15 April 2018
Suami beruntung bisa tidur setelah lewat tengah malam setelah keributan di kamar-kamar sebelah kami mereda, sedangkan aku masih tidak bisa tidur sama sekali. Kadang buka HP dengan harapan bisa mengantuk setelah membaca-baca isi Facebook, tapi tetap saja tidak bisa tidur. Aku sempat memikirkan perjalanan kami sejauh ini dan sejujurnya merasa agak berdebar-debar, kuatir, sekaligus bersemangat karena besok kami akan menyeberangi perbatasan antarnegara lewat jalur darat untuk pertama kalinya dalam hidup kami.
Beberapa catatan yang bisa kurangkum sejauh ini:
- Kami berusaha bertahan hidup dari hari ke hari selama di sini. Tidak ada yang pasti. Penginapan kadang baru booking 1-2 hari sebelumnya. Biasanya cari yang termurah d booking.com. Segala sesuatu bahkan transportasi pun kami lihat nanti, apa yang ada dan termurah selama masih layak dan dirasa aman. Benar-benar kehidupan backpackers sejati!!! Hahahaha...
- Vietnam tidak murah. Makanan siap makan buat kami termasuk mahal. Kalau bahan mentah ada yang murah ada yang mahal. Untuk daging, yang paling murah memang daging babi sih hehehehe... Sayur mayur seperti kentang, wortel dan tomat harganya hampir sama dengan di Banyuwangi. Kebutuhan sehari-hari pun kebanyakan harganya hampir sama, namun di kota-kota besar lebih mahal (sepertinya sama dengan di Indonesia ya...).
- Hanoi sejauh ini merupakan kota termahal, dan sangat sulit untuk menawar harga dari para penjual bahkan di pasar tradisional. Kopi di cafe-cafe terbilang mahal, berkisar antara VND 20-70K per cangkir. Padahal waktu di Da Nang ada yang VND 10K di taman kota (dengan rasa yang enak pula).
- Selama lebih dari 3 minggu kami berpindah-pindah tempat dari Vietnam Selatan ke Vietnam Utara, bagi kami semakin ke utara orang-orangnya lebih menyenangkan dan lebih ramah (kecuali di Hanoi, maklumlah ibukota selalu kejam hahahaha). Pemandangan dan suasana alam pun jauh lebih indah di utara.
- Yang pasti kulit kami berdua semakin bertambah gelap warnanya akibat sering "berjemur" di bawah sinar matahari. Rambutku pun menjadi agak rontok, entah karena shampoo, air, atau udara yang kurang cocok.
Aku yang terbiasa melakukan yoga untuk peregangan oto di rumah, jadi semakin jarang dan semakin malas melakukannya. Selain karena lelah, biasanya tempatnya kurang memadai atau bahkan tidak memungkinkan sama sekali. Badan jadi terasa kaku semua :(
Sepertinya aku sempat terlelap selama sekitar 30 menit hingga terbangun jam 1 dini hari, dan setelah itu benar-benar tidak bisa tidur sama sekali, apalagi ditambah adanya nyamuk yang sepertinya senang menghisap darahku. Pinggangku juga terasa gatal-gatal, entah karena digigit nyamuk atau karena kasurnya yang kurang higienis hahahaha...
Akhirnya setelah bosan bermain HP, sekitar jam 2 pagi aku sudah mulai melakukan aktivitas yang harus kulakukan, mulai dari masak mie instan dan sayuran untuk bekal sarapan hingga mengemasi barang-barang kami ke dalam backpack. Kali ini berat backpackku mencapai 15 kg, sementara backpack suami 13 kg. Lumayan berat juga ya, maklum ketambahan banyak perbekalan makanan yang baru saja dibeli hehehehe... Sekitar jam 3 pagi aku sudah mulai mandi dengan air panas, dan setelahnya meregangkan otot pinggang dan punggung di kasur yang keras sambil main HP lagi.
Suami terbangun dari tidurnya jam 4 pagi, dan setelah melakukan aktivitas paginya, kami berdua sudah siap untuk check-out jam 4.45 pagi. Tadinya kami kuatir pintu depan masih akan tertutup seperti penginapan-penginapan kami sebelum ini, tapi begitu sampai di lantai dasar ternyata pintu besi masih terbuka lebar, bahkan tampak ada beberapa laki-laki yang sedang mengobrol di beberapa kursi yang mengelilingi sebuah meja. Aku tidak tahu apakah hal ini memang biasa terjadi atau karena hari ini adalah hari Minggu.
Proses check-out pun berlangsung cepat dan lancar, walaupun sang laki-laki tua yang menyambut kami di balik meja resepsionis tidak bisa berbahasa Inggris. Setelah mengucapkan terima kasih, kami meninggalkan penginapan ini dan menyeberang jalan ke terminal bus.
