14 April 2018
Bus berhenti jam 00.20 tengah malam di suatu tempat entah di mana, tapi sepertinya tempat ini khusus untuk perhentian bus-bus yang lewat. Saat hendak turun dari bus inilah baru tampak bahwa lantai dasar bus dipenuhi dengan penumpang yang sedang tidur. Untung saja kami duduk di deret paling belakang dan di sebelah atas. Suasana di tempat berhenti ini cukup ramai dengan pengunjung. Dalam kondisi masih mengantuk, aku mencari toilet umum, dan lagi-lagi menemukan toilet "berjamaah". Saat aku masuk tampak banyak perempuan yang sedang buang air kecil di toilet tanpa sekat ini. Aku sampai tidak berani memotret karena takut dimarahi hehehe... Aku sendiri masuk ke salah satu bilik toilet dengan membawa air dan gayung yang disediakan di luar bilik-bilik tersebut.
Keluar dari toilet, aku dan suami melihat-lihat suasana di tempat ini. Ternyata banyak penjual makanan mulai dari berbagai jenis snack dan aneka oleh-oleh, jagung rebus, pho, susu panas, dan macam-macam lainnya. Sebetulnya aku ingin membeli beberapa makanan atau snack yang belum pernah kucoba sebelumnya, namun kuatir harganya akan mahal di tempat seperti ini, apalagi sepertinya tidak ada turis asing selain kami berdua sejauh ini. Kebanyakan orang lokal makan pho atau minum susu panas, dan banyak ibu-ibu yang memborong snack untuk oleh-oleh.
Setelah cukup meregangkan badan, kami masuk kembali ke dalam bus. Para penumpang yang sudah selesai dengan urusan mereka pun mulai memasuki bus. Tepat jam 00.55 dini hari, setelah berhenti selama 35 menit, bus melaju lagi melanjutkan perjalanan.
Kami berdua mencoba untuk tidur lagi. Secara umum kami berdua bisa tidur, walaupun beberapa kali aku terbangun sepanjang perjalanan. Suami sendiri tampak cukup lelap hingga mengorok cukup keras hahahaha... Sebetulnya cukup banyak orang lain yang mengorok hingga suaranya terdengar juga sih...
Sekitar jam 6 pagi, aku sudah tidak bisa lagi tertidur setelah terjaga. Suasana di luar bus masih tampak agak gelap. Aku mulai memperhatikan posisi kami di Google Map, dan sepertinya bus akan sampai di Dien Bien Phu sekitar 1 jam lagi. Jalan yang kami lalui pagi ini relatif kecil, berliku-liku, dan terus menanjak. Driver busnya pun termasuk berani, karena seringkali menyelip kendaraan-kendaraan lain yang ada di depannya. Benar-benar mirip dengan kondisi di Indonesia deh... Setelah mulai remang-remang baru terlihat bahwa suasana di luar penuh dengan kabut, karenanya aku berasumsi bahwa udara di Dien Bien Phu pastinya dingin.
Sekitar jam 6.30 pagi, aku mulai mempersiapkan diri. Minum air putih, menyisir rambut yang berantakan dan awut-awutan, dan mengelap wajah dan badan sebisanya dengan tissue basah. Karena sudah dalam posisi duduk, terasa sekali saat bus berbelok ke kanan dan ke kiri, tubuhku sampai agak terpontang-panting karena guncangan dan gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh gerakan bus. Penumpang lain semuanya masih tampak tertidur dengan lelap. Sementara suasana mulai terang, tampak pemandangan yang menyenangkan di luar jendela. Kami melewati banyak persawahan yang diselimuti dengan kabut dengan latar belakang perbukitan di baliknya.
Menjelang jam 7 pagi, aku membangunkan suami supaya kalau nanti sampai di Dien Bien Phu tidak kelabakan. Ternyata tepat jam 7 pagi sang asisten driver membagikan tissue basah kepada semua penumpang sembari membangunkan mereka untuk bersiap-siap karena sudah dekat dengan tujuan akhir.
Sampai pada titik ini, aku dan suami sudah yakin bahwa kami harus melewatkan satu hari ini di kota Dien Bien Phu. Awalnya kami berencana apabila bus dari Dien Bien Phu ke Muang Khua, Laos masih terkejar, kami akan langsung naik bus lagi. Namun dari yang kubaca, bus ke Muang Khua hanya ada satu dan biasanya berangkat jam 5.30 pagi, karenanya mau tidak mau kami harus menginap di Dien Bien Phu dan baru bisa ke Muang Khua esok pagi.
Saat memasuki kota Dien Bien Phu, tampak bahwa kota ini juga cukup ramai walaupun tidak terlalu besar. Baru sekitar jam 7.15 pagi, bus Trung Dung yang kami naiki sampai di terminal bus yang jaraknya sekitar 3-4 KM dari pusat kota.
Turun dari bus, para penumpang mulai mengambil barang-barang yang disimpan di bagasi, termasuk kami berdua, dan betapa terkejutnya diriku saat melihat backpackku super kotor. Sepertinya posisinya berdempetan dengan ban sepeda motor yang diangkut sehingga banyak bekas kotoran dari ban yang menempel di backpack. Selain itu ternyata kecap asin yang kuletakkan di sisi samping tutupnya terbuka dan mengotori sebagian besar permukaan depan backpackku, padahal sudah kubungkus rapat dengan plastik. Hiks... sedih sekali melihatnya.
Dalam kondisi yang masih belum bisa berpikir jernih, aku ke toilet dulu untuk buang air kecil sekaligus hendak membersihkan backpackku sebisanya dengan air dan tisu basah. Bahkan untuk ke toilet saja aku dikenai biaya lebih mahal. Aku melihat orang lokal hanya membayar VND 2K, sementara aku ditarik VND 5K. Dengan setengah jengkel aku protes kepada ibu-ibu penjaganya, dan menyuruh suami memakai toilet juga tanpa harus membayar lagi. Tapi ternyata sesudah keluar dari toilet suami tidak mengerti maksudku sehingga tidak ke toilet. Untungnya sebagian besar kotoran yang menempel di backpack bisa hilang walaupun belum bersih sekali.
