DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Tuesday, September 11, 2018

VIETNAM & LAOS BACKPACKING 2018 (27) - MUANG KHUA - NONG KHIAW


16 April 2018




Muang Khua adalah adalah sebuah kota kecil di Provinsi Phongsali, Laos Utara. Kebanyakan orang hanya singgah di kota ini untuk transit karena memang merupakan titik tengah antara beberapa kota. Namun demikian kota ini memiliki pesonanya sendiri. Beberapa yang menjadi daya tarik turis antara lain jembatan gantung dan pasar tradisional, yang keduanya sudah kami kunjungi kemarin.
Lokasinya yang berada di persimpangan antara dua jalan raya utama, Highway 2E yang menghubungkan Udomxai ke perbatasan dengan Vietnam, dan Sungai Nam Ou, yang merupakan lalu lintas air utama yang melalui 3 provinsi.
Kotanya sendiri terletak di tepi sungai Nam Ou, di mana terdapat pertemuan dengan Sungai Nam Phak yang lebih kecil. Dari Muang Khua ke arah timur ada Vietnam, ke arah selatan ada Muang Ngoy dan Nong Khiaw, ke arah barat daya menuju ke Muang La dan Udomxai, dan ke arah utara menuju ke Ban Samphanh di mana terdapat perahu menuju ke Hat Sa dan Phongsali.

Pada umumnya wisatawan (termasuk kami berdua) hanya menginap semalam saja untuk menikmati kota ini. Seandainya saja dikelola dengan lebih baik, mungkin pengunjung akan betah lebih lama berada di sini, misalnya saja dengan adanya penginapan-penginapan tepi sungai atau yang menawarkan pemandangan indah lainnya. Namun sisi positifnya adalah jadi tidak adanya turisme masal di Muang Khua. Seperti yang sudah kusebutkan kemarin, sebetulnya Muang Khua sangat ideal untuk trekking, namun fasilitas dan infrastruktur yang disediakan masih sangat minim. Bila ingin memakai jasa guide, bisa mengunjungi Tourism Office. Biasanya disediakan paket trekking selama 2 hingga 3 hari. Untuk trekking yang lebih jauh hingga 4 hari, sang guide akan mengantar ke desa Akha, Khmu dan Tai Dam.


Catatan (supaya tidak lupa): nilai kurs LAK 1 = IDR 1.73. Nilai ini diperoleh dari jumlah LAK yang kami tarik tunai selama berada di Laos, dibandingkan dengan saldo yang berkurang di tabungan serta biaya dari BCA.
Huruf "K" di belakang angka artinya "ribu", jadi misalnya 20K maksudnya 20.000 ya... ^_^


Setelah tertidur semalam, aku masih beberapa kali terbangun, sepertinya karena kasur yang keras. Listrik pun masih beberapa kali padam. Sempat terjaga jam 1 malam dan membaca pesan dari Lucho yang berkata bahwa dia akan check-out sekitar jam 9 pagi agar bisa berada di dermaga sekitar jam 9.30 pagi bersama yang lain. Sementara itu udara terasa semakin dingin dan aku terpaksa harus mengenakan selimut yang bau apek ini hahahaha...

Aku baru turun dari kasur sekitar jam 5 pagi, dengan punggung yang terasa sakit akibat efek kasur yang keras semalaman. Udara terasa cukup dingin, dan waktu kuperiksa suhunya 18 derajat Celcius, padahal kalau siang hari panasnya luar biasa.
Usai melakukan rutinitas pagi, aku masak mie instan dengan sayuran untuk bekal makan siang kami berdua, karena kami tidak tahu pasti hari ini akan sampai di mana dan akan menempuh perjalanan berapa lama.

Sekitar jam 5.45 pagi sudah mulai terdengar suara musik dari kejauhan. Suami terbangun tidak lama setelah itu, dan dia melewatkan pagi hari dengan rutinitasnya seperti biasa. Aku mengemasi barang-barang yang sudah tidak dipakai lagi, dan memasukkannya ke dalam backpack. Kami baru mandi sekitar jam 7 pagi dengan air yang super dingin. Rasanya memang menyegarkan, tapi sekaligus juga membuat kami jadi kedinginan setelahnya. Usai mandi, suami menghangatkan diri di dalam selimut sembari bersantai menunggu waktu berangkat. Sempat memperhatikan beberapa anak kecil yang sedang bermain di jembatan di kejauhan, bahkan ada yang naik sepeda. Kami masih sempat sarapan dengan snack kacang yang masih tersisa. Sementara itu Lucho memberi kabar bahwa dia check-out jam 8 pagi karena mau sarapan dulu di Saifon, sebuah restoran di dekat dermaga.



