usaha, karena sang driver tidak memberi informasi apa pun saat kami berhenti. Aku dan suami yang pertama menemukan lokasi toilet, harus memberikan informasi kepada penumpang lain yang mencari toilet hehehehe... Toiletnya masih berupa toilet jongkok, namun bersih. Kami juga sempat makan bekal kami di sini.
Sekitar jam 1.30 siang kendaraan yang kami naiki kembali melanjutkan perjalanan. Aku seringkali melihat posisi kami di Google Map, dan sekitar jam 2.30 siang kami sudah memasuki area Luang Prabang, jauh lebih cepat dari perkiraanku yang seharusnya sekitar 4 jam. Aku sendiri sudah melihat-lihat di aplikasi booking.com, dan sebetulnya sudah memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan bernama Beauty Season 1935, namun karena aku membaca bahwa di Laos akomodasi biasanya akan lebih murah booking on the spot daripada booking online, aku memutuskan untuk datang langsung ke tempatnya dan booking langsung apabila kami cocok di sana.
Nah, kebetulan sekali ada penumpang lokal yang berhenti tidak di terminal, namun di sebuah pertigaan yang hanya berjarak sekitar 1,5 KM dari tujuan kami menginap, jadi kami berempat ikut turun juga di tempat ini, karena tujuan akhir minivan adalah di Terminal Selatan yang jaraknya mencapai 3-4 KM dari penginapan yang kami tuju. Sebelumnya drivernya berkata bahwa tidak boleh berhenti di jalan tapi harus di terminal, jadi beruntung sekali bisa berhenti di tempat tersebut hehehehe...
Berjalan kaki di bawah teriknya matahari dengan backpack yang kami bawa, kami masih semangat karena tidak harus berjalan terlalu jauh apalagi suasananya tampak baru. Baru beberapa ratus meter berjalan, kami melihat sebuah supermarket yang cukup besar, dan akhirnya memutuskan untuk mampir. Tujuan utamanya sebetulnya adalah ngadem sejenak karena supermarketnya ber-AC hahahaha... Supermarketnya sendiri besar, cukup modern, dan bersih. Barang-barang yang dijual di sini cukup lengkap. Kami membeli kopi Nescafe yang botolan (LAK 20K), Minuman jus jeruk (LAK 3K), permen asem (LAK 7K) dan beberapa buah mie instan (@LAK 1,5K) di sini. Flo dan Jasmine juga membeli beberapa macam makanan dan minuman.
Waktu sudah menunjukkan jam 2 siang ketika kami selesai dan melanjutkan berjalan kaki. Kami sempat melewati sebuah pasar tradisional yang tidak terlalu besar, lalu melewati sebuah jembatan bernama Old Bridge, dan sesuai dengan namanya, jembatan ini sudah tampak tua dan sebetulnya agak menyeramkan. Karena itu kami memilih berjalan di jalur sepeda motor, karena jalur pejalan kakinya tampak sempit dan lebih menyeramkan lagi. Walaupun ada beberapa sepeda motor yang juga melintasi jembatan ini, tapi pada umumnya suasana tidak tampak ramai.