Setelah berdiskusi sebentar dengan suami, kami berdua memutuskan untuk bertanya harga tiket dulu di loket terminal dan menanyakan jam keberangkatannya. Setelah kami mendapatkan informasi, kami berdua memutuskan untuk ngopi atau mencari penginapan dulu, mana yang ketemu duluan deh...
Ternyata begitu keluar dari terminal yang kecil ini, kami melihat banyak penginapan berjejer di seberang terminal. Sebetulnya aku sudah sempat melihat-lihat di booking.com, namun kamar yang termurah pun harganya sedikit agak mahal, karenanya kami mencoba mencari dulu secara langsung siapa tahu bisa mendapatkan kamar yang lebih murah.
Kami bertanya ke penginapan pertama yang kami datangi, Hung Ha, yang di luarnya sekaligus berupa cafe dan rumah makan. Kata pemiliknya, seorang perempuan paruh baya, harga kamar di tempat ini VND 200K, sementara yang kami lihat di booking.com harga termurahnya adalah VND 230K, jadi aku bilang ingin lihat kamarnya dulu. Kami diantar naik ke lantai dua dan ditunjukkan sebuah kamar. Sepertinya lumayan walaupun tampak usang, jadi kami setuju untuk menginap di sini. Karena disuruh bayar di muka, kami berdua meninggalkan backpack di dalam kamar dan kemudian turun untuk membayar. Tadinya si pemilik masih meminta paspor kami walaupun sudah dibayar lunas, namun setelah ditawari fotokopi paspor malah kemudian tidak jadi.
Waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi, dan karena suami ingin minum kopi dulu, kami pesan secangkir kopi di sini. Saat sedang duduk menunggu, kami ditawari "soup, soup", lalu disuruh pindah tempat duduk ke restoran di sebelahnya. Ternyata maksudnya kami ditawari untuk memesan pho, sementara kami belum berselera makan. Karenanya kami kembali lagi ke tempat duduk sebelumnya di restoran penginapan kami. Tidak lama kemudian kopi yang dipesan pun datang. Aku menemani suami menikmati kopinya sembari mengamati kesibukan yang terjadi di sekitar. Bangunan penginapan sekaligus restoran ini tampaknya sudah cukup tua dan ruangan sebelah dalam restorannya pun tampak agak berantakan dan penuh dengan barang. Sepertinya tipe orang jaman dahulu yang tidak terlalu mempedulikan kenyamanan pelanggan hehehehe... Tapi walaupun bangunannya kuno, ternyata sudah ada CCTV yang terpasang di lorong-lorong kamar lho...
Sekitar jam 8.30 pagi, kami membayar kopi susu yang dipesan seharga VND 25K, lalu naik kembali ke dalam kamar. Kami mengeluarkan barang-barang yang diperlukan, dan kemudian aku menatanya selagi suami mandi terlebih dahulu. Kamar yang kami tempati ini masih bergaya kuno. Ada sebuah kipas angin dan TV yang terpasang di dindingnya. Ada mosquito net di sekeliling ranjang, dan yang pasti kasurnya terasa keras sekali saat diduduki. Disediakan dua buah bantal dan sebuah selimut yang sepertinya cukup tebal. Kamarnya sendiri tidak terlalu sempit, bahkan ada sebuah meja dan kursi kayu tempat meletakkan barang. Di sudut ruangan ada sebuah pintu, dan saat kubuka ternyata isinya penuh dengan kursi-kursi, mungkin semacam gudang, sehingga aku mengambil dua buah kursi sebagai tambahan meletakkan barang hehehehe... Kamar mandinya sepertinya cukup bersih, dengan sebuah toilet duduk dan wastafel berdiri yang tampak sudah usang. Saat aku sikat gigi di wastafel ini baru aku menyadari bahwa air buangan dari lubang wastafel mengalir langsung ke lantai kamar mandi. Duuuuh.... sepertinya selalu ada saja hal-hal baru yang tak terduga hehehehe...
Usai mandi, waktu sudah menunjukkan jam 10 pagi, dan kami berdua memutuskan untuk tidur dulu. Kali ini kasurnya benar-benar rock-hard, alias sekeras batu! Beruntung masih bisa tidur, mungkin karena lelah dan tidur yang tidak nyenyak semalaman di dalam bus ya...
Terbangun dari tidur, aku masak mie instan dengan electric kettle untuk kami berdua, dan setelahnya kami makan siang.
Sekitar jam 1 siang, kami memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar penginapan. Oya, sebelumnya kami ke terminal dulu untuk membeli dua buah tiket menuju ke Muang Khua untuk esok pagi. Kata petugasnya, bus akan berangkat jam 5.30 pagi, jadi kami harus siap jam 5 pagi di terminal.
Setelah membeli tiket baru kami berjalan kaki menyusuri jalan besar ini. Walaupun jalannya besar dan luas, namun hanya sedikit kendaraan yang lewat, karenanya kota ini terasa agak sepi. Di kanan kiri jalan terlihat cukup banyak penginapan dan hotel serta tempat-tempat makan. Kebanyakan berupa bangunan lama. Dari yang terlihat, terasa nuansa panas, kering dan gersang di kota ini, walaupun sebenarnya banyak pohon di mana-mana. Sementara itu panas matahari terasa sangat tidak nyaman dan menyengat di kulit walaupun sinarnya tidak terlalu terik.