Baru sekitar jam 9 pagi kami check-out dari Manotham Guesthouse. Kali ini prosesnya agak lama karena laki-laki si empunya penginapan masih bersantai di ruang tamu sambil hanya mengenakan pakaian dalam saja hahahaha.... Karenanya kami menunggunya berpakaian terlebih dahulu, baru kemudian membayar biaya menginap kami semalam sebesar LAK 60K. Setelah berterima kasih, kami langsung berpamitan dan berjalan kaki menuju ke jembatan gantung, karena jalan inilah yang terdekat menuju ke pusat kota.
Kali ini, karena agak terburu-buru, aku sampai melupakan rasa takutku dan berjalan cepat-cepat hingga ke seberang jembatan. Beban backpack yang kubawa hari ini sedikit berkurang, hanya 13 kg saja beratnya.



Setelah sampai di pusat kota, kami sempat kebingungan karena lupa arah jalan menuju ke dermaga. Setelah melihat di Google Map dan atas petunjuk suami, akhirnya kami menemukan jalan kecil yang menuju ke dermaga. Kami sempat melihat Lucho yang masih sarapan di Saifon Restaurant bersama dua gadis dari London kemarin.
Sampai di dermaga, waktu sudah menunjukkan jam 9.15 pagi. Pos penjualan tiket masih tutup. Di sekitar dermaga masih terdengar suara house music dari beberapa loudspeaker yang terpasang. Bahkan tidak lama kemudian terdengar lagu-lagu dangdut Indonesia yang sudah diremix menjadi house music. Lucu sekali namun juga bangga, jauh-jauh datang ke Laos tapi yang terdengar adalah musik dari negeri kita hehehehe...



Kami masih melihat-lihat sebentar di sekitar dermaga, kemudian mengambil beberapa kursi plastik yang tampak ditumpuk dan duduk dan menunggu di dekat pos tiket. Tidak lama kemudian semakin banyak calon penumpang yang datang. Seluruh penumpang yang bersama kami di dalam bus kemarin, hari ini berkumpul di tempat ini, ditambah 5-6 turis bule lain yang berasal dari Belanda, Jerman dan Inggris. Kami mengobrol dengan couple dari Austria yang baru saja datang, karena sepertinya hanya mereka berdua yang paling friendly dibandingkan dengan yang lain.



Ketika petugas penjual tiket datang dan membuka pos penjualan tiket, kami semua antri untuk membeli tiket. Seperti tertulis di papan di luar pos, untuk tujuan Muang Ngoy jumlah kami semua sudah mencukupi, yakni 11 orang, tapi untuk ke Nong Khiaw dibutuhkan 20 orang agar bisa mencapai harga terendah LAK 130K, jadi kami berasumsi semua orang akan pergi ke Muang Ngoy. Karenanya saat ditanya apakah kami akan ke Muang Ngoy, aku hanya menganggukkan kepala dan katanya harga per orangnya LAK 110K. Usai membayar, couple dari Austria yang mulai akrab dengan kami pun membeli tiket setelah kami.

Setelah semua calon penumpang membeli tiket, kami semua disuruh naik ke dalam sebuah boat kecil yang tertambat di tepi sungai. Untuk naik ke boat kami harus melalui sebuah jembatan pelampung dari plastik. Sepertinya menyeramkan, tapi untungnya tidak. Bawaan para penumpang lain pada umumnya diletakkan di ujung belakang boat, tapi kami beruntung bisa meletakkan backpack kami di depan. Karena masuk terakhir, kami justru duduk di depan dan bukannya di belakang, dan hal ini juga menjadi keuntungan tersendiri, karena mesin boat terletak di bagian belakang dan suaranya cukup keras.
Boatnya jauh lebih kecil daripada yang kubayangkan sebelumnya. Belasan penumpang yang masuk (apalagi bule yang tinggi-tinggi dan kakinya panjang-panjang) membuat boat kecil ini tampak penuh sesak, terutama untuk tempat meletakkan kaki. Bisa dibilang kami harus cukup berdesakan hanya untuk duduk di dalamnya. Setelah kami semua masuk masih ada 4 orang lagi penumpang lokal yang duduk di depan kami, dengan bawaan yang cukup banyak pula, termasuk ikan yang kadang masih bergerak-gerak di dalam sebuah kantong plastik hahahaha...
Area kecil tepat di depan kami tempat naik ke dalam boat tidak ada atapnya, jadi kalau matahari bersinar akan kepanasan, sementara di depannya lagi tepat di belakang nakhoda ada atapnya namun hanya lantai saja tanpa cekungan untuk tempat kaki. Kasarnya kalau duduk di sana harus ngesot atau bersila.