Begitu masuk ke dalam terminal, kami disambut oleh beberapa orang yang menanyakan tujuan kami, dan ketika kami menunjukkan tiket yang sudah kami beli kemarin, kami ditunjukkan sebuah bus kecil yang terparkir di sisi utara terminal. Bus kecil berwarna kuning dengan plat nomor 27B-00007 ini sesuai dengan bayanganku akan kendaraan yang bakal mengantar kami ke Laos. Aku sudah membaca pengalaman beberapa orang yang naik bus ini. Mengintip ke dalam bus, kalau penumpangnya penuh bisa muat sampai sekitar 20 orang.
Walaupun masih subuh dan suasana masih gelap gulita, suasana di terminal bus Dien Bien ini termasuk cukup ramai. Pada saat kami datang, bus masih dalam keadaan kosong, jadi kami meletakkan ransel kecil kami di dua buah tempat duduk yang agak depan untuk mengetag tempat. Setelah itu tampak beberapa turis asing yang juga ikut meletakkan barang-barangnya di tempat duduk yang mereka pilih. Sementara itu banyak pula barang-barang yang dimasukkan ke dalam bus oleh sang driver dan asistennya. Semakin lama semakin banyak barang-barang yang dimasukkan ke dalam bus selain backpack dari para penumpang, hingga memenuhi bagian atas atap bus juga, mulai dari hasil bumi, galon-galon air minum, snack berbal-bal, hingga galvalum dan bahan-bahan bangunan. Wow!
Aku masih sempat ke toilet terlebih dahulu, dan kali ini karena sudah tahu situasi dan harga yang harus dibayar, dengan pedenya aku langsung memberikan uang VND 2K kepada penjaganya tanpa berkata apa pun, hanya tersenyum saja dan langsung ngeloyor ke dalam toilet hahahaha... Suami pun melakukan hal yang sama dan tidak ada kendala. Aku hanya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Vietnam saat keluar dari toilet.
Setelah itu kami berdua masuk dan duduk di dalam bus sembari menunggu waktu bus berangkat.
Bus kuning yang kami naiki berangkat tepat jam 5.30 pagi. Total jumlah penumpangnya sekitar 10-11 orang, ditambah berbagai muatan barang yang memenuhi sisa ruangan di dalam bus, termasuk di kursi-kursi kosong. Selain kami berdua, ada 3 orang laki-laki paruh baya asal Thailand, couple dari Austria, 2 perempuan berusia 30 tahunan asal London, dan seorang pemuda solo traveller dari Argentina.
Karena masih sangat mengantuk akibat belum tidur semalaman, selama satu jam pertama aku tidur di pangkuan suami, dan sewaktu terbangun kulihat barang-barang di dalam bus terlihat makin penuh saja. Jadi ada banyak kardus dan kotak-kotak besar yang terbuat dari styrofoam, entah apa isinya. Bisa dibilang bus menjadi penuh sesak dengan barang. Kata suami, busnya sempat berhenti untuk mengangkut penumpang lokal bersama barang-barang bawaannya.
Sebelum berangkat sempat ada suatu peristiwa lucu yang terjadi. Karena semua penumpang membeli tiket, jumlah penumpang benar-benar didata. Sang kernet yang memegang catatan para penumpang. Karena kepalaku berada di pangkuan suami, otomatis aku jadi tidak terlihat karena ketutupan oleh tempat duduk di depanku. Nah, rupanya pada saat mendata penumpang ini, sang kernet bertanya pada suami bahwa seharusnya kami ada dua orang (tentunya dengan bahasa isyarat), dan tentunya suami mengangguk. Sang kernet sepertinya bertambah bingung, dan akhirnya suami menunjuk kepadaku yang sedang tidur, barulah kemudian sang kernet tertawa karena menyadari bahwa aku sudah berada di dalam bus namun tidak terlihat olehnya hehehehe...
Aku baru terbangun dari tidur sekitar jam 6.40 pagi dengan leher yang agak sakit karena posisi tidur yang kurang nyaman. Terlihat di luar jendela, jalanan yang dilalui tampak sempit, menanjak, dan berlika-liku. Pemandangan yang terlihat pada umumnya berupa lembah-lembah dan perbukitan hijau yang tertutup oleh semacam kabut asap (sama seperti di Dien Bien Phu). Lama-kelamaan udaranya menjadi agak dingin karena posisi ketinggian yang terus naik. Menjelang jam 7 pagi, bus sampai di perbatasan sisi Vietnam. Semua penumpang turun dan masuk ke bangunan yang ada. Suasana masih tampak sepi, hanya ada beberapa orang selain kami yang turun dari dalam bus. Setelah mengantri di loket, kami berdua penumpang pertama yang mendapatkan stempel, dan tidak lama kemudian semua penumpang lain selesai mendapat stempel dari petugasnya.