Karena panas yang membuat tidak nyaman inilah saat kami melihat sebuah supermarket di tepi jalan, kami memutuskan untuk masuk ke dalamnya, hendak melihat-lihat sembari ngadem. Ada beberapa pintu masuk ke dalam supermarket ini, tapi hanya satu yang bisa dibuka, sedangkan pintu-pintu lainnya terkunci. Begitu masuk ke dalamnya, rasanya nyaman sekali, selain karena teduh juga karena adanya AC yang digunakan ^_^
Setelah beberapa saat berkeliling dan melihat harga barang-barang yang dipajang, aku cukup terkejut karena harga-harga di sini relatif murah, beberapa barang bahkan sama atau lebih murah harganya dibandingkan dengan di Banyuwangi. Jenis makanan dan snack yang dijual pun bervariasi, ada kuping gajah, sale pisang, snack dari kacang seperti yang pernah kubeli di Phong Nha, dan berbagai jenis snack lokal lainnya. Akhirnya kami malah belanja segala macam barang yang mungkin akan dibutuhkan selama beberapa hari ke depan di supermarket ini, mulai dari sabun mandi, shampoo, tissue basah, garpu, pisau, kopi kalengan, vodka, ayam suwir kering, kecap, bumbu masak, dan beberapa macam snack. Total yang kami belanjakan sebesar VND 236,5K. Aku bahkan berencana sepulang dari Laos akan mampir ke supermarket ini lagi untuk berbelanja hehehehe...
Usai membayar, kami masih berteduh di halaman depan supermarket sembari minum sekaleng kopi Nescafe dan memperhatikan tiga orang anak kecil yang sepertinya sedang memperbaiki sepeda salah seorang di antaranya. Mereka tampak malu-malu waktu tahu aku sedang memotret aktivitas mereka. Keluar dari halaman supermarket, kami langsung pulang ke penginapan dan beristirahat sembari menunggu matahari tidak terlalu panas. Waktu sudah menunjukkan jam 2.30 siang saat kami sampai ke kamar. Untuk mengisi waktu, aku mengerjakan pembukuan dan kemudian bersantai.
Sekitar jam 5 sore, kami turun untuk kembali jalan-jalan dengan harapan matahari sudah tidak begitu menyakitkan di kulit. Kami berjalan ke arah selatan menyusuri jalan Nguyen Huu Tho. Matahari masih cukup tinggi di langit dan warnanya terlihat sangat oranye, tidak seperti umumnya yang berwarna kekuningan. Yang pasti, sepertinya seluruh kota ini tampak seperti diselimuti semacam kabut. Aku tidak tahu apakah itu adalah asap (smog) atau memang kabut, karena aku pernah membaca bahwa pada bulan-bulan tertentu beberapa daerah di Vietnam (terutama di utara) dan Laos akan tertutup oleh smog (kabut asap) yang disebabkan oleh pembakaran sawah-sawah yang sudah dipanen untuk kembali menyuburkan tanahnya.
Điện Biên, seringkali disebut juga Dien Bien Phu (Vietnamese: [ɗîənˀ ɓīən fû]), adalah sebuah kota yang terletak di sisi barat laut region Vietnam. Kota ini merupakan ibukota Provinsi Điện Biên, dan terkenal terutama karena peristiwa-peristiwa yang terjadi selama Perang Indochina I, yakni Battle of Điện Biên Phủ. Dulunya kota ini bernama Thaeng.
Berlokasi di Lembah Mường Thanh, kota ini hanya sekitar 10 KM saja jaraknya dari perbatasan dengan Laos. Sampai dibentuknya Provinsi Dien Bien di tahun 2004, tadinya kota ini merupakan bagian dari Provinsi Lai Châu.
Populasi di kota ini berkembang cukup pesat, dan diperkirakan tahun 2020 akan memiliki 150.000 jiwa (saat ini populasinya sekitar 100.000 jiwa). Mayoritas penduduknya bukan dari etnis Vietnam, namun justru dari etnis Thailand. Jumlah penduduk etnis Vietnam diperkirakan sekitar sepertiga bagian, sedangkan sisanya adalah orang-orang dari etnis Hmong, Si La, dan suku-suku lain.
Pada tahun 1950-an kota ini terkenal akan lalu lintas opiumnya, yang bisa menghasilkan 500 juta Francs (mata uang Perancis) tiap tahunnya. Selain itu daerah ini juga merupakan penghasil beras yang melimpah bagi Việt Minh (Liga Kemerdekaan Vietnam yang didirikan oleh Ho Chi Minh).
Region ini dibentengi oleh Pasukan Uni Perancis pada bulan November 1953 dengan operasi udara terbesar saat itu, Operasi Castor, untuk memblokir rute transportasi Việt Minh dan untuk memancing keluar tentara-tentara Việt Minh.
Tahun 1954, terjadilah Battle of Điện Biên Phủ antara Việt Minh (yang dipimpin oleh Jenderal Võ Nguyên Giáp) dan French Union (yang dipimpin oleh Jenderal Henri Navarre, penerus Jenderal Raoul Salan). Pengepungan tentara Perancis oleh para pejuang Việt Minh ini berlangsung selama 57 hari dari tanggal 13 Maret hingga 7 Mei 1954. Kemenangan Jenderal Giáp mengakhiri keterlibatan utama Perancis di Indochina dan menghasilkan kesepakatan Jenewa yang akhirnya membagi Vietnam menjadi Vietnam Selatan dan Vietnam Utara.
Dengan kata lain, Dien Bien merupakan kota yang bersejarah dan memiliki peran penting dalam masa penjajahan dulu. Karenanya terdapat banyak situs-situs bersejarah di kota ini, seperti Jembatan Muong Thanh, Bunker Kolonel De Castries, Bukit A1, Dien Bien Phu Museum, Kuburan Militer Dien Bien Phu, Pos Perbatasan 0, dan masih banyak lagi.
Tadinya kami akan mengunjungi Tunnel Group Commander Outpost di dekat situ, tapi akhirnya malah berbelok menuju ke sebuah jalan setapak di sepanjang tepi sungai Song Nam Rom. Sungainya sendiri tampak kehijauan dan agak kotor dengan terlihatnya beberapa sampah di tepiannya. Di sisi seberang sungai yang dekat dengan Jembatan Muong Tranh tampak perkampungan yang sepertinya kumuh, sementara di baliknya menjulang gedung-gedung tinggi. Kami sempat masuk ke sebuah taman dan jalan melewati taman tersebut hingga kemudian turun lagi ke jalan setapak dan berjalan hingga ke ujungnya, yaitu Jalan Raya QL12.