Mencari lokasi penginapan yang kami tuju ternyata tidak mudah, karena kami hanya mengandalkan peta dari booking.com. Suami dan Flo berjalan mencari masuk ke dalam sebuah gang, sementara aku mencari di gang sebelahnya, saat aku melihat papan nama Beauty Season 1935 di depan gang tersebut. Aku minta tolong kepada Jasmine untuk memanggil suami dan Flo agar menyusulku, sementara aku berjalan terlebih dulu mencari penginapannya. Begitu sampai, tampak dari luar sepertinya tempatnya cukup nyaman, modern, tampak baru dan bersih. Jadi aku mencari resepsionisnya, seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan. Saat bertanya harga kamar, ternyata mahal sekali, tarifnya mencapai US$ 25 yang termurah, padahal di booking.com hanya US$ 12 (LAK 99K). Aku bertanya harga kamar termurah, dan perempuan tersebut menelepon seseorang, sepertinya pemiliknya. Kebetulan aku melihat sebuah papan dengan tulisan daftar harga kamar, dan ada satu jenis kamar yang harga aslinya US$ 20 namun dicoret dan menjadi US$ 12, jadi aku menunjuk harga tersebut. Katanya kamar tersebut ada, jadi kami minta ditunjukkan kamarnya terlebih dahulu. Lokasinya di lantai dua, dan ternyata kamarnya memang tampak masih sangat baru, bahkan masih agak bau cat. Kamarnya cukup luas dan sangat bersih, dengan dua buah single bed dan meja kecil di tengahnya, shower room dan toilet room yang terpisah, wastafel di luar ruang shower, dan jemuran. Ada AC yang juga masih baru. Handuk yang diletakkan di atas kasur pun masih tampak putih bersih. Selain itu masih ada teras/balkon tanpa sekat antarkamar yang menghadap ke arah halaman depan yang asri. Wah, kami berempat senang sekali dan akhirnya setuju mengambil dua buah kamar yang bersebelahan.
Masuk ke dalam kamar, kami berdua mengeluarkan barang-barang dari dalam backpack dan menatanya di atas salah satu kasur. Setelah itu baru kami mandi dan istirahat sejenak, lalu ngopi bareng Flo dan Jasmine di lantai balkon (karena tidak ada kursi atau mejanya).
Sekitar jam 4 sore, kami berpamitan untuk pergi ke Dara Market, pasar yang tampak di Google Map. Ternyata dekat dengan penginapan tepat di pertigaan jalan besar, ada beberapa kuil Buddha, Wat Aham dan Wat Visounnarath, jadi kami mampir hendak melihat-lihat dulu. Walaupun ada beberapa orang turis yang tampak, namun pada umumnya suasananya relatif sepi. Selain beberapa buah candi, ada bangunan untuk berdoa dan sepertinya ada biara untuk para biksu juga di area ini.
Semenjak pagi cuaca sudah tampak mendung dan gerimis. Suami juga bangun agak pagi hari ini, dan setelah melakukan rutinitas pagi, jam 7.30 pagi kami bergantian mandi. Setelah itu kami keluar sejenak berjalan kaki untuk membeli laolao (LAK 15K) dan beberapa bungkus rambak babi (@ LAK 1K). Kembali ke penginapan, kami melunasi dulu pembayaran kamar selama 3 malam seharga LAK 165K, dan baru setelahnya kembali ke kamar. Menjelang jam 9 pagi, kami sempat melihat Flo dan Jasmine yang baru bangun dari tidur, dan kukatakan bahwa kami akan meninggalkan tempat ini jam 9.30 pagi.
Jam 9.25 pagi, kami berdua sudah bersiap untuk check-out dan menggendong backpack kami masing-masing. Suami membungkus backpacknya dengan jas hujan yang diberi oleh ibu-ibu di Tam Coc 2 minggu lalu. Udara tidak terlalu terasa dingin, namun kami kuatir hujan yang agak deras akan membuat basah isi backpack kami. Tepat jam 9.30 pagi, kami keluar dari penginapan, sementara Flo dan Jasmine yang tampaknya juga sudah hampir siap akan segera menyusul kami. Di jembatan, kami menyempatkan diri untuk berfoto terakhir kali. Pemandangannya pagi ini cukup dramatis dengan tebal dan banyaknya kabut yang menyelimuti pegunungan di sekitarnya.
Saat kami masih berada di jembatan, Flo dan Jasmine datang dan akhirnya kami jalan bersama. Mereka berdua sudah pernah berjalan kaki hingga ke terminal, sehingga menyarankan kami untuk berjalan lewat jalan yang lebih kecil. Walaupun sedikit lebih jauh namun jalannya lebih datar, kata mereka. Selain itu lewat jalan ini nantinya akan ada pasar tradisional yang kami lewati.
Sesampai di pasar yang dimaksud, ternyata suasananya sudah sepi, para pedagang sudah tidak tampak berjualan. Mungkin di sini pasarnya hanya buka pagi, tidak sampai siang atau sore hari seperti di Vietnam pada umumnya. Akhirnya kami hanya melewati pasar tersebut dan terus berjalan menuju ke terminal.