Ada beberapa buah toko dan tempat makan di tempat ini, dan aku sempat masuk sejenak ke salah satunya untuk menumpang ke toiletnya. Setelah semua penumpang lengkap, sekitar jam 7.25 pagi perjalanan kembali dilanjutkan. Rute yang dilewati masih tetap sama, berkelak-kelok dengan kondisi jalan yang cukup sempit. Ada beberapa rumah yang kami lihat di tanah yang bisa dibilang tak bertuan ini, karena lokasinya berada di luar Vietnam maupun Laos.
Setelah sekitar 15-20 menit, bus sampai di perbatasan Laos. Bus berhenti dan parkir di luar sebuah bangunan kecil, sementara bangunan check-point imigrasi ada di seberang kami.
Semua penumpang di bus turun, lalu berjalan menuju ke sebuah loket di mana kami semua diberi masing-masing sebuh formulir yang harus diisi. Kami mengisi formulir di meja dan kursi yang disediakan. Untung saja kami selalu membawa ballpoint ke mana pun, jadi tidak harus meminjam dan menunggu orang lain. Kami yang pertama kali selesai mengisi form yang pada umumnya hanya mengisi data sesuai paspor.
Dengan membawa form tersebut, kami ke loket berikutnya, di mana paspor dan form diperiksa oleh petugas yang berjaga. Sempat ditanya asal negara kami (padahal tinggal lihat di paspor atau form ya). Lalu kami diberi tahu bahwa ada biaya administrasi sebesar LAK 10K dan karena hari ini termasuk weekend ada biaya lagi sebesar LAK 20K. Apabila tidak mempunyai mata uang LAK (Laos Kip), bisa dibayar menggunakan US Dollar maupun Vietnamese Dong. Petugasnya sendiri lebih banyak manggut-manggut dan sempat sedikit tersenyum kepada kami, jadi bisa dibilang relatif ramah.
Catatan: nilai kurs LAK 1 = IDR 1.73. Nilai ini diperoleh dari jumlah LAK yang kami tarik tunai selama berada di Laos, dibandingkan dengan saldo yang berkurang di tabungan serta biaya dari BCA.
Huruf "K" di belakang angka artinya "ribu", jadi misalnya 20K maksudnya 20.000 ya... ^_^
Kami memilih membayar semuanya dengan VND, yang menjadi VND 30K dan VND 60K (per orang), jadi kurang lebih totalnya sekitar IDR 51K per orang. Keseluruhan proses hanya makan waktu kurang dari 5 menit, dan kedua paspor kami langsung dicap oleh petugasnya tanpa ada kendala sama sekali. Voila! Kami pun resmi mendapatkan ijin masuk ke Laos, dan sama seperti masuk ke Vietnam, hanya tertera tanggal kedatangan saja, jadi sepertinya kami berhak tinggal selama 30 hari di sini. Awalnya aku sempat membaca berita yang cukup simpang siur, katanya kalau masuk lewat jalan darat hanya akan dapat visa selama 14 hari saja, namun ternyata tidak.
Setelah semua proses usai, kami masih menunggu penumpang lain yang kebanyakan bahkan masih belum selesai mengisi formulir sambil berfoto dan berjalan-jalan melihat-lihat keadaan. Dari arah Laos tampak ada serombongan turis Asia yang menaiki beberapa mobil 4WD yang cukup mewah yang hendak keluar dari Laos, entah warga negara mana. Sekitar 10-15 menit sesudahnya, para bapak di bus kami yang berasal dari Thailand juga sudah selesai dengan urusan mereka, dan mereka berpamitan kepada kami. Sebelumnya mereka memang menceritakan bahwa mereka dari Laos menuju ke Vietnam membawa mobil sendiri, namun mobilnya tidak diijinkan masuk ke Vietnam, karenanya diparkir di perbatasan ini. Jadi selesai mengurus visa, mereka langsung pergi dengan membawa mobil mereka sendiri. Asyik juga ya....
Waktu sudah menunjukkan jam jam 8.05 pagi, dan belum ada tanda-tanda para turis bule yang bersama kami akan segera selesai, sehingga kami memutuskan untuk mengambil bekal makan di dalam bus, dan kemudian sarapan di kursi panjang yang disediakan. Wah, sarapan pertama kami di Laos nih... walaupun hanya mie instan dengan tomat saja hehehehe...
Usai sarapan, sepertinya para turis bule itu juga masih dipersulit, mulai dari pasfoto, pembayaran visa dengan uang dollar yang harus mulus, bahkan ada salah seorang di antara mereka yang sempat hendak menukar uang US dollar kepada kami. Walaupun sebenarnya kami ada, tapi karena komitmen di awal uang dollar hanya akan digunakan apabila benar-benar mendesak, kami terpaksa mengatakan tidak bawa banyak dollar. Untungnya sang kernet selalu setia menunggui dan menemani mereka, bahkan bisa menukar uang juga kepadanya.