Kami menyeberangi jembatan dan terus berjalan hingga akhirnya sampai di Him Lam Plaza. Plazanya sendiri sepertinya tutup, tapi aku melihat ada beberapa penjual makanan di dalam halamannya yang luas, karenanya kami masuk ke halaman plaza ini. Ternyata kami malah menemukan pasar tradisional, walaupun tampaknya sudah agak sepi karena waktu sudah menunjukkan jam 5.30 sore. Jadi lahan di belakang dan di sampaing plaza digunakan untuk pasar tradisional. Masih ada beberapa penjual sayuran dan warung-warung yang buka. Kami mengelilingi pasar ini, melihat-lihat apa saja yang dijual, dan akhirnya membeli 1 kg tomat seharga VND 12K. Ini harga tomat termurah selama kami berada di Vietnam lho... ^_^
Dari trotoar di luar plaza kita bisa melihat ada deretan anak tangga nun jauh di sana. Tadinya suami ogah-ogahan ke sana, tapi akhirnya mau juga menemaniku menaiki deretan anak tangga tersebut dengan membawa-bawa kantong plastik berisi tomat hehehehe... Ternyata tempat yang kami datangi ini adalah Dien Bien Phu Victory Monument. Kami mendaki lebih dari 400 anak tangga sebelum akhirnya sampai ke puncak, di mana terdapat patung yang menggambarkan 3 orang prajurit yang saling membelakangi satu sama lain dan mengangkat seorang bayi Thailand. Tinggi patung ini 16,6 meter dan terbuat dari perunggu dan beratnya mencapai 220 ton.
Saat suami menjelajah di area sekitar puncak monumen ini, aku menyapa seorang pemuda bule, dan akhirnya kami mengobrol sejenak. Usianya baru 21 tahun dan berasal dari Belanda. Kami lebih banyak membicarakan mengenai perjalanan dan tempat-tempat yang dikunjungi selama di Vietnam ini. Bahkan pemuda ini pun menyangka aku masih berusia kurang dari 30 tahun hahahaha.... Selang beberapa waktu, aku berpamitan hendak menyusul suami yang tidak kelihatan batang hidungnya. Setelah menemukannya, katanya dia sudah melihat-lihat di sekitar area ini, dan katanya tidak ada yang benar-benar bisa dijelajahi. Ternyata dari puncak monumen ini tampak ada sebuah lapangan dengan beberapa toko di mana kendaraan bisa parkir, jadi pengunjung tidak perlu susah payah menaiki 400 anak tangga. Kami duduk dan bersantai sejenak di sini hingga akhirnya sekitar jam 6.15 petang kami memutuskan untuk turun.
Sseperti biasa, kalau turun pasti aku tertinggal di belakang, dan setelah sampai di dasar kami keluar dari lapangan monumen ini. Kami berjalan mencari cafe jalanan untuk mencari kopi, namun tidak ada, jadi akhirnya kami kembali masuk ke dalam lapangan monumen dan berhenti di sebuah warung yang sepertinya menjual kopi dan berbagai macam minuman lainnya. Saat memesan kopi, aku melihat toples-toples kaca yang berisi buah-buahan yang direndam air, dan aku bertanya kepada pemiliknya, apa gerangan yang ada di toples tersebut. Ibu penjualnya berusaha menjelaskan namun aku masih belum paham, jadi aku memesan satu gelas minuman dari salah satu macam buah-buahan tersebut. Setelah kami memilih tempat duduk dari beberapa meja dan kursi yang ada, kopi dan minuman yang kami pesan diantarkan segera sesudahnya, dan ternyata yang aku pesan ini adalah sirup buah. Jadi buah-buahan asli direndam di dalam air gula, kemudian dilarutkan dengan air dan ditambah es batu menjadi es sirup buah. Olala... jadi begitu rupanya hahahaha...
Kami menikmati es sirup (VND 10K) dan kopi (VND 20K) yang kami pesan di sini sambil mengamati suasana di sekitar. Sepertinya sedang akan diadakan acara di lapangan sebelah, karena ada sebuah panggung yang didirikan di sana. Kami berdua juga cukup menjadi perhatian tamu-tamu lokal yang sedang minum beer di warung-warung lain di dekat kami. Entah karena penampilan kami yang "seperti turis" atau hal lain, kami berdua tidak terlalu ambil pusing hehehehe... Yang pasti, selama duduk-duduk di tempat ini kami dikerubuti puluhan ekor nyamuk hahahaha...
Setelah cukup lama nongkrong di tempat ini, kami berjalan pulang kembali ke Nha Nghi Hung Ha, dan sampai di kamar sudah jam 7.15 malam. Kami berpesan kepada resepsionis yang ada saat itu bahwa kami akan check-out jam 5 pagi, takutnya pintu keluar masih ditutup dan kami tidak bisa keluar.
Aku masak sayur dan mie instan dengan electric kettle, dan setelah itu kami berdua makan malam. Usai makan kami bergantian mandi, dan kemudian membereskan barang-barang yang sudah tidak dipakai lagi, menyiapkan barang-barang yang diperlukan untuk esok pagi, dan packing supaya besok subuh kami tidak perlu terlalu terburu-buru. Setelah semuanya selesai barulah kami beristirahat karena tubuh sudah benar-benar lelah.
Hari ini kami hanya berjalan kaki sekitar 7 KM, namun tidur semalam di bus kurang nyenyak dan jalan kaki hari ini melibatkan cukup banyak anak tangga, jadi lumayan capek hehehehe...
Entah sedang apes atau bagaimana, saat kami benar-benar lelah dan sedang ngantuk-ngantuknya, kamar-kamar tetangga yang diisi oleh rombongan tamu-tamu lokal benar-benar berisik. Para penghuninya mengobrol dengan suara keras dan tiada henti dengan pintu kamar yang dibuka. Rasanya kesal sekali dalam hati, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Keributan di kamar sebelah baru berhenti di atas jam 12 malam, dan setelah itu kami berdua malah jadi tidak bisa tidur. Entah karena tidur siang yang terlalu lama atau kasur yang terlalu keras. Jujur saja, kasur di penginapan ini adalah kasur paling keras yang pernah kutiduri selama kami di Vietnam (dan mungkin juga seumur hidupku!). Bahkan tidur di dalam sleeper bus rasanya masih lebih nyaman daripada di kasur ini. Kami berdua bahkan sempat sepakat untuk tidak tidur hingga pagi hari hehehehe...