Tepat jam 9.50 pagi, boat yang kami naiki berangkat, lebih awal 10 menit dari yang dijadwalkan. Baru beberapa menit meninggalkan Muang Khua, terlihat sebuah air terjun kecil di sisi kanan sungai. Tidak kusangka, boat ini cukup cepat juga melajunya. Suara motor terdengar cukup berisik. Beruntung sekali kami duduk di depan, karena motornya berada di ujung belakang. Di kanan kiri sungai terlihat hutan-hutan yang masih sangat alami dan sepertinya belum terjamah oleh manusia. Pepohonan yang sangat rimbun dan hijau melingkupi seluruh tepian sungai ini. Menyenangkan sekali melihatnya.



Sekitar jam 10.25 pagi, sang nakhoda menghentikan boat dan menepi. Ternyata 3 dari 4 penumpang lokal yang duduk di depan kami turun di tempat ini. Hanya beberapa menit kemudian, boat sudah kembali melaju menyusuri sungai Nam Ou. Struktur tanah dan bebatuan yang tampak di sepanjang tepi sungai tampak menarik dan indah dilihat karena bentuknya yang unik. Menjelang jam 11 siang, boat kembali berhenti untuk menurunkan satu-satunya penumpang lokal yang ada, dan setelah itu perjalanan kembali dilanjutkan. Sang nakhoda sempat kelihatan mencuci muka dengan mencelupkan tangan ke sungai dan membasuh wajahnya, mungkin mengantuk ya...




Sepertinya sang nakhoda yang ramah dan baik hati ini sudah mulai lapar, dan jam 11 siang beliau mulai menyantap makan siangnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap berada di kemudi. Sebelum makan pun beliau menawarkan makan, seperti layaknya orang Indonesia pada umumnya, penuh tata krama.
Beberapa kali kami menyaksikan kawanan kambing, sapi, bahkan burung di sepanjang tepi sungai ini. Kami naik boat melawan arus sungai, karenanya saat arus agak deras, sang nakhoda bermanuver untuk menghindari arus. Namun seringkali cipratan air dari arus yang deras tetap mengenaiku yang duduk di depan hingga pakaian yang kukenakan agak basah hehehehe...



Karena tempat di belakang nakhoda kini kosong, kami sempat menawarkan kepada penumpang lain apabila ada yang mau pindah ke depan, tapi tidak ada yang mau karena mereka sepertinya tidak suka atau tidak bisa duduk ngesot. Akhirnya kami berdua yang pindah ke belakang nakhoda, dan setelah sedikit mengatur ulang, kami justru bisa meluruskan kaki dengan duduk berselonjor ke samping. Lumayan, akhirnya malah bisa duduk lebih nyaman daripada sebelumnya ^_^

Setelah itu beberapa kali kami melihat kawanan babi, kerbau, sapi, atau kambing di tepian sungai. Sepertinya mereka milik penduduk yang tinggal di sepanjang pesisir sungai ini. Sempat juga melihat kawanan banyak sekali burung berwarna putih yang terbang berhamburan dari tempat mereka hinggap saat kami lewati. Di banyak tempat di tepi sungai, sering kami lihat ada perahu-perahu kecil milik penduduk yang tinggal di dekat sana. Kadang ada anak-anak kecil yang tampaknya sudah ahli mengemudikan perahu dan sedang bermain-main dengan perahunya di tepian sungai. Pemandangan hijau di kanan kiri membuat perjalanan ini bagi kami adalah sebuah scenic boat trip. Menurut perkiraanku, lebar Sungai Nam Ou ini pada umumnya sekitar 30 meter, dan di titik-titik terlebarnya bisa mencapai hingga 50-60 meter. Lebar sekali kan?
Kadang arus sungainya relatif tenang dan kadang deras. Kalau sedang deras, kadang penumpang bisa terciprat air sampai basah. Tapi nakhoda kami hebat sekali mengemudinya. Katanya sudah 25 tahun bekerja sebagai tukang perahu lho... ^_^



Karena sudah lapar akibat tidak sarapan, kami memutuskan untuk mengeluarkan bekal dan makan mie instan yang sudah kubuat tadi pagi. Aku merasakan sekali pandangan penumpang lain yang mungkin heran, atau mungkin juga iri, karena kami berdua tampak menikmati sekali makan siang kami hahahaha... Sepertinya tidak ada satu pun di antara mereka yang membawa bekal makanan berat seperti kami.