Aku sempat masuk ke toilet umum di sini karena udara terasa semakin dingin, dan biayanya jauh lebih mahal daripada di Vietnam. Sekali masuk LAK 2K atau VND 6K. Toiletnya masih tradisional namun bersih.
Sejauh yang aku tahu, perbatasan Vietnam - Laos di titik paling utara ini memang merupakan perbatasan yang paling muda usianya untuk keluar masuk turis, karenanya tidak terlalu populer. Selain itu untuk bisa membawa masuk sepeda motor dari Vietnam ke Laos di perbatasan ini, plat nomor kendaraannya harus merupakan plat nomor dari area Dien Bien Phu.
Setelah hampir 1 jam menunggu sambil mondar-mandir dan nongkrong di dekat bus, sekitar jam 8.35 pagi akhirnya kelima turis bule yang satu bus dengan kami selesai mengurus visa. Setelah itu pun kami melihat seorang petugas berwajah sok galak yang mengecek paspor mereka satu-persatu, padahal tadi petugas tersebut berkeliaran di dekat kami saat kami sedang sarapan, dan kami tidak ditanyai apa pun. Di sinilah rasanya beruntung sekali memiliki wajah oriental ala Asia Tenggara hahahaha...
Setelah sang kernet mengecek jumlah penumpangnya (sempat kaget karena 3 orang dari Thailand tadi hilang begitu saja, namun setelah kami jelaskan akhirnya dia mengangguk-angguk), bus berangkat lagi. Kali ini jalannya turun dan berlika-liku. Seringkali kami melihat babi berkeliaran di pinggir jalan di dekat rumah-rumah penduduk. Udara di luar bus pun masih tampak penuh dengan asap.
Jam 9.20 pagi, sampailah kami di sebuah desa kecil, Muang Mai. Di sini bus berhenti di sebuah toko, dan kemudian sang driver bersama sang kernet menurunkan banyak sekali barang. Kami berdua turun untuk meregangkan badan. Couple dari Austria yang duduk di belakang pun turun dan berjalan-jalan di sekitar. Sepertinya toko tempat kami berhenti ini adalah toko grosiran dan menjual segala macam barang. Sedari kami datang, sudah cukup banyak orang yang datang untuk membeli sesuatu di sini. Sepertinya toko ini lebih banyak menjual barang-barang produksi Vietnam. Di sini juga pertama kalinya kami melihat seorang ibu yang mengenakan pakaian tradisional dengan topi yang unik.
Tidak disangka, proses menurunkan barang di tempat ini ternyata lama sekali, karena yang diturunkan adalah puluhan lembar galvalum yang berada di atap bus beserta berbagai macam muatan lainnya. Rasanya sampai lelah juga, jongkok, berdiri, melihat-lihat sambil menunggu hingga lebih dari 1 jam lamanya. Setelah pada akhirnya selesai, bus kembali melanjutkan perjalanan hingga ke Muang Khua.
Ada hal menarik yang kuperhatikan setelah itu. Sang kernet bus sepertinya membawa mainan senapan air, dan entah mengapa beberapa kali dia menembakkan air kepada beberapa orang yang dilewati atau berpapasan. Kalau tembakannya telak dia akan tertawa-tawa. Aku pikir usil banget nih kernet. Herannya sang driver kadang juga ikut-ikutan menembakkan senapan air tersebut. Baru kemudian kami menyadari bahwa hari ini merupakan hari terakhir minggu perayaan Pi Mai/Songkran atau tahun baru di Laos, di mana banyak orang akan saling melempar tepung atau air. Unik sekali ya ^_^
Menjelang masuk ke Muang Khua, tampak sungai Nam Ou mengalir di kiri jalan. Tepat jam 11.30 siang, bus sampai di Muang Khua setelah menempuh perjalanan sejauh 105 KM. Karena sudah melihat di booking.com dan Google Map sebelumnya, kami minta diturunkan di jalan pertokoan yang berada di pusat kota. Ada seorang turis lain yang juga ikut turun, namun hanya untuk ke ATM saja. Kami berjalan kaki menuju ke ATM berikutnya, karena seperti di Vietnam, ongkos yang dikenakan berbeda-beda. Dengan semangat tinggi dan beban 15 kg di pundak, kami berjalan berbekal Google Map. Matahari bersinar terik, sehingga aku harus mengenakan topi. Di tengah jalan, ada beberapa anak kecil yang sedang bermain air dari slang, menyemprotkan air kepada siapa saja yang lewat, dan kemudian menyemprotkan air kepada kami berdua saat kami lewat. Waaah untung tidak sampai basah semua. Tentunya kami berdua tidak marah, bahkan tertawa-tawa walaupun sedikit kuatir kalau backpacknya jadi basah hehehehe...