Kami sampai di terminal sekitar jam 10 pagi. Terminal busnya sangat kecil, dan hanya tampak beberapa minivan di sini. Kami berempat langsung menuju ke loket tiket, dan ternyata transportasi dengan minivan yang termurah seharga LAK 40K sudah habis terjual tiketnya. Yang ada hanya minivan yang lebih mahal seharga LAK 50K (dengan AC) jadi kami berempat langsung mengiyakan dan membeli 4 buah tiket. Setelah itu kami masih harus menunggu karena transportasi dari terminal ini baru akan berangkat apabila penumpang sudah penuh, jadi bisa lebih cepat atau lebih lambat dari jam yang ditentukan. Hari ini kami akan naik sebuah mobil Hiace yang berkapasitas penumpang 15 orang, namun salah satu kursi penumpang dipenuhi dengan backpack, sehingga hanya 14 penumpang saja yang akan berada di dalam kendaraan ini.
Aku membaca bahwa perjalanan dari Nong Khiaw menuju ke Luang Prabang akan makan waktu sekitar 4 jam, makanya aku menyiapkan bekal makan siang, karena kuatir kelaparan di tengah jalan hahahaha...
Lama juga kami menunggu di terminal kecil ini sembari mengamati suasana di sekitar. Aku sempat ke toiletnya yang harus bayar LAK 2K dan dijaga oleh seorang ibu. Sekitar jam 10.30 pagi kami berempat sudah masuk ke dalam kendaraan karena sepertinya beberapa orang sudah mulai masuk dan duduk di dalamnya. Kami berempat memilih tempat duduk paling belakang, yang sederet bisa diisi oleh 4 orang.
Setelah cukup lama duduk dan menanti di dalam mobil, masih belum ada tanda-tanda bahwa kami akan berangkat, jadi kami keluar lagi dan menunggu di belakang mobil. Kami sempat menyaksikan sebuah keluarga (bule) yang menyewa private van. Kalau tidak salah ingat harganya sekitar LAK 500K/mobil untuk menuju ke Luang Prabang. Cukup mahal juga ya... Kemudian ada dua orang perempuan (bule juga) yang tampak hendak membeli tiket, namun mereka harus puas dengan tiket minivan yang baru akan berangkat jam 2 siang.
Kami kembali lagi masuk dan duduk di dalam mobil, dan baru sekitar jam 11.10 siang minivan berangkat menuju ke Luang Prabang. Semenjak awal sudah terasa sekali perjalanan kami super bumpy. Sebetulnya sangat tidak nyaman. Entah karena posisi kami yang duduk di baris paling belakang atau karena shock breaker minivannya yang tidak baik. Aku jadi lebih banyak merebahkan kepala di pangkuan suami, dan masih tetap susah sekali untuk mencoba tidur.
Sepanjang jalan pemandangan yang terlihat lebih banyak berupa perbukitan hijau di kanan kiri. Jalanan yang dilalui juga terlihat banyak yang rusak. Baru sekitar jam 1.15 siang kami berhenti di sebuah rest area. Untuk mencari toilet pun harus sedikit usaha, karena sang driver tidak memberi informasi apa pun saat kami berhenti. Aku dan suami yang pertama menemukan lokasi toilet, harus memberikan informasi kepada penumpang lain yang mencari toilet hehehehe... Toiletnya masih berupa toilet jongkok, namun bersih. Kami juga sempat makan bekal kami di sini.
Sekitar jam 1.30 siang kendaraan yang kami naiki kembali melanjutkan perjalanan. Aku seringkali melihat posisi kami di Google Map, dan sekitar jam 2.30 siang kami sudah memasuki area Luang Prabang, jauh lebih cepat dari perkiraanku yang seharusnya sekitar 4 jam. Aku sendiri sudah melihat-lihat di aplikasi booking.com, dan sebetulnya sudah memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan bernama Beauty Season 1935, namun karena aku membaca bahwa di Laos akomodasi biasanya akan lebih murah booking on the spot daripada booking online, aku memutuskan untuk datang langsung ke tempatnya dan booking langsung apabila kami cocok di sana.