Sekitar jam 12 siang, boat berhenti di tepi sungai, di mana di dekatnya terdapat beberapa ekor kerbau air. Walaupun secara umum mirip sekali dengan kerbau yang biasanya, kerbau air memiliki raut wajah yang berbeda. Yang pasti, ekspresi wajahnya tampak sangat lucu, seperti kerbau yang selalu tersenyum. Selain itu mereka suka menggerakkan telinganya, seperti melambai-lambai ke arah kita, membuatnya tampak ramah dan ceria ^_^
Setelah beberapa menit menunggu, sang nakhoda masih belum tampak, jadi kami berdua memutuskan untuk turun dan sekalian buang air kecil di semak-semak yang ada hehehehe... Ternyata kemudian Lucho dan pasangan dari Austria tadi juga ikut turun dan bergantian buang air kecil di semak-semak juga ^_^



Tidak lama setelah itu, tampak 5 orang penumpang lokal yang datang dan kemudian naik ke dalam boat, salah satu di antaranya masih anak-anak. Boat melaju lagi melanjutkan perjalanannya, kali ini dengan jumlah penumpang yang lebih banyak dari sebelumnya. Ternyata hanya sebentar saja, 2 dari 5 penumpang yang baru naik sudah sampai di tujuan dan turun.

Pemandangan selanjutnya masih tetap indah dengan bukit-bukit hijau yang menjulang di segala arah, sungguh menyenangkan melihatnya. Sang nakhoda sempat minum dari botol airnya dan saat hendak menutup kembali, tutup botolnya jatuh ke sungai! Sepertinya beliau agak bingung karena takut air di dalam botolnya tumpah. Kebetulan kami memiliki dua buah botol kosong, dan salah satu tutupnya pas sekali untuk menutup botol air sang nakhoda, jadi kami tutupkan botol airnya yang terbuka. Beliau pun menganggukkan kepalanya berterima kasih kepada kami.



Tepat jam 1 siang, setelah melalui sebuah tikungan yang cukup panjang, boat tiba di sebuah bendungan. Aku memang sudah membaca bahwa perjalanan menuju ke Muang Ngoy atau Nong Khiaw dari Muang Khua akan melibatkan boat - truck - boat, namun tidak ada gambaran seperti apa dan bagaimana pelaksanaanya. Selain itu beberapa tulisan yang aku baca juga simpang siur, ada yang mengatakan damnya sudah jadi dan tidak perlu naik truck lagi, sementara sisanya menyebutkan bahkan sampai tahun depan pun damnya belum akan selesai. Dam ini sendiri akan difungsikan sebagai PLTA, dan diberi nama Nam Ou 3 Hydropower Station.
Nah saat tiba dan mendarat di dam inilah baru aku paham. Kami semua turun di tepi sungai di dekat dam yang sangat besar ini, lalu dinaikkan ke sebuah truk (lebih tepat mobil pickup sebetulnya), diangkut sejauh 2 KM ke ujung satunya, dan kembali melanjutkan perjalanan dengan perahu lain hingga ke tujuan.



Di sebelah dam ini, ada sebuah rumah makan yang sangat sederhana, bahkan tampak agak kumuh karena dibangun di atas air, dengan beberapa set meja dan kursi di luarnya. Sepertinya tidak ada satu pun penumpang boat kami yang hendak mampir ke sana, karena sebuah pickup sudah menunggu kami semua. Tiga penumpang lokal yang terakhir tadi pergi dengan pickup yang lain, sepertinya memang bukan mau ke Muang Ngoy atau Nong Khiaw, tapi ke tempat lain melalui jalan darat. Posisi kami di dam ini sudah masuk Provinsi Luang Prabang, bukan lagi di Phongsali.

Ternyata dua dari turis yang baru bergabung dengan kami hari ini membawa sepeda, dan keduanya tidak mau sepedanya diletakkan di dalam pickup yang bakal penuh dengan orang ini, karenanya setelah mengetahui jaraknya hanya 2 KM, mereka berdua menuju ke sisi lain dam dengan menaiki sepeda mereka masing-masing. Sementara sisa penumpang lainnya dimampatkan ke dalam pickup dengan seluruh backpack yang ada. Lumayan penuh sesak juga, apalagi kalau ketambahan dua orang dan dua buah sepeda, tidak terbayangkan betapa berjubelnya. Sang nakhoda duduk di depan bersama driver pickup untuk mengantar kami.