Setelah beberapa ratus meter dan menyeberangi jembatan, kami tiba di ATM yang dituju, dan ternyata ATM-nya rusak hahahaha... Akhirnya kami memutuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu agar bisa meletakkan backpack. Berbekal Google Map, kami mengikuti arah, dan ujung-ujungnya malah bingung, karena kami turun ke jalan setapak yang sangat curam dan sempit, dan setelah dicari-cari ternyata penginapannya tidak ada. Beberapa kali bertanya kepada penduduk, sepertinya tidak ada yang mengerti bahasa Inggris, dan membaca peta pun tidak bisa. Jadi kami berjalan saja dan kemudian kembali ke jalan beraspal. Di jalan inilah kami bertemu dengan seorang laki-laki yang sepertinya bisa sedikit bahasa Inggris, dan kemudian menunjukkan bahwa sedikit lagi berjalan akan ada penginapan yang bagus dan nyaman. Kami berjalan dan menemukan penginapan yang dimaksud.
Memasuki Manotham Guesthouse, ada seorang perempuan yang menyambut kami. Bahasa Inggrisnya amat-sangat terbatas, namun mengerti bahwa kami sedang mencari kamar. Sebuah kamar yang kuno dan agak kecil dihargainya LAK 70K. Aku berusaha menawar harganya, lalu si ibu menawarkan kamar yang lebih besar dengan harga yang sama. Aku masih mencoba menawar lagi, dan pada akhirnya si ibu setuju dengan harga LAK 60K untuk kamar yang lebih besar.
Tepat jam 12 siang kami memasuki kamar kami. Lega sekali akhirnya bisa meletakkan backpack dan mendapatkan tempat bermalam. Kamar yang kami sewa ini walaupun agak besar namun bangunannya sepertinya kuno sekali. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu. Ada dua buah kasur (yang sangat keras) dengan bantal dan selimut di atasnya. Sprei, sarung bantal dan selimutnya tampak lusuh dan agak kumal, bahkan selimutnya agak bau apek, entah kapan terakhir kali dicuci hahahaha...
Ada sebuah meja kayu dengan dua buah handuk tipis di atasnya dan sebuah bangku yang menghadap ke jendela kayu yang bisa dibuka. Kamar mandinya juga sangat sederhana. Ada wastafel dan toilet duduk tanpa flush, namun disediakan ember dari bekas ember cat dan sebuah gayung. Lampu kamar mandi maupun lampu kamar terasa remang-remang sekali. Kami juga diberi sebuah kipas angin yang cukup besar.
Setelah meletakkan backpack baru kubuka jendela, dan pemandangan di luar jendela ternyata lumayan juga. Di luar kamar suasananya tampak seperti kebun atau hutan kecil di bawah karena kamar kami terletak di lantai 2. Dari jendela kamar kami bisa melihat sungai dan jembatan gantung yang melintasinya. Di sebelah kanan tampak ada semacam teras yang bisa dipakai untuk duduk-duduk dan bersantai. Jauh di depan sana tampak rumah-rumah penduduk dengan latar belakang pegunungan hijau. Cukup menyenangkan juga suasananya.
Setelah mengeluarkan barang-barang dari dalam backpack, kami minum Nescafe kalengan yang dibeli di Dien Bien Phu, dan setelah itu kami bergantian mandi dengan ember dan gayung. Rasanya jadi seperti mandi di rumah hehehehe... Kami juga sekalian mencuci semua pakaian kotor selagi matahari bersinar dan ada tempat untuk menggantungkan jemuran. Usai mandi dan terasa lebih segar, aku masak Indomie dan sayuran yang kami beli Vietnam untuk makan siang. Jadilah Indomie goreng rasa Iga Penyet produksi Indonesia, dibeli di Vietnam, dan dimakan di Laos hahahaha... Walaupun sangat sederhana, makan siang ini terasa nikmat sekali karena kami berdua sangat excited sudah berada di negara lain lagi yang benar-benar baru.
Usai perut kenyang, kami meluruskan punggung di kasur yang cukup keras ini sambil mencari-cari informasi dengan wifi yang ada. Rencananya besok kami akan pindah tempat, tapi masih belum bisa memutuskan akan ke mana dan naik apa. Bisa ke Muang Ngoy atau ke Nong Khiaw. Bisa naik bus atau naik boat. Inginnya naik boat, tapi kami belum tahu informasi apa pun karenanya masih ragu-ragu. Suami juga sempat video call dengan salah seorang sahabatnya di Yogyakarta, "memamerkan" penginapan dan keadaan kami sekarang ini hahahaha...