Nah, kebetulan sekali ada penumpang lokal yang berhenti tidak di terminal, namun di sebuah pertigaan yang hanya berjarak sekitar 1,5 KM dari tujuan kami menginap, jadi kami berempat ikut turun juga di tempat ini, karena tujuan akhir minivan adalah di Terminal Selatan yang jaraknya mencapai 3-4 KM dari penginapan yang kami tuju. Sebelumnya drivernya berkata bahwa tidak boleh berhenti di jalan tapi harus di terminal, jadi beruntung sekali bisa berhenti di tempat tersebut hehehehe...
Berjalan kaki di bawah teriknya matahari dengan backpack yang kami bawa, kami masih semangat karena tidak harus berjalan terlalu jauh apalagi suasananya tampak baru. Baru beberapa ratus meter berjalan, kami melihat sebuah supermarket yang cukup besar, dan akhirnya memutuskan untuk mampir. Tujuan utamanya sebetulnya adalah ngadem sejenak karena supermarketnya ber-AC hahahaha... Supermarketnya sendiri besar, cukup modern, dan bersih. Barang-barang yang dijual di sini cukup lengkap. Kami membeli kopi Nescafe yang botolan (LAK 20K), Minuman jus jeruk (LAK 3K), permen asem (LAK 7K) dan beberapa buah mie instan (@LAK 1,5K) di sini. Flo dan Jasmine juga membeli beberapa macam makanan dan minuman.
Waktu sudah menunjukkan jam 2 siang ketika kami selesai dan melanjutkan berjalan kaki. Kami sempat melewati sebuah pasar tradisional yang tidak terlalu besar, lalu melewati sebuah jembatan bernama Old Bridge, dan sesuai dengan namanya, jembatan ini sudah tampak tua dan sebetulnya agak menyeramkan. Karena itu kami memilih berjalan di jalur sepeda motor, karena jalur pejalan kakinya tampak sempit dan lebih menyeramkan lagi. Walaupun ada beberapa sepeda motor yang juga melintasi jembatan ini, tapi pada umumnya suasana tidak tampak ramai.
Mencari lokasi penginapan yang kami tuju ternyata tidak mudah, karena kami hanya mengandalkan peta dari booking.com. Suami dan Flo berjalan mencari masuk ke dalam sebuah gang, sementara aku mencari di gang sebelahnya, saat aku melihat papan nama Beauty Season 1935 di depan gang tersebut. Aku minta tolong kepada Jasmine untuk memanggil suami dan Flo agar menyusulku, sementara aku berjalan terlebih dulu mencari penginapannya. Begitu sampai, tampak dari luar sepertinya tempatnya cukup nyaman, modern, tampak baru dan bersih. Jadi aku mencari resepsionisnya, seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan. Saat bertanya harga kamar, ternyata mahal sekali, tarifnya mencapai US$ 25 yang termurah, padahal di booking.com hanya US$ 12 (LAK 99K). Aku bertanya harga kamar termurah, dan perempuan tersebut menelepon seseorang, sepertinya pemiliknya. Kebetulan aku melihat sebuah papan dengan tulisan daftar harga kamar, dan ada satu jenis kamar yang harga aslinya US$ 20 namun dicoret dan menjadi US$ 12, jadi aku menunjuk harga tersebut. Katanya kamar tersebut ada, jadi kami minta ditunjukkan kamarnya terlebih dahulu. Lokasinya di lantai dua, dan ternyata kamarnya memang tampak masih sangat baru, bahkan masih agak bau cat. Kamarnya cukup luas dan sangat bersih, dengan dua buah single bed dan meja kecil di tengahnya, shower room dan toilet room yang terpisah, wastafel di luar ruang shower, dan jemuran. Ada AC yang juga masih baru. Handuk yang diletakkan di atas kasur pun masih tampak putih bersih. Selain itu masih ada teras/balkon tanpa sekat antarkamar yang menghadap ke arah halaman depan yang asri. Wah, kami berempat senang sekali dan akhirnya setuju mengambil dua buah kamar yang bersebelahan.