To be continued.......
Keluar dari toilet, aku dan suami melihat-lihat suasana di tempat ini. Ternyata banyak penjual makanan mulai dari berbagai jenis snack dan aneka oleh-oleh, jagung rebus, pho, susu panas, dan macam-macam lainnya. Sebetulnya aku ingin membeli beberapa makanan atau snack yang belum pernah kucoba sebelumnya, namun kuatir harganya akan mahal di tempat seperti ini, apalagi sepertinya tidak ada turis asing selain kami berdua sejauh ini. Kebanyakan orang lokal makan pho atau minum susu panas, dan banyak ibu-ibu yang memborong snack untuk oleh-oleh.
Setelah cukup meregangkan badan, kami masuk kembali ke dalam bus. Para penumpang yang sudah selesai dengan urusan mereka pun mulai memasuki bus. Tepat jam 00.55 dini hari, setelah berhenti selama 35 menit, bus melaju lagi melanjutkan perjalanan.
Kami berdua mencoba untuk tidur lagi. Secara umum kami berdua bisa tidur, walaupun beberapa kali aku terbangun sepanjang perjalanan. Suami sendiri tampak cukup lelap hingga mengorok cukup keras hahahaha... Sebetulnya cukup banyak orang lain yang mengorok hingga suaranya terdengar juga sih...
Sekitar jam 6 pagi, aku sudah tidak bisa lagi tertidur setelah terjaga. Suasana di luar bus masih tampak agak gelap. Aku mulai memperhatikan posisi kami di Google Map, dan sepertinya bus akan sampai di Dien Bien Phu sekitar 1 jam lagi. Jalan yang kami lalui pagi ini relatif kecil, berliku-liku, dan terus menanjak. Driver busnya pun termasuk berani, karena seringkali menyelip kendaraan-kendaraan lain yang ada di depannya. Benar-benar mirip dengan kondisi di Indonesia deh... Setelah mulai remang-remang baru terlihat bahwa suasana di luar penuh dengan kabut, karenanya aku berasumsi bahwa udara di Dien Bien Phu pastinya dingin.
Sekitar jam 6.30 pagi, aku mulai mempersiapkan diri. Minum air putih, menyisir rambut yang berantakan dan awut-awutan, dan mengelap wajah dan badan sebisanya dengan tissue basah. Karena sudah dalam posisi duduk, terasa sekali saat bus berbelok ke kanan dan ke kiri, tubuhku sampai agak terpontang-panting karena guncangan dan gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh gerakan bus. Penumpang lain semuanya masih tampak tertidur dengan lelap. Sementara suasana mulai terang, tampak pemandangan yang menyenangkan di luar jendela. Kami melewati banyak persawahan yang diselimuti dengan kabut dengan latar belakang perbukitan di baliknya.
Menjelang jam 7 pagi, aku membangunkan suami supaya kalau nanti sampai di Dien Bien Phu tidak kelabakan. Ternyata tepat jam 7 pagi sang asisten driver membagikan tissue basah kepada semua penumpang sembari membangunkan mereka untuk bersiap-siap karena sudah dekat dengan tujuan akhir.
Sampai pada titik ini, aku dan suami sudah yakin bahwa kami harus melewatkan satu hari ini di kota Dien Bien Phu. Awalnya kami berencana apabila bus dari Dien Bien Phu ke Muang Khua, Laos masih terkejar, kami akan langsung naik bus lagi. Namun dari yang kubaca, bus ke Muang Khua hanya ada satu dan biasanya berangkat jam 5.30 pagi, karenanya mau tidak mau kami harus menginap di Dien Bien Phu dan baru bisa ke Muang Khua esok pagi.
Saat memasuki kota Dien Bien Phu, tampak bahwa kota ini juga cukup ramai walaupun tidak terlalu besar. Baru sekitar jam 7.15 pagi, bus Trung Dung yang kami naiki sampai di terminal bus yang jaraknya sekitar 3-4 KM dari pusat kota.
Turun dari bus, para penumpang mulai mengambil barang-barang yang disimpan di bagasi, termasuk kami berdua, dan betapa terkejutnya diriku saat melihat backpackku super kotor. Sepertinya posisinya berdempetan dengan ban sepeda motor yang diangkut sehingga banyak bekas kotoran dari ban yang menempel di backpack. Selain itu ternyata kecap asin yang kuletakkan di sisi samping tutupnya terbuka dan mengotori sebagian besar permukaan depan backpackku, padahal sudah kubungkus rapat dengan plastik. Hiks... sedih sekali melihatnya.
Dalam kondisi yang masih belum bisa berpikir jernih, aku ke toilet dulu untuk buang air kecil sekaligus hendak membersihkan backpackku sebisanya dengan air dan tisu basah. Bahkan untuk ke toilet saja aku dikenai biaya lebih mahal. Aku melihat orang lokal hanya membayar VND 2K, sementara aku ditarik VND 5K. Dengan setengah jengkel aku protes kepada ibu-ibu penjaganya, dan menyuruh suami memakai toilet juga tanpa harus membayar lagi. Tapi ternyata sesudah keluar dari toilet suami tidak mengerti maksudku sehingga tidak ke toilet. Untungnya sebagian besar kotoran yang menempel di backpack bisa hilang walaupun belum bersih sekali.
Setelah berdiskusi sebentar dengan suami, kami berdua memutuskan untuk bertanya harga tiket dulu di loket terminal dan menanyakan jam keberangkatannya. Setelah kami mendapatkan informasi, kami berdua memutuskan untuk ngopi atau mencari penginapan dulu, mana yang ketemu duluan deh...