Suhu udara siang ini berada di 39 derajat Celcius dengan UV Index 10. Gile bener yak! Karenanya kami cukup betah berada di dalam kamar hingga rasa lelah sudah mulai hilang.
Saat sedang bersantai di dalam kamar inilah aku membaca sebuah postingan di salah satu grup para backpackers yang aku ikuti dari seorang bernama Lucho, yang isinya mengatakan bahwa dia sedang berada di Muang Khua dan sedang mencari teman seperjalanan naik boat menuju ke Muang Ngoy atau Nong Khiaw. Aku langsung membalasnya dengan mengatakan bahwa kami berdua juga sedang berada di Muang Khua dan ingin ke Muang Ngoy atau Nong Khiaw, besok atau besok lusa. Setelah kulihat profilnya di Facebook, ternyata dia adalah pemuda Argentina yang satu bus dengan kami hari ini. Kami pun saling kontak dengan FB Messenger dan aku memberi tahu tempat kami menginap malam ini. Kami sempat janjian akan bertemu sore atau malam hari nanti.
Sekitar jam 3 siang, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Ingin lewat jembatan gantung (suspension bridge) juga, yang menjadi icon di kota kecil ini. Secara umum memang tidak ada tempat wisata khusus untuk turis di sini karena kotanya yang sangat kecil, namun sebetulnya bisa juga trekking naik ke pegunungan dan hutan-hutan di sekitarnya asalkan berhati-hati tidak sampai nyasar hehehehe...
Jadi keluar dari penginapan kami menuju ke arah yang berbeda dengan arah datang kami tadi, lalu langsung menuju ke jembatan gantung. Menjelang sampai di jembatan gantung kami bertemu dengan seorang bapak tua dan seorang anak kecil, mungkin cucunya. Aku menyapanya dengan bahasa lokal "sabaidi" yang berarti hallo, dan di luar dugaan beliau membalas dengan ramah. Ternyata bapak tersebut juga sedang menuju ke jembatan, dan kemudian mengajakku bicara dalam bahasa Laos, yang tentu saja tidak kupahami. Dengan bahasa isyarat beliau menunjuk ke HP-ku, dan pahamlah aku bahwa beliau minta berfoto denganku hehehehe... Jadi suami memotret kami bertiga di jembatan ini. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena mau berfoto denganku, dan beliau pun melanjutkan menyeberang jembatan. Aku menunggu suami mendatangi untuk menggandengku, karena aku merasa gamang berjalan di atas jembatan gantung ini. Sepertinya jembatannya sudah tua dan cukup bergoyang-goyang apabila dilewati. Rasanya lega sekali setelah berhasil melewatinya hehehehe...
Kami menuju ke ATM terdekat dan ternyata tidak bisa digunakan juga. Memasuki perempatan di pusat kota, tampak banyak pesta-pesta kecil yang sedang diadakan oleh para penduduk. Suasananya ramai oleh house music di mana-mana. Orang-orang berdiri mengitari meja yang penuh dengan makanan dan minuman sambil menari-nari, sebagian besar anak muda. Seluruh kota masih tampak seperti diselimuti kabut asap.
Kami menuju ke ATM pertama yang kami lihat saat turun dari bus tadi, dan untungnya kali ini bisa mengambil uang tunai. Kami hanya menarik uang sebesar LAK 1,5M karena masih belum pasti akan berapa lama di Laos.
Catatan: transaksi sebanyak 1,5 juta kip beserta biaya transaksi dari LDB sebesar 20 ribu kip ini oleh BCA nilainya menjadi Rp 2.548.492, ditambah ongkos 25 ribu rupiah.
Setelah mengantongi uang tunai, kami mencari toko yang menjual SIM Card, dan segera menemukannya di deretan toko-toko yang ada. Pemilik tokonya sedang tidur, dan walaupun aku sudah berteriak-teriak "sabaidi" sepertinya dia tidak bergeming. Hingga kebetulan ada orang yang datang dan membantu kami membangunkannya, barulan kami dilayani. Membeli SIM Card di sini rumit, karena si empunya tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Tapi dengan bantuan lembaran brosur dan bahasa isyarat, kami berhasil membeli kartu Unitel berisi paket data 3GB dengan harga LAK 20K dan berlaku untuk 7 hari. Nah, lengkap sudah karena kami sudah bisa menggunakan Google Map untuk navigasi ^_^
Toko-toko di sini terlihat bergaya kuno. Banyak yang terlihat menjual perabotan rumah tangga. Kami melanjutkan menyusuri jalan hingga cukup jauh. Jalannya makin sepi dan akhirnya kami sampai di sebuah kuil Buddha. Di kota yang sangat kecil dan terlihat kuno ini, kami menjumpai sebuah kuil yang terlihat indah dan megah walaupun tidak mewah. Kami sempat memotret beberapa kali dan masuk ke halaman luas di luar kuil, namun tidak berani masuk ke halaman kuil karena takut dianggap tidak pantas. Ada beberapa ekor anjing yang sedang berkelahi di halamannya hingga kami tidak berani mendekati. Sempat juga ada serombongan biksu muda yang lewat dan masuk ke halaman kuil.