Jalan yang ditempuh mungkin hanya sekitar 2 KM, namun belum beraspal (dirt road) dan sangat bumpy, bahkan di beberapa titik banyak genangan air. Kadang jalannya turun, dan beberapa kali menanjak agak curam hingga kami harus berpegangan erat di pagar besi mobil. Saat menanjak inilah pickup melewati kedua pesepeda tadi.
Perjalanan berlangsung selama sekitar 10 menit, dan kemudian setelah sampai kami semua turun dan katanya disuruh menunggu boat yang akan mengantar kami ke tujuan. Saat kutanya berapa lama kira-kira menunggu boatnya datang, sang nakhoda menjawab tidak tahu. Jadilah kami berdiri dan menunggu sambil memotret dan menikmati pemandangan gunung yang indah di kejauhan.



Karena sepertinya kami masih akan berada cukup lama di sini, aku ingin mencari tempat buang air kecil selagi berada di darat, tapi sepertinya semua semak-semak bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan. Aku sampai naik ke semacam bukit yang ada bangunannya, berharap menemukan toilet atau semak-semak yang tersembunyi, tapi nihil hasilnya. Aku melihat si gadis Austria juga sepertinya sedang melihat kesana-kemari, dan waktu kutanya apakah mau cari tempat kencing bareng, dia langsung mengangguk. Kedua gadis dari London juga sebelumnya terlihat berjalan ke semak-semak namun kembali lagi, jadi sekalian kuajak mereka berdua juga.
Dari tempat menunggu, kami berjalan agak jauh, mungkin lebih dari 100 meter, dan kemudian melihat di bawah dekat sungai ada banyak semak dan pepohonan kecil yang cukup rimbun di mana-mana, jadi kuputuskan untuk ke sana saja. Si gadis Austria tampaknya tidak kesulitan mengikutiku menuruni turunan curam dan kemudian mencari semaknya sendiri agak jauh. Sementara kedua gadis dari London berjalan lebih lambat dan tampaknya agak kebingungan mencari tempat yang cukup tersembunyi. Akhirnya aku menunjukkan kepada mereka tempat-tempat yang tersembunyi, baru setelah itu kutinggalkan mereka. Aku berjalan bersama si gadis dari Austria, dan di sinilah kami mulai banyak mengobrol hingga kembali ke tempat berkumpul. Dia dan pacarnya sudah bersama selama 7 tahun, dan kali ini mereka sedang melakukan perjalanan selama 5 bulan di Asia Tenggara, dari bulan Maret hingga Agustus. Mereka sempat mengira usia kami masih di akhir 20 tahunan, dan tidak percaya kami sudah punya putri yang sudah dewasa hehehehe...
Mereka juga sudah dari Vietnam, baru ke Laos kemarin bersama kami dari Dien Bien Phu, dan setelahnya akan ke Thailand dan mungkin Filipina. Mereka tipe slow traveller seperti kami, tidak terlalu diburu waktu, dan lebih suka menghindari tempat-tempat yang terlalu banyak turis apabila memungkinkan. Mereka juga travelling dengan sangat hemat, sama seperti kami hahahaha...

Akhirnya kami juga mengobrol dengan Lucho. Dia seorang solo traveller dan rencananya akan melakukan perjalanan selama 8 bulan. Orangnya juga cukup ramah dan menyenangkan. Sementara kedua gadis dari London tampaknya tidak terlalu suka diajak mengobrol, bahkan cenderung memisahkan diri, jadi kami pun tidak lagi ambil pusing kepada mereka.

Mungkin karena asyik mengobrol, akhirnya waktu berlalu tanpa terasa dan sudah sekitar 1 jam kami menanti di tempat ini, sampai kemudian sang nakhoda memberi tahu bahwa boat yang akan membawa kami sudah tampak di kejauhan. Kami semua turun dan membawa backpack masing-masing, dan menunggu semua penumpang dari boat tersebut turun, baru kemudian kami naik. Kali ini boatnya agak lebih besar dan disediakan tempat-tempat duduk yang agak tinggi, jadi yang masuk duluan bisa langsung memilih tempat duduk. Seperti biasa, karena kami masuk agak terakhir, kali ini kami tidak mendapat tempat duduk, dan kembali harus duduk di semacam dingklik seperti di dalam boat sebelumnya, di bagian belakang. Aku memperhatikan, bahkan para laki-laki (yang baru ketemu hari ini) tidak ada yang mau mengalah dan memberikan tempat kepada perempuan yang duduk di tempat kurang nyaman. Sebetulnya bagiku tidak masalah duduk di sini, yang tidak enak adalah kalau memotret ke arah depan tidak bisa leluasa karena pasti akan tampak orang-orang yang duduk di depan tersebut.
Nakhodanya kali ini juga tidak seramah yang sebelumnya.