Ternyata begitu keluar dari terminal yang kecil ini, kami melihat banyak penginapan berjejer di seberang terminal. Sebetulnya aku sudah sempat melihat-lihat di booking.com, namun kamar yang termurah pun harganya sedikit agak mahal, karenanya kami mencoba mencari dulu secara langsung siapa tahu bisa mendapatkan kamar yang lebih murah.
Kami bertanya ke penginapan pertama yang kami datangi, Hung Ha, yang di luarnya sekaligus berupa cafe dan rumah makan. Kata pemiliknya, seorang perempuan paruh baya, harga kamar di tempat ini VND 200K, sementara yang kami lihat di booking.com harga termurahnya adalah VND 230K, jadi aku bilang ingin lihat kamarnya dulu. Kami diantar naik ke lantai dua dan ditunjukkan sebuah kamar. Sepertinya lumayan walaupun tampak usang, jadi kami setuju untuk menginap di sini. Karena disuruh bayar di muka, kami berdua meninggalkan backpack di dalam kamar dan kemudian turun untuk membayar. Tadinya si pemilik masih meminta paspor kami walaupun sudah dibayar lunas, namun setelah ditawari fotokopi paspor malah kemudian tidak jadi.
Waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi, dan karena suami ingin minum kopi dulu, kami pesan secangkir kopi di sini. Saat sedang duduk menunggu, kami ditawari "soup, soup", lalu disuruh pindah tempat duduk ke restoran di sebelahnya. Ternyata maksudnya kami ditawari untuk memesan pho, sementara kami belum berselera makan. Karenanya kami kembali lagi ke tempat duduk sebelumnya di restoran penginapan kami. Tidak lama kemudian kopi yang dipesan pun datang. Aku menemani suami menikmati kopinya sembari mengamati kesibukan yang terjadi di sekitar. Bangunan penginapan sekaligus restoran ini tampaknya sudah cukup tua dan ruangan sebelah dalam restorannya pun tampak agak berantakan dan penuh dengan barang. Sepertinya tipe orang jaman dahulu yang tidak terlalu mempedulikan kenyamanan pelanggan hehehehe... Tapi walaupun bangunannya kuno, ternyata sudah ada CCTV yang terpasang di lorong-lorong kamar lho...
Sekitar jam 8.30 pagi, kami membayar kopi susu yang dipesan seharga VND 25K, lalu naik kembali ke dalam kamar. Kami mengeluarkan barang-barang yang diperlukan, dan kemudian aku menatanya selagi suami mandi terlebih dahulu. Kamar yang kami tempati ini masih bergaya kuno. Ada sebuah kipas angin dan TV yang terpasang di dindingnya. Ada mosquito net di sekeliling ranjang, dan yang pasti kasurnya terasa keras sekali saat diduduki. Disediakan dua buah bantal dan sebuah selimut yang sepertinya cukup tebal. Kamarnya sendiri tidak terlalu sempit, bahkan ada sebuah meja dan kursi kayu tempat meletakkan barang. Di sudut ruangan ada sebuah pintu, dan saat kubuka ternyata isinya penuh dengan kursi-kursi, mungkin semacam gudang, sehingga aku mengambil dua buah kursi sebagai tambahan meletakkan barang hehehehe... Kamar mandinya sepertinya cukup bersih, dengan sebuah toilet duduk dan wastafel berdiri yang tampak sudah usang. Saat aku sikat gigi di wastafel ini baru aku menyadari bahwa air buangan dari lubang wastafel mengalir langsung ke lantai kamar mandi. Duuuuh.... sepertinya selalu ada saja hal-hal baru yang tak terduga hehehehe...
Usai mandi, waktu sudah menunjukkan jam 10 pagi, dan kami berdua memutuskan untuk tidur dulu. Kali ini kasurnya benar-benar rock-hard, alias sekeras batu! Beruntung masih bisa tidur, mungkin karena lelah dan tidur yang tidak nyenyak semalaman di dalam bus ya...
Terbangun dari tidur, aku masak mie instan dengan electric kettle untuk kami berdua, dan setelahnya kami makan siang.
Sekitar jam 1 siang, kami memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar penginapan. Oya, sebelumnya kami ke terminal dulu untuk membeli dua buah tiket menuju ke Muang Khua untuk esok pagi. Kata petugasnya, bus akan berangkat jam 5.30 pagi, jadi kami harus siap jam 5 pagi di terminal.
Setelah membeli tiket baru kami berjalan kaki menyusuri jalan besar ini. Walaupun jalannya besar dan luas, namun hanya sedikit kendaraan yang lewat, karenanya kota ini terasa agak sepi. Di kanan kiri jalan terlihat cukup banyak penginapan dan hotel serta tempat-tempat makan. Kebanyakan berupa bangunan lama. Dari yang terlihat, terasa nuansa panas, kering dan gersang di kota ini, walaupun sebenarnya banyak pohon di mana-mana. Sementara itu panas matahari terasa sangat tidak nyaman dan menyengat di kulit walaupun sinarnya tidak terlalu terik.
Karena panas yang membuat tidak nyaman inilah saat kami melihat sebuah supermarket di tepi jalan, kami memutuskan untuk masuk ke dalamnya, hendak melihat-lihat sembari ngadem. Ada beberapa pintu masuk ke dalam supermarket ini, tapi hanya satu yang bisa dibuka, sedangkan pintu-pintu lainnya terkunci. Begitu masuk ke dalamnya, rasanya nyaman sekali, selain karena teduh juga karena adanya AC yang digunakan ^_^
Setelah beberapa saat berkeliling dan melihat harga barang-barang yang dipajang, aku cukup terkejut karena harga-harga di sini relatif murah, beberapa barang bahkan sama atau lebih murah harganya dibandingkan dengan di Banyuwangi. Jenis makanan dan snack yang dijual pun bervariasi, ada kuping gajah, sale pisang, snack dari kacang seperti yang pernah kubeli di Phong Nha, dan berbagai jenis snack lokal lainnya. Akhirnya kami malah belanja segala macam barang yang mungkin akan dibutuhkan selama beberapa hari ke depan di supermarket ini, mulai dari sabun mandi, shampoo, tissue basah, garpu, pisau, kopi kalengan, vodka, ayam suwir kering, kecap, bumbu masak, dan beberapa macam snack. Total yang kami belanjakan sebesar VND 236,5K. Aku bahkan berencana sepulang dari Laos akan mampir ke supermarket ini lagi untuk berbelanja hehehehe...