Masuk ke dalam kamar, kami berdua mengeluarkan barang-barang dari dalam backpack dan menatanya di atas salah satu kasur. Setelah itu baru kami mandi dan istirahat sejenak, lalu ngopi bareng Flo dan Jasmine di lantai balkon (karena tidak ada kursi atau mejanya).
Sekitar jam 4 sore, kami berpamitan untuk pergi ke Dara Market, pasar yang tampak di Google Map. Ternyata dekat dengan penginapan tepat di pertigaan jalan besar, ada beberapa kuil Buddha, Wat Aham dan Wat Visounnarath, jadi kami mampir hendak melihat-lihat dulu. Walaupun ada beberapa orang turis yang tampak, namun pada umumnya suasananya relatif sepi. Selain beberapa buah candi, ada bangunan untuk berdoa dan sepertinya ada biara untuk para biksu juga di area ini.
Keluar dari area kuil, kami melanjutkan berjalan ke Dara Market, dan setelah sampai ternyata tempat ini bukan pasar tradisional seperti harapan kami,namun merupakan pasar bersih, di mana sebagian besar barang yang dijual berupa pakaian. Kami melintasi area pasar sambil melihat-lihat, dan keluar di sisi lain pasar. Karena kami butuh belanja bahan makanan, akhirnya kami berjalan kembali ke pasar kecil yang kami lihat di dekat Old Bridge tadi.
Rasanya masih agak seram, menyeberangi Old Bridge untuk kedua kalinya. Dan beberapa menit setelah melalui jembatan, kami tiba juga di pasar. Di sekitar pasar banyak toko-toko kecil yang menjual aneka macam kebutuhan. Kami mendatangi seorang penjual sayur dan membeli sayur sawi putih (LAK 7K), tomat (LAK 7K), kentang (LAK 7K), dan cabe rawit (LAK 2K). Lalu kami berkeliling pasar dan masih membeli daging babi (LAK 30K/kg) dan rambak babi (LAK 5K). Setelah semua bahan makanan terbeli, kami berjalan kembali ke penginapan.
Sesungguhnya Beauty Season 1935 ini melampaui harapan kami. Kasurnya ternyata sangat empuk (yesss!!!), dan colokan listrik ada di mana-mana. Air panas pun mengalir dengan deras. Tapi yang paling menyenangkan, ada kulkas umum di bawah dan kami boleh menitipkan bahan makanan di dalamnya, dispenser air panas dan dingin (seneng banget bisa minum air es selama di sini karena udaranya sangat lembab dan amat sangat panas), dan ada dapur! Walaupun sudah bertanya dan memang semua fasilitas tersebut boleh digunakan, awalnya aku masih agak takut-takut untuk masak di dapurnya, tapi orang-orang di sini malah sepertinya senang aku masak di sini, jadi setelah itu jadi masak terus deh walaupun perabotannya agak terbatas hehehehe... Belakangan kami diberi tahu bahwa tempat ini baru buka sekitar 1 bulan, dan memang masih dalam tahap pembangunan dan renovasi. Pemiliknya orang RRC, dan mereka menggunakan tenaga keluarga mereka sendiri dari RRC untuk renovasinya.
Setelah menyimpan bahan-bahan makanan, sekitar jam 5.30 petang, kami kembali keluar berjalan kaki, kali ini menuju ke Mekong River untuk melihat sunset. Sepanjang jalan yang dilalui, suasananya tampak menyenangkan karena tidak terlalu ramai, walaupun di beberapa area tampak sekali bahwa tempat ini touristy. Sempat juga membeli 1 kg beras (LAK 7K) di sebuah lokasi yang ternyata adalah area night market yang cukup populer di Luang Prabang. Banyak sekali pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam street food di sini.