Sama seperti sebelumnya, boat melaju cukup cepat dan suara motornya cukup keras. Pemandangan di sekitar tampak semakin indah dengan lebih banyak gunung-gunung karst yang tampak di mana-mana. Bisa dibilang mirip sekali dengan boat tour di Trang An, namun dalam versi yang lebih besar, lebih luas, dan lebih jarang dijamah manusia.



Jam 2.30 siang, boat sampai di Muang Ngoy. Tampak banyak anak kecil yang sedang bermain di air, dan beberapa lagi berdiri di dermaga. Kami pikir semua orang akan berhenti di sini, namun ternyata sang nakhoda berteriak "Muang Ngoy, Muang Ngoy", yang berarti boat akan lanjut sampai Nong Khiaw juga! Tentunya kami pilih ke Nong Khiaw jika memungkinkan, karenanya kami hanya duduk diam saja, dan berpikir kalau memang nanti di Nong Khiaw disuruh bayar kekurangannya ya tidak mengapa. Yang penting sampai dulu di Nong Khiaw.

Sang nakhoda berteriak lagi, 4 orang yang seharusnya turun di Muang Ngoy. Kemudian sepasang turis yang sudah cukup berumur yang baru kami temui pagi tadi di dermaga, turun dari boat. Masih kurang dua penumpang lagi yang turun, namun tak seorang pun bergeming dari tempat duduknya. Dengan setengah mengomel, sang nakhoda akhirnya kembali ke belakang kemudi dan boat kembali melaju di sungai, menuju ke Nong Khiaw.



Pemandangan selama lebih dari satu jam berikutnya pun tampak memukau dengan gunung-gunung karst yang membelakangi hutan dan perbukitan di sekitar sungai. Begitu ada sinyal HP, aku langsung mencari informasi penginapan dan informasi lainnya di Wikitravel. Aku bertanya kepada pasangan Austria di depan kami, barangkali mereka sudah booking penginapan sebelumnya. Ternyata belum, dan mereka kurang tahu mengenai Nong Khiaw. Lalu aku menunjukkan Google Map kepada mereka, sembari memberi tahu bahwa rencananya kami akan menyeberang ke selatan jembatan dan mencari penginapan yang murah di sekitar sana.

Jam 3.35 sore, kami memasuki kota Nong Khiaw. Tampak banyak penginapan dan tempat-tempat makan yang sepertinya cukup mewah, berjajar di sepanjang tepi sungai. Tidak lama kemudian boat merapat di dermaga. Sang nakhoda sepertinya masih curiga kepada 2 orang dari kami, sehingga semua penumpang diminta menunjukkan tiket boatnya. Aku sudah cukup ketakutan dan berdebar-debar, namun mau tidak mau kuserahkan juga tiket yang kami beli pagi tadi. Dan entah apa yang terjadi, ketika sang nakhoda memeriksa tiket kami, beliau hanya mengangguk-angguk, lalu menyerahkan kembali tiket kami dan berkata "OK". Ya ampuuuun..... lega sekali rasanya! Kami berdua bergegas hendak keluar dari dermaga, saat melihat bahwa kedua teman Austria kamilah yang kena cekal.

Sebenarnya peristiwa ini cukup aneh juga. Setelah dari Muang Ngoy tadi, kami berdua mengobrol dengan mereka dan intinya kami berempat hanya menuruti apa kata penjual tiket. Nah, ternyata kami berempat mendapat tiket ke Muang Ngoy, sementara waktu berhenti di Muang Ngoy tadi, ada dua orang yang turun. Jadi, apakah mestinya kedua orang tersebut tidak seharusnya turun di Muang Ngoy namun malah berubah pikiran dan memutuskan berhenti di sana?
Dan ketika tiket kami diperiksa, mengapa nakhodanya mengijinkan kami turun di Nong Khiaw tanpa masalah? Belakangan waktu kuperiksa lagi tiket kami, ternyata memang tertulis Muang Ngoy. Aneh sekali ya... namun biar bagaimanapun aku sangat bersyukur karena tidak mendapatkan masalah dalam hal ini, sementara kedua teman Austria kami disuruh mengikuti seorang petugas ke kantornya.