Setelah itu kami berjalan kembali menuju ke arah pusat kota, dan sempat bertemu dengan dua orang anak kecil yang mau kufoto walau tampak malu-malu. Melihat ada jalan kecil yang arahnya turun, kami memasukinya, dan ternyata jalan setapak ini menuju ke dermaga sungai Nam Ou. Di sepanjang jalan ini ternyata banyak penginapan dan rumah makan untuk para turis. Sepertinya para turis bule lainnya menginap di sekitar area ini.
Di ujung jalan setapak inilah kami menemukan dermaga yang menuju ke Muang Ngoy dan Nong Khiaw. Sungai Nam Ou merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat di sekitar sini, dan perahu menjadi transportasi utama penduduk untuk bepergian. Ada sebuah pos dengan papan di luarnya yang mencantumkan harga-harga tiket beserta waktu untuk naik boat. Intinya, semakin banyak penumpang akan semakin murah ongkosnya. Aku memotret daftar harga tiket tersebut dan mengirimkannya kepada Lucho agar dia memiliki gambaran harganya.
Sementara itu di dekat dermaga ada beberapa tenda yang tampaknya bekas dipakai pesta. Ada beberapa buah mobil yang terparkir di tepi sungai, dan tampak ada beberapa anak muda yang sedang berpesta dengan sebuah meja di tengah mereka dengan makanan dan minuman di atasnya. Di sebelah pos pembelian tiket juga ada penjual makanan yang dikemas rapi, namun karena tidak tahu jenis makanannya dan takut mahal, kami tidak berani membeli.
Kami menghabiskan waktu sekitar 20 menit di dermaga ini, menikmati indahnya pemandangan di sekitar sungai. Matahari masih cukup terik walaupun warnanya sudah berubah menjadi oranye, dan angin bertiup cukup kencang. Setelah itu baru kami beranjak pergi dan berjalan lagi. Tidak disangka, saat memasuki sebuah gang kecil, kami justru menemukan pasar tradisional. Berbagai macam sayur-mayur, buah-buahan, bumbu masak, dan aneka olahan daging serta daging babi dipajang di dalam pasar ini. Bedanya dengan pasar tradisional di Vietnam, para penjualnya tidak agresif walaupun cukup banyak yang memperhatikan keberadaan kami berdua. Aku membeli beberapa buah kubis seharga LAK 10K, sate babi goreng seharga LAK 10K, dan dua buah rambak babi seharga LAK 20K.
Keluar dari pasar kami berjalan ke arah penginapan seperti pada waktu datang pertama tadi, dan di tempat tadi ada anak-anak kecil yang menyiram kami dengan air masih tampak beberapa anak yang bermain dengan slang air. Kali ini mereka tidak berani menyiram kami, namun entah bagaimana ceritanya, bus kuning yang tadi mengangkut kami dari Dien Bien Phu berpapasan kembali dengan kami, dan sang kernet yang mengenali kami langsung menembak kami dengan senapan airnya hahahaha...
Setelah itu kami melihat sebuah toko serba ada di seberang jalan setelah jembatan. Sebelum kami menyeberang, tampak beberapa anak muda yang memakai baju yang bermotif sama, dan ternyata setelah mendekat beberapa di antara mereka adalah waria. Wah lucu sekali melihat mereka berjoged-joged dengan riangnya hehehehe...
Kami menyeberang jalan dan masuk ke dalam toko tersebut, lalu setelah melihat-lihat akhirnya membeli dua buah Beer Lao, masing-masing seharga LAK 8K. Di luar toko ada seekor monyet yang dirantai di sebuah tiang, kasihan sekali melihatnya. Monyet ini sepertinya agresif, karenanya kami tidak berani terlalu dekat apalagi memegangnya.
Berjalan menjauhi toko, kami melihat ada beberapa tempat duduk di luar sebuah tempat yang tampak seperti warung yang sedang tutup, jadi kami duduk di tempat ini, membuka beer yang kami beli dan meminumnya sambil ngemil rambak babi. Mengamati suasana sekitar, jalanan terlihat sangat sepi, namun beberapa kali ada mobil yang lewat, dan rata-rata mobil yang lewat tersebut merupakan mobil 4WD yang cukup mewah. Dibandingkan dengan betapa kecil dan sepinya desa ini, tentunya cukup mengherankan melihat mobil-mobil mewah tersebut lewat di jalanan. Sore ini aku juga mendapatkan kabar bahwa Lucho si pemuda Argentina menginap di penginapan yang sama dengan kami.