Sesampai di tepi Mekong River, ternyata kami sudah agak terlambat untuk menyaksikan terbenamnya matahari. Saat itu waktu menunjukkan jam 6.15 petang, namun suasananya masih agak terang. Kami berjalan kaki menyusuri tepian Mekong River di sepanjang jalan Khem Khong ini. Rumah-rumah makan, cafe, dan penginapan berjajar rapi dengan bangunan gaya Perancis yang kental. Beberapa di antaranya tampak penuh dengan pengunjung yang sedang menikmati makan malam, sepertinya rombongan-rombongan turis dari negeri RRC. Di permukaan sungai, kami melihat banyak perahu yang menawarkan jasa transportasi.
Mekong River adalah sungai ke-12 terpanjang di dunia yang mengalir sepanjang 4.350 KM dan melintasi negara-negara China, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Bersumber di mata air Lasagongma di dataran tinggi Tibet, luapan airnya mencakup 797.000 kilometer persegi, Namanya sendiri berasal dari bahasa Thailand, Mae Num, yang berarti Mother Water (air ibu).
Dengan ratusan jenis ikan dan juga lumba-lumba sungai, buaya, dan berang-berang, Mekong merupakan area dengan perbedaan biologis terbesar di dunia. Selain sebagai sumber penghasil ikan, sungai ini juga digunakan untuk transportasi air. Sebagian besar penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Mekong mencari nafkah dengan bertani, dan yang terbanyak ditanam adalah padi.
Sekitar jam 6.40 petang, suasana mulai remang-remang, dan kami duduk dan beristirahat di sebuah area istirahat kecil di tepi jalan, saat kami mendengar dua orang anak muda (laki-laki dan perempuan) sedang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Saat kami sapa mereka, ternyata sang pemuda, Yuniago, berasal dari Surabaya, dan sang pemudi, Dian, berasal dari Bali. Mereka sedang travelling bersama untuk saat ini. Wah senang sekali rasanya bertemu dengan sesama orang Indonesia yang gemar travelling dan tidak sombong. Mereka juga memberi tahu kami tempat makan prasmanan (vegetarian) seharga LAK 15K di dalam night market.
Kami mengobrol ngalor ngidul, hingga tidak terasa waktu berjalan dengan cepat hingga waktu sudah menunjukkan jam 8 malam dan suasana sudah gelap gulita di sekitar kami. Akhirnya kami berdua berpamitan dan berpisah dengan Yuniago dan Dian, lalu berjalan kaki kembali menuju ke penginapan.
Sempat membeli semacam martabak manis seharga LAK 5K untuk mengganjal perut dari seorang pedangang kaki lima, dan segera pulang setelahnya. Sesampai di penginapan aku merebus kentang, sayuran, dan daging babi dengan electric kettle di kamar (karena masih sungkan mau memakai dapurnya), dan kami baru makan sekitar jam 9 malam.
Setelah itu kami bergantian mandi, dan kemudian tidur.
Hari ini kami menempuh sekitar 17 KM berjalan kaki, cukup jauh juga ya... Yang membuat kurang nyaman adalah cuaca yang sangat panas sepanjang hari ini. Namun demikian berada di tempat baru lagi hari ini, membuatku sangat bersemangat dan senang sekali. Rasanya tidak sabar menunggu esok untuk menjelajah tempat-tempat di dalam Luang Prabang ^_^
To be continued.......
Sesungguhnya Beauty Season 1935 ini melampaui harapan kami. Kasurnya ternyata sangat empuk (yesss!!!), dan colokan listrik ada di mana-mana. Air panas pun mengalir dengan deras. Tapi yang paling menyenangkan, ada kulkas umum di bawah dan kami boleh menitipkan bahan makanan di dalamnya, dispenser air panas dan dingin (seneng banget bisa minum air es selama di sini karena udaranya sangat lembab dan amat sangat panas), dan ada dapur! Walaupun sudah bertanya dan memang semua fasilitas tersebut boleh digunakan, awalnya aku masih agak takut-takut untuk masak di dapurnya, tapi orang-orang di sini malah sepertinya senang aku masak di sini, jadi setelah itu jadi masak terus deh walaupun perabotannya agak terbatas hehehehe... Belakangan kami diberi tahu bahwa tempat ini baru buka sekitar 1 bulan, dan memang masih dalam tahap pembangunan dan renovasi. Pemiliknya orang RRC, dan mereka menggunakan tenaga keluarga mereka sendiri dari RRC untuk renovasinya.