Sedikit banyak karena merasa bersalah sekaligus iba, aku berkata kepada mereka berdua bahwa kami akan lebih dulu mencari akomodasi, dan kalau kami mendapatkan yang murah dan cukup nyaman, aku akan kembali dan mencari mereka berdua untuk memberi tahu tempatnya. Di sinilah aku menanyakan nama keduanya. Florian dan Jasmine. Aku juga mencatat nomor WhatsApp mereka agar bisa menghubungi mereka kalau mereka bisa mendapatkan wifi. Kami berdua berpamitan, karena gerimis turun semenjak boat mendarat, dan saat itu hujan turun semakin deras.

Menaiki anak tangga keluar dari dermaga, kami sampai di sebuah jalan aspal, dan kemudian bergegas jalan kaki menyeberangi jembatan. Suasana jalannya sangat sepi, tidak ada orang maupun kendaraan yang lewat. Walaupun pemandangan dari atas jembatan tampak indah, kami tidak terlalu menikmatinya karena terburu-buru mencari penginapan.
Dari beberapa penginapan yang direkomendasikan oleh Wikitravel, aku mengincar satu penginapan yang termurah, namun kami agak kesulitan mencari tempatnya. Sementara beberapa penginapan yang kami lewati sepertinya tampak agak mahal karena lokasinya yang persis di tepi sungai. Hingga beberapa puluh meter dari jembatan aku memutuskan untuk bertanya ke salah satu penginapan yang kamar-kamarnya agak masuk ke dalam dan sepertinya bangunannya cukup modern. Namanya Vongmany Guesthouse. Di tepi jalan ada restorannya, jadi aku masuk dan bertanya harga kepada ibu penjaganya. Katanya, harga per kamarnya LAK 70K, dan kami boleh melihat dulu kamarnya. Kemudian suaminya mengantar kami menuruni anak-anak tangga, masuk ke bangunan kamar-kamar yang ada. Kalau yang di bawah harganya LAK 70K, dan yang di lantai atas LAK 80K karena selain view gunung juga ada view ke sungai. Kamarnya luas dan tampaknya bersih, dan cukup modern, tidak seperti yang kemarin di Muang Khua. Kami kembali ke restoran dan berusaha menawar harganya kepada si ibu. Aku berkata, minimal kami akan menginap 2 malam di sini, dan mungkin akan lebih dari 1 kamar kalau teman kami mau. Akhirnya si ibu memberikan harga LAK 55K. Kutawar LAK 50K, tapi sepertinya harganya sudah tidak bisa turun lagi.



Karena aku masih penasaran dengan rekomendasi Wikitravel, aku minta suamiku menunggu sebentar saja, supaya bisa kubandingkan dengan yang di Wikitravel, Synthanne Guesthouse dan Meexai Guesthouse. Aku mencoba mendatangi Synthanne, dan begitu melihat dari seberang jalan, aku membatalkan niatku untuk menanyakan harganya, karena dari luar saja sudah tampak agak suram, dan menghadap ke jalan. Sementara di Vongmany tiap kamar memiliki teras sendiri di luarnya. Aku bergegas kembali ke Vongmany di mana suami sudah menanti, dan akhirnya kami sepakat mengambil satu kamar di sini. Kami diberi kunci kamar yang kami lihat tadi, dan kemudian kami turun tangga dan menuju ke kamar. Usai meletakkan backpack, aku menyuruh suami untuk istirahat dulu saja, sementara aku akan mencari Flo dan Jasmine, karena hujan masih turun.

Setengah berlarian aku kembali menaiki tangga dan berjalan kaki hendak menuju ke arah dermaga, ketika aku melihat Flo, Jasmine, dan beberapa orang lain dari boat tadi, sedang berkumpul di luar sebuah rumah makan sebelum jembatan, CT Bakery. Wah senangnya menemukan mereka! Ternyata Flo dan Jasmine sedang berusaha mencari free wifi agar bisa menghubungiku.
Aku mengatakan kepada mereka mengenai kamar yang sudah kami sewa, suasana, kondisi, dan harganya. Kalau mereka mau, mereka boleh menginap di tempat yang sama karena masih banyak kamar kosong. Akhirnya mereka semua mengikutiku kembali ke Vongmany, dan singkat cerita (karena masih menunggu si bapak bicara dengan orang lain dan si ibu ada di dapur, kemudian masih kucoba menawar harga lagi tapi tetap tidak boleh) Flo, Jasmine, Lucho, dua gadis dari London dan satu laki-laki Jerman yang membawa sepeda tadi, menginap di Vongmany Guesthouse malam ini. Lucu sekali ya, betapa kami selalu bersama dari perjalanan naik bus dari Dien Bien Phu hehehehe... Menurut Flo dan Jasmine, kemarin malam mereka menginap di tempat yang lebih mahal dengan fasilitas yang jauh lebih minim dibandingkan dengan tempat ini, sama seperti kami.