Usai membayar, kami masih berteduh di halaman depan supermarket sembari minum sekaleng kopi Nescafe dan memperhatikan tiga orang anak kecil yang sepertinya sedang memperbaiki sepeda salah seorang di antaranya. Mereka tampak malu-malu waktu tahu aku sedang memotret aktivitas mereka. Keluar dari halaman supermarket, kami langsung pulang ke penginapan dan beristirahat sembari menunggu matahari tidak terlalu panas. Waktu sudah menunjukkan jam 2.30 siang saat kami sampai ke kamar. Untuk mengisi waktu, aku mengerjakan pembukuan dan kemudian bersantai.
Sekitar jam 5 sore, kami turun untuk kembali jalan-jalan dengan harapan matahari sudah tidak begitu menyakitkan di kulit. Kami berjalan ke arah selatan menyusuri jalan Nguyen Huu Tho. Matahari masih cukup tinggi di langit dan warnanya terlihat sangat oranye, tidak seperti umumnya yang berwarna kekuningan. Yang pasti, sepertinya seluruh kota ini tampak seperti diselimuti semacam kabut. Aku tidak tahu apakah itu adalah asap (smog) atau memang kabut, karena aku pernah membaca bahwa pada bulan-bulan tertentu beberapa daerah di Vietnam (terutama di utara) dan Laos akan tertutup oleh smog (kabut asap) yang disebabkan oleh pembakaran sawah-sawah yang sudah dipanen untuk kembali menyuburkan tanahnya.
Điện Biên, seringkali disebut juga Dien Bien Phu (Vietnamese: [ɗîənˀ ɓīən fû]), adalah sebuah kota yang terletak di sisi barat laut region Vietnam. Kota ini merupakan ibukota Provinsi Điện Biên, dan terkenal terutama karena peristiwa-peristiwa yang terjadi selama Perang Indochina I, yakni Battle of Điện Biên Phủ. Dulunya kota ini bernama Thaeng.
Berlokasi di Lembah Mường Thanh, kota ini hanya sekitar 10 KM saja jaraknya dari perbatasan dengan Laos. Sampai dibentuknya Provinsi Dien Bien di tahun 2004, tadinya kota ini merupakan bagian dari Provinsi Lai Châu.
Populasi di kota ini berkembang cukup pesat, dan diperkirakan tahun 2020 akan memiliki 150.000 jiwa (saat ini populasinya sekitar 100.000 jiwa). Mayoritas penduduknya bukan dari etnis Vietnam, namun justru dari etnis Thailand. Jumlah penduduk etnis Vietnam diperkirakan sekitar sepertiga bagian, sedangkan sisanya adalah orang-orang dari etnis Hmong, Si La, dan suku-suku lain.
Pada tahun 1950-an kota ini terkenal akan lalu lintas opiumnya, yang bisa menghasilkan 500 juta Francs (mata uang Perancis) tiap tahunnya. Selain itu daerah ini juga merupakan penghasil beras yang melimpah bagi Việt Minh (Liga Kemerdekaan Vietnam yang didirikan oleh Ho Chi Minh).
Region ini dibentengi oleh Pasukan Uni Perancis pada bulan November 1953 dengan operasi udara terbesar saat itu, Operasi Castor, untuk memblokir rute transportasi Việt Minh dan untuk memancing keluar tentara-tentara Việt Minh.
Tahun 1954, terjadilah Battle of Điện Biên Phủ antara Việt Minh (yang dipimpin oleh Jenderal Võ Nguyên Giáp) dan French Union (yang dipimpin oleh Jenderal Henri Navarre, penerus Jenderal Raoul Salan). Pengepungan tentara Perancis oleh para pejuang Việt Minh ini berlangsung selama 57 hari dari tanggal 13 Maret hingga 7 Mei 1954. Kemenangan Jenderal Giáp mengakhiri keterlibatan utama Perancis di Indochina dan menghasilkan kesepakatan Jenewa yang akhirnya membagi Vietnam menjadi Vietnam Selatan dan Vietnam Utara.
Dengan kata lain, Dien Bien merupakan kota yang bersejarah dan memiliki peran penting dalam masa penjajahan dulu. Karenanya terdapat banyak situs-situs bersejarah di kota ini, seperti Jembatan Muong Thanh, Bunker Kolonel De Castries, Bukit A1, Dien Bien Phu Museum, Kuburan Militer Dien Bien Phu, Pos Perbatasan 0, dan masih banyak lagi.
Tadinya kami akan mengunjungi Tunnel Group Commander Outpost di dekat situ, tapi akhirnya malah berbelok menuju ke sebuah jalan setapak di sepanjang tepi sungai Song Nam Rom. Sungainya sendiri tampak kehijauan dan agak kotor dengan terlihatnya beberapa sampah di tepiannya. Di sisi seberang sungai yang dekat dengan Jembatan Muong Tranh tampak perkampungan yang sepertinya kumuh, sementara di baliknya menjulang gedung-gedung tinggi. Kami sempat masuk ke sebuah taman dan jalan melewati taman tersebut hingga kemudian turun lagi ke jalan setapak dan berjalan hingga ke ujungnya, yaitu Jalan Raya QL12.