Setelah menyimpan bahan-bahan makanan, sekitar jam 5.30 petang, kami kembali keluar berjalan kaki, kali ini menuju ke Mekong River untuk melihat sunset. Sepanjang jalan yang dilalui, suasananya tampak menyenangkan karena tidak terlalu ramai, walaupun di beberapa area tampak sekali bahwa tempat ini touristy. Sempat juga membeli 1 kg beras (LAK 7K) di sebuah lokasi yang ternyata adalah area night market yang cukup populer di Luang Prabang. Banyak sekali pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam street food di sini.
Sesampai di tepi Mekong River, ternyata kami sudah agak terlambat untuk menyaksikan terbenamnya matahari. Saat itu waktu menunjukkan jam 6.15 petang, namun suasananya masih agak terang. Kami berjalan kaki menyusuri tepian Mekong River di sepanjang jalan Khem Khong ini. Rumah-rumah makan, cafe, dan penginapan berjajar rapi dengan bangunan gaya Perancis yang kental. Beberapa di antaranya tampak penuh dengan pengunjung yang sedang menikmati makan malam, sepertinya rombongan-rombongan turis dari negeri RRC. Di permukaan sungai, kami melihat banyak perahu yang menawarkan jasa transportasi.
Mekong River adalah sungai ke-12 terpanjang di dunia yang mengalir sepanjang 4.350 KM dan melintasi negara-negara China, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Bersumber di mata air Lasagongma di dataran tinggi Tibet, luapan airnya mencakup 797.000 kilometer persegi, Namanya sendiri berasal dari bahasa Thailand, Mae Num, yang berarti Mother Water (air ibu).
Dengan ratusan jenis ikan dan juga lumba-lumba sungai, buaya, dan berang-berang, Mekong merupakan area dengan perbedaan biologis terbesar di dunia. Selain sebagai sumber penghasil ikan, sungai ini juga digunakan untuk transportasi air. Sebagian besar penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Mekong mencari nafkah dengan bertani, dan yang terbanyak ditanam adalah padi.
Sekitar jam 6.40 petang, suasana mulai remang-remang, dan kami duduk dan beristirahat di sebuah area istirahat kecil di tepi jalan, saat kami mendengar dua orang anak muda (laki-laki dan perempuan) sedang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Saat kami sapa mereka, ternyata sang pemuda, Yuniago, berasal dari Surabaya, dan sang pemudi, Dian, berasal dari Bali. Mereka sedang travelling bersama untuk saat ini. Wah senang sekali rasanya bertemu dengan sesama orang Indonesia yang gemar travelling dan tidak sombong. Mereka juga memberi tahu kami tempat makan prasmanan (vegetarian) seharga LAK 15K di dalam night market.
Kami mengobrol ngalor ngidul, hingga tidak terasa waktu berjalan dengan cepat hingga waktu sudah menunjukkan jam 8 malam dan suasana sudah gelap gulita di sekitar kami. Akhirnya kami berdua berpamitan dan berpisah dengan Yuniago dan Dian, lalu berjalan kaki kembali menuju ke penginapan.
Sempat membeli semacam martabak manis seharga LAK 5K untuk mengganjal perut dari seorang pedangang kaki lima, dan segera pulang setelahnya. Sesampai di penginapan aku merebus kentang, sayuran, dan daging babi dengan electric kettle di kamar (karena masih sungkan mau memakai dapurnya), dan kami baru makan sekitar jam 9 malam.
Setelah itu kami bergantian mandi, dan kemudian tidur.
Hari ini kami menempuh sekitar 17 KM berjalan kaki, cukup jauh juga ya... Yang membuat kurang nyaman adalah cuaca yang sangat panas sepanjang hari ini. Namun demikian berada di tempat baru lagi hari ini, membuatku sangat bersemangat dan senang sekali. Rasanya tidak sabar menunggu esok untuk menjelajah tempat-tempat di dalam Luang Prabang ^_^
To be continued.......
No comments:
Post a Comment