Waktu menunjukkan jam 4.25 sore saat aku akhirnya melunasi hutang janjiku kepada Flo dan Jasmine, dan kemudian kembali ke kamarku sendiri. Aku baru sempat memperhatikan apa yang ada di kamar kami ini. Kamarnya memang cukup luas, namun sederhana. Kasurnya empuk dan jauh lebih nyaman daripada kemarin, bahkan bisa dibilang salah satu yang ternyaman selama perjalanan kami hampir sebulan ini, dengan selimut yang cukup tebal. Ada sebuah TV tabung di atas meja, dan ada sebuah meja kosong lagi di sebelahnya. Sebuah kursi kayu diletakkan di dekat pintu, dan di tembok di atasnya tergantung sebuah kipas angin. Jendelanya dari kayu, dan di luar jendela terdapat meja dan dua bangku kayu di lorong sekaligus teras panjang depan kamar. Kamar mandinya luas, dengan sebuah pemanas air dan shower. Ada toilet duduk lengkap dengan toilet shower dan wastafel yang air buangannya langsung jatuh ke lantai kamar mandi, serta sebuah ember kecil. Bisa dibilang kamar mandinya tidak terlalu bersih karena ada bagian-bagian lantainya yang berlumut (yang seharusnya bisa dibersihkan dengan mudah), tapi masih okelah. Dari luar kamar, view yang terlihat langsung adalah gunung yang menjulang di balik rumah-rumah penduduk.



Setelah mengeluarkan barang-barang dari dalam backpack, suami sempat ngopi dulu, lalu mandi. Baru setelah itu giliranku mandi dan mencuci pakaian kotor. Menyalakan air panasnya agak tricky, karena kalau tidak pas memutar kran airnya hanya akan menjadi hangat-hangat kuku saja.
Usai mandi, aku mempersiapkan bahan untuk masak makan malam. Menunya sederhana saja, pho instan plus sayuran dan daging terakhir sisa kemarin untuk suami dan sayuran rebus untukku. Selesai masak, waktu sudah menunjukkan jam 6 petang, dan kami berdua makan malam.



Karena suasana masih agak terang, kami memutuskan untuk jalan-jalan melihat suasana di kota kecil ini. Sempat bertemu dan mengobrol sejenak dengan Flo dan Jasmine yang sedang makan malam di Vongmany Restaurant. Aku menanyakan apa yang terjadi saat di dermaga, dan ternyata mereka hanya disuruh bayar kekurangan harga tiketnya saja, masing-masing sebesar LAK 10K, jadi tidak masalah. Kami berjalan menuju ke jembatan dan memotret sejenak di sana, lalu berjalan melintasi jembatan, dan menyusuri jalan hingga suasana makin sepi. Kami berputar balik dan berjalan di sekitar selatan jembatan. Ada sebuah ATM di sisi selatan jembatan bagi yang membutuhkan. Di sekitar jembatan lebih banyak penginapan, toko-toko dan rumah-rumah makan, dan semakin jauh akan makin sepi dan hanya ada beberapa warung kecil saja. Kami membeli laolao, arak beras khas Laos seharga LAK 15K dan beberapa macam snack seharga LAK 10K, dan setelah itu kembali ke penginapan karena walaupun baru jam 7 malam suasana sudah sangat sepi sekali.



Karena masih belum terlalu mengantuk, aku mengerjakan pembukuan sembari mencari informasi untuk hal-hal yang bisa dilakukan besok.

Hari ini merupakan hari yang luar biasa bagi kami. Baru pertama kali ini kami menghabiskan waktu berjam-jam berdesakan di dalam sebuah boat untuk transportasi, dan melewati daerah-daerah yang indah di sekitar Sungai Nam Ou. Banyak penduduk yang tinggal di pedalaman di pinggiran sungai dengan rumah-rumah yang masih terbuat dari gedek (bambu). Tentunya fasilitas dan sarana juga sangat terbatas di tempat-tempat tersebut, namun yang kami lihat justru banyak anak kecil yang ceria dan aktif bermain di luar rumah dan di sungai. Bahagia itu memang sederhana ya, asalkan kita selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki ^_^


To be continued.......

No comments:

Post a Comment