Kami menyeberangi jembatan dan terus berjalan hingga akhirnya sampai di Him Lam Plaza. Plazanya sendiri sepertinya tutup, tapi aku melihat ada beberapa penjual makanan di dalam halamannya yang luas, karenanya kami masuk ke halaman plaza ini. Ternyata kami malah menemukan pasar tradisional, walaupun tampaknya sudah agak sepi karena waktu sudah menunjukkan jam 5.30 sore. Jadi lahan di belakang dan di sampaing plaza digunakan untuk pasar tradisional. Masih ada beberapa penjual sayuran dan warung-warung yang buka. Kami mengelilingi pasar ini, melihat-lihat apa saja yang dijual, dan akhirnya membeli 1 kg tomat seharga VND 12K. Ini harga tomat termurah selama kami berada di Vietnam lho... ^_^
Dari trotoar di luar plaza kita bisa melihat ada deretan anak tangga nun jauh di sana. Tadinya suami ogah-ogahan ke sana, tapi akhirnya mau juga menemaniku menaiki deretan anak tangga tersebut dengan membawa-bawa kantong plastik berisi tomat hehehehe... Ternyata tempat yang kami datangi ini adalah Dien Bien Phu Victory Monument. Kami mendaki lebih dari 400 anak tangga sebelum akhirnya sampai ke puncak, di mana terdapat patung yang menggambarkan 3 orang prajurit yang saling membelakangi satu sama lain dan mengangkat seorang bayi Thailand. Tinggi patung ini 16,6 meter dan terbuat dari perunggu dan beratnya mencapai 220 ton.
Saat suami menjelajah di area sekitar puncak monumen ini, aku menyapa seorang pemuda bule, dan akhirnya kami mengobrol sejenak. Usianya baru 21 tahun dan berasal dari Belanda. Kami lebih banyak membicarakan mengenai perjalanan dan tempat-tempat yang dikunjungi selama di Vietnam ini. Bahkan pemuda ini pun menyangka aku masih berusia kurang dari 30 tahun hahahaha.... Selang beberapa waktu, aku berpamitan hendak menyusul suami yang tidak kelihatan batang hidungnya. Setelah menemukannya, katanya dia sudah melihat-lihat di sekitar area ini, dan katanya tidak ada yang benar-benar bisa dijelajahi. Ternyata dari puncak monumen ini tampak ada sebuah lapangan dengan beberapa toko di mana kendaraan bisa parkir, jadi pengunjung tidak perlu susah payah menaiki 400 anak tangga. Kami duduk dan bersantai sejenak di sini hingga akhirnya sekitar jam 6.15 petang kami memutuskan untuk turun.
Sseperti biasa, kalau turun pasti aku tertinggal di belakang, dan setelah sampai di dasar kami keluar dari lapangan monumen ini. Kami berjalan mencari cafe jalanan untuk mencari kopi, namun tidak ada, jadi akhirnya kami kembali masuk ke dalam lapangan monumen dan berhenti di sebuah warung yang sepertinya menjual kopi dan berbagai macam minuman lainnya. Saat memesan kopi, aku melihat toples-toples kaca yang berisi buah-buahan yang direndam air, dan aku bertanya kepada pemiliknya, apa gerangan yang ada di toples tersebut. Ibu penjualnya berusaha menjelaskan namun aku masih belum paham, jadi aku memesan satu gelas minuman dari salah satu macam buah-buahan tersebut. Setelah kami memilih tempat duduk dari beberapa meja dan kursi yang ada, kopi dan minuman yang kami pesan diantarkan segera sesudahnya, dan ternyata yang aku pesan ini adalah sirup buah. Jadi buah-buahan asli direndam di dalam air gula, kemudian dilarutkan dengan air dan ditambah es batu menjadi es sirup buah. Olala... jadi begitu rupanya hahahaha...
Kami menikmati es sirup (VND 10K) dan kopi (VND 20K) yang kami pesan di sini sambil mengamati suasana di sekitar. Sepertinya sedang akan diadakan acara di lapangan sebelah, karena ada sebuah panggung yang didirikan di sana. Kami berdua juga cukup menjadi perhatian tamu-tamu lokal yang sedang minum beer di warung-warung lain di dekat kami. Entah karena penampilan kami yang "seperti turis" atau hal lain, kami berdua tidak terlalu ambil pusing hehehehe... Yang pasti, selama duduk-duduk di tempat ini kami dikerubuti puluhan ekor nyamuk hahahaha...
Setelah cukup lama nongkrong di tempat ini, kami berjalan pulang kembali ke Nha Nghi Hung Ha, dan sampai di kamar sudah jam 7.15 malam. Kami berpesan kepada resepsionis yang ada saat itu bahwa kami akan check-out jam 5 pagi, takutnya pintu keluar masih ditutup dan kami tidak bisa keluar.
Aku masak sayur dan mie instan dengan electric kettle, dan setelah itu kami berdua makan malam. Usai makan kami bergantian mandi, dan kemudian membereskan barang-barang yang sudah tidak dipakai lagi, menyiapkan barang-barang yang diperlukan untuk esok pagi, dan packing supaya besok subuh kami tidak perlu terlalu terburu-buru. Setelah semuanya selesai barulah kami beristirahat karena tubuh sudah benar-benar lelah.
Hari ini kami hanya berjalan kaki sekitar 7 KM, namun tidur semalam di bus kurang nyenyak dan jalan kaki hari ini melibatkan cukup banyak anak tangga, jadi lumayan capek hehehehe...
Entah sedang apes atau bagaimana, saat kami benar-benar lelah dan sedang ngantuk-ngantuknya, kamar-kamar tetangga yang diisi oleh rombongan tamu-tamu lokal benar-benar berisik. Para penghuninya mengobrol dengan suara keras dan tiada henti dengan pintu kamar yang dibuka. Rasanya kesal sekali dalam hati, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Keributan di kamar sebelah baru berhenti di atas jam 12 malam, dan setelah itu kami berdua malah jadi tidak bisa tidur. Entah karena tidur siang yang terlalu lama atau kasur yang terlalu keras. Jujur saja, kasur di penginapan ini adalah kasur paling keras yang pernah kutiduri selama kami di Vietnam (dan mungkin juga seumur hidupku!). Bahkan tidur di dalam sleeper bus rasanya masih lebih nyaman daripada di kasur ini. Kami berdua bahkan sempat sepakat untuk tidak tidur hingga pagi hari hehehehe...
To be continued.......
No comments:
Post a Comment