Usai menghabiskan dua kaleng beer, kami berjalan sedikit ke arah luar kota, yang tampaknya makin sepi dan makin jarang rumah dan toko. Kemudian kami masuk ke sebuah jalan, dan ternyata melalui jalan ini kami bisa kembali ke penginapan tanpa harus melewati jalan setapak curam yang tadi siang kami lewati. Di sinilah kami sempat menyaksikan sunset yang indah di balik pegunungan.
Suasana masih cukup terang saat kami tiba kembali di Manotham Guesthouse jam 5.32 sore. Di sebuah bar di dekat guesthouse sepertinya banyak anak muda yang sedang berpesta dengan minum-minum dan makan. Memasuki kamar, kami beristirahat sejenak mengistirahatkan kaki, lalu aku menyiapkan bahan makanan untuk makan malam kami. Malam ini suami akan makan kentang rebus, sayuran dan sate babi, sementara aku sendiri akan makan sayuran rebus saja dengan sisa rambak yang ada. Setelah itu kami berdua bergantian mandi, lalu aku masak dengan electric kettle.
Usai masak, kami berdua makan malam bersama, dan setelah makan ada pesan dari Lucho bahwa dia mengajak kami makan malam di luar. Aku menjawab bahwa kami baru saja makan. Lucho berkata akan mengobrol dengan kami malam harinya saja setelah dia makan dan jalan-jalan.
Hingga sekitar jam 6.30 petang, suasana di luar masih tampak agak terang. Kami bersantai, lalu duduk-duduk di semacam teras yang disediakan di samping kamar untuk bersantai. Ada kursi-kursi dan sebuah meja panjang dengan beberapa buah buku di atasnya. Cukup lama kami berada di sini, hingga semakin lama nyamuknya semakin banyak, dan akhirnya jam 8 malam kami memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamar. Suara keramaian dari bar sebelah terdengar jelas dari dalam kamar walaupun jendela sudah ditutup. Tidak lama kemudian Lucho juga memberi kabar bahwa dia sedang bertemu dengan turis-turis lainnya dari bus yang sama dengan kami, dan mereka semua sepertinya sepakat bahwa besok pagi akan melanjutkan perjalanan ke Nong Khiaw atau minimal Muang Ngoy naik boat.
Karena sudah agak malam dan baru terasa betapa lelahnya tubuh kami setelah semua aktivitas kami seharian ini, kami memutuskan untuk tidur. Beberapa kali listrik padam, kadang hanya sesaat, kadang sampai agak lama. Lucu juga, saat listriknya padam, anak-anak muda di bar sebelah akan berteriak "huuuuuuu", dan kalau menyala akan bersorak-sorai. Sekitar jam 9 malam kami berusaha tidur, mempersiapkan diri untuk perjalanan esok pagi.
Hari ini kami berjalan sejauh 6 KM saja, namun rasanya lelah sekali. Dalam sehari, aku disemprot air sebanyak 3 kali oleh penduduk lokal. Yah, dianggap saja rejeki hehehehe... Di mana-mana terdengar house music dari loudspeaker yang ukurannya besar-besar karena masih suasana tahun baru. Secara keseluruhan, hari pertama kami di Muang Khua, Laos, sangat menyenangkan. Orang-orang lokal secara umum jauh lebih ramah dan menyenangkan daripada di Vietnam. Apabila disapa, pada umumnya mereka akan menyapa balik atau minimal tersenyum. Jarang sekali melihat orang yang berbicara sambil berteriak-teriak.
Alamnya sendiri, sejauh ini tampak indah, tampak lebih alami dan belum terjamah. Di mana-mana tampak perbukitan dan hutan-hutan. Tidak enaknya adalah suhu udara dan sinar matahari yang sangat panas di siang hari.
Kebanyakan penduduk tidak bisa berbahasa inggris sama sekali, apabila ditanya kebanyakan akan berusaha membantu sambil mengoceh dengan bahasa mereka sendiri hahahaha... Kesulitan lain adalah huruf/abjad yang mereka gunakan berbentuk seperti honocoroko, jadi tidak terbaca apa artinya dan tidak bisa dicari di Google Translate. Tidak banyak pula dari mereka yang bisa membaca abjad alfabet. Sementara ini harga-harga barang yang kami jumpai jauh lebih mahal daripada di Vietnam.
Namun secara keseluruhan kami berdua merasa bahwa pengalaman-pengalaman baru hari ini sangat menyenangkan dan tidak sabar menanti esok ^_^
To be continued.......
To be continued.......